Disusun Oleh :
Skolastika Winda Sinaga P07120522060
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN MOBILITAS FISIK PADA PASIEN An. S
DENGAN DIAGNOSA MEDIS UNION OF MIDDLE THIRD OF THE
LEFT TIBIA DI BANGSAL CENDANA 4 RSUP Dr. SARDJITO
Hari :
Tanggal :
Jam :
Tempat :
Pembimbing Akademik Pembimbing Rumah Sakit
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fraktur adalah terputusnya diskontinuitas susunan tulang, biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik (Rendy & Margareth, 2012). Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung,
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius
distal patah. Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan
arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan
tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka.
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang yang
disebut fraktur dislokasi (Sjamsuhidayat, 2011). Badan kesehatan dunia mencatat di tahun
2011 terdapat lebih dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan
sekitar 1,3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi.
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga dibawah penyakit
jantung koroner dan tuberculosis. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 didapatkan bahwa angka kejadian cidera mengalami peningkatan
dibandingkan dari hasil pada tahun 2007. Kasus fraktur yang disebabkan oleh cedera
antara lain karena terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau tumpul.
Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2007
menjadi 8,2% pada tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013). Peristiwa terjatuh terjadi sebanyak
45.987 dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (58 %) turun menjadi 40,9%,
dari 20.829, kasus kecelakaan lalu lintas yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang
(25,9%) meningkat menjadi 47,7%, dari 14.125 trauma benda tajam atau tumpul yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%) turun menjadi 7,3%. Fraktur yang sering
terjadi yaitu fraktur femur. Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa
atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak (Helmi, 2012).
Penanganan fraktur terbagi menjadi dua jenis yaitu secara konservatif (tanpa
pembedahan) dan dengan pembedahan. Tindakan pembedahan salah satunya pemasangan
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) sebagai alat fiksasi atau penyambung tulang
yang patah. Dengan tujuan agar fragment dari tulang yang patah tidak terjadi pergeseran
dan dapat menyambung lagi dengan baik. Setelah dilakukan tindakan post operasi ORIF
salah satu masalah keperawatan yang muncul yaitu gangguan mobilitas fisik (Muttaqin,
2011). Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau
lebih ekstermitas secara mandiri (PPNI, 2017). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Yandri, 2013) menyatakan bahwa masalah keperawatan yang muncul
yaitu gangguan mobilitas fisik pada penanganan patah tulang femur yang diberikan
penanganan dengan operatif ataupun konservatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Purwanti & Purwaningsih,
2013) didapatkan bahwa pasien fraktur sebagian besar responden mengalami rentang
gerak (ROM) menurun dan penurunan kekuatan otot dengan skala kekuatan otot 0 yaitu
sebanyak 53,3%. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Selvia, 2015)
didapatkan bahwa penurunan kekuatan otot merupakan faktor yang berhubungan (etiologi)
yang paling banyak muncul pada pasien dengan diagnosa keperawatan gangguan mobilitas
fisik, yaitu sebanyak 92,3%.
Gangguan mobilitas fisik dapat menyebabkan penurunan massa otot (atropi otot)
sebagai akibat kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktivitas, sehingga
mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai akhirnya koordinasi pergerakan
memburuk. Gangguan mobilitas fisik juga dapat mengakibatkan perubahan metabolik
pada sistem muskuloskeletal sehingga terjadi hiperkalesemia dan hiperkalsiuria yang
kemudian menyebabkan osteoporosis. Selain terjadi atropi otot, gangguan mobilitas fisik
juga dapat menyebabkan pemendekan serat otot. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
kontraktur sendi yaitu persendian menjadi kaku, tidak dapat digerakkan pada jangkauan
gerak yang penuh, dan mungkin menjadi cacat yang tidak dapat disembuhkan. Klasifikasi
ektopik pada jaringan lemak sekitar persendian dapat menyebabkan ankilosis persendian
yang permanen (Asmadi, 2008).
Berdasarkan uraian diatas penulis menilai memerlukan dilakukannya asuhan
keperawatan komprehensif pada pasien dengan gangguan mobilitas fisik yang dituangkan
dalam laporan pendahuluan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian mobilitas dan imobilitas?
2. Apa saja jenis mobilitas?
3. Apa saja jenis imobilitas?
4. Apa saja etiologi gangguan mobilitas fisik?
5. Apa tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik?
6. Apa dampak gangguan mobilitas fisik?
7. Apa manifestasi klinis gangguan mobilitas fisik?
8. Apa komplikasi gangguan mobilitas fisik?
9. Bagaimana penatalaksanaan gangguan mobilitas fisik?
10. Bagaimana pathway gangguan mobilitas fisik?
11. Bagaimana konsep asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian mobilitas dan imobilitas
2. Untuk mengetahui apa saja jenis mobilitas
3. Untuk mengetahui apa saja jenis imobilitas
4. Untuk mengetahui apa saja etiologi gangguan mobilitas fisik
5. Untuk mengetahui apa tanda dan gejala gangguan mobilitas fisik
6. Untuk mengetahui apa dampak gangguan mobilitas fisik
7. Untuk mengetahui apa manifestasi klinis gangguan mobilitas fisik
8. Untuk mengetahui apa komplikasi gangguan mobilitas fisik
9. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan gangguan mobilitas fisik
10. Untuk mengetahui bagaimana pathway gangguan mobilitas fisik
11. Untuk mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan gangguan mobilitas fisik
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
a. Mobilitas
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk
bergerak secara mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara mandiri maupun dengan
bantuan orang lain dan hanya dengan bantuan alat (Widuri, 2010).
Mobilitas adalah proses yang kompleks yang membutuhkan adanya
koordinasi antara sistem muskuloskeletal dan sistem saraf (P. Potter, 2010).
Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan kegiatan
dengan bebas (Kozier, 2010).
Jadi mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya untuk dapat
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
b. Gangguan Mobilitas
Gangguan Mobilitas atau Imobilitas merupakan keadaan di mana
seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu
pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat
disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (Widuri, 2010). Imobilitas
atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif .A.H. dan Kusuma. H, 2015).
Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana
individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik.
Individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik
antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi
anatomic akibat perubahan fisiologik (kehilangan fungsi motorik, klien
dengan stroke, klien penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti
gips atau traksi), dan pembatasan gerakan volunter, atau gangguan fungsi
motorik dan rangka (Kozier, Erb, & Snyder, 2010).
2. Jenis Mobilitas
a. Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf motorik
volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi
oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
- Mobilitas sebagian temporer merupakan kemampun individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
- Mobilitas sebagian permanen merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan
oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi hemiplegia
karena stroke, parapelgia karena cedera tulang belakang, poliomielitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).
3. Jenis Imobilitas
a. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan
tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada
pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di
daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk
mengurangi tekanan.
b. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak
akibat suatu penyakit.
c. Imobilitas emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi
ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan
sesuatu yang paling dicintai.
d. Imobilitas sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat
memengaruhi perannya dalam kehidupan social (Widuri, 2010).
4. Etiologi
Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu:
a. Penurunan kendali otot
b. Penurunan kekuatan otot
c. Kekakuan sendi
d. Kontraktur
e. Gangguan muskuloskletal
f. Gangguan neuromuskular
g. Keengganan melakukan pergerakan (Tim Pokja DPP PPNI, 2017)
i. Perubahan Eliminasi
Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang
mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah jantung
sehingga aliran darah renal dan urine berkurang.
j. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain lain timbulnya
rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus
tidur dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku
tersebut merupakan dampk imobilitas karena selama proses imobilitas
seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan, dan lain-
lain (Widuri, 2010).
7. Manifestasi Klinis
Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
a. Muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
b. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus
c. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah
beraktifitas
d. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan
kalsium; dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi)
e. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan
dan batu ginjal
f. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan
g. Neurosensori: sensori deprivation (Asmadi, 2008).
8. Komplikasi
Gangguan pada otot dan skeletal terjadi karena pemecahan protein terus
menerus sehingga kehilangan massa tubuh di bagian otot. Penurunan massa otot tidak
mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot semakin
menurun karena otot tidak dilatih sehingga menyebabkan atrofi sehingga pasien tidak
mampu bergerak terus menerus. Pasien yang mengalami tirah baring lama beresiko
mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Kejadian trauma pada
ekstermitas akan menyebabkan perubahan jaringan sekitar tulang tersebut serta terjadi
kelainan dan trauma pada sistem muskuloskleletal yang bermanifestasi dari bentuk
yang abnormal dari ekstremitas atau batang tubuh dengan perubahan bentuk pada
tulang maka fungsi ekstremitas akan terganggu serta dapat mengenai tulang yang
dapat menimbulkan gangguan mobilitas fisik (Price & Wilson, 2014).
6. Rentang Gerak
Pengkajian rentang gerak dilakukan pada daerah tertentu seperti: leher,
bahu, siku, pergelangan tangan, tangan dan jari, pinggul, lutut dan kaki.
7. Perubahan Intoleransi Aktivitas
Pengkajian intoleransi yang berhubungan dengan sistem kardiovaskuler
seperti nadi dan tekanan darah, gangguan sirkulasi perifer, adanya
trombus, serta perubahan tanda vital setelah melakukan aktivitas atau
perubahan posisi.
8. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi
Derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan:
Tabel 2
Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi
Skala Presentase Karakteristik
Kekuatan
Normal
1 2 3
0 0 Paralissi sempurna
1 10
Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi
atau dilihat
2 25
Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan
topangan
4 75
Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi
dan melawan tahanan minimal
9. Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan
mobilitas fisik antara lain: perubahan prilaku, peningkatan emosi,
perubahan dan mekanisme koping.
2. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Bararah & Jauhar, ( 2013) pemeriksaan diagnostik yang sering
dilakukan pada fraktur ekstremitas bawah adalah :
a. X-ray: menentukan lokasi luasnya fraktur
b. Scan tulang : memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
c. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
d. Hitung darah lengkap : hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap peradangan
e. Kretinin : trauma otot meningkat beban kretinin untuk klirens ginjal
f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau
cedera hati.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik
yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan
untuk mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap
situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017).
Diagnosa yang difokuskan pada penelitian ini adalah gangguan mobilitas fisik
yang merupakan keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri. Penyebab dari gangguan mobilitas fisik yaitu gangguan
muskuloskeletal yang terjadi karena trauma yang dapat menyebabkan
ketidaknyamanan (PPNI, 2017).
Rumusan diagnosa keperawatan adalah gangguan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan muskuloskeletal ditandai dengan mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku,
gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik lemah.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan komponen keempat dari proses
keperawatan setelah merusmuskan rencana asuhan keperawatan. Implementasi
keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dalam asuhan
keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Debora, 2013). Tindakan keperawatan
adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan (PPNI, 2018). Intervensi
keperawatan yang sudah direncanakan berdasarkan SIKI dilaksanakan pada tahap
implementasi keperawatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap kelima dari proses keperawatan.
Pada tahap ini perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan
dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang
terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi
semuanya (Debora, 2013). Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) evaluasi
keperawatan terhadap pasien yang mengalami gangguan mobilitas fisik yang
diharapkan adalah:
a. Pergerakan ekstremitas meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Rentang gerak (ROM) meningkat
d. Nyeri menurun
e. Kecemasan menurun
DAFTAR PUSTAKA