Anda di halaman 1dari 23

PENUAAN PADA SISTEM NEUROLOGIS

Manusia mengalami berbagai perubahan fisik dan psikologis melalui pertumbuhan dan
maturitas. Perubahan neurologis bergantung pada factor genetika, sosio ekonomi, harga diri dan
sosial. Walaupun terdapat beberapa catatan tentang efek penuaan pada sistem saraf,banyak
perubahan dapat diperlambat atau dikurangi melalui suatu gaya hidup sehat. Pencegahan primer,
sebagai salah satu cara dalam memelihara gaya hidup yang sehat, merupakan suatu tantangan
yang penting bagi perawatdan para professional pelayanan kesehatan lainnya.

A. Penuaan Sistem Neurologis

Dengan memandang proses penuaan dari prespektf yang luas dapat membimbing kearah
strategi yang lebih kreatif untuk melakukan intervensi terhadap lansia. Maksudnya adalahuntu
mengembangkan kemitraan untuk meningkatkan kualitas hidup klien.
Cutillo Schmitter menyarankan untuk memandang penuaan sebagai suatu efolusi
sepanjang kehidupan juga sebagai tahap terakhir, yang memberikan tantangan dan
pengembangan kesempatan untuk pertumbuhan, perubahan, dan produktifitas. Status kesehatan,
pengalaman hidup, nutrisi, aktifitas, dan factor keturunan mempengaruhi proses penuaan.
Sistem neurologis, terutama otak, adalah suatu faktor utama dalam penuaan yang adaptif.
Kita mengetahui bahwa neuron-neuron menjadi semakin kompleks dan tumbuh seiring kita
dewasa, tetapi neuron-neuron tersebut tidak dapat mengalami regenerasi. Penelitian yang
dilakukan baru-baru ini pada otak menunjukan bahwa walaupun neuron-neuron
mengalami kematian, hubungan diantara sel yang tersisa meningkat dan mengisi kekosongan
tersebut. Keadaan ini mendukung kemampuan lansia untuk terus terlibat dalam tugas-tugas
kognitifnya seperti yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, walaupun secara perlahan-
lahan.
Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian
lain dari sistim saraf pusat (SST) juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang diakibtakan
oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebral adalah daerah otak yang
palingbesar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral dan
penggunaan oksigen juga telah diketahui akan terjadi selama proses penuaan. Penurunan darah
aliran serebral dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan.
Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron,
dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Distribusi neuron
kolinergik, norepinephrine, dan dopamine yang tidak seimbang, dikompensasi oleh hilangnya
sel-sel, mengahsilkan sedikit penurunan intelektual. Namun, parkinsonisme ringan mungkin
dialami ketika reseptor penghambat dopamine dipengaruhi oleh penuaan. Peningkatan kadar
monoamine oksidasi dan serotonin dan penurunan kadar norepinephirine telah diketahui, yang
mungkin dihubungkan dengan depresi pada lansia. Perubahan-perubahan ini menunjukan variasi
yang luas diantara individu-individu.
Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap
terjadinya perubahan neurologis fungsional. Kehilangan jumlah dopamine yang lebih besar
terjadi pada klien dengan penyakit Parkinson. Defisiensi dopamine mengakibatkan ganglia
basalis menjadi terlalu aktif, sehingga menyebabkan terjadinya bradikinesia, kekakuan, dan
hilangnya mekanisme postural yang sering dilihat pada mereka yang menderita penyakit
Parkinson.
Secara fungsional, mungkin terapat suatu perlambatan reflex tendon profundat. Terdapat
kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan
langkah kaki melebar disertai dengan gerakan yang sesuai. Peningkatan tonos otot juga
diketahui, dengan kaki yang lebih banyak terlibat dari pada lengan, lebih kearah proximal dari
pada distale. Selain itu, penurunan kekuatan otot juga terjadi, dengan kaki yang menunjukan
kehilangan yang lebih besar kearah proximaldari pada distale. Penurunan konduksi saraf perifer
mungkin dialami oleh klien. Waktu reaksi menjadi lebih lambat, dengan penuruan atau hilangnya
hentakan pergelangan kaki dan penguruangan reflex lutut, bisep dan trisep, terutama karena
pengurungan dendrit dan perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi.
Perubahan kondisional termasuk penurunan diskriminasi rangsang taktil dan peningkatan
ambang batas nyeri. Hal inikhususnya dapat dilihat secara nyata pada perubahan baroreseptor.
Namun, perubahan pada otot dan tendon mungkin merupakan factor yang memiliki kontribusi
lebih besar dibandingkan dengan perubahan yang nyata ini dalam arkus reflex.
Fungsi sistim saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami penurunan secara
keseluruhan. Plaksenilis dan kekusutan neurofibril berkembang pada lansia dengan dan tanpa
dimensia. Akumulasi pigmen lipofusin neuron menurunkan kendali sistem saraf pusat terhadap
sirkulasi. Kongesti sistem saraf diperkirakan dapat menurunkan aktifitas sel dan sel kehilangan
kemampuannya untuk mempertahankan dirinya sendiri. Semakin aktif sel tersebut, semakin
sedikit lipofusin yang disimpan.
Obat-obatan, penurunan oksigen asupan vitamin E yang rendah, dan sirosis adalah factor
eksternal yang memengaruhi penyimpanan lipofusin, yang mendorong terjadinya kerusakan
neuron. Bersama dengan kerusakan ini terjadi penurunan sintesis protein dan kemampuan
hipotalamus untuk mengatur produksi panas. Deregulasi ini seringkali mengakibatkan
kehilangan panas.
Tabel perubahan normal sistem neurologis akibat penuaan
Perubahan Normal Terkait Usia Implikasi Klinis
Konduksi saraf perifer yang lebih Refleks tendon dalam yang lebih lambat dan
lambat meningkatnya waktu reaksi
Peningkatan lipofusin sepanjang
Fase kontriksi dan fase dilatasi yang tidak sempurna
neuron-neuron
Termolegurasi oleh hipotalamus
Bahaya kehilangan panas tubuh
kurang efektif

B. Patofisiologi Defisit Neurologis

Manifestasi klinik yang berhubungan dengan defisit neurologis pada klien lansia
mungkin
dipandang dari berbagai perspektif: fisik, fungsional, kognisi komunikasi, persepsi sensori dan
psikososial. Kerusakan tertentu tamak ketika daerah fokal dan sistem neural di dalam otak rusak
karena masalah vascular. Manifestasi spesifik pada setiap ktegori sangat bermanfaat dalam
mengkaji dan mengembangkan suatu rencana perawatan untukklien lansia yang mengalami
gangguan neurologis.

1. Fisik
Dampak dari penuaan pada SSP sukar untuk ditentukan, karena hubungan fungsi sistem
ini dengan sistem tubuh yang lain. Dengan gangguan perfusi dan terganggunya aliran daerah
serebral, lansia berisiko lebih besar untuk mengalami kerusakan serebral tambahan, gagal ginjal,
penyakit pernapasan, dan kejang. Terdapat suatu pengurangan aliran darah sel saraf serebral dan
metabolisme yang telah diketahui. Dengan penurunan kecepatan konduksi saraf, reflex yang
lebih lambat, dan respon yang tertunda untuk berbagai stimulus yang dialami; maka terdapat
pengurangan sensasi kenestik. Karena perubahan fisiologis dalam sistem persarafan yang terjadi
selama proses penuaan, siklus tidur-bangun mungkin berubah. Secara spesifik, gangguan tidur
memengaruhi 50% orang yangberusia 65 tahun ke atas yang tinggal di rumah dan 66% yang
tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Perubahan tidur yang diketahui adalah
meningkatnya fase laten tidur, bangun pada dini hari, dan meningkatnya jumlah waktu tidur pada
siang hari. Hilangnya pengaturan sirkadian tidur efektif yang diketahui berhubungan dengan
peningkatan keadaan terbangun selama tidur dan gabungan jumlah waktu terbangun
sepanjang malam.

2. Fungsi
Defisit fungsional pada gangguan neurologis mungkin berhubungan dengan penurunan
mobilitas pada klien lansia, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan, rentang gerak, dan
kelenturan. Dengan berkurangnya kebebasan gerak, lansia mungkin memiliki kesukaran
berdandan, toileting, dan makan. Penurunan pergerakan mungkin merupakan akibat dari kifosis,
pembesaran sendi-sendi, kekejangan, dan penurunan tonus otot. Atrofi dan penurunan jumlah
serabut otot, dengan jaringan fibrosa secara berangsur-angsur menggantikan jaringan otot.
Dengan penurunan massa otot, kekuatan dan pergerakan secara keseluruhan, lansia mungkin
memperlihatkan kelemahan secara umum. Tremor otot mungkin dihubungkan dengan degenarasi
sistem ekstrapiramidal. Kekejangan dapat diakibatkan oleh cedera motor neuron di dalam SSP.
Kejang yang berat dapat mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas, postur tubuh, dan mobilitas
fungsional, juganyeri sendi, kontraktur, dan masalah dengan pengaturan posisi untuk
memberikan kenyamanan dan hygiene. Tendon dapat mengalami sclerosis dan penyusutan, yang
menyebabkan suatu penurunan hentakan tendon. Reflex pada umumnya tetap ada pada lutut,
berkurang pada lengan dan hamper secara total hilang pada abdomen. Kram otot mungkin
merupakan suatu masalah yang sering terjadi. Defisit mobilitas fungsonal dan pergerakan
membuat lansia menjadi sangat rentan untuk mengalami gangguan integritas kulit dan jatuh.
3. Kognisi-Komunikasi
Perubahan kognisi dan komunikasi mungkin bervariasidan berat. Gaya komunikasi
premorbid, kemampuan intelektual, dan gaya belajar merupakan data yang penting digunakan
untuk menyiapkan suatu rencana perawatan yang realistis untuk klien lansia. Indra kita
merupakan hal yag penting dalam komunikasi. Sejumlah hambatan komunikasi mungkin terjadi
sebagai akibat daristroke atau penyakit Parkinson. Perubahan sensasi dan persepsi dapat
mengganggu penerimaan dan pengungkapan informasi dan perasaan. Gangguan pengecapan,
penciuman, nyeri, sentuhan, temperature, dan merasakan posisi sendi dapat mengubah
komunikasi dan persepsi yang kita alami. Dengan disorientasi dan konfusi, kesadaran kita
terhadap kenyataan menurun secara nyata. Penurunan ini mungkin progresif, permanen, atau
temporer, bergantung pada sifat dan tingkat kerusakan serebral
Memori mungkin berubah dalam proses penuaan. Pada umumnya, memori untuk
kejadian masa lalu lebih banyak diretensi dan lebih banyak diingat dari pada informasi yang
masih baru. Deprivasi sensori dapat di akibatkan oleh kerusakan pada pusat serebral yang
bertangung jawab untuk memproses stimulus. Halusinasi, disorientasi dan konfusi mungkin
menyebabkan deviprasi sensoris, bukan gangguan kemampuan mental. Sensasi dan persepsi
dapat berkurang lebih jauh lagi ketika obat depresan SSP digunakan dalam terapi farmakologis
Beban sensoris yang berlebihan dapat diakibatkan oleh penurunan kemampuan klien
untuk menanggapi rangsangan. Klien mungkin tidak mampu untuk menyimpan informasi baru,
yang dapat menyebabkan lebih banyak frustasi dan lebih sedikit toleransi untuk aktiivitas sehari-
hari. Agresi dan agitasi dapat terjadi sebagai gejala dari kelebihan beban sensoris
Agnosia, afasia, dan apraksia mungkin terlihat ada klien dengan stroke atau demensia
progresif. Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengenali objek yang umum (sisir, sikat gigi,
cermin) dengan menggunakan salah satu indra, walaupun indra tersebut masih utuh. Agnosia
penglihatan, pendengaran dan taktil terjadi ketika ada kerusakan pada lobus parietal dan
oksipital, giirus presental, daerah parieto-oksipital, dan korpus kolosum
Afasia adalah ketidakmampuan untuk menggunakankata-kata yang memilikih arti dan
kehilangan kemampuan mengerti bahasa lisan. Terdapat disintegrasi fonetik, semantic, atau
sintaksis yang diketahui pada tingkat produksi atau tingkat pemahaman dalam berkomunikasi.
Afasia mungkin dicerminkan dalam kata-kata klien yang samar-samar, bicara melantur,
kesukaran dalam berbicara, dan kesulitan dalam menemukan kata-kata yang benar untuk
menyatakan suatu gagasan
Apraksia adalah suatu ketidakmampuan untuk menunjukan suatu aktivitas yang dipelajari
yang memilikih fungsi motoric yang diperlukan. Misalnya kesalahan penggunaan kata-kata
dalam menyebutkan hal-hal tertentu dan ketidakmampuan untuk mengenali dan menyebutkan
objek umum dan orang-orang yang dikenal. Gangguan citra tubuh, ruang, jarak, dan persepsi
pergerakan sering terjadi pada orang dengan stroke. Klien mungkin mengalami kekurangan
kesadaran dalam menggunakan komponen-komponen tubuh tertentu. Karena distorsi cara
memandang diri sendiri dan anggota tubuh yang tidak digunakan ini, lansia mungkin mengalami
cedera, kelemahan, kurang perhatian, dan kurangnya perawatan pada ekstremitas
Defisit memori, afasia, dan kebingungan yang sering ditemukan pada stroke membuat
komunikasi merupakan suatu tantangan. Pendekatan multidisiplin, yaitu dengan menyertakan
alat bantu memori (arloji, jam, pengatur waktu), latihan motoric local, modifikasi eksternal
tentang pengaturan, dan suatu lingkungan yang terstruktur dan konsisten. Orientasi terhadap
kenyataan yang memperkenalkan penglihatan, suara, bau, dan pengalaman-pengalaman yang
dikenal oleh klien, dapat mempertahankan klien lansia tetap berhubungan dengan lingkungannya

4. Persepsi-Sensoris
Panca indra mungkin menjadi kurang efisien dengan proses penuaan, bahaya bagi
keselamatan, aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) yang normal dan harga diri secara
keseluruhan.

5. Psikososial
Defisit neurologis yang menyebabkan penarikan diri, isolasi, dan rasa asing mungkin
menyebabkan klien lansia lebih bingung dan mengalami disorientasi. Hilangnya fungsi tubuh
dan gangguan gamaran diri mungkin turut berperan terhadap hilangnya harga diri klien.
Perubahan fisik dan sosial yang terjadi bersamaan tidak dapat dipisahkan dari perubahan
psikologis selama proses penuaan. Sebagai contoh, perubahan organ sensoris (misalnya dalam
pendengaran atau penglihatan) dapat menghalangi interaksi dengan lingkungan, memengaruhi
kesejahteraan psikologis. Status kesehatan umum, factor genetic, dan pencapaian pendidikan dan
vokasional juga berpengaruh dalam fungsi psikologis seseorang.
C. Penyakit Penuaan Pada Sistem Neurologis
 Cerebrovascular Accident
CVA, atau stroke merupakan penyebabutam kematian pada 144.070 orang pada tahun
1991, tetap menjadi penyebab kematian utama ketiga di Amerika Serikat; penyakit ini
dikalahkan oleh penyakit kardiovaskular dan kanker. Hipertensi, hyperlipidemia, gout, dehidrasi,
aterosklerosis berat, stenosis mitral, infark miokardial tak ergejala, anemia, dan kadar serum
trigliserida yang tinggi adalah factor resiko yang dihubungkan dengan stroke. Selain itu,
merokok, ketidakefektifan fisik, obesitas, riwayat stroke sebelumnya, penyakit arteri
ekstrakarnial, dan hipertrofi ventricular kiri (LVH) juga ditemukan dapat menjadi factor resiko
yang berarti
Gejala stroke berlangsung lebih dari 24 jam dan biasanya permanen. Defisit neurologis
yang spesifik diakibatkan oleh kerusakan pada jaringan otak dan bergantung pada lokasi dan
luasnya iskemi neuronal. Rasa pusing, berkunang-kunang, serangan jatuh dan perubahan
perilaku dan memori mungkin merupakan gejala stroke yang akan terjadi segera. Suatu serangan
jatuh (jatuh yang di sebabkan oleh suatu kelemahan muscular secara tetap pada kaki tanpa
adanya peruabahan kesadaran) adalah suatu gejala yang memerlukan perhatian dengan segera.
Ketika seseorang mengalami penuaan, resiko untuk mengalami stroke meningkat.
Insufisiensi vascular akibat stroke dapat mendorong terjadinya iskemi dan kadang-kadang
nekrosis pada jaringan otak yang secara normal disuplai dan dipelihara oleh pembulu darah yang
terkena stroke teersebut.
Klasifikasi stroke menurut Mhardjono Mahar (2009) yaitu :
1) Stroke non hemoragik yang mencangkup :
a. T.I.A
b. Stroke in Evolution
c. Thrombotic Stroke
d. Embolc Stroke
e. Stroke akibat kompresi terhadap arteri oleh proses diluar arteri, seperti tumor,
abses, granuloma
2) Stroke hemoragic
“STROKE” merupakan salah satu manifestasi neurologic yang umum, dan mudah
dikenaal dari penyakit-penyakit neurologic lain karena mula timbulnya mendadak dalam waktu
yang singkat. Adapun manifestasi “stroke” (Sidharta 2012) salah defisit neurologic yang dapat
berupa :
b. Hemiparesis, dimana lengan dan tungkai sesisi lumpuh sama beratnya ataupun
hemiparesis dimana lengan seisi lebih lumpuh dari tungkai atau sebalikny
c. Hemihipestisia atau hemiparastesia, dimana lengan dan tungkai sesisi hipestetik sama
beratnya, atau lengan sesisi lebih hipestetik dari ada tungkai atau sebaliknya
d. Diplegia, yaitu kedua sisi tubuh memperlihatkan tanda-tanda kelumpuhan “Upper
Motoneurone” (U.M.N)
e. Afasia atau disfasia sensorik atau motoric
f. Hemiparesis dengan afasialdisfagia sensorik atau motoric
g. Hemiparesis dengan hemianopia
h. Hemihipestesia atau parestesia alternans

Chrin dan Hohloch menggambarkan 7 fungsi yang mungkin terpengaruh oleh CVA :
Bahasa, bicara, sensari-persepsi, pergerakan, gaya tingkah laku, memori, dan pengkajian holistik
1. Bahasa
Kemampuan bahasa pada umunya tetap utuh dengan keterlibatan hemisfer kiri.
Masalah dalam bahasa dan kemampuan perseptual umumnya meningkat setelah stroke,
tetapi pemulihan lebih bervariasi dibandingkan yang dapat dilihat pada fungsi motoric.
Ketika menguji bahasa, pengkajian ungkapan lisan, pemahaman bahasa verbal, menamai,
membaca, menulis, dan mengulang adalah sesuatu yang sangat penting dalam mengkaji
tingkat defisit individu. Afasia (baik ekspresif dan reseptif) dapat diakibatkan oleh
keterlibatan tubuh bagian kanan
Afasia ekspresif (kadang-kadang disebut nonfluent atau tidak lancar) akibat dari
kerusakan pada daerah lobus frontalis, dikenal sebagai area Broca. Kerusakan pada area
Broca menyebabkan klien mempunyai kesukaran benar dalam berbicara, sering
menggunakan tata bahasa yang salah. Beberapa orang dengan afasia Broca tampak
memilikih suatu gangguan dalam penghilangan bentuk structural dan penyederhanaan
struktur tata bahasa dalam berbicara. Pada tipe Broca lancer (Ekspresif), ungkapan,
pengulangan, dan penamaan mengalami gangguan, dengan gangguan pemahaman ringan
Afasia reseptif (kadang-kadang disebut tipe lancer atau Wernicke) terjadi ketika
terdapat cedera pada korteks hemisfer kiri dalam lobus temporalis. Area Wernicke
terletak diantara korteks auditorius primer dan suatu struktur yang disebut girus angular.
Suatu kumpulan serabut saraf, arcuate fasiculus, menghubungkan area Broca dengan area
Wernicke. Area Wernicke sangat penting tidak hanya dalam berbicara, tetapi juga dalam
pemahaman tentang kata-kata yang dibicarakan dalam membaca dan menulis. Pada afasia
Wernicke (Reseptif), ungkapan, pemahaman, pengulangan, dan penamaan mengalami
gangguan; tetapi kelancaran berbicara tetap normal
Untuk lebih memahami tentang afasia Wernicke dan Broca, kita perlu memahami
proses normal dalam menerima dan menyatakan bahasa. Ketika suatu bunyi (kata) dibuat,
kata tersebut tidak dapat terdengar sampai sinyal diproses oleh area Wernicke. Dalam
memberikan suatu tanggapan (kata), ada suatu indikasi bahwa kata yang diucapkan
ditransmisikan ke area Broca, yang menghasilkan suatu program untuk artikulasi.
Program ini disuplai ke korteks motoric, yang merangsang otot-otot bibir, lidah, laring
dan sebagainya. Dalam membaca kata-kata, terutama korteks penglihatan/visual
mengenali kesan dan kemudian dipikirkan untuk menyampaikannya kepada girus
angular. Girus angular menghubungkan bentuk (simbol) kata-kata yang dilihat dengan
pola pendengaran yang ekuivalen dalam area Wernicke. Jika cedera terjadi pada kedua
area, orang tersebut akan mengalami afasia global; yaitu, ia mengalami kesulitan untuk
berbicara dan mengerti kata-kata yang diucapkan dan yang ditulis. Kelancaran berbicara,
ungkapan, pengertian, pengulangan, dan penamaan semuanya mengalami gangguan.

2. Wicara
Wicara mengalami perubahan pada terganggunya hemisfer kanan maupun
hemisfer kiri. Gangguan akibat keruskan saraf yang memengaruhi otot-otot untuk
berbicara sering terjadi pada afasia (reseptif, ekspresif, atau global), disartria, dan
disfagia. Disartria termasuk masalah artikulasi. Symbol-simbol (kata-kata) digunakan
secara tepat, tetapi bicaranya mungkin berlebihan atau terganggu karena kendali motoric
yang lemah. Pengkajian disartria yang menyertai mungkin dideteksi dengan cara
meminta klien untuk mengatakan hal-hal berikut : “Mi,mi,mi” (untuk menguji bibir),
“La,la,la” (untuk menguji lidah), dan “Ga,ga,ga” (untuk menguji faring).
Defisit dalam berbicara dapat dilihat pada hemiplegia sisi kiri dan sisi kanan.
Kesulitan dalam menemukan kata-kata dan disartria terutama sekali dilihat pada
keterlibatan tubuh bagian kanan. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan, berhubungan
dengan lemahnya kendali motoric pada lidah dan faring. Reflex muntah mungkin juga
tidak ada, yang menimbulkan potensi untuk terjadinya aspirasi ketika makan dan
menelan. Klien dengan disfagia mungkin juga mempunyai masalah dalam menangani
sekresi yang berlebihan.

3. Persepsi-Sensasi
Sensasi terganggu baik pada hemiplegia bagian kanan maupun bagian kiri. Defisit
penglihatan atau kebutaan lapang pandang pada satu sisi, yaitu sisi yang terpengaruh,
yang dikenal dengan hemianopsia dan umunya mengacu pada defek penglihatan bilateral.
Kelalaian yang terjadi pada bagian kanan atau kiri dapat terjadi dengan atau tanpa defek
lapang pandang. Distorsi persepsi ini membuat klien sulit untuk menilai kedalaman dan
orientasi vertical dan horizontal di lingkungannya. Sensasi terhadap nyeri, temperature,
dan propriosepsi mungkin berkurang, walaupun sensari nyeri bagian dalam biasanya
tetap utuh. Propiosepsi adalah suatu perasaan tentang posisi sendi. Jika propiosepsi
berubah, klien mungkin tidak menyadari posisi sendi atau tungkai,yang dapat
menyebabkannya berisiko untuk cedera dan kerusakan kulit lebih lanjut. Selain itu, suatu
kelalaian hemispasial mungkin dapat dimanifestasikan, yaitu kegagalan untuk
melaporkan, berespons, atau orientasi terhadap hal-hal baru atau stimulus yang penuh arti
yang terdapat pada sisi yang berlawanan dari lesi otak. Karena dampak negatifnya pada
keseimbangan duduk, persepsi visual, mobilitas kursi roda, kesadaran terhadap
keamanan, perlindungan kulit dan sendi,dan resiko jatuh, kelalaian hemispasial (sindrom
kelalaian) turut berperan kearah kecacatan setelah stroke

4. Pergerakan
Setelah serangan stroke, sisi yang terkenan mungkin mulai melemah atau kaku
karena paralisis. Spastisitas dan kontraktur dapat terjadi bila paralisis tidak dapat diatasi.
Spastisitas berkembang tidak lama sesudah stroke terjadi, pada awalnya ditunjukan
sebagai suatu peningkatan respons fasik pada tendon dan sedikit menangkap dengan
rentang pasif. Melakukan rentangan dapat menjadi lebih bermasalah dengan bukti-bukti
posisi tonik pada saat fleksi atau ekstensi. Pada saat aktivitas motoric yang disadari
kembali, suatu pengurangan tonus dan reflex juga terlihat jelas. Jika pemulihan tidak
sempurna, kekauan biasanya tetap, mempunyai implikasi untuk keterampilan perawatan
diri dan aktivitas kehidupan sehari-hari
Sepertiyang telah disebutkan sebelumnya, stroke dapat menyebabkan apraksia.
Ketidakmampuan klien untuk terus melakukan pergerakan yang dipelajarii dan penuh arti
seperti makan dan berpakaian dapat menimbulkan frustasi dan depresi seiring dengan
perjuangan klien untuk kembali ke keadaannya semula

5. Gaya Tingkah Laku


Perubahan gaya tingkah laku sering muncul dalam bentuk peningkatan kelabilan
emosional, yang tampak sebagai tawa atau tangisan yang tidak sesuai. Khususnya, pada
hemiplegia sisi kiri, klien bereaksi dengan cepat dan impulsive, sering berlebihan dalam
menilai kemampuannya. Klien mungkin melangkah, sering tampak mencari sesuatu dan
jika tidak diawasi, mungkin akan berjalan-jalan tanpa tujuan. Perilaku ritual yang
kompulsif mungkin juga dimanifestasikan. Merendahkan kemampuan sering merupakan
karakteristik dari hemiplegia sisi kanan. Pengkajian riwayat sosial dan tingkah laku
(kepribadian premorbid) secara seksama sangat penting untuk perencanaan perawatan
yang realistis dan sesuai.
Depresi sering kali merupakan komplikasi yang penting dari stroke dan mungkin
membatasi keikutsertaan dan hasil psikososial positif dengan cara menghambat motivasi
dan inisiatif. Sepertiga sampai dua pertiga orang yang selamat dari stroke mengalami
depresi, ditunjukan dengan kekurangan energy, gangguan tidur, tertekan dan putus asa.
Depresi setelah stroke dapat dihubungkan dengan suatu kombinasi baik penyebab organic
maupun penyebab reaktif. Ansietas dan ketakutan setelah stroke adalah manifestasi yang
umum, sering tentang kemajuan dimasa depan, kualitas hidup, dan kemampuan
fungsional yang akan terjadi di masa yang akan dating
Pemeriksaan penunjang dan diagnosis pada pasien stroke menurut Ginsberg
Lionel (2008) yaitu :
Stroke merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk
a. Mencari penyebab
b. Mencegah rekurensi dan, pada pasien yang berat, mengidentifikasi factor-faktor
yang dapat menyebabkan perburukan fungsi SSP
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien stroke meliputi :
a. Darah lengkap dan LED
b. Ureum, elekrolit, glukosa, dan lipid
c. Rontgen dada dan EKG
d. CT scan kepala

6. Memori
untuk pembentukan bahasa baru mengalami gangguan pada kerusakan bagian
kanan. Ingatan informasi baru adalah tentang lingkungan yang dekat, seperti dimana
tempat urinal, sering terpengaruh pada hemiplegia sebelah kiri

7. Pengkajian Holistik
Secara ringkas, pengkajian fisik, fungsional, kognisi-komunikasi, persepsi-
sensori, dan masalah psikososial memberikan suatu metoda yang sistematis dalam
mengevaluasi klien lansia kepada perawat. Walaupun area pengkajian mungkin tumpang
tindih, sistem ini lebih memberi perlengkapan bagi perawat untuk melakukan pendekatan
holistic untuk perawatan klien. Selain itu, model promosi kesehatan memberikan suatu
kerangka kerja untuk mengkaji, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi klien
lansia dengan defisit neurologis yang berhubungan dengan stroke

 PENYAKIT PARKINSON
Satu dari setiap 100 orang yang berusia diatas 50 tahun didiagnosis menderita penyakit
Parkinson. Penyakit ini adalah penyakit neurologis yang paling sering diderita oleh lansia. Dari
semua orang yang di diagnosis dengan penyakit Parkinson, 50% berusia lebih dari 70 tahun.
Diperkirakan 50.000 kasus baru didiagnosis setiap tahunnya. Penyakit Parkinson lebih sering
terjadi pada pria dan memilikih manifestasi lebih sering dalam decade kelima kehidupan. Empat
hipotesis yang menonjol tentang penyebab penyakit Parkinson adalah penuaan yang dipercepat,
zat beracun, predisposisi genetic, dan stress oksidatif
Penyakit Parkinson memengaruhi kemampuan SSP untuk mengendalikan gerakan tubuh.
Penyakit Parkinson dibedakan secara patologis dengan degenerasi pigmen dan nucleus batang
otak yang lain, terutama substansia nigra, dlam hubungannya dengan pembentukan eosinophil
neuronal melibatkan apa yang disebut badan lewy. Ganglia basalis dan sistem motoric
ekstrapiramidalis merupakan bagian yang terlibat dalam penyakit Parkinson. Pengendalian tonus
otot dan gerakan motoric halus yang disadari diatur oleh ganglia basalis. Keseimbangan dari
kedua fungsi ini berasal dari efek eksitasi dari sistem reticular dan dari tindakan inhibisi dari
dopamine. Ketika kadar dopamine menurun, ganglia basalis menjadi terlalu aktif, yang
menyebabkan gejala klasikdari penyakit Parkinson. Hilangnya sel dalam substansia nigra
berhubungan dengan tingkat kekurangan dopamine.
Penurunan dopamine dalam korpus striatum turut berperan terhadap gangguan
pergerakan yang ditemukan pada penyakit Parkinson. Korpus striatum berpengaruh penting pada
pergerakan tubuh. Kekakuan otot, tremor, pergerakan yang tidak disadari, dan bradikinesia
(kelambatan dalam memulai pergerakan) sering merupakan indikasi dari penyakit degenerative
neurologis ini.
Indikasi pertama dari Parkinson berupa tremor halus yang terus berkembang selamam
satu periode yang lama. Tremor ini berkurang ketikaa klien melakukan gerakan yang berarti.
Mengeluarkan liur, kesukaran menelan, bicara yang lambat, dan nada datar mungkin ditunjukan
dan selanjutnya berkembang menjadi kelemahan dan kekuatan otot. Mungkin terdapat
peningkatan nafsu makan. Ketidakstabilan emosional dan depresi mungkin di tunjukkan. Klien
mempunyai suatu karakteristik penampilan seperti topeng (wajah topeng). Postur tubuh klasik
membungkuk seperti sedang menggulung-gulung pil dan gaya berjalan dengan cara diseret,
dengan batang tubuh mengarah ke depan, dimanifestasikan pada saat penyakit semakin
bertambah berat. Kecepatan gaya berjalan meningkat ketika berjalan terus berlanjut, dan klien
mungkin tidak mampu untuk berhenti secara volunteer. Ketidakmampuan berjalan dapat terjadi
sebagai akibat dari perkembangan penyakit. Penyakit Parkinson terus berkembang selama kira-
kira 10 tahun. Kematian biasanya berhubungan dengan komplikasi seperti pneumonia dan
distress pernapasan
Mendiagnosis penyakit Parkinson mungkin sulit. Seperti diketahui, wajah yang seperti
topeng yang dikarakteristikan oleh ekspresi wajah yang tetap, sering nampak dalam penyakit ini.
Tremor yang memengaruhi tangan dan lengan terlihat unik, yaitu tremor tersebut memilikih
frekuensi yang sedikit dan hamper berputar. Tremor ini biasanya meningkat ketika ekstremitas
berada pada posisi istirahat dan berhenti dengan gerakan yang berarti. Kekakuan gigi roda,
sering terlihat sebagai gerakan menghentak, dengan periode yang bergantian antara pergerakan
tungkai secara pasif, sering teramati. Memulai suatu pergerakan merupakan masalah bagi klien.
Tidak adanya ayunan lengan ketika berjalan dan perubahan dalam tulisan tangan (mikrografia)
adalah tanda-tanda awalnya. Kewaspadaan terhadap tanda dan gejala sangat penting karena tidak
ada tes yang pasti untuk mendiagnosis penyakit Parkinson
Klien dengan penyakit Parkinson sebaiknya ditangani dengan menggunakan pendekatan
multidisiplin. Pemberian dopamine tidak efektif dalam penanganan penyakit Parkinson sebab
dopamine melewati sawar darah otak. Namun, levodopa, precursor metabolic dopamine, dapat
melewati sawar darah otak dan diperikan dapat dikonversi menjadi dopamine dalam ganglia
basalis. Jika efektif , kekauan otot, gaya berjalan yang diseret, mengeluarkan air liur, dan
pergerakan tubuh yang lambat dapat sangat meningkat. Selain itu, campuran levodopa dan
karbidopa, antikolinergik, antihistamin, antidepresan, dan bromokriptin juga telah terbukti efektif
dan mungkin dimasukkan sebagai bagian dari rencana perawatan klien secara keseluruhan.
Fisioterapi, penggunaan alat bantu, dan teknik untuk berpakaian, berdandan, dan makan juga
telah terbukti sangat menolong dalam meingkatkan derajat kemandirian klien. Pendekatan
multidisiplin yang terdiri dari dokter; ahli terapi fisik, okupasi, dan bicara; seorang
neuroedukator, dan perawat memberikan kesempatan pada lansia untuk dirawat secara
menyeluruh.

D. Penyelesaian Masalah

1. Pencegahan primer
Penggunaan model promosi, strategi dan intervensi kesehatan dapat diidentifikasi dari
susut pandang fisik, fungsional, kognisi-komunikasi, persepsi-sensori dan psikologis

PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan suatu komponen pencegahan primer yang sangat penting.
Karena stroke masih terus menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas diantara
lansia di Amerika Serikat, peningkatan program pendidikan kea rah pencegahan dan
factor resiko merupakan hal yang krusial. Merokok, diabetes mellitus, dan hipertensi
diketahui sebagai factor resiko yang dapat meningkatkan kemungkinan klien untuk
mengalami stroke, atau lebih tepatnya, infark aterotrombosis otak, yaitu tipe yang sering
terjadi pada lansia
Pencegahan primer ditujukan ke arah gaya hidup sehat, termasuk diet rendah
lemak, garam dan gula. Latihan secara teratur, yang merupakan suatu komponen penting
dari jadwal lansia, dapat juga berperan terhadap pencegahan. Gaya hidup sehat sebagai
pencegahan primer termasuk program pendidikan kesehatan untuk mengurangi merokok,
yang berisiko tinggi terhadap terjadinya penyakit kardiovaskular.
Mendidik klien tentang obat anti hipertensi termasuk memastikan jadwal waktu
dan dosis yang benar, menggunakan alat bantu memori untuk membantu orang tersebut
mengikuti program pengobatan dan mengajarkan tentang tindakan pencegahan kusus
ketika sedang menggunakan obat-obat anti hipertensi dan diuretic. Komplikasi seperti
hipotensi ortostatik harus diperhatikan dan dicegah karena potensi mereka untuk
menurunkan kapasitas kemampuan perawatan dari klien, peningkatan disabilitas dan
menyebabkan kemunduran pada akhirnya.

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder berhubungan dengan pengkajian, diagnostic, penentuan
tujuan dan intervensi ketika defisit neurologis terjadi. Tujuan secara keseluruhan adalah
untuk mencegah terjadinya kehlangan kesehatan tambahan dan untuk mengembalikan
klien pada tingkat kemampuan berfungsi mereka secara maksimum

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk menurunkan efek dari penyakit dan cedera.
Tahap perlindungan kesehatan ini dimulai pada periode awal penyembuhan. Pengawasan
kesekesehatan selama rehabilitasi untuk meningkatkan fungsi, mobilitas, dan penyesuain
psikososial adalah hasil yang diharapkan dari pencegahan tersier. Hidup secara produktif
dengan keterbatasan dan defisit, dan menimbulkan residu kecacatan adalah hasil
tambahan yang diharapkan. Pencegahan tersier mempunyai banyak hal untuk
ditambahkan dikualitas hidup dan seluruh arti kehidupan yang diyakini oleh klien.
E. Pengkajian
Pengkajian adalah komponen kunci dari diagnosa yang akurat, penentuan tujuan dan
intervensi. Salah satu komponen pengkajian fisik dalam gangguan neurologis adalag pengujian
sensasi, koordinasi, fungsi serebral, reflex, dan saraf-saraf kranial. Masalah fisik dan fungsional
dimasa lalu atau masa sekarang seperti defek fungsi motoric,kejang, cedera otak, kanker, reflex
yang abnormal, kekakuan dan paralisis adalah pemicu yang harus dievaluasi lebih lanjut. Selain
itu , defisit kognitif komunikatif (dalam memori, proses berpikir dalam berbicara, abstraksi,
kelancaran), status mental dan factor persepsi sensori (orientasi, tingkat kewaspadaan, sensasi
yang tidak biasa) dan masalah psikologis (penggunaan alcohol atau obat-obatan, riwayat
pekerjaan) memandu perawat dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan kemampuan
fungsional. Dengan suatu pengkajian dan pemahaman secara seksama tentang beratnya defek,
perawat dipersiapkan untuk bekerja sama dengan klien lansia dan keluarganya
Stroke dan penyakit Parkinson sering memilikih defisit neurologis yang sama. Dengan
mengingat hal ini, perawat perlu memusatkan pengkajian, diagnosis, penentuan tujuan, dan
intervensi pada defisit yang spesifik dan bukannya pada proses penyakit.
Ketika klien mengalami stroke, aterosklerosis yang sedang berhenti atau berjalan lambat
sangat penting untuk dipulihkan. Rehabilitasi stroke mengintegrasikan suatu pendekatan
interdisiplin dalam mencapai stabilitas medis, meningkatkan hasil akhir kemampuan
fungsional, dan penyesuaian terhadap residu disabilitas jangka panjang. Tindakan rehabilitasi
dini yang dimulai pada stroke terjadi sangat penting bagi pencegahan komplikasi sekunder
rehabilitasi stroke akut difokuskan pada kebutuhan fisik seperti mempertahankan jalan napas
pasien dan nutrisi yang adekuat. Manajemen kesejajaran tubuh, rentang gerak, dan postur tubuh
adalah komponen yang penting dalam rehabilitasi. Pencegahan, pengenalan dan penatalaksanaan
penyakit penyerta dan komplikasi yang sering terjadi, latihan untuk kemandirian fungsional
maksimal, dan membantu kemampuan koping dan adaptasi klien harus memandu upaya
rehabilitasi
F. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosis keperawatan : Resiko tinggi gangguan pembersihan jalan napas yang berhubungan
dengan ketidakefektifan mengunyah atau menelan sekunder akibat CVA/Stroke
Hasil yang Diharapkan Tindakan Keperawatan
Jalan napas paten tidak  Kaji tanda-tanda ketidakefktifan jalan napas (hambatan menelaan,
ada tanda-tanda dyspnea, tersedak)
aspirasi  Kolaborasi dengan ahli terapi wicara untuk melatih otot
 Kaji reflex gangguan sebelum memberikan apapun melalui mulut
 Awasi semua makanan ketika status menelan telah ditentukan
 Pertahankan pasien pada posisi tegak lurus sepenuhnya ketika
memberikan apapun melalui mulut
 Observasi setiap 8 jam untuk mengetahui tabda-tanda adanya
pneumonia aspirasi (peninggian temperature 1 derajat diatas batas
normal, meningkatnya batuk, suara napas tambahan)

PANDUAN PENGAJARAN UNTUK MASALAH MENGUNYAH DAN MENELAN


a. Timbang klien sekali seminggu
b. Buat catatan harian tentang jumlah makanan yang dimakan selama 3 hari
c. Lihat catatan tersebut pada setiap pertemuan lanjutan dan evaluasi
d. Gunakan alat bantu jika dibutuhkan
e. Instruksikan klien untuk memotong kecil makanannya dan mengunyah dengan baik sebelum
menelan
f. Berikan dorongan pada klien untuk makan dalam jumlah kecil dan sering dalam suatu
lingkungan yang tidak tergesa-gesa
g. Simpan mesin pengisap ditempat yang mudah dijangkau sampai fungsi menelan kembali
normal

POSISI DAN LATIHAN FISIK


Memposisikan klien melibatkan dukungan pada ekstremitas yang paralisis untuk
mencegah masalah sekunder seperti kontraktur, decubitus, dan nyeri. Paralisis pada ekstremitas
menghalangi kembalinya aliran darah vena yang memadai, dengan demikian menyebabkan
akumulasi cairan dalam jariingan. Akumulasi ini menghalangi suplai nutrisi yang memadai untuk
sel-sel, sering mendorong kearah terjadinya kerusakan jaringan. Kegiatan memposisikan klien
melibatkan pengubahan posisi klien untuk memfasilitasi kesejajaran tubuh yang baik.
Latihan rentang gerak pasif menurunkan resiko edema dan kontraktur pada klien setelah
stroke. Dengan meningkatnya toleransi dan daya tahan klien, latihan dapat ditingkatkan. Kedua
sisi ini, baik yang terganggu maupun yang tidak terganggu perlu dilatih
Latihan fisik dilaksanakan hanya pada titik resistensi. Perawat secara terus-menerus
mengevaluasi kemampuan klien untuk melaksanaakan latihan fisik sendiri. Ketika klien telah
stabil dan toleransi terhada aktivitas meningkat, latihan fisik harus disatukan kedalam AKS
seperti mandi, makan, memposisikan diri di tempat tidur, berpindah, dan berdiriore

A. STROKE DAN DEFISIT NEUROLOGIS


Suatu pengkajian yang seksama meliputi riwayat tingkat dan kemampuan fisik,
fungsional, kognitif, komunikasi, dan psikososial klien. Dengan kerusakan cerebral
bagian kiri, klien lansia pada umunya akan memperlihatkan hemiplegia pada sisi kanan,
afasia, desfagia, defisit memori, dan gaya tingkah laku yang lambat dan berhati-hati.
Seorang lansia dengan kerusakan cerebral yang kiri mungkin akan menunjukan
hemiplegia pada sisi kiri, defisit presepsi ruang, defisit memori, pengabaian secara
uniratelar, dan imlusitivitas. Emosi yang labil, ataksia, kekakuaan, parastesia pada sisi
yang terganggu, dan inkotinensia usus dan urin juga merupakan karakteristik cedera
cerebral. Status emosional yang umumnya dimanefestasikan oleh klien adalah depresi,
biasanya sebagai respon terhadap kehilangan citra tubuh, fungsi, perubahan peran, dan
perubahan dalam susunan biokimia klien. Depresi lebih sering terlihat pada penderita
stroke hemisfer kiri. Stroke pada hemisfer kanan sering menyebabkan kelabilan
emosional, yang dapat berupah mania.

B. DEFISIST NEUROLOGIS PADA LANSIA DENGAN PENYAKIT PARKINSON


Klien dengan lansia dengan penyakit Parkinson dapat menunjukan bradikinesia,
kekakuan, hilangnya mekanisme postural, dan tremor. Dapat juga terjadi hilangnya
kemampuan rentang gerak sendidengan fleksi pada leher, panggul, lutut, dan siku, oleh
karena itu menjadikan postur tubuh orang lanjut usia membungkuk. Gaya berjalan yang
diseret dengan atau tanpa pergerakan yang bersifat propulsive atau retropulsif, tidak
adanya ayunan lengan, wajah seperti topeng, mengeluarkan air liur, dan inkontensia atau
retensi usus dan urin juga merupakan karakteristik penyakit Parkinson.
Gangguan kognitif seperti gangguan tidur dan halusinasi penglihatan berkembang
menjadi para noia dan disorientasi umumnya terjadi pada tahap-taha lanjut dari penyakit
ini. Perubahan konsep diri dan gangguan interaksi sosial sering menurunkan kualitas
hidup lansia dengan penyakit Parkinson. Membantu klien untuk memelihara mobilitas
optimal dan tingkat fungsional dan membantu klien dan keluarga mengatasi keterbatasan
perawatan diri klien dan perubahan peran adalah tujuan yang menantang. Tujuan seperti
itu memerlukan evaluasi yang berkesinambungan dan pembaruan sesuai berkembangnya
gangguan dan kemampuan berfungsi klien memburuk.

a. REHABILITASI STROKE
Rehabilitas stroke termasuk seluruh tujuan dari rehabilitasi lansia. Pencegahan
komplikasi dan keterbatasan sekunder adalah hasil utama yang diharapkan. Peningkatan
kualitas dan arti dalam hidup dengan keterbatasan dan defisit klien lansia juga merupakan
hal penting bagi keberhasilan program rehabilitasi stroke.

 aktivitas kehidupan sehari-hari


Selain memposisikan klien dan latiahan rentang gerak, suatu program rehabilitas
stroke memfokuskan pada AKS. Aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk makan,
berdandan, hygiene, mandi, dan yang sejenisnya. Dengan melibatkan ahli terapi fisik dan
okupasi dapat meningkatkan kemampuan perawat untuk merencanakn perawatan.
Evaluasi tingkat sensori motoric, pengukuran rentang gerak sendi, dan kekuatan
otot adalah tujuan spesifik bagi ahli terapi dan perawat. Pemeriksaan genggaman,
kekuatan trisep, dan keseimbangan memberikan data yang berharga untuk perencanaan
strategi kompensasi untuk menyelesaikan tugas-tugas perawatan diri(self-care).
Propriosepsi, sensasi dan tonus otot di evaluasi. Suatu pengkajian yang seksama juaga
termasuk tingkat defisit neurologis yang mungkin telah dialami oleh klien akibat stroke.
Data tersebut termasuk kemampuan klien untuk mandi, berpakaian, makan, ke toilet, dan
berpindah. Selain itu, status fungsi usus dan kandung kemih klien adalah informasi yang
sangat
penting untuk perencanaan keperawatan. Fungsi penglihatan, pendengaran dikaji dan
setiap penyimpangandimasukan dalam pendekatan tim.
 Kognisi dan komunikasi
Konfusi, disorientasi, dan masalah komunikasi adalah akibat yang sering
dari stroke. Masalah komunikasi dapat diakibatkan oleh afasia, disfagia, dan disartria.
Kepada klien yang mengalami afasia dan disartria, perawat perlu menyertakan teknik
komunikasi yang memfasilitasi kemampuan klien untuk memahami kata-kata. Teknik
komunikasi tersebut meliputi meliputi berbicara secara perlahan-lahan, memberikan
petunjuk sederhana, membatasi distraksi, dan mendengar secara aktif. Selain itu,
menghubungkan kata-kata dengan objek, menggunakan pengulangan dan kata-kata yang
banyak, dan mendorong keluarga untuk membawa objek kecil yang dikenal leh klien
untuk menyebutkan nama objek-objek tersebut dapat meningkatkakan pola komunikasi.
Mengevaluasi penglihatan dan pendengaran dapat juga membantu mengatasi masalah
yang, sekali dapat diperbaiki, secara drastic akan meningkakan komunikasi.
 Dukungan psikologis
Klien lanjut usia mengalami berbagai kehilangan besar dengan terjadinya stroke,
mencangkup perubahan citra tubuh, dan perubahan peran. Dukungan pssikologis
diarahkan agar dalam menghadapi kehilangan ini dapat mendorong keberhasilan adaptasi
dan penyesuaian. Tujuan yang realistis dapat ditetapka hanya setelah perawat mengkaji
gaya hidup klien sebelumnya, tipe kepribadian, perilaku koping, dan aktivitas pekerjaan.
Dengan menyediakan situasi untuk penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan,
perawat memberi klien satu kesempatan untuk memperoleh kendali atas kehidupannya.
Keadaan seperti itu dapat sederhana seperti membiarkan klien memilih diantara 2
aktivitas, untuk memutuskan wakttu terapi, untuk emmilih pakaian, dan untuk membuat
pilihan makanan. Memfokuskan pada kekuatan dan kemampuan klien dari pada terhadap
defisit dapat mendorong harapan klien tersebut
Depresi sering terjadi dengan terjadinya kehilangan fungsi tubuh dan perubahan
peran dan citra tubuh. Konsultasikan kepada seorang perawat kesehatan mental
untuk memabantu mengatasi masalah ini. Klien lansia mungkin mengalami suatu
perasaan isolasi dan pengasingan. Keluarga mungkin memerlukan dukungan emosionaal
dan psikologis ketika berusaha untuk memahami apa arti kehilangan bagi klien. Jika
kebutuhan untuk mendapatkan dukunggan keluarga ini tidak diperhatikan, klien mungkin
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ajarkan anggota keluarga tentang depresi dan
perngatkan mereka terhadap tanda dan gejala yang penting dalam memberikan dukungan
psikososial
Kelabilan emosional dan ledakan-ledakan mungkin terjadi setelah
stroke. Anggota keluarga yang telah diajarkan tentang strategi komunikasi dan
bagimana cara bermain peran dalam situasi yang potensial akan lebih percaya diri dalam
merawat klien. Merujuk keluarga dank lien pada pelayanan pendukung seperti pelayanan
kesehatan dirumah, kelompok pendukung, dan respite care dapat mengurangi beban
ketergantungan yang mungkin mengikuti stroke. Keberhasilan rehabilitasi stroke
melibatkan manajemen factor-faktor yang pada akhirnya dapat membuat perbedaan
dalam memelihara kemandirian maksimum dan menurunkan komplikasi sekunder yang
dapat berkembang dari penyakit kronis yang melumpuhkan.

Jadi, menurut Abdul Muhith (2016) perubahan yang muncul dalam sistem
persarafan pada lansia ialah :
1) Cepat menurunkan hubungan persarafan
2) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berpikir
3) Mengecilnya saraf panca indera
4) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya saraf
penciuman, dan perasa lebih sensitive terhadap perubahan suhu dengan rendahnya
ketahanan tubuh terhadap dingin.
DAFTAR PUSTAKA

Ginsberg Lionel.2008.Lecture Notes Neurology.Jakarta: Erlangga

Mardjono Mahar.2009.Neuroloi Klinis Dasar.Jakarta: Dian Rakyat

Mickey,Stanley. 2006. Buku Ajar Keperawatan GerontokEdisi 2. Jakarta: Perpustakaan Nasional

Muhith Abdul.2016.Pendidikan Keperawatan Gerontik.Yogyakarta: ANDI

Padila.2013.Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Yogyakarta: Nuha Medika

Sidharta Priguna.2012.Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat


Mata kuliah : Keperawatan Komunitas Gerontik
Dosen Pengajar : Edikta Pantouw SPd.,M.Kes

PENUAAN PADA SISTEM NEUROLOGIS

Disusun Oleh :
Kelompok 4

Fiktoria Titirloloby 15061069


Friscarina Lumankun 15061095

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE
MANADO
2017

Anda mungkin juga menyukai