Pembimbing :
dr. Siswarni, Sp. KFR
Disusun Oleh:
Yustika Qasthari P., S.Ked (J510181118)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
RUMAH SAKIT ORTHOPEDI PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN ET CAUSA LUMBAR SPINAL
STENOSIS (LSS) DENGAN SPONDILOLISTESIS DAN
REHABILITASI MEDIK
Disusun Oleh:
Yustika Qasthari P., S.Ked (J510181118)
Mengetahui :
Pembimbing :
dr. Siswarni, Sp. KFR (........................................)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Siswarni, Sp. KFR (........................................)
BAB 1
PENDAHULUAN
2. EPIDEMIOLOGI
LBP sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, terutama di negara-
negara industri. Diperkirakan 70-85% dari seluruh populasi pernah
mengalami episode ini selama hidupnya. Prevalensi tahunannya bervariasi
dari 15-45%, dengan point prevalence rata-rata 30%. Data epidemiologi
mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40%
penduduk Jawa Tengah berusia di atas 65 tahun pernah menderita nyeri
punggung, prevalensi pada laki-laki 18,2% dan pada wanita 13,6%.
Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di
Indonesia berkisar antara 3-17% (Sadeli dan Tjahyono, 2001).
3. ETIOLOGI
Dalam klinik LBP dibagi dalam 3 kelompok:
1. LBP oleh faktor mekanik.
a. LBP oleh mekanik akut Biasanya timbul bila tubuh melakukan
gerakan secara mendadak melampaui batas kemampuan sendi dan
otot atau melakukan sesuatu untuk jangka waktu terlampau lama.
b. LBP oleh mekanik kronik (menahun) Paling sering disebabkan oleh
sikap tubuh yang jelek, yaitu sikap tubuh yang membungkuk ke
depan, kepala menunduk, perut membuncit dan dada kempes
mendatar. Sikap tubuh yang demikian mendorong Titik Berat
Badan (TBB) tergeser ke arah depan sebagai kompensasi agar
keseimbangan tubuh 4 tetap terjaga. Di samping akibat sikap tubuh
yang jelek, pergeseran TBB ke arah depan terlihat juga pada
wanita-wanita yang gemar memakai sepatu dengan tumit tinggi.
2. LBP oleh faktor organik
a. LBP osteogenik
1) Radang
2) Trauma tidak jarang LBP merupakan keluhan utama pada
fraktur vertebra lumbal. Lebih-lebih fraktur spontan akibat
osteoporosis pada penderita usia lanjut. Jenis fraktur ini
sering disertai spondilolistesis L5-S1 dan L4- L5 8
3) Keganasan dapat bersifat primer, multiple myeloma atau
sekunder akibat metastasis.
4) Kongenital (Harsono, 2010).
b. LBP diskogenik Dalam hal ini proses primer terletak pada
diskus intervertebralis. Bentuk dan gangguan yang sering
dijumpai ialah :
1) Spondilosis adalah suatu proses denerasi progresif diskus
intervetebra. Keadaan ini menimbulkan nyeri yang berasal
dari dua macam sumber :
- Osteoarthiritis
- Radikulitis jebakan, radiks terjebak dalam
perjalanannya melewati foramen intervebra yang
menyempit.
2) Hernia Nukleus Pulposus (HNP) yaitu keluarnya nukleus
pulposus dari diskus intervetebra melalui robekan annulus
fibrosus keluar ke arah belakang/dorsal menekan medulla
spinalis.
3) Spondilitis ankilosa merupakan penyakit jaringan ikat yang
ditandai dengan peradangan pada tulang belakang dan
sendi-sendi yang besar, menyebabkan kekakuan progresif,
nyeri dan dengan penyebab yang tidak diketahui.
c. LBP neurogenik
1) Neoplasma
2) Arakhnoiditis
3) Stenosis kanal
Gejala Klinis (nyeri neurogenik)
Nyeri di area punggung bawah, biasanya menjalar
sesuai dermatom-nya ke tungkai bawah.
Meningkat pada berjalan, membungkuk, duduk terlalu
lama (menyetir), serta aktivitas mendadak dan berat.
Kegiatan yang menimbulkan peninggian tekanan di
dalam ruang intraspinal seperti batuk, bersin, dan
mengejan, memprovokasi terasanya nyeri.
3. Nyeri Psikogenik
4. FAKTOR RISIKO
Faktor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya Low Back Pain
adalah sebagai berikut:
1. Usia
Sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada
tulang. Keadaan ini mulai terjadi disaat seseorang berusia 30 tahun.
Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan,
penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan. Hal
tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi
berkurang. Semakin tua seseorang, semakin tinggi risiko orang
tersebut tersebut mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang
menjadi pemicu timbulnya gejala LBP. Pada umumnya keluhan
muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Garg dalam Pratiwi(2009)
menunjukkan insiden LBP tertinggi pada umur 35-55 tahun dan
semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini diperkuat
dengan penelitian Sorenson dimana pada usia 35 tahun mulai terjadi
nyeri punggung bawah dan akan semakin meningkat pada umur 55
tahun (Andini, 2015).
2. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya LBP lebih banyak pada wanita dibandingkan
dengan laki-laki. Jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko
keluhan otot rangka. Hal ini terjadi karena secara fisiologis,
kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria. Berdasarkan
beberapa penelitian menunjukkan prevalensi beberapa kasus
muskuloskeletal disorders lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada
pria (NIOSH, 1997).
3. Index Masa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat
dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam
kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam meter (kg/m2).
Panduan terbaru dari WHO tahun 2000 mengkategorikan indeks masa
tubuh untuk orang Asia dewasa menjadi underweight (IMT <18.5),
normal range (IMT 18.5-22.9) dan overweight (IMT ≥23.0).
Overweight dibagi menjadi tiga yaitu at risk (IMT 23.0-24.9), obese 1
(IMT 25-29.9) dan obese 2 (IMT ≥30.0) (Koentjoro, 2010). Hasil
penelitian Purnamasari (2010) menyatakan bahwa seseorang yang
overweight lebih berisiko 5 kali menderita LBP dibandingkan dengan
orang yang memiliki berat badan ideal. Ketika berat badan bertambah,
tulang belakang akan tertekan untuk menerima beban yang membebani
tersebut sehingga mengakibatkan mudahnya terjadi kerusakan dan
bahaya pada stuktur tulang belakang. Salah satu daerah pada tulang
belakang yang paling berisiko akibat efek dari obesitas adalah
verterbrae lumbal (Purnamasari et al., 2010).
4. Pekerjaan
Faktor resiko di tempat kerja yang banyak menyebabkan gangguan
otot rangka terutama adalah kerja fisik berat, penanganan dan cara
pengangkatan barang, gerakan berulang, posisi atau sikap tubuh
selama bekerja, getaran, dan kerja statis (Andini, 2015).
5. Aktivitas / olahraga
Kebiasaan seseorang, seperti duduk, berdiri, tidur, mengangkat
beban pada posisi yang salah dapat menimbulkan nyeri pinggang,
misalnya, pada pekerja kantoran yang terbiasa duduk dengan posisi
punggung yang tidak tertopang pada kursi, atau seorang mahasiswa
yang seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu menulis.
Posisi berdiri yang salah yaitu berdiri dengan membungkuk atau
menekuk ke muka. Posisi tidur yang salah seperti tidur pada kasur
yang tidak menopang tulang belakang. Kasur yang diletakkan di atas
lantai lebih baik daripada tempat tidur yang bagian tengahnya lentur.
Posisi mengangkat beban dari posisi berdiri langsung membungkuk
mengambil beban merupakan posisi yang salah, seharusnya beban
tersebut diangkat setelah jongkok terlebih dahulu (Andini, 2015).
6. Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok, diduga karena perokok memiliki
kecenderungan untuk mengalami gangguan pada peredaran darahnya,
termasuk ke tulang belakang (Andini, 2015).
7. Abnormalitas struktur
Ketidaknormalan struktur tulang belakang seperti pada skoliosis,
lordosis, maupun kifosis, merupakan faktor resiko untuk terjadinya
LBP (Andini, 2015).
5. KLASIFIKASI
Menurut Sidharta (1999) dalam Hartanto Sumarno Ervan (2011),
ischialgia dibagi menjadi tiga yaitu:
6. PATOGENESIS
LBP dapat disebabkan oleh faktor non-neurogenik dan neurogenik.
Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat iritasi langsung terhadap serabut
saraf sensorik perifer. Nyeri neurogenik memiliki dua ciri khas, yakni
nyerinya menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan, dan
penjalaran nyeri itu berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi.
Nyeri neurogenik dapat berupa nyeri radikular atau nyeri neuritik. Segala
sesuatu yang merangsang serabut sensorik di tingkat radiks (radiks
posterior) dapat menimbulkan nyeri radikular, yakni nyeri yang terasa
berpangkal pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang
kawasan dermatomal radiks posterior yang bersangkutan. Pada lesi iritatif
radiks posterior tingkat servikal, nyeri radikular dapat dirasakan sepanjang
lengan, sedangkan pada tingkat lumbosakral, nyeri radikular dapat
dirasakan sepanjang tungkai. Apabila nyeri radikular tersebut disebakan
oleh perubahan pada diskus dan sekitarnya, nyeri disebut sebagai nyeri
diskogenik. Salah satu penyebab nyeri dikogenik ini adalah Hernia
Nukleus Pulposus. Jika penekanan radiks posterior sudah menimbulkan
pembengkakan atau kerusakan struktural yang lebih berat, dapat terjadi
anastesia radikular, dimana sensasi nyeri hilang walau pun kompresi radiks
masih ada (Adam et all, 1997).
7. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis LBP berbeda-beda sesuai dengan etiologinya
masing-masing seperti beberapa contoh dibawah ini (Sidharta, 2004):
1. LBP akibat sikap yang salah
a. Sering dikeluhkan sebagai rasa pegal yang panas pada pinggang,
kaku dan tidak enak namun lokasi tidak jelas.
b. Pemeriksaan fisik menunjukkan otot-otot paraspinal agak spastik
di daerah lumbal, namun motalitas tulang belakang bagian lumbal
masih sempurna, walaupun hiperfleksi dan hiperekstensi dapat
menimbulkan perasaan tidak enak.
c. Lordosis yang menonjol.
d. Tidak ditemukan gangguan sensibilitas, motorik, dan refleks pada
tendon.
e. Foto rontgen lumbosakral tidak memperlihatkan kelainan yang
relevan.
2. Pada Herniasi Diskus Lumbal
a. Nyeri punggung yang onsetnya perlahan-lahan, bersifat tumpul
atau terasa tidak enak, sering intermiten, walaupun kadang
onsetnya mendadak dan berat.
b. Diperhebat oleh aktivitas atau pengerahan tenaga serta mengedan,
batuk atau bersin.
c. Menghilang bila berbaring pada sisi yang tidak terkena dengan
tungkai yang sakit difleksikan.
d. Sering terdapat spasme refleks otot-otot paravertebrata yang
menyebabkan nyeri sehingga membuat pasien tidak dapat berdiri
tegak secara penuh.
e. Setelah periode tertentu timbul skiatika atau ischialgia.
3. LBP pada Spondilosis
a. Kompresi radiks sulit dibedakan dengan yang disebabkan oleh
protrusi diskus, walaupun nyeri biasanya kurang menonjol pada
spondilisis.
b. Dapat muncul distesia tanpa nyeri pada daerah distribusi radiks
yang terkena.
c. Dapat disertai kelumpuhan otot dan gangguan reflex.
d. Terjadi pembentukan osteofit pada bagian sentral dari korpus
vertebra yang menekan medula spinalis.
e. Kauda ekuina dapat terkena kompresi pada daerah lumbal bila
terdapat stenosis kanal lumbal.
4. LBP pada Spondilitis Tuberkulosis
a. Terdapat gejala klasik tuberkulosis seperti penurunan berat badan,
keringat malam, demam subfebris, kakeksia. Gejala ini sering tidak
menonjol.
b. Pada lokasi infeksi sering ditemukan nyeri vertebra/lokal dan
menghilang bila istirahat.
c. Gejala dan tanda kompresi radiks atau medula spinalis terjadi pada
20% kasus (akibat abses dingin).
d. Onset penyakit dapat gradual atau mendadak (akibat kolaps
vertebra dan kifosis).
e. Diawali nyeri radikular yang mengelilingi dada atau perut, diikuti
paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,
hiperrefleksia dan refleks Babinsky bilateral.
f. Dapat ditemukan deformitas dan nyeri ketok tulang vertebra.
g. Penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang
muncul terutama gangguan motorik.
4. FAKTOR RISIKO
Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Berjenis kelamin wanita
3. Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan
dengan pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya.
5. PATOGENESIS LSS
Etiologi dari spinal stenosis ditemukan pada tulang belakang
lumbal dimana terjadi bulging pada ligamentum flavum pada 50%-85
kasus. Sedangkang diskus bukanlah penyebab utama dari stenosis. Traksi
dihasilkan pada jaringan neural seperti rotasi tulang belakang, fleksi dan
ektensi. Orang normal memiliki ruang yang cukup di canal dan resesus
lateral untuk bergerak tanpa gejala klinis.Bagaimanapun, jika kanal lebih
sempit dari tulang atau proliferasi ligamentum gejala klinis baru akan
muncul (Cox, 2011).
Nyeri dapat dihasilkan langsung dari tubrukan saraf tetapi telah
dikatakan bahwa obstruksi high-grade bias memblok system limfatik dan
kanal vena pada dura. Penumpukan LCS pada obstruksi dapat
menyebabkan collapse vena balik dan menyebabkan anoxia stagnant.
Refleks akson melalui system reflek otonom juga dapat menambah nyeri
(Cox, 2011).
Kumpulan factor penyebab tersebut dapat menyebabkan iritasi
pada akar saraf . yang mana menjelaskan bagaimana gejala dari Low back
pain dan Leg pain. Stenosis mungkin merupakan elemen penting yang
menentukan beratnya gejala, respon dari perawatan, dan prognosis.
Seorang pasien dapat mempunya protusi diskus besar dan juga diameter
kanalis vertebra yang luas serta mendesak ke lateral dan tidak mempunyai
gejala sebelumnya., dimana pada protusi diskus yang sama dapat
menyebabkan gangguan sensorik dan motoric yang berat pada pasien
dengan stenosis canal (Cox, 2011).
Rydevik et al.menunjukan bahwa perubahan fungsional diinduksi
oleh kompresi akar saraf dapat disebabkan oleh deformitas mekanik
serabut saraf yang berhubungan dengan herniasi diskus intervertebral dan
spinal stenosis. Sebagai tambahan, perubahan mungkin merupakan
konsekuensi dari perubahan pada mikrosirkulasi serabut saraf, yang
memicu iskemia dan pembentukan edema intraneural (Cox, 2011)
6. GEJALA KLINIS
Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami
keluhan saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat
berjalan berkembang menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa
waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-kadang secara
mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya
akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.
Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan
postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri
tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau
impotensi seringkali dapat ditemukan.
Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri,
termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada
punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus
lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan
dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis
lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan
menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi.
Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul
dalam waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler.
Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana
seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi
proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan,
termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh
instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan
perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke
depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan,
gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak
terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang
lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena
yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara postural,
beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang
sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak
pendek.
Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien,
tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit
sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia
urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat
mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan
claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik
disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf
dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan
kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal
yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat
terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang
berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya
serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau
rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid
yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di
sekitarnya dengan akibat negatif pada metabolismenya.
Spinal stenosis biasanya berkembang perlahan-lahan selama jangka
waktu yang panjang. Hal ini karena penyebab utama stenosis tulang
belakang adalah degenerasi. Gejala jarang berkembang dengan cepat
ketika degenerasi etiologi utama.
Pasien dengan stenosis tidak selalu merasa sakit punggung. Gejala
lebih tampak pada kelemahan di kaki, biasanya di kedua kaki pada waktu
yang sama. Gejala terutama mempengaruhi sensasi pada tungkai bawah.
Tekanan saraf dari stenosis dapat menyebabkan rasa kesemutan pada kulit.
Refleks menjadi melambat. Terkadang ada juga sensasi aneh seperti air
mengalir di kaki (Price, 2006).
7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Gejala tersering yang berhubungan dengan spinal stenosis yaitu
klaudikasioneurogenik sehingga membuat bagian belakang bokong dan
paha menjadi nyeri dan tidak nyaman. Gejala dapat muncul pada
ekstensi lumbal dan bertambah sakit pada fleksi lumbal.Pada penelitian
dari 93 orang dewasa dengan back pain, ditemukan nyeri yang menjalar
ke bokong dan paha sensitivitas diagnosis LSS 88% tetapi
spesifisitasnya hanya34%. Biasanya pasien dengan gejala simptomatis
seperti itu lebih nyaman duduk daripada berjalan lama.
b. Pemeriksaan fisik
Dengan melakukan tes romberg dapat diketahui keterlibatan serat
proprioseptif padakolumna posterior. Pada sebuah studi disebutkan
bahwa penemuan dari kelainan berjalan pada pasien dengan nyeri
pinggang, 90% dapat didiagnosis LSS. Defisit sensorik pada setengah
pasien dengan lumbar stenosis spesifisitasnya 80%. Defisit dapat terjadi
bilateral dan poliradikuler.
8. TATALAKSANA
Pengobatan non operatif
1. Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk mengembalikan
fungsi dan menghilangkan rasa sakit. Meskipun metode non-bedah
tidak meningkatkan penyempitan kanal tulang belakang, banyak orang
melaporkan bahwa perawatan ini membantu meringankan gejala.
Terapi fisik. Latihan peregangan, pijat, penguatan lumbal dan perut
sering membantu mengatasi gejala.
Traksi lumbal. Walaupun mungkin membantu dalam beberapa pasien,
traksi memiliki hasil yang sangat terbatas. Tidak ada bukti ilmiah
keefektifannya.
2. Obat anti-inflamasi. Karena rasa nyeri stenosis disebabkan oleh tekanan
pada saraf tulang belakang, mengurangi inflamasi (pembengkakan) di
sekitar saraf dapat meredakan nyeri. Nonsteroid antiinflammatory drugs
(NSAID) awalnya memberikan penghilang rasa sakit. Ketika digunakan
selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki efek anti inflamasi.
Kebanyakan orang terbiasa dengan NSAID tanpa resep dokter, seperti
aspirin dan ibuprofen. Baik terlalu dijual bebas atau kekuatan resep,
obat-obat ini harus digunakan dengan hati-hati. Mereka dapat
menyebabkan gastritis atau ulkus lambung. Jika timbul refluks asam
atau sakit perut saat menggunakan anti-inflamasi, dapat konsultasi pada
dokter.
3. Injeksi steroid. Kortison adalah anti inflamasi kuat. Suntikan kortison
pada sekitar saraf atau di "ruang epidural" bisa mengurangi
pembengkakan dan rasa sakit. Tetapi sebetulnya tidak dianjurkan untuk
menerima ini, karena pemberian yang lebih dari 3 kali per tahun.
Suntikan ini lebih cenderung untuk mengurangi rasa sakit dan mati rasa
namun bukan mengurangi kelemahan pada kaki.
4. Akupuntur. Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa sakit
untuk kasus-kasus yang kurang parah. Meskipun sangat aman, namun
kesuksesan pengobatan ini secara jangka panjang belum terbukti secara
ilmiah.
Pengobatan operatif
1. Pembedahan untuk lumbal spinal stenosis umumnya ditunda pada
pasien yang memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit dan
kelemahan. Pasien mungkin mengeluhkan ketidakmampuan untuk
berjalan untuk jangka waktu yang panjang tanpa duduk. Ini sering
menjadi alasan bahwa pasien mempertimbangkan operasi. Ada dua
pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis tulang belakang
lumbal: laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi dapat menghilangkan
rasa sakit yang sangat baik. Dan perlu mengetahui keuntungan serta
kerugiannya.
a. Laminektomi. Prosedur ini melibatkan mengeluarkan tulang, taji
tulang, dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga dapat
disebut "dekompresi." Laminektomi dapat dilakukan dengan
operasi terbuka, di mana dokter melakukan sebuah sayatan yang
besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana
dibuat beberapa sayatan kecil.
b. Spinal fusion. Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan
tulang belakang, kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal
fusion dapat dianjurkan.
Pada spinal fusion, dua atau lebih vertebra disembuhkan secara
permanen atau menyatu bersama-sama. Cangkok tulang diambil
dari tulang panggul atau tulang pinggul yang digunakan untuk
memadukan tulang belakang.
Fusion menghilangkan gerakan antara tulang dan mencegah
terjadinya selip yang akan memperburuk setelah operasi. Dokter
bedah juga dapat menggunakan batang dan baut untuk menahan
tulang belakang di tempat agar tulang menyatu. Penggunaan batang
dan baut membuat fusi tulang terjadi lebih cepat dan kecepatan
pemulihan.
8. REHABILITASI MEDIK
Terapi fisik
1. Traksi pelvis
Menurut panel penelitian di Amerika dan Inggris traksi pelvis tidak
terbukti bermanfaat. Penelitian yang membandingkan tirah baring, korset
dan traksi dengan tirah baring dan korset saja tidak menunjukkan
perbedaan dalam kecepatan penyembuhan.
2. Diatermi/kompres panas/dingin
• Tujuan : mengatasi nyeri dengan mengatasi inflamasi dan spasme otot.
• Keadaan akut kompres dingin, termasuk bila terdapat edema.
• Kronik kompres panas maupun dingin.
3. Korset lumbal
Korset dapat mengurangi beban pada diskus serta dapat mengurangi
spasme.
4. Latihan
• Latihan dengan stres minimal pada punggung : jalan kaki, naik sepeda
atau berenang.
• Latihan lain : kelenturan dan penguatan.
• Tujuan : memelihara fleksibilitas fisiologik, kekuatan otot, mobilitas
sendi dan jaringan lunak.
• Latihan dapat terjadi pemanjangan otot, ligamen dan tendon sehingga
aliran darah semakin meningkat.
Latihan kelenturan
• Posisi knee-chest, panggul diangkat dari lantai sehingga punggung
teregang, dilakukan fleksi bertahap punggung bawah bersamaan
dengan fleksi leher dan membawa dagu ke dada.
• Dengan gerakan ini sendi akan mencapai rentang maksimumnya.
• Latihan ini dilakukan sebanyak 3 kali gerakan, 2 kali sehari.
Latihan penguatan
• Latihan pergelangan kaki.
• Latihan menggerakkan tumit
• Latihan mengangkat panggul
• Latihan berdiri
• Latihan peregangan otot hamstring
• Latihan berjinjit
• Latihan mengangkat kaki
• Proper body mechanics : Pasien perlu mendapat pengetahuan
mengenai sikap tubuh yang baik untuk mencegah terjadinya cedera
maupun nyeri
10. PROGNOSIS
Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet
terjaga, pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca
operasi. Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang
terkena multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapt tanda defisist
neurologis, wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit
sistemik kronis.
D. SPONDILOLISTESIS
1. Definisi
Spodilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata
terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karena adanya
defek antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis).
Spondilolis adalah adanya defek pada pars interartikularis tanpa subluksasi
korpus vertebrata. Spondilolis dan spondilolistesis terjadi pad 5% dari
populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya
hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif
memberikan hasil yang baik. Spondilolistesis dapat terjadi pada semua
lever vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal
bagian bawah.
2. Klasifikasi
Spondilolistesis dibagi atas lima kelompok:
a. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sakrum bagian atas atau neral arch
L5. Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang
disertai dengan spina bifida
b. Isthmic
Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis.
Tipe ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini
mempunyai tiga sub:
Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena
fatique fracture dan paling sering ditemukan pada usia dibawah 50
tahun
Elongated pars interarticularis: terjadi oleh karena mikro fraktur
dan tanpa pemisahan pars
Acute pars fracture: terjadi setelah suatu trauma yang hebat.
c. Degenerative
Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada
level L4-L5 daripada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun.
Pada wanita terjadi empat kali lebih sering dibandingkan pria. Pada
kulit hitam terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan kulit putih
d. Traumatic
Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses trauma pada
vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars
interartikularis. Tipe ini terjadi sesudah periode satu minggu atau lebih
dari trauma. Acute pars fracture tidak termasuk tipe ini.
e. Pathologis
Pada tipe ini terjadi penipisan atau destruksi pada pars interartikularis,
pedikel, pacet dan terjadi pergeseran vertebrata. Tipe ini mempunyai
dua sub tipe:
Generalized: gambaran patologis bersifat umum. Beberapa
penyakit yang berhubungan dengan tipe ini: Paget’s disease,
hyperthyroidism, osteopetrosis dan sifilis.
Lokal: gambaran patologis bersifat lokal. Tipe ini terjadi oleh
karena infeksi lokal, tumor atau proses destruksi lainnya.
3. Etiologi
Etiologi spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Konsep umum masih terfokus pada faktor predisposisi yakni konginetal
dan trauma
4. Gejala klinis
Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada spondilolistesis.
Dapat juga ditemukan sciatic pain dari bokong ke bagian posterior kaki.
Hal ini diikuti dengan terbatasnya gerakan kaki.
5. Tatalaksana
a. Non operative
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan
non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit
neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan
pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian brace,
pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen
pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.
b. Operative
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas,
yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk
operasi. Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip
dengan serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika
progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu
diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis
walaupun tanpa gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi
adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi.
Bila manajemen operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda
maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang
bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara
lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang
sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi
tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas
rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco
abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat
pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8%
pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan beberapa
approach:
- Anterior approach
- Posterior approach (yang paling sering dilakukan)
- Lateral approach
DAFTAR PUSTAKA
Adam RD, Victor M, Ruppert AH. Principles of Neurology. 6th ed. New York:
Mc-Graw Hill, 1997.
Allegry, Massimo, et al. 2016. Mechanisms of low back pain: a guide for
Diagnosis and therapy. F1000Research Volume 5
Altun, Idris., Kasim Zafer 2017. Lumbar herniated disc: spontaneous regression.
Korean J Pain. Volume 30 No 1.
Andini, F., 2015. Risk Factors of Low Back Pain in Workers. J Majority, 4(1),
pp.12-19.
Autio, Reijo. 2006. MRI Of Herniated Nucleus Pulposus. Oulu: D Medica Foster,
Mark. 2017. Herniated Nucleus Pulposus.
https://emedicine.medscape.com/article/1263961-overview#showall.
Diakses 1 Juli 2018
Cox, J. M. (2011). Low Back Pain Mechanism, Diagnosis, and Treatment (7th
ed.). Philadelphia: LWW.
Joon-Shin, Byung. 2014. Risk Factors for Recurrent Lumbar Disc Herniations.
Asian Spine. Volume 8 No 2.
Joseph D. fortin & Michael T. Wheeler. 2004. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis
Pain Physician. 7: 133-139.
Harsono. 2010. Kapita selekta Neurologi. Edisi Ke-2. Yogjakarta: Gajah Mada
University Press.
Koesyanto, Herry. 2013. Masa Kerja Dan Sikap Kerja Duduk Terhadap Nyeri
Punggung. KEMAS Volume 9 No 1.
Pinzon. Rizaldy. 2012. Profi l Klinis Pasien Nyeri Punggung Bawah Akibat
Hernia Nukleus Pulposus. CDK-198 vol. 39 no. 10.
Purnamasari, H., Gunarso, U. & Rujito, L., 2010. Overweight sebagai Salah Satu
Faktor Risiko Low Back Pain pada Pasien Poli Saraf RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health, 4(1), pp.26-32.