Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN An. S


DENGAN DIAGNOSA MEDIS UNION OF MIDDLE THIRD
OF THE LEFT TIBIA DI BANGSAL CENDANA 4 RSUP Dr. SARDJITO

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik


“ Keperawatan Dasar Profesi“

Disusun Oleh :
Skolastika Winda Sinaga P07120522060

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2022/2023
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN An. S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS UNION OF MIDDLE THIRD OF THE
LEFT TIBIA DI BANGSAL CENDANA 4 RSUP Dr. SARDJITO

Dibuat Untuk Disetujui Pada :

Hari :

Tanggal :

Jam :

Tempat :
Pembimbing Akademik Pembimbing Rumah Sakit

( Ns. Sapta Rahayu Noamperani, S.Pd., (Christiana Dewi, S.Kep., Ns)


S.Kep., M.Kep )

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fraktur adalah terputusnya diskontinuitas susunan tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Rendy & Margareth, 2012). Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung,
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius
distal patah. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan
arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan
tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka.
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang yang
disebut fraktur dislokasi (Sjamsuhidayat, 2011). Badan kesehatan dunia mencatat di tahun
2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga dibawah penyakit
jantung koroner dan tuberculosis. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 didapatkan bahwa angka kejadian cidera mengalami peningkatan
dibandingkan dari hasil pada tahun 2007. Kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera
antara lain karena terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul.
Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2007
menjadi 8,2% pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013). Peristiwa terjatuh terjadi sebanyak
45.987 dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (58 %) turun menjadi 40,9%,
dari 20.829, kasus kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang
(25,9%) meningkat menjadi 47,7%, dari 14.125 trauma benda tajam atau tumpul yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%) turun menjadi 7,3%. Fraktur yang sering
terjadi yaitu fraktur femur. Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa
atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak (Helmi, 2012).
Penanganan fraktur terbagi menjadi dua jenis yaitu secara konservatif (tanpa
pembedahan) dan dengan pembedahan. Tindakan pembedahan salah satunya pemasangan
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) sebagai alat fiksasi atau penyambung tulang
yang patah. Dengan tujuan agar fragment dari tulang yang patah tidak terjadi pergeseran
dan dapat menyambung lagi dengan baik. Setelah dilakukan tindakan post operasi ORIF
salah satu masalah keperawatan yang muncul yaitu gangguan mobilitas fisik (Muttaqin,
2011). Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau
lebih ekstermitas secara mandiri (PPNI, 2017). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Yandri, 2013) menyatakan bahwa masalah keperawatan yang muncul
yaitu gangguan mobilitas fisik pada penanganan patah tulang femur yang diberikan
penanganan dengan operatif ataupun konservatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Purwanti & Purwaningsih,
2013) didapatkan bahwa pasien fraktur sebagian besar responden mengalami rentang
gerak (ROM) menurun dan penurunan kekuatan otot dengan skala kekuatan otot 0 yaitu
sebanyak 53,3%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Selvia, 2015)
didapatkan bahwa penurunan kekuatan otot merupakan faktor yang berhubungan (etiologi)
yang paling banyak muncul pada pasien dengan diagnosa keperawatan gangguan mobilitas
fisik, yaitu sebanyak 92,3%.
Gangguan mobilitas fisik dapat menyebabkan penurunan massa otot (atropi otot)
sebagai akibat kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktivitas, sehingga
mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai akhirnya koordinasi pergerakan
memburuk. Gangguan mobilitas fisik juga dapat mengakibatkan perubahan metabolik
pada sistem muskuloskeletal sehingga terjadi hiperkalesemia dan hiperkalsiuria yang
kemudian menyebabkan osteoporosis. Selain terjadi atropi otot, gangguan mobilitas fisik
juga dapat menyebabkan pemendekan serat otot. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
kontraktur sendi yaitu persendian menjadi kaku, tidak dapat digerakkan pada jangkauan
gerak yang penuh, dan mungkin menjadi cacat yang tidak dapat disembuhkan. Klasifikasi
ektopik pada jaringan lemak sekitar persendian dapat menyebabkan ankilosis persendian
yang permanen (Asmadi, 2008).
Berdasarkan uraian diatas penulis menilai memerlukan dilakukannya asuhan
keperawatan komprehensif pada pasien dengan gangguan mobilitas fisik yang dituangkan
dalam laporan pendahuluan ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian mobilitas dan imobilitas?
2. Apa saja jenis mobilitas?
3. Apa saja jenis imobilitas?
4. Apa saja etiologi gangguan mobilitas fisik?
5. Apa tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik?
6. Apa dampak gangguan mobilitas fisik?
7. Apa manifestasi klinis gangguan mobilitas fisik?
8. Apa komplikasi gangguan mobilitas fisik?
9. Bagaimana penatalaksanaan gangguan mobilitas fisik?
10. Bagaimana pathway gangguan mobilitas fisik?
11. Bagaimana konsep asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian mobilitas dan imobilitas
2. Untuk mengetahui apa saja jenis mobilitas
3. Untuk mengetahui apa saja jenis imobilitas
4. Untuk mengetahui apa saja etiologi gangguan mobilitas fisik
5. Untuk mengetahui apa tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik
6. Untuk mengetahui apa dampak gangguan mobilitas fisik
7. Untuk mengetahui apa manifestasi klinis gangguan mobilitas fisik
8. Untuk mengetahui apa komplikasi gangguan mobilitas fisik
9. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan gangguan mobilitas fisik
10. Untuk mengetahui bagaimana pathway gangguan mobilitas fisik
11. Untuk mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Pengertian
a. Mobilitas
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara mandiri maupun dengan
bantuan orang lain dan hanya dengan bantuan alat (Widuri, 2010).
Mobilitas adalah proses yang kompleks yang membutuhkan adanya
koordinasi antara sistem muskuloskeletal dan sistem saraf (P. Potter, 2010).
Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan kegiatan
dengan bebas (Kozier, 2010).
Jadi mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya untuk dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
b. Gangguan Mobilitas
Gangguan Mobilitas atau Imobilitas merupakan keadaan di mana
seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat
disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (Widuri, 2010). Imobilitas
atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif .A.H. dan Kusuma. H, 2015).
Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana
individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik.
Individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik
antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi
anatomic akibat perubahan fisiologik (kehilangan fungsi motorik, klien
dengan stroke, klien penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti
gips atau traksi), dan pembatasan gerakan volunter, atau gangguan fungsi
motorik dan rangka (Kozier, Erb, & Snyder, 2010).

2. Jenis Mobilitas
a. Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik
volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi
oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
- Mobilitas sebagian temporer merupakan kemampun individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
- Mobilitas sebagian permanen merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan
oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi hemiplegia
karena stroke, parapelgia karena cedera tulang belakang, poliomielitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).

3. Jenis Imobilitas
a. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan
tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada
pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di
daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk
mengurangi tekanan.
b. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak
akibat suatu penyakit.
c. Imobilitas emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi
ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan
sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilitas sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat
memengaruhi perannya dalam kehidupan social (Widuri, 2010).

4. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu:
a. Penurunan kendali otot
b. Penurunan kekuatan otot
c. Kekakuan sendi
d. Kontraktur
e. Gangguan muskuloskletal
f. Gangguan neuromuskular
g. Keengganan melakukan pergerakan (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)

5. Tanda dan Gejala Gangguan Mobilitas Fisik


a. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif Objektif
- Mengeluh sulit menggerakkan - Kekuatan otot menurun
ekstermitas - Rentang gerak (ROM) menurun
Tim Pokja DPP PPNI, 2017

b. Gejala dan Tanda Minor


Subjektif Objektif
- Nyeri saat bergerak - Sendi kaku
- Enggan melakukan pergerakan - Gerakan tidak terkoordinasi
- Merasa cemas saat bergerak - Gerak terbatas
- Fisik lemah
Tim Pokja DPP PPNI, 2017
6. Dampak Gangguan Mobilitas Fisik
Imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti perubahan
pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan
dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal, perubahan sistem
pernafasan, perubahan kardiovaskular, perubahan sistem muskuloskeletal,
perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil), dan perubahan
perilaku (Widuri, 2010).
a. Perubahan Metabolisme
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme
dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada menurunnya basal metabolism
rate ( BMR ) yang menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel
tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan
metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan
katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat berisiko meningkatkan gangguan
metabolisme. Proses imobilitas dapat juga menyebabkan penurunan ekskresi
urine dan pengingkatan nitrogen. Hal tersebut dapat ditemukan pada pasien
yang mengalami imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak
perubahan metabolisme, di antaranya adalah pengurangan jumlah metablisme,
atropi kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, deminetralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan
gangguan gastrointestinal.
b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi
protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh.
Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke
interstisial dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit. Imobilitas juga dapat menyebabkan demineralisasi tulang
akibat menurunnya aktivitas otot, sedangkan meningkatnya demineralisasi
tulang dapat mengakibatkan reabsorbsi kalium.
c. Gangguan Perubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi disebabkan oleh menurunnya pemasukan
protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada
tingkat sel menurun, di mana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino,
lemak, dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas
metabolisme.

d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal


Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini
disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna,
sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan,
seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan
gangguan proses eliminasi.
e. Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat
imobilitas, kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan
terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu.
Terjadinya penurunan kadar haemoglobin dapat menyebabkan penurunan
aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia.
Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh
permukaan paru.
f. Perubahan Kardiovaskuler
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat
berapa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya
pembentukan trombus. Terjadinya hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh
menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap dan lama,
refleks neurovaskular akan menurun dan menyebabkan vasokontrriksi,
kemudian darah terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke
sistem sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja jantung dapat
disebabkan karena imobilitas dengan posisi horizontal. Dalam keadaan
normal, darah yang terkumpul pada ekstermitas bawah bergerak dan
meningkatkan aliran vena kembali ke jantung dan akhirnya jantung akan
meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus juga disebabkan oleh vena statsi
yang merupakan hasil penurunan kontrasi muskular sehingga meningkatkan
arus balik vena.
g. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskeletal sebagai dampak
dari imobilitas adalah sebagai berikut:
- Gangguan Muskular
Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat
menyebabkan turunya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya fungsi
kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi
berkurangnya massa otot dapat menyebabkan atropi pada otot. Sebagai
contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu
ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.
- Gangguan Skeletal
Adanya imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal,
misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis.
Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria adanya
fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan memendeknya otot.
Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang
tidak berfungsi.
h. Perubahan Sistem Integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas
kulit karena menurunannya sirkulasi darah akibat imobilitas dan terjadinya
iskemia serta nekrosis jaringan superfisial dengan adanya luka dekubitus
sebagai akibat tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.

i. Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang
mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah jantung
sehingga aliran darah renal dan urine berkurang.
j. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain lain timbulnya
rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus
tidur dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku
tersebut merupakan dampk imobilitas karena selama proses imobilitas
seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-
lain (Widuri, 2010).
7. Manifestasi Klinis
Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
a. Muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
b. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus
c. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah
beraktifitas
d. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan
kalsium; dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi)
e. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan
dan batu ginjal
f. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan
g. Neurosensori: sensori deprivation (Asmadi, 2008).

8. Komplikasi
Gangguan pada otot dan skeletal terjadi karena pemecahan protein terus
menerus sehingga kehilangan massa tubuh di bagian otot. Penurunan massa otot tidak
mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot semakin
menurun karena otot tidak dilatih sehingga menyebabkan atrofi sehingga pasien tidak
mampu bergerak terus menerus. Pasien yang mengalami tirah baring lama beresiko
mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Kejadian trauma pada
ekstermitas akan menyebabkan perubahan jaringan sekitar tulang tersebut serta terjadi
kelainan dan trauma pada sistem muskuloskleletal yang bermanifestasi dari bentuk
yang abnormal dari ekstremitas atau batang tubuh dengan perubahan bentuk pada
tulang maka fungsi ekstremitas akan terganggu serta dapat mengenai tulang yang
dapat menimbulkan gangguan mobilitas fisik (Price & Wilson, 2014).

9. Penatalaksanaan Gangguan Mobilitas Fisik


Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien post operasi fraktur ekstremitas
bawah yang mengalami gangguan mobilitas fisik yaitu dengan diberikannya latihan
rentang gerak. Latihan rentang gerak tersebut salah satunya mobilisasi persendian
yaitu dengan latihan range of motion (ROM) merupakan istilah baku untuk
menyatakan batas atau besarnya gerakan sendi baik dan normal. ROM juga digunakan
sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan atau untuk menyatakan batas
gerakan sendi yang abnormal. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, dikenal
gerakan sendi aktif dan pasif (Noor Helmi, 2014). ROM pasif adalah latihan yang
diberikan kepada pasien yang mengalami kelemahan otot lengan maupun otot kaki
berupa latihan tulang maupun sendi, sehingga pasien memerlukan bantuan perawat
atau keluarga. ROM aktif adalah latihan yang dilakukan secara mandiri oleh pasien
tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Tujuan ROM yaitu
mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian,
merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk (Potter & Perry, 2010).
10. Pathway
11. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Fokus
Pengakajian keperawatan merupakan salah satu komponen dari proses
keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali
permasalahan meliputi usaha pengumpulan data tentang status kesehatan seorang
klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan
(Muttaqin, 2014). Pengkajian gangguang mobilitas fisik adapun data mayor dan
data minor yang bisa dikaji pada pasien dengan gangguan mobilitas fisik adalah
mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak
(ROM) menurun, nyeri saat bergerak, sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi,
gerakan terbatas, fisik lemah (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Pengkajian
pada masalah gangguan mobilitas fisik menurut Hidayat, (2009), adalah sebagai
berikut:
a. Riwayat Keperawatan
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang
menyebutkan terjadi keluhan atau gangguan mobilitas fisik seperti adanya
kelemahan otot, kelelahan, daerah yang mengalami gangguan mobilitas
fisik, lama terjadinya gangguan mobilitas fisik. Keluhan utama yang bisa
dirasakan pada pasien post operasi fraktur yaitu gangguan mobilitas fisik.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Perawat menanyakan pada pasien adanya riwayat penyakit
sistem muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis) sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
4. Kemampuan fungsi motorik dan fungsi sensorik
Pengkajian fungsi motorik antara lain pada tangan kanan dan
kiri, kaki kanan dan kiri untuk menilai ada atau tidaknya kelemahan,
kekuatan atau spastis.
5. Kemampuan mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan
untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun
dan berpindah tanpa bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas
adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Kemampuan Mobilitas
Tingkat aktivitas atau mobilitas Kategori

Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh

Tingkat 1 Memerlukan pengguanaan alat

Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain dan


peralatan

Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau


berpartisipasi dalam perawatan
(Sumber: Hidayat, Aziz Alimul. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. 2009).

6. Rentang Gerak
Pengkajian rentang gerak dilakukan pada daerah tertentu seperti: leher,
bahu, siku, pergelangan tangan, tangan dan jari, pinggul, lutut dan kaki.
7. Perubahan Intoleransi Aktivitas
Pengkajian intoleransi yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler
seperti nadi dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya
trombus, serta perubahan tanda vital setelah melakukan aktivitas atau
perubahan posisi.
8. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi
Derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan:
Tabel 2
Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi
Skala Presentase Karakteristik
Kekuatan
Normal

1 2 3
0 0 Paralissi sempurna

1 10
Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi
atau dilihat

2 25
Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan
topangan

3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi

4 75
Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi
dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal


melawan gravitasi dan tahanan penuh
(Sumber: Hidayat, Aziz Alimul. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. 2009).

9. Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan
mobilitas fisik antara lain: perubahan prilaku, peningkatan emosi,
perubahan dan mekanisme koping.

2. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Bararah & Jauhar, ( 2013) pemeriksaan diagnostik yang sering
dilakukan pada fraktur ekstremitas bawah adalah :
a. X-ray: menentukan lokasi luasnya fraktur
b. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
c. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan
e. Kretinin : trauma otot meningkat beban kretinin untuk klirens ginjal
f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau
cedera hati.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan
untuk mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap
situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017).
Diagnosa yang difokuskan pada penelitian ini adalah gangguan mobilitas fisik
yang merupakan keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri. Penyebab dari gangguan mobilitas fisik yaitu gangguan
muskuloskeletal yang terjadi karena trauma yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan (PPNI, 2017).
Rumusan diagnosa keperawatan adalah gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan muskuloskeletal ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku,
gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik lemah.

4. Intervensi dan Rasional Keperawatan


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018). Selama perencanaan dibuat
prioritas dengan kolaborasi pasien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain,
modifikasi asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan tentang
kebutuhan perawatan kesehatan pasien dan penatalaksanaan klinik.
Tujuan dan kriteria hasil untuk masalah gangguan mobilitas fisik
mengacu pada standar luaran keperawatan Indonesia mengenai aspek-aspek yang
dapat diobservasi meliputi kondisi, perilaku, atau persepsi pasien, keluarga atau
komunitas sebagai respons terhadap intervensi keperawatan adalah sebagai
berikut:
Diagnosa Keperawatan Perencanaan
Tujuan Intervensi
Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan Intervensi Utama :
selama 3 x 24 jam, tingkat nyeri Dukungan Mobilitas Fisik: Mobilisasi
menurun dengan kriteria hasil : a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
a. Pergerakan ekstremitas meningkat fisik lainnya
b. Kekuatan otot meningkat b. tolenransi fisik melakukan pergerakan
c. Rentang gerak (ROM) c. Monitor kondisi umum selama
meningkat melakukan mobilisasi
d. Nyeri menurun d. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
e. Kecemasan menurun alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
f. Kaku sendi menurun e. Libatkan keluarga untuk membantu
g. Gerakan tidak terkoordinasi pasien dalam meningkatkan
menurun pergerakan
h. Gerakan terbatas menurun f. Jelaskan tujuan dan prosedur
i. Kelemahan fisik menurun mobilisasi
g. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
sederhana yang harus dilakukan (mis.
Duduk di tempat tidur, duduk disisi
tempat tidur, pindah dari tempat tidur
ke kursi).
Intervensi Pendukung: Dukungan
Mobilitas Fisik : Teknik Latihan
Penguatan Sendi
a. Identifikasi keterbatasan fungsi dan
gerak sendi
b. Monitor lokasi dan sifat
ketidaknyamanan atau rasa sakit
selama gerakan/ aktivitas
c. Lakukan pengendalian nyeri sebelum
memulai latihan
d. Berikan posisi tubuh optimal untuk
gerakan sendi pasif atau aktif
e. Jelaskan kepada pasien / keluarga
tujuan dan rencanakan latihan
bersama
f. Anjurkan duduk di tempat tidur, di
sisi tempat tidur (munjuntai), atau
kursi sesuai toleransi
g. Kolaborasi dengan fisioterapi dalam
mengembangkan dan melaksanakan
program latihan.
Intervensi Pendukung :
Dukungan Mobilitas Fisik:
Pengaturan Posisi
a. Tinggikan bagian tubuh yang sakit
dengan tepat
b. Motivasi melakukan ROM aktif atau
pasif
c. Hindari menempatkan pada posisi
yang dapat meningkatkan nyeri
d. Ajarkan cara menggunakan postur
yang baik dan mekanika tubuh yang
baik selama melakukan perubahan
posisi.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan komponen keempat dari proses
keperawatan setelah merusmuskan rencana asuhan keperawatan. Implementasi
keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dalam asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Debora, 2013). Tindakan keperawatan
adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan (PPNI, 2018). Intervensi
keperawatan yang sudah direncanakan berdasarkan SIKI dilaksanakan pada tahap
implementasi keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap kelima dari proses keperawatan.
Pada tahap ini perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan
dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang
terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi
semuanya (Debora, 2013). Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) evaluasi
keperawatan terhadap pasien yang mengalami gangguan mobilitas fisik yang
diharapkan adalah:
a. Pergerakan ekstremitas meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Rentang gerak (ROM) meningkat
d. Nyeri menurun
e. Kecemasan menurun
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri . Yogyakarta :


Ar-Ruzz Media.
Asmadi.2008.Teknik Prosedural Keperawatan:Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar
Klien.Jakarta.Salemba Medika.
Azis Alimun H.2006, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia, Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan, Buku 1, Buku 2. Jakarta: Salemba Medika
Kemenkes. (2016) Asuhan Keperawatan Rasa Aman dan Nyaman
NANDA Internasional Inc. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi
2015-2017, Edisi 10. Jakarta: EGC.
Nurarif A.H dan Kusuma, H. (2016) Asuhan Keperawatan Praktis, Jakarta :
Medication
Tetty, S. 2015. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2019), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 2, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2019), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 2, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2019), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 2, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC. Kemenkes
RI, 2016, Kebutuhan DasarManusia 1, BPPSDM, Jakarta.
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, ed.3. Jakarta: ECG.
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri,
Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Yodang, 2018, Buku Ajar Keperawatan Paliatif, Jakarta, Pesan Buku.

Anda mungkin juga menyukai