Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH SEMINAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEBUTUHAN

DASAR MANUSIA DENGAN GANGGUAN MOBILISASI DENGAN


DIAGNOSA MEDIS STROKE HEMORAGIK

Kelompok 2 :

1. Abdul Muhaji 202202040015

2. Ismy Salsabila Yuliani 202202040033

3. Kiki Mudrikhatul Inayah 202202040021

4. Lilis 202202040018

5. Syinta Rahmawati 202202040016

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelemahan otot penderita stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Kontraksi otot

dikarenakan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga menghambat syaraf-syaraf utama

otak dan medula spuinalis. Terhambatnya oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan masalah

kesehatan yang serius karena bisa menimbulkan hemiparese bahkan kematian. Terjadinya

gangguan tingkat mobilisasi fisik pasien sering di sebabkan suatu gerakan dalam bentuk tirah

baring. Dampak dari suatu melemahnya keadaan otot yang berhubungan dengan kurangnya

aktifitas fisik biasanya tampak dalam beberapa hari. Kontrol otak untuk mengatur gerak otot

mengalami suatu penurunan funsi yang mengakibatkan masa otot berkurang (Agustina dkk.,

2021). Latihan ROM (Range of Motion) merupakan salah satu teknik untuk mengembalikan

sistem pergerakan, dan untuk memulihkan kekuatan otot untuk bergerak kembali memenuhi

kebutuhan aktivitas sehari- hari seperti, 2018). Terdapat dua jenis ROM yaitu ROM aktif dan

ROM pasif, ROM aktif yaitu menggerakan sendi dengan menggunakan otot tanpa bantuan,

sementara ROM pasif perawat menggerakan sendi pasien. Latihan ROM merupakan salah

satu bentuk awal rehabilitas pada penderita stroke untuk mencegah terjadinya stroke atau

kecacatan, fungsinya untuk pemulihan anggota gerak tubuh yang kaku atau cacat. Latihan ini

dapat dilakukan pada pagi dan sore hari untuk melenturkan otot-otot yang kaku, latihan rom

juga dapat dilakukan berkali-kali dalam waktu satu hari, semakin pasien melakukan latihan

rom berkali-kali kemungkinan pasien mengalami defisit kemampuan sagat kecil. Latihan
ROM juga bentuk intervensi perawat dalam upaya pencegahan cacat permanen (Munif dkk.,

2017).

Memberikan latihan ROM secara dini dapat meningkatkan kekuatan otot karena dapat

menstimulasi motor unit sehingga semakin banyak motor unit yang terlibat maka akan terjadi

peningkatan kekuatan otot, kerugian pasien hemiparese bila tidak segera ditangani maka akan

terjadi kecacatan yang permanen. (Susanti & Bintara, 2018. Jika latihan ROM tidak

dilakukan dengan benar maka akan terjadi komplikasi. Secara garis besar komplikasi stroke

yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan biasanya terjadi akibat imobilisasi

seperti pneumonia, dekubitus, kontraktur, thrombosis vena dalam, atropi, inkontuinitas urine

dan bowel. Penderita stroke hanya menyerang kaum lanjut usia (lansia). Tetapi, sejalan

dengan perkembangan waktu, kini ada kecenderungan bahwa stroke mengancam usia

produktif bahkan dibawah 45 tahun. Penyakit stroke pun ternyata bisa menyerang siapa saja

tanpa melihat jabatan ataupun tingkat sosial dan ekonomi. Jika stroke menyerang generasi

muda yang masih berusia produktif, maka akan berdampak terhadap menurunnya tingkat

produktivitas (Hanum dkk., 2017).

World Health Organization (WHO) tahun 2018 menjelaskan bahwa setiap tahun

terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke, 5 juta di antaranya meninggal, dan 5

juta orang tersisa cacat permanen. Stroke menjadi penyebab kedua kematian di dunia pada

kelompok umur 60 tahn ke atas dan menjadi penyebab kematian kelima pada orang yang

berusia 15 sampai 59 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Setyawan

dkk,.2017) dengan hasil adanya pengaruh antara latihan ROM dengan penyembuhan stroke.

Menurut penulis latihan yang paling optimal adalah latihan yang membuat kelelahan, durasi

pendek tapi dapat dilakukan sesering mungkin. ROM berguna dalam meningkatkan kekuatan
pada otot, dan mempertahankan fungsi pada jantung dan melatih pernafasan, sehingga dapat

menghindari munculnya kontraktur serta kaku sendi. Berdasarkan uraian latar belakang di

atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tentang "Efektivitas ROM (Range of

Motion) terhadap kekuatan otot pada pasien stroke di Rumah Sakit Umum Royal Prima

Medan.

B. Tujuan Umum dan Khusus

1. Tujuan Umum :

Mengetahui konsep dasar teori dan asuhan keperawatan pada pasien gangguan mobilsasi

2. Tujuan Khusus :

a. Untuk mengetahui konsep dasar teori ROM

b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan ROM


BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan

teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi diperlukan untuk

meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif dan

untuk aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan

menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan

tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam (Mubarak, 2008 dalam Brata,

2017). Manfaat dari gerakan tubuh antara lain, tubuh menjadi segar, memperbaiki tonus otot,

mengontrol berat badan, merangsang peredaran darah,  mengurangi stres, meningkatkan

relaksasi, memperlambat proses penyakit (penyakit degeneratif), untuk aktualisasi diri (harga

diri dan citra tubuh), sedang untuk anak merangsang pertumbuhan (Kasiati dan Ni Wayan,

2016).

Imobilisasi adalah suatu kondisi yang relatif, dimana individu tidak saja kehilangan

kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktifitas dari kebiasaan

normalnya (Mubarak, 2008 dalam Brata, 2017). Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi)

didefinisikan oleh North American Nursing  Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu

kedaaan dimana individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan

fisik. Individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik antara

lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari

atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomi akibat perubahan fisiologi (kehilangan
fungsi motorik, klien dengan stroke, klien penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal

(seperti gips atau traksi), dan pembatasan gerakan volunteer (Potter, 2005 dalam Brata, 2017).

B. Tinjauan Anatomi dan Fisiologi

1. Tulang

Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi mekanis untuk

membentuk rangka dan tempat melekatnya berbagai otot, fungsi sebagai tempat

penyimpanan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang bisa dilepaskan setup saat

susuai kebutuhan, fungsi tempat sumsum tulang dalam membentuk sel darah, dan

fungsi pelindung organ-organ dalam.Terdapat tiga jenis tulang, yaitu tulang pipih

seperti tulang kepala dan pelvis, tulang kuboid seperti tulang vertebrata dan tulang

tarsalia, dan tulang panjang seperti tulang femur dan tibia. Tulang panjang

umumnya berbentuk lebar pada kedua ujung dan menyempit di tengah. Bagian

ujung tulang panjang dilapisi kartilago dan secara anatomis terdiri dari epifisis,

metafisis, dan diafisis. Epifisis dan metafisis terdapat pada kedua ujung tulang dan

terpisah dan lebih elastic pada masa anak-anak serta akan menyatu pada masa

dewasa.

2. Otot dan Tendon

Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh bergerak

sesuai dengan keinginan. Otot memiliki origo dan insersi tulang, serta dihubungkan

dengan tulang melalui tendon yang bersangkutan, sehingga diperlukan

penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali.


3. Ligamen

Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang. Ligament

bersifat elastic sehingga membantu fleksibilitas sendi dan mendukung sendi.

Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu jika

terputus akan mengakibatkan ketidakstabilan.

4. Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak dan modula spinalis) dan sistem

saraf tepi (percabangan dari sistem saraf pusat).

Setiap saraf memiliki somatic dan otonom. Bagian somatic memiliki fungsi sensorik

dan motorik. Terjadinya kerusakan pada sistem saraf pusat seperti pada fraktur

tulang belakang dapat menyebabkan kelemahan secara umum, sedangkan

kerusakan saraf tepi dapat mengakibatkan terganggunya daerah yang diinervisi, dan

kerusakan pada saraf radial akanmengakibatkan drop hand atau gangguan sensorik

pada daerah radial tangan.

5. Sendi

Sendi merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi membuat

segmentasi dari rangka tubuh dan memungkinkan gerakan antar segmen dan

berbagai derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa jenis sendi, misalnya

sendi synovial yang merupakan sendi kedua ujung tulang berhadapan dilapisi oleh

kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup kapsul sendi dan berisi cairan synovial.

Selain itu, terdapat pula sendi bahu, sendi panggul, lutut, dan jenis sendi lain sepertii

sindesmosis, sinkondrosis dan simpisis.


C. Tinjauan Medis

Tinjauan medisnya yaitu adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,

ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab utama

kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan

gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran

keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di

tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit.

Penyebab secara umum:

1. Kelainan postur

2. Gangguan perkembangan otot

3. Kerusakan system saraf pusat

4. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular

5. Kekakuan otot (Rizky, 2013 dalam Zanuri, 2018).

D. Faktor yang Mempengaruhi

Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :

a. Gaya hidup dapat mempengaruhi mobilitas seseorang karena berdampak pada kebiasaan

atau perilaku sehiari-hari.

b. Proses penyakit atau cedera. Hal ini dapat mempengaruhi mobilitas karena dapat

berpengaruh pada fungsi sistem tubuh. Seperti, orang yang menderita fraktur femur

akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.


c. Kebudayaan. orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan

mobiltas yang kuat. Begitu juga sebagliknya, ada orang yang mengalami gangguan

mobilitas (sakit) karena adat dan budaya yang dilarang untuk beraktivitas.

d. Tingkat energi. Untuk melakukan mobilitas diperlukan energy yang cukup.

e. Usia dan Status perkembangan.  Terdapat kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang

berbeda.

E. Mekanisme/Proses Kerja

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot,

skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan tulang

karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem

pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot yaitu isotonik dan isometrik. Pada kontraksi

isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik

menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau

gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan

volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi

isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat

harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi

irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik.

Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit

obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana hati

seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal. Koordinasi

dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas dari otot yang
berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah suatu keadaan

tegangan otot yang seimbang. Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan

relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional

tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung. Immobilisasi menyebabkan

aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan

terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem

skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu mengatur

keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah merah.

F. Keluhan – keluhan yang sering muncul

a. Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan.

b. Keterbatasan menggerakan sendi.

c. Adanya kerusakan aktivitas.

d. Penurunan ADL dibantu orang lain.

e. Malas untuk bergerak atau mobilitas

G. Pengkajian Keperawatan

a. Pemeriksaan Fisik

Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor

tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak dalam

kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik

selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang.


b. Mengkaji sistem persendian, luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif,

deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi.

c. Mengkaji sistem otot, kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan

ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema atau

atropfi, nyeri otot.

d. Mengkaji cara berjalan

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu ekstremitas

lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan

dengan caraberjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara

berjalan selangkah-selangkah – penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar –

penyakit Parkinson).

e. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer

Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari

lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer,

warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

f. Mengkaji kemampuan mobilitas

Tingkat aktivitas / Kategori

mobilitas

Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh

Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat

Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan dan peralatan

Tingkat 4 Sangat tergantung atau tidak dapat melakukan atau


berpartisipasi dalam perawatan

H. Diagnosa Keperawatan yang mungkin Muncul

a. Hambatan mobilitas fisik 

b. Nyeri akut

c. Intoleransi Aktivitas

I. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Penjelasan Keilmuan Tujuan Intervensi Rasional

Keperawata

Gangguan Keterbatasan gerakan fisik dari Setelah - Identifikasi indikasi Menentukan

Mobilitas satu atau lebih ekstremitas secara dilakukan dilakukan latihan tindakan

Fisik mandiri tindakan - Identifikasi keperawatan

keperawatan keterbatasan yang tepat

diharapkan pergerakan  

mobilitas fisik- Monitor lokasi  

pasien ketidaknyamanan  

meningkat atau nyeri pada saat  

dengan bergerak  

kriteria hasil: - Lakukan gerakan  

- Pergerakan pasif desuai dengan  


ekstremitas kebutuhan  Membantu

meningkat - Jelaskan tujuan dan meningkatkan

- Kekuatan otot prosedur latihan kekuatan otot

meningkat - Anjurkan untuk  

- ROM melakukan rentang Agar pasien

meningkat gerak pasif dan aktif dapat

- Kaku sendi secara sistematis memahami

menurun - Kolaborasi dengan dan

- Gerakan keluarga untuk melakukannya

terbatas memotivasi pasien sendiri

menurun dalam kegiatan  

rentang gerak Mencegah

-   terjadinya

kekakuan

sendi yang lain

Memanfaatkan

keluarga

dalam proses

penyembuhan

Nyeri akut Pengalaman sensorik atau Setelah - Identifikasi lokasi, Menentukan

emosional yang berhubungan dilakukan karakteristik, durasi tindakan


dengan kerusakan jaringan actual tindakan frekuensi, kualitas, keperawatan

atau fungsional dengan onset keperawatan skala dan intensitas yang tepat

mendadak atau lambat dan diharapkan nyeri  

berintensitas ringan hingga berat nyeri pasien- Identifikasi faktor  

yang berlangsung kurang dari 3 berkurang yang memperberat Memberikan

bulan dengan dan memperingan rasa nyaman

kriteria hasil : nyeri dan aman

- Melaporkan - Berikan teknik non  

nyeri farmakologis untuk Memudahkan

terkontrol mengurangi rasa untuk

meningkat nyeri (kompres meredakan

- Kemampuan hangat, relaksasi nyeri secara

mengenali napas dalam) tepat

onset nyeri- Fasilitasi istirahat dan  

meningkat tidur Mengurangi

- Kemampuan - Anjurkan memonitor rasa nyeri

mengenali nyeri secara mandiri

penyebab - Jelaskan strategi

nyeri meredakan nyeri

Kemampuan - Kolaborasi

menggunakan pemberian analgetik

teknik non-

farmakologis
Intoleransi Ketidakcukupan energi fisiologis Setelah - identifikasi gangguan Menentukan

Aktivitas dan/atau psikologis untuk dilakukan fungsi tubuh yang tindakan

melakukan aktivitas sehari-hari tindakan mengalami kelelahan keperawatan

keperawatan - monitor pola dan jam yang tepat

diharapkan tidur  

aktivitas - Lakukan latihan  

pasien toleran rentang gerak pasif  

dengan atau aktif Meningkatkan

kriteria hasil : - Berikan kekuatan otot

- Tekanan darah aktivitas distraksi  

dalam batas yang menenangkan  

normal - Jelaskan jenis latihan  

- Berjalan yang sesuai dengan  

dengan kondisi kesehatan Mencegah

langkah yang- Ajarkan teknik terjadinya

efektif  pernapasan yang cedera 

- Kaku pada tepat untuk

persendian memaksimalkan

menurun penyerapan oksigen

- Keluhan selama latihan fisik

kelelahan - Anjurkan melakukan

menurun  aktivitas secara

bertahap
BAB III

TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian

Pasien masuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang melalui IGD pada tanggal 17 Mei

2017 pukul 10.30 WIB rujukan dari RS Ibnu Sina Bukittinggi dengan keluhan penurunan

kesadaran, awalnya ketika pasien dibangunkan dari tempat tidur masih menyahut panggilan

namun anggota gerak kiri pasien terlihat lemah lalu tiba-tiba pasien muntah 3x isi makanan

setelah itu baru pasien mengalami penurunan kesadaran dan dibawa ke RS Ibnu Sina

Bukittinggi langsung di rujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang. Tindakan yang dilakukan

IGD yaitu penilaian tingkat kesadaran, GCS 10 (E2M5V3), klien terpasang infuse asering 12

jam/kolf, terpasang oksigen 5l/I, Tekanan Darah 100/70 mmHg, Nadi 79x/i, Pernapasan

21x/i, Suhu 36,6°c, pasien terpasang NGT dan kateter.

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 24 Mei 2017, pasien hari rawatan ke-8,

keluarga mengatakan pasien baru bisa membuka mata 1 hari yang lalu namun belum bisa

diajak berkomunikasi, saat dinilai GCS 12 (E3M5V4), tingkat kesadaran delirium, Tekanan

Darah 150/90 mmHg, Nadi 82x/i, Pernapasan 20x/i, Suhu 37,3°c, muntah tidak ada,

terpasang infuse NaCl 0,9% 12 jam/kolf terpasang NGT dengan diit MC 1800 kkal,

terpasang O2 3liter,saat dinilai kekuatan otot.

444 222

444 222

Keluarga mengatakan pasien tidak pernah sebelumnya menderita sakit seperti saat

ini dan pasien tidak pernah jatuh, namun pasien sering mengeluh sakit kepala bagian

belakang dan sering pusing namun tidak pernah periksa ke dokter dan pasien juga tidak rutin

cek tekanan darah ke pelayanan kesehatan.


Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat DM,

Hipertensi, Penyakit Jantung Koroner dan penyakit kronis lainnya. Pada pemeriksaan fisik

Ekstermitas atas Terpasang IVFD asering 12 jam/kolf pada tangan sebelah kanan, tidak ada

edema, CRT . Ekstermitas bawah Teraba hangat,CRT70°, bludinsky II = kaki kanan tidak

terangkat, reflek babinsky kiri (+), reflek caddok kiri (+), reflek openhem kiri (+), reflek

Gordon kiri (+).

Dari analisa data data subjektifnya adalah keluarga mengatakan pasien

mengalami kelemahan anggota gerak kiri - keluarga mengatakan aktifitas pasien dibantu

dan data objektifnya pasien tampak lemah - reflek bisep kiri(-) tidak ada gerakan reflek -

reflek trisep kiri(-) - reflek patella kiri (-) - tanda lasek kiri ada tahanan - reflek caddok kiri

(+) - reflek openhem kiri (+) - eflek Gordon kiri (+) - pasien mengalami hemiparise

sinistra.

B. Diagnosa

Berdasarkan pengkajian tersebut didapatkan 3 diagnosa diantarana yaitu ketidakefektifan

bersihan jalan napas berhubungan dengan reflek batuk yang tidak adekuat, ketidakefektifan

perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK), dan

hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan anggota gerak.

C. Intervensi

1. Diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan reflek batuk yang

tidak adekuat. Intervensi yang akan dilakukan adalah manajemen jalan nafas. posisikan
pasien untuk memaksimalkan ventilasi, identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien

untuk memasukkan alat membuka jalan nafas, buang sekret dengan memotivasi pasien

untuk melakukan batuk atau menyedot lender, instruksikan bagaimana agar bias

melakukan batuk efektif , auskultasi suara nafas, posisikan untuk meringankan sesak

nafas

2. Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan

Tekanan Intra Kranial (TIK). Intervensi yang akan dilakukan adalah kaji tingkat

kesadaran dengan GCS, monitor tanda vital setiap 1 jam 52. hitung irama denyut nadi,

auskultasi adanya murmur pertahankan pasien bedrest, beri lingkungan tenang, batasi

pengunjung, atur waktu istirahat dan aktifitas, anjurkan pasien agar tidak menekuk

lutut/fleksi, batuk, bersin, feses yang keras atau mengedan, ertahankan kepatenan jalan

napas, suction jika perlu, berikan oksigen 100% sebelum suction dan suction tidak lebih

dari 15 detik, berikan obat sesuai program dan monitor efek samping.

D. Implementasi

Implementasi yang dilakukan masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan

dengan reflek batuk yang tidak efektif adalah memantau frekuensi pernapasan, auskultasi

suara napas, miring kanan-kiri untuk mengeluarkan saliva, mengeluarkan tumpukan saliva

dengan suction, memotivasi pasien untuk batuk efektif semampunya.

Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa kedua ketidakefektifan perfusi jaringan

serebral berhubungan dengan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)adalah memantau

tanda-tanda vital, melakukan penilaian GCS, mengelevasi kepala 15-30°, mengompres


lipatan tubuh dengan handuk hangat, monitor adanya peningkatan TIK serta monitor obat

sesuai program

Implementasi yang dilakukan untuk diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan

dengan kelemahan anggota gerak adalah monitor nilai kekuatan otot, melatih mobilisasi

dengan ROM, mengatur posisi nyaman pada pasien, miring kanan-kiri setiap 2 jam,

mengajarkan pada keluarga bagaimana cara merubah posisi serta memasang pagar tempat

tidur setiap selesai melakukan tindakan,

E. Evaluasi

Hasil evaluasi pada hari ke-5 yang didapatkan pada diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan

napas berhubungan dengan reflek batuk yang tidak adekuat adalah pada auskultasi pasien

tidak lagi mengeluarkan suara tambahan (gargling) , pasien tidak lagi mengeluarkan saliva

yang banyak

Hasil evaluasi hari ke-5 pada diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

berhubungan dengan peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK adalah pasien telah

mengalami peningkatan GCS, sebelumnya GCS 12 (E3M5V4) menjadi GCS 13 (E4M5V4)

Hasil evaluasi hari ke-5 pada diagnosq hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan

kelemahan anggota gerak adalah nilai kekuatan otot pasien bertambah, sebelumnya

444 222 menjadi 444 333

444 222 444 333

dan juga keluarga dapat merubah posisi pasien setiap 2 jam tanpa bantuan perawat.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis hasil penelitian berdasarkan tinjauan kasus.

Analisis hasil penelitian berdasarkan tinjauan kasus Hambatan mobilitas fisik

didapatkan adanya peningkatan aktifitas fisik, tidak ada kontraktur otot, tidak ada ankilosis

pada sendi, tidak terjadi penyusutan otot. Hasil evaluasi pada diagnosa hambatan mobilitas

fisik berhubungan dengan kelemahan anggota gerak adalah nilai kekuatan otot pasien

bertambah, sebelumnya

444 222 menjadi 444 333

444 222 444 333

Jadi berdasarkan tinjauan kasus dengan hambatan mobilitas fisik pengaruh ROM

pada pasien stroke terhadap peningkatan kekuatan otot dapat membuat pasien mengerti dan

tahu cara berlatih dalam memberikan pergerakan baik otot, persendian yang sesuai dengan

gerakan normal maupun secara aktif dan pasif saat melakukan kontraksi pergerakan.

Pemberian latihan Range of Motion selama 2 minggu dan dilakukan 2 kali sehari dapat

mempengaruhi luas derajat rentang gerak sendi ekstremitas atas. Latihan Range of Motion

ini dapat dilakukan pada pagi hari dan sore hari. ROM (range of motion) berguna dalam

meningkatkan kekuatan pada otot, dan mempertahankan fungsi pada jantung dan melatih

pernafasan, sehingga dapat menghindari munculnya kontraktur serta kaku sendi.

B. Analisis hasil penelitian berdasarkan tinjauan teori


Kelemahan otot penderita stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Kontraksi otot

dikarenakan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga menghambat syaraf-syaraf utama

otak dan medula spuinalis. Terhambatnya oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan masalah

kesehatan yang serius karena bisa menimbulkan hemiparese bahkan kematian. Terjadinya

gangguan tingkat mobilisasi fisik pasien sering di sebabkan suatu gerakan dalam bentuk

tirah baring. Dampak dari suatu melemahnya keadaan otot yang berhubungan dengan

kurangnya aktifitas fisik biasanya tampak dalam beberapa hari. Kontrol otak untuk mengatur

gerak otot mengalami suatu penurunan funsi yang mengakibatkan masa otot berkurang

(Agustina dkk., 2021). Latihan ROM (Range of Motion) merupakansalah satu teknik untuk

mengembalikan sistem pergerakan, dan untuk memulihkan kekuatan otot untuk bergerak

kembali memenuhi kebutuhan aktivitas seharihari seperti, 2018).

Terdapat dua jenis ROM yaitu ROM aktif dan ROM pasif, ROM aktif yaitu

menggerakan sendi dengan menggunakan otot tanpa bantuan, sementara ROM pasif perawat

menggerakan sendi pasien. Latihan ROM merupakan salah satu bentuk awal rehabilitas pada

penderita stroke untuk mencegah terjadinya stroke atau kecacatan, fungsinya untuk

pemulihan anggota gerak tubuh yang kaku atau cacat. Latihan ini dapat dilakukan pada pagi

dan sore hari untuk melenturkan otot-otot yang kaku, latihan rom juga dapat dilakukan

berkali-kali dalam waktu satu hari, semakin pasien melakukan latihan rom berkali-kali

kemungkinan pasien mengalami defisit kemampuan sagat kecil. Latihan ROM juga bentuk

intervensi perawat dalam upaya pencegahan cacat permanen (Munif dkk., 2017).

Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Sebelum dan Sesudah Pelaksaan ROM (Range of

Motion) Berdasarkan hasil penelitian dimana kekuatan otot sebelum dilakukan latihan ROM

didapatkan nilai minimal kekuatan otot yaitu pada skala 2 dan nilai maximal kekuatan otot
pada skala 4 dengan nilai rata-rata 3,50. Hal ini disebabkan karena pada penderita stroke

memiliki komplikasi dan permasalahan yaitu terjadinya kelumpuhan separuh badan dan

gangguan fungsional seperti gangguan gerak serta sensorik. Hal ini sesuai dengan konsep

yang menyatakan bahwa gejalagejala stroke yang umum terjadi adalah lumpuh

sebelah/separuh badan (hemiparese), kesemutan, mulut mencong. Sehingga penderita stroke

memiliki keterbatasan dalam melakukan pergerakan (Indrawati., dkk 2018). Sedangkan

sesudah dilakukan ROM didapatkan peningkatan kekuatan otot dimana nilai minimal 2 dan

nilai maximal 5 dengan nilai rata – rata 4,00. Hal ini terdapat peningkatan kekuatan otot

sesudah dilakukan intervensi.

Sesuai dengan konsep yang menyatakan latihan ROM merupakan salah satu bentuk

latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya

kecacatan pada pasien dengan stroke. Secara konsep, latihan ROM dikatakan dapat

mencegah terjadinya penurunan fleksibelitas sendi dan kekakuan sendi (Lewis et al., 2017).

Dalam penelitian Anita (2018) mengatakan bahwa pasien Stroke seharusnya di lakukan

mobilisasi sedini mungkin. Salah satu mobilisasi dini yang dapat segera dilakukan adalah

pemberian latihan Range of Motion yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pasien

pasca Stroke. Menurut Peneliti Range of motion (ROM) jika dilakukan sedini mungkin dan

dilakukan dengan benar dan secara terus menerus akan memberikan dampak yang baik pada

kekuatan otot responden. Latihan Range Of Motion dilakukan dengan tujuan untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian,

merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk. Jaringan otot yang memendek

akan memanjang secara perlahan apabila dilakukan latihan range of motion dan jaringan otot
akan mulai beradaptasi untuk mengembalikan panjang otot kembali normal (Murtaqib dalam

Muchtar 2019).
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan

latihan range of motion pada pasein stroke hemoragik mampu meningkatkan kekuatan

otot pada pasien stroke yang mengalam kelemahan otot22.

B. Saran

ROM (range of motion) berguna dalam meningkatkan kekuatan pada otot, dan

mempertahankan fungsi pada jantung dan melatih pernafasan, sehingga dapat

menghindari munculnya kontraktur serta kaku sendi.


DAFTAR PUSTAKA
Geofani, P. (2017). Asuhan keperawatan pada pasien dengan Stroke hemoragik di bangsal

syaraf RSUP dr. M. Djamil Padang. (Karya Tulis Ilmiah, Poltekkes kemenkes

padang) diakses dari https://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/index.php?

p=show_detail&id=4405&keyword

Brata, Ayu Tanu. (2017). Laporan Pendahuluan Mobilitas Fisik, diakses pada 5 Oktober

2020 <http://diyahmedharsih.blogspot.com/2017/04/laporan-pendahuluan-mobilitas-

fisik.html >

Kasiati dan Ni Wayan Dwi Rosmalawati. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia

I. Jakarta :Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Nursepreneurs. (2014). Kebutuhan Aktivitas (Mobilisasi), diakses pada 5 Oktober 2020,

<https://nursepreneursindonesia.wordpress.com/2014/08/28/kebutuhan-aktivitas-

mobilisasi/ >

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), 

Edisi1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), 

Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia


Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 

Edisi1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia

Zanuri, Puput. (2018). Laporan Kebutuhan Dasar Manusia, diakses pada tanggal 5 Oktober

2020, <http://puputzanuri.blogspot.com/2018/04/normal-0-false-false-false-in-x-

none-x.html >

LAMPIRAN
LAPORAN PENDAHULUAN

MOBILISASI

1. Pengertian

Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan

teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi diperlukan

untuk meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit

degeneratif dan untuk aktualisasi. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat

napas dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk

menggerakkan kaki dan tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam waktu 12

jam (Mubarak, 2008 dalam Brata, 2017). Manfaat dari gerakan tubuh antara lain, tubuh

menjadi segar, memperbaiki tonus otot, mengontrol berat badan, merangsang peredaran

darah,  mengurangi stres, meningkatkan relaksasi, memperlambat proses penyakit

(penyakit degeneratif), untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh), sedang untuk

anak merangsang pertumbuhan (Kasiati dan Ni Wayan, 2016).

Imobilisasi adalah suatu kondisi yang relatif, dimana individu tidak saja

kehilangan kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktifitas

dari kebiasaan normalnya (Mubarak, 2008 dalam Brata, 2017). Gangguan mobilitas fisik

(immobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing  Diagnosis Association

(NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana individu yang mengalami atau beresiko

mengalami keterbatasan gerakan fisik. Individu yang mengalami atau beresiko

mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang

mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan
fungsi anatomi akibat perubahan fisiologi (kehilangan fungsi motorik, klien dengan

stroke, klien penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti gips atau traksi),

dan pembatasan gerakan volunteer (Potter, 2005 dalam Brata, 2017).

2. Tinjauan Anatomi dan Fisiologi

a. Tulang

Tulang merupakan organ yang memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi mekanis

untuk membentuk rangka dan tempat melekatnya berbagai otot, fungsi sebagai

tempat penyimpanan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang bisa

dilepaskan setup saat susuai kebutuhan, fungsi tempat sumsum tulang dalam

membentuk sel darah, dan fungsi pelindung organ-organ dalam.Terdapat tiga

jenis tulang, yaitu tulang pipih seperti tulang kepala dan pelvis, tulang kuboid

seperti tulang vertebrata dan tulang tarsalia, dan tulang panjang seperti tulang

femur dan tibia. Tulang panjang umumnya berbentuk lebar pada kedua ujung

dan menyempit di tengah. Bagian ujung tulang panjang dilapisi kartilago dan

secara anatomis terdiri dari epifisis, metafisis, dan diafisis. Epifisis dan metafisis

terdapat pada kedua ujung tulang dan terpisah dan lebih elastic pada masa anak-

anak serta akan menyatu pada masa dewasa.

b. Otot dan Tendon

Otot memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan tubuh bergerak

sesuai dengan keinginan. Otot memiliki origo dan insersi tulang, serta

dihubungkan dengan tulang melalui tendon yang bersangkutan, sehingga

diperlukan penyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali.


c. Ligamen

Ligamen merupakan bagian yang menghubungkan tulang dengan tulang.

Ligament bersifat elastic sehingga membantu fleksibilitas sendi dan mendukung

sendi. Ligamen pada lutut merupakan struktur penjaga stabilitas, oleh karena itu

jika terputus akan mengakibatkan ketidakstabilan.

d. Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak dan modula spinalis) dan

sistem saraf tepi (percabangan dari sistem saraf pusat).

Setiap saraf memiliki somatic dan otonom. Bagian somatic memiliki fungsi

sensorik dan motorik. Terjadinya kerusakan pada sistem saraf pusat seperti

pada fraktur tulang belakang dapat menyebabkan kelemahan secara umum,

sedangkan kerusakan saraf tepi dapat mengakibatkan terganggunya daerah

yang diinervisi, dan kerusakan pada saraf radial akanmengakibatkan drop

hand atau gangguan sensorik pada daerah radial tangan.

e. Sendi

Sendi merupakan tempat dua atau lebih ujung tulang bertemu. Sendi membuat

segmentasi dari rangka tubuh dan memungkinkan gerakan antar segmen dan

berbagai derajat pertumbuhan tulang. Terdapat beberapa jenis sendi, misalnya

sendi synovial yang merupakan sendi kedua ujung tulang berhadapan dilapisi

oleh kartilago artikuler, ruang sendinya tertutup kapsul sendi dan berisi cairan

synovial. Selain itu, terdapat pula sendi bahu, sendi panggul, lutut, dan jenis

sendi lain sepertii sindesmosis, sinkondrosis dan simpisis.

3. Tinjauan Medis
Tinjauan medisnya yaitu adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,

ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab utama

kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan

gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan imobilisasi.

Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orangusia lanjut terus

menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah sakit.

Penyebab secara umum:

a. Kelainan postur

b. Gangguan perkembangan otot

c. Kerusakan system saraf pusat

d. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular

e. Kekakuan otot (Rizky, 2013 dalam Zanuri, 2018).

4. Faktor yang Mempengaruhi

Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :

a. Gaya hidup dapat mempengaruhi mobilitas seseorang karena berdampak pada

kebiasaan atau perilaku sehiari-hari.

b. Proses penyakit atau cedera. Hal ini dapat mempengaruhi mobilitas karena dapat

berpengaruh pada fungsi sistem tubuh. Seperti, orang yang menderita fraktur femur

akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bagian bawah.

c. Kebudayaan. orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan

mobiltas yang kuat. Begitu juga sebagliknya, ada orang yang mengalami gangguan

mobilitas (sakit) karena adat dan budaya yang dilarang untuk beraktivitas.
d. Tingkat energi. Untuk melakukan mobilitas diperlukan energy yang cukup.

e. Usia dan Status perkembangan.  Terdapat kemampuan mobilitas pada

tingkat usia yang berbeda.

5. Mekanisme/Proses Kerja

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot,

skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan

tulang karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai

sistem pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot yaitu isotonik dan isometrik. Pada

kontraksi isotonik, peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi

isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada

pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan klien untuk latihan

kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik.

Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian

energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan

kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik.

Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau

penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan

suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot

skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan

aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot

adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Ketegangan dapat dipertahankan

dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot
mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke

jantung. Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal

adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek,

pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan,

melindungi organ vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam

pembentukan sel darah merah.

6. Keluhan – keluhan yang sering muncul

a. Tidak mampu bergerak atau beraktifitas sesuai kebutuhan.

b. Keterbatasan menggerakan sendi.

c. Adanya kerusakan aktivitas.

d. Penurunan ADL dibantu orang lain.

e. Malas untuk bergerak atau mobilitas

7. Pengkajian Keperawatan

a. Pemeriksaan Fisik

Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor

tulang. Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak dalam

kesejajaran anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik

selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang.

b. Mengkaji sistem persendian, luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif,

deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi.


c. Mengkaji sistem otot, kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi,

dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema

atau atropfi, nyeri otot.

d. Mengkaji cara berjalan

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu ekstremitas

lebih pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan

dengan caraberjalan abnormal (mis.cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara

berjalan selangkah-selangkah – penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar –

penyakit Parkinson).

e. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer

Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari

lainnya dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut

perifer, warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

f. Mengkaji kemampuan mobilitas

Tingkat aktivitas / Kategori

mobilitas

Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh

Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat

Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan dan peralatan

Tingkat 4 Sangat tergantung atau tidak dapat melakukan atau

berpartisipasi dalam perawatan


8. Diagnosa Keperawatan yang mungkin Muncul

a. Hambatan mobilitas fisik 

b. Nyeri akut

c. Intoleransi Aktivitas

9. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Penjelasan Keilmuan Tujuan Intervensi Rasional

Keperawata

Gangguan Keterbatasan gerakan fisik dari Setelah - Identifikasi indikasi Menentukan

Mobilitas satu atau lebih ekstremitas dilakukan dilakukan latihan tindakan

Fisik secara mandiri tindakan - Identifikasi keperawatan

keperawatan keterbatasan yang tepat

diharapkan pergerakan  

mobilitas fisik- Monitor lokasi  

pasien ketidaknyamanan  

meningkat atau nyeri pada saat  

dengan kriteria bergerak  

hasil: - Lakukan gerakan pasif  

- Pergerakan desuai dengan  

ekstremitas kebutuhan  Membantu

meningkat - Jelaskan tujuan dan meningkatkan


- Kekuatan otot prosedur latihan kekuatan otot

meningkat - Anjurkan untuk  

- ROM melakukan rentang Agar pasien

meningkat gerak pasif dan aktif dapat

- Kaku sendi secara sistematis memahami

menurun - Kolaborasi dengan dan

- Gerakan keluarga untuk melakukannya

terbatas memotivasi pasien sendiri

menurun dalam kegiatan  

rentang gerak Mencegah

-   terjadinya

kekakuan

sendi yang

lain

Memanfaatkan

keluarga

dalam proses

penyembuhan

Nyeri akut Pengalaman sensorik atau Setelah - Identifikasi lokasi, Menentukan

emosional yang berhubungan dilakukan karakteristik, durasi tindakan

dengan kerusakan jaringan tindakan frekuensi, kualitas, keperawatan


actual atau fungsional dengan keperawatan skala dan intensitas yang tepat

onset mendadak atau lambat dan diharapkan nyeri  

berintensitas ringan hingga berat nyeri pasien- Identifikasi faktor  

yang berlangsung kurang dari 3 berkurang yang memperberat Memberikan

bulan dengan kriteria dan memperingan rasa nyaman

hasil : nyeri dan aman

- Melaporkan - Berikan teknik non  

nyeri farmakologis untuk Memudahkan

terkontrol mengurangi rasa untuk

meningkat nyeri (kompres meredakan

- Kemampuan hangat, relaksasi nyeri secara

mengenali napas dalam) tepat

onset nyeri- Fasilitasi istirahat dan  

meningkat tidur Mengurangi

- Kemampuan - Anjurkan memonitor rasa nyeri

mengenali nyeri secara mandiri

penyebab nyeri - Jelaskan strategi

Kemampuan meredakan nyeri

menggunakan - Kolaborasi pemberian

teknik non- analgetik

farmakologis

Intoleransi Ketidakcukupan energi fisiologis Setelah - identifikasi gangguan Menentukan

Aktivitas dan/atau psikologis untuk dilakukan fungsi tubuh yang tindakan


melakukan aktivitas sehari-hari tindakan mengalami kelelahan keperawatan

keperawatan - monitor pola dan jam yang tepat

diharapkan tidur  

aktivitas - Lakukan latihan  

pasien toleran rentang gerak pasif  

dengan kriteria atau aktif Meningkatkan

hasil : - Berikan kekuatan otot

- Tekanan darah aktivitas distraksi  

dalam batas yang menenangkan  

normal - Jelaskan jenis latihan  

- Berjalan dengan yang sesuai dengan  

langkah yang kondisi kesehatan Mencegah

efektif  - Ajarkan teknik terjadinya

- Kaku pada pernapasan yang cedera 

persendian tepat untuk

menurun memaksimalkan

- Keluhan penyerapan oksigen

kelelahan selama latihan fisik

menurun  - Anjurkan melakukan

aktivitas secara

bertahap
10. Daftar Pustaka

Brata, Ayu Tanu. (2017). Laporan Pendahuluan Mobilitas Fisik, diakses pada 5 Oktober

2020 <http://diyahmedharsih.blogspot.com/2017/04/laporan-pendahuluan-

mobilitas-fisik.html >

Kasiati dan Ni Wayan Dwi Rosmalawati. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia

I. Jakarta :Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Nursepreneurs. (2014). Kebutuhan Aktivitas (Mobilisasi), diakses pada 5 Oktober 2020,

<https://nursepreneursindonesia.wordpress.com/2014/08/28/kebutuhan-aktivitas-

mobilisasi/ >

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), 

Edisi1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), 

Edisi 1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 

Edisi1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia


Zanuri, Puput. (2018). Laporan Kebutuhan Dasar Manusia, diakses pada tanggal 5

Oktober 2020, <http://puputzanuri.blogspot.com/2018/04/normal-0-false-false-

false-in-x-none-x.html >
IDENTIFIKASI EBP

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelemahan otot penderita stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Kontraksi otot

dikarenakan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga menghambat syaraf-syaraf utama

otak dan medula spuinalis. Terhambatnya oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan masalah

kesehatan yang serius karena bisa menimbulkan hemiparese bahkan kematian. Terjadinya

gangguan tingkat mobilisasi fisik pasien sering di sebabkan suatu gerakan dalam bentuk tirah

baring. Dampak dari suatu melemahnya keadaan otot yang berhubungan dengan kurangnya

aktifitas fisik biasanya tampak dalam beberapa hari. Kontrol otak untuk mengatur gerak otot

mengalami suatu penurunan funsi yang mengakibatkan masa otot berkurang (Agustina dkk.,

2021). Latihan ROM (Range of Motion) merupakan salah satu teknik untuk mengembalikan

sistem pergerakan, dan untuk memulihkan kekuatan otot untuk bergerak kembali memenuhi

kebutuhan aktivitas sehari- hari seperti, 2018). Terdapat dua jenis ROM yaitu ROM aktif dan

ROM pasif, ROM aktif yaitu menggerakan sendi dengan menggunakan otot tanpa bantuan,
sementara ROM pasif perawat menggerakan sendi pasien. Latihan ROM merupakan salah

satu bentuk awal rehabilitas pada penderita stroke untuk mencegah terjadinya stroke atau

kecacatan, fungsinya untuk pemulihan anggota gerak tubuh yang kaku atau cacat. Latihan ini

dapat dilakukan pada pagi dan sore hari untuk melenturkan otot-otot yang kaku, latihan rom

juga dapat dilakukan berkali-kali dalam waktu satu hari, semakin pasien melakukan latihan

rom berkali-kali kemungkinan pasien mengalami defisit kemampuan sagat kecil. Latihan

ROM juga bentuk intervensi perawat dalam upaya pencegahan cacat permanen (Munif dkk.,

2017).

Memberikan latihan ROM secara dini dapat meningkatkan kekuatan otot karena dapat

menstimulasi motor unit sehingga semakin banyak motor unit yang terlibat maka akan terjadi

peningkatan kekuatan otot, kerugian pasien hemiparese bila tidak segera ditangani maka akan

terjadi kecacatan yang permanen. (Susanti & Bintara, 2018. Jika latihan ROM tidak

dilakukan dengan benar maka akan terjadi komplikasi. Secara garis besar komplikasi stroke

yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan biasanya terjadi akibat imobilisasi

seperti pneumonia, dekubitus, kontraktur, thrombosis vena dalam, atropi, inkontuinitas urine

dan bowel. Penderita stroke hanya menyerang kaum lanjut usia (lansia). Tetapi, sejalan

dengan perkembangan waktu, kini ada kecenderungan bahwa stroke mengancam usia

produktif bahkan dibawah 45 tahun. Penyakit stroke pun ternyata bisa menyerang siapa saja

tanpa melihat jabatan ataupun tingkat sosial dan ekonomi. Jika stroke menyerang generasi

muda yang masih berusia produktif, maka akan berdampak terhadap menurunnya tingkat

produktivitas (Hanum dkk., 2017).

World Health Organization (WHO) tahun 2018 menjelaskan bahwa setiap tahun

terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke, 5 juta di antaranya meninggal, dan 5
juta orang tersisa cacat permanen. Stroke menjadi penyebab kedua kematian di dunia pada

kelompok umur 60 tahn ke atas dan menjadi penyebab kematian kelima pada orang yang

berusia 15 sampai 59 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Setyawan

dkk,.2017) dengan hasil adanya pengaruh antara latihan ROM dengan penyembuhan stroke.

Menurut penulis latihan yang paling optimal adalah latihan yang membuat kelelahan, durasi

pendek tapi dapat dilakukan sesering mungkin. ROM berguna dalam meningkatkan kekuatan

pada otot, dan mempertahankan fungsi pada jantung dan melatih pernafasan, sehingga dapat

menghindari munculnya kontraktur serta kaku sendi. Berdasarkan uraian latar belakang di

atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tentang "Efektivitas ROM (Range of

Motion) terhadap kekuatan otot pada pasien stroke di Rumah Sakit Umum Royal Prima

Medan.

B. Tujuan Umum dan Khusus

1. Tujuan Umum :

mengetahui efektivitas ROM (Range of Motion) terhadap kekuatan otot pada pasien

stroke

2. Tujuan Khusus :

a. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot, memelihara mobilitas

persendian, merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk

b. Jaringan otot yang memendek akan memanjang secara perlahan apabila dilakukan

latihan range of motion dan jaringan otot akan mulai beradaptasi untuk

mengembalikan panjang otot kembali normal

BAB II IDENTIFIKASI ARTIKEL


A. Identifikasi

1. Judul artikel : Efektivitas ROM (Range Of Motion) terhadap kekuatan otot pada

pasien stroke di Rumah Sakit Royal Prima Tahun 2021

Peneliti : Sry Desnayati Purba dkk

Tahun Terbit : 2022

Penerbit : JUMANTIK

2. Judul artikel : Pengaruh Range of Motion terhadap Kekuatan Otot pada Pasien Stroke

Peneliti : Susanti , Difran Nobel Bistara

Tahun Terbit : 2019

Penerbit : Jurnal Kesehatan Vokasional

B. Gap Of Knowledge

Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf

(deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Secara sederhana stroke

didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena

sumbatan (stroke iskemik) atau perdarahan (stroke hemoragik) (Junaidi, 2011). Penderita

stroke mengalami kelumpuhan otot yang akan mempengaruhi kontraksi otot. Kontraksi

otot dikarenakan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga menghambat syaraf-syaraf

utama otak dan medula spuinalis. Terhambatnya oksigen dan nutrisi ke otak

menimbulkan masalah kesehatan yang serius karena bisa menimbulkan hemiparese

bahkan kematian.
Latihan ROM (Range of Motion) merupakan salah satu teknik untuk mengembalikan

sistem pergerakan, dan untuk memulihkan kekuatan otot untuk bergerak kembali

memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.

C. Justifikasi Intervensi

Artikel 1

Stroke memiliki gejala umum antara lain lumpuh sebelah/separuh badan (hemiparese),

kesemutan, mulut mencong. Sehingga penderita stroke memiliki keterbatasan dalam

melakukan pergerakan (Indrawati., dkk 2018). Salah satu tindakan mobilisasi yang dapat

dilakukan yaitu Range of motion (ROM), apabila dilakukan sedini mungkin dan

dilakukan dengan benar dan secara terus menerus akan memberikan dampak yang baik

pada kekuatan otot. Menurut Chasanah et al., 2017 terapi ROM yang dilakukan dua kali

sehari, dalam lima hari terdapat peningkatan pergerakan sendi 27%. Tindakan Range of

Motion memiliki berpengaruh terhadap rentang gerak bila dilakukan dengan frekuensi

dua kali sehari dalam enam hari dan dengan waktu 10- 15 menit dalam sekali latihan

(Chaidir & Zuardi, 2015).

Latihan ROM merupakan salah satu bentuk latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai

masih cukup efektif untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien dengan stroke.

Secara konsep, latihan ROM dikatakan dapat mencegah terjadinya penurunan

fleksibelitas sendi dan kekakuan sendi (Lewis et al., 2017). Dimana laitahan Range of

motion dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan

otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah dan mencegah

kelainan bentuk.
Artikel 2

Range Of Motion merupakan pergerakan persendian sesuai dengan gerakan yang

memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot baik secara pasif maupun aktif

(Winstein et al., 2016). Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh antara ROM terhadap

kekuatan otot pada pasien stroke karena setiap responden mengalami peningkatan skala

kekuatan otot setelah dilakukannya Range Of Motion menggenggam bola.

D. Hasil Penelitian

Artikel 1

Hasil dari penelitian ini didapatkan nilai rata-rata ROM sebelum dilakukan intervensi

sebesar 3,50 dan rata-rata kekuatan otot sesudah dilakukan ROM sebesar 4,00. Yang

artinya terdapat efektifitas ROM terhadap kekuatan otot pada pasien stroke di Rumah

Sakit Umum Royal Prima Medan tahun 2021.

Artikel 2

Hasil dari penelitian ini terdapat pengaruh latihan ROM menggenggam bola terhadap

kekuatan otot pada tangan kanan dan tangan kiri pada penderita stroke. Terjadi

peningkatan 25% kekuatan otot pada tangan kanan dan 31% pada tangan kiri.

BAB III PEMBAHASAN

A. Resume kasus kelolaan


Penelitian dilakukan di RSUP DR.M.Djamil Padang di Bangsal Syaraf. Ruangan

nya terdiri atas HCU pria, HCU wanita, ruang rawatan pria dan ruang rawatan

wanita.Penelitian dilakukan tepatnya di ruang HCU wanita. Penelitian yang dilakukan

pada tanggal 24 Mei – 28 Mei 2017 yaitu Ny.R dengan diagnosis medis Stroke

Hemoragik di Bangsal Syaraf RSUP Dr. M. Djamil Padang. Asuhan Keperawatan

dimulai dari pengkajian, penegakkan diagnosis keperawatan, rencana keperawatan,

implementasi serta evaluasi keperawatan yang dilakukan dengan metode wawancara,

observasi, studi dokumentasi serta pemeriksaan fisik.

Seorang perempuan Ny. R1, 20 th, belum menikah, pendidikan S1 di Universitas

Negeri Padang, agama Islam, alamat di Belakang Balok Bukittinggi. Pasien dirawat sejak

tanggal 17 Mei 2017 dengan alasan masuk penurunan kesadaran, diagnosa medis Stroke

Hemoragik + Bronkopneumonia dengan No. MR: 97 89 27. Pasien masuk ke RSUP Dr.

M. Djamil Padang melalui IGD pada tanggal 17 Mei 2017 pukul 10.30 WIBrujukan dari

RS Ibnu Sina Bukittinggi dengan keluhan penurunan kesadaran. Awalnya ketika pasien

dibangunkan dari tempat tidur masih menyahut panggilan namun anggota gerak kiri

pasien terlihat lemah lalu tiba-tiba pasien muntah 3x isi makanan setelah itu baru pasien

mengalami penurunan kesadaran dan dibawa ke RS Ibnu Sina Bukittinggi langsung di

rujuk ke RSUP Dr. M. Djamil Padang. Tindakan yang dilakukan IGD yaitu penilaian

saraf dengan tingkat kesadaran delirium, GCS10 (E2M5V3), terpasang infuse asering 12

jam/kolf, terpasang oksigen 5 liter, Tekanan Darah 100/70 mmHg, Nadi 79x/i,

Pernapasan 21x/i, Suhu 36,6°c, terpasang NGT dan kateter.

Keluarga mengatakan pasien tidak pernah sebelumnya menderita sakit seperti saat

ini dan pasien tidak pernah jatuh, namun pasien sering mengeluh sakit kepala bagian
belakang dan sering pusing namun tidak pernah periksa ke dokter dan pasien juga tidak

rutin cek tekanan darah ke pelayanan kesehatan. Pasien juga memiliki riwayat sering

marah tanpa alasan yang jelas.

B. Analisis hasil penelitian berdasarkan tinjauan teori

Kelemahan otot penderita stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Kontraksi

otot dikarenakan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga menghambat syaraf-syaraf

utama otak dan medula spuinalis. Terhambatnya oksigen dan nutrisi ke otak

menimbulkan masalah kesehatan yang serius karena bisa menimbulkan hemiparese

bahkan kematian. Terjadinya gangguan tingkat mobilisasi fisik pasien sering di sebabkan

suatu gerakan dalam bentuk tirah baring. Dampak dari suatu melemahnya keadaan otot

yang berhubungan dengan kurangnya aktifitas fisik biasanya tampak dalam beberapa

hari. Kontrol otak untuk mengatur gerak otot mengalami suatu penurunan funsi yang

mengakibatkan masa otot berkurang (Agustina dkk., 2021). Latihan ROM (Range of

Motion) merupakansalah satu teknik untuk mengembalikan sistem pergerakan, dan untuk

memulihkan kekuatan otot untuk bergerak kembali memenuhi kebutuhan aktivitas

seharihari seperti, 2018).

Terdapat dua jenis ROM yaitu ROM aktif dan ROM pasif, ROM aktif yaitu

menggerakan sendi dengan menggunakan otot tanpa bantuan, sementara ROM pasif

perawat menggerakan sendi pasien. Latihan ROM merupakan salah satu bentuk awal

rehabilitas pada penderita stroke untuk mencegah terjadinya stroke atau kecacatan,

fungsinya untuk pemulihan anggota gerak tubuh yang kaku atau cacat. Latihan ini dapat

dilakukan pada pagi dan sore hari untuk melenturkan otot-otot yang kaku, latihan rom

juga dapat dilakukan berkali-kali dalam waktu satu hari, semakin pasien melakukan
latihan rom berkali-kali kemungkinan pasien mengalami defisit kemampuan sagat kecil.

Latihan ROM juga bentuk intervensi perawat dalam upaya pencegahan cacat permanen

(Munif dkk., 2017).

Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Sebelum dan Sesudah Pelaksaan ROM (Range

of Motion) Berdasarkan hasil penelitian dimana kekuatan otot sebelum dilakukan latihan

ROM didapatkan nilai minimal kekuatan otot yaitu pada skala 2 dan nilai maximal

kekuatan otot pada skala 4 dengan nilai rata-rata 3,50. Hal ini disebabkan karena pada

penderita stroke memiliki komplikasi dan permasalahan yaitu terjadinya kelumpuhan

separuh badan dan gangguan fungsional seperti gangguan gerak serta sensorik. Hal ini

sesuai dengan konsep yang menyatakan bahwa gejalagejala stroke yang umum terjadi

adalah lumpuh sebelah/separuh badan (hemiparese), kesemutan, mulut mencong.

Sehingga penderita stroke memiliki keterbatasan dalam melakukan pergerakan

(Indrawati., dkk 2018). Sedangkan sesudah dilakukan ROM didapatkan peningkatan

kekuatan otot dimana nilai minimal 2 dan nilai maximal 5 dengan nilai rata – rata 4,00.

Hal ini terdapat peningkatan kekuatan otot sesudah dilakukan intervensi.

Sesuai dengan konsep yang menyatakan latihan ROM merupakan salah satu

bentuk latihan dalam proses rehabilitasi yang dinilai masih cukup efektif untuk mencegah

terjadinya kecacatan pada pasien dengan stroke. Secara konsep, latihan ROM dikatakan

dapat mencegah terjadinya penurunan fleksibelitas sendi dan kekakuan sendi (Lewis et

al., 2017). Dalam penelitian Anita (2018) mengatakan bahwa pasien Stroke seharusnya di

lakukan mobilisasi sedini mungkin. Salah satu mobilisasi dini yang dapat segera

dilakukan adalah pemberian latihan Range of Motion yang bertujuan untuk meningkatkan

kemandirian pasien pasca Stroke. Menurut Peneliti Range of motion (ROM) jika
dilakukan sedini mungkin dan dilakukan dengan benar dan secara terus menerus akan

memberikan dampak yang baik pada kekuatan otot responden. Latihan Range Of Motion

dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot,

memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan

bentuk. Jaringan otot yang memendek akan memanjang secara perlahan apabila

dilakukan latihan range of motion dan jaringan otot akan mulai beradaptasi untuk

mengembalikan panjang otot kembali normal (Murtaqib dalam Muchtar 2019).

C. Analisis hasil penelitian berdasarkan tinjauan kasus.

Analisis hasil penelitian berdasarkan tinjauan kasus Hambatan mobilitas fisik didapatkan

adanya peningkatan aktifitas fisik, tidak ada kontraktur otot, tidak ada ankilosis pada

sendi, tidak terjadi penyusutan otot. Hasil evaluasi pada diagnosa hambatan mobilitas

fisik berhubungan dengan kelemahan anggota gerak adalah nilai kekuatan otot pasien

bertambah, sebelumnya

444 222 menjadi 444 333

444 222 444 333

Jadi berdasarkan tinjauan kasus dengan hambatan mobilitas fisik pengaruh ROM

pada pasien stroke terhadap peningkatan kekuatan otot dapat membuat pasien mengerti

dan tahu cara berlatih dalam memberikan pergerakan baik otot, persendian yang sesuai

dengan gerakan normal maupun secara aktif dan pasif saat melakukan kontraksi

pergerakan. Pemberian latihan Range of Motion selama 2 minggu dan dilakukan 2 kali

sehari dapat mempengaruhi luas derajat rentang gerak sendi ekstremitas atas. Latihan

Range of Motion ini dapat dilakukan pada pagi hari dan sore hari. ROM (range of
motion) berguna dalam meningkatkan kekuatan pada otot, dan mempertahankan fungsi

pada jantung dan melatih pernafasan, sehingga dapat menghindari munculnya kontraktur

serta kaku sendi.

BAB IV : PENUTUP

C. Simpulan

Berdasarkan hasil uraian diatas dapat diamil kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan

latihan range of motion pada pasein stroke hemoragik mampu meningkatkan kekuatan

otot pada pasien stroke yang mengalam kelemahan otot.

D. Saran

ROM (range of motion) berguna dalam meningkatkan kekuatan pada otot, dan

mempertahankan fungsi pada jantung dan melatih pernafasan, sehingga dapat

menghindari munculnya kontraktur serta kaku sendi.

Anda mungkin juga menyukai