Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATN

GANGGUAN MOBILITAS FISIK


DI RUANG BANGSAL MELATI RSUD BANGIL

Oleh :
SISKA TERIANA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS TRIBHUWANA
TUNGGA DEWIMALANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur – unsur yang dibutuhkan oleh


manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis yang tentunya
bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan (Ernawati, 2012). Teori Handerson
mempunyai 14 kebutuhan dasar manusia yaitu : bernafas secara normal, makan dan minum
cukup, eliminasi, bergerak dan mempertahankan posisi yang dikehendaki (mobilisasi), istirahat
dan tidur, memilih cara berpakaian, mempertahankan temperatur suhu tubuh dalam rentang
normal, menjaga tubuh tetap bersih dan rapi, menghindari bahaya dari lingkungan,
berkomunikasi dengan orang lain, beribidah menurut keyakinan, menggali dan memuaskan rasa
keingintahuan yang mengacu pada perkembangan dan kesehatan normal (Hidayat, 2009).

Kebutuhan dasar menurut Handerson salah satunya adalah bergerak dan mempertahankan
posisi yang dikehendaki (mobilisasi). Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan
tindakan keperawatan (Ambarwati, 2014). Sedangkan gangguan mobilitas fisik adalah
keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai
fraktur pada ekstremitas dan faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas (Heriana,
2014). Faktor yang mempengaruhi mobilisasi yaitu gaya hidup.

Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai – nilai yang dianut,
serta lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya ketidakmampuan, kelemahan fisik dan
mental akan menghalangi seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari–hari. Adapun faktor
yang dapat mempengaruhi mobilisasi yaitu tingkat energy dan usia. Energi dibutuhkan untuk
banyak hal, salah satunya mobilisasi dan usia juga berbengaruh terhadap kemampuan seseorang
dalam melakukan mobilisasi pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktivitas atau
mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan (Ambarwati, 2014). Dampak dari imobilitas dalam
tubuh dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolism
tubuh,ketidakseimbngan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan
fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernapasan, perubahan system muskuloskletal,
perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil), dan perubahan prilaku
(Hidayat, 2009). Salah satu dampak imobilitas yang mempengaruhi tubuh yaitu perubahan pada
sistem muskuloskletal adalah osteoporosis (tulang menjadi rapuh dan mudah rusak), dan
penurunan kekuatan otot, karena otot tidak dipergunakan dalam waktu yang lama. Penurunan
kekuatan otot merupakan manifestasi dari hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh),
(Hidayat, 2009).

Penyakit– penyakit tertentu dan cidera yang berpanguh terhadap mobilitas dan aktivitas
adalah penyaki multiple aklerosis, fraktur, atau cidera pada urat saraf tulang belakang dan
penyakit stroke (Atoilah, 2013). Stroke merupakan penyakit neurologi yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi gerak sehingga seseorang mengalami kelumpuhan (Junaidi, 2011). Stroke
umumnya diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu iskemik dan hemoragik (perdarahan).
Stroke iskemik terjadi akibat adanya sumbatan pada lumen pembuluh darah yang memunculkan
berbagai manifistasi klinis seperti kesulitan berbicara, kesulitan berjalan dan mengkoordinasikan
bagian–bagian tubuh, sakit kepala,kelemahan otot wajah, gangguan penglihatan,gangguan
sensori, gangguan pada proses berpikir dan hilangnya control terhadap gerakan motorik yang
secara umum dapat dimanifistasikan dengan disfungsi motorik seperti hemiplegi (paralisis pada
salah satu sisi tubuh) atau hemiparesis (kelemahan yang terjadi pada satu sisi tubuh) (Widagdo,
dkk,2008).

Dampak gangguan mobilisasi pada pasien stroke yaitu seperti disfungsi


neurologi berupa hilangnya seluruh fungsi sensori dan motorik (kelemahan pada anggota gerak),
dan adanya defisit fokal seperti, kelemahan kontralateral wajah, tangan, lengan dan tungkai,
penurunan penglihatan, pelo, disfasia sementara dan beberapa gangguan sensorik dan juga dapat
menyebabkan sakit kepala (Widagdo, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Sari, dkk (2015) yang
berjudul Batasan Karakteristik Dan Faktor Yang Berhubungan (Etiologi) Diagnosa
Keperawatan: Hambatan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke bahwa pada 121 pasien stroke,
didapatkan hasil 90% atau 109 orang pasien stroke menunjukkan masalah keperawatan hambatan
mobilitas fisik . Diagnosis ini didefinisikan sebagai keterbatasan dalam melakukan pergerakan
fisik pada satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah.
Menurut Saputra, 2013 untuk mencegah hilangnya kemampuan keseimbangan tubuh dan
postur dalam melakukan pergerakan fisik, dapat diterapkan latihan ROM, dan mengubah posisi
pada pasien yang memiliki mobilitas sendi yang terbatas. Latihan ini dilakukan untuk menjaga
fungsi sendi serta memelihara dan mempertahankan kekuatan otot. Latihan mobilisasi tersebut
harus dilakukan pada pasien dengan hambatan mobilitas, karena jika tidak dilakukan akan
mengakibatkan beberapa otot mengalami atrofi, kehilangan tonus otot, dan kekakuan sendi
(Potter & Perry, 2012).

Berdasarkan peneletian Mawarti dan Farid, 2012 yang berjudul Pengaruh


Latihan Rom (Range Of Motion) Pasif Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke
Dengan Hemiparase bahwa ada pengaruh latihan ROM pasif 2x sehari terhadap peningkatan
kekuatan otot pada pasien stroke dengan hemiparise di paviliun flamboyan RSUD Jombang. Dan
peneliti menganjurkan untuk pemberian latihan ROM pasif 2x karena terbukti efektif pada masa
rehabilitasi. Perlu dilnjutkan untuk penelian selanjutnya dengan latihan aktif asistif dimana peran
kemandirian pasien lebih bagus terutama dalam meransang koordinasi saraf, otot dan tulang.
Peran perawat pada pasien stroke dengan ganggguan mobilitas fisik adalah melakukan asuhan
keperawatan dilakukan dengan menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian,
menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan analisis data, merencanakan intervensi
keperawatan berdasarkan analisis data, merencanakan intervensi keperawatan, melaksanakan
tindakan keperawatan sesuai intervensi atau rencana yang ada, dan melakukan evaluasi
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan
(Vaughans, 2011).

Menurut World Healt Organitation dari 56.400.000 kematian di seluruh dunia


pada tahun 2015, lebih dari setengah (54 %) adalah karena 10 penyakit didunia. Penyakit stroke
ada pada tingkat yang paling tinggi membunuh 15 juta orang pada tahun 2015 - penyakit ini tetap
pembunuh terbesar secara global dalam 15 tahun terakhir. Dengan penderita stroke iskemik yang
meninggal dunia adalah 7,2 juta jiwa (11,1) (WHO, 2015). Menurut Riskesdas (2013), prevalensi
stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang
terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 permil. Prevalensi stroke berdasarkan
diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka
Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis
nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogayakarta (16,9%),
Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar (16,0%) sedangkan Sumatra Barat
(12,2%). Menurut Riskesdas Provinsi Sumatera Barat (2013), prevalensi stroke berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,4 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala
sebesar 12,2 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Agam (14,9%),
diikuti Kota Solok (12,7%), Kota Bukittinggi (10,9%) dan Tanah Datar (10,5%). Prevalensi
stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Padang Pariaman (21,0%),
diikuti Agam (18,1%), Tanah Datar (16,2%), dan Sijunjung sebesar 16,1 per mil. Sedangkan
untuk Kota Padang prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes (5,0%) dan prevalensi stroke
berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala (8,4%). tinggi.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke di Ruang Bangsal
Melati RSUD Bangil ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke.

2. Tujuan Khusus

a.Dideskripsikan hasil pengkajian asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien
stroke non hemoragik di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.

b.Dideskripsikan hasil diagnosa asuhan keperawatan gangguan mobilitas


fisik pada pasien stroke di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.

c.Dideskripsikan hasil perencanaan asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien
stroke di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.

d.Dideskripsikan hasil tindakan asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke
di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.
e.Dideskripsikan hasil ipsikan hasil evaluasi asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada
pasien stroke di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.

f.Dideskripsikan hasil pendokumentasian asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada


pasien stroke di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

menambah wawasan dan pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan gangguan
mobilitas fisik pada pasien stroke.

2. Bagi Rumah Sakit

Sebagai masukan bagi petugas kesehatan dalam meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan,
terutama dalam asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke di Ruang
Bangsal Melati RSUD Bangil.

3. Institusi Pendidikan

diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran untuk pengembangan dalam penerapan asuhan
keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep mobilisasi dan imobilitas pada pasien stroke

1. Pengertian Mobilisasi

Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Kehilangan kemampuan untuk
bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan
(Ambarwati, 2014). Menurut Hidayat, (2009) Mobilisasi atau mobilitas merupakan kemampuan
individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.

2. Jenis Mobilitas

Menurut Hidayat (2009), ada 2 jenis mobilitas yaitu :

a. Mobilitas Penuh

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat
melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari–hari. Mobilitas penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu
bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area
tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi.
Pasien para plegi dapat mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena
kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
a) Mobilitas sebagian temporer

Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yangsifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskletal, contohnya adalah
adanya sendidan tulang.
b) Mobilitas sebagian permanen

Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia
karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem
saraf motorik dan sensorik.

3. Tujuan Mobilisasi

Menurut Ambarwati, 2014 mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan


kemandirian diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit khususnya penyakit
degeneratif, dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan citra tubuh).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas

Menurut Hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya :

a. Gaya Hidup

Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup
berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari–hari. Hal ini terjadi karena adanya perubahan
gaya hidup terutama orang muda perkotaan modern, seperti mengkonsumsi makanan siap saji
(fast food) yang mengandung kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman
beralkohol, kerja berlebihan, kurang berolahraga dan stres (Junaidi,2011).
b. Proses penyakit / cedera

Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat memengaruhi fungsi
sistem tubuh.

c. Kebudayaan

Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang
yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya
ada orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang
untuk beraktivitas.
d. Tingkat energy

Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan mobilitas
dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.

e. Usia dan Status Perkembangan

Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan
kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia. Semakin
bertambahnya usia, semakin besar pula risiko terjadinya stroke. Hal ini terkait dengan proses
degenerasi (penuaan) yang terjadi secara alamiah. Pada orang orang-orang lanjut usia, pembuluh
darah lebih kaku karena banyak penimbunan plak. Penimbunan plak yang berlebih akan
mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke tubuh termasuk otak (Ambarwati,
2014).Sedangkan menurut Vaughans, 2011 faktor – faktor yang memengaruhi mobilitas yaitu :

a. Tahap pertumbuhan

b. Jenis pekerjaan

c. Lingkungan rumah

d. Status kesehatan secara keseluruhan (gizi, olah raga, status mental)

e. Intervensi terapeutik

f. Luka traumatis

g. Penyakit atau cacat (muskuloskletal, neurologis, kardiovaskuler, pernapasan).

5. Pengertian Gangguan Mobilitas Fisik Hambatan mobilitas fisik adalah keadaan dimana
seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan
(aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ekstremitas dan faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas (Heriana, 2014).
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurafif & Hardi, 2015). Menurut Nanda, 2011 hambatan
mobilitas fisik merupakan keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah. Menurut Atoilah, 2013, secara umum ada beberapa
macam keadaan imobilitas antara lain :

a. Imobilitas fisik, yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami pembatasan fisik yang
disebabkan oleh faktor lingkungan maupun oleh keadaan orang tersebut.

b. Imobilitas intelektual, disebabkan kurang pengetahuan untuk dapat berfungsi sebagaimana


mestinya. Ini terjadi misalnya pada kerusakan otak karena proses penyakit atau kecelakaan serta
pada pasien tradisi mental.

c. Imobilitas emosional, yang dapat terjadi akibat pembedahan atau kehilangan seseorang yang
dicintai.

d. Imobilitas sosial, yang dapat menyebabkan perubahan interaksi social yang sering terjadi
akibat penyakit.

6. Penyebab Hambatan Mobilitas Fisik

Keletihan dan kelemahan menjadi penyebab paling umum yang sering terjadi dan menjadi
keluhan bagi lanjut usia. Sekitar 43% lanjut usia telah diidentifikasi memiliki gaya hidup kurang
gerak yang turut berperan terhadap intoleransi akivitas fisik dan penyakit, sekitar 50% penurunan
fungsional pada lanjut usia dikaitkan dengan kejadian penyakit sehingga mengakibatkan
mereka menjadi ketergantungan kepada orang lain (Stanley dan Beare, 2007).
Berdasarkan Nursing Outcome Classification and Nursing Intervension Classification (NOC &
NIC) 2015 adalah pasien mengalami kesulitan dalam membolak-balik posisi, keterbatasan dalam
kemampuan melakukan keterampilan motorik dan keterbatasan rentang pergerakan sendi.
Menurut Mubarak (2014) kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan
dan ini membutuhkan tindakan keperawatan
7. Faktor -Faktor Yang Berpengaruh Pada Mobilitas Fisik

Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan internal dan
eksternal (Stanley dan Beare, 2007):

1) Faktor Internal

Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas adalah:

a) Penurunan fungsi muskuloskeletal: Otot (adanya atrofi, distrofi, atau


cedera), tulang (adanya infeksi, fraktur, tumor, osteoporosis, atau osteomalaisa, Sendi (adanya
artritis dan tumor)

b) Perubahan fungsi neurologis: misalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-
obatan, penyakit vaskuler seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit
degeneratif,terpajan produk racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.

c) Nyeri: dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis dan trauma.

d) Defisit perseptual: berkurangnya kemampuan kognitif

e) Jatuh

f) Perubahan fungsi social

g) Aspek psikologis

2) Faktor Eksternal

Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut adalah:

a) Program terapeutik: Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya padaprogram pembatasan yang meliputi
faktor-faktor mekanis dan farmakologis, tirah baring, dan restrain.

1) Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau bagian tubuh dengan
penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan traksi) atau alat-alat (misalnya yang
dihubungkan dengan pemberian cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan
pemberian oksigen).

2) Agens farmakologik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi yang digunakan
untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi pergerakan atau menghilangkannya
secara keseluruhan.

3) Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan penyakit cedera.
Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan
oksigen, dan beban kerja jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem
muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi yang berlebihan dari
jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah baring dapat juga merupakan
akibat dari faktor-faktor fisiologis atau psikologis.

4) Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada lansia yang
diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara langsung terhadap imobilitas dengan
membatasi pergerakan ditempat tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko
cedera ketika seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.

b) Karakteristik tempat tinggal: tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya
klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam suatu studi tentang status
mobilitas pada penghuni panti jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk
menggunakan kursi roda karena anggapan para staf untuk penghuni yang pasif.
c) karakteristik staf: Karakteristik dari staf keperawatan yang mempengaruhi pola mobilitas
adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi
fisiologis dari imobilitas dan tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan
pengaruh imobilitas penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan
mobilitas. Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong lansia
mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah komplikasi imobilitas.

d) Sistem pemberian asuhan keperawatan: jenis sitem pemberian asuhan keperawatan yang
digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik
fungsional atau tugas telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi
dari imobilitas.
e) Hambatan – hambatan: Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan
fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam
menggunakan alat bantu mobilitas tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya
sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak
memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.

f) Kebijakan - kebijakan institusional: faktor lingkungan lain yang penting untuk lansia adalah
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur institusi. Praktik pengaturan yang formal dan
informal ini mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional dan kebebasan individu.
Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas. Menurut NANDA (2015)
kriteria hasil yang diharapkan setelah melakukan tindakan keperawatan untuk diagnosa mobilitas
fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot adalah klien meningkat
dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilisasi, memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah, memperagakan penggunaan alat
bantu untuk mobilisasi (walker).

8. Jenis Imobilitas

Menurut Hidayat (2009), ada beberapa jenis imobilitas diantaranya, yaitu :

1. Imobilitas fisik

Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya
gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan didaerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya
untuk mengurangi tekanan.

2. Imobilitas intelektual

Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien
yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

3. Imobilitas emosional

Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba – tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan
karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau
kehilangan sesuatu yang paling dicintai

4. Imobilitas social

Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan
penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

9. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilitas

Dampak dari imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada
metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi,
gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernapasan, perubahan kardiovaskuler,
perubahan system muskuloskletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan
kecil), perubahan perilaku (Hidayat, 2009).

a. Perubahan Metabolisme

Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,


mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme dalam tubuh. Hal
tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism rate (BMR) yang menyebabkan
berkurangnya energy untuk perbaikan sel – sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan
oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses anabolisme
menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat beresiko meningkatkan gangguan
metabolisme. Proses imobilitas dapat juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan
peningkatan nitrogen. Hal tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami
imobilitas pada hari kelima atau keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, diantaranya
adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjer dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat
gizi, dan gangguan gastrointestinal.

b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit

Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilitas akan
mengakibatkan persendian protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga
dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Disamping itu, berkurangnya perpindahan cairan
dari intravaskuler ke interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbngan
cairan dan elektrolit. Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang akibat
menurunnya aktivitas otot, sedangkan meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan
reabsorbsi kalium.

c. Gangguan Pengubahan Zat Gizi

Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya


pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat – zat makanan pada tingkat
sel menurun, dimana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen dalam
jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.

d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal

Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena
imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan
yang cukup dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.

e. Perubahan Sistem Pernapasan

Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat imobilitas, kadar


haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat
menyebabkan proses metabolism terganggu. Terjadinya penurunan kadar haemoglobin dapat
menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan
anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh permukaan
paru.

f. Perubahan kardiovaskular

Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik,
meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya hipotensi
ortostatik dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap
dan lama, refleks neurovaskular akan menurun dan menyebabkan vasokonstriksi, kemudian
darah terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat
terhambat. Meningktanya kerja jantung dapat disebabkan karena imobilitas dengan posisi
horizontal. Dalam keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstremitas bawah
bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali kejantung dan akhirnya jantung akan
meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh meningktanya vena statis yang
merupakan hasil penurunan kontraksi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.

g. Perubahan Sistem Muskuloskletal Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskletal


sebagai dampak dari imobilitas adalah sebagai berikut :

1. Gangguan muskular. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat menyebabkan
turunnya kekuatan otot secara lansung. Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan
menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot.
Sebagai conoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan
lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.

2. Gangguan skletal. Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal, misalnya
akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang
abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang
tidak berfungsi. Osteoporosis terjadi karena reabsobsi tulang semakin besar, sehingga yang
menyebabkan jumlah kalsium kedalam darah menurun dan jumlah kalsium yang
dikeluarkan melalui urine semakin besar. h. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas
kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas dan terjadinya iskemia serta nekrosis
jaringan superfisial dengan adanya luka decubitus sebagai akibat tekanan kulit yang kuat dan
sirkulasi yang menurun kejaringan.Menurut Asmadi (2008), imobilisasi yang lama dapat
menyebabkan kerusakan integritas kulit

i. Perubahan Eliminasi

Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang mungkin disebabkan oleh
kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah renal dan urine berkurang.
j. Perubahan Prilaku

Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya rasa


bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan menurunnya
koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilitas
karena selama proses imobilitas seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri,
kecemasan, dan lain – lain.

Menurut Tarwoto (2011) pasien dengan gangguan mobilisasi akan


mengalami defisit perawatan diri yang ditandai dengan gangguan neuromuskular, menurunnya
kekuatan otot, menurunnya kontrol otot dan koordinasi serta gangguan fisik

10. Penatalaksanaan Gangguan Mobilisasi Secara Umum

Menurut Saputra (2013), ada beberapa penatalaksanaan gangguan mobilisasi secara umum
diantaranya, yaitu :

1) Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien

Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan dengan
tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent, lithotomi, dan
genu pectoral.

a. Posisi Fowler

Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di mana


bagian kepala tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
Cara :

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Dudukkan pasien

c) Berikan sandaran / bantal pada tempat tidur pasien atau atur tempat
tidur, untuk posisi semifowler (30-45 derajat) dan untuk fowler (90 derajat).
d) Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk.

b. Posisi Sim

Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini
dilakukan untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria).
Cara :

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Pasien dalam keadaan berbaring, kemudian miringkan ke kiri dengan posisi badan setengah
telungkup dan kaki kiri lurus lutut. Paha kanan ditekuk kearah ke dada.

c) Tangan kiri diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan kanan diatas tempat tidur.

d) Bila pasien miring ke kanan dengan posisi badan setengah telungkup dan kaki kanan lurus,
lutut dan paha kiri ditekuk diarahkan ke dada.

e) Tangan kanan diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan kiri diatas tempat tidur.

c. Posisi Trendelenburg

Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada
bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak.
Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Pasien dalam keadaan berbaring telentang, letakkan bantal diantara kepala dan ujung tempat
tidur pasien, dan berikan bantal di bawah lipatan lutut.

c) Berikan balok penopang pada bagian kaki tempat tidur atau atur tempat tidur khusus dengan
meninggalkan bagian kaki pasien.

d. Posisi Dorsal Recumbent


Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau direnggangkan)
di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan memeriksa genitalia serta pada
proses persalinan.

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Pasien dalam keadaan berbaring telentang, pakai bawah dibuka.

c) Tekuk lutut, renggangkan paha, telapak kaki menghadap ke tempat


tidur, dan renggangkan kedua kaki

d) Pasang selimut

e. Posisi Lithotomi

Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua


kaki dan menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia pada
proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Pasien dalam keadaan berbaring, telentang, kemudian angkat kedua pahanya dan tarik ke arah
perut.

c) Tungkai bawah membentuk sudut 90 derajat terhadap paha

d) Letakkan bagian lutut/kaki pada tempat tidur khusus untuk posisi lithotomi

e) Pasang selimut

f. Posisi Genu Pectoral

Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kki ditekuk dan dada
menempel pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum
dan sigmoid.
Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Anjurkan pasien untuk posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada kasur tempat tidur.

c) Pasang selimut pada pasien

2) Latihan ROM Pasif dan Aktif

Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit, diabilitas, atau


trauma memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi (2011)
setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah stabil baru diperbolehkan dilakukannya
mobilisasi.
Latihan berikut dilakukan untuk memelihara dan mempertahankan kekuatan otot serta
memelihara mobilitas persendian.

a. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Tangan

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Atur posisi lengan pasin dengan menjauhi sisi tubuh dan siku menekuk dengan lengan

c) Pegang tangan pasien dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang pergelangan tangan
pasien

d) Tekuk tangan pasien ke depan sejauh mungkin

e) Catat perubahan yang terjadi

b. Fleksi dan Ekstensi Siku

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan


b) Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh dengan
telapak mengrah ke tubuhnya

c) Letakkan tangan diatas siku pasien dan pegang tangannya degan


tangan lainnya

d) Tekuk siku pasien sehingga tangannya mendekat bahu

e) Lakukan dan kembalikan ke posisi sebelumnya

f) Catat perubahan yang terjadi

c. Pronasi dan Supinasi Lengan Bawah

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Atur posisi lengan bawah menjauhi tubuh pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya.

c) Letakkan satu tangan perawat pada pergelangan pasien dan pegang tangan pasien dengan
tangan lainnya

d) Putar lengan bawah pasien sehingga telapaknya menjauhinya


e) Kembalikan ke posisi semula.

f) Putar lengan bawah pasien sehingga telapak tangannya menghadap


ke arahnya.

g) Kembalikan ke posisi semula

h) Catat perubahan yang terjadi

d. Pronasi Fleksi Bahu

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan


b) Atur posisi tangan pasien di sisi tubuhnya

c) Letakkan satu tangan perawat di atas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya

d) Angkat lengan pasien pada posisi semula

e) Catat perubahan yang terjadi

e. Abduksi dan Adduksi

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Atur posisi lengan pasien disamping badannya

c) Letakkan satu tangan perawat di atas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya

d) Gerakan lengan pasien menjauh dari tubuhnya ke arah perawat

e) Kembalikan ke posisi semula

f) Catat perubahan yang terjadi

f. Rotasi Bahu

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Atur posisi lengan pasien menjauhi tubuh dengan siku menekuk

c) Letakkan satu tangan perawat di lengan ats pasien dekat siku dan pegang tangan pasien
dengan tangan yang lain

d) Gerakkan lengan bawah ke bawah sampai menyentuh tempat tidur,


telapak tangan menghadap ke bawah
e) Kembalikan ke posisi semula

f) Gerakkan lengan bawah ke belakang sampai menyentuh tempat


tidur, telapak tangan menghadap ke atas

g) Kembalikan lengan ke posisi semula

h) Catat perubahan yang terjadi

g. Fleksi dan Ekstensi Jari – jari

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Pegang jari-jari kaki pasien dengan satu tangan sementara tangan


lain memegang kaki

c) Bengkokkan (tekuk) jari-jari kaki ke bawah

d) Luruskan jari-jari kemudian dorong kebelakang

e) Kembalikan ke posisi semula

f) Catat perubahan yang teradi

h. Infersi dan Efersi Kaki

Cara:
a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Pegang separuh bagian atas kaki pasien dengan satu jari dan
pegang pergelangan kaki dengn tangan satunya

c) Putar kaki ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki


lainnya

d) Kembalikan ke posisi semula


e) Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki yang
lain

f) Kembalikan ke posisi semula

g) Catat perubahan yang terjadi

i. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Kaki

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Letakkan satu tangan perawat pada telapak kaki pasien dan satu tangan yang lain diatas
pergelangan kaki. Jaga kaki lurus dan rileks

c) Tekuk pergelangan kaki, arahkan jari – jari kaki ke arah dada


pasien

d) Kembalikan ke posisi semula

e) Tekuk pergelangan kaki menjauh dada pasien

f) Catat perubahan yang terjadi

j. Fleksi dan Ekstensi Lutut

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Letakkan atu tangan di bawah lutut pasien dan pegang tumit pasien
dengan tangan yang lain

c) Angkat kaki, tekuk pada lutut dan pangkal paha

d) Lanjutkan menekuk lutut ke arah dada sejauh mungkin

e) Ke bawahkan kaki dan luruskan lutut dengan mengangkat kaki ke


atas
f) Kembalikan ke posisi semula

g) Catat perubahan yang terjadi

k. Rotasi Pangkal Paha

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Letakkan satu tangan perawat pada pergelangan kaki dan satu tangan yang lain di atas lutut

c) Putar kaki menjauhi perawat

d) Putar kaki ke arah perawat

e) Kembalikan ke posisi semula

f) Catat perubahan yang terjadi

l. Abduksi dan Adduksi Pangkal Paha

Cara:

a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b) Letakkan satu tangan perawat di bawah lutut pasien dan satu tangan pada tumit

c) Jaga posisi kaki pasien lurus, angkat kaki kurang lebih 8 cm dari tempat tidur, gerakkan kaki
menjauhi badan pasien

d) Gerakkan kaki mendekati badan pasien

e) Kembalikan ke posisi semula

f) Catat perubahan yang terjadi

3) Latihan Ambulasi

a. Duduk diatas tempat tidur


Prosedur kerja :

a) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien

b) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badannya dengan telapak tangan
menghadap kebawah

c) Berdirilah disamping tempat tidur dan letakkan tangan pada bahu pasien

d) Bantu pasien untuk duduk dan beri penompang atau bantal

b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk dikursi roda Prosedur kerja :

a) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien

b) Pasang kunci kursi roda

c) Berdirilah menghadap pasien dengan kadua kaki merenggang

d) Tekuk sedikit lutut dan pinggang anda

e) Anjurkan pasien untuk meletakkan kedua tangannya dibahu anda

f) Letakkan kedua tangan anda disamping kanan dan kiri pinggang pasien

g) Ketika kaki pasien menapak dilantai, tahan lutut anda pada lutut pasien

h) Bantu pasien duduk dikursi roda dan atur posisi agar nyaman

c. Membantu berjalan

Prosedur kerja :

a) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien

b) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badan atau memegang telapak tangan
anda

c) Berdiri disamping pasien dan pegang telapak tangan dan lengan bahu pasien

d) Bantu pasien berjalan


11. Hubungan stroke non hemoragik dengan gangguan mobilitas fisik

Stroke iskemik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya


serangkaian perubahan dalam otak yang terserang yang apabila tidak ditangani dengan segera
berakhir dengan kematian batang otak tersebut. Stroke iskemik terjadi bila suplai darah ke otak
terhambat atau terhenti. Walaupun berat otak hanya sekitar 1400 gram, namun menuntut suplai
darah yang relatif sangat besar yaitu sekitar 20% dari seluruh curah jantung.
Kegagalan dalam memasok darah akan menyebabkan gangguan fungsi bagian otak atau yang
terserang atau terjadi kematian sel saraf (nekrosis) dan kejadian inilah yang lazim disebut stroke
(Junaidi, 2011).Menurut Bararah, 2013 stroke iskemik merupakan aliran darah ke otak
terhenti karene arterosklerotik atau bekuan darah yang menyumbat pembuluh darah.
Menurut Widagdo (2008), proses terjadinya hambatan mobilitas fisik pada pasien stroke non
hemoragik adalah sebagai berikut : Stroke non hemoragic disebabkan oleh thrombosis akibat
plak aterosklerosis yang memberi vakularisasi pada otak atau oleh emboli dari pembuluh darah
diluar otak yang tersangkut diarteri otak yang secara perlahan akan memperbesar ukuran plak
sehingga terbentuk thrombus. Trhombus dan emboli didalam darah akan terlepas dan terbawa
hingga terperangkap dalam pembuluh darah distal, lalu menyebabkan pengurangan
aliran darah yang menuju ke otak sehingga sel otak akan mengalami kekurangan nutrisi dan juga
oksigen, sel otak yang mengalami kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan asidosis
lalu asidosis akan mengakibatkan natrium, klorida, dan air masuk kedalam sel otak dan kalium
meninggalkan sel otak sehingga terjadi edema setempat. Kemudian kalsium
akan masuk dan memicu serangkaian radikal bebas sehingga terjadi perusakan membran sel lalu
mengkerut dan tubuh mengalami defisit neurologis lalu mati. Ketidakefektifan perfusi jaringan
yang disebabkan oleh thrombus dan emboli akan menyebabkan iskemia pada jaringan yang tidak
dialiri oleh darah, jika hal ini berlanjut terus – menerus maka jaringan tersebut akan mengalami
infark. Dan kemudian akan mengganggu sistem persyarafan yang ada ditubuh seperti :
penurunan kontrol volunter yang akan menyebabkan hemiplagia atau hemiparise sehingga tubuh
akan mengalami hambatan mobilitas, karena hambatan mobilitas fisik, klien hanya tidur
ditempat tidur, dan jika tidak dilakukan pengubahan posisi, lama kelamaan klien akan
mengalami resiko kerusakan integritas kulit, resiko jatuh juga bisa terjadi karena pasien
mengalami hambatan mobiltas fisik. Menurut Wilkinson (2013), resiko jatuh merupakan
peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat menyebabkan bahaya fisik, defisit perawatan
diri karena tidak bisa menggerakkan tubuh untuk merawat diri sendiri. Defisit neurologis juga
akan menyebabkan gangguan pencernaan sehingga mengalami disfungsi kandung kemih dan
saluran pencernaan lalu akan mengalami gangguan eliminasi. Karena ada penurunan konrol
volunter maka kemampuan batuk juga akan berkurang dan mengakibatkan penumukan sekret
sehingga pasien akan mengalami gangguan jalan napas dan pasien kemungkinan tidak mampu
menggerakkan otot –otot untuk bicara sehingga pasien mengalami gangguan komunikasi verbal
berupa disfungsi bahasa dan komunikasi.

B. Konsep asuhan keperawatan pada pasien stroke dengan gangguan mobilitas fisik

Menurut Hidayat, 2009 konsep asuhan keperawatan pada pasien stroke non hemoragik dengan
gangguan mobilitas fisik adalah sebagai berikut :

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian pada masalah pemenuhan kebutuhan mobilitas dan imobilitas pada pasien stroke
adalah sebagai berikut :

a. Identitas Klien

Identitas klien yang perlu dikaji meliputi nama, jenis kelamin, tanggal lahir, nomor register, usia,
agama, alamat, status perkawinan, pekerjaan, dan tanggal masuk rumah sakit.

b. Identitas Penanggungjawab

Identitas penanggungjawab yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pekerjaan, alamat, dan
hubungan dengan klien.

c. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama

Gejala yang menjadi keluhan utama pada pasien Stroke non hemoragik adalah lemah sebelah
anggota gerak yang timbul mendadak, dan sakit kepala (Bararah & Jauhar, 2013).
2) Riwayat kesehatan sekarang

Keluhan yang muncul pada pasien Stroke non hemoragik dengan masalah gangguan mobilitas
fisik pada saat dikaji adalah adanya lemah sebelah anggota gerak, bicara kurang jelas, dan nyeri
dikepala.

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Biasanya klien dengan penyakit Stroke non hemoragik memiliki kebiasan atau pola hidup yang
kurang sehat seperti gaya hidup merokok, memakan makanan yang mengandung garam, makan
makanan yang bersantan dan berminyak, adanya riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus,
anemia, riwayat trauma kepala, riwayat jatuh, penyakit kardiovaskuler (Widagdo, dkk, 2008).

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Perlu dikaji adanya riwayat keluarga yang memiliki penyakit keturunan seperti adanya riwayat
jantung, hipertensi, DM. Sesuai dengan etiologi yang dikemukakan dalam Padila (2012), yaitu
salah satu faktor pencetus timbulnya penyakit stroke yaitu faktor genetik atau keturunan. Faktor
pencetus tersebut merupakan faktor yang tidak dapat diubah oleh pasien.

d. Pola pengkajian ADL menurut Potter & Perry, 2012 sebagai berikut :

1) Pola Nutrisi

Biasanya mengalami penurunan nafsu makan, mual muntah, kehilangan sensasi pada lidah

2) Pola aktivitas dan latihan

Biasanya tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan dirisecara mandiri karena
kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami gangguan koordinasi, gangguan
keseimbangan mudah lelah. Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut
jantung menjadi lebih tinggi sehingga otot jantung harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering memompa,
maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan tekanan
darah meningkat (Potter & Perry, 2012).
3) Pola tidur dan istirahat

Biasanya lebih banyak tidur dan istirahan karena semua system tubuhnya akan mengalami
penurunan kerja dan penurunan kesadaran sehingga lebih banyak diam.

4) Pola eliminasi

Biasanya terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas dan pengontrolan urinasi
menurun, biasanya terjadi konstipasi dandiare akibat impaksi fekal.

e. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum : Biasanya pasien sadar, terkadang sedikit gelisah

2) Tingkat kesadaran : Biasanya Composmentis (dengan GCS 14–15)

3) TTV

a) TD : Bisa terjadi hipotensi atau hipertensi

b) N : Biasanya terjadi perubahan denyut nadi

c) RR : Biasanya pasien bisa sesak

d) S : Bisa terjadi hipotermia atau hipertermia

4) Kepala : Normachepal

5) Wajah : Biasanya simetris, wajah pucat.

6) Mata : Biasanya sklera ikhterik, reflek pupil negatif, konjungtiva anemis, penglihatan
berkurang.

7) Mulut dan bibir : Biasanya sianosis, mukosa bibir kering, stomatitis, mengalami gangguan
pengecapan, reflek mengunyah dan menelan buruk, dan bibir tidak simetris.

8) Hidung : Biasanya terjadi gangguan penciuman.

9) Telinga : Biasanya ada gangguan pendengaran.


10) Leher : Biasanya ada gangguan menelan.

11) Thoraks

a) Paru-paru

(1) Inspeksi : Biasanya simetris kiri dan kanan

(2) Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan

(3) Perkusi : Biasanya sonor

(4) Auskultasi: Suara napas bisa normal (vesikuler) atau tidak normal (seperti ronkhi,).

b) Jantung

(1) Inspeksi : Biasanya iktus tidak terlihat

(2) Palpasi : Biasanya iktus teraba di Ric 4

(3) Perkusi : Biasanya batas jantung normal

(4) Auskultasi : biasanya suara vesikuler

12) Abdomen

a) Inspeksi : Biasanya simetris, tidak ada asites

b) Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar

c) Perkusi : Biasanya thympani

d) Auskultasi : Biasanya bising usus hiperaktif

13) Genitalia dan anus : Klien dengan Stroke non hemoragik biasanya akan mengalami masalah
dalam proses eliminasi (BAB dan BAK) sehingga pasien harus dipasang kateter.

14) Ekstremitas : Lemah anggota gerak dengan kekuatan otot biasanya 2 sampai 3, akral teraba
hangat, CRT < 2 dtk
f. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Digiulio & Jackson, 2007 pemeriksaan diagnostik yang


dilakukan adalah :

1. CT scan mengidentifikasi area pendarahan

2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi lokasi ischemic (lebih lambat dari pada
CT scan).

g. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, Leukosit, Trombosit, Eritrosit. Hal ini berguna untuk
mengetahui apakah pasien menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem imun
pasien. Bila kadar leukosit diatas normal, berarti ada penyakit infeksi yang sedang
menyerang pasien.

b. Test kimia darah

Cek darah ini untuk melihat kandungan gula darah, kolesterol, asam urat, dll. Apabila kadar gula
darah atau kolesterol berlebih, bisa menjadi pertanda pasien sudah menderita diabetes dan
jantung. Kedua penyakit ini termasuk ke dalam salah satu pemicu stroke

2. Diagnosa Keperawatan / kemungkinan masalah

Berdasarkan Nanda 2015 – 2017

a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot

b. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan kelemahan

c. Resiko kerusakan integritas kulit

d. Resiko Jatuh

Anda mungkin juga menyukai