Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DENGAN LOW BACK PAIN DI RUANG MINA 2 RSUDZA


BANDA ACEH

OLEH :

Siti Rahmah Nusa Fitria, S. Kep


2212501010191

Pembimbing :
Ns. Ahyana, S.Kep., MNS

KEPANITERAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR (K3S)


KEPERAWATAN DASAR
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2023
KONSEP LOW BACK PAIN

A. Definisi
Nyeri Punggung Bawah atau Low Back Pain (LBP) adalah suatu keadaan
dengan rasa tidak nyaman atau nyeri akut pada daerah ruas lumbalis kelima dan
sarkalis (L5-S1) (Wahab, 2019). Low back pain terjadi dikarenakan adanya gangguan
muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik dan biasa
terjadi akibat postur tubuh yang tidak sesuai sehingga beban tertumpu pada otot
punggung bagian bawah.
Menurut Astuti & Koesyanto (2016) nyeri punggung bawah merupakan
keluhan
otot yang menjadi penyebab utama disabilitas, penurunan kualitas hidup dan keluhan
utama bagi pekerja yang datang ke pelayanan kesehatan. Nyeri punggung terjadi
karena sikap dan beban kerja yang terlalu tinggi ditambah dengan peregangan otot
yang tidak cukup bagi pekerja.

B. Etiologi
Penyebab low back pain antara lain yaitu faktor struktural akibat adanya luka
atau lesi pada tulang belakang, faktor psikologis seperti penyakit pada bagian organ
dalam maupun organ reproduksi, kurang olahraga, dan faktor biomekanik akibat
disfungsi pada sistem musculoskeletal (Aditama, 2021).
Low back pain disebabkan oleh beberapa kelainan pada tulang belakang, otot,
diskus intervertebralis, sendi, maupun struktur penyokong lainnya yang ada pada
tulang belakang, regangan pada lumbosakral bersifat akut, kelemahan pada otot dan
ketidakstabilan ligamen lumbosakral, osteoathritis tulang belakang, stenosis tulang
belakang, ketidaksamaan diskus intervertebra, penyebab lain seperti lansia (perubahan
struktur tulang belakang), gangguan ginjal, masalah pada pelvis, tumor retroperineal,
aneurisma abdominal serta masalah psikosomatik (Muttaqin, 2012).

C. Klasifikasi
Menurut Rahmawati (2021) LBP dapat diklasifikasinya menjadi dua yaitu:.
1. Nyeri punggung bawah akut
Terjadi dalam waktu kurang dari 12 minggu ditandai dengan rasa nyeri yang
menyerang secara tiba-tiba. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Nyeri dapat
disebabkan karena luka traumatik seperti kecelakaan mobil atau terjatuh. Rasa
nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak
jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon
2. Nyeri punggung bawah kronik
Terjadi dalam waktu lebih dari 3 bulan. Rasa nyeri dapat berulang atau kambuh
kembali. Nyeri punggung bawah kronik dapat terjadi karena osteoarthritis,
rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis, dan tumor.

D. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari Low Back Pain menurut Ratini (2015) antara lain yakni:
1. Nyeri sepanjang tulang belakang, dari pangkal leher sampai tulang ekor.
2. Nyeri tajam terlokalisasi di leher, punggung atas atau punggung bawah terutama
setelah mengangkat benda berat atau terlibat dalam aktivitas berat lainnya.
3. Sakit kronis di bagian punggung tengah atau punggung bawah, terutama setelah
duduk atau berdiri dalam waktu yang lama.
4. Nyeri punggung menjalar sampai ke pantat, dibagian belakang paha, ke betis dan
kaki.
5. Ketidakmampuan untuk berdiri tegak tanpa rasa sakit atau kejang otot di
punggung bawah.

E. Penatalaksanaan
a. Farmakologis
Menurut Sengkey (2018) penatalaksanaan low back pain secara farmakologis
berupa pemberian obat-obatan kimia seperti:
1. Analgesik dan OAINS ( Obat Anti Inflamasi NonSteroid)
Obat-obatan ini diberikan dengan tujuan mengurangi nyeri inflamasi. Contoh
analgesik sederhana yang dapat dipakai adalah paracetamol. OAINS yang
banyak dipakai adalah: sodium diklofenak/ potassium, ibuprofen, etodolak,
deksketoprofen dan selekoksib.
2. Obat pelemas otot (muscle relaxant)
Obat pelemas otot bermanfaat untuk NPB akut terutama bila penyebab NPB
adalah spasme otot. Contoh: eperison, tisanidin, karisoprodol, diazepam dan
siklobensaprin.
3. Opioid
Obat ini cukup efektif untuk mengurangi nyeri, tetapi seringkali menimbulkan
efek samping mual dan mengantuk disamping pemakaian jangka panjang bisa
menimbulkan toleransi dan ketergantungan obat. Disarankan pemakaiannya
hanya pada kasus NPB
b. Nonfarmakologi
1. Terapi akupresur
Akupresur merupakan terapi komplementer yang tidak memiliki efek
samping dan dapat digunakan untuk menurunkan tingkat nyeri baik nyeri akut
maupun nyeri kronis. Akupresur dilakukan dengan memberikan tekanan fisik
pada beberapa titik pada permukaaan tubuh yang merupakan tempat sirkulasi
energi dan keseimbangan pada kasus gejala nyeri. Akupresur terbukti dapat
mengurangi nyeri punggung (Kurniyawan, 2016). Pemberian terapi akupresur
dapat melancarkan sirkulasi darah dan menurunkan intensitas nyeri dengan
penekanan pada titik meridian BL 20, BL 23, BL25, dan BL 40 pada pasien
dengan keluhan low back pain (Kementerian Kesehatan, 2012).
2. Peregangan
Pemberian pelatihan peregangan juga dapat menurunkan tingkat nyeri
punggung bawah. Peregangan otot jika dilakukan dengan benar dan teratur
dapat mencegah dan membantu pemulihan nyeri punggung akibat posisi kerja
yang salah, otot menegang akibat tidak bergerak dalam waktu yang lama,
peredaran darah yang terhambat dan cedera ketegangan yang berulang
(Satriadi dkk, 2018).
F. Patofisiologi

PATHWAY

Masalah musculoskeletal,gangguan
ginjal,masalah pelvis,tumor

Kontraksi punggung

Tulang belakang menyerap goncangan vertika

Terjadi perubahan struktur dengan discus


susun atas fibri fertilgo dan matrik gelatinus

Otot abdominal dan toraks melemah Fibri kartilago padat dan tidak
Teratur
Mobilitas fisik terganggu
Penonjolan diskus/kerusakan sendi pusat

Hambatan
Mobilitas Nyeri
Fisik
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIDROSEFALUS

A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan untuk menentukan
masalah yang timbul. Adapun pengkajian menurut Mendri & Prayogi, (2018), adalah
1. Identitas pasien, meliputi: nama, temapt/tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat.
2. Keluhan utama : hal yang sering menjadi alasan pasien mengeluh dan memerlukan
bantuan seperti, muntah, gelisah, nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan
ganda, perubahan pupil, dan kontriksi penglihatan perifer
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang, adanya riwayat infeksi, tingkat kesadaran menurun
(GCS<15), kejang, muntah, sakit kepala, lemah, kelelahan fisik umum,
akumulasi sekret pada saluran nafas dan adanya liquor dari hidung.
b. Riwayat penyakit dahulu, tanyakan mengenai riwayat hidrosefalus sebelumnya,
riwayat adanya neoplasma otak, kelaianan bawaan otak dan riwayat infeksi.
4. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan oleh pasien dan keluarga untuk
menilai respon terhadapa penyakit yang diderita dan perubahan peran dalam
keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
hari.
5. Pemeriksaan fisik secara head to toe
6. Pengkajian tingkat kesadaran
Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah adanya dimensia. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaen pasien biasnya berkisar pada tingkat latergi, stupor,
semikoma sampai koma.
7. Pengkajian fungsi serebral, meliputi
a. Status mental, observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah dan aktivitas motorik pasien.
b. Pengkajian saraf cranial, meliputi
1) Saraf I (Olfaktorius), pada beberapa keadaan hidrosefalus menekan anatomi
dan fisiologis saraf, pasien akan mengalami kelainan pada fungsi
penciuman/anosmia lateral atau bilateral.
2) Saraf II (Optikus), apakah adanya edema pupil saraf otak II pada
pemeriksaan funduskopi.
3) Saraf III, IV, dan VI (Okulomotorius, Trokhearis, dan Abduces).
4) Saraf V (Trigeminus). adanya penurunan kemampuan koordinasi gerakan
menguyah.
5) Saraf VII (Facialis), persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6) Saraf VIII (Akustikus), biasnya tidak didapatkan gangguan fungsi
pendengaran.
7) Saraf IX dan X (Glosofaringeus dan Vagus).
8) Saraf XI (Aksesorius).
9) Saraf XII (Hipoglosus), ada perubahan pada indra pengecapan.
8. Mobilitas, kurang baik karena oto melemah saat bergerak sehingga menghambat
mobilitasi fisik pasien.
9. Pengkajian sistem motoric
1) Tonus otot, didapatkan menurun dan menghilang.
2) Kekuatan otot, didapatkan menurun.
3) Keseimbangan dan koordinasi, mengalami gangguan karena kelemahan fisik
umum dan kesulitan dalam berjalan.
10. Pengkajian refleks
Pemeriksaan reflex profunda, reflek patella, ligamentum atau periosteum
derajat
reflex pada respon normal.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (post op. VP Shunt)
2. Intoleransi Aktivitas b.d imobilitas, kelemahan otot
3.

C. Intervensi Keperawatan

RENCANA KEPERAWATAN
DIAGNOSA NOC
NIC
(TUJUAN DAN
(INTERVENSI )
KRITERIA HASIL)
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
pencedera fisik (post op. VP tindakan keperawatan Observasi.
Shunt) 5x24 jam diharapkan 1. Identifikasi skala
nyeri membaik dengan nyeri (menggunakan
kriteria hasil : skala r-flaac)
2. Identifikasi respon
1. Keluhan nyeri menurun
nyeri non verbal
2. Meringis menurun
3. Identifikasi faktor
3. Gelisah menurun
yang memperberat
4. Kesulitan tidur
dan memperingan
menurun
nyeri
5. Pola tidur membaik
6. Pola nafas membaik
Terapeutik
7. Tekanan darah
1. Berikan teknik
membaik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
nyeri (skin to skin
antara ibu dan bayi,
sucking, sushing,
distraksi, mendengar
murotal)
2. Kontrol lingkungan
yang memperberat
nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur

Edukasi
1. Jelaskan strategi
mengurangi nyeri
2. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
dalam mengurangi
nyeri

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik
Risiko infeksi b.d efek Setelah dilakukan Pencegahan infeksi
tindakan keperawatan Observasi
prosedur invasif (Post
5x24 jam diharapkan 1. Monitor tanda dan
Op.VP Shunt) tingkat infeksi menurun gejala infeksi lokal
dengan kriteria hasil : dan sistemik

1. Demam menurun Terapeutik


2. Nyeri menurun 1. Batasi jumlah
pengunjung
3. Kadar sel darah 2. Cuci tangan sebelum
putih membaik dan sesudah kontak
4. Bebas dari tanda dengan pasien dan
dan gejala infeksi lingkungan pasien
3. Pertahankan teknik
aseptik

Edukasi
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Jelaskan cara
mencuci tangan yang
benar

Pemantauan Tanda Vital


Observasi
1. Monitor nadi
2. Monitor pernapasan
3. Monitor suhu

Terapeutik
1. Atur interval
pemantauan sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil
pemantauan

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan

Risiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan Manajemen Peningkatan


tindakan keperawatan TIK
efektif b.d hidrosefalus
5x24 jam diharapkan Observasi
perfusi cerebral meningkat 1. Identifikasi dan
dengan kritera hasil : Kelola peningkatan
TIK
1. Gelisah menurun 2. Monitor tanda/gejala
2. Demam menurun peningkatan TIK
3. Reaksi pupil (bradikardi, pola
meningkat nafas ireguler,
4. Frekuensi nadi penurunan
membaik kesadaran)
5. Frekuensi nafas
Terapeutik
membaik
1. Berikan posisi semi
fowler
2. Cegah terjadinya
kejang
3. Pertahankan suhu
tubuh normal

Pemantauan peningkatan
TIK
Observasi
1. Identifikasi penyebab
peningkatan TIK
(Obstruksi aliran
cairan serebrospinal)
2. Monitor perlambatan
respon pupil
3. Monitor penurunan
tingkat kesadaran

Terapeutik
1. Pertahankan sterilitas
sistem pemantauan
2. Pertahankan posisi
kepala dan leher
netral

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan

Manajemen Kejang
Observasi
1. Monitor terjadinya
kejang berulang
2. Monitor tanda-tanda
vital

Terapeutik
1. Baringkan pasien
agar tidak terjatuh
2. Berikan alas empuk
dibawah kepala
3. Pertahankan
kepatenan jalan nafas
4. Longgarkan pakaian

Edukasi
1. Anjurkan keluarga
menghindari
memasukkan apapun
ke mulut pasien saat
periode kejang
2. Anjurkan keluarga
tidak menggunakan
kekerasan untuk
menahan gerakan
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Damanik. (2022). Korelasi Hidrosefalus berdasarkan Pemeriksaan Ct Scan dengan


Klinis di RSUD Tiara Kasih Sejati Pematangsiantar. Majalah Ilmiah Methoda,
6(1), 57-66.
Kemenkes RI. (2019). Buku Ajar Imunisasi, Cetakan. II. Jakarta: Pusdiklatnakes
Kurniawan. (2020). Tatalaksana Pasien Post Ventriculo Peritoneal (VP) Shunt et
causa Meningitis disertai Aspirasi Pneumonia dan Gagal Napas di Ruang
Rawat Intensif. JNI, 9 (2): 87–91
Nurarif, A.H. & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan
Diagnosis Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Jogjakarta: Medication Publishing
Robbin, S. (2007). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai