Anda di halaman 1dari 20

1

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN MOBILISASI

A. Definisi

Menurut Mubarak dan Chayatin (2008: 221), imobilitas merupakan


suatu kondisi yang relatif. Maksudnya, individu tidak saja kehilangan
kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas
dari kebiasaan normalnya.

Menurut Mubarak, Indrawati dan Susanto (2015: 299), imobilisasi


adalah suatu keadaan individu mengalami atau berisiko mengalami
keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu rentang.
Imobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas
fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk
mengembalikan kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baring akan
kehilangan kekuatan otot rata–rata 3% sehari (disuse atrophy). Tirah baring
merupakan suatu intervensi yakni klien dibatasi untuk berada di tempat tidur
untuk bertujuan terapeutik. Lamanya tirah baring bergantung pada penyakit
atau cedera dan status kesehatan klien sebelumnya.

Menurut Mubarak dan Chayatin (2008: 220), mobilisasi adalah


kemampuan sesorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Setiap orang butuh untuk
bergerak. Kehilangan kemampuan untuk begerak menyebabkan
ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan. Mobilisasi di
perlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan,
memperlambat proses penyakit khususnya penyakit degeneratif, dan untuk
aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh).

B. Anatomi dan Fisiologi Mobilisasi


Menurut Potter dan Perry (2010: 469–473), anatomi penyusun sistem gerak
di jabarkan sebagai berikut :

1. Sistem Rangka

1
2

Rangka memberikan hubungan antara otot–otot dan ligamen dan


memberikan suatu pengungkit yang dibutuhkan utuk bergerak. Oleh karena
itu, rangka adalah suatu kerangka pendukung tubuh dan dibentuk oleh
empat jenis tulang, yaitu tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih dan
tulang ireguler.
2. Sendi
Sendi adalah penghubung diantara tulang. Masing–masing sendi
diklasifikasikan sesuai struktur dan derajat mobilisasinya. Terdapat empat
klasifikasi sendi, yaitu sinostotik, kartilago, fibrosa dan sinovial.
3. Ligamen
Ligamen berwarna putih, bercahaya dan memiliki ikatan jaringan fibrosa
fleksibel yang berikatan pada sendi dan menghubungkan tulang serta
tulang kartilago. Beberapa ligamen memiliki fungsi protektif. Misalnya,
ligamen yang berada diantara tubuh vertebral dan ligamen flavum
mencegah tulang belakang rusak selama melakukan gerakan ke belakang.
4. Tendon
Tendon berwarna putih, berkilau dan memiliki ikatan jaringan fibrosa
yang menghubungkan otot pada tulang. Tendon bersifat kuat, fleksibel dan
elastis serta memiliki panjang dan tebal yang berbeda–beda. Tendon
achilles (tendon kalkaneus) adalah tendon yang paling tebal dan kuat dalam
tubuh. Tendon ini berada dekat bagian tengah kaki bagian belakang,
menghubungkan otot gastronemius dan otot soleus pada betis dengan
tulang kalkaneus di belakang kaki.
5. Kartilago
Kartilago tidak memiliki pembuluh darah, mendukung jaringan
penghubung, terutama berada pada sendi dan toraks, trakea, laring, hidung
dan telinga. Sendi, ligamen, tendon dan kartilago memberikan kekuatan dan
fleksibilitas pada rangka. Kekuatan memungkinkan sistem rangka
menopang tubuh.
6. Otot Rangka
Pergerakan tulang dan sendi meliputi proses aktif yang diintegrasikan
dengan hati–hati, untuk meningkatkan koordinasi. Otot rangka karena
kemampuannya berkontraksi dan relaksasi serta melekat pada rangka akan
meningkatkan kontraktilitas elemen–elemen pada otot rangka.
7. Sistem Saraf
Sistem saraf meregulasi pergerakan dan postur. Girus presentral atau
strip motorik adalah area motorik volunter yang utama dan berada pada
korteks serebral. Sebagian besar serat motorik menurun dari strip motorik
3

dan melintasi medulla. Oleh karena itu, serat motorik dari strip motorik
kanan menginisiasi pergerakan volunter sisi tubuh bagian kiri dan serat
motorik dari strip motorik kiri menginisasi pergerakan volunter sisi tubuh
bagian kanan.

Menurut Syaifuddin (2012: 122), fisiologi bisa terjadi pergerakkan


adalah aktivitas motorik dari fungsi sistem pergerakkan diatur oleh saraf,
tulang sendi, dan otot yang terbentuk saling menunjang dalam suatu kerja
sama untuk melakukan suatu kegiatan dan pergerakkan. Aktivitas volunter
direncanakan oleh otak dan perintah dikirim ke otot melalui sistem piramidal
yang berhubungan dengan garakan dan sikap.

C. Faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi


Menurut Tarwoto dan Wartonah (2010: 128-129), faktor-faktor yang
mempengaruhi imobilisasi antara lain :
1. Gangguan Muskuloskeletal
a. Osteoporosis
b. Atrofi
c. Kontraktur
d. Kekakukan dan sakit sendi
2. Gangguan Kardiovaskular
a. Hipotensi postural
b. Vasodilatasi vena
c. Peningkatan penggunaan valsava manuver
3. Gangguan Sistem Respirasi
a. Penurunan gerak pernapasan
b. Bertambahnya sekresi paru
c. Atelektasis
d. Pneumonia hipostasis
Menurut Mubarak, Indrawati dan Susanto (2015: 308–309), faktor yang
mempengaruhi mobilisasi antara lain :
1. Gaya Hidup
Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai
yang dianut serta lingkungan tempat ia tinggal (masyarakat).
2. Ketidakmampuan
Secara umum, ketidakmampuan ada dua macam, yakni
ketidakmampuan primer dan sekunder. Ketidakmampuan primer
disebabkan oleh penyakit atau trauma. Sementara ketidakmampuan
sekunder terjadi akibat dampak dari ketidakmampuan primer.
3. Tingkat Energi
Energi dibutuhkan untuk banyak hal, salah satunya mobilisasi. Dalam
hal ini, cadangan energi yang dimiliki masing-masing individu bervariasi. Di
4

samping itu ada kecenderungan seseorang untuk menghindari stresor guna


mempertahankan kesehatan fisik dan psikologis.
4. Usia
Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan
mobilisasi. Pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktifitas dan
mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan.
5. Sistem Neuromuskular
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular meliputi
sistem otot, skeletal, sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan saraf. Otot
skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot
berkontraksi dan berelaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit.

D. Klasifikasi Gangguan
1. Jenis Imobilitas
Menurut Mubarak dan Chayatin (2008: 221), secara umum ada
beberapa macam keadaan imobilitas antara lain :
a. Imobilitas fisik : kondisi ketika seseorang mengalami keterbatasan fisik
yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kondisi orang tersebut.
b. Imobilitas intelektual : kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya
pada kasus kerusakan otak.
c. Imobilitas emosional : kondisi ini bisa terjadi akibat proses pembedahan
atau kehilangan seseorang yang dicintai.
d. Imobilitas sosial : kondisi ini bisa menyebabkan perubahan interaksi
sosial yang sering terjadi akibat penyakit.
2. Gangguan Imobilitas
Menurut Mubarak dan Chayatin (2008: 222-224), secara umum ada
beberapa macam gangguan imobilitas antara lain :
a. Sistem muskuloskeletal : pada sistem ini, imobilitas dapat menimbulkan
berbagai masalah, seperti osteoporosis, atrofi otot, kontraktur, kekakuan
serta nyeri pada sendi.
b. Eliminasi urine : masalah yang umum ditemui pada sistem perkemihan
akibat imobilisasi, antara lain statis urine, batu ginjal, retensi urine dan
infeksi perkemihan.
c. Gastrointestinal : kondisi imobilisasi mempengaruhi tiga fungsi sistem
pencernaan, yaitu fungsi ingesti, digesti, dan eliminasi.
d. Respirasi : masalah yang umum ditemui pada sistem respirasi akibat
imobilisasi, antara lain penurunan gerak pernapasan, penumpukkan
sekret, atelektasis.
e. Sistem kardiovaskular
5

1) Hipotensi ortostatik : terjadi karena sistem saraf otonom tidak dapat


menjaga keseimbangan suplai darah ketubuh sewaktu individu
bangun dari posisi dalam waktu yang lama.
2) Pembentukan trombus : masa padat darah yang terbentuk di jantung
atau pembuluh darah biasanya disebabkan oleh tiga faktor, yakni
gangguan aliran balik vena menuju jantung, hiperkoagulabilitas
darah, dan cedera pada dinding pembuluh darah.
3) Edema dependen : biasanya terjadi diarea-area yang menggantung,
seperti kaki dan tungkai bawah pada individu yang sering duduk
berjuntai di kursi.
f. Metabolisme dan nutrisi
1) Penurunan laju metabolisme : jumlah energi minimal yang
digunakan untuk mempertahankan proses metabolisme.
2) Balans nitrogen negatif : pada kondisi imobilisasi, tedapat
ketidakseimbangan antara proses anabolisme dan katabolisme
protein.
3) Anoreksia : penurunan nafsu makan biasanya terjadi akibat
penurunan laju metabolisme dan peningkatan katabolisme yang
kerap menyertai kondisi imobilisasi.
g. Sistem Integumen : pada sistem ini, imobilitas dapat menimbulkan
berbagai masalah, turgor kulit menurun dan kerusakan kulit.
h. Sisten neurosensorik : ketidakmampuan mengubah posisi
menyebabkan terhambatnya input sensorik, menimbulkan perasaan
lelah, iritabel, persepsi tidak realistis, dan mudah bingung.
3. Gangguan Mobilisasi
Menurut Wahid (2013: 9-79), gangguan mobilitas adalah :
a. Fraktur
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall
C, dalam buku Nursing Care Plans Documentation menyebutkan bahwa
fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserat oleh tulang.
1) Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :
a) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
b) Faktor Instrinsik
6

Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya


tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
2) Tanda dan Gejala :
a) Deformitas
b) Bengkak atau edema
c) Echimosis (memar)
d) Spasme otot
e) Nyeri
f) Kurang atau hilang sensasi
g) Krepitasi
h) Pergerakan abnormal
3) Macam-macam fraktur
Penampilan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang
praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
(1) Fraktur Tertutup (Closed), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
(2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan kulit.
b) Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.
(1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada
foto.
(2) Tulang Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti :
(a) Hair Line Fracture adalah salah satu jenis fraktur tidak
lengkap pada tulang. Hal ini disebabkan oleh “stres yang
tidak biasa atau berulang-ulang” dan juga karena berat
badan terus menerus pada pergelangan kaki dan kaki.
Hal ini dapat digambarkan dengan garis sangat kecil atau
retak pada tulang, ini biasanya terjadi di tibia, metatarsal
(tulang kaki), dan walau tidak umum kadang bisa terjadi
pada tulang femur.
(b) Buckle atau Torus Fracture, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
7

(c) Green Stick Fracture, mengenai satu korteks dengan


angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
c) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma.
(1) Fraktur transversal : fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung
(2) Fraktur oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
(3) Fraktur spiral : fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
(4) Fraktur kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan.
(5) Fraktur avulsi : fraktur yang diakibatkan karena trauma
tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d) Berdasarkan jumlah garis patah.
(1) Fraktur komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
(2) Fraktur segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.
(3) Fraktur multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
e) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap
tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
1) Dislokasi ad longitudinal cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh).
f) Berdasarkan posisi fraktur.
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
(1) 1/3 proksimal.
(2) 1/3 medial.
(3) 1/3 distal.
g) Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8

h) Fraktur patologis : fraktur yang diakibatkan karena proses


patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu :
(1) Tingkat 0 : fraktur bisa dengan sedikit atau tanpa cidera
jaringan lunak sekitarnya.
(2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
(3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
(4) Tingkat 3 : cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Sprain
Sprain adalah bentuk cedera berupa penguluran atau robekan pada
ligamen (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau
kapsul sendi yang memberikan stabilitas sendi. Kerusakan parah pada
ligamen atau kapsul sendi dapat menyebabkan ketidakstabilan pada
sendi.
1) Penyebab sprain :
a) Jatuh, terpelintir
b) Tekanan pada tubuh yang menyebabkan sendi bergeser
sehingga menjadi cedera ligament.
2) Tanda dan gejala
a) Memar
b) Nyeri
c) Bengkak
d) Sulit menggerakan sendi
c. Strain
Strain adalah kerusakan pada suatu bagian otot atau tendon karena
penggunaan yang berlebihan ataupun stres yang berlebihan. Strain
adalah bentuk cedera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur
muskulotendinous (otot dan tendon).
1) Penyebab strain :
a) Otot/tendon terpelintir atau mengalami tarikan
b) Over stressing dan mengangkat benda yang berat
2) Tanda dan gejala
a) Nyeri
b) Spasme otot
c) Kelemahan otot
d) Bengkak
e) Kram
d. Dislokasi
9

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan


sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang
bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang
seharusnya (dari mangkuk sendi).
1) Penyebab dislokasi :
a) Cedera olahraga
b) Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor
c) Terjatuh
2) Tanda dan gejala
a) Nyeri
b) Perubahan kontur sendi
c) Perubahan panjang ekstermitas
d) Kehilangan mobilitas normal
e) Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi

E. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Mubarak dan Chayatin (2008 : 225), saat mengkaji data tentang
masalah imobilitas, perawat menggunakan metode pengkajian inspeksi,
palpasi, dan auskultasi. Selain itu, perawat juga memeriksa hasil tes
laboratorium serta mengukur berat badan, asupan cairan, dan keluaran
cairan klien. Karena tujuan intervensi keperawatan adalah untuk mencegah
komplikasi imobilitas, maka perawat perlu mengidentifikasi klien yang
berisiko mengalami komplikasi. Ini termasuk klien yang mengalami gizi
buruk, penurunan sensitivitas terhadap nyeri, temperatur atau tekanan,
masalah kardiovaskular, paru, dan neuromuskular, serta perubahan tingkat
kesadaran.
Menurut Potter dan Perry (2010 : 485), pengkajian mobilisasi klien
berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan toleransi aktivitas, serta
kesejajaran tubuh. Saat merasa ragu akan kemampuan klien, lakukan
pengkajian mobilisasi, dengan klien berada pada posisi yang paling
mendukung dan berada pada tingkat mobilisasi yang paling tinggi sesuai
dengan toleransi klien. Umumnya pengkajian pergerakan dimulai dari saat
klien berbaring, kemudian mengkaji posisi duduk di tempat tidur, berpindah
ke kursi, dan yang terakhir saat berjalan. Hal ini membantu keselamatan
klien.
a. Rentang Gerak (Range of Motion/ROM)
Menurut Potter dan Perry (2010 : 485), jumlah pergerakan maksimum
yang dapat dilakukan pada sendi, di salah satu dari tiga bidang, yaitu:
10

sagital, frontal, atau transversal. Ligamen, otot, dan sendi membatasi


mobilisasi sendi pada masing-masing sendi. Saat mengkaji ROM,
ajukan pertanyaan dan kaji tentang kekakuan, pembengkakan, nyeri,
pergerakan yang terbatas, dan pergerakan yang tidak sama. Data
pengkajian dari klien dengan keterbatasan pergerakan sendi sangat
bervariasi, bergantung pada area yang dipengaruhi.
1) Leher
Kontraktur fleksi leher merupakan ketidakmampuan yang serius,
karena leher klien akan fleksi secara permanen dengan dagu
mendekati atau menyentuh dada.
2) Bahu
Salah satu ciri bahu yang terpisah dari jenis sendi yang lain dalam
tubuh adalah otot yang paling besar yang mengontrolnya, yaitu
deltoid; berada dalam panjang dan posisi normal.
3) Siku
Fungsi siku akan optimal pada sudut 90 derajat.

4) Lengan bawah
Sebagian besar fungsi tangan dilakukan oleh lengan pada keadaan
pronasi.
5) Pergelangan tangan
Fungsi primer pergelangan tangan adalah meletakkan tangan dalam
keadaan dorsofleksi, yang merupakan posisi yang fungsional.
6) Jari Tangan dan jempol
ROM pada jari tangan dan jempol memungkinkan klien melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari dan aktivitas yang membutuhkan
kemampuan motorik yang baik; seperti tukang kayu, penjahit,
penggambar, dan pelukis.
7) Pinggul
Karena ekstremitas bawah berhubungan dengan daya penggerak
dan kemampuan menopang berat badan, stabilitas sendi pinggul
lebih penting daripada mobilisasinya.
8) Lutut
Fungsi lutut yang utama adalah stabilitas yang dicapai melalui ROM,
ligamen, dan otot.
9) Pergelangan kaki (ankle) dan kaki
Tanpa adanya ROM yang penuh pada pergelangan kaki, gaya jalan
akan mengalami deviasi.
b. Kekuatan otot
Menurut Muttaqin (2008: 57-58), penilaian kekuatan otot, yaitu :
1) Derajat 0 : paralisis total/tidak ditemukan kontraksi otot.
11

2) Derajat 1 : kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan


tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat
menggerakkan sendi.
3) Derajat 2 : otot hanya mampu menggerakkan persendian, tetapi
kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
4) Derajat 3 : di samping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat
melawan pengaruh gravitasi, tetapi tidak kuat terhadap tahanan
yang diberikan oleh pemeriksa.
5) Derajat 4 : kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan.
6) Derajat 5 : kekuatan otot normal.
c. Skala ADL
Menurut Asikin, et al (2016: 32), beberapa skala ADL antara lain :
1) 0 : klien mandiri.
2) 1 : klien memerlukan alat bantu.
3) 2 : klien memerlukan alat bantu dan orang lain/pengawasan.
4) 3 : klien memerlukan alat bantu dan bantuan orang lain.
5) 4 : klien bergantung pada orang lain/total care
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Wahid (2013: 33-38), dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan
umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan
total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos
metis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang,
berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem integumen
Terdapat erytoma, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
12

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, refleks


menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak ada
oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi pendarahan).
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cupling hidung.
h) Mulut dan faring
Tidak ada pembesaran tongsil, gusi tidak terjadi pendarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
(1) Inspeksi
Pernapasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, femirtus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tidak ada redup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara napas normal, tidak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(5) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus cordis.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
(6) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
(c) Perkusi
13

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.


(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal kurang lebih 20kali/menit.
(7) Ingunial-genetalia-anus
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada
kesulitan BAB.
b. Keadaan lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler
5P yaitu paint, palor, parestesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah :
1. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang di dapat antara lain :
a. Cicatriks : jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi.
b. Cafe au lait spot (birt mark)
Cafe au lait : penampakan kurang lebih sebesar uang logam.
Diameternya bisa sampai 50cm yang didalamnya berisi bintik-
bintik hitam.
c. Fristulae : warna kemerahan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
d. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
e. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
f. Posisi jalan (gait, waktu masuk kekamar periksa).

2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
3. Move ( prgerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan pencatat lingkup gerak ini perlu agar
dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakkan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik nol (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan
ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakkan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
14

F. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA-I tahun 2015-2017 yang dikutip dalam buku Mubarak,
Indrawati, dan Susanto (2015: 290-296), diagnosis keperawatan yang terkait
dengan masalah mobilisasi antara lain sebagai berikut :
1. Hambatan Mobilisasi Fisik
2. Intoleransi Aktivitas
3. Risiko Intoleransi Aktivitas
4. Risiko Disuse Syndrome
Berikut penjabaran diagnosa utama menurut NANDA-I 2015-2017
(Herdman dan Kamitsuru,ed. (2015 : 232 dan 241), adalah :
1. Hambatan Mobilitas Fisik
a. Definisi : keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah.
b. Batasan karakteristik
1) Dispnea setelah beraktivitas
2) Gangguan sikap berjalan
3) Gerakan lambat
4) Gerakan spastik
5) Gerakan tidak terkoordinasi
6) Instabilitas postur
7) Kesulitan membolak-balik posisi
8) Keterbatasan rentang gerak
9) Ketidaknyamanan
10) Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
11) Penurunan kemampuan melakukan ketrampilan motorik halus
12) Penurunan kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar
13) Penurunan waktu reaksi
14) Tremor akibat bergerak
c. Faktor yang berhubungan
1) Agens farmaseutikal
2) Ansietas
3) Depresi
4) Disuse
5) Fisik tidak bugar
6) Gangguan fungsi kognitif
7) Gangguan metabolisme
8) Gangguan muskuloskeletal
9) Gangguan neuromuskular
10) Gangguan sensori perseptual
11) Gaya hidup kurang gerak
12) Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75 sesuai usia
13) Intoleran aktivitas
14) Kaku sendi
15) Keengganan memulai pergerakan
16) Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat
17) Kerusakan integritas struktur tulang
18) Keterlambatan perkembangan
15

19) Kontraktur
20) Kurang dukungan lingkungan (misal, fisik atau sosial)
21) Kurang pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
22) Malnutrisi
23) Nyeri
24) Penurunan kekakuan otot
25) Penurunan kendali otot
26) Penurunan ketahanan tubuh
2. Intoleransi Aktivitas
a. Definisi : ketidakcukupan energi psikologis/fisiologis untuk
mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari
yang harus atau yang ingin dilakukan.
b. Batasan karakteristik
1) Dispnea setelah beraktivitas
2) Keletihan
3) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas
4) Perubahan elektrokardiogram/ EKG (misal, aritmaria,
abnormalitas konduksi, iskemia)
5) Respons frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas
6) Respons tekanan darah abnormal terhadap aktivitas.
c. Faktor yang berhubungan
1) Gaya hidup kurang gerak
2) Imobilitas
3) Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
4) Tirah baring

G. Perencanaan
1. Diagnosa 1 : Hambatan Mobilitas Fisik
a. NOC : Ambulasi (Moorhead, et al. 2013 : 75-76)
Definisi : Tindakan personal untuk berjalan dari satu tempat ke tempat
lain secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.
Tujuan : pasien mampu melakukan ambulasi secara mandiri setelah
dilakukan tindakan keperawatan sampai tanggal ...............................
dengan indikator :

No Indikator 1 2 3 4 5
1 Berjalan dengan pelan
2 Menopang berat badan
3 Berjalan dengan cepat
4 Berjalan dengan langkah yang
efektif
5 Berjalan mengelilingi kamar
16

Keterangan :
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
b. NIC
Menurut Bulechek, et al. (2013 : 438-341), NIC untuk diagnosa tersebut
adalah :
NIC 1 : Terapi latihan : Ambulasi
Definisi : peningkatan dan bantuan berjalan untuk menjaga/
mengembalikan fungsi tubuh otonom dan volunter selama pengobatan
dan pemulihan dari penyakit/ cedera.
Aktivitas :
1) Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki yang
memfasilitasi pasien untuk berjalan dan mencegah cedera.
2) Dorong untuk duduk di tempat tidur di samping tempat tidur
(menjuntai) atau di kursi, sebagaimana yang dapat
ditoleransi pasien.
3) Bantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur untuk
memfasilitasi penyesuaian sikap tubuh.
4) Konsultasikan pada ahli terapi fisik mengenai rencana
ambulasi, sesuai kebutuhan.
5) Gunakan sabuk (untuk) berjalan (gait belt) untuk membantu
perpindahan dan ambulasi, sesuai kebutuhan.
6) Monitor penggunaan kruk pasien atau alat bantu berjalan
lainnya.
7) Instruksikan pasien/caregiver mengenai perpindahan dan
teknik ambulasi yang aman.
8) Terapkan/sediakan alat bantu (tongkat, walker, atau kursi
roda) untuk ambulasi, jika pasien tidak stabil.
9) Bantu pasien untuk berdiri dan ambulasi dengan jarak
tertentu dan dengan sejumlah staf tertentu.
10) Instruksikan pasien untuk memposisikan diri sepanjang
proses pemindahan.
NIC 2 : Peningkatan mekanika tubuh
Definisi : memfasilitasi penggunaan postur dan pergerakkan dalam
aktivitas sehari-hari untuk mencegah kelelahan dan ketegangan atau
injuri muskuloskeletal.
17

Aktivitas :
1) Monitor perbaikan postur (tubuh) / mekanika tubuh pasien.
2) Bantu untuk menghindari duduk dalam posisi yang sama
dalam jangka waktu yang lama.
3) Edukasi paisen mengenai bagaimana menggunakan
postur (tubuh) dan mekanika tubuh untuk mencegah injuri
saat melakukan berbagai aktivitas.
4) Kolaborasikan dengan fisioterapi dalam mengembangkan
peningkatan mekanika tubuh, sesuai indikasi.
5) Bantu pasien melakukan latihan fleksi untuk memfasilitasi
mobilisasi punggung sesuai indikasi.
6) Instruksikan pasien untuk menggerakkan kaki terlebih
dahulu kemudian badan ketika memulai berjalan dari
posisi berdiri.
7) Kaji pemahaman pasien mengenai mekanika tubuh dan
latihan (misalnya mendemonstrasikan kembali teknik
melakukan aktivitas/latihan yang benar)
8) Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi latihan
postur (tubuh) yang sesuai.
9) Kaji komitmen pasien untuk belajar dan menggunakan
postur (tubuh) yang benar.
10) Instruksikan untuk menghindari tidur dengan posisi
telungkup.
2. Diagnosa 2 : Intoleransi Aktivitas
a. NOC : Toleransi terhadap aktivitas (Moorhead,et al. 2013: 582)
Definisi : Respon fisiologis terhadap pergerakan yang memerlukan
energi dalam aktivitas sehari-hari.
Tujuan : Pasien mampu mentoleransi aktivitas / mampu melakukan
aktivitas secara adekuat sampai tanggal ............................... dengan
indikator :
No Indikator 1 2 3 4 5
1 Frekuensi nadi ketika
beraktivitas
2 Kemudahan bernapas ketika
beraktivitas
3 Tekanan darah sistolik ketika
beraktivitas
4 Tekanan darah diastolik ketika
beraktivitas
5 Warna kulit
18

Keterangan :
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

b. NIC
Menurut Bulechek,et al. (2013 : 338-339 dan 177), NIC untuk
diagnosa tersebut adalah :
NIC 1 : Peningkatan latihan
Definisi : Memfasilitasi aktivitas fisik secara teratur untuk
meningkatkan atau mempertahankan kesehatan dan tingkat
kebugaran.
Aktivitas :
1) Monitor kepatuhan individu terhadap program latihan.
2) Monitor respon individu terhadap program latihan.
3) Gali pengalaman individu sebelum mengenal latihan.
4) Gali hambatan untuk melakukan latihan.
5) Lakukan latihan bersama individu, jika diperlukan.
6) Dukung individu untuk memulai atau melanjutkan latihan.
7) Dampingi individu pada saat menjadwalkan latihan secara
rutin setiap minggunnya.
8) Informasikan individu mengenai manfaat kesehatan dan efek
fisiologis latihan.
9) Instruksikan individu terkait frekuensi, durasi, dan intesitas
program latihan yang diinginkan.
10) Instruksikan individu dengan tipe aktivitas fisik yang sesuai
dengan derajat kesehatannya, kolaborasikan dengan dokter
dan atau ahli fisik.
NIC 2 : Manajemen energi
Definisi : pengaturan energi yang digunakan untuk menangani atau
mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi.
Aktivitas :
1) Kaji status fisiologis pasien yang menyebabkan kelelahan
sesuai dengan konteks usia dan perkembangan.
2) Anjurkan pasien mengungkapkan perasaan secara verbal
mengenai keterbatasan yang dialami.
3) Tentukan persepsi pasien/orang terdekat dengan pasien
mengenai penyebab kelelahan.
19

4) Konsulkan dengan ahli gizi mengenai cara meningkatkan


asupan energi dari makanan.
5) Tentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang dibutuhkan
untuk menjaga ketahanan.
6) Monitor intake/asupan nutrisi untuk mengetahui sumber
energi yang adekuat.
7) Ajarkan pasien mengenai pengelolaan kegiatan dan teknik
manajemen waktu untuk mencegah kelelahan.
8) Anjurkan periode istirahat dan kegiatan secara bergantian.
9) Lakukan ROM aktif/pasif untuk menghilangkan ketegangan
otot.
10) Monitor sumber kegiatan olahraga dan kelelahan emosional
yang dialami pasien.

H. Penatalaksanaan
Menurut Potter dan Perry (2010: 585-587), terdapat beberapa
penggunaan alat bantu jalan antara lain :
1. Kruk
Dibutuhkan untuk meningkatkan mobilitas. Biasanya penggunaan kruk
bersifat temporer, misalnya kerusakan ligamen lutut. Kruk merupakan
tongkat yang terbuat dari kayu atau mental.
2. Walker
Terbuat dari tabung metal setinggi pinggang dan mudah digerakkan
serta ringan. Alat ini memiliki empat kaki, klien berpegang pada pegangan
tangan di batang bagian atas, melangkah, menggerakkan walker ke depan,
mengambil langkah lagi.
3. Tongkat
Memiliki ciri-ciri ringan, mudah digerakkan, dan terbuat dari kayu atau
mental. Sanggaan yang diberikan tongkat lebih kecil dan kurang stabil
dibandingkan walker.
20

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, et al., 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Muskuloskeletal. Jakarta :


Erlangga.

Bulechek, Gloria M, et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Alih Bahasa
Intansari Nurjannah dan Roxsana Devi Tumanggor . St. Louis: Mosby Elsevier.

Herdman, T. Heather dan Shigemi Kamitsuru. ed. 2015. NANDA International


Diagnosis Keperawatan definisi dan klasifikasi 2015-2017. Alih Bahasa Budi
Anna Keliat., et. al., Jakarta: EGC.

Moorhead, Sue, et al., ed. 2016. Nursing Outcome Classification (NOC). Alih Bahasa
Intansari Nurjannah dan Roxsana Devi Tumanggor. St. Louis: Mosby Elsevier.

Mubarak, Wahit Iqbal dan Nurul Chayatin. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia
Teori & Aplikasi dalam Praktik. Jakarta : EGC.

Mubarak, Wahit Iqbal, Indrawati, Lilis, dan Susanto, Joko. 2015. Buku Ajar Ilmu
Keperawatan Dasar. Buku I. Jakarta : Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.

Potter, Petricia A dan Anne Griffin Perry. 2010. Fundamental Of Nursing : Fundamental
Keperawatan. Alih Bahasa Diah Nur Fitriani, et al. Buku II. Edisi VII. Jakarta :
Salemba Medika.

Potter, Petricia A dan Anne Griffin Perry. 2010. Fundamental Of Nursing : Fundamental
Keperawatan. Alih Bahasa Diah Nur Fitriani, et al. Buku III. Edisi VII. Jakarta :
Salemba Medika.

Syaifuddin. 2010. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk


Keperawatan dan Kebidanaan. Edisi IV. Jakarta : Salemba Medika.

Wahid, Abdul. 2013. Buku Saku Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Edisi I. Jakarta : Trans Info Media.

Wartonah dan Tarwoto. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Edisi IV. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai