Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI FRAKTUR
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Brunner & Suddarth,2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C, dalam buku Nursing
Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang
yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical
Nursing
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smelter
& Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpukan bahwa fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh trauma, ruda paksa atau oleh penyebab patologis,
yang dapat digolongkan sesuai dengan jenis dan kontinuitasnya.

B. EPIDEMIOLOGI
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi
menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat
/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat
transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga
menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat
meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut
sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur. Fraktur radius ulna yang paling
sering terjadi adalah fraktur radius ulna pars sepertiga distal. Fraktur ini mencakup 14% dari
kasus fraktur tulang panjang yang muncul. Untuk fraktur femur yang terbagi dalam beberapa
klasifikasi misalnya saja pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada
wanita tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik, trauma
yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar mandi) sedangkan
pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang
femur, fraktur supracondyler, fraktur intercondyler, fraktur condyler femur banyak terjadi pada
penderita laki – laki dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur
batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah. Sementara
ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di atas usia 50 tahun di seluruh dunia
mengidap osteoporosis. Ini menambah kejadian jutaan fraktur lainnya pertahunnya yang
sebagian besar melibatkan lumbar vertebra, panggul dan pergelangan tangan (wrist), dari tulang
rusuk juga umum terjadi pada pria.

C. ANATOMI-FISIOLOGI
1. TULANG
Tulang membentuk rangka penunjang dan perlindungan bagi tubuh dan tempat melekatnya otot-
otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Tulang panjang disusun untuk menyangga berat badan
dan gerakan, ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik yang
membentuk berbagai sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan
mengatur kalsium
a. Fungsi tulang
 Sebagai formasi krangka, dengan membentuk rangka tubuh, menentukan bentuk dan ukuran tubuh.
 Pergerakan, yaitu untuk berbagai aktifitas selama pergerakan.
 Perlindungan, yaitu melindungi organ-organ yang lunak dalam tubuh.
 Hemtopoiesis yaitu pembentukan sel-sel darah merah yang terjadi pada sumsum tulang merah.
 Tempat penyimpanan mineral, antara lain kalsium dan fospor.
b. Komposisi jaringan tulang
Tulang terdiri dari sel-sel (osteosit, osteoblash dan osteoklas) dan matrik ekstraseluler yang
tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam pada substansi dasar dan garam-garam
anorganik tulang seperti fospor dan kalsium.

c. Klasifikasi tulang
Klasifikasi tulang menurut bentuknya terbagi atas :
 Tulang panjang yaitu tulang yang berbentuk silindris, yang terdiri dari diafisis dan efifisis yang
berfungsi untuk menahan berat tubuh dan berperan dalam pergerakan.
 Tulang pendek yaitu tulang yang berstruktur kuboid yang biasanya ditemukan berkelompok yang
berfungsi memberikan kekuatan dan kekompakan pada area yang pergerakannya terbatas.
 Tulang pipih yaitu tulang yang strukturnya mirip lempeng yang berfungsi untuk memberikan suatu
permukaan yang meluas untuk perlengketan otot dan memberikan perlindungan.
 Tulang ireguler yaitu tulang yang bentuknya tidak beraturan dengan struktur tulang yang sama
dengan tulang pendek.
 Tulang sesamoid yitu tulang kecil bulat yang masuk dalam pormasi persendian yang bersambung
dengan kartilago, ligamentum atau tulang lainnya.

2. PERSENDIAN
Persendianadalah adalah pertemuan antara 2 buah tulang atau beberapa tulang kerangka. Suatu
persendian terjadi saat permukaan dari 2 tulang bertemu yang memungkinkan adanya pergerakan
atautidak yang bergantung pada sambungannya.
a. Klasifikasi pesendian secara struktural terbagi menjadi
 Persendian fibrosa, yaitu persendian yang tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan ikat fibrosa.
 Persediaan kartilago yaitu persendian yang tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan kartilago
 Persendian sinovial yaitu persendian yang memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan kapsul
dan ligamen artikular yang membungkusnya.
b. Klasifikasi persendian menurut fungsinya dibagi menjadi :
 Sendi sinartosis (sendi mati), sendi ini dibungkus dengan jaringan ikat fibrosa atau kartilago. Sendi
jenis ini adalah antara lain :
- Sutura, yaitu sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat yang hanya ditemukan
pada tulang tengkorak. Contohn : sutura sagital dan parietal.
- Sinkodrosis, yaitu sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilagi hialin. Contoh :
lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang anak.
 Sendi amfiartosis (sendi dengan pergerakan terbatas). Sendi ini memungkinkan gerakan terbatas
sebagai respon terhadap torsi dan kompresi. Sendi jenis ini antara lain adalah :
- Simfisis, adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago, yang
menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh: simpisis pubis.
- Sindesmosis, terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan serat-serat
jaringan ikat kolagen. Contoh : ditemukan pada tulang yang bersisihan seperti radius dan ulna,
serta tibia dan fibula.
- Gomposis, adalah sendi dimana tulang berbentuk kerucut masuk dengan pas dalam kantong
tulang seperti pada gigi yang tertanam pada tulang rahang.
 Sendi diartosis (sendi dengan pergerakan bebas) disebut juga sendi sinovial. Sendi ini memiliki
rongga sendi yang berisi cairan sinovial yang terdiri dari :
- Sendi sferoidal yang terdiri dari sebuah tulang yang masuk kedalam rongga berbentuk cangkir
pada tulang lain.Contoh : sendi panggul dan bahu
- Sendi engsel, terdiri dari sebuah tulang yang masuk dengan pas pada permukaan konkaf tulang
kedua, sehingga memungkinkan gerakan satu arah
- Sendi kisar, yaitu tulang bentuk kerucut yang masuk pas cekungan tulang kedua dan dapat
berputar kesemua arah. Contoh : tulang atlas, persendian bagian kepala
- Sendi kondiloid, merupakan sendi biaksial yang memungkinkan gerakan kedua arah disudut
kanan setiap tulang. Contoh : sendi antara tulang radiusdan tulang karpal.
- Sendi pelana, permukaan tulang yang berartikulasi berbentuk konkaf disatu sisi dan konkaf pada
sisi lain, sehingga tulang akan masuk dengan pas seperti dua pelana yang saling menyatu. Satu-
satunya sendi pelana sejati yang ada dalam tubuh adalah persediaan antara tulang karpal dan
metakarpal pada ibu jari.
- Sendi peluru adalah salah satu sendi yang permukaan kedua tulang berartikulasi berbentuk
datar, sehingga memungkinkan gerakan meluncur antara satu tulang dengan tulang yang lainnya.
Persendian seperti ini disebut sendi nonaksia.

c. Pergerakan sendi
Pergerakan sendi merupakan hasil kerja otot rangka yang melekat pada tulang dan
membentuk artikulasi dengan cara memberikan tenaga. Tulang hanya berfungsi sebagai
pengungkit dan sendi sebagai penumpu.
Beberapa pergerakan sendi antara lain :
 Fleksi, adalah gerakan memperkecil sudut antara dua tulang. Contoh : saat menekuk siku,
menekuk lutut atau menekuk torso kearah lain.
- Dorsofleksi, adalah gerakan menekuk telapak kaki dipergelangan kearah depan (meninggalkan
dairah dorsal kaki)
- Plantar fleksi adalah gerakan meluruskan telapak kaki pada pergelangan kaki.
 Ekstensi, adalah gerakan yang memperbesar sudut antara dua tulang
 Abduksi, adalah gerakan bagian tubuh menjauhi garis tengah tubuh seperti gerakan abduksi jari
tangan dan jari kaki.
 Aduksi, adalah gerakan tubuh saat kembali keaksis utama tubuh (kebalikan dari gerakan abduksi)
 Rotasi, adalah gerakan tulang yang berputar disekitar aksis pusat tulang itu sendi tanpa mengalami
dislokasi lateral, seperti saat menggelengkan kepala untuk menyatakan tidak.
- Pronasi, adalah rotasi medial lengan bawah dalam posisi anatomis yang mengakibatkan telapak
tangan menghadap kebelakang.
- Supinasi yaitu rotasi lateral lengan bawah yang mengakibatkan telapak tangan menghadap
kedepan.
 Sirkumduksi, adalah kombinasi dari semua gerakan argular dan berputar untuk membuat suatu
ruang berbentuk kerucut seperti saat menagyunkan lengan berbentuk putaran
 Inversi, adalah gerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan tulapak kaki menghadap
kedalam atau kearah medial
 Eversi, adalah pergerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan tulapak kaki menghadap
kearah luar
 Protaksi, adalah memajukan bagian tubuh seperti saat menonjolkan rahang bawah kedepan atau
memfleksi girdel pektoral untuk membungkuskan dada
 Retraksi, adalah gerakan menarik bagian tubuh kearah belakang seperti saat menstraksi mandibula
 Elevasi adalah pergerakan suatu struktur kearah superiorseperti saat mengatupkan mulut
 Depresi adlah menggerakkan suatu struktur kearah inferior, seperti saat membuka mulut.

3. OTOT
Struktur jaringan otot dikhususkan untuk melakukan gerakan, baik oleh badan secara
keseluruhan gerakan, baik oleh badan secara keseluruhan maupun oleh berbagai bagian tubuh
yang satu terhadap yang lain. Sel-sel otot sangat berkembang dalam fungsi kontraktil dan tidak
begitu berkembang dalam hal konduktivitas. Kekhususan ini meliputi pemanjangan sel-selnya
sesuai sumbu kontroksi.

Pada jaringan otot, sel-sel atau serat otot itu biasanya bergabung dalam berkas-berkas, sehingga
jaringan otot tidak hanya terdiri atas serat-serat otot saja. Karena harus melakukan kerja mekanis,
serat-serat otot memerlukan banyak kapiler darah yang mendatangkan makanan dan oksigen, dan
mengangkut keluar produk sisa toksik. Pembuluh-pembuluh darah itu terdapat di dalam jaringan
ikat fibrosa, yang juga berguna untuk mengikat serat-serat otot menjadi satu dan sebagai
pembungkus, pelindung sehingga tarikan dapat berlangsung secara efektif.
Komponen-komponen sel-sel otot seperti hal-hal yang lain, tetapi memiliki istilah khusus,
membran sel disebut sarkolema, sitoplasma disebut sarkoplasma, retikulum endoplasma disebut
retikulum sarkoplasma, dan mitokondria disebut sarkosoma. Ada tiga macam otot digolongkan
berdasarkan struktur dan fungsi, yaitu otot rangka, otot jantung, dan otot polos.

a. Otot Rangka
Otot rangka disebut juga otot lurik karena sesuai namanya mempunyai bagian yang gelap dan
terang menyerupai garis lurik. Otot lurik ini terdiri dari serabut-serabut otot, apabila menggabung
semuanya disebut kulit. Setiap gabungan serabut diselaputi oleh suatu selaput disebut fasia
propria.Gabungan dari seluruh serabut diseluputi lagi oleh fase supersial.

b. Otot Polos
Otot polos berbentuk kumparan, yaitu kedua ujungnya meruncing dengan bagian tengahnya
membesar dan mempunyai satu inti sel. Kerja otot polos tidak dipengaruhi oleh kehendak
kita, maka otot ini disebut otot tak sadar. Otot polos mempunyai karakteristik yang lain, yaitu:
tidak melekat pada tulang, aktivitasnya lambat dan teratur, mampu berkontraksi dalam waktu
yang lama, tidak mudah lelah, gerakannya berada dalam kendali saraf otonom (tidak sadar),
banyak dijumpai di lambung, usus, indung telur paru-paru, dan pembuluh darah.
c. Otot Jantung
Terdiri dari serabut otot yang bercabang-cabang dan berinti banyak. Kerja otot jantung
kontraksinya dipengaruhi oleh saraf tidak sadar. Otot jantung terus berkontraksisepanjang waktu
dengan gerakan yang teratur berirama dalam memompa darah keseluruh tubuh. Denyut jantung
disebabkan kontraksi otot jantung secara normal. Pada orang dewasa berlangsung 72 kali setiap
menit. Setiap berkontraksi sangat memerlukan oksigen yang cukup. Bila jantung tidak mendapat
oksigen selama 30 detik saja, kontraksi jantung akan berhenti.

D. JENIS FRAKTUR
1.Berdasarkan sifat fraktur
a.Fraktur tertutup
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar
b. Fraktur terbuka
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar
1. Derajat I
Luka < 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda luka remuk
2. Derajat II
Laserasi > 1 cm, kerusakan jaringan lunak, flap/avulsi
3. Derajat III
Kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta
kontaminasi derajat tinggi.

2. Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur


a. Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser dari posisi
normal)
b. Fraktur inkomplit
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang
Misal : Hair line fraktur, Green stick(fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
yang lain membengkok)
3. Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma
a. Fraktur transversal
Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
b. Fraktur oblik
Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma
langsung
c. Fraktur spiral
Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
d. Fraktur kompresi
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
4. Istilah lain
a. Fraktur komunitif
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
b. Fraktur depresi
Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan
tulang wajah).

c. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor, metastasis tulang).
d. Fraktur avulsi
Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.

E. ETIOLOGI
Beberapa penyebab dari fraktur diantaranya :
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang,
cedera;jatuh/kecelakaan).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, yaitu terkena bukan pada bagian langsung yang
terkena trauma. misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi
fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada
“underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis, misalnya; osteoporosis,
kanker tulang metastase.
4. Penyebab lainnya, misalnya; Patah karena letih, Olahraga atau latihan yang berlebihan

D. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala yang dapat muncul pada klien dengan fraktur, diantaranya:
a. Nyeri sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan.
b. Hilangnya fungsi pada daerah fraktur.
c. Edema/bengkak dan perubahan warna local pada kulit akibat trauma yang mengikuti fraktur.
d. Deformitas/kelainan bentuk.
e. Rigiditas tulang/ kekakuan
f. Krepitasi saat ekstremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang akibat gesekan
fragmen satu dengan yang lain.
g. Syok yang disebabkan luka dan kehilangan darah dalam jumlah banyak.

F. PATOFISIOLOGI

Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena kecelakaan
bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau putusnya kontinuitas jaringan
tulang. Selain itu keadaan patologik tulang seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas
tulang menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian tulang dan
kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat merobek
periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf sehingga
dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut
kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II fraktur terbuka yang
disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan. Grade III kerusakan pada
kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas pada kulit otot periosteum dan
sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat masuk ke dalam
pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian dapat menyumbat
pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ vital seperti otak
jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat menyebabkan infeksi. Gejala sangat cepat biasanya
terjadi 24 sampai 72 jam. Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia, takipnea, takikardi.
Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan, mengakibatkan kehilangan
fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf sehingga menimbulkan kesemutan (baal), kulit
pucat, nyeri dan kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan dalam jumlah besar dapat mengakibatkan
syok hipovolemik. Tindakan pembedahan penting untuk mengembalikan fragmen yang hilang
kembali ke posisi semula dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila perubahan
susunan tulang dalam keadaan stabil atau beraturan maka akan lebih cepat terjadi proses
penyembuhan fraktur dapat dikembalikan sesuai letak anatominya dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan
arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur
seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang.
b. CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan.
c. Darah lengkap: HT meningkat (hemokonsentrasi), HB menurun (akibat adanya perdarahan).
d. Arteriografi, bila diduga ada kerusakan pada vaskuler.
e. Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang
bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.

H. KOMPLIKASI

1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2) Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan
karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan
perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.

I. PENATALAKSANAAN MEDIK

a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap
dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode
tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus,
roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur;
harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang
telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur
dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada
sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen
tulang.
3) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka
diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi
fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara
teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union
(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ
anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan
hambatan lain dalam melakukan gerakan)
4) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang
mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation)
diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih
baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler,
pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid,
dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and
external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi
eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada anak untuk menghindari fiksasi pin pada
daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif
yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada
keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin
dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan
batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar,
sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi
eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft,
dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan
pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam
masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi
fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi
perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas
untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi
kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari
disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada
kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis
pada tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan
imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis
serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk
melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin
5) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan,
gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
6) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik
dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada
ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

J. PATHWAY
Terlampir

K. Asuhan Keperawatan
Pengkajian

 Pre Operasi

a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan


- Kegiatan yang beresiko cidera.
- Riwayat penyakit yang menyebabkan jatuh.
- Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan.
b. Pola nutrisi metabolik
- Adanya gangguan pola nafsu makan karena nyeri.
- Observasi terjadinya perdarahan pada luka dan perubahan warna kulit di sekitar luka, edema.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi karena imobilisasi
d. Pola aktivitas dan latihan
- Kesemutan, baal
- Ada riwayat jatuh atau terbentur ketika sedang beraktivitas
- Tidak kuat menahan beban berat
- Keterbatasan mobilisasi
- Berkurangnya atau tidak terabanya denyut nadi pada daerah distal injury, lambatnya kapiler
refill tim
e. Pola tidur dan istirahat
- Tidak bisa tidur karena kesakitan
- Sering terbangun karena kesakitan
f. Pola persepsi kognitif
- Nyeri pada daerah fraktur
- Kesemutan dan baal pada bagian distal fraktur
- Paresis, penurunan atau kehilangan sensasi
g. Pola persepsi dan konsep diri
- Rasa khawatir akan dirinya karena tidak dapat beraktivitas seperti keadaan sebelumnya
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Merasa tidak ditolong
- Kecemasan akan tidak melakukan peran seperti biasanya

 Post Operasi
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
- Kegiatan yang beresiko cidera.
- Pengetahuan pasien tentang perawatan luka di rumah
b. Pola nutrisi metabolik
- Adanya gangguan pola nafsu makan karena nyeri.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi karena imobilisasi
d. Pola aktivitas dan latihan
- Keterbatasan beraktivitas
- Hilangnya gerakan atau sensasi spasme otot
- Baal atau kesemutan
- Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera
- Perdarahan, perubahan warna
e. Pola tidur dan istirahat
- Tidak bisa tidur karena kesakitan luka operasi
- Sering terbangun karena kesakitan
f. Pola persepsi kognitif
- Keluhan lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri
- Nyeri pada luka operasi
- Tidak adanya nyeri akibat kerusakan saraf
- Pembengkakan, perdarahan, perubahan warna
g. Pola persepsi dan konsep diri
- Rasa khawatir akan dirinya Karena tidak dapat beraktivitas seperti keadaan sebelumnya
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Merasa tidak tertolong
- Kecemasan akan tidak melakukan peran seperti

2) Diagnosa Keperawatan

 Pre Operasi

a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder pada fraktur, edema.
b. Imobilisasi fisik berhubungan dengan cidera jaringan sekitar/fraktur.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan jaringan lunak.
d. Cemas berhubungan dengan prosedur pengobatan.
e. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran
darah: cedera vaskuler langsung, edema, pembentukan trombus.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka.
g. Resiko tinggi embolik lemak berhubungan dengan fraktur tulang panjang.

 Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post pembedahan.
c. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi.
e. Ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.

Rencana Keperawatan
 Pre Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder pada fraktur, edema.
HYD: Nyeri berkurang sampai hilang ditandai dengan:
- Intensitas nyeri 2-3
- Ekspresi wajah rileks
- Tidak merintih
Rencana Tindakan:
1) Kaji lokasi nyeri dan intensitas nyeri.
Rasional: Mengetahui tindakan yang dilakukan selanjutnya.
2) Pertahankan imobilisasi pada bagian yang sakitnya.
Rasional: Mengurangi nyeri
3) Ajarkan teknik relaksasi.
Rasional: Mengurangi nyeri pada saat nyeri timbul.
4) Jelaskan prosedur sebelum melakukan tindakan.
Rasional: Mempersiapkan pasien untuk lebih kooperatif.
5) Beri posisi yang tepat secara berhati-hati pada area fraktur.
Rasional: Meminimalkan nyeri, mencegah perpindahan tulang.
6) Beri kesempatan untuk istirahat selama nyeri berlangsung.
Rasional: Untuk mengurangi nyeri.
7) Kolaborasi dalam pemberian terapi medik: analgetik.
Rasional: Mengatasi nyeri.

b. Imobilisasi fisik berhubungan dengan cidera jaringan sekitar/fraktur.


HYD: Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri dalam waktu bertahap ditandai dengan: higiene
perseorangan, nutrisi dan eliminasi terpenuhi dengan bantuan.
Rencana Tindakan:
1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas pasien.
Rasional: Menentukan intervensi yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.
2) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak dapat dilakukan secara mandiri.
Rasional: Mengurangi nyeri dan semakin parahnya fraktur.
3) Dekatkan barang-barang yang dibutuhkan pasien.
Rasional: Meningkatkan kemandirian pasien.
4) Perhatian dan bantu personal higiene.
Rasional: Mencegah komplikasi dan kerusakan integritas kulit.
5) Ubah posisi secara periodik sejak 2 jam sekali.
Rasional: Mencegah komplikasi dekubitus.
6) Libatkan keluarga dalam memberikan asuhan kepada pasien.
Rasional: Memberi motivasi pada pasien.
7) Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional: Mencegah nyeri yang berlebihan.

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan jaringan lunak.
HYD: Tidak ada tanda-tanda infeksi ditandai dengan:
- Suhu normal 36-37oC
- Tidak ada kemerahan, tidak ada edema, luka bersih.
Rencana Tindakan:
1) Observasi TTV terutama suhu.
Rasional: Peningkatan suhu menunjukkan adanya infeksi.
2) Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.
Rasional: Luka yang kotor dan basah merupakan media yang baik untuk mikroorganisme berkembang
biak.
3) Tutup daerah yang luka dengan kasa steril/balutan bersih.
Rasional: Mencegah kuman/mikroorganisme masuk.
4) Rawat luka dengan teknik aseptik.
Rasional: Mencegah mikroorganisme berkembang biak.
5) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian antibiotik.
Rasional: Menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

d. Cemas berhubungan dengan prosedur pengobatan.


HYD: Cemas berkurang ditandai dengan:
- Pasien mengerti penjelasan yang diberikan oleh perawat mengenai pengobatan.
- Pasien kooperatif saat dilakukan perawatan.
- Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemas.
Rencana Tindakan:
1) Kaji tingkat kecemasan.
Rasional: Mengidentifikasi intervensi selanjutnya.
2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: Mengidentifikasi tingkat kecemasan.
3) Jelaskan pada pasien prosedur pengobatan.
Rasional: Mengurangi tingkat kecemasan pasien.
4) Berikan lingkungan yang nyaman.
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi tingkat kecemasan.
5) Libatkan keluarga dalam memberikan support.
Rasional: Memberi dukungan dan mengurangi rasa cemas pasien.

e. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran


darah: cedera vaskuler langsung, edema, pembentukan trombus.
HYD: Mempertahankan perfusi jaringan ditandai dengan:
- Terabanya nadi, kulit hangat atau kering, tanda vital stabil.
Rencana Tindakan:
1) Observasi nadi perifer distal terhadap cidera melalui palpasi. Bandingkan dengan ekstremitas
yang sakit.
Rasional: Penurunan/tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera vaskuler dan perlunya evaluasi medik
segera terhadap status sirkulasi.
2) Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional: Warna kulit putih menunjukan gangguan arterial.
3) Lakukan pengkajian neuromuskuler, minta pasien untuk melokalisasi nyeri.
Rasional: Gangguan perasaan kebas, kesemutan, peningkatan/ penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi pada
saraf tidak adekuat atau saraf rusak.
4) Beri motivasi untuk melakukan latihan pada ekstremitas yang cedera.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah khususnya pada ekstremitas bawah.
5) Awasi tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat/sianosis umum, kulit dingin, perubahan mental.
Rasional: Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.

f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka.


HYD: Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.
Rencana Tindakan:
1) Kaji kulit pada luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, kelabu,
memutih.
Rasional: Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat
dan atau pemasangan gips/bebat atau traksi.
2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: Peningkatan terutama suhu merupakan tanda-tanda infeksi.
3) Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.
Rasional: Menurunkan tekanan pada area yang peka dan risiko abrasi/kerusakan kulit.
4) Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan tulang.
Rasional: Meminimalkan tekanan pada area ini.
5) Ubah posisi tidur secara periodik tiap 2 jam.
Rasional: Meminimalkan resiko kerusakan kulit.

g. Resiko tinggi embolik lemak berhubungan dengan fraktur tulang panjang.


HYD:
Rencana Tindakan:
1) Monitor perubahan status mental yang disebabkan oleh hipoksemia: gejala dari distress
pernafasan akut seperti: kegelisahan, konfusi, nyeri dada, takipnea, sianosis, dispnea, takikardi.
Rasional: Mengidentifikasi keadaan fisik pasien.
2) Jika ada indikasi, kaji O2 saturasi dengan oksimetri.
Rasional: Mengidentifikasi intervensi selanjutnya.
3) Pertahankan imobilisasi pada daerah yang fraktur.
Rasional: Mengurangi terjadinya emboli lemak.
4) Berikan oksigen bila ada indikasi.
Rasional: Memenuhi kebutuhan O2.

 Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan.
HYD: Nyeri berkurang sampai hilang ditandai dengan:
- Intensitas nyeri 0-2.
- Ekspresi wajah rileks.
Rencana Tindakan:
1) Kaji lokasi dan intensitas nyeri.
Rasional: Mengetahui intervensi yang dilakukan selanjutnya.
2) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit.
Rasional: Menghilangkan nyeri.
3) Tinggikan ekstremitas yang fraktur.
Rasional: Menurunkan rasa nyeri.
4) Anjurkan teknik relaksasi nafas dalam.
Rasional: Mengurangi nyeri.
5) Observasi TTV tiap 4 jam.
Rasional: Peningkatan TTV menunjukkan adanya rasa nyeri.
6) Kolaborasi dalam memberikan terapi analgetik.
Rasional: Mengurangi nyeri.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post pembedahan.


HYD: Kulit kembali utuh ditandai dengan:
- Luka jahitan dapat tertutup.
Rencana Tindakan:
1) Kaji kulit untuk luka terbuka.
Rasional: Mengontrol perkembangan mikroorganisme di daerah luka.
2) Bantu ubah posisi.
Rasional: Mencegah luka tekan.
3) Masase kulit dan penonjolan tulang.
Rasional: Mencegah luka tekan.
4) Bersihkan kulit dengan sabun dan air bila menggunakan traksi.
Rasional: Mengurangi perkembangan mikroorganisme.

c. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi.


HYD: Mempertahankan mobilitas fisik ditandai dengan:
- Pasien mau beraktivitas secara perlahan.
Rencana Tindakan:
1) Kaji derajat mobilitas yang dapat dilakukan.
Rasional: Untuk menyusun rencana selanjutnya.
2) Bantu untuk mobilisasi menggunakan kursi roda/tongkat.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan.
3) Bantu dalam higiene perorangan.
Rasional: Meningkatkan kesehatan diri.
4) Ubah posisi secara periodik.
Rasional: Menurunkan komplikasi lesi kulit.

d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi.


HYD: Infeksi tidak terjadi ditandai dengan:
- Pasien tidak mengalami infeksi tulang
- Suhu tubuh normal antara 36-37oC
Rencana Tindakan:
1) Observasi TTV.
Rasional: Peningkatan TTV menunjukkan adanya infeksi.
2) Rawat luka operasi dengan teknik antiseptik.
Rasional: Mencegah dan menghambat berkembang biaknya bakteri.
3) Tutup daerah luka dengan kasa steril.
Rasional: Kasa steril menghambat masuknya kuman ke dalam tubuh.
4) Jaga daerah luka operasi tetap bersih dan kering.
Rasional: Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi berkembang biaknya bakteri.
5) Beri terapi antibiotik sesuai program medik.
Rasional: Antibiotik menghambat berkembang biaknya bakteri.

e. Ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
HYD: Pasien dapat mengetahui aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
Rencana Tindakan:
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan perawatan di rumah.
Rasional: Menilai tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan di rumah.
2) Anjurkan pasien untuk melakukan latihan aktif dan pasif secara teratur.
Rasional: Dapat mencegah terjadinya kontraktur pada tulang.
3) Beri kesempatan pada pasien untuk dapat bertanya.
Rasional: Hal yang kurang jelas dapat diklarifikasikan kembali.
4) Anjurkan pasien untuk mentaati terapi dan kontrol tepat waktu.
Rasional: Mencegah keadaan yang dapat memperburuk keadaan fraktur.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth, 2000, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 3, EGC, Jakarta

Corwin, Elizabeth J., 2000. Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta

Doengus E. Marilynn., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta

Mansjoer, Arif., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid 2, Media Aesculapiu, Jakarta

Price, Sylvia Anderson., 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, vol 2,

EGC, Jakarta
Sutedjo, AY., 2008, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratarium, Amara

Books, Jakarta

Diposting 16th May 2013 oleh Alva Cherry

Lihat komentar

BLOG KEPERAWATAN

 Klasik
 Kartu Lipat
 Majalah
 Mozaik
 Bilah Sisi
 Cuplikan
 Kronologis

1.

May

16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN


KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
FRAKTUR
1. PENGERTIAN
Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis
(tulang lepas dari sendi) (brunner&suddarth).
Keluarnya (bercerainya)kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan
yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, dkk. 2000).
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang di sertai luksasi
sendi yang disebut fraktur dis lokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat
hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat
yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali
sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain:
sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul
(paha). Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa
nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor.
Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.

2. KLASIFIKASI
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi congenital :
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik :
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang.
Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatic :
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan
akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga
dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1) Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
2) Dislokasi Kronik
3) Dislokasi Berulang
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang
minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.

Berdasarkan tempat terjadinya :


1. Dislokasi Sendi Rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena :
a. Menguap atau terlalu lebar.
b. Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya
kembali.
2. Dislokasi Sendi Bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi
anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior).
3. Dislokasi Sendi Siku
Merupakan mekanisme cederanya biasanya jatuh pada tangan yg dapat menimbulkan dislokasi sendi siku
ke arah posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang
siku.
4. Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi
kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung tangan.
5. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal dan Interphalangeal
Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperekstensi-ekstensi persendian.
6. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi
posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus acetabulum (dislokasi
sentra).
7. Dislokasi Patella
a. Paling sering terjadi ke arah lateral.
b. Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella sambil
mengekstensikan lutut perlahan-lahan.
c. Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.

3. ETIOLOGI
Dislokasi disebabkan oleh :
a. Cedera olah raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang
beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak
bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap
bola dari pemain lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga
c. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
d. Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
e. Patologis : terjadinya ‘tear’ligament dan kapsul articuler yang merupakan
kompenen vital penghubung tulang

4. PATOFISIOLOGI
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan ,merobek
kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti
jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan
tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid).

5. MANIFESTASI KLINIS
1. Deformitas pada persendiaan
Kalau sebuah tulang diraba secara sering akan terdapat suatu celah.
2. Gangguan gerakan
Otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
3. Pembengkakan
Pembengkakan ini dapat parah pada kasus trauma dan dapat menutupi deformitas.
4. Rasa nyeri sering terdapat pada dislokasi
Sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi pangkal paha servikal.
5. Kekakuan.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Dengan cara pemeriksaan Sinar –X ( pemeriksaan X-Rays ) pada bagian anteroposterior akan
memperlihatkan bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid, Kaput biasanya
terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi.
7. KOMPLIKASI
a. Dini
1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin
terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut
2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
3) Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut
1) Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama
pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi
abduksi
2) Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher
glenoid
3) Kelemahan otot
8. PENATALAKSANAAN
a. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4X sehari yang berguna
untuk mengembalikan kisaran sendi
b. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi.
c. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi
stabil.
d. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.

LANDASAN TEORI ASKEP

1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari disklokasi yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah
diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses
penyembuhan.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada penderita Dislokasi pemeriksan fisik yang diutamakan adalah nyeri, deformitas, fungsiolesa
misalnya: bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi anterior bahu.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kegagalan untuk mencerna atau
ketidakmampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel
darah merah.
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
e. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh.

3. Intervensi Keperawatan
1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan.
Tujuan asuhan keperawatan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan rasa nyeri
teratasi, dengan kriteria hasil :
a. Klien tampak tidak meringis lagi.
b. Klien tampak rileks.
Rencana Tindakan / Rasional:
· Kaji skala nyeri
Rasional : Mengetahui intensitas nyeri.
· Berikan posisi relaks pada pasien.
Rasional : Posisi relaksasi pada pasien dapat mengalihkan focus pikiran pasien pada nyeri.
· Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional : Tehnik relaksasi dan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.
· Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktifitas hiburan.
Rasional : Meningkatkan relaksasi pasien.
· Kolaborasi pemberian analgesik.
Rasional : Analgesik mengurangi nyeri

2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi.
Tujuan asuhan keperawatan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan gangguan
mobilitas fisik klien teratasi, dengan kriteria hasil :
a. Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).
b. Klien menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan
tekanan darah masih dalam rentang normal.
Rencana Tindakan / Rasional:
· Kaji tingkat mobilisasi pasien.
Rasional : Menunjukkan tingkat mobilisasi pasien dan menentukan intervensi selanjutnya.
· Berikan latihan ROM.
Rasional : Memberikan latihan ROM kepada klien untuk mobilisasi.
· Anjurkan penggunaan alat bantu jika diperlukan.
Rasional : Alat bantu memperingan mobilisasi pasien.
· Monitor tonus otot
Rasional : Agar mendapatkan data yang akurat.
· Membantu pasien untuk imobilisasi baik dari perawat maupun keluarga.
Rasional : Dapat membantu pasien untuk imobilisasi.

3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna
atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan
sel darah merah.
Tujuan asuhan keperawatan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil :
a. Klien menunjukkan peningkatan atau mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium
normal
b. Tidak mengalami tanda mal nutrisi.
c. Klien menunjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat badan yang sesuai.
Rencana Tindakan / Rasional:
· Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi
· Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
Rasional : Mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
· Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
· Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
Rasional : Menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster.
· Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.
Rasional : Gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ
· Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi
halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral
luka
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Teknik perawatan mulut khusus
mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.
· Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
Rasional : Membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
· Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.
Rasional : Meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang
dibutuhkan.
· Kolaborasi; berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : Kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral
yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.
4) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
Tujuan asuhan keperawatan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kecemasan
pasien teratasi, dengan kriteria hasil :
a. Klien tampak rileks
b. Klien tidak tampak bertanya-tanya.
Rencana Tindakan / Rasional:
· Kaji tingakat ansietas klien.
Rasional : Mengetahui tingakat kecemasan pasien dan menentukan intervensi selanjutnya.
· Bantu pasien mengungkapkan rasa cemas atau takutnya.
Rasional : Mengali pengetahuan dari pasien dan mengurangi kecemasan pasien.
· Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur yang akan dijalaninya.
Rasional : Agar perawat mengetahui seberapa tingkat pengetahuan pasien dengan penyakitnya.
· Berikan informasi yang benar tentang prosedur yang akan dijalani pasien.
Rasional : Agar pasien mengerti tentang penyakitnya dan tidak cemas lagi.

5) Gangguan body image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh.
Tujuan asuhan keperawatan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan gangguan
body image teratasi.
Rencana Tindakan / Rasional:
· Kaji konsep diri pasien
Rasional : Dapat mengetahui pasien.
· Kembangkan BHSP dengan pasien.
Rasional : Menjalin saling percaya pada pasien.
· Bantu pasien mengungkapkan masalahnya
Rasional : Menjadi tempat bertanya pasien untuk mengungkapkan masalahnya.
· Bantu pasien mengatasi masalahnya.
Rasional : Mengetahui masalah pasien dan dapat memecahkannya.
DEFINISI
Dislokasi adalah cedera struktur ligameno di sekitar sendi, akibat gerakan menjepit atau
memutar / keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan, secara
anatomis (tulang lepas dari sendi). (Brunner & Suddarth. 2001).
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi
merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, 2000).

Dislokasi merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen penyangga yang
mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi sesudah gerakan memuntuir yang tajam
(Kowalak, 2011).

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini
terdapat hanya kepada komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh
komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).

B. ETIOLOGI
1. Umur
Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta kekenyalan
jaringan. Misalnya pada umur 30- 40 tahun kekuatan otot akan relative menurun. Elastisitas
tendon dan ligamen menurun pada usia 30 tahun.
2. Terjatuh atau kecelakan
Dislokasi dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga lutut mengalami
dislokasi.
3. Pukulan
Dislokasi lutut dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian lututnya dan
menyebabkan dislokasi.
4. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi keseleo karena kurangnya pemanasan.
5. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
6. Cedera olahraga. Pemain basket dan kiper pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi
pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
7. Terjatuh. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.
8. Kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Adanya bengkak / oede
2. Mengalami keterbatasan gerak
3. Adanya spasme otot(kekauan otot)
4. Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
5. Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
6. Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri
7. Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan sekitarnya (tampak
kemerahan).
8. Perubahan kontur sendi
9. Perubahan panjang ekstremitas
10. Kehilangan mobilitas normal
11. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
D. ANATOMI & FISIOLOGI

Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan.


Komponen utama sistem meskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sitem ini terdiri atas tulang,
sendi, otot rangka, tendon, ligamen, dan jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur
ini.
Secara garis besar, tulang dibagi menjadi enam :
1. Tulang panjang : misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus.
Didaerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini
merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah.
2. Tulang pendek : misalnya tulang-tulang karpal.
3. Tulang pipih : misalnya tulang parietal, iga, skapula dan pelvis.
4. Tulang tak beraturan : misalnya tulang vertebra.
5. Tulang sesamoid : misalnya tulang patela
6. Tulang sutura : ada di atap tengkorak.
Histologi tulang :
1. Tulang imatur : terbentuknya pada perkembangan embrional dan tidak terlihat lagi pada usia 1
tahun. Tulang imatur mengandung jaringan kolagen.
2. Tulang matur : ada dua jenis, yaitu tulang kortikal (compact bone) dan tulang trabekular
(spongiosa).
Secara histologi, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel, dan jaringan
kolagen.

Fisiologi sel tulang

Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel : osteoblas,
osteosit, osteoklas.
1. Osteoblas, membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai
matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi.
2. Osteosit, sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi
melalui tulang yang padat.
3. Osteoklas, sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat
diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel ini menghasilkan
enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang
sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam aliran darah.
Dalam keadaan normal, tulang mengalami pembentukan dan absorpsi pada suatu tingkat
yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak yang lebih banyak terjadi
pembentukan dari pada absorpsi tulang. Proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan
ini membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan mencegah terjadi
patah tulang.

Bentuk tulang dapat disesuaikan untuk menanggung kekuatan mekanis yang semakin
meningkat. Perubahan membantu mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan.
Matriks organi yang sudah tua berdegenerasi sehingga membuat tulang relatif menjadi lemah dan
rapuh. Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks organik baru sehingga memberi
tambahan kekuatan pada tulang.

Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Peningkatan kadar hormon paratiroid
mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang,yang menyebabkan kalsium dan fosfat
diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan
meneyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteklas sehingga terjadi demineralisasi.
Metabaolisme kalsium dan fosfat sangat berkaitan erat. Tulang mengandung 99% dari seluruh
kalsium tubuh dan 90% dari seluruh fosfat tubuh.

Vitamin D memengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar
dapat menyebabkan absropsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang
tinggi. Bila tidak ada vitamin D,hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang.
Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang,antara lain dengan
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.
Anatomi Sendi

Sendi adalah tempat pertemuan dua tulang atau lebih. Tulang-tulang ini dipadukan
dengan berbagai cara,misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau
otot. Ada 3 tipe sendi sebagai berikut :

1. Sendi fibrosa (sinartrodial),merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa tidak
memiliki lapisan tulang rawan. Tulang yang satu dengan tulang lainnya dihubungkan oleh
jaringan penyambung fibrosa.
2. Sendi kartilaginosa (amfiartrodia), merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak. Sendi
kartilaginosa adalah sendi yang ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh tulang rawan hialin,
disokong oleh ligamen, dan hanya dapat sedikit bergerak.
3. Sendi sinovial (diartrodial), merupakan sendi yang dapat digerakkan dengan bebas. Sendi ini
memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.
Kapsul sendi terdiri dari selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang
terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak, serta sinovium yang
membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi dan membungkus tendon-tendon yang
melintasi sendi. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan
sendi. Cairan sinovial normalnya bening , tidak membeku, dan tidak berwarna, jumlah yang
ditimbulkan dalam tiap-tiap sendi relatif kecil (1-3ml).

Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe,atau
persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang
membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen dan pembentukan proteoglikan
dapat terjadi setelah cedera atau ketika usia bertambah.beberapa kolagen baru pada tahap ini
mulai membentuk kolagen tipe satu yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian
kemampuan hidrofiliknya. Perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya
untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat.

Aliran darah kesendi banyak yang menuju sinovium. Pembuluh darah mulai masuk
melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal dibagian
sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan
didalam plasma berdifusi dengan mudah kedalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat
menonjol disinovium karena didaerah tersebut banyak mendapat aliran darah dan juga terdapat
banyak sel mast dan sel lain serta zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk merangsang
dan memperkuat respon peradangan.

Jaringan yang ditemukan pada sendi dan daerah yang berdekatan terutama adalah
jaringan penyambung yang tersusun dari sel-sel dan substansi dasar. Dua macam sel yang
ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel yang tidak dibuat dan tetap berada pada
jaringan penyambung ( seperti sel mast, sel palsma, limfosit, monosit, dan leukosit
polimorfonuklear).

Serat- serat yang terdapat pada substansi dasar adalah kolagen dan elastin. Kolagen dapat
dipecahkan oleh kerja kolagenase. Serat-serat elastin memiliki sifat elastis, serat ini terdapat
dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar, dan kulit. Elastin dipecahkan oleh enzim yang
disebut elastase.

E. KLASIFIKASI
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor,
infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik : Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami
stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat edema (karena mengalami pengerasan).
Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular.
Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1. Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi.
2. Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut
dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder
joint dan patello femoral joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur
yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus
atau kontraksi otot dan tarikan.
Berdasarkan tempat terjadinya :
1. Dislokasi Sendi Rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena :
a. Menguap atau terlalu lebar.
b. Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup
mulutnya kembali.
1. Dislokasi Sendi Bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid
(dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior).
2. Dislokasi Sendi Siku
Merupakan mekanisme cederanya biasanya jatuh pada tangan yang dapat menimbulkan
dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan
sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku.
3. Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi
tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan
atau punggung tangan.
4. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum
(dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus
acetabulum (dislokasi sentra).
5. Dislokasi Patella
a. Paling sering terjadi ke arah lateral.
b. Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella sambil
mengekstensikan lutut perlahan-lahan.
c. Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
d. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan
tarikan.

F. P ATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang
mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari
adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya
penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan
dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan
pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan struktur. Dan yang
terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu dilakukan adanya reposisi.
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu masalah yang disebut
dengan dislokasi yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan mengalami kerusakan
serabut dari rusaknya serabut yang ringan maupun total ligamen akan mengalami robek dan
ligamen yang robek akan kehilangan kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat
pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema. Sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi
terasa sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2 sampai 3 jam setelah
cedera akibat membengkak dan pendarahan yang terjadi maka menimbulkan masalah yang
disebut dengan dislokasi.

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan keperawatan
a. Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
R : Rest = Diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting untuk mencegah
kerusakan jaringan lebih lanjut.
 I : Ice = Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa nyeri.
C : Compression = Membalut gunanya membantu mengurangi pembengkakan jaringan
dan pendarahan lebih lanjut.
E : Elevasi = Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi oedema (pembengkakan) dan
rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1. Kompres dingin
Teknik : potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak tembus air lalu kompreskan
pada bagian yang cedera. Lamanya : dua puluh – tiga puluh menit dengan interval kira-kira
sepuluh menit.
2. Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus dengan lama lima -
tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang waktu sepuluh menit.
3. Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam bak air dingin yang
dicampur dengan es. Lamanya sepuluh – dua puluh menit.
4. Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane ke bagian tubuh yang
cedera.
c. Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan pelan-pelan
dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
Penatalaksanaan medis : Farmakologi
1. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri. Berikut contoh obat
analgetik :
a. Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa 1tablet atau 3tablet
perhari, anak > 5tahun setengah sampai 1tablet, maksimum 1 ½ sampai 3tablet perhari.
b. Bimastan :
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ; Indikasi : nyeri persendian,
nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif, tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping :
mual muntah, agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal 500mg lalu 250mg tiap 6jam.
2. Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).
3. Pemasangan pembalut elastis atau gips, atau jika keseleo berat, pemasangan gips lunak atau
bidai untuk imobilisasi sendi.
4. Pembedahan yang segera dilakukan untuk mempercepat kesembuhan, termasuk penjahitan
kedua ujung potongan ligamen agar keduanya saling merapat.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi dislokasi meliputi :
1. Komplikasi dini
 Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak dapat mengerutkan oto deltoid dan
mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tersebut.
 Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
 Fraktur dislokasi
 Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya nadi,CRT(capillary
refill time) menurun,sianosis pada bagian distal,hematoma melebar,dan dingin pada ekstremitas
yang disebabkan oleh tindakan darurat spilinting,perubahan posisi pada yang sakit,tindakan
reduksi,dan pembedahan.
2. Sindrome kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema atau
perdarahan yang menentukan otot, saraf dan pembuluh darah, atau karena tekanan dari luar
seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat
3. Komplikasi lanjut
4. Kekakuan sendi bahu
Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu. Terjadinya
kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
5. Kelemahan otot
6. Dislokasi yang berulang
Terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.

ASKEP TEORITIS
1. Pengkajian
1. Identitas
Nama ,umur , pendidikan , suku bangsa , pekerjaan , penanggung jawab, agama, status
kawin , alamat , no medical record , ruang rawat , tanggal masuk , diagnosa medic , yang
mengirim/merujuk , tinggi badan/berat badan , sumber informasi.
2. TTV
a. Nadi :
b. Pernapasan :
c. Tekanan darah :
d. Suhu :
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita
klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses
penyembuhan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien mengeluhkan nyeri pada bagian yang terjadi dislokasi,
pergerakan terbatas, klien melaporkan penyebab terjadinya cedera. Biasanya dislokasi terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, benturan benda keras pada sendi, jatuh dari
pohon, dll.
c. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini sebelumnya. Dan
penyakit ini bukan merupakan penyakit turunan.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Rambut dan hygiene kepala
- Warna rambut : Hitam
- Keadaan rambut : Bersih, tidak rontok.
- Kulit kepala : Bersih, tidak ada ketombe.
- Bau : Rambut pasien tidak berbau.
b. Wajah
Mata
- Posisi : Simetris kiri kanan
- Konjungtiva : Menutupi pupil , anemis.
- Sklera : Putih, tidak ikterik, tidak ada pembesaran palpebrae.
- Pupil : Isokor kiri kanan = 3 mm
Respon cahaya baik.
Hidung : Biasanya normal, simetris kiri kanan
Tidak ada peradangan polip.
Tidak ada sekret.
Tidak ada perdarahan.
Telinga
- Bentuk : Simetris kiri kanan.
- Pendengaran : Normal.
- Serumen : Tidak ada.
Bibir : Biasanya normal, tidak ada oedema.
Mukosa bibir lembab.
Tidak ada stomatitis dan apthae (Sariawan).
Mulut tidak berbau
Gigi : Biasanya normal.
Tidak ada caries gigi, karang gigi.
Tidak ada abses dan gusi tidak meradang.
Lidah : Biasanya normal, bersih.
c. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid & getah bening.
JVP : 5 -2 cm air (normal).
d. Dada dan Thorax
- Inspeksi : biasanya dada simetris kiri kanan ,tidak ada edema ,tidak ada kelainan bentuk
dada.
- Palpasi : biasanya getaran dada kiri kanan sama (vocal fremitus)
- Perkusi : biasanya bunyi suara nya sonor
- Auskultasi : bunyi nafasnya vesikuler (inspirasi lebih panjang dari ekspirasi)

e. Jantung
- Inspeksi : Biasanya ictus cordis terlihat.
- Palpasi : Biasanya ictus cordis teraba.
- Perkusi : Biasanya bunyi jantung redup atau pekak.
- Auskultasi : Biasanya tidak didapatkan bunyi jantung tambahan.
f. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk perut , Biasanya tidak membuncit.
Dinding perut, Sirkulasi kolateral ada.
- Auskultasi : Bising usus 5-35x/i (normal)
- Palpasi : Tidak ada pembesaran pada abdomen, hepar tidak teraba.
Turgor kulit : normal, kulit tampak bagus.
- Perkusi : Tympani (normal).
g. Ekstremitas
Biasanya ektremitasnya bermasalah karena terjadi pergeseran antara tulang dan sendi
h. Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I : pada klien dislokasi fungsi saraf I tidak ada kelainan, fungsi penciuman tidak ada
kelainan .
 Saraf II : setelah dilakukan tes ,ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
 Saraf III , IV dan V : biasanya tidak ada gangguan mengangkat , kelopak mata dan pupil isokor.
 Saraf VI : klien dislokasi umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan
biasanya refleks kornea tidak ada kelainan.
 Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris .
 Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tulikonduktif dan tuli persepsi .
 Saraf IX dan X : kemapuan menelan baik.
 Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
 Saraf XII : lidah simetris , tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi . indra
pengecapan normal.
 Pemeriksaan refleks : biasanya tidak didapatkan refleks patologis.
 Pemekriksaan sensorik : biasanya fungsi sensorik tidak ada kelainan.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
pada jaringan lunak, pemasangan alat / traksi.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan
kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah
: cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus.
3. Rencana Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1. Nyeri Akut NOC NIC
Definisi : Pengalaman sensori dan
- Pain level  Lakukan pengkajian
emosional yang tidak menyenangkan
- Pain control nyeri : secara
yang muncul akibat kerusakan jaringan
- Comfort level komprehensif termasuk
yang aktual atau pontensial Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik,
digambarkan dalam 
kerusakan Mampu mengontrol durasi, frekuensi,
sedemikian rupa (Internasional nyeri (tahu penyebab kualitas dan faktor
Association for the study og Pain) : nyeri, mampu presipitasi.
awitan yang tiba-tiba atau lambat dari menggunakan 
teknik Observasi reaksi
intensitas ringan hingga berat dengan nonfarmakologi untuk nonverbal dari
akhir yang dapat diantisipasi atai mengurangi nyeri, ketidaknyamanan.
diprediksi dan berlangsung <6 bulan. mencari bantuan)  Gunakan teknik
Batasan Karakteristik :  Melaporakan bahwa komunikasi terapeutik
 Perubahan selera makan nyeri berkurang dengan untuk mengetahui
 Perubahan tekanan darah menggunakan pengalaman nyeri
 Perubahan frekwensi jantung manajemen nyeri. pasien.
 Perubahan frekwensi pernapasan  Mampu 
mengenali Kaji kultur yang
 Laporan isyarat. nyeri (skala, intensitas, mempengaruhi respon
 Diaforesis. frekuensi dan tanda nyeri.
 Perilaku distraksi (mis : Berjalan nyeri).  Evaluasi pengalaman

mondar-mandir mencari orang lain atau Menyatakan rasa nyeri masa lampau.
aktivitas lain, aktivitas berulang). 
nyaman setelah nyeri Evaluasi bersama
 Mengekspresikan perilaku (mis: gelisah, berkurang. pasien dan tim
merengek, menangis). kesehatan lain tentang
 Masker wajah (Mis : mata kurang ketidakefektifan
bercahaya, tampak kacau, gerakan mata kontrol nyeri masa
terpancar atau tetap pada satu fokus lampau.
meringis).  Bantu pasien dan
 Sikap melindungi area nyeri. keluarga untuk mencari
 Fokus menyempit (mis : gangguan dan menemukan
persepsi nyeri, hambatan proses dukungan.
berfikir, penurunan interaksi dengan
 Kontrol lingkungan
orang dan lingkungan).
yang dapat
 Indikasi nyeri yang dapat diamati
mempengaruhi nyeri
 Perubahan posisi untuk menghindari
seperti suhu ruangan,
nyeri.
pencahayaan dan
 Sikap tubuh melindungi
kebisingan.
 Dilatasi pupil.
 Kurangi faktor
 Melaporkan nyeri secara verbal
presipitasi nyeri.
 Gangguan tidur
 Pilih dan lakukan
Faktor yang berhubungan :
penanganan
 Agen cidera (Mis : Biologis, zat kimia,
nyeri(farmakologi, non
fisik, psikologis).
farmakologi dan
interpersonal)
 Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik
non farmakologi.
 Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri.
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri.
 Tingkatkan istirahat.
 Kolaborasi dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri
tidak berhasil.
 Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri.
Analgesic
Administration
 Tentukan lokasi,
karakeristik, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat.
 Cek instruksi dokter
tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi.
 Cek riwayat alergi.
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesik ketika
pemberian lebih dari
satu.
 Tentukan pilihan
analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.
 Tentukan analgesik
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal.
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur.
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali.
 Berikan analgesik
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat.
 Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan
gejala.
2. Hambatan mobilitas fisik NOC : NIC :
Definisi : Keterbatasan pada
- joint movement : Exercise therapy :
pergerakan fisik tubuh atau satu atau active. ambulation
lebih ekstremitas secara mandiri dan
- mobility level.  monitoring vital sign
terarah. - self care : ADLs sebelum /sesudah
Batasan Karakteristik : - transfer performance latihan dan lihat respon
 Penurunan waktu reaksi. Kriteria hasil : pasien saat latihan.
 Kesulitan membolak-balik posisi.  
klien meningkat dalam konsultasikan dengan
 Melakukan aktivitas lain sebagai aktivitas fisik. terapi fisik tentang
pengganti pergerakan (Mis : mengerti tujuan dan rencana ambulasi
Meningkatkan perhatian pada aktivitas peningkatan mobilitas. sesuai denga
orang lain, mengendalikan perilaku,  memverbalisasikan kebutuhan.
fokus pada ketunadayaan/aktivitas perasaan dalam  bantu klien untuk
sebelum sakit). meningkatkan kekuatan menggunakan tongkat
 Dispnea setalah beraktivitas. dan kemampuan saat berjalan dan cegah
 Perubahan cara jalan. berpindah. terhadap cedera.
 Gerakan bergetar.  
memperagakan ajarkan pasien atau
 Keterbatasan kemampuan melakukan penggunaan alat bantu tenaga kesehatan lain
keterampilan motorik halus. untuk mobilisasi tentang teknik
 Keterbatasan kemampuan melakukan (walker) ambulasi.
keterampilan motorik halus.
 kaji kemampuan
 Keterbatasan rentang pergerakan sendi.
pasien dalam
 Tremor akibat pergerakan
mobilisasi.
 Ketidakstabilan postur
 latih pasien dalam
 Pergerakan lambat
pemenuhan kebutuhan
 Pergerakan tidak terkoordinasi
ADLs secara mandiri
Faktor yang berhubungan :
sesuai kemampuan.
 Intoleransi aktivitas
 didampingi dan bantu
 Perubahan metabolisme seluler
pasien saat mobilisasi
 Ansietas.
dan bantu penuhi
 Indeks masa tubuh diatas perentil ke-75
kebutuhan ADLs.
sesuai usia.
 berikan alat bantu jika
 Gangguan koknitif
 Konstraktur. klien memerlukan.
 Kepercayaan budaya tentang aktivitas  ajarkan pasien
sesuai usia. bagaimana merubah
 Fisik tidak bugar. posisi dan berikan
 Penurunan ketahanan tubuh. bantuan jika
 Penurunan kendali otot. diperlukan.
 Malnutrisi
 Gangguan muskuloskeletal
 Gangguan neuromoskuler, nyeri
 Agens obat
 Penurunan kekuatan otot.
 Kurang pengetahuan tentang aktivitas
fisik.
 Keadaan mood depresif.
 Keterlambatan perkembangan
 Ketidaknyamanan
 Disuse, kaku sendi.
 Kurang dukungan lingkungan(mis: fisik
atau sosial.)
 Keterbatasan ketahanan kardiovaskuler.
 Kerusakan integritas struktur tulang
 Program pembatasan gerak.
 Keengganan memulai pergerakan.

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan NOC : NIC :


perifer - circulation status Peripheral sensation
Definisi : penurunan sirkulasi darah
- tissue perfusion : management
keperifer yang dapat mengganggu cerebral (manajemen sensasi
kesehatan. Kriteria hasil : perifer )
Batasan karakteristik : Mendemonstrasikan  monitor adanya daerah
 tidak ada nadi status sirkulasi yang tertentu yang hanya
 perubahan fungsi motorik ditandai dengan: peka terhadap

 perubahan karakteristik kulit (warna, tekanan sistole dan panas/dingin/tajam/tum
elastisitas, rambut, kelembapan, diastole dalam rentang pul.
kuku,sensasi,suhu ). yang diharapkan.  monitor adanya
 ankle-brakhial <0,90  tidak ada ortostatik paretese.
 perubahan tekanan darah di ekstremitas hipertensi  instruksikan keluarga
 waktu pengisian kapiler >3 detik  tidak ada tanda-tanda untuk mengobservasi
 klaudikasi peningkatan tekanan kulit jika ada isi atau
 warna tidak kembali ketungkai saat intrakranial (tidak lebih laserasi
tungkai diturunkan. dari 15 mmHg)  gunakan sarung
 kelambatan penyembuhan luka perifer Mendemonstrasikan tangan untuk proteksi
 penurunan nadi kemampuan kognitif  batasi gerakan pada
 edema yang ditandai dengan kepala ,leher , dan
 nyeri ekstremitas : punggung.
 bruit femoral  berkomunikasi dengan  monitor kemampuan
 pemendekan jarak total yang ditempuh jelas dan sesuai dengan
BAB
dalam uji berjalan enam menit. kemampuan.  kolaborasi pemberian
 pemendekan jarak bebas nyeri yang
 menunjukkan perhatian anlgetik
ditempuh dalam uji berjalan enam
.konsentrasi 
dan monitor adanya
menit
orientasi. tromboplebitis
 perestesia
 memproses informasi  diskusikan mengenai
 warna kulit pucat saat elevasi
 membuat keputusan penyebab perubahan
dengan benar. sensasi.
Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh : tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan
gerakan involunter .
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.


Volume 2. Jakarta: EGC

NANDA NIC NOC International. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC, 2013

Arif Muttaqin. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskululoskeletal. Jakarta :


EGC, 2008

Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8, Jakarta : EGC, 2002

Arif Muttaqin. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal, Jakarta : EGC, 2011


2.1 Pengertian
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan
secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner & Suddarth).
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan
suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, dkk. 2000).
Dislokasi adalah patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah
tulang di sertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138).
Jadi, dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini
dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang
dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).

2.2 Etiologi
Dislokasi disebabkan oleh :
1. Cedera olahraga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olahraga yang
beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan
pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara
tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
3. Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
4. Patologis : terjadinya “ tear “ ligament dan kapsul articuler yang merupakan
kompenen vital penghubung tulang.

2.3 Manifestasi Klinik


1. Deformitas pada persendiaan
Kalau sebuah tulang diraba secara sering akan terdapat suatu celah.
2. Gangguan gerakan
Otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.
3. Pembengkakan
Pembengkakan ini dapat parah pada kasus trauma dan dapat menutupi deformitas.
4. Rasa nyeri sering terdapat pada dislokasi
Sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi pangkal paha servikal.
5. Kekakuan.

2.4 Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan. Humerus terdorong kedepan, merobek
kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput
hancur. Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan
luksasio erekta (dengan tangan mengarah ; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke
posisi da bawah karakoid). Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa
sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Karena terpeleset dari
tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang
pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu
akan gampang dislokasi lagi.
2.5 Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi congenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian
jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma
yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga
merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang
dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
1). Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di
sekitar sendi.
2). Dislokasi Kronik
3). Dislokasi Berulang
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan
trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint
dan patello femoral joint.
Berdasarkan tempat terjadinya :
1. Dislokasi Sendi Rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena :
a. Menguap atau terlalu lebar.
b. Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak
dapat menutup mulutnya kembali.
2. Dislokasi Sendi Bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid
(dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior).
3. Dislokasi Sendi Siku
Merupakan mekanisme cederanya biasanya jatuh pada tangan yg dapat menimbulkan dislokasi
sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan
tonjolan-tonjolan tulang siku.
4. Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan
menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung
tangan.
5. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal dan Interphalangeal
Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperekstensi-ekstensi persendian.
6. Dislokasi Panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi
posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus acetabulum
(dislokasi sentra).
7. Dislokasi Patella
a. Paling sering terjadi ke arah lateral.
b. Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral
patella sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan.
c. Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.

2.6 Komplikasi
Dini
1). Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut.
2). Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
3). Fraktur disloksi.
Komplikasi lanjut
1). Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan
sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi.
2). Dislokasi yang berulang : terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas
dari bagian depan leher glenoid.
3). Kelemahan otot.

2.7 Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik


Dengan cara pemeriksaan Sinar-X ( pemeriksaan X-Rays ) pada bagian anteroposterior akan
memperlihatkan bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa glenoid, kaput
biasanya terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi serta Radiologi (CT
Scan).

2.8 Penatalaksanaan
a). Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi
jika dislokasi berat.
b). Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga
sendi.
c). Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga
agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan
mobilisasi, harus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.
d). Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari disklokasi yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah
diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses
penyembuhan.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada penderita Dislokasi pemeriksan fisik yang diutamakan adalah nyeri, deformitas, fungsiolesa
misalnya: bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi anterior bahu.

3.2 Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kegagalan untuk mencerna atau
ketidakmampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel
darah merah.
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
e. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh.

3.3 Intervensi Keperawatan


No
Dx Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan. Setelah diberikan
tindakan keperawatan diharapkan rasa nyeri teratasi, dengan kriteria hasil :
a). Klien tampak tidak meringis lagi.
b). Klien tampak rileks.
1. Kaji skala nyeri.
2. Berikan posisi relaks pada pasien.
3. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
4. Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktifitas hiburan.
5. Kolaborasi pemberian analgesik.
Mengetahui intensitas nyeri.
Posisi relaksasi pada pasien dapat mengalihkan focus pikiran pasien pada nyeri.
Tehnik relaksasi dan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri.
Meningkatkan relaksasi pasien.
Analgesik mengurangi nyeri

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi.
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan gangguan mobilitas fisik klien teratasi,
dengan kriteria hasil :
a). Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari).
b). Klien menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan
tekanan darah masih dalam rentang normal.
1. Kaji tingkat mobilisasi pasien.
2. Berikan latihan ROM.
3. Anjurkan penggunaan alat bantu jika diperlukan.
4. Monitor tonus otot.
5. Membantu pasien untuk imobilisasi baik dari perawat maupun keluarga.
Menunjukkan tingkat mobilisasi pasien dan menentukan intervensi selanjutnya.
Memberikan latihan ROM kepada klien untuk mobilisasi.
Alat bantu memperingan mobilisasi pasien.
Agar mendapatkan data yang akurat.
Dapat membantu pasien untuk imobilisasi.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk
mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk
pembentukan sel darah merah. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan
nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil :
a).Klien menunjukkan peningkatan atau mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium
normal.
b). Tidak mengalami tanda mal nutrisi.
c). Klien menunjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat badan yang sesuai.
1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai.
2. Observasi dan catat masukkan makanan pasien.
3. Timbang berat badan setiap hari.
4. Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan.
5. Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan.
6. Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi
halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral
luka.
7. Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet.
8. Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium.
9. Kolaborasi; berikan obat sesuai indikasi.
Mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi.
Mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan.
Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi.
Menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster.
Gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ.
Meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral.
Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi.
Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan
nyeri berat.
Membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual.
Meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan.
Kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral yang
buruk dan defisiensi yang diidentifikasi.

4. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.


Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kecemasan pasien teratasi, dengan kriteria
hasil :
a). Klien tampak rileks.
b). Klien tidak tampak bertanya-tanya.
1. Kaji tingakat ansietas klien.
2. Bantu pasien mengungkapkan rasa cemas atau takutnya.
3. Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur yang akan dijalaninya.
4. Berikan informasi yang benar tentang prosedur yang akan dijalani pasien.
Mengetahui tingakat kecemasan pasien dan menentukan intervensi selanjutnya.
Mengali pengetahuan dari pasien dan mengurangi kecemasan pasien.
Agar perawat mengetahui seberapa tingkat pengetahuan pasien dengan penyakitnya.
Agar pasien mengerti tentang penyakitnya dan tidak cemas lagi.

5. Gangguan body image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh. Setelah
diberikan tindakan keperawatan diharapkan gangguan body image teratasi.
1. Kaji konsep diri pasien.
2. Kembangkan BHSP dengan pasien.
3. Bantu pasien mengungkapkan masalahnya.
4. Bantu pasien mengatasi masalahnya.
Dapat mengetahui pasien.
Menjalin saling percaya pada pasien.
Menjadi tempat bertanya pasien untuk mengungkapkan masalahnya.
Mengetahui masalah pasien dan dapat memecahkannya.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat
hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari
tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Dislokasi terjadi saat ligamen memberikan jalan
sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Karena
terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri.
Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor.
Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi. Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor
penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).

4.2 Saran
Diharapkan perawat dapat memahami dan mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan
keperawatan sehari-hari sesuai dengan prosedur yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Aston, J N. 1999. Kapita Selekta Traumatologik dan Ortopedik. Jakarta : EGC.


Betz, Cecily l. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatric. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai