Anda di halaman 1dari 20

1

PENATALAKSANAAN PRESBIASTASIS

Yohanes Dimas Pamungkas Priyambodo


Dep./SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya

PENDAHULUAN
Presbiastasis adalah gejala dizziness dan ketidakseimbangan yang
disebabkan oleh proses penuaan pada sistem sensorik, sistem saraf pusat, dan
sistem motorik. Presbiastasis merupakan terminologi medis untuk disekuilibrium
pada usia tua yang penyebab spesifiknya tidak diketahui. Presbiastasis
menurunkan kemampuan berjalan, mengemudi dan melakukan aktifitas sehari-
hari sehingga berakibat pada terbatasnya mobilitas dan rendahnya kualitas hidup
pada usia lanjut.1
World Health Organization (WHO) menggolongkan usia lanjut menjadi
lanjut usia 60-74 tahun, lanjut usia tua 75-90 tahun dan usia sangat tua diatas 90
tahun.2 Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan terjadi peningkatan Umur
Harapan Hidup (UHH), tahun 2010 menjadi 69,43 tahun (persentase populasi
lanjut usia 7,56%) dan tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (persentase populasi
lanjut usia 7,58%).3 Sekitar 50% individu pada usia pertengahan sampai 60 tahun
mengalami masalah keseimbangan. Studi lain menunjukkan 50% pasien di klinik
geriatrik mengalami dizziness, tetapi hasil wawancara menunjukan lebih dari 90%
memiliki gejala berupa masalah postural dan merasakan sensasi berputar.4
Penemuan klinis dari 740 pasien di House Ear Institute menunjukkan keluhan
dizziness dan 80% diantaranya tidak memiliki diagnosis vesibular yang spesifik
sehingga diklasifikasikan sebagai presbiastasis.5
Strategi penatalaksanaan presbiastasis harus sesuai keperluan tiap individu
yang bertujuan memperbaiki kemampuan fungsional untuk meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi resiko jatuh. Presbiastasis adalah suatu diagnosis
eksklusi.4,1 Identifikasi dan tatalaksana penyebab non vestibuler dari
disekuilibrium pada orang tua perlu dilakukan karena banyak di antaranya yang

1
2

potensial dapat dikoreksi seperti hipotensi postural terkait penggunaan obat anti
hipertensi, insufisiensi kardiovaskuler, gangguan penglihatan dan lain-lain.5

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menjelaskan diagnosis dan
tatalaksana presbiastasis.

1. Presbiastasis
Presbiastasis merupakan hasil perubahan fisiologis pada tiga sistem yaitu
vestibuler, visual dan proprioseptif yang berkontribusi terhadap keseimbangan.
Jika terjadi gangguan pada dua sistem atau lebih dan tidak dapat dikompensasi
sempurna maka menyebabkan disekuilibrium. Presbiastasis tidak hanya
melibatkan lesi pada sistem vestibuler dan diperlukan evaluasi serta
penatalaksanaan yang holistik.6
Disekuilibrium adalah sensasi ketidakseimbangan atau kurangnya
koordinasi baik pada saat berdiri (disekuilibrium statik) atau berjalan
(disekuilibrium dinamik). Drachman dan Hart (1972) seperti yang dikutip oleh
Mc Pherson dkk disekuilibrium adalah salah satu kategori dari dizziness.
Dizziness adalah suatu gejala umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan sensasi subyektif yang sangat bervariasi. Kategori lain dizziness
adalah vertigo (sensasi gerakan dari subyek atau lingkungannya), presinkop
(sensasi akan hilangnya kesadaran atau sensasi akan hilangnya kontak dengan
lingkungan), dan lightheadedness (sensasi ketidak seimbangan / goyah yang
disertai sensasi ringan hilangnya kontak dengan lingkungan tanpa disertai
hilangnya kesadaran).1,6

2. Sistem vestibuler
Sistem keseimbangan pada manusia dibagi menjadi sistem keseimbangan
pusat (serebelum) dan sistem keseimbangan perifer (vestibuler, visual,
proprioseptif). Organ vestibuler perifer terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis
yaitu, kanalis semisirkularis lateral (horizontal), kanalis semisirkularis anterior
(superior) dan kanalis semisirkularis posterior (inferior). Dua organ yang
berfungsi sebagai reseptor disebut organ otolit yaitu utrikulus dan sakulus. Ketiga
kanalis semisirkularis terletak saling tegak lurus satu sama lain membentuk sudut
90°. Pada tiap ujung kanalis semisirkularis yang mengalami dilatasi disebut
3

ampula. (Gambar 1). Ampula yang mengandung sejumlah sel rambut sensoris
yang disebut krista ampularis, kupula, sel penyokong jaringan ikat, pembuluh
darah dan serabut saraf. Sel rambut melekat pada krista ampularis dan ujung
silianya terbenam dalam kupula.7

Gambar 1. Kanalis semisirkularis.8


Vaskularisasi organ vestibuler berasal dari arteri auditiva interna yang
mendapat suplai darah arteri serebral anterior, posterior dan basilaris. Inervasi
organ vestibuler melalui nervus vestibulokoklearis (N.VIII) bercabang menjadi
nervus vestibuleris dan nervus koklearis. Ganglion vestibuler bercabang menjadi
dua yaitu, nervus verstibular superior yang menginervasi kanalis semisirkularis
superior, lateral dan utrikulus. Cabang lainnya nervus vestibuleris inferior
menginervasi kanalis semisirkularis posterior dan sakulus.7
Sistem keseimbangan manusia terdiri dari tiga komponen yaitu, apparatus
sensoris perifer, proses sentral dan mekanisme respons motoris. Aparatus sensoris
perifer merupakan rangkaian sensor gerak yang mengirim informasi ke sistem
saraf pusat, secara spesifik menuju kompleks nukleus vestibuleris dan serebelum.
Sistem saraf pusat memproses sinyal dan mengkombinasikannya dengan
rangsangan sensoris yang diterima untuk mengetahui posisi kepala dan tubuh.
Output sistem vestibuler sentral diteruskan ke muskulus orbikularis dan medula
spinalis menghasilkan tiga refleks yang penting yaitu, reflex vestibulookular,
refleks vestibulokolik dan refleks vestibulospinal. (Gambar 2).
4

Gambar 2. Bagan ilustrasi kerja sistem vestibuler.8


3. Patofisiologi
Presbiastasis terjadi karena adanya proses degenerasi pada semua struktur
yang berkontribusi terhadap sistem keseimbangan yaitu input vestibuler, visual
dan proprioseptif. (Gambar 3).

Gambar 3. Sistem keseimbangan.8


3.1 Vestibuler
Perubahan degeneratif sistem vestibuler pada orang tua ditemukan di
seluruh bagian aparatus vestibuler, termasuk otokonia, epitel vestibuler, saraf
vestibuler, ganglion Scarpa dan serebelum. Setelah usia 70 tahun terjadi
penurunan jumlah sel rambut terutama pada ampula sebesar 40%, sedangkan pada
5

makula 20%. Penurunan jumlah terutama terjadi pada sel rambut tipe I dibanding
dengan tipe II. (Gambar 4).

Gambar 4. Krista ampularis dan macula utriculus.4

Menurut penelitian Schuknecht, presbiastasis dibedakan menjadi empat


tipe yaitu tipe ampullary, macular, vestibuler ataxia dan cupulolithiasis. Pada
usia lanjut struktur labirinpun mengalami proses degenerasi, terjadi proses
demineralisasi dan fragmentasi dari otolit.8 Akumulasi dari inclusion bodies,
lipofusin, dan vakuola, atropi serta pembentukan scar terjadi di epitel sensoris.
Penurunan jumlah sel neuron pada ganglion Scarpa dimulai pada usia 60 tahun,
dan penurunan jumlah serabut saraf yang menghubungkan vestibulum dengan
ganglion Scarpa dimulai usia 50 tahun. Penurunan terbanyak terjadi pada serabut
saraf tebal bermielin yang berasal dari apeks krista. Selain itu ditemukan
akumulasi lipofusin pada nukleus vestibuler dan penurunan jumlah sel Purkinje
pada serebelum pada usia 50 tahun.9
Penurunan pada respon vestibulo okuler dan vestibulo spinal sering
ditemukan, tetapi tidak signifikan, hal ini disebabkan adanya kompensasi daerah
6

sentral. Proses penuaan juga dapat membuat kemampuan kompensasi sentral


menurun. Penelitian menunjukan bahwa terjadinya penurunan respon refleks
vestibulo-okuler pada orang tua berhubungan dengan meningkatnya kecepatan
gerakan kepala.10
3.2 Visual
Input visual memungkinkan kita untuk merasakan orientasi tubuh dalam
ruang dan memberikan gambaran visual di otak. Gangguan visual menyebabkan
proses pengolahan informasi tidak akurat sehingga terjadi hambatan dan masalah
keseimbangan. Penglihatan usia lanjut akan menurun sejak usia 50 tahun dan
penyakit mata seperti katarak dan diabetes melitus dapat mempengaruhi sistim
visual. Usia muda memiliki kemampuan untuk toleransi adanya gangguan sistim
visual sehingga dapat menjaga keseimbangan, kemampuan toleransi ini menurun
pada usia lanjut sehingga menimbulkan presbiastasis.9,11

3.3 Proprioseptif
Input proprioseptif meliputi informasi dari ekstermitas inferior yang
memberikan peran penting pada keseimbangan saat berdiri. Ketika berjalan,
proprioseptif memberikan informasi yang diperlukan untuk menjalankan setiap
langkah dan memastikan penempatan kaki yang optimal. Peningkatan usia,
kualitas dan kuantitas dari input proprioseptif menurun yang menyebabkan
instabilitas postural. Kelemahan proprioseptif dapat juga bisa akibat adanya
gangguan sensorik yang disebakan oleh penyakit, seperti : neuropati perifer
diabetik. Pengurangan massa otot pada manusia dimulai pada dekade ke enam, hal
ini akan mempengaruhi kekuatan kaki. Kombinasi dari beberapa faktor ini
menyebabkan kesulitan berjalan sehingga meningkatkan risiko jatuh pada usia
lanjut.9,11

4. Diagnosis
4.1 Pemeriksaan fungsi vestibuler
Pemeriksaan fungsi keseimbangan yang baik sangat menentukan apakah
penderita memerlukan terapi berupa rehabilitasi atau menggunakan alat bantu
gerak seperti tongkat, alat bantu jalan dan kursi roda. Pemeriksaan fungsi
kardiovaskular, pengelihatan dan ortopedik secara menyeluruh sangat diperlukan.
7

Selain itu, pemeriksaan fungsi keseimbangan dan pemeriksaan fungsi


pendengaran juga sangat penting untuk menegakkan diagnosis.1
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan jenis gangguan
vestibuler, terdapat dua kelompok besar pemeriksaan berdasarkan refleks
vestibulospinal (standing test) dan refleks vestibulookular. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan koordinasi untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan di
serebelum.11

4.1.1 Pemeriksaan refleks vestibulospinal / standing test


Pemeriksaan reflex vestibulospinal memberikan informasi tentang
stabilitas postural pasien Ketika input visual dan proprioseptif dihilangkan.
Pemeriksaan ini memberikan hasil yang kualitatif dan membutuhkan pengalaman
pemeriksa dan kerjasama pasien.
a) Tes Mann : Penderita diminta untuk berdiri tegak pada satu kaki dengan mata
terbuka selama 30 detik dan selanjutnya dengan mata tertutup juga selama 30
detik. Kemudian dicatat arah jatuh.11,12
b) Tes Romberg : Penderita yang memiliki gangguan propioseptif masih dapat
mempertahankan keseimbangan menggunakan kemampuan sistem vestibuler
dan penglihatan. Tes Romberg digunakan untuk menilai propioseptif yang
menggambarkan sehat tidaknya fungsi kolumna dorsalis medulla spinalis.7,8
Penderita diminta untuk berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar, lengan lurus
disamping dengan mata terbuka selama 30 detik kemudian selanjutnya dengan
mata tertutup selama 30 detik. Apabila penderita dapat melakukan tes ini
tanpa jatuh, maka dilakukan tes Romberg yang lebih sensitif, yaitu sharpened
Romberg test. Penderita berdiri dengan tumit salah satu kaki didepan ujung
jari kaki yang lainnya, dengan kedua lengan dilipat di depan dada selama 30
detik dengan mata terbuka dan dilanjutkan dengan mata tertutup selama 30
detik. Pemeriksa memperhatikan dan mencatat gerakan dan arah jatuh.11,12
c) Stepping test : Lingkaran imajiner dengan radius 0,5m, 1m, dan 1,5m pada
lantai. Lingkaran ini dibagi dalam beberapa bagian dengan garis lurus yang
melalui titik pusat dengan sudut 30°. Penderita diminta untuk berdiri tegak
pada titik pusat lingkaran. Penderita disuruh berjalan di tempat, dengan mata
ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa.
8

Sebelumnya dikatakan kepadanya bahwa penderita harus berusaha untuk tetap


ditempat, dan tidak beranjak dari tempatnya selama tes ini. Tes ini dapat
mendeteksi gangguan sistem vestibuler. Hasil tes ini dianggap abnormal bila
kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempatnya semula,
atau badan berputar lebih dari 30°. (Gambar 5).

Gambar 5. Stepping test.


d) Ganz sensory organization performance test : Pemeriksaan ini merupakan
kombinasi dari pemeriksaan Romberg, Romberg dipertajam dan stepping test.
Berdiri dengan menggunakan alas busa. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan kualitatif untuk menilai gangguan keseimbangan yang berasal
dari perifer atau sentral. (Gambar 6).12

N N N N N N N 1

N N S F F F F 2

N N N N F F N 3

N N N N N F R 4

N N N N N F N 5

Gambar 6. Ganz sensory organization performance test.12


(N=Normal, S=Sway, F=Fall, R=Right/Left; 1=Normal,2,3 = Sentral / multifactor
penderital, 4,5=abnormal vestibuler).
9

4.1.2 Pemeriksaan refleks vestibulookular :


Reflek vestibulookular adalah reflek yang teraktivasi oleh sistim vestibular
telinga bagian dalam yang mempengaruhi gerakan bola mata. Reflek ini berfungsi
untuk menstabilkan input gambar pada retina Ketika terjadi gerakan kepala.
a) Nistagmus lirikan / gaze nystagmus : Dilakukan dengan meminta penderita
memandang titik fiksasi lurus ke depan, 30° ke kanan, 30° ke kiri, 30° ke atas,
dan 30° ke bawah. Gerakan bola mata direkam selama 15 – 30 detik. Adanya
nistagmus menunjukkan keadaan patologis.11,12
b) Tes Sakadik : Dilakukan dengan meminta penderita melihat dua pasang titik
yang dipisahkan oleh jarak tertentu (biasanya sudut visual 20°) dengan jarak
garis khayal horizontal. Satu pasang titik yang lain dipisahkan oleh jarak yang
sama dengan garis khayal vertikal. Gerakan bola mata penderita direkam
ketika penderita melihat garis horizontal serta garis vertikal tersebut. Pada
orang normal akan terlihat gerakan mata yang cepat dan berhenti pada target
yang ditentukan, sedangkan pada orang abnormal akan terlihat kelebihan
(overshoot) atau perlambatan dari target yang ditentukan tersebut.11,12
c) Tes nistagmus spontan : Dilakukan dalam keadaan mata terbuka dan mata
tertutup. Nistagmus spontan horizontal dapat terjadi pada lesi perifer atau
sentral. Jika terdapat nistagmus spontan dalam keadaan mata terbuka menjadi
lebih nyata kemungkinan besar lesi terdapat pada sistem vestibuler sentral,
apalagi dengan arah berubah (direction changing). Nistagmus vertikal jelas
menunjukkan lesi sentral.11,12
d) Tes posisi : Dilakukan elektronistagmografi dengan posisi terlentang,
terlentang dengan kepala miring ke kanan, kepala miring ke kiri, kepala
tergantung 30o ke belakang, tidur miring ke kanan, tidur miring ke kiri, dan
posisi duduk dengan kepala lurus ke depan. Perekaman dilakukan
sekurangnya dalam waktu 20 detik untuk tiap posisi.11,12
e) Tes kalori : Dikerjakan dengan cara melakukan irigasi telinga kiri dan kanan
dengan air dingin 30o dan air panas 44o selama 40 detik dengan interval tes
sampai nistagmus atau vertigo hilang, biasanya 5 menit.11,12
f) Tes head thrust : Refleks vestibulookular pada pergerakan kepala dapat
dievaluasi dengan memutar kepala penderita (seperti gerakan menggeleng),
10

pertama kali dilakukan dengan kecepatan rendah untuk membiasakan


penderita dan relaksasi pada otot leher. Dimulai dengan memposisikan kepala
penderita pada 15-30° lateral dari garis tengah, kepala penderita di fokuskan
pada target di tengah (biasanya fokus pada hidung pemeriksa). Pemeriksaan
dilanjutkan dengan melakukan gerakkan menggelengkan kepala secara cepat
mengembalikan ke posisi tengah. Pemeriksa harus memperhatikan mata
penderita apakah mata terfiksasi pada satu titik, atau kehilangan fiksasi
sehingga terjadi gerakan kompensasi dan di dapatkan gerakan sakadik untuk
mendapatkan kontak visual dengan target. Gerakkan kepala untuk memeriksa
kanalis semisirkularis horizontal. Ketidakmampuan fiksasi visual dan
timbulnya gerakan sakadik pada gerakkan kepala fase cepat, menunjukkan
adanya gangguan fungsi pada kanalis semisirkularis sisi lesi.11,12
g) Tes head shake : Saat kepala digerakkan kearah kanan dan kiri pada posisi
horizontal, labirin yang intak menghasilkan respon yang lebih kuat
dibandingkan sisi lesi. Hal ini meningkatkan aktivitas sisi labirin intak dan
menyebabkan mekanisme penyimpanan kecepatan energi pusat. Saat kepala
digoyangkan, energi tersebut akan terurai sehingga menyebabkan respons
fase lambat menjauhi arah labirin intak, menghasilkan nistagmus fase cepat
menjauhi labirin yang mengalami kerusakan.7,8 Evaluasi dapat dilakukan
melalui visualisasi langsung atau dievaluasi menggunakan kacamata Frenzel.
Penderita di instruksikan menundukkan kepala 30° kemudian menolehkan
kepala ke kanan dan ke kiri secepat mungkin selama 30 detik, dapat juga
dibantu oleh pemeriksa.7,8 Segera setelah gerakan selesai dilakukan, arah
nistagmus dievaluasi. Hasil yang paling sering didapatkan adalah fase cepat
menjauhi sisi lesi labirin, timbul beberapa detik setelah gerakkan. Pola
berikutnya yang ditemukan adalah arah fase cepat nistagmus menuju arah
lesi, dan timbul sekitar 20 detik setelah gerakan, hal ini merupakan
kompensasi dari sentral. Fase ketiga yang timbul merupakan gabungan dari
kedua fase tersebut dimana fase cepat menjauhi arah lesi dan kemudian
menuju arah lesi, hal ini juga merupakan kompensasi dari ketidakseimbangan
vestibuler perifer. Hasil pemeriksaan ini menggambarkan fungsi vestibuler
perifer pada penderita dengan gangguan serebelum.11,12
11

h) Dix Hallpike : Manuver hallpike terdiri dari dua gerakan. Perasat Dix
Hallpike kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan, dan
perasat Dix Hallpike kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan perasat
Dix Hillpike kanan penderita duduk tegak pada meja pemeriksa dengan
kepala menoleh 45º ke kanan. Dengan cepat penderita dibaringkan dengan
kepala tetap miring 45º ke kanan sampai kepala penderita menggantung 20–
30º pada ujung meja pemeriksa, tunggu 40 detik sampai respons abnormal
timbul.7,8 Penilaian respons pada monitor dilakukan selama 1 menit atau
sampai respons menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat langsung
dilanjutkan dengan Canalith Repositioning Treatment (CRT). Bila tidak
ditemukan respon abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan
CRT penderita secara perlahan didudukkan kembali, kemudian dilanjutkan
pemeriksaan dengan perasat Dix Hillpike kiri dengan kepala penderita
dihadapkan 45º kekiri, dengan demikian kanal posterior kiri dan kanal
anterior kanan berada dalam bidang sejajar dengan bidang sagital kemudian
secara cepat tubuh direbahkan terlentang sampai kepala menggantung di tepi
meja pemeriksa. Gerakan terlentang membuat kedua kanal vertikal posterior
tidak terangsang, posisi ini di sebut Posisi Head Hanging Left (HHL), tunggu
maksimal 40 detik sampai respon abnormal hilang. Setelah gejala vertigo
hilang penderita diminta duduk kembali dan diobservasi nistagmus yang
timbul. (Gambar 7)

Gambar 7. Dix Hallpike.12


12

i) Roll maneuver : Posisi penderita dalam keadaan duduk dengan kepala fleksi
30 sehingga kanal horizontal sejajar dengan bidang horizontal, kemudian
kepala diputar searah jarum jam, mata penderita melihat kedepan dan
perhatikan nistagmus yang terjadi biarkan 40 detik, berikutnya kepala diputar
melawanan arah jarum jam, dan bandingkan intensitas nistagmusnya. Bila
pada putaran kepala searah jarum jam nistagmusnya lebih keras, maka debris
bergerak mendekati kupula kanal horizontal kiri, pada reposisi kanal
horizontal kepala harus diputar berlawanan supaya debris didorong kearah
utrikulus. Bila nistagmus yang kuat terjadi pada arah sebaliknya maka debris
berada pada kanal horizontal kanan.11,12
j) Dynamic visual acuity : Tes lain yang dapat digunakan untuk menilai
vestibulookular adalah dengan menggunakan Snellen chart dan menilai
ketepatan visual. Pemeriksaan dilakukan dengan menggelengkan kepala
penderita ke kanan kiri saat membaca papan. Penurunan satu baris dianggap
normal, sedangkan penurunan tiga baris atau lebih mengindikasikan adanya
gangguan refleks vestibulookular (hipofungsi vestibuler bilateral). Penilaian
ketepatan visual ditentukan berdasarkan karakter pada baris terakhir yang
dapat dibaca dengan benar sebanyak 50% karakter.11,12
k) Hipotensi ortostatik : Merupakan penurunan tekanan darah sistolik
+20mmHg atau diastolik +10mmHg dalam waktu 3 menit dengan posisi
berdiri. Tes ini merupakan gejala klinis dan bukan penyakit. Pemeriksaan
lain, dilakukan dengan penderita tidur posisi terlentang, kepala diangkat 60°
dan dihitung perbedaan tekanan darah selama 3 menit. Tes ini harus
memperhatikan variabel yang dapat mempengaruhi diagnosis seperti fungsi
pencernaan, waktu pemeriksaan, status hidrasi, temperatur lingkungan,
kondisi postural, hipertensi, riwayat penggunaan obat-obatan, jenis kelamin
dan usia. Hipotensi ortostatik dapat dengan gejala atau tanpa gejala. Gejala
yang timbul pada hipotensi ortostatik dipengaruhi posisi berdiri, saat
mengangkat kepala dan posisi menunduk atau menengadah. Gejala berupa
kepala terasa melayang, mual, muntah, pusing, pandangan kabur dan nyeri
pada leher. Pengukuran tekanan darah ulang harus dilakukan bila penderita
dengan kecurigaan gejala tapi tidak ditemukan hipotensi ortostatik. Beberapa
13

kasus, penderita tidak mengalami perubahan tekanan darah hingga mereka


berdiri +10 menit. Pemeriksaan hipotensi ortostatik dilakukan setelah posisi
penderita terlentang selama 5–10 menit, setelah itu penderita diminta berdiri
dengan cepat, dan pengukuran tekanan darah diulang kembali dalam waktu 1
menit.8 Teknik berbeda dicantumkan pada kepustakaan, dimana penderita
berada dalam posisi berbaring selama 10 menit, setelah itu dilakukan
pengukuran tekanan darah dan denyut nadi. Pengukuran diulang pada menit
ke-1, 5, dan 10 setelah penderita berada dalam posisi berdiri. Hasil positif bila
didapatkan penurunan tekanan sistolik ≥21mmHg, atau penurunan tekanan
diastolik ≥16mmHg, atau peningkatan denyut nadi ≥21 kali permenit.12

4.1.3 Pemeriksaan koordinasi


a) Tes tandem walking : Tes tandem walking digunakan untuk menentukan
gangguan koordinasi motorik. Pasien diminta untuk berjalan pada satu garis
lurus di atas lantai dengan cara menempatkan satu tumit langsung diantara
ujung jari kaki yang berlawanan, baik dengan mata terbuka atau mata
tertutup.12
b) Finger to nose test : Gangguan pada serebelum dapat juga menyebabkan
ataksia tipe dismetria. Dismetria berarti hilangnya kemampuan untuk
memulai atau menghentikan gerak motorik halus. Untuk menguji adanya
suatu dismetria dapat dilakukan beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah
finger to nose test. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan pasien dalam
kondisi berbaring, duduk atau berdiri. Diawali pasien mengabduksi lengan
serta posisi ekstensi total, lalu pasien diminta untuk menyentuh ujung
hidungnya sendiri dengan ujung jari telunjuknya. Awalnya dilakukan dengan
gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat.12
c) Finger to finger test : Pasien diminta mengabduksikan lengan pada bidan
horizontal dan diminta untuk menggerakkan kedua ujung jari telunjuknya
saling bertemu tepat di tengah bidang horizontal tersebut. Pertama dengan
gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, dengan mata ditutup atau
dibuka.12
d) Disdiadokokinesis : Pasien diminta untuk menggerakkan kedua tangannya
bergantian pronasi dan supinasi dalam posisi siku diam dengan cepat.
14

Pemeriksaan ini dilakukan baik dengan mata terbuka maupun tertutup. Pasien
dengan gangguan serebelum atau lobus frontalis maka gerakan pasien akan
melambat atau menjadi kikuk.12
e) Heel to knee to toe test : Pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan bila pasien
dalam keadaan terbaring. Pasien diminta untuk menggerakkan tumit kakinya
kearah lutut kontralateral, kemudian tumit digerakkan atau didorong kearah
jari kaki kontralateral.12
f) Rebound test : Pasien diminta mengaduksikan bahu, fleksi pada siku dan
supinasi lengan bawah, siku diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian
pemeriksa menarik lengan bawah tersebut dan pasien diminta untuk
menahannya, kemudian dengan mendadak pemeriksa melepaskan tarikan
tersebut. Perlu diingat, pemeriksa juga harus meletakkan tangan lain di depan
wajah pasien supaya bila pasien memang memiliki lesi di serebelum, wajah
atau badan pasien tidak terpukul oleh lengan pasien sendiri.12

4.2 Pemeriksaan fungsi pendengaran


Pemahaman yang baik mengenai diagnosis dan tatalaksana gangguan
pendengaran sangat penting bagi klinisi dalam menegakkan diagnosis dan
tatalaksana gangguan keseimbangan. Untuk mengetahui fungsi pendengaran
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan audiologi. Pemeriksaan
audiometri yang dapat dilakukan antara lain, audiometri nada murni, audiometri
nada tutur, timpanometri, auditory brainstem response (ABR), dan otoacoustic
emission (OAE). Pada beberapa kasus gangguan vestibuler berkaitan erat dengan
gangguan pendengaran, namun ada juga yang tidak. Pada presbiastasis gangguan
pendengaran yang biasanya menyertai adalah gangguan pendengaran tipe sensori
neural pada lanjut usia.12

5. Tatalaksana
Terapi rehabilitasi vestibuler (TRV) merupakan modalitas terapi primer
pada gangguan keseimbangan dengan karakteristik multifaktor seperti yang
dijumpai pada orang tua. Penelitian menunjukan bahwa TRV secara signifikan
dapat mengurangi keluhan dan gejala serta meningkatkan kemandirian dalam
melakukan aktivitas pada pasien dengan presbiastasis. Penelitian juga menyatakan
bahwa TRV secara signifikan mengurangi risiko jatuh pada orang tua.12
15

Penyseuaian lingkungan dan bantuan dari orang terdekat juga merupakan salah
satu kunci keberhasilan terapi pada pasien presbiastasis.

5.1 Terapi Rehabilitasi Vestibuler (TRV)


Rehabilitasi vestibuler adalah modalitas terapi yang menggunakan
aktivitas atau latihan fisik bertujuan mengurangi gejala, meningkatkan
kemandirian, keamanan, dan partisipasi pasien dalam kehidupan sosial. Terapi
rehabilitasi vestibuler akan lebih efektif dilakukan pada fase awal yang belum
terbentuk strategi postural abnormal dan belum terjadi kompensasi vestibuler
yang alami. Semakin awal intervensi dilakukan semakin cepat dan lengkap
kompensasi vestibuler yang akan dicapai.13,14
Degenerasi sistem vestibuler yang terjadi akibat penuaan meliputi area
luas sehingga terapi yang diberikan harus meliputi kategori latihan. Program
latihan yang terbukti efektif dalam penatalaksanaan presbiastasis terdiri dari
latihan koordinasi antara mata dan kepala dengan target yang berubah, latihan
gerakan kepala dengan dan tanpa fiksasi, latihan keseimbangan pada posisi duduk
dan berdiri, serta latihan berjalan.13,14
Berikut ini adalah contoh latihan yang ditujukan untuk mengatasi
defesiensi vestibuler dan keseimbangan.

5.1.1 Latihan gerakan kepala dengan target visual


Latihan dilakukan pada posisi duduk dengan jari telunjuk diposisikan
sekitar 25 cm di depan hidung. Kepala menoleh ke kiri dan ke kanan sambil mata
terus difokuskan pada jari telunjuk. Latihan diulangi sebanyak 15-20 kali dan
secara bertahap kecepatan gerakan kepala makin ditingkatkan. (Gambar 8)

Gambar 8. Latihan gerakan kepala dengan target visual.14


16

5.1.2 Latihan berdiri seimbang


Latihan dimulai dengan berdiri dengan kaki merapat, mempertahankan
keseimbangan dengan menjulurkan tangan ke depan menyentuh tembok yang ada
di depan. Tangan dilepaskan satu-persatu dari tembok. Latihan dilanjutkan dengan
berdiri dengan kedua kaki terentang, mempersempit dasar pijakan, melihat pada
suatu target di dinding. Dengan memperkokoh pijakan kaki, pertama-tama
dilakukan dengan tangan terentang kemudian kedua tangan lurus di samping
tubuh dilanjutkan kedua tangan dilipat di dada. (Gambar 9a)14
5.1.3 Latihan langkah menyilang
Latihan dimulai dengan berdiri, punggung merapat pada tembok yang
berfungsi sebagai sandaran. Berdiri tegak dengan kedua kaki direntangkan, kaki
kanan digerakkan menyilang di depan kaki kiri kemudian kaki kiri digerakkan ke
kiri sehingga posisi kedua kaki kembali saling berjauhan demikian seterusnya.
Proses yang sama diulang dengan arah langkah ke kanan. Latihan tahap
berikutnya dilakukan dengan langkah yang lebih lebar, gerakan yang lebih cepat
dan memulai latihan dengan kedua kaki merapat dan dengan tidak bersandar pada
tembok. (Gambar 9b)
a b

Gambar 9.a. Latihan berdiri seimbang, b. Latihan langkah menyilang.15

5.1.4 Latihan berjalan dari kursi ke kursi (duduk dan berdiri)


Latihan dilakukan dengan berjalan dari kursi pertama ke kursi kedua yang
berjarak 3m. Pada kursi pertama pasien duduk tanpa bantuan tangan selama 5
detik, bangun tanpa bantuan tangan kemudian berjalan pada kursi kedua. Saat
mencapai kursi kedua pasien menyentuh kursi dan dengan berpegangan pada
kursi, pasien berlatih berdiri dengan satu kaki selama 5 detik. Latihan diulangi
sebanyak 10 kali. Jika sudah memperoleh kemajuan latihan ditambah dengan
17

gerakan kepala, meningkatkan kecepatan berjalan dan mengurangi lebar


langkah.14,15
5.1.5 Latihan berjalan dengan menggerakkan kepala
Latihan dimulai dengan berjalan pada kecepatan normal. Setelah tiga
langkah kepala menoleh ke kanan sambil terus berjalan, tiga langkah kemudian
kepala menoleh ke kiri dan seterusnya. Selanjutnya kecepatan langkah
ditingkatkan dan jarak langkah dipersempit. Latihan yang sama dilakukan dengan
gerakan kepala ke arah atas dan bawah. Latihan berbelok juga dilakukan, dimulai
dengan belokan landai selanjutnya dengan belokan tajam pada kedua arah.
(Gambar 10a).
a

Gambar 10. a. Latihan berjalan dengan menggerakkan kepala, b. Latihan melewati


rintangan.14

5.1.6 Latihan melewati rintangan


Latihan dilakukan dengan melangkahi benda, mengitari furnitur,
membungkuk, memungut benda, melempar dan menangkap obyek, memantulkan
benda pada tembok, dan berjalan di atas suatu permukaan dengan kelenturan yang
bervariasi. (Gambar 10b)
Lama pemberian terapi tergantung pada banyaknya faktor resiko yang
dimiliki pasien serta besarnya rasa takut pasien untuk mengalami jatuh. Secara
umum waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan terapi berkisar 6-8 minggu
dengan jadwal latihan 2-3 kali seminggu. Dalam penatalaksanaan presbiastasis
harus diperhatikan faktor-faktor terkait yang akan berpengaruh pada hasil terapi.
Termasuk di dalamnya adalah integritas serebelum, integritas fisik (kekuatan
sistem muskuloskeletal), ketrampilan motorik dan faktor-faktor mobilitas serta
fungsi sistem sensoris yang masih tersisa (vestibuler, visual, proprioseptif,
somatosensori dan pendengaran). Faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi
hasil terapi adalah kesehatan secara umum, proses kognitif, kemampuan
18

pengambilan keputusan, kepatuhan, motivasi, umur, memori dan adanya


gangguan psikologis atau kecemasan.15

5.2 Dukungan keluarga dan modifikasi lingkungan


Seringkali pasien usia lanjut mengalami kurang percaya diri dan tidak
patuh dengan program terapi berbasis rumah yang memerlukan self-motivasi
sehingga memerlukan kunjungan rumah yang lebih sering. Dukungan keluarga
sangat penting dalam meningkatkan motivasi dan keamanan pasien dalam
menjalankan TRV di rumah serta membantu pasien untuk mengingat dan
melakukan teknik latihan secara benar.15

RINGKASAN
Presbiastasis merupakan gangguan keseimbangan yang lebih sering
ditemukan pada usia lanjut disebabkan oleh adanya perubahan fisiologis pada tiga
sistem, yaitu : vestibuler, visual dan proprioseptif, hal ini dapat disebabkan oleh
proses degenerative. Pemeriksaan fungsi keseimbangan dan fungsi pendengaran
secara khusus dibidang telinga, hidung, tenggorok bedah kepala dan leher (THT-
KL) sangat diperlukan.
Terapi rehabilitasi vestibuler (TRV) terbukti efektif dalam mengurangi
keluhan dan gejala, memperbaiki kualitas hidup serta mengurangi resiko jatuh
pada pasien presbiastasis. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari TRV
diperlukan peran serta keluarga, penyesuaian kondisi lingkungan dan tempat
tinggal pasien serta latihan pemeliharaan jangka panjang.
19

DAFTAR PUSTAKA
1. McPherson DL, Whitaker SR, Wrobel BB. Disequilibrium of aging. In :
Goebel JA, ed. Practical management of the dizzy patent. 2nd ed.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p.297-340.
2. Suzman R, Beard J. Humanity’s aging. In: Suzman R, Beard J, eds. Global
health and aging. World Health Organization. New York: US Departement of
Health and Human Services; 2011. p. 4-5.
3. Statistik BP. Sensus penduduk indonesia. Badan Pusat Statistik 2010.
Available from:http://sp2010.bps.go.id/index.php Accessed Februari 01,
2020.
4. Rogers C. Presbiastasis: a multifactorial cause of balance problems in the
elderly. South African Family Practice 2010; 52(5):431-4.
5. Kasima ML, Goodwin WJ, Balkany T, Caesiano RR. Special consideration in
managing geriatric patients. In : Cummings CW, Flint PW, Haughley BH,
eds. Otolaryngology head and neck surgery. 4th ed. Vol 1. Philadelpia:
Mosby Inc; 2005.p.351-66.
6. Jung JY, Kim JS, Chung PS, Woo SH, Rhee CK. Effect of vestibuler
rehabilitation on dizziness in the elderly. American Journal of
Otolaryngology Head and Neck Medicine and Surgery 2009;30:295-9.
7. Hain TC. Anatomy and physiology of the normal vestibuler sistem. Clin
Otolaryngology 2011;1:2–18.
8. Five C, Organs R. The vestibuler sistem. American Journal of
Otolaryngology 2014;10:2-10.
9. Ross M. Internal ear. In: Ross M, eds. Histology a text and atlas. 6 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p.25-32.
10. Lalwani AK. The aging inner ear. In : Lalwani AK, ed. Current diagnosis &
treatment in otolaryngology-head and neck surgery. 2nd ed. New York: Mc
Graw Hill Co Inc; 2008.p.689-96.
11. Hamid M, Sismanis A. Pheripheral and auditory vestibuler disorder. In:
Hamid M, Sismanis A, eds. Medical otology and neurotology: a clinical guide
to auditory and vestibuler disorders. New York: Thieme ;2006.p.64-81.
12. Macias JD, Massingale S, Gerkin RD. Efficacy of vestibuler rehabilitation
therapy in reducing falls. Otolaryngology-Head and Neck Surgery
2005;133:323-5.
13. Han BI, Song HS, Kimc JS. Vestibuler rehabilitation therapy: review of
indications, mechanisms, and key exercises. J Clin Neurol 2011;7:184-96.
14. Gans RE. Vestibuler rehabilitation protocols and programs. Ear and Hearing
1997;18(3):260-3.
15. Girardi M, Konrad HR. Imbalance and falls in the elderly. In : Cummings
CW, Flint PW, Haughley BH, eds. Otolaryngology head and neck surgery.
4th ed. Vol 4. Philadelpia: Mosby Inc; 2005.p.3199-208.
20

Anda mungkin juga menyukai