Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN ET CAUSA LUMBAR SPINAL


STENOSIS (LSS) DENGAN SPODILOLISTESIS DAN
REHABILITASI MEDIK

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Siswarni, Sp. KFR

Disusun Oleh:
Yustika Qasthari P., S.Ked (J510181118)

Riri Eltadeza, S.Ked (J 510185076)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
RUMAH SAKIT ORTHOPEDI PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN ET CAUSA LUMBAR SPINAL
STENOSIS (LSS) DENGAN SPONDILOLISTESIS DAN
REHABILITASI MEDIK

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

Disusun Oleh:
Yustika Qasthari P., S.Ked (J510181118)

Riri Eltadeza, S.Ked (J 510185076)

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada hari .....................,…. Agustus 2019

Mengetahui :
Pembimbing :
dr. Siswarni, Sp. KFR (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Siswarni, Sp. KFR (........................................)
BAB 1
PENDAHULUAN

Diperkirakan setidaknya 70% manusia menderita sakit punggung, baik


kronis maupun sporadis. Prevalensi pertahunannya bervariasi dari 15-45%,
dengan point prevalence rata-rata 30%. Di Amerika Serikat nyeri ini merupakan
penyebab yang urutan paling sering dari pembatasan aktivitas pada penduduk
dengan usia <45 tahun, urutan ke 2 untuk alasan paling sering berkunjung ke
dokter, urutan ke 5 alasan perawatan di rumah sakit, dan alasan penyebab yang
paling sering untuk tindakan operasi (Koesyanto, 2013).

Di Negara Inggris dilaporkan 17,3 juta orang Inggris pernah mengalami


nyeri punggung pada suatu waktu dan dari jumlah tersebut 1,1 juta mengalami
kelumpuhan akibat nyeri punggung. Di Indonesia Low back Pain (LBP)
merupakan masalah umum kesehatan di masyarakat, terutama dalam kehidupan
sehari-hari, diperkirakan angka prevalensi 7,6% sampai 37%. Masalah nyeri
punggung pada pekerja pada umumnya dimulai pada usia dewasa muda dengan
puncak prevalensi pada kelompok usia 25-60 (Koesyanto, 2013).

Nyeri punggung bawah (NPB) pada hakekatnya merupakan keluhan atau


gejala dan bukan merupakan penyakit spesifik. Penyebab NPB antara lain
kelainan muskuloskeletal, sistem saraf, vaskuler, viseral, dan psikogenik (Pinzon,
2012). Salah satu penyebab NPB adalah lumbal spinal stenosis degeneratif
merupakan penyakit umum pada populasi lanjut usia. Meskipun definisinya sering
mengacu hasil pencitraan, diagnosis klinis dan penilaian beratnya stenosis sangat
tergantung deskripsi pasien dan pemeriksaan fisik. Penelitian ini menilai pengaruh
uji provokasi terhadap parameter yang sering menjadi tolok ukur status fungsional
pasien, yaitu munculnya rasa nyeri dan kapasitas berjalan. Keuntungan uji
provokasi yaitu mengurangi recall bias, nyeri neurogenic claudication dapat
diobservasi secara langsung, menilai status fungsional secara kuantitatif, bahan
catatan medis, dan mudah dilakukan (Lathif, 2014).
Tujuan utama dari penatalaksanaan kasus NPB adalah untuk
menghilangkan nyeri, mempertahankan dan meningkatkan mobilitas,
menghambat progresivitas penyakit, dan mengurangi kecacatan. Penatalaksanaan
untuk NPB yaitu: Terapi konservatif meliputi tirah baring disertai obat analgetik
dan obat pelemas otot. Terapi non- medikamentosa berupa fisioterapi,
diatermi/kompres panas/dingin, korset lumbal maupun traksi pelvis ( Winata,
2014).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya,
vertebra dalam satu daerah pun memiliki sedikit perbedaan. Vertebra terdiri
dari corpus vertebra dan arkus vertebra. Corpus vertebra adalah bagian ventral
yang memberi kekuatan pada columna vertebralis dan menanggung berat
tubuh. Corpus vertebra , terutama dari vertebra thoracica IV ke caudal,
berangsur bertambah besar supaya dapat memikul beban yang makin berat.
Arkus vertebra adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pediculus arcus
vertebra dan lamina arkus vertebra. Pediculus arcus vertebra adalah taju
pendek yang kokoh dan menghubungkan lengkung pada corpus vertebra,
insisura vertebralis merupakan torehan pada pediculus arcus vertebra. Insisura
vertebralis superior dan incisura vertebralis inferior pada vertebra - vertebra
yang bertangga membentuk sebuah foramen intervetebrale. Pediculus arcus
vertebrae menjorok ke arah dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang
yang lebar dan gepeng yakni lamina arcus vertebrae. Arcus vertebrae dan
permukaan dorsal corpus vertebrae membatasi foramen vertebrale. Foramen
vertebrale berurutan pada columna vertebrale yang utuh, membentuk canalis
vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak, akar saraf
dan pembuluh darah (Moore, 2002).
Vertebrae lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus vertebrae pejal, jika
dilihat dari cranial berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk segitiga,
lebih besar dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan
ramping, prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus,
prosesus articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior
mengarah ke ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap
prosesus articularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh. Struktur lain yang
tidak kalah penting dan menjadi istimewa adalah sendi lengkung vertebra
articulation zygapophysealis (facet joint), letaknya sangat berdekatan dengan
foramen intervertebrale yang dilalui saraf spinal untuk meninggalkan canalis
vertebralis (Moore, 2002).
Sendi ini adalah sendi sinovial datar antara prosesus articularis
(zygoapophysis) vertebra berdekatan. Sendi ini memungkinkan gerak luncur
antara vertebra. Jika sendi ini mengalami cidera atau terserang penyakit, saraf
spinal dapat ikut terlibat. Gangguan ini dapat mengakibatkan rasa sakit sesuai
dengan pola susunan dermatom, dan kejang pada otot - otot yang berasal dari
miotom yang sesuai (Moore, 2002).

B. NYERI PUNGGUNG BAWAH


1. DEFINISI
Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain didefinisikan sebagai
nyeri dan ketidaknyamanan, yang terlokalisasi di bawah sudut iga terakhir
(costal margin) dan di atas lipat bokong bawah (gluteal inferior fold),
dengan atau tanpa nyeri pada tungkai.
Berdasarkan lama perjalanan penyakitnya, nyeri punggung bawah
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu akut, subakut, dan kronis. Nyeri
punggung bawah akut didefinisikan sebagai timbulnya episode nyeri
punggung bawah yang menetap dengan durasi kurang dari enam minggu.
Untuk durasi antara 6-12 minggu didefinisikan sebagai nyeri punggung
bawah subakut, sedangkan untuk durasi lebih lama dari 12 minggu adalah
nyeri punggung bawah kronis (Winata, 2014).

2. EPIDEMIOLOGI
LBP sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, terutama di negara-
negara industri. Diperkirakan 70-85% dari seluruh populasi pernah
mengalami episode ini selama hidupnya. Prevalensi tahunannya bervariasi
dari 15-45%, dengan point prevalence rata-rata 30%. Data epidemiologi
mengenai LBP di Indonesia belum ada, namun diperkirakan 40%
penduduk Jawa Tengah berusia di atas 65 tahun pernah menderita nyeri
punggung, prevalensi pada laki-laki 18,2% dan pada wanita 13,6%.
Insiden berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di
Indonesia berkisar antara 3-17% (Sadeli dan Tjahyono, 2001).

3. ETIOLOGI
Dalam klinik LBP dibagi dalam 3 kelompok:
1. LBP oleh faktor mekanik.
a. LBP oleh mekanik akut Biasanya timbul bila tubuh melakukan
gerakan secara mendadak melampaui batas kemampuan sendi dan
otot atau melakukan sesuatu untuk jangka waktu terlampau lama.
b. LBP oleh mekanik kronik (menahun) Paling sering disebabkan oleh
sikap tubuh yang jelek, yaitu sikap tubuh yang membungkuk ke
depan, kepala menunduk, perut membuncit dan dada kempes
mendatar. Sikap tubuh yang demikian mendorong Titik Berat
Badan (TBB) tergeser ke arah depan sebagai kompensasi agar
keseimbangan tubuh 4 tetap terjaga. Di samping akibat sikap tubuh
yang jelek, pergeseran TBB ke arah depan terlihat juga pada
wanita-wanita yang gemar memakai sepatu dengan tumit tinggi.
2. LBP oleh faktor organik
a. LBP osteogenik
1) Radang
2) Trauma tidak jarang LBP merupakan keluhan utama pada
fraktur vertebra lumbal. Lebih-lebih fraktur spontan akibat
osteoporosis pada penderita usia lanjut. Jenis fraktur ini
sering disertai spondilolistesis L5-S1 dan L4- L5 8
3) Keganasan dapat bersifat primer, multiple myeloma atau
sekunder akibat metastasis.
4) Kongenital (Harsono, 2010).
b. LBP diskogenik Dalam hal ini proses primer terletak pada
diskus intervertebralis. Bentuk dan gangguan yang sering
dijumpai ialah :
1) Spondilosis adalah suatu proses denerasi progresif diskus
intervetebra. Keadaan ini menimbulkan nyeri yang berasal
dari dua macam sumber :
- Osteoarthiritis
- Radikulitis jebakan, radiks terjebak dalam
perjalanannya melewati foramen intervebra yang
menyempit.
2) Hernia Nukleus Pulposus (HNP) yaitu keluarnya nukleus
pulposus dari diskus intervetebra melalui robekan annulus
fibrosus keluar ke arah belakang/dorsal menekan medulla
spinalis.
3) Spondilitis ankilosa merupakan penyakit jaringan ikat yang
ditandai dengan peradangan pada tulang belakang dan
sendi-sendi yang besar, menyebabkan kekakuan progresif,
nyeri dan dengan penyebab yang tidak diketahui.
c. LBP neurogenik
1) Neoplasma
2) Arakhnoiditis
3) Stenosis kanal
Gejala Klinis (nyeri neurogenik)
 Nyeri di area punggung bawah, biasanya menjalar
sesuai dermatom-nya ke tungkai bawah.
 Meningkat pada berjalan, membungkuk, duduk terlalu
lama (menyetir), serta aktivitas mendadak dan berat.
 Kegiatan yang menimbulkan peninggian tekanan di
dalam ruang intraspinal seperti batuk, bersin, dan
mengejan, memprovokasi terasanya nyeri.
3. Nyeri Psikogenik

4. FAKTOR RISIKO
Faktor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya Low Back Pain
adalah sebagai berikut:
1. Usia
Sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada
tulang. Keadaan ini mulai terjadi disaat seseorang berusia 30 tahun.
Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan,
penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan. Hal
tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi
berkurang. Semakin tua seseorang, semakin tinggi risiko orang
tersebut tersebut mengalami penurunan elastisitas pada tulang yang
menjadi pemicu timbulnya gejala LBP. Pada umumnya keluhan
muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Garg dalam Pratiwi(2009)
menunjukkan insiden LBP tertinggi pada umur 35-55 tahun dan
semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Hal ini diperkuat
dengan penelitian Sorenson dimana pada usia 35 tahun mulai terjadi
nyeri punggung bawah dan akan semakin meningkat pada umur 55
tahun (Andini, 2015).
2. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya LBP lebih banyak pada wanita dibandingkan
dengan laki-laki. Jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko
keluhan otot rangka. Hal ini terjadi karena secara fisiologis,
kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria. Berdasarkan
beberapa penelitian menunjukkan prevalensi beberapa kasus
muskuloskeletal disorders lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada
pria (NIOSH, 1997).
3. Index Masa Tubuh
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat
dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam
kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam meter (kg/m2).
Panduan terbaru dari WHO tahun 2000 mengkategorikan indeks masa
tubuh untuk orang Asia dewasa menjadi underweight (IMT <18.5),
normal range (IMT 18.5-22.9) dan overweight (IMT ≥23.0).
Overweight dibagi menjadi tiga yaitu at risk (IMT 23.0-24.9), obese 1
(IMT 25-29.9) dan obese 2 (IMT ≥30.0) (Koentjoro, 2010). Hasil
penelitian Purnamasari (2010) menyatakan bahwa seseorang yang
overweight lebih berisiko 5 kali menderita LBP dibandingkan dengan
orang yang memiliki berat badan ideal. Ketika berat badan bertambah,
tulang belakang akan tertekan untuk menerima beban yang membebani
tersebut sehingga mengakibatkan mudahnya terjadi kerusakan dan
bahaya pada stuktur tulang belakang. Salah satu daerah pada tulang
belakang yang paling berisiko akibat efek dari obesitas adalah
verterbrae lumbal (Purnamasari et al., 2010).
4. Pekerjaan
Faktor resiko di tempat kerja yang banyak menyebabkan gangguan
otot rangka terutama adalah kerja fisik berat, penanganan dan cara
pengangkatan barang, gerakan berulang, posisi atau sikap tubuh
selama bekerja, getaran, dan kerja statis (Andini, 2015).
5. Aktivitas / olahraga
Kebiasaan seseorang, seperti duduk, berdiri, tidur, mengangkat
beban pada posisi yang salah dapat menimbulkan nyeri pinggang,
misalnya, pada pekerja kantoran yang terbiasa duduk dengan posisi
punggung yang tidak tertopang pada kursi, atau seorang mahasiswa
yang seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu menulis.
Posisi berdiri yang salah yaitu berdiri dengan membungkuk atau
menekuk ke muka. Posisi tidur yang salah seperti tidur pada kasur
yang tidak menopang tulang belakang. Kasur yang diletakkan di atas
lantai lebih baik daripada tempat tidur yang bagian tengahnya lentur.
Posisi mengangkat beban dari posisi berdiri langsung membungkuk
mengambil beban merupakan posisi yang salah, seharusnya beban
tersebut diangkat setelah jongkok terlebih dahulu (Andini, 2015).
6. Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok, diduga karena perokok memiliki
kecenderungan untuk mengalami gangguan pada peredaran darahnya,
termasuk ke tulang belakang (Andini, 2015).
7. Abnormalitas struktur
Ketidaknormalan struktur tulang belakang seperti pada skoliosis,
lordosis, maupun kifosis, merupakan faktor resiko untuk terjadinya
LBP (Andini, 2015).

5. KLASIFIKASI
Menurut Sidharta (1999) dalam Hartanto Sumarno Ervan (2011),
ischialgia dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Iskhialgia sebagai perwujudan neuritis iskhiadikus primer


Iskhialgia akibat neuritis iskhiadikus primer adalah ketika nervus
iskhiadikus terkena proses radang. Tanda dan gejala utama neuritis
iskhiadikus primer adalah nyeri yang dirasakan bertolak dari daerah
sakrum dan sendi panggul, tepatnya di foramen infra piriformis atau
incisura iskhiadika dan menjalar sepanjang perjalanan nervus
iskhiadikus dan lanjutannya pada nervus peroneus dan tibialis. Nyeri
tekan ditemukan pada incisura iskhiadika dan sepanjangspasium
poplitea pada tahap akut. Juga tendon archiles dan otot tibialis anterior
dan peroneus longus terasa nyeri pada penekanan. Kelemahan otot tidak
seberat nyeri sepanjang tungkai. Karena nyeri itu maka tungkai di
fleksikan, apabila diluruskan nyeri bertambah hebat. Tanda-tanda
skoliosis kompensatorik sering dijumpai pada iskhialgia jenis ini.
Diagnosa neuritis iskhiadikus primer ditetapkan apabila nyeri tekan
pada otot tibialis anterior dan peroneus longus. Dan pada neuritis
sekunder nyeri tekan disepanjang nervus iskhiadikus, tetapi di dekat
bagian nervus iskhiadikus yang terjebak saja. Timbul nyerinya akut dan
tidak disertai adanya nyeri pada punggung bawah merupakan ciri
neuritis primer berbeda dengan iskhialgia yang disebabkan oleh
problem diskogenik. Reflek tendon archiles dan tendon lutut biasanya
tidak terganggu.
2) Iskhialgia sebagai perwujudan entrapment radikulitis / radikulopati
Pada iskhialgia radikulopati merupakan akibat dari jebakan oleh
tumor, nukleus pulposus yang menjebol ke dalam kanalis vertebralis
maupun osteofit atau peradangan (rematois spondilitis angkilopoetika,
herpes zoster, tuberkulosa) yang bersifat menindihi, menjerat dan
sebagainya terjadi radikulopati.
Pola umum iskhialgia adalah nyeri seperti sakit gigi atau nyeri hebat
yang dirasakan bertolak dari vertebra lumbosakralis dan menjalar
menurut perjalanan nervus iskhiadikus dan lanjutannya pada nervus
peroneus atau nervus tibialis. Makin jauh ke tepi nyeri makin tidak
begitu hebat, namun parestesia atau hipoastesia sering dirasakan.
Pada data anamnestik yang bersifat umum antara lain : nyeri pada
punggung bawah selalu mendahului iskhialgia, kegiatan yang
menimbulkan peninggian tekanan intra spinal seperti batuk, bersin dan
mengejan memprofokasi adanya iskhialgia, faktor trauma hampir
selamanya dapat ditelusuri, kecuali kalau proses neoplasmik atau
infeksi yang bertanggung jawab. Adapun data diagnostik non fisik yang
bersifat umum adalah : kurva lordosis pada lumbosakral yang mendatar,
vertebra lumbosakral memperlihatkan fiksasi, nyeri tekan pada salah
satu ruas vertebra lumbosakralis hampir selalu ditemukan, test lasegue
hampir selalu positif pada derajat kurang dari 70, tesr naffziger dan
valsava hampir selalu positif. Data anamnestik dan diagnostik fisik
yang bersifat spesifik berarti informasi yang mengarahkan ke suatu
jenis proses patologik atau yang mengungkapkan lokasi di dalam
vertebra lumbosakralis atau topografi radiks terhadap lesi yang
merangsangnya.
3) Iskhialgia sebagai perwujudan entrapment neuritis
Unsur-unsur nervus iskhiadikus yang dibawakan oleh nervi L4, L5,
S1, S2 dan S3 menyusun pleksus lumbosakralis yang berada di fasies
pelvina os sakri. Di situ pleksus melintasi garis sendi sakroiliaka dan
sedikit lebih distal membentuk nervus iskhiadikus, yang merupakan
saraf perifer terbesar. Selanjutnya dalam perjalanannya ke tepi nervus
iskhiadikus dapat terjebak dalam bangunan-bangunan yang dilewatinya.
Pada pleksus lumbosakral dapat diinfiltrasi oleh sel-sel karsinoma
ovarii, karsinoma uteri atau sarkoma retroperineal. Di garis persendian
sakroiliaka komponen-komponen pleksus lumbosakralis sedang
membentuk nervus iskhiadikus dapat terlibat dalam proses radang
(sakroilitis). Di foramen infra piriformis nervus iskhiadikus dapat
terjebak oleh bursitis otot piriformis. Dalam trayek selanjutnya nervus
iskhiadikus dapat terlibat dalam bursitis di sekitar trochantor major
femoris. Dan pada trayek itu juga, nervus iskhiadikus dapat terganggu
oleh adanya penjalaran atau metastase karsinoma prostat yang sudaj
bersarang pada tuber iskhii. Simtomatologi entrapment neuritis
iskhiadika sebenarnya sederhana yaitu pada tempat proses patologik
yang bergandengan dengan iskhiagia.

6. PATOGENESIS
LBP dapat disebabkan oleh faktor non-neurogenik dan neurogenik.
Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat iritasi langsung terhadap serabut
saraf sensorik perifer. Nyeri neurogenik memiliki dua ciri khas, yakni
nyerinya menjalar sepanjang kawasan distal saraf yang bersangkutan, dan
penjalaran nyeri itu berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi.
Nyeri neurogenik dapat berupa nyeri radikular atau nyeri neuritik. Segala
sesuatu yang merangsang serabut sensorik di tingkat radiks (radiks
posterior) dapat menimbulkan nyeri radikular, yakni nyeri yang terasa
berpangkal pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar sepanjang
kawasan dermatomal radiks posterior yang bersangkutan. Pada lesi iritatif
radiks posterior tingkat servikal, nyeri radikular dapat dirasakan sepanjang
lengan, sedangkan pada tingkat lumbosakral, nyeri radikular dapat
dirasakan sepanjang tungkai. Apabila nyeri radikular tersebut disebakan
oleh perubahan pada diskus dan sekitarnya, nyeri disebut sebagai nyeri
diskogenik. Salah satu penyebab nyeri dikogenik ini adalah Hernia
Nukleus Pulposus. Jika penekanan radiks posterior sudah menimbulkan
pembengkakan atau kerusakan struktural yang lebih berat, dapat terjadi
anastesia radikular, dimana sensasi nyeri hilang walau pun kompresi radiks
masih ada (Adam et all, 1997).

7. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis LBP berbeda-beda sesuai dengan etiologinya
masing-masing seperti beberapa contoh dibawah ini (Sidharta, 2004):
1. LBP akibat sikap yang salah
a. Sering dikeluhkan sebagai rasa pegal yang panas pada pinggang,
kaku dan tidak enak namun lokasi tidak jelas.
b. Pemeriksaan fisik menunjukkan otot-otot paraspinal agak spastik
di daerah lumbal, namun motalitas tulang belakang bagian lumbal
masih sempurna, walaupun hiperfleksi dan hiperekstensi dapat
menimbulkan perasaan tidak enak.
c. Lordosis yang menonjol.
d. Tidak ditemukan gangguan sensibilitas, motorik, dan refleks pada
tendon.
e. Foto rontgen lumbosakral tidak memperlihatkan kelainan yang
relevan.
2. Pada Herniasi Diskus Lumbal
a. Nyeri punggung yang onsetnya perlahan-lahan, bersifat tumpul
atau terasa tidak enak, sering intermiten, walaupun kadang
onsetnya mendadak dan berat.
b. Diperhebat oleh aktivitas atau pengerahan tenaga serta mengedan,
batuk atau bersin.
c. Menghilang bila berbaring pada sisi yang tidak terkena dengan
tungkai yang sakit difleksikan.
d. Sering terdapat spasme refleks otot-otot paravertebrata yang
menyebabkan nyeri sehingga membuat pasien tidak dapat berdiri
tegak secara penuh.
e. Setelah periode tertentu timbul skiatika atau ischialgia.
3. LBP pada Spondilosis
a. Kompresi radiks sulit dibedakan dengan yang disebabkan oleh
protrusi diskus, walaupun nyeri biasanya kurang menonjol pada
spondilisis.
b. Dapat muncul distesia tanpa nyeri pada daerah distribusi radiks
yang terkena.
c. Dapat disertai kelumpuhan otot dan gangguan reflex.
d. Terjadi pembentukan osteofit pada bagian sentral dari korpus
vertebra yang menekan medula spinalis.
e. Kauda ekuina dapat terkena kompresi pada daerah lumbal bila
terdapat stenosis kanal lumbal.
4. LBP pada Spondilitis Tuberkulosis
a. Terdapat gejala klasik tuberkulosis seperti penurunan berat badan,
keringat malam, demam subfebris, kakeksia. Gejala ini sering tidak
menonjol.
b. Pada lokasi infeksi sering ditemukan nyeri vertebra/lokal dan
menghilang bila istirahat.
c. Gejala dan tanda kompresi radiks atau medula spinalis terjadi pada
20% kasus (akibat abses dingin).
d. Onset penyakit dapat gradual atau mendadak (akibat kolaps
vertebra dan kifosis).
e. Diawali nyeri radikular yang mengelilingi dada atau perut, diikuti
paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus,
hiperrefleksia dan refleks Babinsky bilateral.
f. Dapat ditemukan deformitas dan nyeri ketok tulang vertebra.
g. Penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang
muncul terutama gangguan motorik.

C. LUMBAL SPINAL STENOSIS


1. DEFINISI
Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis
spinalis atau foramen intervertebralis daerah lumbal yang disertai dengan
penekanan akar saraf yang keluar dari foramen tersebut.
2. EPIDEMIOLOGI
Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan,
yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi
usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di
Amerika. Merupakan penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada
spina pada usia lebih dari 60 tahun. Lebih dari 125.000 prosedur
laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih
tinggi insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan
ras, jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai
lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.
3. ETIOLOGI
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan
kanal meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. Struktur tulang meliputi:
osteofit sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina,
osteofit pada corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet
(spondilolistesis), hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali sendi facet
kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum
flavum (penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen nukleus
pulposus, penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang
bersal dari sendi facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak
tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari terjadinya
spinal canal stenosis.

4. FAKTOR RISIKO
Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Berjenis kelamin wanita
3. Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan
dengan pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya.
5. PATOGENESIS LSS
Etiologi dari spinal stenosis ditemukan pada tulang belakang
lumbal dimana terjadi bulging pada ligamentum flavum pada 50%-85
kasus. Sedangkang diskus bukanlah penyebab utama dari stenosis. Traksi
dihasilkan pada jaringan neural seperti rotasi tulang belakang, fleksi dan
ektensi. Orang normal memiliki ruang yang cukup di canal dan resesus
lateral untuk bergerak tanpa gejala klinis.Bagaimanapun, jika kanal lebih
sempit dari tulang atau proliferasi ligamentum gejala klinis baru akan
muncul (Cox, 2011).
Nyeri dapat dihasilkan langsung dari tubrukan saraf tetapi telah
dikatakan bahwa obstruksi high-grade bias memblok system limfatik dan
kanal vena pada dura. Penumpukan LCS pada obstruksi dapat
menyebabkan collapse vena balik dan menyebabkan anoxia stagnant.
Refleks akson melalui system reflek otonom juga dapat menambah nyeri
(Cox, 2011).
Kumpulan factor penyebab tersebut dapat menyebabkan iritasi
pada akar saraf . yang mana menjelaskan bagaimana gejala dari Low back
pain dan Leg pain. Stenosis mungkin merupakan elemen penting yang
menentukan beratnya gejala, respon dari perawatan, dan prognosis.
Seorang pasien dapat mempunya protusi diskus besar dan juga diameter
kanalis vertebra yang luas serta mendesak ke lateral dan tidak mempunyai
gejala sebelumnya., dimana pada protusi diskus yang sama dapat
menyebabkan gangguan sensorik dan motoric yang berat pada pasien
dengan stenosis canal (Cox, 2011).
Rydevik et al.menunjukan bahwa perubahan fungsional diinduksi
oleh kompresi akar saraf dapat disebabkan oleh deformitas mekanik
serabut saraf yang berhubungan dengan herniasi diskus intervertebral dan
spinal stenosis. Sebagai tambahan, perubahan mungkin merupakan
konsekuensi dari perubahan pada mikrosirkulasi serabut saraf, yang
memicu iskemia dan pembentukan edema intraneural (Cox, 2011)

6. GEJALA KLINIS
Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami
keluhan saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat
berjalan berkembang menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa
waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-kadang secara
mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya
akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.
Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan
postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri
tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau
impotensi seringkali dapat ditemukan.
Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri,
termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada
punggung. Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus
lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan
dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis
lumbal, termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan
menurun, dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi.
Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul
dalam waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler.
Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana
seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi
proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan,
termasuk juga nyeri alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh
instabilitas segmental tulang belakang dan akan berkurang dengan
perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke
depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring. Saat berjalan,
gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya tidak
terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang
lain. Nyeri tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena
yang tidak dapat dibedakan. Karena pelebaran foramina secara postural,
beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa keluhan, pada saat yang
sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan jarak
pendek.
Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien,
tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit
sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia
urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat
mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan
claudicatio intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik
disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf
dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan
kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal
yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat
terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang
berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya
serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau
rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid
yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di
sekitarnya dengan akibat negatif pada metabolismenya.
Spinal stenosis biasanya berkembang perlahan-lahan selama jangka
waktu yang panjang. Hal ini karena penyebab utama stenosis tulang
belakang adalah degenerasi. Gejala jarang berkembang dengan cepat
ketika degenerasi etiologi utama.
Pasien dengan stenosis tidak selalu merasa sakit punggung. Gejala
lebih tampak pada kelemahan di kaki, biasanya di kedua kaki pada waktu
yang sama. Gejala terutama mempengaruhi sensasi pada tungkai bawah.
Tekanan saraf dari stenosis dapat menyebabkan rasa kesemutan pada kulit.
Refleks menjadi melambat. Terkadang ada juga sensasi aneh seperti air
mengalir di kaki (Price, 2006).

7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Gejala tersering yang berhubungan dengan spinal stenosis yaitu
klaudikasioneurogenik sehingga membuat bagian belakang bokong dan
paha menjadi nyeri dan tidak nyaman. Gejala dapat muncul pada
ekstensi lumbal dan bertambah sakit pada fleksi lumbal.Pada penelitian
dari 93 orang dewasa dengan back pain, ditemukan nyeri yang menjalar
ke bokong dan paha sensitivitas diagnosis LSS 88% tetapi
spesifisitasnya hanya34%. Biasanya pasien dengan gejala simptomatis
seperti itu lebih nyaman duduk daripada berjalan lama.
b. Pemeriksaan fisik
Dengan melakukan tes romberg dapat diketahui keterlibatan serat
proprioseptif padakolumna posterior. Pada sebuah studi disebutkan
bahwa penemuan dari kelainan berjalan pada pasien dengan nyeri
pinggang, 90% dapat didiagnosis LSS. Defisit sensorik pada setengah
pasien dengan lumbar stenosis spesifisitasnya 80%. Defisit dapat terjadi
bilateral dan poliradikuler.

8. TATALAKSANA
Pengobatan non operatif
1. Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk mengembalikan
fungsi dan menghilangkan rasa sakit. Meskipun metode non-bedah
tidak meningkatkan penyempitan kanal tulang belakang, banyak orang
melaporkan bahwa perawatan ini membantu meringankan gejala.
Terapi fisik. Latihan peregangan, pijat, penguatan lumbal dan perut
sering membantu mengatasi gejala.
Traksi lumbal. Walaupun mungkin membantu dalam beberapa pasien,
traksi memiliki hasil yang sangat terbatas. Tidak ada bukti ilmiah
keefektifannya.
2. Obat anti-inflamasi. Karena rasa nyeri stenosis disebabkan oleh tekanan
pada saraf tulang belakang, mengurangi inflamasi (pembengkakan) di
sekitar saraf dapat meredakan nyeri. Nonsteroid antiinflammatory drugs
(NSAID) awalnya memberikan penghilang rasa sakit. Ketika digunakan
selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki efek anti inflamasi.
Kebanyakan orang terbiasa dengan NSAID tanpa resep dokter, seperti
aspirin dan ibuprofen. Baik terlalu dijual bebas atau kekuatan resep,
obat-obat ini harus digunakan dengan hati-hati. Mereka dapat
menyebabkan gastritis atau ulkus lambung. Jika timbul refluks asam
atau sakit perut saat menggunakan anti-inflamasi, dapat konsultasi pada
dokter.
3. Injeksi steroid. Kortison adalah anti inflamasi kuat. Suntikan kortison
pada sekitar saraf atau di "ruang epidural" bisa mengurangi
pembengkakan dan rasa sakit. Tetapi sebetulnya tidak dianjurkan untuk
menerima ini, karena pemberian yang lebih dari 3 kali per tahun.
Suntikan ini lebih cenderung untuk mengurangi rasa sakit dan mati rasa
namun bukan mengurangi kelemahan pada kaki.
4. Akupuntur. Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa sakit
untuk kasus-kasus yang kurang parah. Meskipun sangat aman, namun
kesuksesan pengobatan ini secara jangka panjang belum terbukti secara
ilmiah.
Pengobatan operatif
1. Pembedahan untuk lumbal spinal stenosis umumnya ditunda pada
pasien yang memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit dan
kelemahan. Pasien mungkin mengeluhkan ketidakmampuan untuk
berjalan untuk jangka waktu yang panjang tanpa duduk. Ini sering
menjadi alasan bahwa pasien mempertimbangkan operasi. Ada dua
pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis tulang belakang
lumbal: laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi dapat menghilangkan
rasa sakit yang sangat baik. Dan perlu mengetahui keuntungan serta
kerugiannya.
a. Laminektomi. Prosedur ini melibatkan mengeluarkan tulang, taji
tulang, dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga dapat
disebut "dekompresi." Laminektomi dapat dilakukan dengan
operasi terbuka, di mana dokter melakukan sebuah sayatan yang
besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana
dibuat beberapa sayatan kecil.
b. Spinal fusion. Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan
tulang belakang, kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal
fusion dapat dianjurkan.
Pada spinal fusion, dua atau lebih vertebra disembuhkan secara
permanen atau menyatu bersama-sama. Cangkok tulang diambil
dari tulang panggul atau tulang pinggul yang digunakan untuk
memadukan tulang belakang.
Fusion menghilangkan gerakan antara tulang dan mencegah
terjadinya selip yang akan memperburuk setelah operasi. Dokter
bedah juga dapat menggunakan batang dan baut untuk menahan
tulang belakang di tempat agar tulang menyatu. Penggunaan batang
dan baut membuat fusi tulang terjadi lebih cepat dan kecepatan
pemulihan.
8. REHABILITASI MEDIK
Terapi fisik
1. Traksi pelvis
Menurut panel penelitian di Amerika dan Inggris traksi pelvis tidak
terbukti bermanfaat. Penelitian yang membandingkan tirah baring, korset
dan traksi dengan tirah baring dan korset saja tidak menunjukkan
perbedaan dalam kecepatan penyembuhan.
2. Diatermi/kompres panas/dingin
• Tujuan : mengatasi nyeri dengan mengatasi inflamasi dan spasme otot.
• Keadaan akut  kompres dingin, termasuk bila terdapat edema.
• Kronik  kompres panas maupun dingin.
3. Korset lumbal
Korset dapat mengurangi beban pada diskus serta dapat mengurangi
spasme.
4. Latihan
• Latihan dengan stres minimal pada punggung : jalan kaki, naik sepeda
atau berenang.
• Latihan lain : kelenturan dan penguatan.
• Tujuan : memelihara fleksibilitas fisiologik, kekuatan otot, mobilitas
sendi dan jaringan lunak.
• Latihan dapat terjadi pemanjangan otot, ligamen dan tendon sehingga
aliran darah semakin meningkat.
Latihan kelenturan
• Posisi knee-chest, panggul diangkat dari lantai sehingga punggung
teregang, dilakukan fleksi bertahap punggung bawah bersamaan
dengan fleksi leher dan membawa dagu ke dada.
• Dengan gerakan ini sendi akan mencapai rentang maksimumnya.
• Latihan ini dilakukan sebanyak 3 kali gerakan, 2 kali sehari.
Latihan penguatan
• Latihan pergelangan kaki.
• Latihan menggerakkan tumit
• Latihan mengangkat panggul
• Latihan berdiri
• Latihan peregangan otot hamstring
• Latihan berjinjit
• Latihan mengangkat kaki
• Proper body mechanics : Pasien perlu mendapat pengetahuan
mengenai sikap tubuh yang baik untuk mencegah terjadinya cedera
maupun nyeri

BEBERAPA PRINSIP DALAM MENJAGA POSISI PUNGGUNG


1. Dalam posisi duduk dan berdiri, otot perut ditegangkan, punggung
tegak dan lurus. Hal ini akan menjaga kelurusan tulang punggung.
2. Ketika akan turun dari tempat tidur posisi punggung didekatkan ke
pinggir tempat tidur. Gunakan tangan dan lengan untuk mengangkat
panggul dan berubah ke posisi duduk. Pada saat akan berdiri
tumpukan tangan pada paha untuk membantu posisi berdiri.
3. Pada posisi tidur gunakan tangan untuk membantu mengangkat dan
menggeser posisi panggul.
4. Saat duduk, lengan membantu menyangga badan. Saat akan berdiri
badan diangkat dengan bantuan tangan sebagai tumpuan
5. Saat mengangkat sesuatu dari lantai, posisi lutut ditekuk seperti
hendak jongkok,punggung tetap dalam keadaan lurus dengan
mengencangkan otot perut. Dengan punggung lurus, beban diangkat
dengan cara meluruskan kaki. Beban yang diangkat dengan tangan
diletakkan sedekat mungkin dengan dada.
6. Jika hendak berubah posisi, jangan memutar badan. Kepala,
punggung dan kaki harus berubah posisi secara bersamaan.
7. Hindari gerakan yang memutar vertebra. Bila perlu, ganti wc
jongkok dengan wc duduk sehingga memudahkan gerakan dan tidak
membebani punggung saat bangkit.

Posisi latihan yang disarankan


9. KOMPLIKASI
a. stenosis tulang belakang yang memberat dapat menyebabkan disfungsi
usus dan / atau disfungsi kandung kemih.
b. Komplikasi bedah diantaranya infeksi luka, DVT (deep vein
thrombosis) atau emboli paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft,
dan kegagalan pada instrume.

10. PROGNOSIS
Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet
terjaga, pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca
operasi. Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang
terkena multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapt tanda defisist
neurologis, wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit
sistemik kronis.

D. SPONDILOLISTESIS
1. Definisi
Spodilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata
terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karena adanya
defek antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis).
Spondilolis adalah adanya defek pada pars interartikularis tanpa subluksasi
korpus vertebrata. Spondilolis dan spondilolistesis terjadi pad 5% dari
populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya
hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif
memberikan hasil yang baik. Spondilolistesis dapat terjadi pada semua
lever vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal
bagian bawah.

2. Klasifikasi
Spondilolistesis dibagi atas lima kelompok:
a. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sakrum bagian atas atau neral arch
L5. Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang
disertai dengan spina bifida
b. Isthmic
Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis.
Tipe ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini
mempunyai tiga sub:
 Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena
fatique fracture dan paling sering ditemukan pada usia dibawah 50
tahun
 Elongated pars interarticularis: terjadi oleh karena mikro fraktur
dan tanpa pemisahan pars
 Acute pars fracture: terjadi setelah suatu trauma yang hebat.
c. Degenerative
Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada
level L4-L5 daripada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun.
Pada wanita terjadi empat kali lebih sering dibandingkan pria. Pada
kulit hitam terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan kulit putih
d. Traumatic
Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses trauma pada
vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars
interartikularis. Tipe ini terjadi sesudah periode satu minggu atau lebih
dari trauma. Acute pars fracture tidak termasuk tipe ini.
e. Pathologis
Pada tipe ini terjadi penipisan atau destruksi pada pars interartikularis,
pedikel, pacet dan terjadi pergeseran vertebrata. Tipe ini mempunyai
dua sub tipe:
 Generalized: gambaran patologis bersifat umum. Beberapa
penyakit yang berhubungan dengan tipe ini: Paget’s disease,
hyperthyroidism, osteopetrosis dan sifilis.
 Lokal: gambaran patologis bersifat lokal. Tipe ini terjadi oleh
karena infeksi lokal, tumor atau proses destruksi lainnya.

3. Etiologi
Etiologi spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Konsep umum masih terfokus pada faktor predisposisi yakni konginetal
dan trauma

4. Gejala klinis
Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada spondilolistesis.
Dapat juga ditemukan sciatic pain dari bokong ke bagian posterior kaki.
Hal ini diikuti dengan terbatasnya gerakan kaki.

5. Tatalaksana
a. Non operative
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan
non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit
neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan
pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian brace,
pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen
pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.

b. Operative
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas,
yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk
operasi. Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip
dengan serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika
progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu
diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis
walaupun tanpa gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi
adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi.
Bila manajemen operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda
maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang
bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara
lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang
sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi
tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas
rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco
abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat
pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8%
pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan beberapa
approach:
- Anterior approach
- Posterior approach (yang paling sering dilakukan)
- Lateral approach
DAFTAR PUSTAKA

Adam RD, Victor M, Ruppert AH. Principles of Neurology. 6th ed. New York:
Mc-Graw Hill, 1997.

Allegry, Massimo, et al. 2016. Mechanisms of low back pain: a guide for
Diagnosis and therapy. F1000Research Volume 5

Altun, Idris., Kasim Zafer 2017. Lumbar herniated disc: spontaneous regression.
Korean J Pain. Volume 30 No 1.

Andini, F., 2015. Risk Factors of Low Back Pain in Workers. J Majority, 4(1),
pp.12-19.

Autio, Reijo. 2006. MRI Of Herniated Nucleus Pulposus. Oulu: D Medica Foster,
Mark. 2017. Herniated Nucleus Pulposus.
https://emedicine.medscape.com/article/1263961-overview#showall.
Diakses 1 Juli 2018

Cox, J. M. (2011). Low Back Pain Mechanism, Diagnosis, and Treatment (7th
ed.). Philadelphia: LWW.

Ganong, William F. 2008. Fisiologi Kedokteran Edisi 22, Jakarta: EGC

Joon-Shin, Byung. 2014. Risk Factors for Recurrent Lumbar Disc Herniations.
Asian Spine. Volume 8 No 2.

Joseph D. fortin & Michael T. Wheeler. 2004. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis
Pain Physician. 7: 133-139.

Harsono. 2010. Kapita selekta Neurologi. Edisi Ke-2. Yogjakarta: Gajah Mada
University Press.

Keith L. Moore, Anne M R. Agur. Anatomi Klinis Dasar. 2002.


Jakarta:Hipokrates.

Koesyanto, Herry. 2013. Masa Kerja Dan Sikap Kerja Duduk Terhadap Nyeri
Punggung. KEMAS Volume 9 No 1.

Mcrae, Ronald. 2004. Clinical Orthopaedic Examination. Fifth Edition: 151-152.

NIOSH, 1997. Musculoskeletal disorders and workplace factors: a critical review


of epidemiologic evidence for work-related musculoskeletal disorders
of the neck,upper extremity, and low back. Columbia: U.S. Departement
of Health and Human Sevices.
Patrianingrum, Meilani. 2015. Prevalensi dan Faktor Risiko Nyeri Punggung
Bawah di Lingkungan Kerja Anestesiologi Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin Bandung. JAP Volume 3 No 1

Pinzon. Rizaldy. 2012. Profi l Klinis Pasien Nyeri Punggung Bawah Akibat
Hernia Nukleus Pulposus. CDK-198 vol. 39 no. 10.

Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC,


Jakarta. 2006.

Purnamasari, H., Gunarso, U. & Rujito, L., 2010. Overweight sebagai Salah Satu
Faktor Risiko Low Back Pain pada Pasien Poli Saraf RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health, 4(1), pp.26-32.

Sadeli HA, Tjahjono B. Nyeri Punggung Bawah. dalam: Nyeri Neuropatik,


Patofisioloogi dan Penatalaksanaan. Editor: Meliala L, Suryamiharja A,
Purba JS, Sadeli HA. Perdossi, 2001:145-167.

Winata, susanty. 2014. Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri Punggung Bawah


dari Sudut Pandang Okupasi. J. Kedokt Meditek. Vol. 20 No. 54.

Anda mungkin juga menyukai