Oleh :
SISKA TERIANA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan dasar menurut Handerson salah satunya adalah bergerak dan mempertahankan
posisi yang dikehendaki (mobilisasi). Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan
tindakan keperawatan (Ambarwati, 2014). Sedangkan gangguan mobilitas fisik adalah
keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai
fraktur pada ekstremitas dan faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas (Heriana,
2014). Faktor yang mempengaruhi mobilisasi yaitu gaya hidup.
Mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai – nilai yang dianut,
serta lingkungan tempat tinggal. Selanjutnya ketidakmampuan, kelemahan fisik dan
mental akan menghalangi seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari–hari. Adapun faktor
yang dapat mempengaruhi mobilisasi yaitu tingkat energy dan usia. Energi dibutuhkan untuk
banyak hal, salah satunya mobilisasi dan usia juga berbengaruh terhadap kemampuan seseorang
dalam melakukan mobilisasi pada individu lansia, kemampuan untuk melakukan aktivitas atau
mobilisasi menurun sejalan dengan penuaan (Ambarwati, 2014). Dampak dari imobilitas dalam
tubuh dapat mempengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolism
tubuh,ketidakseimbngan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan
fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernapasan, perubahan system muskuloskletal,
perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil), dan perubahan prilaku
(Hidayat, 2009). Salah satu dampak imobilitas yang mempengaruhi tubuh yaitu perubahan pada
sistem muskuloskletal adalah osteoporosis (tulang menjadi rapuh dan mudah rusak), dan
penurunan kekuatan otot, karena otot tidak dipergunakan dalam waktu yang lama. Penurunan
kekuatan otot merupakan manifestasi dari hemiparesis (kelemahan pada salah satu sisi tubuh),
(Hidayat, 2009).
Penyakit– penyakit tertentu dan cidera yang berpanguh terhadap mobilitas dan aktivitas
adalah penyaki multiple aklerosis, fraktur, atau cidera pada urat saraf tulang belakang dan
penyakit stroke (Atoilah, 2013). Stroke merupakan penyakit neurologi yang dapat menyebabkan
gangguan fungsi gerak sehingga seseorang mengalami kelumpuhan (Junaidi, 2011). Stroke
umumnya diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu iskemik dan hemoragik (perdarahan).
Stroke iskemik terjadi akibat adanya sumbatan pada lumen pembuluh darah yang memunculkan
berbagai manifistasi klinis seperti kesulitan berbicara, kesulitan berjalan dan mengkoordinasikan
bagian–bagian tubuh, sakit kepala,kelemahan otot wajah, gangguan penglihatan,gangguan
sensori, gangguan pada proses berpikir dan hilangnya control terhadap gerakan motorik yang
secara umum dapat dimanifistasikan dengan disfungsi motorik seperti hemiplegi (paralisis pada
salah satu sisi tubuh) atau hemiparesis (kelemahan yang terjadi pada satu sisi tubuh) (Widagdo,
dkk,2008).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke di Ruang Bangsal
Melati RSUD Bangil ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
a.Dideskripsikan hasil pengkajian asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien
stroke non hemoragik di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.
c.Dideskripsikan hasil perencanaan asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien
stroke di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.
d.Dideskripsikan hasil tindakan asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke
di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.
e.Dideskripsikan hasil ipsikan hasil evaluasi asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada
pasien stroke di Ruang Bangsal Melati RSUD Bangil.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
menambah wawasan dan pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan gangguan
mobilitas fisik pada pasien stroke.
Sebagai masukan bagi petugas kesehatan dalam meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan,
terutama dalam asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke di Ruang
Bangsal Melati RSUD Bangil.
3. Institusi Pendidikan
diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran untuk pengembangan dalam penerapan asuhan
keperawatan gangguan mobilitas fisik pada pasien stroke.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Mobilisasi
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan
mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Kehilangan kemampuan untuk
bergerak menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan
(Ambarwati, 2014). Menurut Hidayat, (2009) Mobilisasi atau mobilitas merupakan kemampuan
individu untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya.
2. Jenis Mobilitas
a. Mobilitas Penuh
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat
melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari–hari. Mobilitas penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu
bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area
tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi.
Pasien para plegi dapat mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena
kehilangan kontrol motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
a) Mobilitas sebagian temporer
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yangsifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskletal, contohnya adalah
adanya sendidan tulang.
b) Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia
karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem
saraf motorik dan sensorik.
3. Tujuan Mobilisasi
Menurut Hidayat (2009), mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya :
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas seseorang karena gaya hidup
berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari–hari. Hal ini terjadi karena adanya perubahan
gaya hidup terutama orang muda perkotaan modern, seperti mengkonsumsi makanan siap saji
(fast food) yang mengandung kadar lemak tinggi, kebiasaan merokok, minuman
beralkohol, kerja berlebihan, kurang berolahraga dan stres (Junaidi,2011).
b. Proses penyakit / cedera
Proses penyakit dapat memengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat memengaruhi fungsi
sistem tubuh.
c. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang
yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat, sebaliknya
ada orang yang mengalami gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang
untuk beraktivitas.
d. Tingkat energy
Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar seseorang dapat melakukan mobilitas
dengan baik, dibutuhkan energi yang cukup.
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda. Hal ini dikarenakan
kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan dengan perkembangan usia. Semakin
bertambahnya usia, semakin besar pula risiko terjadinya stroke. Hal ini terkait dengan proses
degenerasi (penuaan) yang terjadi secara alamiah. Pada orang orang-orang lanjut usia, pembuluh
darah lebih kaku karena banyak penimbunan plak. Penimbunan plak yang berlebih akan
mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke tubuh termasuk otak (Ambarwati,
2014).Sedangkan menurut Vaughans, 2011 faktor – faktor yang memengaruhi mobilitas yaitu :
a. Tahap pertumbuhan
b. Jenis pekerjaan
c. Lingkungan rumah
e. Intervensi terapeutik
f. Luka traumatis
5. Pengertian Gangguan Mobilitas Fisik Hambatan mobilitas fisik adalah keadaan dimana
seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan
(aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada
ekstremitas dan faktor yang berhubungan dengan hambatan mobilitas (Heriana, 2014).
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurafif & Hardi, 2015). Menurut Nanda, 2011 hambatan
mobilitas fisik merupakan keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah. Menurut Atoilah, 2013, secara umum ada beberapa
macam keadaan imobilitas antara lain :
a. Imobilitas fisik, yaitu suatu keadaan dimana seseorang mengalami pembatasan fisik yang
disebabkan oleh faktor lingkungan maupun oleh keadaan orang tersebut.
c. Imobilitas emosional, yang dapat terjadi akibat pembedahan atau kehilangan seseorang yang
dicintai.
d. Imobilitas sosial, yang dapat menyebabkan perubahan interaksi social yang sering terjadi
akibat penyakit.
Keletihan dan kelemahan menjadi penyebab paling umum yang sering terjadi dan menjadi
keluhan bagi lanjut usia. Sekitar 43% lanjut usia telah diidentifikasi memiliki gaya hidup kurang
gerak yang turut berperan terhadap intoleransi akivitas fisik dan penyakit, sekitar 50% penurunan
fungsional pada lanjut usia dikaitkan dengan kejadian penyakit sehingga mengakibatkan
mereka menjadi ketergantungan kepada orang lain (Stanley dan Beare, 2007).
Berdasarkan Nursing Outcome Classification and Nursing Intervension Classification (NOC &
NIC) 2015 adalah pasien mengalami kesulitan dalam membolak-balik posisi, keterbatasan dalam
kemampuan melakukan keterampilan motorik dan keterbatasan rentang pergerakan sendi.
Menurut Mubarak (2014) kehilangan kemampuan untuk bergerak menyebabkan ketergantungan
dan ini membutuhkan tindakan keperawatan
7. Faktor -Faktor Yang Berpengaruh Pada Mobilitas Fisik
Berbagai penyebab dari imobilitasi fisik dapat dihubungkan dengan lingkungan internal dan
eksternal (Stanley dan Beare, 2007):
1) Faktor Internal
Faktor internal yang dapat menyebabkan imobilitas atau gangguan aktivitas adalah:
b) Perubahan fungsi neurologis: misalnya adanya infeksi atau ensefalitis, tumor, trauma, obat-
obatan, penyakit vaskuler seperti stroke, penyakit demielinasi seperti sklerosis multiple, penyakit
degeneratif,terpajan produk racun, gangguan metabolik atau gangguan nutrisi.
c) Nyeri: dengan penyebab yang multiple dan bervariasi seperti penyakit kronis dan trauma.
e) Jatuh
g) Aspek psikologis
2) Faktor Eksternal
Banyak faktor eksternal yang mengubah mobilitas pada lansia. Faktor tersebut adalah:
a) Program terapeutik: Program penanganan medis memiliki pengaruh yang kuat terhadap
kualitas dan kuantitas pergerakan pasien. Misalnya padaprogram pembatasan yang meliputi
faktor-faktor mekanis dan farmakologis, tirah baring, dan restrain.
1) Faktor-faktor mekanis dapat mencegah atau pergerakan tubuh atau bagian tubuh dengan
penggunaan peralatan eksternal (misalnya gips dan traksi) atau alat-alat (misalnya yang
dihubungkan dengan pemberian cairan intravena, pengisapan gaster, kateter urine, dan
pemberian oksigen).
2) Agens farmakologik seperti sedatif, analgesik, transquilizer, dan anastesi yang digunakan
untuk mengubah tingkat kesadaran pasien dapat mengurangi pergerakan atau menghilangkannya
secara keseluruhan.
3) Tirah baring dapat dianjurkan atau merupakan akibat dari penanganan penyakit cedera.
Sebagai intervensi yang dianjurkan, istirahat dapat menurunkan kebutuhan metabolik, kebutuhan
oksigen, dan beban kerja jantung. Selain itu, istirahat dapat memberikan kesempatan pada sistem
muskuloskeletal untuk relaksasi menghilangkan nyeri, mencegah iritasi yang berlebihan dari
jaringan yang cedera, dan meminimalkan efek gravitasi. Tirah baring dapat juga merupakan
akibat dari faktor-faktor fisiologis atau psikologis.
4) Restrain fisik dan pengamanan tempat tidur biasanya digunakan pada lansia yang
diinstitusionalisasi. Alat-alat ini turut berperan secara langsung terhadap imobilitas dengan
membatasi pergerakan ditempat tidur dan secara tidak langsung terhadap peningkatan resiko
cedera ketika seseorang berusaha untuk memperoleh kebebasan dan mobilitasnya.
b) Karakteristik tempat tinggal: tingkat mobilitas dan pola perilaku dari kelompok teman sebaya
klien dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilakunya. Dalam suatu studi tentang status
mobilitas pada penghuni panti jompo, mereka yang dapat berjalan dianjurkan untuk
menggunakan kursi roda karena anggapan para staf untuk penghuni yang pasif.
c) karakteristik staf: Karakteristik dari staf keperawatan yang mempengaruhi pola mobilitas
adalah pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dan pemahaman tentang konsekuensi
fisiologis dari imobilitas dan tindakan-tindakan keperawatan untuk mencegah atau melawan
pengaruh imobilitas penting untuk mengimplementasikan perawatan untuk memaksimalkan
mobilitas. Jumlah anggota staf yang adekuat dengan suatu komitmen untuk menolong lansia
mempertahankan kemandiriannya harus tersedia untuk mencegah komplikasi imobilitas.
d) Sistem pemberian asuhan keperawatan: jenis sitem pemberian asuhan keperawatan yang
digunakan dalam institusi dapat mempengaruhi status mobilitas penghuninya. Alokasi praktik
fungsional atau tugas telah menunjukkan dapat meningkatkan ketergantungan dan komplikasi
dari imobilitas.
e) Hambatan – hambatan: Hambatan fisik dan arsitektur dapat mengganggu mobilitas. Hambatan
fisik termasuk kurangnya alat bantu yang tersedia untuk mobilitas, pengetahuan dalam
menggunakan alat bantu mobilitas tidak adekuat, lantai yang licin, dan tidak adekuatnya
sandaran untuk kaki. Sering kali, rancangan arsitektur rumah sakit atau panti jompo tidak
memfasilitasi atau memotivasi klien untuk aktif dan tetap dapat bergerak.
f) Kebijakan - kebijakan institusional: faktor lingkungan lain yang penting untuk lansia adalah
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur institusi. Praktik pengaturan yang formal dan
informal ini mengendalikan keseimbangan antara perintah institusional dan kebebasan individu.
Semakin ketat kebijakan, semakin besar efeknya pada mobilitas. Menurut NANDA (2015)
kriteria hasil yang diharapkan setelah melakukan tindakan keperawatan untuk diagnosa mobilitas
fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot adalah klien meningkat
dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilisasi, memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah, memperagakan penggunaan alat
bantu untuk mobilisasi (walker).
8. Jenis Imobilitas
1. Imobilitas fisik
Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya
gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan didaerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya
untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas intelektual
Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien
yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas emosional
Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba – tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan
karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau
kehilangan sesuatu yang paling dicintai
4. Imobilitas social
Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan
penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
Dampak dari imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan pada
metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi,
gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem pernapasan, perubahan kardiovaskuler,
perubahan system muskuloskletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan
kecil), perubahan perilaku (Hidayat, 2009).
a. Perubahan Metabolisme
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari imobilitas akan
mengakibatkan persendian protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga
dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Disamping itu, berkurangnya perpindahan cairan
dari intravaskuler ke interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbngan
cairan dan elektrolit. Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang akibat
menurunnya aktivitas otot, sedangkan meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan
reabsorbsi kalium.
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini disebabkan karena
imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan
yang cukup dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.
f. Perubahan kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik,
meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya hipotensi
ortostatik dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap
dan lama, refleks neurovaskular akan menurun dan menyebabkan vasokonstriksi, kemudian
darah terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem sirkulasi pusat
terhambat. Meningktanya kerja jantung dapat disebabkan karena imobilitas dengan posisi
horizontal. Dalam keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstremitas bawah
bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali kejantung dan akhirnya jantung akan
meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh meningktanya vena statis yang
merupakan hasil penurunan kontraksi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.
1. Gangguan muskular. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat menyebabkan
turunnya kekuatan otot secara lansung. Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan
menurunnya stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot.
Sebagai conoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan
lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.
2. Gangguan skletal. Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal, misalnya
akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. Kontraktur merupakan kondisi yang
abnormal dengan kriteria adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan
memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang
tidak berfungsi. Osteoporosis terjadi karena reabsobsi tulang semakin besar, sehingga yang
menyebabkan jumlah kalsium kedalam darah menurun dan jumlah kalsium yang
dikeluarkan melalui urine semakin besar. h. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas
kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas dan terjadinya iskemia serta nekrosis
jaringan superfisial dengan adanya luka decubitus sebagai akibat tekanan kulit yang kuat dan
sirkulasi yang menurun kejaringan.Menurut Asmadi (2008), imobilisasi yang lama dapat
menyebabkan kerusakan integritas kulit
i. Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang mungkin disebabkan oleh
kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehingga aliran darah renal dan urine berkurang.
j. Perubahan Prilaku
Menurut Saputra (2013), ada beberapa penatalaksanaan gangguan mobilisasi secara umum
diantaranya, yaitu :
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan dengan
tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent, lithotomi, dan
genu pectoral.
a. Posisi Fowler
b) Dudukkan pasien
c) Berikan sandaran / bantal pada tempat tidur pasien atau atur tempat
tidur, untuk posisi semifowler (30-45 derajat) dan untuk fowler (90 derajat).
d) Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk.
b. Posisi Sim
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini
dilakukan untuk memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria).
Cara :
b) Pasien dalam keadaan berbaring, kemudian miringkan ke kiri dengan posisi badan setengah
telungkup dan kaki kiri lurus lutut. Paha kanan ditekuk kearah ke dada.
c) Tangan kiri diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan kanan diatas tempat tidur.
d) Bila pasien miring ke kanan dengan posisi badan setengah telungkup dan kaki kanan lurus,
lutut dan paha kiri ditekuk diarahkan ke dada.
e) Tangan kanan diatas kepala atau dibelakang punggung dan tangan kiri diatas tempat tidur.
c. Posisi Trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada
bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak.
Cara:
b) Pasien dalam keadaan berbaring telentang, letakkan bantal diantara kepala dan ujung tempat
tidur pasien, dan berikan bantal di bawah lipatan lutut.
c) Berikan balok penopang pada bagian kaki tempat tidur atau atur tempat tidur khusus dengan
meninggalkan bagian kaki pasien.
Cara:
d) Pasang selimut
e. Posisi Lithotomi
Cara:
b) Pasien dalam keadaan berbaring, telentang, kemudian angkat kedua pahanya dan tarik ke arah
perut.
d) Letakkan bagian lutut/kaki pada tempat tidur khusus untuk posisi lithotomi
e) Pasang selimut
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kki ditekuk dan dada
menempel pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum
dan sigmoid.
Cara:
b) Anjurkan pasien untuk posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada kasur tempat tidur.
Cara:
b) Atur posisi lengan pasin dengan menjauhi sisi tubuh dan siku menekuk dengan lengan
c) Pegang tangan pasien dengan satu tangan dan tangan yang lain memegang pergelangan tangan
pasien
Cara:
Cara:
b) Atur posisi lengan bawah menjauhi tubuh pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya.
c) Letakkan satu tangan perawat pada pergelangan pasien dan pegang tangan pasien dengan
tangan lainnya
Cara:
c) Letakkan satu tangan perawat di atas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya
Cara:
c) Letakkan satu tangan perawat di atas siku pasien dan pegang tangan pasien dengan tangan
lainnya
f. Rotasi Bahu
Cara:
c) Letakkan satu tangan perawat di lengan ats pasien dekat siku dan pegang tangan pasien
dengan tangan yang lain
Cara:
Cara:
a) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
b) Pegang separuh bagian atas kaki pasien dengan satu jari dan
pegang pergelangan kaki dengn tangan satunya
Cara:
b) Letakkan satu tangan perawat pada telapak kaki pasien dan satu tangan yang lain diatas
pergelangan kaki. Jaga kaki lurus dan rileks
Cara:
b) Letakkan atu tangan di bawah lutut pasien dan pegang tumit pasien
dengan tangan yang lain
Cara:
b) Letakkan satu tangan perawat pada pergelangan kaki dan satu tangan yang lain di atas lutut
Cara:
b) Letakkan satu tangan perawat di bawah lutut pasien dan satu tangan pada tumit
c) Jaga posisi kaki pasien lurus, angkat kaki kurang lebih 8 cm dari tempat tidur, gerakkan kaki
menjauhi badan pasien
3) Latihan Ambulasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien
b) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badannya dengan telapak tangan
menghadap kebawah
c) Berdirilah disamping tempat tidur dan letakkan tangan pada bahu pasien
b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk dikursi roda Prosedur kerja :
a) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien
f) Letakkan kedua tangan anda disamping kanan dan kiri pinggang pasien
g) Ketika kaki pasien menapak dilantai, tahan lutut anda pada lutut pasien
h) Bantu pasien duduk dikursi roda dan atur posisi agar nyaman
c. Membantu berjalan
Prosedur kerja :
a) Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan kepada pasien
b) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan disamping badan atau memegang telapak tangan
anda
c) Berdiri disamping pasien dan pegang telapak tangan dan lengan bahu pasien
B. Konsep asuhan keperawatan pada pasien stroke dengan gangguan mobilitas fisik
Menurut Hidayat, 2009 konsep asuhan keperawatan pada pasien stroke non hemoragik dengan
gangguan mobilitas fisik adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada masalah pemenuhan kebutuhan mobilitas dan imobilitas pada pasien stroke
adalah sebagai berikut :
a. Identitas Klien
Identitas klien yang perlu dikaji meliputi nama, jenis kelamin, tanggal lahir, nomor register, usia,
agama, alamat, status perkawinan, pekerjaan, dan tanggal masuk rumah sakit.
b. Identitas Penanggungjawab
Identitas penanggungjawab yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pekerjaan, alamat, dan
hubungan dengan klien.
c. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Gejala yang menjadi keluhan utama pada pasien Stroke non hemoragik adalah lemah sebelah
anggota gerak yang timbul mendadak, dan sakit kepala (Bararah & Jauhar, 2013).
2) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang muncul pada pasien Stroke non hemoragik dengan masalah gangguan mobilitas
fisik pada saat dikaji adalah adanya lemah sebelah anggota gerak, bicara kurang jelas, dan nyeri
dikepala.
Biasanya klien dengan penyakit Stroke non hemoragik memiliki kebiasan atau pola hidup yang
kurang sehat seperti gaya hidup merokok, memakan makanan yang mengandung garam, makan
makanan yang bersantan dan berminyak, adanya riwayat penyakit hipertensi, diabetes melitus,
anemia, riwayat trauma kepala, riwayat jatuh, penyakit kardiovaskuler (Widagdo, dkk, 2008).
Perlu dikaji adanya riwayat keluarga yang memiliki penyakit keturunan seperti adanya riwayat
jantung, hipertensi, DM. Sesuai dengan etiologi yang dikemukakan dalam Padila (2012), yaitu
salah satu faktor pencetus timbulnya penyakit stroke yaitu faktor genetik atau keturunan. Faktor
pencetus tersebut merupakan faktor yang tidak dapat diubah oleh pasien.
d. Pola pengkajian ADL menurut Potter & Perry, 2012 sebagai berikut :
1) Pola Nutrisi
Biasanya mengalami penurunan nafsu makan, mual muntah, kehilangan sensasi pada lidah
Biasanya tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan dirisecara mandiri karena
kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami gangguan koordinasi, gangguan
keseimbangan mudah lelah. Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut
jantung menjadi lebih tinggi sehingga otot jantung harus bekerja lebih
keras pada setiap kontraksi. Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering memompa,
maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan tekanan
darah meningkat (Potter & Perry, 2012).
3) Pola tidur dan istirahat
Biasanya lebih banyak tidur dan istirahan karena semua system tubuhnya akan mengalami
penurunan kerja dan penurunan kesadaran sehingga lebih banyak diam.
4) Pola eliminasi
Biasanya terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas dan pengontrolan urinasi
menurun, biasanya terjadi konstipasi dandiare akibat impaksi fekal.
e. Pemeriksaan Fisik
3) TTV
4) Kepala : Normachepal
6) Mata : Biasanya sklera ikhterik, reflek pupil negatif, konjungtiva anemis, penglihatan
berkurang.
7) Mulut dan bibir : Biasanya sianosis, mukosa bibir kering, stomatitis, mengalami gangguan
pengecapan, reflek mengunyah dan menelan buruk, dan bibir tidak simetris.
11) Thoraks
a) Paru-paru
(4) Auskultasi: Suara napas bisa normal (vesikuler) atau tidak normal (seperti ronkhi,).
b) Jantung
12) Abdomen
13) Genitalia dan anus : Klien dengan Stroke non hemoragik biasanya akan mengalami masalah
dalam proses eliminasi (BAB dan BAK) sehingga pasien harus dipasang kateter.
14) Ekstremitas : Lemah anggota gerak dengan kekuatan otot biasanya 2 sampai 3, akral teraba
hangat, CRT < 2 dtk
f. Pemeriksaan Diagnostik
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi lokasi ischemic (lebih lambat dari pada
CT scan).
g. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, Leukosit, Trombosit, Eritrosit. Hal ini berguna untuk
mengetahui apakah pasien menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem imun
pasien. Bila kadar leukosit diatas normal, berarti ada penyakit infeksi yang sedang
menyerang pasien.
Cek darah ini untuk melihat kandungan gula darah, kolesterol, asam urat, dll. Apabila kadar gula
darah atau kolesterol berlebih, bisa menjadi pertanda pasien sudah menderita diabetes dan
jantung. Kedua penyakit ini termasuk ke dalam salah satu pemicu stroke
d. Resiko Jatuh