Oleh:
NAMA : DEVIA PUTRI RATNA SARI
NIM : 200104014
A. Definisi
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Menurut
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan mobilitas fisik
atau immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau
berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010
Kemudian, Widuri (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan mobilitas fisik
atau imobilitas merupakan keadaan dimana kondisi yang mengganggu pergerakannya,
seperti trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan
sebagainya. Tidak hanya itu, imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan
fisik tubuh baik satu maupun lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif
A.H & Kusuma H, 2015).
Gangguan mobilitas fisik adalah suatu kondisi yang relatif, pasien tidak saja
kehilangan kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas
dari kebiasaan normalnya (Ernawati, 2012). Penyebab gangguan mobilitas fisik karena terjadi
trauma pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan gangguan pada otot dan skeletal.
Pengaruh otot terjadi karena pemecahan protein terus menerus sehingga kehilangan massa
tubuh di bagian otot. Penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Massa otot semakin menurun karena otot tidak dilatih sehingga
menyebabkan atrofi sehingga pasien tidak mampu bergerak terus menerus. Pasien yang
mengalami tirah baring lama beresiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak
digerakkan.
Fraktur yang disebabkan oleh trauma akan menyebabkan perubahan jaringan sekitar
tulang tersebut serta terjadi kelainan dan trauma pada sistem muskuloskeletal yang
bermanifestasi dari bentuk yang abnormal dari ekstremitas atau batang tubuh dengan
perubahan bentuk pada tulang maka fungsi ekstermitas akan terganggu serta dapat
mengenai tulang yang dapat menimbulkan gangguan mobilitas fisik (Price & Wilson, 2014).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut, aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstermitas. Bila
tidak terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartement (Brunner, 2015).
D. Etiologi
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), faktor penyebab terjadinya
gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang, perubahan
metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan massa otot,
penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan sendi, kontraktur,
malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, indeks masa tubuh
di atas persentil ke-75 usia, efek agen farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri,
kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif,
keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi. NANDA-I (2018)
juga berpendapat mengenai etiologi gangguan mobilitas fisik, yaitu intoleransi
aktivitas, kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat, penurunan ketahanan
tubuh, depresi, disuse, kurang dukungan lingkungan, fisik tidak bugar, serta gaya
hidup kurang gerak.
Pendapat lain menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (dalam Setiati, Alwi,
Sudoyo, Stiyohadi, dan Syam, 2014) mengenai penyebab gangguan mobilitas fisik
adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah
psikologis, kelainan postur, gangguan perkembangan otot, kerusakan sistem saraf
pusat, atau trauma langsuung dari sistem muskuloskeletal dan neuromuskular.
E. Patofisiologi
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago,
dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan tulang diatur otot skeletal karena
adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem
pengungkit. Tipe kontraksi otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya, pada
kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan pasien untuk
latihan kuadrisep. Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Perawat harus memperhatikan adanya peningkatan
energi, seperti peningkatan kecepatan pernapasan, fluktuasi irama jantung, dan
tekanan darah yang dikarenakan pada latihan isometrik pemakaian energi meningkat.
Hal ini menjadi kontraindikasi pada pasien yang memiliki penyakit seperti infark
miokard atau penyakit obstruksi paru kronik. Kepribadian dan suasana hati seseorang
digambarkan melalui postur dan gerakan otot yang tergantung pada ukuran skeletal
dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan kelompok otot tergantung
tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan
gravitasi. Tonus otot sendiri merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.
Kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan
ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot menjadi berkurang.
Rangka pendukung tubuh yang terdiri dari empat tipe tulang, seperti panjang, pendek,
pipih, dan irreguler disebut skeletal. Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan,
melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam
pembentukan sel darah merah (Potter dan Perry, 2012).
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon fisiologis pada
sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa gangguan mobilisasi permanen
yang menjadikan keterbatasan mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan
mempengaruhi daya tahan otot sebagai akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan
stabilitas. Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan masa
tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan masa otot tidak
mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Selain itu, juga
terjadi gangguan pada metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot
tidak dipergunakan atau karena pembebanan yang kurang, maka akan terjadi atrofi
otot. Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan meningkatkan produksi Cu, Zn.
Superoksida Dismutase yang menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan
menurunya catalase, glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida
dismutase, yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS
menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi myosin, dan
peningkatan espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik proteosome. Jika otot tidak
digunakan selama beberapa hari atau minggu, maka kecepatan penghancuran protein
kontraktil otot (aktin dan myosin) lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya,
sehingga terjadi penurunan protein kontraktil otot dan terjadi atrofi otot. Terjadinya
atrofi otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak berkontraksi dalam waktu yang
cukup lama sehingga perlahan akan mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut
otot dan jaringan fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya
tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot melalui penghambatan pada
proses translasi protein sehingga menurunkan kecepatan sintesis protein. NF-κB
menginduksi atrofi dengan aktivasi transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika otot tidak
digunakan menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-κB. Reactive
Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi pada otot ditandai
dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter serabut, produksi kekuatan, dan
ketahanan terhadap kelelahan. Jika suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk
kontraksi menghilang selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif
pada otot yang disebut dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi degeneratif
terjadi penghancuran serabut otot dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan lemak.
Bagian serabut otot yang tersisa adalah membran sel dan nukleus tanpa disertai
dengan protein kontraktil. Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun.
Jaringan fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki kecenderungan
untuk memendek yang disebut dengan kontraktur (Kandarian (dalam Rohman,
2019)).
F. Tanda gejala
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim Pokja
SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :
1. Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu mengeluh
sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala mayor
objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun
2. Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat bergerak.
Kemudian, untuk tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan
tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.
Kemudian, menurut Potter & Perry (dalam Uda H.D.H, Muflih, Amigo T.A.E,
2016) selain pada sistem muskuloskeletal, gangguan mobilitas fisik juga
memberikan dampak pada sistem kardiovaskuler, pernapasan, metabolik,
perkemihan, pencernaan, dan integumen berupa penurunan kemampuan atau fungsi
jantung, pembuluh darah, paru-paru, tergangguanya metabolisme tubuh, gangguan
fungsi ginjal, kerusakan kulit, serta gangguan pada proses pencernaan. Dampak
psikososial dari gangguan mobilitas sendiri yaitu respon emosional yang
bervariasi, seperti frustasi dan penurunan harga diri, apatis, menarik diri, regresi,
dan marah serta agresif. Menurunnya kemampuan menyelesaikan masalah dan
mengambil keputusan, gangguan pada perkembangan sosial, yaitu terjadi hambatan
dalam interaksi dengan orang lain maupun lingkungan dikarenakan kurangnya
stimulasi intelektual.
I. Komplikasi
Menurut Garrison (dalam Bakara D.M & Warsito S, 2016) gangguan mobilitas
fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abnormalitas tonus, orthostatic
hypotension, deep vein thrombosis, serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat
terjadi adalah pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga menyebabkan
embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalir
ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus. Bagian yang biasa mengalami memar adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan menjadi
infeksi. Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi dari gangguan
mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi. Komplikasi
lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan intra cranial, kontraktur, gagal nafas,
dan kematian (Andra, Wijaya, Putri , 2013).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Latihan rentang gerak
yang dapat diberikan salah satunya yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM)
yang merupakan latihan gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range
of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan maupun
otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan pasien tidak dapat
melakukannya sendiri yang tentu saja pasien membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Kemudian, untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan
latihan yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2012).
Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan mobilitas
fisik, antara lain :
1. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti memiringkan
pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg, posisi genupectoral, posisi
dorsal recumbent, dan posisi litotomi.
2. Ambulasi dini Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa
dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat
tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
3. Melakukan aktivitas sehari-hari
Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan, ketahanan, dan
kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular.
4. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.
L. Proses keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalahmasalah pasien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini (Rosyidi, 2013). Pengkajian pada
masalah gangguan mobilitas fisik menurut (Hidayat Alimul, 2009), adalah sebagai
berikut:
1. Identitas pasien
Identitas pasien yang harus dikaji pada pasien fraktur meliputi nama, jenis kelamin,
umur, alamat, agama, suku, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, nomor registrasi, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa dirasakan pada pasien post operasi fraktur yaitu gangguan
mobilitas fisik.
3. Riwayat penyakit dahulu
Perawat menanyakan pada pasien adanya riwayat penyakit sistem muskuloskeletal
(osteoporosis, fraktur, artritis) sebelumnya.
4. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebutkan terjadi
keluhan atau gangguan mobilitas fisik seperti adanya kelemahan otot, kelelahan,
daerah yang mengalami gangguan mobilitas fisik, lama terjadinya gangguan mobilitas
fisik.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
b. Monitor tanda-tanda vital
c. Kulit dan kuku
d. Kepala
e. Mata
f. Telinga
g. Mulut dan tenggorokan
h. Leher
i. Payudara
j. Dada dan tulang belakang
k. Pernapasan
l. Kardiovaskuler
m. Gastrointestinal
n. Muskuloskeletal
1) Inspeksi
a) Lesi kulit :
b) Tremor :
2) Palpasi
a) Tonus otot dan esktremitas atas :
b) Tonus otot dan esktremitas bawah :
c) Kekuatan ekstremitas atas :
d) Kekuatan ekstremitas bawah :
e) Rentang gerak :
f) Edema kaki :
g) refleks bisep :
h) Refleks trisep :
i) Refleks patella :
j) Refleks achilles :
k) Deformitas sendi :
l) Nyeri ekstremitas :
m) Temuan / keluhan klien lainnya :
o. SSP (NI-XII)
p. Sistem endokrin
q. Genetalia dan anal
6. Kemampuan fungsi motorik dan fungsi sensorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri
untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan, kekuatan atau spastis.
7. Kemampuan mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak
ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa bantuan. Kategori tingkat
kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut:
N. Rencana Keperawatan
1. Diagnosa Keperwatan
DAFTAR PUSTAKA
Moorhead, et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima.
Singapore: Elsevier.
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik,
Volume 2, Edisi 4. Jakarta: EGC
Widjarnoko, B. 2012. Studi Deskriptif Pendampingan dan Dukungan Suami Terhadap
Pengurangan Rasa Nyeri pada Ibu Bersalin Kala 1 di RS Panti.