Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat


modern saat ini. Saat ini stroke semakin menjadi masalah serius yang
dihadapi hampir diseluruh dunia. Hal tersebut dikarenakan serangan
stroke yang mendadak dapat mengakibatkan kematian,kecacatan fisik
dan mental baik pada usia produktif maupun usia lanjut (Junaidi,
2011).

Problematika pasca stroke secara umum diantaranya: gangguan


sensomotorik, gangguan kognitif/memori, gangguan psikiatrik atau
emosional. Otak memiliki sangat banyak fungsi sensomotorik yang
tidak terpakai. Pada insan pasca stroke perlu dilatih guna
memunculkan sirkuit – sirkuit baru (kognitif dan sensomotor) sehingga
sirkuit yang baru tersebut menggantikan fungsi sirkuit yang telah
rusak. Kemampuan otak seperti ini disebut kemampuan plastisitas otak
(Kuntono, 2009).

Gangguan sensomotorik pasca stroke mengakibatkan gangguan


keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas
jaringan lunak,serta gangguan kontrol motorik dan sensorik. Fungsi
yang hilang akibat gangguan kontrol motorik pada pasien pasca stroke
mengakibatkan hilangnya koordinasi,hilangnya kemampuan
merasakan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan untuk
mempertahankan posisi tertentu).

Gangguan keseimbangan berdiri pada insan pasca stroke


berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengatur perpindahan
berat badan dan kemampuan gerak otot yang menurun sehingga
keseimbangan tubuh menurun. Dengan adanya problematik tersebut
menyebabkan pasien pasca stroke mengalami gangguan dalam
melakukan aktifitas fungsional. Untuk melakukan aktifitas fungsional
dengan baik dibutuhkan suatu keseimbangan yang baik pula
(Irfan,2009).

Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan


keseimbangan tubuh ketika ditempatkan diberbagai posisi. Pada insan
pasca stroke adanya gangguan keseimbangan akan mengakibatkan
mereka sulit dalam melakukan aktivitas fisik.
Stabilisasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengkontrol posisi
dan pergerakan dari batang tubuh(trunk) diatas panggul dan
ekstremitas untuk memudahkan produksi yang optimum,transfer dan
kontrol kekuatan (force) dalam bergerak. Pada insan pasca stroke
kemampuan dalam mengontrol pergerakan dari batang tubuh (trunk)
dan ekstremitas mengalami gangguan. Dengan dilakukan latihan
stabilisasi diharapkan dapat meningkatkan kekuatan dari otot inti yang
bertanggung jawab untuk menjaga stabilisasi tulang belakang
(vertebrae), serta meningkatkan kekuatan dari ektremitas atas dan
ekstremitas bawah bagian tubuh yang lemah, sehingga dapat
meningkatkan kemampuan fungsional pada insan pasca stroke.

Hal tersebut sesuai dengan permasalahan yang dialami oleh insan


pasca stroke, dimana pada insan pasca stroke terjadi penurunan
kekuatan otot inti, penurunan kekuatan ekstremitas dan terjadi
penurunan dalam kontrol postural yang mengakibatkan adanya
gangguan keseimbangan.

Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika aliran darah ke otak


terganggu atau berkurang akibat penyumbatan. Hal ini dapat terjadi
karena iskemia (berkurangnya aliran darah) dikarenakan oleh
penyumbatan (thrombosis, arterial embolism), atau adanya hemoragik
(pendarahan). Stroke iskemik yang biasanya disebabkan oleh diabetes
menjadi mayoritas pada penderita stroke dan bias mencapai 85%,
sedangkan stroke pendarahan hanya 15%, tetapi stroke pendarahan
dapat menyebabkan kematian pada 40% pasiennya. Yang perlu
diperhatikan juga adalah stroke iskemik ringan yang gejalanya mirip
stroke, tetapi akan hilang dengan sendirinya dalam 24 jam TIA
(transient ischemic attacks). Hal ini terjadi karena penyumbatan
pembuluh darah hanya terjadi sementara. Tetapi jika hal ini terjadi,
maka kemungkinan terjadi stroke berikutnya yang lebih berat. Di
Indonesia, stroke terjadi pada 12 dari 1.000 orang dan satu dari 7
pasien yang mengalami stroke akan meninggal.

Menurut WHO tahun 2012, kematian akibat stroke sebesar 51% di


seluruh dunia disebabkan oleh tekanan darah tinggi. Selain itu,
diperkirakan sebesar 16% kematian stroke disebabkan tingginya kadar
gula darah dalam tubuh. Tingginya kadar gula darah dalam tubuh
secara patologis berperan dalam peningkatan konsentrasi glikoprotein,
yang merupakan pencetus beberapa penyakit vaskuler. Kadar glukosa
darah yang tinggi pada saat stroke akan memperbesar kemungkinan
meluasnya area infark karena terbentuknya asam laktat akibat
metabolism glukosa secara anaerobik yang merusak jaringan otak
(Ricodkk, 2008).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit


stroke di Indonesia meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus
stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah usia 75
tahun keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun
yaitu sebesar 0,2%. Prevalensi stroke berdasarkan jenis kelamin lebih
banyak laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%).
Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi stroke di perkotaan lebih
tinggi(8,2%) dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%).

Berdasarkan data 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia tahun


2013,prevalensi kasus stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan sebesar 7,0 per mill dan 12,1 per mill untuk yang
terdiagnosis memiliki gejala stroke .Prevalensi kasus stroke tertingg
terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (10,8%) dan terendah di Provinsi
Papua (2,3%), sedangkan Provinsi Jawa Tengah sebesar 7,7%.
Prevalensi stroke antara laki-laki dengan perempuan hampir sama
(Kemenkes,2013).

Menurut Dinkes Provinsi Jawa Tengah (2012), stroke dibedakan


menjadi stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Prevalensi stroke
hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari
tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten
Kudus sebesar 1,84%. Prevalensi stroke non hemoragik pada tahun
2012 sebesar 0,07% lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%). Pada
tahun 2012, kasus stroke di Kota Surakarta cukup tinggi. Kasus stroke
hemoragik sebanyak 1.044 kasus dan 135 kasus untuk stroke non
hemoragik.

Dalam penanganan penyakit non infeksi yang berkembang saat ini


seperti stroke yang merupakan penyakit atau gangguan sistem
peredaran darah yang menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat
dan lebih lanjut menyebabkan kelumpuhan pada sebagian anggota
badan dan wajah sehingga menurunkan kapasitas fisik dan
kemampuan fungsional pasien. Di dalam dunia medis dikenal pula
istilah fisioterapi yang dimana bekerja yang menitikberatkan untuk
menstabilkan atau memperbaiki gangguan fungsi alat gerak/fungsi
tubuh yang terganggu yang kemudian diikuti dengan proses/metode
terapi gerak. Intervensi fisioterapi dan kerjasama dengan tenaga medis
dan paramedis lainnya pada kasus-kasus seperti ini sangat dibutuhkan,
baik selama pasien dirawat di rumah sakit maupun setelah kembali di
keluarganya.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis akan membahas tentang


penanganan fisioterapi pada pasien stroke dengan berbagai bentuk
latihan mandiri fisioterapi yang ada. Hal ini meliputi penanganan pada
lower extremity untuk mengkordinasikan gerak serta kemampuan
berjalan yang baik dan benar juga untuk melatih keseimbangan pasien
pasca stroke serta untuk mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien.

Ada beberapa bentuk latihan mandiri fisioterapi untuk insan pasca


stroke terutama pada bagian lower extremity ( tubuh bagian bawah )
yang bertujuan utama untuk melatih kordinasi gerak dengan
kemampuan berjalan yang baik dan stabil dalam keseimbangan,
contoh seperti latihan gait training exercise dan Visual cue training
(VCT) sehingga insan pasca stroke mampu mengkordinasikan gerak
dengan baik dan seimbang untuk kemampuan berjalan.

Visual cue training (VCT) adalah jenis latihan yang


mengutamakan kordinasi gerak melalui informasi visual dari terapis ke
pasien. Informasi visual terdiri dari salah satu sumber informasi yang
paling menonjol yang digunakan untuk mengontrol berjalan dan
ketergantungan pada insan pasca stroke.

Oleh karena itu,upaya rehabilitasi yang menggabungkan isyarat


visual mungkin efektif dalam memicu pemulihan pada insan pasca
stroke. Percobaan kelayakan ini bertujuan untuk memperkirakan
kemungkinan tingkat rekrutmen, ukuran efek, kepatuhan pengobatan
dan tanggapan terhadap pelatihan gaya berjalan dengan isyarat visual
yang berbeda dengan berjalan di atas tanah konvensional berlatih
mengikuti stroke.

Sebuah uji coba paralel3-lengan, kelompok paralel, multi-


pusat,buta tunggal,uji coba terkontrol acak akan membandingkan
pelatihan visual cue overground (O-VCT), pelatihan isyarat visual
treadmill (T-VCT), dan perawatan biasa(UC). Pasien ditugaskan
kesalah satu dari tiga perawatan oleh pusat pengacakan pusat
menggunakan computer tabel yang dihasilkan untuk mengalokasikan
kelompok perlakuan. Latihan disampaikan oleh fisioterapis, akan
dilakukan dua kali seminggu selama 8 minggu.

Individu dengan gangguan gait karena stroke, ekstremitas bawah


dan dapat mengambil bagian dalam latihan berjalan berulang yang
melibatkan isyarat visual(yaitu, tidak berat gangguan penglihatan,
dapat berjalan dengan bantuan minimal dan tidak ada kontraindikasi
medis komorbid untuk berjalan praktek).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang timbul pada insan pasca stroke, penulis


ingin mengetahui penambahan latihan Visual cue training (VCT) pada
Gait training exercise terhadap kemampuan fungsional berjalan pada
insan pasca stroke. Maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai
berikut:

1. Apakah latihan Gait Training Exercise dapat meningkatkan


kemampuan fungsional berjalan pada insan hemiparase
pascastroke non hemoragik?

2. Apakah latihan Visual Cue Training (VCT) dapat meningkatkan


kemampuan fungsional berjalan pada insan hemiparase pasca
stroke non hemoragik?

3. Apakah penambahan Visual Cue Training (VCT) pada Gait


Training Exercise lebih baik daripada gait training exercise saja
dalam meningkatkan kemampuan fungsional berjalan pada insan
hemiparase pascastroke non hemoragik?

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas dapat


disimpulkan bahwa stroke dapat menyebabkan gangguan gerak
terutama pada bagian lower extremitas yang mempengaruhi
kemampuan koordinasi dan keseimbangan berjalan. Serta dapat
memicu terjadinya penurunan kekuatan otot dan tonus abnormal
sehingga akan menghambat gerakan pada anggota gerak. Menurunnya
kekuatan otot dan tonus abnormal akan mempengaruhi kontrol postur
dan terjadi gangguan keseimbangan berjalan yang akan menyulitkan
insan hemiparase pasca stroke non hemoragik untuk beraktifitas
kembali.

Keseimbangan dibutuhkan koordinasi antar sistem sensorik,


muskuloskeletal dan kontekstual. Ketika terjadi serangan stroke akan
terjadi gangguan pada salah satu sistem tersebut, sehingga koordinasi
antar sistem terganggu yang mengakibatkan gangguan keseimbangan.
Latihan visual cue training (VCT) dan gait training exercise memiliki
peran penting dalam sistem fungsional terutama meningkatkan
kemampuan keseimbangan berjalan pada insan hemiparase paska
stroke non hemoragik. Melatih koordinasi gerak dengan melalui
latihan sensor secara visual terhadap insan hemiparase pasca stroke
non hemoragik untuk meningkatkan kemampuan berjalan dengan baik
serta fokus terhadap gerak dan latihan gait training exercise ini untuk
membantu memperbaiki masalah koordinasi berjalan, tujuan dari
latihan ini untuk meningkatkan kekuatan otot dan koordinasi di
tungkai bawah, melatih kembali respons otot bawah, meningkatkan
fleksibilitas, kebugaran kardiovaskular dan keseimbangan pada insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik.

Dynamic Gait Index (DGI) dikembangkan oleh Shumway-Cook


dan Woollacott untuk mengevaluasi kemampuan fungsional berjalan
serta mengevaluasi risiko jatuh pada orang tua.

Penderita stroke cenderung memiliki masalah dengan organisasi


sensorik dan neuromotor dan dengan mengendalikan momentum
selama bergerak. Sebuah skala seperti Dynamic Gait Index (DGI)
mungkin berguna dalam menangkap masalah yang tidak dapat
dideteksi dengan langkah-langkah keseimbangan yang lebih statis.
Selanjutnya, penggunaan Dynamic Gait Index (DGI) bagi penderita
stroke mungkin memungkinkan evaluasi sederhana risiko jatuh pada
populasi itu.

D. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan ini yang berjudul penambahan latihan visual cue


training (VCT) pada gait training exercise terhadap kemampuan
fungsional berjalan pada insan hemiparase pascastroke non
hemoragik,ada beberapa tujuan yang hendak penulis capai antara lain:

1. Tujuan Umum:

Untuk mengetahui penambahan latihan visual cue training (VCT)


pada gait training exercise terhadap kemampuan fungsional
berjalan pada insan hemiparase paska stroke non hemoragik?

2. Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui manfaat terapi gait training exercise


terhadap kemampuan fungsional berjalan pada insan
hemiparase paska stroke non hemoragik.

b. Untuk mengetahui latihan visual cue training (VCT) dan gait


training exercise terhadap kemampuan fungsional berjalan
pada insan hemiparase pasca stroke non hemoragik.
E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Akademik:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman


mengenai hubungan fisioterapi dengan peningkatan kemampuan
fungsi motorik pada pasien stroke.

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan


informasi baru mengenai hubungan fisioterapi yang dapat
memengaruhi peningkatan kemampuan fungsi motorik pada
pasien stroke, serta memberikan kontribusi dalam perkembangan
ilmu pengetahuan dibidang kedokteran,berkaitan dengan penyakit
stroke.

2. Manfaat Bagi Peneliti:

1) Sebagai salah satu syarat kelulusan dalam menyelesaikan


program sarjana fisioterapi.

2) Menambah wawasan tentang hubungan fisioterapi dengan


peningkatan kemampuan fungsional gerak terutama
kemampuan berjalan pada pasien stroke non hemoragik.
Khususnya tentang manfaat visual cue training (VCT) dan
gait training exercise dalam memulihkan keseimbangan gerak
dinamis pada bagian lower extremitas.

3. Manfaat bagi masyarakat

Dapat memberikan informasi baru kepada masyarakat


bahwa fisioterapi yang dilakukan pada jangka waktu tertentu
bermanfaat untuk mengatasi risiko kecacatan terhadap pasien
stroke.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Kemampuan Fungsional Berjalan pada Insan Hemiparase Pasca


Stroke Non Hemoragik

Stroke didefinisikan sebagai suatu gejala klinis atau tanda-


tanda fokal yang berkembang pesat dan secara umum (diterapkan
pada pasien koma yang mendalam dan bagi mereka yang
mengalami perdarahan subarachnoid), hilangnya fungsi otak
dengan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau yang dapat
menyebabkan kematian tanpa penyebab yang jelas selain dari
gangguan vaskularisasi (Pendlebury, 2009).

Stroke dapat mengakibatkan beberapa gangguan tergantung


dari letak atau area stroke yang terjadi di otak. Stroke yang terjadi
pada otak bagian kanan umumnya akan mengakibatkan masalah
atau gangguan dalam mengukur jarak yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengarahkan tangan untuk mengambil
suatu benda, gangguan dalam pengambilan keputusan dan prilaku
yang menyebabkan ketidakmampuan dalam mencoba melakukan
sesuatu seperti menyetir kendaraan, dan gangguan dalam memori
jangka pendek yang meyebabkan pasien bisa mengingat ingatan
yang sudah lebih dari tiga puluh tahun tapi lupa dan tidak bisa
mengingat apa yang dilakukan tadi pagi (JusufMisbach, 2011).

Pada stroke terdapat gangguan aliran darah pada otak.


Bagian otak yang aliran darahnya terganggu akan kekurangan
oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk bekerja, sehingga
terjadi kerusakan sel-sel di area tersebut. Stroke yang telah
merusak jaringan motorik pada otak dapat menyebabkan
hemiparesis, hilangnya fungsi motorik ini berlangsung spontan
beberapa hari dan beberapa bulan (Wittenbergetal, 2009).

Fungsional berjalan yaitu berjalan dengan kemampuan


memenuhi tuntutan tugas yang kompleks termasuk aspek
lingkungan baik didalam ataupun diluar ruangan. Fungsional
berjalan dapat pula didefinisikan berjalan dibawah kondisi dan
lingkungan yang kompleks (Lord dan Rochester,2007).
9

2. Anatomi Otak

Sistem Saraf Pusat (SSP) merupakan pusat pengontrol tubuh


yang berfungsi untuk menerima dan menginterprestasikan atau
mengintegrasikan semua stimulus dan impuls syaraf ke otot dan
kelenjar, serta menciptakan aksi atau gerakan selanjutnya.

Menurut Despopoulus dan Silbernagl(2003), menjelaskan


bahwa otak (brain) dan sumsum tulang belakang (spinal cord)
membentuk suatu sistem saraf pusat (central nervous
system/CNS). Sumsum tulang belakang dibagi menjadi segmen-
segmen yang sama, tetapi 30% lebih pendek dari kolom tulang
belakang (spinal column). Bagian utama dari otak (brain) terdiri
dari medulla oblongata, pons, mesencephalon, cerebellum,
diencephalon dan telencephalon. Otak kecil (cerebellum)
merupakan pusat kendali yang penting untuk fungsi motorik dan
telencephalon yang merupakan bagian dari korteks yang juga
penting untuk fungsi motorik.

a. Otak (Encephalon)

Otak merupakan bagian depan dan paling utama dari


seluruh system syaraf, yang berperan penting dalam
mengendalikan berbagai ragam fungsi kehidupan.Otak
mengalami perubahan dan pembesaran, pada saat lahir
mempunyai berat 350 gr, 3 bulan 500 gr, 18 bulan 1000 gr, 6
tahun 1300 gr,berat otak manusia ± 1400 gr dan tersusun dari
± 100 triliun neuron. Otak terdiri dari 100– 200 milyar sel
aktif yang saling berkoneksi (Elaine M.Hull, 2007).

Bagian ini dilindungi oleh 3 selaput pelindung


meningen, yang terdiri dari duramater,arakhnoid,dan
piamater cerebrospinal fluid dan berada didalam tulang
tengkorak. Otak menjadi inti dari sistem syaraf dengan
beberapa komponen bagian yaitu: cerebrum (otak besar)
cerebellum (otak kecil) dan brainstem (batang otak) yang
dibagi menjadi Diencephalon, Mesencephalon, Pons dan
Medula Oblongata.
10

Gambar2.1Anatomy&FunctionsofBrain

Sumber:GwenShockey,2015

1) Otak besar Cerebrum)

Lobus Limbic merupakan cincin korteks yang


berlokasi dipermukaan medial masing-masing hemisfer
dan mengelilingi pusat kutub cerebrum. Fungsinya adalah
mengatur emosi. Limbic bukanlah suatu struktur tersendiri
tetapi mengarah pada sebuah cincin, struktur-struktur otak
depan yang mengelilingi batang otak dan dihubungkan
satu sama lain oleh jalur-jalur syaraf yang rumit. System
ini mencakup bagian dari masing-masing jaringan yaitu:
lobus cortex cerebrum, nucleusbasal, thalamus dan
hypothalamus. Jaringan interaktif yang kompleks ini
berkaitan dengan emosi, pola-pola perilaku sosio seksual
dan kelangsungan hidup dasar, motivasidan belajar.

Terdapat beberapa bukti menunjukkan bahwa


sususnan Limbic berkaitan dengan perilaku emosional,
terutama reaksi takut dan marah serta emosi-emosi yang
berhubungan dengan perilaku seksual. Terdapat juga
bahwa hippocampus berkaitan juga dengan memori yang
baru saja terjadi, sedangkan memori yang sudah lama
biasanya tidak terpengaruh oleh lesi-lesi pada struktur ini.
Berbagai hubungan afferen dan efferen susunan Limbic
merupakan lintasan-lintasan untuk integrasi dan respon
homeostatic yang efektif terhadap jenis stimulus
lingkungan yang luas. Perubahan emosional berhubungan
dengan respon fiseral dan karena itu melibatkan aktivitas
lokomotor, otonom dan endokrin.
11

Gambar2.2LobusLimbic

Sumber:Morgane,2006

2) Otak kecil (cerebellum)

Cerebelum terletak di fosa serebri posterior di bawah


tentotium serebelumya itu dorameter yang memisahkanya
dari lobus oksipital serebrum.

Otak kecil berisi setengah dari semua neuron yang


terletak di otak, namun hanya 10% dari berat otak.
Struktur ini sangat terorganisir. Peran otak kecil dalam
kontrol motor

mengagumkan,mulai dari peran pembanding untuk


keterlibatan dalam belajar motor, bagian penting dari
susunan saraf pusat secara tidak sadar mengendalikan
kontraksi otot-otot volunters acara optimal. Bagian-bagian
dari cerebellum yaitu:lobus anterior,lobus medialis dan
lobus fluccolonodularis. Lobus anterior merupakan
paleocerebellum yang menerima masukan rangsang dari
ujung-ujung proprioseptif dalam otot dan tendon serta
dari reseptor raba dan tekanan. Lobus medialis merupakan
neocerebellum yang tidak berhubungan dengan gerak
voluntary. Sadangkan lobus fluccolonodularis merupakan
bagian tertua dari cerebellum serta merupakan
archicerebellum yang berhubungan dengan susunan
12

vestibular (nervusvestibularis dan nucleusvestibularus).


Bagian ini merupakan respon terhadap stimulus dari
telingan bagian dalam dan membantu mempertahankan
keseimbangan dengan membawa modifikasi dalam tonus
otot (Montgomery, 2003 ).

Gambar2.3OtakKecil(Cerebellum)

Sumber:ElvinaNadiraSaskia,2018

3) Diensefalon

Diensefalon adalah bagian dalam dari serebrum yang


menghubungkan otak tengah/mesesefalon dengan
hemisfer serebrum dan tersusun oleh struktur yaitu:

a) Thalamus

Merupakan suatu kompleks inti yang besarnya


4/5 bagian dari diensefalon. Fungsi thalamus sebagai
stasiun rilei semua impuls yang masuk sebelum
mencapai korteks serebri (kecuali impuls olfaktorius)
seperti melakukan koordinasi,integrasi,pewarnaan
afek terhadap impuls-impuls (Hoehn,2012 )

b) Epitalamus

Berhubungan dengan fungsi sistem Limbic dan


refleks-refleks sistem optic.
13

c) Hipotalamus

Hipotalamus merupakan pengatur fungsi-fungsi


tubuh memelihara homeostasis termasuk regulasi
cairan tubuh, metabolism, kadar gula darah dan
temperature tubuh dan siklus reproduksi.(Saalmann,
2011)

d) Subtalamus

Subtalamus merupakan nucleusmotorik


ekstrapiramidal untuk gerakan involuntary yang
kuat. Pada area jaringan otak yang terletak diantara
tegmentum (mesensefalon) dan thalamus dorsalis
(Haynes, 2013).

4) Batang Otak(Brain Steam)

Batang otak berhubungan dengan diensefalon


diatasnya dan homeostasis di bawahnya. Struktur-struktur
fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden
dan desenden traktus longitudinalis antara homeostasis
dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf
(farmatioretikularis) dan 12 pasang saraf cranial. Batang
otak terdiri dari 3 segmen yaitu:

a) Mesensefalon (otak tengah)

Otak tengan merupakan bagian atas batang otak.


Otak tengah dapat dibagi dalam dua tingkat,yaitu
atap yang mengandung banyak pusat-pusat reflek
yang penting untuk penglihatan dan pendengaran,
serta jalur motorik besar yang turun dari kapsula
interna melalui bagian dasar otak tengah, turun terus
melalui pons dan medulla oblongata menuju medula
spinalis. Otak tengah mengandung pusat-pusat yang
mengendalikan keseimbangan dan gerakan-gerakan
bola mata (Blumenfeld,2010)

b) Pons

Merupakan jembatan penghubung antara


mesensefalon dengan medulla oblongata, fungsinya
membantu dalam regulasi pernafasan dan rasaraba,
rasa nyeri, dan rasa suhu.
14

c) Medulla oblongata

Medulla oblongata terletak dalam fosa kranialis


posterior dan bersatu dengan homeostasis tepat di
bawah foramen magnum tulang oksipital. Medulla
oblongata mengandung nucleus berbagai saraf otak
yang penting serta mengandung pusat vital yang
mengendalikan pernafasan dan sistem kardiovaskular
(Blumenfeld,2010).

Gambar2.4 Anatomi Sistem Syaraf Perifer

Sumber: DesturP.Jati, 2014

b. Neuroplastisitas

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan


otak untuk melakukan reorganisai dalam bentuk adanya
interkoneksi baru pada saraf. Plastis merupakan sifat yang
menunjukan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi
terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk
perubahan kimia saraf, penerima saraf, perubahan struktur
neutron saraf dan organisasi otak. Plastistas juga terjadi pada
perkembangan dan kematangan sistem saraf (Irfan, 2010 ).

Otak menyusun kembali dengan menempatkan


mekanisme seperti "axonalsprouting" axon yang tidak rusak
membentuk ujung saraf baru untuk menghubungkan kembali
neuron, dimana koneksi antar syaraf terluka atau terpotong.
Akson yang tidak rusak dapat juga menumbuhkan ujung saraf
dan menghubungkan dengan sel saraf lainnya yang tidak
rusak, dan membentuk jalur syaraf baru untuk melengkapi
15

fungsi yang dibutuhkan (Schaechter, 2004).

Neuroplastisitas ini sendiri adalah merupakan


perubahan dalam prilaku,indera dan pengalaman kognitif.
Dalam penelitian neuroscience,terdapat dua kategori penting
dalam pendekatan untuk memperbaiki fungsi otak setelah
mengalami cidera, yaitu:

a. Usaha untuk membatasi tingkat keparahan cidera awal


untuk meminimalkan hilangnya fungsi

b. Usaha untuk pengorganisasian kembali otak untuk


mengembalikan fungsi yang telah hilang

Pendekatan yang pertama merupakan hal yang sangat


penting, karena perawatan pada saat awal cidera akan
berpengaruh terhadap tingkat keparahan kecacatan jangka
panjang.Ini merupakan suatu hal yang harus dipahami
bagaimana struktur otak dan fungsi dapat berubah dari hari
kehari, bulan dan tahun setelah adanya kerusakan otak
(Kisner&Colby, 2002).

Perubahan plastisitas berdasarkan atau berlandaskan


dari pembelajaran,memori dan pemulihan dari saraf yang
rusak dibawah dari tingkat kerusakan. Pembelajaran
mengorganisasi ulang otak yang cidera walaupun tanpa
adanya rehabilitasi. Konsekuensi behavior kerusakan otak
yang kehilangan fungsi adalah perkembangan pengganti
strategi behaviour setiap individu dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Otak yang cidera merubah cara otak dalam
merespon pembelajaran. Pembelajaran ini meliputi perubahan
dalam gen, sinaps dan jaringan saraf sesuai dengan daerah
otaknya(Schretzman, 2001).

Sifat plastisitas otak ini memiliki keuntungan dan


kerugian dalam hal pemulihan kemampuan gerak dan fungsi
pada hemiparase pasca stroke non hemoragik. Keuntungan
dengan adanya sifat plastisitas yaitu memungkinkan untuk
terus dikembangkan, sehingga dengan metode yang tepat akan
menghasilkan pembentukan plastisitas yang tepat berupa pola
gerak normal. Akan tetapi, dapat merugikan jika metode yang
diterapkan tidak tepat karena dengan sifat plastisitasnya akan
terbentuk pola gerak yang tidak normal sesuai dengan latihan
yang diberikan (Irfan,2010).
16

c. Pola Berjalan Insan Hemiparase Pasca Stroke Non Hemoragik

Gangguan pola berjalan pasca stroke disebabkan karena


kerusakan otak akibat pecahnya pembuluh darah otak. Jika
kerusakannya mengenai bagian otak yang mengatur fungsi
motorik atau sensasi di salah satu atau kedua tungkai maka
akan mempengaruhi kemampuan berjalan pasien. Penyebab
lainnya adalah atrofi.Otot kehilangan kekuatan dan tonus jika
tidak digunakan dalam jangka waktu yang lama. Penyebab
ketiga gangguan pola jalan pasien stroke adalah
keseimbangan. Kehilangan sensasi pada tungkai serta
rusaknya bagian otak yang mengatur keseimbangan dapat
menganggu keseimbangan berjalan pasien (Wayne, 2011).

Insan hemiparase pasca stroke non hemoragik


menunjukkan defisit bervariasi pada persepsi, kekuatan otot,
kontrol otot, mobilitas pasif, sensasi, tonus dan
keseimbangan. Kelainan tersebut memiliki efek signifikan
pada kemampuan berjalan. Kombinasi kelainan tersebut
tergantung pada luas dan lokasi kerusakan otak. Faktor lain
yang mungkin dapat mempengaruhi level keterbatasan dalam
aktivitas berjalan adalah kemampuan belajar, keahlian coping,
motivasi, kondisi komorbid, level ketahanan fisik, dukungan
keluarga, jumlah dan tipe latihan rehabilitasi (Yavuzer,2006).

Pada insan hemiparase pasca stroke non hemoragik


yang terkena lesi pada batang otak atau hemisferotak akan
menyebabkan terjadinya tipe berjalan hemiparetik (gait
hemiparetik) (Salzman, 2010). Pola jalan hemiparetik ditandai
oleh langkah pelan dan asimetris dengan kontrol motorik
selektif yang buruk, reaksi keseimbangan yang terhambatdan
terganggu, serta penurunan weight bearing pada tungkai
paretik. Kemajuan yang lancar dan simetris dari tubuh dengan
kelainan variasi pola gait yang luas tergantung dari derajat
kesembuhannya. Koordinasi intra- dan antar- tungkai yang
baik digantikan oleh pola gerakan tungkai (sinergi) pada sisi
paretik memerlukan kompensasi dari pelvis dan sisi yang
sehat. Gerakan kompensasi perlu untuk ambulasi,
menghasilkan penempatan abnormal pusat gravitasi sehingga
pengeluaran energi meningkat. Pola jalan hemiparetik sering
ditandai dengan stiff-leggedgait (penurunan jangkauan
gerakan lutut) dan dropfoot (kurangnya dorsofleksi ankle
selama fase swing), sehingga pinggul terangkat selama fase
17

swing (Yavuzer,2006). Gait hemiparetik dicirikan juga


dengan menurunnya kecepatan berjalan dan mengalami
gangguan dengan pola langkah yang asimetris (Wright et al.,
2013). Asimetri terjadi pada parameter berjalan
spatiotemporal, kinematik dan kinetik yang berhubungan
dengan gangguan koordinasi motorik (Balasubramanianetal.,
2007).

d. Siklus Berjalan

Siklus berjalan (gait cycle) merupakan digambarkan


sebagai bidang teknik biomekanik berurusan dengan subjek
human locomotion. Berjalan adalah salah satu yang paling
umum dan bentuk manusia yang paling penting gerakan. Gait
analysis memerlukan analisis dan penilaian dari fitur
biomekanik yang terkait dengan tugas berjalan (Abbass and
Abdulrahman, 2014).

Menurut terminologi Rancho Los Amigos yang dikutip


dari Irfan (2010) dalam berjalan dikenal ada 2 fase, yaitu:

1. Stance phase

Stance phase adalah fase menumpu, atau fase di mana


bagian tubuh (kaki) bersentuhan dengan lantai. Stance
phase memberikan stabilitas untuk gait cycle dan penting
untuk swing phase yang benar. Pada fase ini terdapat
beberapa tahapan. Tahapan-tahapan yang terjadi pada
stance phase antara lain:

a. Initial contact(interval:0-2%)

Fase ini merupakan momen ketika tumit


menyentuh lantai. Initial contact merupakan awal
dari fase stance dengan posisi heel rocker. Posisi
sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini,
menentukan pola loading response. Menyentuhnya
tumit dengan lantai membuat bayangan yang
mengindikasikan tungkai yang akan bergerak.
Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari
terminal stance. Fase ini merupakan momen seluruh
centreofgravity (COG) berada pada tingkat terendah
dan seseorang pada tingkat yang paling stabil. Pada
periode ini anggota bawah yang lain juga menyentuh
lantai sehingga terjadi posisi double stance. Pada
18

fase ini sendi panggul membentuk sudut aproksimasi


30° fleksi dengan aktivasi otot gluteus maximus,
hamstrings, adductor magnus. Pada sendi lutut
membentuk ekstensi penuh atau relative 2-5ᵒ fleksi
dengan aktivasi otot quadriceps untuk mengontrol
sendi lutut. Pada sendi pergelangan kaki membentuk
sudut netral 90° dengan mengaktivasi otot-otot
pretibia l (m. tibia l anterior, m. ekstensor hallucis
longus dan m.ekstensor digitorum longus) untuk
mengontrol plantar fleksi.

b. Loading response (Interval:0-10%)

Fase ini merupakan periode initial doublestance.


Awal fase dilakukan dengan permulaan menyentuh
lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang lain
mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah
kedepan pada tungkai. Dengan tumit seperti rocker,
knee fleksi sebagai shock absorption. Saat heel
rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan
menyentuh dengan lantai. Sedangkan tungkai yang
berlawanan pada posisi fasepre-swing.

c. Midstance (Interval;10-30%)

Merupakan sebagian awal dari gerakan satu


tungkai dalam mendukung interval. Untuk awalan
gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan
sampai berat tubuh berpindah pada kaki yang lain
dengan lurus.Saat ankle dorsal fleksi (anklerocker)
bayangantungkaimulaibergerak ke depan sementara
knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang
berlawanan mulai bergerak menuju fasemid-swing.

d. Terminalstance (Interval:30-50%)

Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan.


Fase ini dimulai dengan mengangkat tumit dan
dilanjutkan sampai kaki menginjak lantai.
Keseluruhan dari fase ini brat badan berpindah dari
forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat
dan akan diikuti sedikit fleksi. Di mana posisi
tungkai yang lain berada pada fase terminal swing.
Pada awal fase ini COG berada di depan kaki yang
19

menapak jadi tekanan gravitasi akan meningkatkan


lingkup dari ekstensihip dan dorsal fleksiankle.

e. Preswing (Interval:50-60%)

Pada akhir fase dari stance adalah interval


gerakan ke dua doublestance pada siklus berjalan.
Dimulai dari Initial contact pada anggota gerak
bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada
anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya
ankle keposisi plantar fleksi diikuti fleksi knee maka
hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Di saat yang sama
anggota gerak bawah yang lain pada fase loading
response. Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai
kontralateral merupakan awal dari terminal double
support.

2. Swing Phase

Swing Phase adalah periode waktu di mana


tubuh (kaki) tidak bersentuhan dengan lantai, selama
swing phase bagian tubuh yang berayun bergerak didepan
bagian tubuh yang menapak sehingga gerakan ke depan
dapat terjadi. Pada swing phase, tahapan-tahapan terdiri
dari:

a. Initial swing (Interval:60-73%)

Pada fase pertama adalah perkiraan satu sampai tiga


dari periode mengayun. Diawali dengan mengangkat
kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi
kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada saat posisi
initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi
fleksi dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Disaat
yang sama sisi kontralateral bersiap pada mid stance.

b. Midswing (Interval:73-87%)

Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat


mengayun anggota gerak bawah yang berlawanan dari
tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika
tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal atau lurus.
Saat mid swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi
untuk merespon gravitasi dan diikuti dengan ankle dorsi
fleksi menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain
20

berada pada akhir dari fase midstance.

c. Terminal swing (Interval:87-100%)

Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan


diakhiri saatkaki memijakkan lantai. Kedudukan tungkai
yang baik adalah dengan posisi ekstensi knee dan hip
mempertahankan fleksi sedangkan ankle bergerak dari
dorsifleksi ke netral. Anggota gerak bawah yang lain
berada pada fase terminal stance.

Gambar 2.5 Skema faseberjalan

Sumber: Kharb Ashutosh,etal.


2011

3. Stroke

a. Definisi

Stroke merupakan serangan yang terjadi secara tiba-tiba


dengan perkembangan gejala dan tanda-tanda neurologis
secara cepat, yang memuncak dalam hitungan menit atau jam
sekitar 24-48 jam. Perubahan mendadak terjadi akibat
konsentrasi aliran darah yang terjadi di arteri serebral.
Perubahan tersebut terjadi pada salah satu dari dua cara yaitu
penurunan aliran darah serebral yang menyebabkan iskemik
dan akhirnya infark dan perdarahan ke dalam parenkim otak
21

atau kedalam ruang subarachmoid yang menyebabkan


hematoma intraserebral yang besar atau subarachnoid
haemoragik. Dengan demikian baik iskemik atau haemoragik
merupakan gangguan subtrat patologis yang mengakibatkan
infark atau haemoragik (Lanny, 2013).

Stroke didefinisikan sebagai suatu gejala klinis atau


tanda-tanda fokal yang berkembang pesat, dan secara umum
(diterapkan pada pasien koma yang mendalam dan bagi
mereka yang mengalami perdarahan subarachnoid),
hilangnya fungsi otak, dengan gejala yang berlangsung lebih
dari 24 jam atau yang dapat menyebabkan kematian,tanpa
penyebab yang jelas selain dari gangguan vaskularisasi
(Pendlebury, 2009).

Stroke, merupakan kelainan dari otak sebagai susunan


saraf pusat yang mengontrol dan mencetuskan gerak dari
sistem neuro-muskuloskeletal. Secara klinis gejala yang
sering muncul adalah hemiparese. Keadaan hemiparesis
merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab
hilangnya mekanisme refleks postural normal, seperti
mengontrol siku untuk bergerak, me-ngontrol gerak kepala
untuk keseimbangan, rotasi tubuh untuk gerak-gerak
fungsional pada ekstremitas. Gerak fungsional merupakan
gerak yang harus distimulasi secara berulang-ulang supaya
terjadi gerakan yang ter-koordinasi secara disadari (Irdawati,
2008).

Stroke adalah suatu kejadian rusaknya sebagian dari


otak. Terjadi jika pembuluh darah arteri yang mengalirkan
darah ke otak tersumbat, atau jika robek atau bocor. Gejala
stroke yang Paling umum adalah hemiparesis. Pada penderita
stroke, fisioterapis dan okupasi terapi fokus untuk mengurangi
gangguan motorik awal. Pengulangan ratusan gerakan yang
diperlukan untuk belajar dan plastisitas otak (Teasell, 2010).

b. Etiologi Stroke

Etiologi merupakan penyebab terjadinya suatu


penyakit. Banyak faktor yang dapat membuat sesorang yang
menjadi rentan terhadap serangan stroke.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya


stroke adalah: usia, tekanan darah tinggi, stroke sebelumnya,
22

diabetes, kolesterol tinggi, merokok, atrial fibrillation,


migraine dengan aura dan thrombophilia (cenderung
thrombosis). Dari semua faktor-faktor tersebut yang paling
mudah dikendalikan adalah tekanan darah tinggi dan
merokok. 80 persen stroke dapat dihindari dengan
pengelolaan faktor-faktor risiko. Menurut (YayanIsrar, 2008)
Secara garis besar faktor resiko stroke adalah :

1) Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol

a) Umur

Umur merupakan faktor resiko terbesar. Tujuh


puluh dua persen pasien stroke berumur lebih dari 65
tahun (Agency for Health CarePolicy and Research).
Resiko terkena stroke meningkat sejak usia 45tahun.
Setelah mencapai usia 50 tahun, setiap penambahan
usia tiga tahun meningkat resiko stroke sebesar 11-
20% dengan peningkatan bertambah seiring usia.
Penelitian organisasi kesehatan dunia (World Helath
Organization) menyimpulkan kasus stroke mencapai
48-240 per 100.000 pertahun pada populasi 45-54
tahun.

b) Jenis Kelamin

Menurut American Stroke Association (2013)


Stroke adalah penyebab kematian no.4 dengan rata-
rata setiap 4 menit seseorang meninggal disebabkan
oleh stroke. Sekitar 40 persen kematian stroke terjadi
pada laki-laki dan 60 persen pada wanita.

c) Riwayat Keluarga yang Pernah Mengalami Stroke

Riwayat keluarga stroke dapat meningkatnkan


resiko stroke pada pasien tertentu stroke sering
disebabkan karena adanya hipertensi, penyakit
jantung, diabetes dan kelainan pembuluh darah yang
merupakan faktor genetik ada riwayat keluarga.

2) Faktor Resiko yang dapat dikontrol

a) Hipertensi

Tekanan darah tinggi disebut juga dengan


hipertensi. Berdasarkan batasan WHO, tekanan darah
23

arterial sistolik adalah 140-160 mmHg dan tekanan


diastolic 90-95. Menurut J.H SemandanI.W.G
Suardika, orang yang jelas menderita hipertensi
memiliki resiko stroke tujuh kali lebih besar
dibandingkan dengan mereka yang tekanan darahnya
normal atau rendah. Tekanan darah yang meningkat
secara perlahan merusak dinding pembuluh darah
dengan memperkeras arteri dan mendorong
terbentuknya bekuan darah dan aneurisma. Dari
faktor-faktor resiko yang terkendali, hipertensia
dalah yang paling penting karena dapat mempercepat
terjadinya resiko stroke.

b) Diabetes Mellitus

National Stroke Assosiation (2013) Orang


dengan diabetes dengan terlalu banyak glukosa
dalam darah mereka, sementara sel-sel mereka tidak
menerima energi yang cukup. Seiring waktu, glukosa
ini dapat menyebabkan deposit lemak meningkat
atau gumpalan pada bagian dalam dinding pembuluh
darah. Gumpalan ini dapat mempersempit atau
memblokir pembuluh darah di otak atau leher,
memotong pasokan darah, oksigen berhenti dari
mendapatkan ke otak dan menyebabkan stroke.

c) Merokok

Menurut Stroke Association (2013),


Diperkirakan bahwa ada lebih dari 10,5 juta perokok
dewasa di UK.84 20% orang dewasa di Inggris dan
24% orang dewasa di Irlandia Utara asap.Semakin
banyak anda merokok, risiko anda lebih besar
Seseorang merokok 20 batang sehari memiliki enam
kali risiko stroke dibandingkan dengan non-perokok.
Merokok sangat berbahaya jika anda memiliki
tekanan darah tinggi. Anda adalah lima kali lebih
mungkin untuk mengalami stroke dibandingkan
dengan perokok dengan tekanan darah normal, dan
20 kali lebih mungkin untuk mengalami stroke
dibandingkan non-perokok dengan tekanan darah
normal.
24

d) Kolesterol

Kolesterol terdiri dari dua jenis yaitu kolesterol


“jahat” dan kolesterol “baik”. Kolesterol “jahat”
melekat di dinding arteri dan ikut membentuk plak
arteri yang menyebabkan pengerasan arteri dan
stenosis sehingga resiko intervensi trial (MRFIT)
memberikan bukti hubungan langsung antara kadar
kolesterol serum tinggi dan stroke iskemik,terutama
pada hipertensi pria.

e) Obesitas

Stroke assosiation (2013) menyatakan


kelebihan berat badan dan obesitas meningkatkan
risiko stroke iskemik. Penelitian dari Strazzullo
(2010) Dua puluh lima studi dimasukkan, dengan 2
274961 peserta dan 30757 peristiwa. RR untuk
iskemik stroke adalah 1,22 (95% CI, 1,05-1,41)
untuk kelebihan berat badan dan 1,64 (95%CI,1,36-
1,99) untuk obesitas, sedangkan RR untuk
hemoragik stroke adalah 1,01 (95%) dan 1,24 (95%),
masing-masing. Singkatnya Kegemukan dan obesitas
berhubungan dengan semakin meningkatnya risiko
ischemic stroke.

f) Kelebihan Alkohol

Mengkonsumsi alkohol dalam jumlah


sedikitpun dapat meningkatkan tekanan darah dan
harus dihindari oleh orang yang mengidap hipertensi.
Alkohol harus dihindari oleh semua orang yang
mengidap ayan, penyakit liver atau yang sedang
hamil, karena dapat meningkatkan factor terjadinya
stroke.

c. Patofisiologi Stroke

Patofisiologi adalah bidang ilmu gangguan fungsi atau


modifikasi fungsi akibat ulah penyakit (Mayang, 2012).

Patofisiologi stroke terjadi kerusakan yang timbul pada


pembuluh darah otak yang sebagian besar di akibatkan adanya
penyempitan atau penyumbatan dari pembuluh darah arteri
(stroke ischemik) dan juga bisa di akibatkan oleh kelainan
25

pembuluh darah di otak yg mudah pecah seperti pembuluh


darah yang berbentuk aneurisma (Irfan, 2010).

Penyakit vaskular utama yang menyebabkan


penyumbatan adalah arteroklerosis dimana akan
mengakibatkan lumen arteri jadi mengecil serta kurangnya
elastisitas dari pembuluh darah yang disebabkan oleh adanya
penumpukan emboli pada dinding pembuluh darah dan
adanya thrombus yang menutupi aliran darah keotak (Feigin,
2006).

Menurut National Institute of Neurological Disorders


and Stroke, Stroke di klasifikasikan menjadi 2 katagori besar
Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik (Jusuf Misbach, 2011).

Berdasarkan Patologi Anatomi dan Penyebabnya

1) Stroke iskemik

Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan


adanya sumbatan dari bekuan darah pada arteri atau
beberapa arteri yang mengarah ke otak sehingga
mengakibatkan suplai oksigen keotak mengalami
hambatan hingga otak akan kekurangan oksigen. Stroke
ini disebut juga stroke haemoragik karena tidak
menimbulkan pendarahan pada jaringan otak yang
mengalami sumbatan. Dimana arterosklerosis adalah
penumpukan timbunan lemak dan Kolesterol pada
pembuluh darah. Timbunan itu makin lama makin
menumpuk dan menghambat aliran darah. Akibatnya
darah yang berasal dari jantung dan paru-paru tidak bias
memasuki otak. Padahal darah itu membawa oksigen dan
zat-zat makanan lain yang dibutuhkan sel-selotak
(Rohkamm, 2004).

Berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu : stroke iskemik


trombotik dan stroke iskemik embolik.

a) Stroke iskemik Arterosklerosis

Stroke ini biasanya terjadi pada salah satu


penyebab utama stroke,terutama stroke iskemik dan
TIA. Pada sekitar 20%-30% pasien yang pernah
mengalami stroke iskemik dan TIA, penyebab utama
adalah penyempitan arteri karotis di leher. Selain itu
26

sering terjadi stroke ini karena ketidakmampuan arteri


untuk menyalurkan darah yang menuju ke otak (Feigin
Valeri, 2006).

Gangguan pembuluh darah otak yang


menyebabkan timbulnya deficit neurologis akut yang
berlangsung kurang dari 24 jam. Stroke ini tidak akan
meninggalkan gejala sisa sehingga pasien tidak terlihat
pernah mengalami serangan stroke. Akan tetapi adanya
TIA merupakan suatu peringatan akan serangan stroke
selanjutnya sehingga tidak boleh diabaikan begitu saja
(Irfan, 2011).

b) Trombosis serebri

Trombosis merupakan sebuah plak yang mengalir


dengan pembentukan trombus dihasilkan dari proses
oklusif dimulai dalam dinding pembuluh darah.
Sebagian besar kasus ini disebabkan oleh penyakit
aterosklerosis, atherothrombosis. Patologi vaskular
menyebabkan stenosis atau oklusi termasuk diseksi
arteri (intra kranial atau ekstra kranial) (Levine, 2008).

c) Embolik Serebri

Menurtut American Heart Assosiation (2012)


Stroke ini sering terjadi terutama pada orang yang
memiliki penyakit jantung. Penggumpalan darah terjadi
di jantung, mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri
oksigen dan nutrisi ke otak. Bekuan darah dari jantung
umumnya terbentuk akibat denyut jantung tidak teratur
(fibrilasiatrium), kelainan katup jantung (termasuk
katup buatan dan kerusakan katup akibat penyakit
rematik jantung), infeksi dalam jantung (endokarditis)
dan pembedahan jantung.

Selain itu, stroke embolik ini juga sering


disebabkan oleh kelainan embolioccluding arteri otak
dapat juga berasal dari arteri besar yang terletak lebih
proksimal, seperti aorta, karotis ekstrakranial, atau
arteri vertebralis atau arteri intrakranial. Bahan emboli
adalah terdiri dari bekuan, agregat platelet atau puing-
puing plak yang biasanya putus dari plak aterosklerotik
(Levine, 2008).
27

Sebagian stroke iskemik terjadi di hemisfer otak,


meskipun sebagian terjadi di serebelum (otak kecil) atau
batang otak. Beberapa stroke iskemik di hemisfer
tampaknya bersifat ringan (sekitar 20% dari semua
stroke iskemik) ; stroke ini asimptomatik (tak bergejala;
hal ini terjadi pada sekitar sepertiga pasien usia lanjut)
atau hanya menimbulkan kecanggungan, kelemahan
ringan atau masalah daya ingat. Namun stroke ringan
ganda dan berulang dapat menimbulkan cacat berat,
penurunan kognitif dan demensia.

2) Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke


dalam jaringan otak (disebut hemoragia intra serebrum
atau hematom intra serebrum) atau kedalam ruang
subaraknoid yaitu ruang sempit antara permukaan otak
dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut
hemoragia subaraknoid). Ini adalah jenis stroke yang
paling mematikan, tetapi relatif hanya menyusun
sebagian kecil dari stroke total: 10-15% untuk perdarahan
intra serebrum dan 5% untuk perdarahan subaraknoid (
Irfan, 2011).

Penyakit yang menyebabkan dinding arteri menipis


dan rapuh adalah penyebab tersering perdarahan intra
serebrum. Penyakit semacam ini adalah hipertensi atau
angiopatiamiloid. Jika sesorang mengalami perdarahan
intra serebrum, darah dipaksa masuk ke dalam jaringan
otak, merusak neuron sehingga bagian otak yang terkena
tidak dapat berfungsi dengan baik.

Pecahnya sebuah aneurisma merupakan penyebab


tersering perdarahan subaraknoid. Pada perdarahan
subaraknoid, darah didorong keruang subaraknoid yang
mengelilingi otak. Jaringan otak pada awalnya tidak
terpengaruh,tetapi pada tahap selanjutnya dapat teganggu.

Stroke hemoragik terbagi menjadi dua berdasarkan


lokasi serangan,yaitu:

a) Stroke Hemoragik Intraserebral

b) Stroke Hemoragik Subrakhonoid


28

4. Visual Cue Training (VCT)

Pendekatan rehabilitasi untuk memperbaiki performa gerak


baik kemampuan meraih, mengenggam, maupun berjalan
dilaksanakan dengan latihan penguatan, lingkup gerak sendi,
keseimbangan, kontrol postural dan latihan berorientasi pada
tugas. Salah satu desain latihan penguatan dan terutama
meningkatkan koordinasi berjalan dan kemampuan menjaga
keseimbangan adalah salah satunya dengan mengaplikasikan
Visual Cue Training Exercise (VCT).

a. Pengertian Visual Cue Training Exercise\

VCT merupakan latihan dengan menggunakan isyarat


eksternal yaitu adaptasi Visual untuk meningkatkan motor
control selama berjalan dengan memfasilitasi pasien
memodifikasi panjang langkah berdasarkan informasi
sensorik yang telah disediakan (Amatachayaetal., 2009).

Pemulihan fungsi berjalan merupakan tujuan utama


rehabilitasi paska stroke (Hollands et al, 2013). Pendekatan
saat ini untuk rehabilitasi berjalan paska stroke bervariasi,
berdasarkan pada model fisiologi motorik gangguan yang
bebeda-beda, namun sebagian besar menargetkan gangguan
motorik saat berjalan dengan adaptasi kemampuan berjalan
(LanghorneP etal, 2009).

b. Tujuan Visual Cue Training

Menggunakan isyarat eksternal dalam rehabilitasi


berjalan memungkinkan pasien untuk meningkatkan
kecepatan berjalan mereka (Suteerawattananon Met al.,
2004). Isyarat eksternal merupakan informasi yang
membantu subjek secara efisien mengatur ulang gerakan
mereka dan menghasilkan tingkat kemampuan yang lebih
baik daripada penentuan oleh mereka sendiri walaupun
terdapat kerusakan pada sistem motor dan sensorik
(Amatachayaetal, 2009).

Berdasarkan pemahaman mengenai motor control dari


sistem lokomosi menunjukkan bahwa isyarat eksternal yakni
informasi Visual ialah salah satu sumber informasi yang
terpenting dan penting digunakan ketika berjalan (Hollands
KLetal, 2012).
29

Rangsangan isyarat Visual eksternal fokus kerjanya


terhadap stride length. Pada penelitian ini pasien diminta
untuk berjalan diatas garis-garis untuk menormalkan stride
length mereka. Garis-garis yang ditempelkan pada lantai
dapat memberikan gambaran perhatian terhadap proses
melangkah dan dapat juga meningkatkan aliran optikal
sehingga meningkatkan kemampuan fungsional berjalan
(Azulay etal, 2006).

c. Mekanisme Visual Cue Training

Visual memegang peranan penting dalam sistem


sensorik. Keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur,
mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama
sebagai mediasi mempertahankan keseimbangan dan sebagai
monitor tubuh selama melakukan gerakan statik ataupun
dinamik (Irfan, 2010).

Informasi visual dikirim dari retina setidaknya ke dua


tempat yang berbeda di otak dan dengan tujuan yang berbeda
pula yakni sistem fokal untuk identifikasi obyek dan ambient-
system untuk kontrol gerak. Pada kemudiannya juga
menunjukkan bahwa hal tersebut mempengaruhi kestabilan
dan keseimbangan tubuh. Penglihatan sangat penting untuk
kontrol postur dan berpengaruh terhadap keseimbangan
dengan bereaksi untuk bergerak sejalan dengan pergeseran
gambaran relatif pada retina, dan juga memicu aktivasi otot
yang diperlukan untuk mengkoreksi postur. Efisiensi Visual
terhadap kontrol postural tergantung pada ketajaman Visual
dan jarak benda (Kejonen,2009).

Isyarat Visual menyediakan informasi spasial, sehingga


membantu subjek berjalan dengan panjang langkah yang baik,
namun dengan kecepatan berjalan dan caden cerendah
(Amatachayaetal, 2009). Posisi spasial untuk menentukan
posisi penempatan kaki yang diperlukan adalah kunci untuk
memahami mengapa adaptasi gait lebih efektif dalam respon
terhadap Visual stepping stones (Banketal, 2011). Ketika kita
dapat melihat terdapat penukaran akurasi kecepatan/speed
accuracy trade- off, yaitu pada saat langkah cepat terjadi
kesalahan yang lebih besar dan bervariasi dibandingkan
langkah yang lambat (Reynoldsdan Day, 2005).
30

Pengaturan pola jalan adalah hal yang penting ketika


berjalan pada medan yang rata ataupun yang tidak rata untuk
memperoleh penempatan kaki yang adekuat sebagai pondasi
sesuai dengan fitur lingkungan setempat seperti
rintangan/obstacle dan target langkah/ stepping target
(Houdjik et al., 2012). Pasien hemiplegi pasca stroke
memiliki kesulitan dalam menekan input Visualyang tidak
bisa diprediksi karena mereka sangat kesulitan
mempertahankan keseimbangan ketika kehilangan Visual.
Pada kasus gangguan visuovestibular, kesulitan tersebut
semakin besar mengingat banyak pasien stroke memiliki
ketergantungan yang berlebihan pada input Visual untuk
mengendalikan keseimbangan dinamis dan tidak dapat
menggunakan input somatosensorik dan vestibular dengan
benar (Bonanetal., 2004).

Visual memainkan peran penting pada semua strategi


reaktif, prediktif dan antisipasi karena menyediakan informasi
spatio temporal mengenai tempat terpencil yang sangat tepat
(Higuchi, 2013). Isyarat Visual dilakukan dengan
menggunakan isyarat Visual di atas lantai dengan step length
yang diinginkan untuk membantu inisiasi dan pelaksanaan
gait.

Isyarat Visual menyediakan target gerakan,


mengaktivasi jalur cerebellar Visual-motor. Penggunaan
isyarat Visual jangka panjang dapat menyebabkan perubahan
dalam kontrol berjalan dari jalur cortical-motor ke cerebellar
Visual-motor. Perubahan ini yang mendukung peningkatan
pola jalan untuk setidaknya 1 bulan setelah isyaratVisual
tersebut dihilangkan (Sidaway etal.,2006).

5. Gait Training Exercise

Pendekatan rehabilitasi untuk memperbaiki performa gerak


baik kemampuan meraih, mengenggam, maupun berjalan
dilaksanakan dengan latihan penguatan, lingkup gerak sendi,
keseimbangan, kontrol postural dan latihan berorientasi pada
tugas. Salah satu desain latihan penguatan dan terutama
meningkatkan koordinasi berjalan dan kemampuan menjaga
keseimbangan adalah salah satunya dengan mengaplikasikan Gait
Training Exercise
31

a. Pengertian Gait Training Exercise

Gait Training atau rehabilitasi kemapuan berjalan


adalah tindakan mempelajari cara berjalan, baik sebagai
seorang anak atau lebih sering, setelah mengalami cedera atau
cacat. Terapis fisik atau fisioterapis,umumnya membantu
pasien mereka dengan pelatihan gaya berjalan.

Gait Training dapat dilakukan dalam beberapa bentuk,


tetapi pengulangan gerakan aktual yang dilakukan selama
berjalan adalah faktor yang paling penting. Bar paralel dapat
digunakan untuk membantu pelatihan gaya berjalan, terutama
pada tahap awal ketika pasien pertama kali belajar atau
belajar berjalan kembali. Mereka melibatkan seseorang yang
berjalan di antara dua pegangan tangan untuk menopang diri
mereka sendiri, seringkali dengan terapis membantu
mendukung pasien atau menggerakkan kaki pasien secara
fisik. Pelatih gaya berjalan atau bantuan gaya berjalan lainnya
juga digunakan.

Dalam beberapa tahun terakhir telah ada kemajuan


dalam bagaimana pasiendapat meningkatkan durasi terapi
dengan aman untuk membuat pengobatan yang lebih efektif.
Sistem dukungan berat badan (BWS) atau alat tidak berbobot
mulai menjadi semakin populer dan telah menjadi subjek dari
banyak penelitian. Sistem BWS dapat digunakan sebelum
pasien mendapatkan kontrol motorik yang memadai atau
memiliki kekuatan yang cukup untuk menanggung berat
sepenuhnya. Pasien akan mengenakan trunk harness khusus
dengan tali yang dapat disesuaikan, yang melekat pada sistem
suspensi overhead. Harness dan attachment-nya mendukung
sejumlah berat tubuh pasien. Teknik latihan berjalan yang
memanfaatkan sistem BWS tampaknya menjanjikan dalam
kemampuan mereka untuk meningkatkan dan mungkin
mengembalikan fungsi berjalan, seperti yang ditunjukkan
pada individu yang menderita cedera sumsum tulang belakang
yang tidak lengkap. Sistem BWS dapat digunakan di
treadmill atau di atas tanah untuk latihan gaya berjalan.
Pelatihan treadmill yang didukung berat badan (BWSTT)
memungkinkan individu dengan defisitmotorik yang
membuatmereka tidak mampu sepenuhnya mendukung berat
badan mereka sendiri untuk berlatih dan mengalami
penggerak dengan kecepatan fisiologis.
32

Meskipun latihan kemampuan berjalan dengan paralel


bar, treadmill dan sistem pendukung dapat bermanfaat,tujuan
jangka panjang dari latihan jalan biasanya untuk mengurangi
ketergantungan pasien pada teknologi tersebut untuk berjalan
lebih dalam kehidupan sehari-hari mereka. Latihan
kemampuan berjalan dapat berguna bagi orang-orang dengan
indikasi seperti Amputasi, Osteoarthritis, Musculardystrophy,
Cerebralpalsy, Stroke, Parkinson, Multiplesclerosis, cedera
otak dan sumsum tulang belakang, setelah operasi, cedera
olahraga.

b. Tujuan Gait Training Exercise

Banyak orang percaya bahwa berjalan adalah sesuatu


yang mereka telah lakukan untuk sebagian besar hidup
mereka, tidak ada yang perlu mengajari mereka cara berjalan
lagi setelah cedera. Sayangnya, sebagian besar cedera tulang
belakang dan ekstremitas bawah mengubah mekanik berjalan
dan dapat menyebabkan kecacatan tambahan jika tidak
diperbaiki dengan terapi fisik dan latihan kebugaran. Dengan
atau tanpa cedera, gaya berjalan (berjalan mekanik) sering
semakin memburuk dengan bertambahnya usia, belum tentu
karena faktor usia, tetapi paling sering disebabkan oleh
semakin melemahnya kondisi fisik.

Gait adalah cara berjalan, melangkah atau berjalan.


Lebih khusus lagi adalah serangkaian ritmis, bolak gerakan
pada batang tubuh dan anggota badan yang mengakibatkan
progresivitas ke depan dari pusat gravitasi (tubuh). Cara lain
untuk memikirkan gait adalah sebagai suatu rangkaian
“controlledfalls”.

Beberapa hal yang dicari selama evaluasi gait adalah


simetri dari siklus gait, langkah dan langkah panjang, irama
dan basis berjalan. Simetri merupakan salah satu aspek yang
paling penting dari gait. Pergerakan satu sisi tubuh harus
mencerminkan sisi lain dari tubuh. Ayunan lengan,
penempatan kaki, panjang langkah, dampak kaki semua harus
tepat kanan maupun kiri.

Cederadan kelemahan sering menyebabkan dampak


yang lebih berat (biasanya tetapi tidak selalu) di sisi yang
berlawanan. Karena manusia rata-rata membutuhkan waktu
10-15,000 langkah setiap hari, meningkatkan dampak dari
33

satu kaki dengan kekuatan hanya 10 lbs (setiap langkah) dapat


menambahkan hingga banyak stres tambahan yang
ditambahkan dengan kaki (ke atas 75.000lbs) setiap hari.

Kelainan lainnya dari gait adalah penempatan kaki. Jika


pasien mengalami kesulitan mengendalikan dimana kaki
mendarat (misalnya:terlalu dekat dengan kaki yang lain, out /
in), mereka mungkin memiliki kelemahan otot hip yang tidak
signifikan atau adanya masalah neurologis.

Sebagian besar deviasi gait dapat dikoreksi atau dikompensasi


dengan fisioterapi dan latihan kebugaran. Sebagian besar
fisioterapis ahli dalam evaluasi gait dan pelatihan. Jika tidak
diobati, deviasi gait yang signifikan dapat menyebabkan
cedera. Dengan langkah pertama dan membuat evaluasi gait,
bisa menjadi langkah dalam arah yang benar untuk kesehatan
yang lebih baik.

c. Mekanisme Gait Training Exercise

Pada fase pemulihan perawat harus segera melakukan


latihan gait sebagai salah satu cara untuk mencegah kecacatan
fisik. Latihan Gait yang dilakukan secara baik akan
berdampak pada fungsi kemandirian pasien dan mempunyai
hasil perbaikan fungsional, sehingga akan meningkatkan
kemampuan aktivitas sehari-hari pasien. Namun demikian
belum banyak penelitian tentang pengaruh latihan gait
terhadap fungsi kemandirian beraktivitas pasien dengan
stroke.

Jadi Gait Training Exercise ini lebih menekankan pada


latihan alternatif yang efektif, biasannya seperti latihan
berjalan pada treadmill yang lebih menekankan peningkatan
kemampuan gait, terapi dengan berat badan parsial dalam
rehabilitasi ini intens setelah stroke. Keuntungan utama dari
latihan GaitTraining ini adalah tidak membebankan upaya
keras dan tenaga yang belebihdari para terapis selama terapi
treadmill karena latihan ini lebih meningkatkan kemandirian
pada pasien stroke untuk meningkatkan kemampuan
berjalannya dan kemampuannya mempertahankan gerak
secara seimbang. Selain itu, sebagian besar pasien lebih
memilih latihan treadmill ini untuk meningkatkan
kemampuan gait.
34

6. Instrumen Pengukuran

DGI adalah indeks yang mengklasifikasikan tingkat


keterampilan fungsional gaya berjalan subjek. Hal ini
mengharuskan mereka untuk melakukan tugas gaya berjalan yang
menuntut tingkat keseimbangan yang tinggi, termasuk tingkat
berjalan, perubahan kecepatan saat berjalan, dan rintangan; skor
mendekati 24 sempurna, menunjukkan tingkat kemampuan yang
lebih tinggi (Jonsdottir J etal.,2007).

a. Skor: Skala ordinal empattitik, berkisar antara 0-3."0"


menunjukkan tingkat terendah fungsi dan "3" tingkat fungsi
tertinggi

b. Total skor:24

c. Peralatan yang dibutuhkan: Kotak (Kotak Sepatu), cones (2


kerucut), Tangga (dengan pegangan, Jalur20 kaki (6,1meter),
timer.

d. Penyelesaian waktu:15menit

e. Interpretasi skor:

1) <19/24= prediksi jatuh pada orang tua

2) 22/24= ambulatory pengaman

3) Stroke (JonsdottirJ,etal.,2007)

4) Realibilitas

5) Test-retest ICC=0,96

6) Inter-rater ICC=0,96

7) Standar error dari pengukuran

8) Inter-raterreliability = 0.97 points

9) Intra-raterreliability = 0.94 points

10) Validitas

11) kisaran,.68.83)
35

f. Aspek Pengukuran

1) Berjalan

Petunjuk: Berjalanlah dengan kecepatan normal dari sini


sampai ke tanda berikutnya (20)

a) Nilai 3 untuk Normal: Berjalan 20', tidak ada alat


bantu, kecepatan bagus, tidak ada bukti
ketidakseimbangan, pola jalan normal

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Berjalan 20',


menggunakan alat bantu, kecepatan lebih lambat,
penyimpangan gaya berjalan ringan.

c) Nilai 1 untuk Impairment sedang: Berjalan 20',


kecepatan lambat, abnormal gait pattern, bukti
ketidakseimbangan

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Tidak dapat


berjalan 20' tanpa bantuan, penyimpangan gaya
berjalan berat atau ketidakseimbangan yang parah.

2) Mengubah kecepatan berjalan

Petunjuk: Mulailah berjalan dengan kecepatan normal


Anda (selama 5 '), saat saya memberi tahu Anda "GO",
berjalanlah secepat mungkin (selama5'). Ketika saya
memberi tahu Anda "lamban," berjalanlah sepelan
mungkin (selama5').

a) Nilai 3 untuk Normal: Mampu lancar mengubah


kecepatan berjalan tanpa kehilangan keseimbangan
atau pola berjalan. Menunjukkan perbedaan
kecepatan berjalan yang signifikan antara kecepatan
normal,cepat dan lambat

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Mampu mengubah


kecepatan namun menunjukkan penyimpangan gaya
berjalan ringan, atau tidak adanya penyimpangan
gaya berjalan namun tidak mampu mencapai
perubahan kecepatan yang signifikan, atau
menggunakan alat bantu.

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Membuat sedikit


penyesuaian pada kecepatan berjalan, atau
36

menyelesaikan perubahan kecepatan dengan


penyimpangan jalan yang signifikan, atau perubahan
kecepatan namun memiliki penyimpangan gaya
berjalan yang signifikan atau perubahan kecepatan
namun kehilangan keseimbangan tetapi mampu pulih
dan terus berjalan

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Tidak dapat


mengubah kecepatan, atau kehilangan keseimbangan
dan harus mencapai dinding atau dipegang terapis.

3) Berjalan dengan melihat kekiri dan kekanan

Petunjuk: Mulailah berjalan dengan kecepatan normal


Anda. Ketika saya mengatakan kepada Anda untuk
"melihat kanan," terus berjalan lurus, tapi putar kepala ke
kanan. Terus melihat kanan sampai saya katakan, "lihat
kekiri," lalu terus berjalan lurus dan putar kepala ke kiri.
Jaga kepala anda kekiri sampai saya mengatakan "lihat
lurus," lalu terus berjalanlurus, dan meluruskan
pandangan.

a) Nilai 3 untuk Normal: Lakukan pergantian kepala


dengan lancar tanpa perubahan gaya berjalan

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Lakukan putaran


dengan lancar dengan sedikit perubahan kecepatan
berjalan, yaitu gangguan kecil ketika berjalan atau
menggunakan bantuan berjalan.

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Lakukan


pergantian kepala dengan perubahan moderat dalam
kecepatan berjalan, melambat, terhuyung-huyung
namun pulih, bisa terus berjalan

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Melakukan tugas


dengan gangguan gerak yang parah, yakni terhuyung-
huyung di luar jalur 15 ", kehilangan keseimbangan,
berhenti, mencapai dinding

4) Berjalan dengan melihat keatas dan kebawah

Petunjuk: Mulailah berjalan dengan kecepatan normal


anda Ketika saya menyuruh Anda untuk "melihat keatas"
terus berjalan lurus, tapi kepala Anda ke atas. Teruslah
37

melihat ke atas sampai saya memberitahu Anda "lihat


kebawah", lalu terus berjalan lurus dan kepala Anda
kebawah. Lakukan terus saya memberitahu Anda "lihat
lurus", kemudian terus berjalan lurus, dan kembali
pandangan kedepan

a) Nilai 3 untuk Normal: Lakukan pergantian kepala


dengan lancar tanpa perubahan gaya berjalan

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Melakukan


pergantian dengan lancar dengan sedikit perubahan
kecepatan berjalan atau gangguan kecil pada pola
jalan berjalan atau menggunakan bantuan berjalan

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Lakukan


pergantian kepala dengan perubahan kecepatan
berjalan moderat, melambat, terhuyung-huyung
namun pulih, bisa terus berjalan

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Melakukan tugas


dengan gangguan gerak yang parah, terhuyung-
huyung diluar jalur 15", kehilangan keseimbangan,
berhenti, mencapai dinding

5) Berjalan dengan melakukan putaran180°

Petunjuk:Mulailah berjalan dengan kecepatan normal


Ketika saya memberi tahu Anda "berbelok dan berhenti",
belok secepat mungkin untuk menghadap kearah yang
berlawanan dan berhenti.

a) Nilai 3 untuk Normal: Berputar dengan aman dalam 3


detik dan berhenti dengan cepat tanpa kehilangan
keseimbangan

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Berputar dengan


aman dalam >3 detik dan berhenti tanpa kehilangan
keseimbangan

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Berputar perlahan,


membutuhkan isyarat verbal, memerlukan beberapa
langkah kecil untuk keseimbangan langkah
berikutnya dan berhenti.
38

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Tidak dapat berbalik


dengan aman, membutuhkan bantuan untuk berbelok
dan berhenti.

6) Berjalan dengan melangkahi kotak sepatu

Petunjuk: Mulailah berjalan dengan kecepatan normal


anda. Saat anda sampai di kotak sepatu, melangkahinya,
tidak disekitarnya dan terus berjalan.

a) Nilai 3 untuk Normal: Mampu melangkahi kotak


tanpa mengubah kecepatan berjalan, tidak ada bukti
ketidakseimbangan.

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Mampu


melangkahi kotak, tapi harus melambat dan
menyesuaikan langkah-langkah agar aman
melanjutkan

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Bisa melangkahi


kotak tapi harus berhenti, lalu melangkah maju atau
membutuhkan isyarat verbal

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Tidak dapat


dilakukan tanpa bantuan.

7) Berjalan disekitar kotak sepatu

Petunjuk: Mulailah berjalan dengan kecepatan normal.


Ketika anda sampai pada kerucut pertama (sekitar 6'),
berjalanlah di sisi kanannya. Saat anda sampai di kerucut
kedua (12’), jalanlah disisi kiri

a) Niali 3 untuk Normal: Mampu berjalan mengelilingi


kerucut dengan aman tanpa mengubah kecepatan
berjalan; tidak ada bukti ketidakseimbangan

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Mampu


melakukannya, tapi harus memperlambat dan
menyesuaikan langkah-langkah ketika melewati
kerucut

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Mampu


melakukannya namun harus secara signifikan
memperlambat kecepatan untuk menyelesaikan tugas
atau membutuhkan isyarat verbal
39

d) Nilai 0 untuk Impairment berat: Tidak dapat


melakukannya, berjalan kearah salah satu atau kedua
kerucut atau memerlukan bantuan fisioterapis

8) Naik turun tangga

Petunjuk: Berjalanlah ketangga seperti yang akan anda


lakukan dirumah, yaitu menggunakan pegangan jika
perlu. Di bagian atas, berbalik dan berjalan kebawah

a) Nilai 3 untuk Normal: Mampu bergantian kaki, tidak


ada pegangan

b) Nilai 2 untuk Impairment ringan: Mampu bergantian


kaki, harus ada pegangan

c) Nilai 1 untuk Impairment Sedang: Dua kaki ke


tangga, harus menggunakan pegangan

d) Nilai 0 untuk Penurunan berat: Tidak dapat


melakukan dengan aman.

B. Kerangka Berpikir

Stroke merupakan gangguan neurologis yang disebabkan akibat


kurangnya suplai darah ke otak. Hal ini disebabkan oleh karena
keadaan pembuluh darah yang terganggu, sehingga adanya sumbatan
atau pecahnya pembuluh darah tersebut. Stroke adalah penyebab
utama gangguan gerak dan fungsi pada orang dewasa. Insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik akan mengalami gangguan
yang kompleks baik dari aspek fisik ataupun psikologisnya. Gangguan
fisik dapat berupa menurunnya fungsi sensorik dan motorik. Dari
kedua gangguan tersebut akan berpengaruh pada performance gerakan
fungsional dan keseimbangan.

Pemulihan fungsi berjalan merupakan tujuan utama rehabilitasi


pasca stroke. Hal ini karena berjalan merupakan parameter penting
untuk menentukan kesehatan status dan kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari seorang individu dengan melakukan latihan
fungsional berjalan memungkinkan bagi insan hemiparase pasca stroke
non hemoragik untuk meningkatkan kemampuan fungsional
berjalannya. Untuk melihat outcome dari Latihan maka dilakukan
evaluasi agar mengetahui perkembangan dan progress selama latihan
dan mengembangkan planning program untuk kemajuan fungsional
insan hemiparase pasca stroke non hemoragik. Pada insan hemiparase
40

pasca stroke non hemoragik, umpan balik intrinsik mengalami distorsi


atau bahkan parahnya tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan
feedback motorik yang diberikan mengalami keterbatasan. Sebagai
salah satu upaya penanganan insan h e m i p a r a s e pasca stroke non
hemoragik, dalam hal ini khususnya kemampuan berjalan maka
diberikan penanganan VCT Exercise dan Gait Training Exercise.
Kedua latihan ini merupakan metode yang dapat diberikan untuk
memfasilitasi postural control, motion coordination dan functional
integration sehingga berpengaruh pada kemampuan koordinasi
keseimbangan berjalan pada insan hemiparase pasca stroke non
hemoragik.

Pada latihan menggunakan Gait Training Exercise akan


membantu meregulasi sistem kontrol motorik (temporal fasilitation)
dengan menstimulasi fungsi otak lower level dari basal ganglia,
cerebellum, batang otak, homeostasis sehingga merangsang terjadinya
proses plastisitas otak dan pada pemberian VCT akan mengaktifkan
saraf pada jalur kortikospinal sehingga merangsang proses plastisitas
otak. Stimulasi Visual pada pusat motorik merangsang timbulnya
gerakan melangkah yang lebih tepat dan sesuai dengan jarak langkah
yang sudah dipelajari sebelumnya Hal ini juga dikenal dengan
“distance fasilitation”.
41

Stroke

Participation
ActivityLimitation
Restriction
1. Berjalan
Body Structure 2. Mengubahkecepatanberjalan 1. Bekerja
andFunction 3. Berjalanmelihat kanan &
atasbawah 2. Berolahraga
1. Ggsomatosensorik
4. Berjalan dengan 3. Rekreasi
2. Ggkeseimbangan
melakukanputaran 180°
3. Ggkoordinasi 4. KomunitasS
5. Berjalan dengan
4. Gg gerak volunteer
melangkahikotak sepatu osisal
5. Ggsensasi
6. Berjalandisekitarkotaksepatu
7. Naikturun tangga

EnvironmentalFactor PersonalFactor
1. Motivasidarikeluarga 1. Usia
2. FasilitasPenunjang 2. JenisKelamin
3. Statussosioekonomi 3. PenyakitPenyerta

Penurunan
kemampuanFungsional
keseimbanganberjalan
Skema2.1KerangkaBerfikir
42

C. Kerangka Konsep

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel terikat: kemampuan fungsional berjalan

2. Variabel bebas:

a) VCT exercise
b) Gait Training exercise
01 k 02

P S R

03 P 04

Skema 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan:

P : Populasi, S: Sample, R: Random

O1 :Kemampuan fungsional berjalan sebelum latihan


kelompokkontrol

O2 :Kemampuan fungsional berjalan setelah latihan


kelompok kontrol

O3 : Kemampuan fungsional berjalan sebelum


latihan Kelompok perlakuan

O4 : Kemampuan fungsional berjalan setelah latihan


kelompok perlakuan

K : Pemberian Gait Training exercise terhadap


kemampuan fungsional berjalan

P : Pemberian Gait Training exercise dan VCT exercise


terhadap kemampuan fungsional berjalan
43

D. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep maka rumusan hipotesis penelitian ini


sebagaiberikut:

1. Pemberian Gait Training exercise dapat meningkatkan


kemampuan fungsional berjalan pada insan hemiparase pasca
stroke non hemoragik.

2. Penambahan VCT exercise dalam penemberian Gait Training


exercise dapat meningkatkan kemampuan fungsional berjalan
pada insan hemiparase pasca stroke non hemoragik.

Ada perbedaan pengaruh pemberian Gait Training exercise dengan


penambahan VCT exercise dalam penemberian Gait Training exercise
terhadap peningkatan kemampuan fungsional berjalan pada insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Praktek Mandiri Fisioterapi Tanjung Pura Pontianak

2. Waktu Penelitian

Sesuai dengan kebutuhan dan kedalaman masalah yang diteliti,


maka penelitian dilakukan dari bulan april 2021 - juli 2022.

B. MetodePenelitian

Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling yang


bersifat perbandingan intervensi untuk melihat perbedaan efek
latihan Gait Training exercise dan latihan Gait Training exercise
dengan penambahan VCT exercise terhadap kemampuan fungsional
koordinasi keseimbangan berjalan insan hemiparase pasca stroke
non hemoragik diterapkan pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan.

Penelitian dengan metode tersebut menggunakan rancangan


penelitian yang berupa pretest–posttest control grup design yang
dibagi menjadi 2 kelompok, yakni kelompok kontrol yaitu insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik yang diberikan Gait
Training exercise dan kelompok perlakuan yaitu insan hemiparase
pascastroke non hemoragik yang diberikan GaitTraining exercise
dengan penambahan VCT exercise.

Hasil penelitian tersebut kemudian akan dianalisadan


dibandingkan hasilnya dengan menggunakan pengukuran DGI pada
kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah
perlakuan. Nilai pengukuran peningkatan kemampuan fungsional
berjalan diukur dan dievaluasi menggunakan instrumen tersebut
yang kemudian hasilnya akan dianalisa antara kedua kelompok
perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan.

1. Kelompok kontrol

Pada kelompok kontrol sampel pasien dengan gangguan


fungsional berjalan sebelum diberikan tindakan terlebih dahulu
dilakukan pengukuran tingkat kemampuan fungsional berjalan
45

dengan menggunakan instrumen pengukuran DGI. Setalah itu


diberikan intervensi berupa Gait Training exercise selama18 kali
intervensi dengan frekuensi 3 kali seminggu. Selanjutnya setelah
program selesai dilakukan evaluasi kembali dengan melihat hasil
peningkatan kemampuan fungsional berjalan dengan DGI.

2. Kelompok Perlakuan

Pada kelompok perlakuan sampel pasien dengan gangguan


fungsional berjalan sebelum diberikan tindakan terlebih dahulu
dilakukan pengukuran tingkat kemampuan fungsional berjalan
dengan menggunkan instrumen pengukuran DGI. Setelah itu
diberikan intervensi Gait Training exercise dengan penambahan
VCT exercise selama18 kali intervensi dengan frekuensi 3 kali
seminggu. Selanjutnya setelah program selesai dilakukan
evaluasi kembali dengan melihat hasil peningkatan kemampuan
fungsional berjalan dengan DGI.

C. Populasi dan Sample

Populasi adalah insan hemiparase pascastroke non hemoragik


pada fase pemulihan koordinasi keseimbangan berjalan atau fase
recovery dan sedang menjalani program fisioterapi rawat jalanke
Praktek Mandiri Fisioterapi Tanjung Pura Pontianak. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling
berdasarkan pertimbangan bahwa sampel akan representatif jika
sesuai dengan kriteria pengambilan sampel yang telah ditentukan.
Teknik ini juga dipilih berdasarkan pertimbangan untuk
mendapatkan hasil pengujian dari suatu perlakuan

PengambilansampelmenggunakanrumusPocock:

Keteragan :

n = jumlah sampel

δ = standar deviasi

α = tingkat kesalahan I (ditetapkan0,05) interval kepercayaan


(1-α)
46

β =tingkat kesaalahan II (ditetapkan 0,20) tingkat kekuatan


uji/powerof test 0,80

µ1 = nilai rata-rata pada kelompok kontrol

µ2 = nilai rata-rata pada kelompok


perlakuan

ʃ(αβ) = interval kepercayaan (7,9)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gui Bin Song et al.,


(2016) yang berjudul Effects of Gait Training with rhythmic
auditory stimulation ongait ability in stroke patients dalam The
Journal of Physical Therapy Science 2016. Dalam jurnal
penelitian tersebut didapatkan µ1 =53.7 dengan δ = 4.5dan µ2 =
59,6. Dengan demikian penentuan jumlah sampel dapat dihitung
sebagai berikut:

Dengan pertimbangan adanya kemungkinan pengguguran


sampel pada masa pengambilan data, peneliti menambah 10%
untuk mengantisipasi hal tersebut. Jadi jumlah sampel pada
masing-masing kelompok 9 + 0,9 = 9,9 atau dibulatkan menjadi
10 orang. Sehingga total sampel yang direncanakan adalah 20
orang.

Teknik pengambilan sampel ini dilakukan sesuai kasus


yang diteliti dengan memilih pasien yang benar-benar mewakili
kriteria yang telah ditetapkan. Sampel yang diambil yaitu insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik dengan kriteria sebagai
berikut:

1. Kriteria Inklusi:

a. Pasien stroke dengan usia 55–65 tahun

b. Pasien stroke yang kurang dari 1 tahun (setelah stroke


iskemil/non hemoragik dengan gejala hemisfer awal)
47

c. Memahami instruksi lisan, tulisan, isyarat menggunakan


minimentalstateexam( MMSE) ≥24

d. Pengukuran Ashworth derajat 1-2

e. Pengukuran berg balance scale (BBS) ≥30

2. Kriteria Eksklusi:

a. Kondisi gangguan visual, pendengaran, kardiopulmonal,


koordinasi, proprioseptif, muskuloskeletal yang
mempengaruhi keseimbangan

b. Nilai disabilitas <2atau>3 menggunakan modified rankin


scale (MRS)

c. Disfungsi serebral

d. Memiliki kondisi lain yang dapat mempengaruhi berjalan


seperti rasa sakit atau pembengkakan dipersendian tungkai
bawah

e. Dapat berjalan mandiri atau menggunakan alat bantu

f. Mengerti dan menyetujui untuk tujuan penelitian

3. Kriteria pengguguran (dropout) adalah:

a. Subjek tidak mampu menyelesaikan program penelitian


sesuai dengan rencana dan program latihan yang telah
ditentukan

b. Subjek tidak melakukan prosedur penelitian dengan baik


sesuai arahan peneliti

D. Instrument Penelitian

1. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Variabel terikat: Kemampuan fungsional berjalan

b. Variabel bebas:

1) VCT exercise

2) Gait Training exercise


48

2. Definisi Operasional

a. Gait Training Exercise

1) Pasien memperoleh latihan berjalan Gait Training


Exercise

2) Pasien berjalan dengan mendapat intervensi Gait


Training Exercise untuk melangkahkan kaki sesuai
dengan latihan berjalan kembali dengan dibantu dengan
Bar paralel

3) Fisioterapis memberi instruksi untuk melangkah dengan


bantuan gerak pasif untuk menggerakan kaki pasien

4) Posisi pasien berdiri ditengah bar paralel, fisioterapis


berada di samping pasien dan memfasilitasi agar posisi
telapak kaki tepat dan sesuai saat melangkah

5) Apabila kaki tidak tepat dan tidak sesuai saat melangkah


serta menapak maka pasien dikoreksi untuk persiapan
selanjutnya.

6) Kemampuan melangkah disesuaikan dengan waktu


langkah masing-masing subjek (m/s), yang diukur
sebelum pelatihan.

7) Dosis latihan dilberikan dengan frekuensi 3 kali


kunjungan dalam seminggu, selama durasi latihan 10
menit selama 6 minggu.

b. Gait Training Exercise tambah Visual Cue Training Exercise

1) Pasien memperoleh latihan Gait Training Exercise yang


ditambah Visual Cue Training Exercise.

2) Pasien berjalan dengan mendapat intervensi konvensional


berjalan dan di tambah dengan latihan untuk
melangkahkan kaki diatas isyarat strip di lantai.

3) Posisi pasien berdiri di tengah walkway, fisioterapis


berada dibelakang pasien dan memfasilitasi agar posisi
telapak kaki tepat menyentuh strip yang telah disediakan
sejauh 5 m.

4) Fisioterapis memberi instruksi untuk melangkah


mengikuti jarak langkah sesuai strip.
49

5) Jarak strip sebesar 10% dari panjang langkah maksimum


yang di evaluasi sebelum memulai latihan.

6) Apabila kaki tidak tepat sesuai tanda pada walkway,


maka pasien dikoreksi untuk persiapan selanjutnya.

7) Dosis latihan dilberikan dengan frekuensi 3 kali


kunjungan dalam seminggu,selama durasi latihan 10
menit selama 6 minggu.

E. Tehnik Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari hasil pengukuran peningkatan


kemampuan fungsional berjalan dengan menggunkanan DGI akan
terlihat perubahan kemampuan fungsional berjalan sebelum dan
sesudah intervensi. Selanjutnya data tersebut diolah dengan
menggunakan program SPSS. Dalam menganalisa data yang telah
diperolah, menggunakan beberapa uji statistik antara lain:

1. Uji Persyaratan Analisa

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Saphiro Wilk


test karena sampel penelitian kurang dari 30 orang. Tujuan uji
normalitas adalah untuk mengetahui apakah data yang telah
diperoleh termasuk dalam kategori distrubusi normal atau
tidak normal. Jika nilai mean = modus = median atau antara
nilai mean, median dan modus memiliki nilai yang hampir
sama atau mendekati maka data tersebut berdistribusi simetris
atau normal. Ho ditolak jika nilai p < α (0.05) dan Ho
diterima bila nilai p >α (0,05).

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas varian antara kelompok kontrol dan


kelompok perlakuan dilakukan dengan menggunkan levene’s
test. Tujuan uji homogenitas adalah untuk mengetahui apakah
varian data yang diperoleh bersifat homogen atau tidak
homogen. Uji homogenitas juga bertujuan untuk menentukan
pilihan nilai probabilistik (p-value) yang sesuai dengan
pengambilan keputusan untuk menolak atau menerima Ho.
Dengan menggunakan hipotesa, Ho ditolak jika nilai p < α
(0.05) dan Ho diterima bila nilai p > α (0,05).
50

2. Uji Hipotesis

a. Uji Hipotesis I

Uji hipotesis I berfungsi untuk menguji signifikan atau


kemaknaan dua sample yang saling berpasangan (related)
pada kelompok kontrol. Pada penelitian ini, jika data
berdistribusi normal maka uji hipotesis menggunkan t-test
related. Jika data berdistribusi tidak normal maka uji
hipotesis menggunakan wilcoxon signrank test. Dengan
pengujian hipotesa Ho ditolak jika nilai p < α (0.05) dan Ho
diterima bila nilai p > α (0,05).

Adapun hipotesis yang ditegakkan adalah:

Ho: Gait Training exercise tidak dapat meningkatkan


kemampuan koordinasi keseimbangan berjalan insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik

Ha:Gait Training exercise dapat meningkatkan


kemampuan koordinasi keseimbangan berjalan insan
hemiparase pasca stroke non hemoragik.

b. Uji Hipotesis II

Uji Hipotesis II berfungsi untuk menguji signifikan atau


kemakanaan dua sample yang saling berpasangan pada
kelompok perlakuan. Pada penelitian ini, jika data
berdistribusi normal maka uji hipotesis menggunkan t-test
related. Jika data berdistribusi tidak normal maka uji
hipotesis menggunakan wilcoxon signrank test. Dengan
pengujian hipotesa Ho ditolak jika nilai p < α (0.05) dan Ho
diterima bila nilai p >α (0,05).

Adapun hipotesis yang ditegakkan adalah:

Ho :Gait Training exercise dengan penambahan VCT


exercise tidak dapat meningkatkan kemampuan
koordinasi keseimbangan berjalan insan hemiparase
pasca stroke non hemoragik

Ha :Gait Training exercise dengan penambahan VCT


exercise dapat meningkatkan kemampuan koordinasi
keseimbangan berjalan insan hemiparase pasca
stroke non hemoragik.
51

c. Uji Hipotesis III

Uji hipotesis III bertfungsi untuk menguji signifikan atau


kemaknaan dua sampel yang tidak saling berpasangan
(independent) pada kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan. Pada penelitian ini menggunakan t-test
independent jika data berdistribusi normal, sedangkan
untukdistribusi data yang tidak normal digunakan mann
whitney u test. Dengan pengujian hipotesia Ho ditolak jika
nilai p < α (0.05) dan Ho diterima bila nilai p >α (0,05).

Adapun hipotesis yang ditegakkan adalah:

Ho : Tidak ada perbedan pengaruh penambahanVCT


excercise pada Gait Training exercise dengan Gait
Training exercise terhadap kemampuan fungsional
berjalan insan hemiparase pasca stroke non
hemoragik

Ha : Ada perbedaan pengaruh penambahan VCT


excercise pada Gait Training exercise dengan Gait
Training exercise terhadap kemampuan fungsional
berjalan insan hemiparase pasca stroke non
hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA

Abbass, SJ dan Abdulrahman G. 2014. Kinematik Analysis of Human


Gait Cycle. Nahrain University, College ofEngineering
Journal (NUCEJ). Vol16 (2):208-222

Amatachaya,S.,Keawsutthi,M.,Amatachaya,P.,Manimmanakorn,N.200
9. Effects of External Cues on Gait Performance in
Independent Ambulatory Incomplete Spinal Cord Injury
Patients. Spinal Cord.47: 668-73

Ashutosh Kharb, Vipin Saini , Y.K Jain, Surender Dhiman. 2013.A


Review Of Gait Cycle And Its Parameters. IJCEM International
Journal of Computational Engineering & Management, Vol.
13, July 2011. ISSN:2230-7893

Azulay, J. P., Mesure, S., Blin, O. 2006. Influence of Visual Cues on


Gait in Parkinson’s Disease: Contributionto Attentiono
Sensory Dependence. Journal of the Neurological Science
248:192-95

BRomadhon, 28 Agustus 2018. Hemorrhagic Stroke, Apakah yang


dimaksud dengan hemorrhagic stroke,oogitu.com/hemorrhagic-
stroke/

Balasubramanian,C.K., Bowden,M.G., Neptune,RR., Kautz,SA. 2007.

Relationship betweenStep Length Asymmetry and Walking


Performance in Subjects with Chronic Hemiparesis. Arch
PhysMed Rehabil. vol88:6-9

Bank,P.J.M., Roerdink,M., Peper,C.E. 2011. Comparing the Efficacy


of Metronome beep sand stepping stonesto adjust gait: Stepsto
Follow.ExpBrainRes. 209:159-69

Blumenfeld,2010 “Brainstem I:Surface anatomy and Cranial Nerve“


Sinauer Acossiate inc, available at
www.sinauer.com/media/Blumenfeld2e_Ch12neuroanatomy

Bonan,I.V., Yelnik,A.P., Colle,F.M., Michaud,C., Normand,E.,


Panigot,B., Roth,P., Guichard,J.P., Vicaut,E. 2004. Reliance
On Visual Information After Stroke. Part II: Effectiveness OF
A Balance Rehabilitation Program With Visual Cue
Deprivation After Stroke: A Randomized Controlled Trial.
Arch PhysMed Rehabil.85:274

Borggraefe, Andreas Meyer-Heim, Anita Kumar, Jan Simon Schaefer,


Steffen Berweck, and Florian Heinen. 2008. Improved Gait
Parameters After Robotic-Assisted Locomotor Treadmill
Therapy in a 6-Year-Old Childwith Cerebral Palsy. Movement
Disorders.Vol. 23, No. 2

Despopoulus,A.,Silbernagl,S. 2003. Color Atlas of


Physiology.5th.Ed.Germany: Thieme.p.310-313.danp. 324-325

Destur Purnama Jati29 Oktober 2014. Anatomi Otak


Manusia.senyumperawat.com

Emma Barry, Rose Galvin, Claire Keogh, Frances Horgan and Tom
Fahey. 2014.Is the Timed Up and Go test a useful predictor of
riskoffalls incommunitydwelling older adults: a systematic
review and meta- analysis. BMCGeriatrics201414:14.
Published: 1 February 2014. Barry et al.;
licenseeBioMedCentralLtd. 2014

Feign Valery,Stroke (Jakarta:BhuanaIlmuPopuler,2006)

Ghalih .2015. “ Gambar Sel Saraf Sensorik Dan Sel Saraf


Motorik“Http://Mybiologismart.Blogspot.Com/Sistem-Saraf-
Mengontrol-Semua- Aktivitas.Html28 Oktober 2015.

Gui, Bin Song., Hyo Jeong Ryu. 2016. Effects of gait training with
rhythmicauditory stimulation on gait ability in stroke patients.
J. Phys. Ther. Sci.28:1403–06

Gwen Shockey.10September2015. Anatomy functions of


brain.fineartamerica.com

HermanT.,GiladiN.,HausdorffJ.M.2011.“ Properties of the‘Timed Up


and Go’ Test: More than Meets the Eye “. Gerontology
2011;57:203–210 Article Details 2011,Vol.57, No. 3.S.
KargerAG,Basel

Heru Purbo Kuntono, 2009. Pemeriksaan FTC Pusat, Dalam Hand out
Kuliah FTC Pusat Jurusan DIV Fisioterapi, Politeknik
Kesehatan Surakarta,Surakarta

Higuchi. 2013.Visuomotor Control Of Human Adaptive


Locomotion:Understanding The Anticipatory Nature. Frontiers
in Psycology;4:1
HollandsKL,PeltonTA,TysonSF,HollandsMA,vanVlietPM.2012.

Interventions for coordination of walking following stroke:


systematic review.Gait Posture,35(3):349–59

Hollands,K.L., Pelton,T., Wimperis,A., Whitham,D., Jowett,S.,


Sackley,C.,Alan,W., Vliet,P.V. 2013.Visual cue training to
improve walking and turning after stroke: a study protocol for
a multi-center, single blind randomisedpilottrial.Trial;14:276

Irdawati,2012. Pengaruh Latihan gerak terhadap keseimbangan pasien


stroke non-hemoragik.Jurnal kesehatan masyarakat.

Irdawati. 2008. Perbedaan pengaruh latihan gerak terhadap kekuatan


otot pasien stroke non hemoragik hemiparese kanan
dibandingkan dengan hemiparese kiri. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Indonesia,mmed
indones,Volume43, Nomor 2

Irfan, 2009. Keseimbangan Pada Stroke, Diakses tanggal 04/03/2012,


darihttp://infostroke.wordpress.com/keseimbangan-pada-
stroke/

Jacobs, M., Fox, T, 2008. Using The “Timed Up and Go/ TUG” Test
to Predict Risk Of Falls;
fromhttp://www.assistedlivingconsult.com/issues/.

Jemmi Susanti, Irfan,M, 2010. Pengaruh Penerapan motor re-learning


Programme terhadap peningkatan keseimbangan berdiri pada
pasien stroke hemiplegic. Jurnal penelitian Saint dan
Teknologi,vol.11,no2.

Jonsdottir J, Cattaneo D: Reliability and validity of the dynamic gait


index in persons with chronic stroke. Arch Phys Med
Rehabil,2007,88:1410–15.

Junaidi, Iskandar. 2011. Stroke : Waspadai Ancamannya. Andi Offset


:Yogyakarta

Kemenkes.2013.Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


tahun2013.Jakarta:KemenkesRI
Kharb,Ashutosh et.al. 2011. A Review of gait cycle and its
parameters. IJCEMInternational Journal of Computational
Engineering & Management, Vol. 13,July 2011 ISSN
(Online):2230-7893

Langhorne P, Coupar F, Pollock A. 2009.Motor recovery after stroke:


asystematic review. LancetNeurol, 8(8):741–54

Lingga Lanny. 2013. All About Stroke hidup sebelum dan Pasca
Stroke. Jakarta:elexmediakomputindo

Lord,s.,Rochester,L.(2007). Walking in the real word:concepts related


to function gait. NZJournalofphysiotherapy;5(3) :126-130

Marianne Belleza, R.N. September 24, 2017. Nervous System Anatomy


and Physiology.Brain,nurseslabs.com/nervous-system/

Mayang A.Naga, 2013, “ Patologi Khusus Fisioterapi “ Esa unggul,


JakartaMegna.2008. “Mirror therapy in the motor recovery of
upper extremities”.Department of Neurological and
Psychiatric Sciences, Physical Medicine and Rehabilitation,
University of Bari,Italy

Misbach,Jusuf2011.Stroke aspek diagnostik, patofisiologi,


menejemen. pernerbit:FKUI

Patricia C. Montgomery, Barbara H. Connolly, 2003, “ Clinical


Applications For Motor Control”,SLACKIncorporated: United
States of America

Pendlebury, S.T., Giles, M.F.,Rothwell, P.M. 2009. Transient


Ischemic Attack and Stroke.NewYork :CambridgeUniversity.
p.1-35dan p.274-277

Reinhard Rohkamm, 2004 “ Color Atlas of Neurology “, Thieme :


Stuttgart,NewYork

Reynolds RF, Day BL. 2005. Visual guidance of the human foot
during a step.JPhysiol.Dec1;569 (Pt2) :677-84

Rico JS, Suharyo H, dan Endang K. 2008. Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Kejadian Stroke pada Usia Muda Kurang dari
40 Tahun. Jurnal Epidemiologi.2008:1-13

Sidaway B., Anderson J., Danielson G., Martin L., Smith G. 2006.
Effects ofLong-Term Gait Training Using Visual Cues in an
Individual With Parkinson Disease. PHYS THER 86: 186-194
Sidaway, B., Anderson, J., Danielson,G., Martin,L.,
Smith,G.(2006).Effects of Long-Term Gait Training Using
Visual Cuesin An Individual with Parkinson disease.
PHYSTHER;86(2):186-94

Sofwan, Rudianto. 2010. Stroke dan rehabilitasi pasca stroke. Jakarta:


PT BhuanaIlmuPopuler

Steven R. Levine, David Adamowicz, Kevin M.Barrett, 2008, “Acute


IschemicStroke” American Academy of Neurology, Volume 14
Number 6, NewYork,United State

Teasell R, Bayona N, Heitzner J. Clinical consequences of stroke: the


evidence-based review of stroke rehabilitation (EBRSR)
reviews current practices in stroke rehabilitation 2008.
Available at http://www.ebrsr.com/uploads/Module_2_clinical
consequences_final.pdf.AccessedJuly 22, 2010

Wayne, Jake. 2011. Exercises to Improve Gait After a


Stroke.www.livestrong.com

Wittenberg,G.F.,Schaechter,J.D.2009.TheNeuralBasisofConstraintInd
ucedMovementTherapy.Baltimore:LippincottWilliamsandWilki
ns

World Health Organization (WHO). 2012. Non Communicable


Disease CountryProfiles. Diunduh pada tanggal 4 Mei
2014.http://who.int/gho/publications/world_health_statistics/E
N_WHS2013_Full.pdf?ua=1

Wright,R.L.,Masood,A.,MacCormac,E.S.,Pratt,D.,Sackley,C.M.,Wing
,A.M. 2013. Metronome Cued Stapping in Place after Hemiparetic
Stroke:Comparison of a One-and Two-Tone Beat. ISRN Rehabilitation
volume2013
Yavuzer,M.G.2006.
WalkingAfterStroke:InterventiontoRestoreNormalGaitPattern.
Ankara,Turkey:PelikanPublication

Yayan Israr,A.,2008.STROKE.Riau: Faculty of Medicine–University


of Riau.

Yuri B.Saalmann and Sabine Kastner, 2011,“ Cognitive and


Perceptual Functions of the Visual Thalamus
“,DOI10.1016/j.neuron.2011.06.027, Princeton Neuroscience
and Institute Department of Psychology Princeton University,
Princeton, USA

Anda mungkin juga menyukai