Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN MASALAH MOBILITAS FISIK PADA

LANSIA DENGAN CAREBRO VASKULER ACCIDENT (CVA) DI


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH SURABAYA

Disusun Oleh :

Sabilyta Constantya

20200660029

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan Mobilitas Fisik menjadi tanda pada penderita CVA atau Cerebro Vaskuler
Accident. Salah satu faktor pencetus terjadinya Gangguan Mobilitas Fisik yaitu akibat
kerusakan pada sistem saraf pusat. Gangguan Mobilitas Fisik muncul akibat kerusakan
otak pada sisi tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya kelemahan anggota gerak
tubuh. Kelemahan pada sisi tubuh adalah komplikasi yang dapat timbul pada penderita
CVA yang menyebabkan gangguan mobilitas fisik (Anita, Pongantung, Ada, & Hingkam,
2018).
Angka kejadian stroke di Indonesia menurut World Health Organization, (2017)
menyatakan bahwa stroke merupakan penyebab kedua kematian setelah penyakit jantung
iskemik serta penyebab ketiga kecacatan setelah penyakit menular dan kanker. Menurut
(Irdelia, Tri Joko, & Bebasari, 2014) dari data nasional Indonesia menunjukkan 15,4%
merupakan penyebab kematian akibat stroke. Didapatkan sekitar 750.000 insiden stroke
per tahun di Indonesia dan 200.000 diantaranya merupakan stroke berulang. Sedangkan
jumlah penderita stroke di Jawa Timur berdasarkan diagnosa sebanyak 190.499 (6,6%)
penderita, sedangkan angka gejala stroke semakin meningkat setiap tahunnya (Kemenkes
RI, 2013)
Pada pasien dengan Cerebro Vaskuler Accident (CVA)masalah yang sering muncul
yaitu gangguan mobilitas fisik. Selain itu seseorang yang mengalami Imobilisasi jika
tidak ditangani dengan tepat, akan menimbulkan komplikasi berupa abnormalitas tonus
dan kontraktur. Hemiparesis diketahui merupakan salah satu penyebab dari kecacatan.
Derajat kecacatan yang dialami oleh penderita stroke tergantung dari beratnya
hemiparesis, 30-60
% dari pasien yang mengalami hemiparesis akan mengalami kehilangan penuh pada
fungsi tubuh dalam kurun waktu 6 bulan pasca stroke. kelemahan anggota gerak yang
disebabkan oleh stroke akut akan menyebabkan kekakuan, kelumpuhan, kekuatan otot
melemah sehingga mengurangi gerak sendi dan fungsi ekstremitas, aktifitas hidup,
aktivity daily living (ADL) akan terganggu (Bakara & Warsito, 2016).
Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien stroke ditujukan
untuk mengatasi gangguan mobilitas fisik dengan terapai fisioterapi. Tujuannya untuk
meningkatkan aliran darahc otak, mencegah kematian dan meminimalkankecacatan yang
ditimbulkan.Rehabilitasi dan latihan Range of Motion(ROM) merupakan salah satu terapi
lanjutanpada pasien stroke setelah fase akut telah lewatdan memasuki fase penyembuhan.
Latihan gerak dapat dilakukan secara bertahap dengan melihat kondisi pasien, pada
umumnya latihan dilakukan 1 – 3 kali perhari (Irfan, 2010). Sedangkan untuk terapi
latihan ROM (Range Of Motion) pasif, yang bertujuan meningkatkan dan
mempertahankan fleksibilitas otot. Penyediaan latihan di awal pergerakan dapat
meningkatkan kekuatan otot karena dapat menstimulasi sendi. Latihan ROM pasifdapat di
lakukan 1 kali sehari dengan minimal 8 kali pengulangan dalam setiap gerakan. Latihan
ROM pasif bisa dilakukan di setiap sendi atau bagian-bagian tertentu seperti leher, jari
tangan, siku, bahu, lutut, kaki dan pergelangan kaki yang dicurigai memiliki kelemahan
pada ekstremitas (Rhestifujiyani, 2015)

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah studi
kasus ini adalah “Bagaimanakah asuhan keperawatan Masalah Mobilitas Fisik pada klien
Lansia dengan Cerebro Vaskuler Accident di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya?”

1.3 Tujuan Penelitihan


1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari Pelaksanakan asuhan keperawatan Masalah mobilitas fisik pada
pasien CVA di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian keperawatan gangguan mobilitas fisik pada klien Cerebro
Vaskuler Accident (CVA) di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya
2. Merumuskan diagnosis keperawatan gangguan mobilitas fisik pada klien Cerebro
Vaskuler Accident (CVA) di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya
3. Menyusun perencanaan tindakan keperawatan pada klien gangguan mobilitas fisik
dengan Cerebro Vaskuler Accident (CVA) di Rumah Sakit Muhammadiyah
Surabaya
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien gangguan mobilitas fisik dengan
Cerebro Vaskuler Accident (CVA) di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya
5. Melakukan evaluasi keperawatan gangguan mobilitas fisik pada klien Cerebro
Vaskuler Accident (CVA) di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Sebagai penjelasan ilmu pengetahuan tentang Asuhan Keperawatan Masalah
Mobilitas Fisik pada Lansia dengan CVA.
1.4.2 Praktis
1. Peneliti
Meningkatkan pengetahuan tentang keperawatan pada lansia dengan masalah
Mobilitas Fisik pada pasien Carebri Vascular Accident sesuai dengan
dokumentasi keperawatan
2. Institusi
Hasil penelitihan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan asuhan
keperawatan untuk institusi pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan
3. Masyarakat
Memberi pengetahuan pada masyarakat yang masih belum mengerti tentang
bagaimana proses terjadinya masalah Mobilitas Fisik pada pasien Carebro
Vascular Accident
4. Bagi Perawat dan Institusi Rumah sakit
Sebagai bahan masukan bagi perawat yang ada di Rumah Sakit dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan pada Lansia dengan masalah
Mobilitas Fisik pada Pasien Carebri Vascular Accident
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gangguan Mobilitas Fisik


2.1.1 Definisi
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dan melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik secara mandiri, dengan
bantuan orang lain, maupun hanya dengan bantuan alat (Wulandari, 2018).
Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang
tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat
disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (Wulandari, 2018). Menurut
Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik
tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.

2.1.2 Etiologi
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut :
1) Penurunan kendali otot
2) Penurunan kekuatan otot
3) Kekakuan sendi
4) Kontraktur
5) Gangguan muskoloskeletal
6) Gangguan neuromuskular
7) Keengganan melakukan pergerakan

2.1.3 Manisfestasi Klinik


Respon fisiologis dari perubahan mobilisasi yang mungkin muncul,
diantaranya:
1) Muskuloskeletal sepeeti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot,
atropi dan abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme
kalsium
2) Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja
jantung, dan pembentukan thrombus.
3) Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah
beraktifitas.
4) Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit;
ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan (seperti
konstipasi).
5) Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran
perkemihan dan batu ginjal.
6) Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia
jaringan.
7) Neurosensori: sensori deprivation
(Wulandari, 2018).

2.1.4 Patofisiologi Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke


Pada penderita Cerebro Vasculer Accident (CVA) Infark yang
menyebabkan penyumbatan. CVA infark disebabkan oleh thrombus, emboli,
cerebal yang menghambat aliran darah yang kemudian terjadi sumbatan
didaerah 29 cerebral dan terjadi cva infark, setelah cva infark terjadinya
perubahan perfusi jaringan, hemisfer kiri, hemisfer kanan dan infark batang
otak. Pada Hemisfer kiri dapat terjadi disfagia, afasia, kelainan visual kanan,
mudah frustasi, dan hemiplegi kanan, dan pada hemiplagi kanan terjadinya
kelemahan fisik yang kemudian terjadinya gangguan mobilitas fisik (Dongoes,
2010)

2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah
gangguan mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak.
Latihan rentang gerak yang dapat diberikan salah satunya yaitu dengan latihan
Range of Motion (ROM) yang merupakan latihan gerak sendi dimana pasien
akan menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik
secara pasif maupun aktif.
Range of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan
kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun
sendi
dikarenakan pasien tidak dapat melakukannya sendiri yang tentu saja pasien
membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga. Kemudian, untuk
Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang dilakukan
sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat ataupun
keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu mempertahankan
atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang
sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2012).
Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan
mobilitas fisik, antara lain :
a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti
memiringkan pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg,
posisi genupectoral, posisi dorsal recumbent, dan posisi litotomi.
b. Ambulasi dini Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini
bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun
dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
c. Melakukan aktivitas sehari-hari. Melakukan aktivitas sehari-hari
dilakukan untuk melatih kekuatan, ketahanan, dan kemampuan sendi agar
mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular.
d. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.

2.1.6 Kemampuan Mobilitas Fisik


Tingka kemampuan
Tingkat Aktivitas / Mobilisasi Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara
penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau
pengawasan orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan
orang lain, dan peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat
Melakukan atau berpartisipasi dalam
Perawatan

2.2 Konsep Carebro Vaskuler Accident (CVA)


2.2.1 Definisi CVA (Cerebro Vaskuler Accident)
Menurut WHO CVA (Cerebro Vaskuler Accident) ialah adanya tanda-
tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal
(global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam (Muttaqin,
2008). Stroke Cerebro Vaskuler Accident (CVA) hemoragik ialah stroke yang
terjadi karena pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskemik dan
hipoksia dihilir. Penyebab CVA (Cerebro Vaskuler Accident) hemoragik
antara lain : hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Dan
biasanya kejadianya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat (Ria Artiani, 2009). Stroke Cerebro Vaskuler Accident
(CVA) adalah kumpulan gejala klinis berupa gangguan dalam sirkulasi darah
kebagian otak yang menyebabkan gangguan perfusi baik lokal atau global
yang terjadi secara mendadak, progresif dan cepat yang umumnya
menyebabkan hemiparasis pada penderita stroke (Heriyanto & Ana, 2015).

2.2.2 Etiologi
Penyebab CVA (Cerebro Vaskuler Accident) dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1) Trombosis serebri.
Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral atau
penyebab utama thrombosis serebral adalah penyebab paling umum dari
stroke. Thrombosis ditemukan pada 40% dari semua kasus stroke yang
telah dibuktikan oleh ahli patologi. Biasanya pada kaitanya dengan
kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis (Smeltzer,
2005).
2) Emboli selebri
Embolisme selebri termasuk urutan kedua dari berbagi penyebab
utama stroke. Penderita embolisme biasanya lebih muda dibandingkan
dengan penderita thrombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal dari
suatu
thrombus dalam jantung sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya
merupakan perwujudan penyakit jantung (Price, 2005).
3) Hemoragik
Hemoragik dapat terjadi diluar durameter (hemoragik ekstra dural atau
epidural) di bawah durameter (hemoragik subdural), diruang sub arachnoid
(hemoragik subarachnoid) atau dalam substansial otak (hemoragik intra
serebral) (Price, 2005).

2.2.3 Gejala Klinis


Manifestasi Klinis CVA (Cerebro Vaskuler Accident) Pada CVA non
hemoragik gejala utamanya adalah timbulnya defisit neurologis secara
mendadak atau sebakut, dan dahului gejala prodromal, terjadi pada waktu
istirahat atau bangun tidur pagi dan kesadaran biasanya tak menurun, kecuali
bila embolus cukup besar (Mansjoer, 2000). Gejala klinis pada pasien CVA
(Cerebro Vaskuler Accident) yaitu
1) Kehilangan Motorik CVA (Cerebro Vaskuler Accident) adalah penyakit
otot neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik, misalnya :
- Hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi tubuh)
- Hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh)
- Menurunnya tonus otot abnormal
2) Kehilangan komunikasi Fungsi otak yang mempengaruhi oleh CVA
(Cerebro Vaskuler Accident) adalah bahasa dan komunikasi, misalnya :
- Disartria, yaitu kesulitan berbicara yang ditunjukan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung
jawab untuk menghasilkan bicara.
- Disfasia atau afasia atau kehilangan bicara yang terutama ekspresif
atau arefresif. Apraksia yaitu ketidakmampuan untuk melakukan
tindakan yang dipelajari sebelumnya. 15
3) Gangguan persepsi
- Hemonimus hemianopsia, yaitu kehilangan setengah lapang pandang
dimana sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang
paralisis.
- Amorfosintesis, yaitu keadaan dimana cenderung berpaling dari sisi
tubuh yang sakit dan mengabaikan sisi atau ruang yang sakit tersebut.
- Gangguan hubungan visual spasia, yaitu gangguan dalam mendapatkan
hubungan dua atau lebih objektif dalam area spasial.
- Kehilangan sensori, antara lain tidak mampu merasakan posisi dan
gerakan bagian tubuh (kehilangan propioseptik) sulit
menginterprestasikan stimulasi visual, taktil auditorius

2.2.4 Klasifikasi
Stroke Cerebro Vaskuler Accident (CVA) dapat diklasifikasikan
menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu :
1) Stroke hemoragik
Merupakan pendarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau
saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien
umumnya menurun. Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal
yang akut dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang
terjadi secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, disebabkan oleh
karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler (Widjaja, 1994).
2) Stroke non hemoragik (CVA Infark)
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau dipagi hari.
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran
umumnya baik
2.2.5 WOC

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang CVA (Cerebro Vaskuler accident)
1) Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seprti
perdaraha, obstruktif arteri, oklusi / nuptur.
2) Elektro encefalography
Mengidentifikasi masalah didasrkan pada gelombang otak atau
mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
3) Sinar x tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawan dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna terdapat pada
trobus serebral. Klasifikasi persial dinding, aneurisma pada pendarahan
sub arachnoid.
4) Ultrasonography Doppler
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri karotis
/alioran darah /muncul plaque / arterosklerosis.
5) CT-Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.
6) MRI
Menunjukan adanya tekanan anormal dan biasanya ada thrombosis,
emboli, dan TIA, tekanan meningkat dan cairan mengandung darah
menunjukan, hemoragi sub arachnois / perdarahan intakranial.
7) Pemeriksaan foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
vertrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke, menggambarkn perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah berlawanan dari massa yang meluas (Doengoes, 2000).
8) Pemeriksaan lapboratorium
- Fungsi lumbal: tekanan normal biasanya ada thrombosis, emboli dan
TIA. Sedangkan tekanan yang meningkat dan cairan yang mengandung
darah menunjukan adanya perdarahan subarachnoid atau intracranial.
Kadar protein total meninggal pada kasus thrombosis sehubungan
dengan proses inflamasi.
- Pemeriksaan darah rutin.
- Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-
angsur turun kembali (Doengoes, 2000).

2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CVA (Cerebro Vaskuler Accident) (Wijaya 2013)
1) Penatalaksanaan umum
a) Posisi kepala dan badan diatas 20-30 derajat, posisi lateral dekubitus
bila disertai muntah. Oleh dimulai mobilisasi bertahap bila
hemodinamik stabil.
b) Bebaskan jalan nafas dan usahakan ventilasi adekuat bila perlu berikan
oksigen 1-2 liter/menit bila ada hasil gas darah.
c) Kandung kemih yang penuh dikosongkan dengan kateter.
d) Suhu tubuh harus dipertahankan.
e) Nutrisi peroral hanya boleh diberikan setelah tes fungsi menelan baik,
bila terhadap gangguan menelan atau pasien yang kesadaran menurun,
dianjurkan pipi NGT. f. Mobilisasi dan rehabilitasi dini jika tidak ada
kontraidikasi
2) Penatalaksanan medis
a) Trombolitik (streptokinase)
b) Anti platelet / anti trombolitit (asetosol, ticlopidin, clostazol,
dipiridamol)
c) Antikoagulan (heparin)
d) Hemorrhagea (pentoxifilyn)
e) Antagonis serotonin(noftidrofuryl)
f) Antagonis calcium (nomodipin, piracetam)
3) Penatalaksanaan khusus
a) Atasi kejang (antikonvulsan)
b) Atasi tekanan intracranial yang meninggi manitol, gliserol,
furosemide, intubasi, steroid dll)
c) Atasi dekompresi (kraniotomi)
d) Untuk penatalaksanaan faktor resiko
1) Atasi hipertensi ( anti hipertensi)
2) Atasi hiperglikemia (anti hiperglikemia)
3) Atasi hiperurisemia (anti hiperurisemia)

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan CVA


2.3.1 Pengkajian
Pengkajian Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi
identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.
a) Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, dan diagnosis medis.
b) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
c) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik sering kali berlangsung sangat
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi
nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain
gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan
perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan konia.
d) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral
yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-
obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia,
penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan
alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
e) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu
f) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhankeluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per
sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari
klien.2
2.3.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu :
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
2) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
nutrient
2.3.3 Perencanaan
Perencanaan adalah rencana keperawatan yang direncanakan oleh perawat dan pasien dengan diagnose yang ditegakkan
sehingga kebutuhan pasien terpenuhi
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana
Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan perawatan selama …x 24 1. Ajarkan klien tentang dan pantau
berhubungan dengan jam monilitas membaik dengan kriteria hasil penggunaan alat
penurunan kekuatan otot a) Menunjukkan penggunaan alat bantu 2. Bantu mobilitas.
(D.0054) secara benar dengan pengawasan. 3. Ajarkan dan bantu klien dalam proses
b) Meminta bantuan untuk beraktivitas perpindahan.
mobilisasi jika diperlukan. 4. Berikan penguatan positif selama
c) Menyangga BAB beraktivitas.
d) Menggunakan kursi roda secara efektif. 5. Dukung teknik latihan ROM
6. Kolaborasi dengan tim medis tentang
mobilitas klien
Defisit nutrisi berhubungan Setelah dilakukan perawatan selama .. x24 jam 1. Tentukan motivasi klien untuk
dengan ketidakmampuan untuk Nutrisi membaik dengan kriteria mengubah kebiasaan makan
mengabsorpsi nutrient a) Menjelaskan komponen kedekatan diet 2. Ketahui makanan kesukaan klien
(D.0019) b) Nilai laboratorium 3. Rujuk kedokter untuk menentukan
c) (mis,trnsferin,albumin,dan eletrolit) penyebab perubahan nutrisi
d) Melaporkan keadekuatan tingkat gizi 4. Bantu makan sesuai dengan kebutuhan
klien
e) Nilai laboratorium (mis : 5. Ciptakan lingkungan yang
trasferin,albomen dan eletrolit menyenangkan untuk makan
f) Toleransi terhadap gizi yang dianjurkan.

2.3.4 Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini perawat menerapkan pengetahuan intelektual,
kemampuan hubungan antar manusia (komunikasi) dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada pertahanan
daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh, pemantapan hubungan klien dengan lingkungan,
implementasi pesan tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.

2.3.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan dan dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian dalam
keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan
BAB III
METODE PENELITIHAN

Metode penelitian adalah cara menyelesaikan masalah menggunakan metode


keilmuan. Pada bab ini membahas Desain Penelitian, Kerangka Kerja, Desain Sampling,
Identifikasi Variable, Definisi Operasional, Pengumpulan Data dan Analisa Data, Masalah
Etika dan Keterbatasan.

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan
prosedur penelitian menurut Alimul. H. (2007), berdasarkan tujuan penelitian desai
yang digunakan dalam penelitian ini adalah “deskriptif” dengan pendekatan studi
kasus dengan menggunakan proses keperawatan, yang meliputi pengkajian, diagnose
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Studi kasus ini adalah studi
untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan klien Cerebro Vaskuler Accident
(CVA) dengan masalah Gangguan Mobilitas Fisik di Rumah Sakit Muhammadiyah
Surabaya.

3.2 Variabel Dan Definisi Operasional


Definisi operasional adalah variable secara operasional dan berdasarkan
karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan
pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2011).
Variabel Definisi Operasional Indikator
Asuhan Tindakan keperawatan yang 1. Pengkajian
Keperawatan di lakukan melalui tahap 2. Diagnosa keperawatan
pada klien pengkajian, analisa data, 3. Perencanaan keperawatan
yang diagnosis, intervensi, 4. Pelaksanaan keperawatan
mengalami implementasi dan evaluasi 5. Evaluasi
Cerebro pada klien Cerebro Vaskuler
Vaskuler Accident (CVA)
Accident Tanda Mayor
(CVA) Adalah suatu keadaan ketika S: Mengeluh sulit
seseorang individu menggerakan ekstremitas
mengalami O:
kehilangan fungsi otak yang
Gangguan diakibatkan oleh terhentinya 1. Kekuatan otot menurun
Mobilitas Fisik suplai darah ke bagian otak 2. Rentang gerak (ROM)
dengan Gangguan mobilitas menurun
fisik ketidak mampuan pasien
dalam memenuhi aktivitas Tanda Minor
sehari-hari karena adanya S:
penurunan otot yang 1. Nyeri saat bergerak
diakibatkan oleh adanya 2. Enggan melakukan
kelemahan ektermitas tubuh penggerakan
paseien 3. Merasa Cemas saat
bergerak
O:
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak
terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik Lemah

3.3 Subyek Penelitian


Adapun subyek penelitian yang akan diteliti berjumlah satu pasien dengan
masalah keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik, dengan kriteria klien lansia tang
mengalami Cerebro Vaskuler Accident (CVA) yang disebabkan kehilangan fungsi
otak yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak

3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya,
lama waktu dalam penelitian studi kasus ini yakni, selama 3 hari.

3.5 Prosedur Penelitian


Penelitian diawali dengan penyusunan usulan penelitian dengan menggunakan
metode studi kasus. Setelah disetujui oleh penguji proposal maka penelitian
dilanjutkan dengan kegiatan pengumpulan data. Data penelitian berupa hasil
pengukuran, observasi, wawancara terhadap kasus yang dijadikan subjek penelitian.
3.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan metode
deskriptif dan dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode studi kasus.
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Merupakan cara peneliti untuk mengumpulkan data dalam penelitian:
a. Wawancara (Interview)
Pengumpulan data berisi tentang identitas klien dengan bertanya
kepada pasien atau keluarga pasien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga. Peneliti
berkomunikasi atau Tanya jawab dengan klien, keluarga klien, dokter,
perawat atau yang lain yang ikut merawat dan mengobati klien selama
melakukan perawatan
b. Pengamatan (observasi) dan Pemeriksaan Fisik
Teknik observasi partisipasi serta tindakan pengawasan, pengamatan
untuk mencapai hal-hal yang berhubungan dengan keadaan klien dengan
melaksanakan tindakan secara langsung pada klien sesuai dengan masalah
yang dialami. Pemeriksaan fisik yaitu dengan melakukan pemeriksaan
kepada klien mulai dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki (head to
toe) dengan pendekatan IPPA yaitu inspeksi (lab, warna kulit, tugor kulit),
palpasi (sutura), perkusi, auskultasi.
c. Studi Dokumentasi
Peneliti menyesuaikan dari asuhan keperawatan terkait masalah
Gangguan Mobilitas fisik pada pasien Cerebro Vaskuler Accident (CVA)
yang akan di ambil sebagai kasus, mempelajari dan melihat dokumen atau
status kesehatan dan hasil dari pemeriksaan laboratorium.

3.6.2 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen atau alat pengumpulan data menurut Hidayat, (2003) adalah
yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Dalam
penelitian ini adalah format asuhan keperawatan yang digunakan dalam
penelitian adalah format asuhan keperawtan yang berisi format pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keperawatan baik dalam
bentuk catatan perkembangan maupun evaluasi akhir.
3.7 Keabsahan Data
Uji keabsahan data yang dimaksud untuk membuktikan kualitas data atau
informasi yang diperoleh sehingga menghasilkan data dengan validasi tinggi.
Keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang waktu pengamatan atau tindakan
dan sumber informasi tambahan menggunakan triagulasi dari 3 sumber data utama
yaitu klien, perawat dan keluarga klien yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
pasien Cerebro Vaskuler Accident (CVA) dengan masalah Gangguan Mobilitas Fisik
dari hasil suatu pengkajian yang di dokumentasikan dalam format asuhan
keperawatan.

3.8 Analisa Data


Analisa data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, wawancara
mendalam, observasi oleh peneliti yang selanjutnya membandingkan dengan teori
yang ada dan selanjutnya ditangkan dalam opini pembahasan. Dengan urutan dalam
analisis sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, observasi,
dokumentasi). Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian
disalin dalam bentuk transkip (catatan terstruktur).
2. Mereduksi data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan
dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data
subyektif dan obyektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan
diagnostic kemudian dibandingkan nilai normal.
3. Penyajian data
Penyajian data dapat dilakukan dengan table, gambar, bagan meupun
teks naratif.
4. Kesimpulan
Dari data yang disajikan, kemudian data dibahas dan dibandingkan
dengan hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku
kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data
yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
3.9 Etika Penelitian
Etika yang mendasari penyusunan studi kasus, terdiri dari:
1. Informed consent (Persetujuan menjadi responden)
Lembar persetujuan diberikan kepada yang akan diteliti, lembar persetujuan
diberikan kepada pasien. Penulis menjelaskan tujuan, prosedur dan hal-hal yang
akan dilakukan selama pengumpulan data, setelah responden bersedia, responden
harus menandatangani lembar persetujuan tersebut, jika tidak bersedia maka
penulis tidak memaksa dan tetap menghargai keputusan tersebut.
2. Anonimity (Tidak menyebutkan nama responden)
Kerahasiaan identitas responden tetap dijaga. Oleh karena itu penulis tidak
mencantumkan nama reponden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan
inisial pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dirahasiakan oleh penulis,
hanya kelompok tertentu yang akan diberikan informasi seperti dokter dan
perawat diruangan.
4. Beneficiency (Manfaat/Keuntungan)
Studi kasus yang dilakukan penulis mengandung prinsip moral yang
mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien.

Anda mungkin juga menyukai