Anda di halaman 1dari 102

LAPORAN EVIDENCE BASE ANALISIS MOBILISASI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah pada Stase Keperawatan
Dasar Profesi dengan sosen pembimbing : Dr Nita Fitria, S. Kp., M. Kes., AIFO.

Dikumpulkan pada 27, Agustus 2020

Disusun Oleh:
KELOMPOK 4

Guztap Jabarul Haq 220110160019

Intan Madulara 220110130041

Asti Oktovianti Sunmaya AP 220110160041

Melani Nurasifa 220110166153

Yulpiyana Arunita 220110166056

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................i
BAB IPENDAHULUAN..............................................................................................2
1.1 Latar Belakang..............................................Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN TEORITIS....................................................................................4
2.1 Kebutuhan Dasar Manusia...................................................................................4
2.2 Pemenuhuan Kebutuhan Dasar Mobbilisasi........................................................7
BAB III INTERVENSI KEPERAWATAN MOBILISASI........................................21
3.1 Intervensi Keperawatan Mobilisasi..................................................................21
3.2 Pembahasan......................................................................................................24
BAB IVSIMPULAN DAN SARAN...........................................................................28
4.1 Simpulan.......................................................................................................28
4.2 Saran.............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN ARTIKEL

i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur merupakan suatu kondisi diskontinuitas tulang yang disebabkan
oleh trauma atau keadaan patologis. Fraktur merupakan masalah kesehatan
utama, yang menyebabkan substansial kecacatan, morbiditas, dan hilangnya
kualitas hidup (DiazCuriel, 2014). Trauma parah yang terjadi pada ekstremitas
bagian bawah dapat menjadi penyebab dari besarnya biaya perawatan kesehatan
hingga mengakibatkan amputasi dengan dampak buruk yang berkepanjangan
(Chua et al., 2017). Hasil penelitian (Lestari, 2014) menyebutkan bahwa
mobilisasi dini atau pergerakan yang dilakukan sesegera mungkin akan
berpengaruh pada proses penyembuhan dan lamanya hari rawat.
Penatalaksanaan fraktur dapat mengakibatkan masalah atau komplikasi
seperti kesemutan, nyeri, kekakuan otot, bengkak atau edema serta pucat pada
anggota gerak yang dioperasi. Diperlukan edukasi untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien pasca operasi. Salah satu tanda dan gejala dari fraktur adalah
nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada gangguan
muskoskeletal. Nyeri merupakan pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat (SDKI, 2016).
Kondisi fraktur menimbulkan nyeri dapat mempengaruhi kegiatan
sehari-hari. Pada pasien fraktur dapat terjadi diskontinuitas jaringan tulang yang
ditandai dengan nyeri, krepitasi, gangguan mobilisasi (imobilisasi), sehingga
pasien harus segera dimobilisasikan (Marlina, 2010).
Individu dengan imobilisasi bukan hanya merasa kehilangan
kemampuan geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas
dari kebiasaan normalnya (Kasiati & Ni Wayan Rosmalawati, 2016).
Imobilisasi merupakan kondisi dimana seseorang tidak dapat melakukan
gerakan fisik secara aktif yang disebabkan oleh kondisi patologis. Keterbatasan
mobilisasi yang lama akibat

1
2

tirah baring, trauma, serta pemasangan gips dapat menyebabkan berkurangnya


masa otot atau atropi.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa pentingnya melakukan
mobilisasi dini yaitu untuk memperbaiki sirkulasi, mencegah terjadinya
masalah atau komplikasi setelah operasi serta mempercepat proses pemulihan
pasien (Keehan et al., 2014). Penelitan (Ditya et al., 2016) mengatakan bahwa
mobilisasi dini dapat mempertahankan fungsi tubuh, mempertahankan tonus
otot, dan memulihkan pergerakan sedikit demi sedikit sehingga pasien post
pembedahan dapat memenuhi kebutuhan aktivitasnya kembali. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh (Igiany, 2018), ROM adalah latihan yang
dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk
meningkatkan massa otot dan tonus otot .ROM diperlukan untuk pemulihan
kemampuan activities daily living (ADL) pasien post operasi fraktur femur.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh (Smeeing et al., 2015) menyatakan
bahwa latihan gerakan ankle kaki dapat membuat seseorang kembali
beraktifitas lebih cepat dibandingkan dengan orang yang tidak melakukan
mobilisasi pasca operasi ankle. Pasien fraktur lebih baik melakukan mobilisasi
secara berkala dan terkontrol karena hal ini dapat bermakna secara klinis pada
fungsi bagian tubuh (Painter et al., 2015).
Berdasarkan observasi di Rumah Sakit ketika sedang menjalankan
praktik lapangan, tidak seluruh perawat melakukan mobilisasi pada pasien
pasca operasi fraktur. Penelitian yang dilakukan oleh (Nopianti, Setyorini, &
Pebrianti, 2019) menyatakan bahwa mobilisasi dini belum terlaksanakan
dengan baik, sehingga disarankan supervisi kepada perawat dalam
pelaksanaannya.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Igiany (2018) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap pelaksanaan
ROM. Disarankan perawat sebagai pemberi pelayanan dapat menerapkan
pemberian pendidikan kesehatan preoperasi khususnya tentang latihan rentang
2

gerak sendi pada pasien fraktur ekstremitas sebagai kegiatan intervensi


keperawatan dirumah
3

sakit untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan memotivasi pasien dalam


melakukan latihan rentang gerak sendi post operasi (Oktasari et al., 2016).
Ilmu pengetahuan serta pengalaman dalam pemberian asuhan
keperawatan memiliki pengaruh didalam pelaksaan tugas seorang perawat.
Dengan pengalaman kerja responden selama 5-10 tahun terdapat keterpaduan
antara pengetahuan yang dimiliki dengan penalaran dan etik dalam
meningkatkan pengetahuan (Nurkolis & Alimansur, 2014).
Pengetahuan perawat mengenai perkembangan dalam penatalaksaan
ketika melakukan perawatan sangat penting. Selain menjadi pemberi asuhan
keperawatan, perawat berperan sebagai educator kepada pasien dan keluarga.
Cara yang dapat dilakukan untuk menunjang tugas profesi tersebut yakni
dengan memberikan intervensi dan edukasi mengenai mobilisasi pada pasien
dengan fraktur. Evidence Based Analysis (EBA) bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan perawat sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang
terbaik kepada pasien.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Kebutuhan Dasar Manusia


1. Definisi

Manusia merupakan makhluk yang memiliki berbagai kebutuhan untuk


menjalani kehidupan. Biologi, fisik, psikologi, dan spiritual termasuk kebutuhan
yang melekat pada manusia. Pemenuhan kebutuhan dasar ini menjadi tugas dan
tanggung jawab seorang perawat terhadap pasien nya selama dalam proses
perawatan.
Menurut Abraham Maslow, seorang individu memiliki motivasi akan lima
tingkat kebutuhan dasar, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan
nyaman, kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang, kebutuhan harga diri, dan
kebutuhan aktualisasi diri (Aruma & Hanachor, 2017). Tingkatan kebutuhan
manusia ini disusun dalam bentuk piramida, dimana kebutuhan fisiologis berada
dibagian dasar piramida. Hierarki kebutuhan ini lebih focus untuk mengeksplorasi
keinginan manusia dalam meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Berdasarkan
uraian tersebut, maka kebutuhan dasar manusaia sangat penting untuk
kelangsungan hidup dan keberlangsungan individu di masyarakat.

4
5

Gambar 1: Abraham Maslow’s Hierarchy of Needs

2. Jenis-jenis
a. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan Fisiologis merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
penting. Contoh dari kebutuhan fisiologis yakni makanan, air, istirahat,
reproduksi. Maka dari itu, ketersediaan pangan untuk kawasan penduduk
dianggap sebagai indicator pembangunan yang penting dalam lingkunga
global, karena dengan terpenuhinya kebuthan dasar manusia di suatu
negara maka negara tersebut bukan merupakan negara dengan
keterbelakangan.
b. Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman
Manusia berhak untuk merasa dilindungi. Hal ini menjadi penting setelah
kebutuhan fisiologis terpenuhi. Kebutuhan akan rasa aman berhubungan
dengan perlindungan serta kelangsungan hidup yang terbebas dari situasi
kacau. Keamanan yang dimaksud meliputi keamanan emosional, finansial,
social, serta keamanan dari kecelakaan atau cedera. Dalam praktik
keperawatan, keamanan seorang pasien menjadi hal penting yang perlu
dipehatikan, karena pada dasarnya tugas utama seorang perawat adalah
memenuhi kebutuhan dasar manusia dari berbagai aspek.
c. Kebutuhan Rasa Cinta dan Kasih Sayang
5

Kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan akan hubungan interpersonal


yang dapat memengaruhi motivasi hidup seseorang. Perasaan cinta dan
kasih sayang dapat dirasakan melalui sebuah keluarga, persahabatan,
6

pasangan, kepercayaan, serta penerimaan akan kehadiran seseorang.


Menjadi bagian dari suatu kelompok juga dapat membuat individu merasa
dicintai.
d. Kebutuhan Harga Diri
Kebutuhan harga diri merupakan tingkat keempat dalam hirarki Maslow.
Kebutuhan ini diklasifikasikan kedalam dua kategori, yakni harga diri
(martabat serta prestasi) dan keinginan untuk dihormati atau dihargai
(status).
e. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ini merupakan tingkat tertinggi dalam hirarki kebutuhan dasar manusia
dan mengacu pada perealisasian potensi yang ada pada diri seseorang.
Individu mungkin melihat atau memusatkan perhatian pada kebutuhan ini
dengan sangat spesifik. Misalnya, seseorang berusaha dengan kuat agar
dapat menjadi orang tua yang ideal bagi anak-anaknya. Disisi lain,
keinginan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dapat ekspresikan
secara akademis, dan kreatif.
Sumber :(Aruma & Hanachor, 2017) (Mousavi & Dargahi, 2013)
3. Faktor-faktor yang memengaruhi pemenuhan KDM
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
manusia adalah sebagai berikut (Walyani, 2015):
a. Penyakit
Adanya penyakit yang terdapat dalam tubuh seseorang dapat menyebabkan
perubahan pemenuhan kebutuhan, baik secara fisiologis maupun psikologis,
hal ini disebebkan beberapa organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan
yang lebih besar dari biasanya.
b. Hubungan yang berarti
Keluarga merupakan sistem pendukung dalam diri seseorang. Hubungan
kekeluargaan yang baik dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar
karena adanya rasa saling percaya, merasakan kesenangan hidup, tidak ada
rasa curiga antara yang satu dengan yang lain.
7

c. Konsep diri
Konsep diri manusia juga memiliki peran dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
Konsep diri yang positif memberikan makna dan kebutuhan bagi seseorang.
Konsep diri yang sehat dapat menghasilkan perasaan dan kekuatan positif
dalam diri seseorang. Orang yang beranggapan positif terhadap dirinya sendiri
akan mudah berubah, mudah mengenali kebutuhannya dan mengembangkan
cara hidup yang sehat sehingga mudah memenuhi kebutuhan dasarnya.
d. Tahap perkembangan
Sejalan dengan meningkatnya usia, manusia akan mengalami perkembangan.
Berbagai fungsi organ tubuh akan mengalami proses kematangan dengan
aktivitas yang berbeda pada setiap tahap perkembangan. Setiap tahap
perkembangan tersebut memiliki pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula,
baik kebutuhan biologis, psikologis, maupun spiritual.
e. Struktur keluarga
Stuktur keluarga dapat memengaruhi cara seseorang memuaskan
kebutuhannya. Sebagai contoh seorang ibu mungkin akan mendahulukan
kebutuhan bayinya dibandingkan kebutuhannya sendiri.

2.2 Pemenuhuan Kebutuhan Dasar Mobbilisasi


A. Jenis-Jenis Mobilitas

1. Mobilitas penuh

Merupakan keadaan dimana kemampuan seseorang untuk bergerak

secara  penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan

menjalankan  peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi dari

saraf motoris, volunter dan sensoris untuk dapat mengontrol seluruh area

tubuh seseorang.
8

2. Mobilitas sebagian

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan

jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh

gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat

dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang dengan pemasangan traksi

B. Jenis- Jenis Mobilisasi

Menurut Barbara dan Kozier (1995) Mobilisasi secara garis besar dibagi

menjadi dua yaitu mobilisasi secara pasif dan mobilisasi secara aktif.

1. Mobilisasi secara pasif yaitu mobilisasi dimana pasien dalam

menggerakkan tubuhnya dengan cara dibantu dengan orang lain secara

total atau keseluruhan.

2. Mobilisasi aktif yaitu dimana pasien dalam menggerakkan tubuh dilakukan

secara mandiri tanpa bantuan dari orang lain.

Selain itu, mobilisasi juga bagusnya tahap demi tahap karena mobilisasi

tahap demi tahap berguna membantu jalannya penyembuhan pasien.

C. Tahapan dan Pelaksanaan Mobilisasi Post operasi

1. Tahap-tahap mobilisasi pada pasien dengan pasca pembedahan

Menurut Rustam Moechtar (2000), meliputi:

a. Hari pertama pasca operasi 6 – 10 jam setelah pasien sadar, pasien

bisa melakukan latihan pernafasan dan batuk efektif, kemudian

miring kanak dan miring kiri sudah dapat dimulai.

b. Hari kedua, pasien didudukkan selama 5 menit, disuruh latihan

pernafasan dan batuk efektif guna melonggarkan pernafasan.


9

c. Hari ketiga sampai hari kelima pasien dianjurkan untuk belajar

berdiri kemudian berjalan disekitar kamar, ke kamar mandi, dan ke

kamar sendiri.

Menurut Kasdu (2003) mobilisasi dilakukan secara bertahap berikut ini

akan dijelaskan tahap mobilisasi dini:

1) Setelah operasi, pada 6 jam pertama klien harus tirah baring dulu. Mobilisasi

dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan,

menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat

tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki. Bertujuan

agar kerja organ pencernaan kembali normal.

2) Setelah 6-10 jam, klien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan

mencegah trombosis dan trombo emboli.

3) Setelah 24 jam klien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk

4) Setelah klien dapat duduk (48 jam) dianjurkan klien belajar berjalan.

Tahap mobilisasi dini menurut (Beyer, 1997) dijelaskan sebagai berikut :

1) Tahap I : mobilisasi atau gerakan awal : nafas dalam, batuk efektif, dan

menggerakan ekstremitas.

2) Tahap II : mobilisasi atau gerak memutarkan pergelangan kaki dan lengan.

3) Tahap III : mobilisasi atau gerakan duduk tegak selama 5 menit.

4) Tahap IV : mobilisasi atau gerakan turun dari tempat tidur dan beridiri

(3x/hr).

5) Tahap V : mobilisasi atau gerakan berjalan dengan bantuan ( 2 x/hr )


10

6) Tahap VI : mobilisasi atau gerakan berdiri sampai kembali duduk naik ke

tempat tidur tanpa bantuan secara perlahan.

7) Tahap VII : mobilisasi atau gerakan bangkit dari duduk ditempat tidur tanpa

bantuan.

Dalam pelaksanaan mobilisasi dini untuk mencegah terjadinya cidera,

maka perawat yang terlatih perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang

mobiliisasi dini terhadap pasien (Thomson, 2002).

D. Pra mobilisasi atau mobilisasi dini

Mobilisasi dini bertujuan untuk mempersiapkan otot untuk berdiri dan

berjalan yang depersiapkan lebih awal ketika pasien bergerak dari tempat

tidur (Hoeman, 2001).

1. Prosedur pelaksanaan Mobilisasi dini

Menurut (Alimul A,2002)

a. Nafas dalam dengan cara;

1) Menarik nafas melalui hidung.

2) Menggunakan diafragma (abdomen naik).

3) Mengeluarkan nafas perlahan-lahan melaui mulut.

4) Diulang selama 5 kali

b. Miring kanan dan miring kiri dengan cara;

1) Tempatkan pasien dalam posisi telentang (supinasi).

2) Posisikan pasien dalam posisi miring yang sebagian pada abdomen.

3) Tempatkan bantal di bawah lengan atas yang di fleksikan, yang

menyongkong lengan setinggi bahu.


11

4) Tempatkan bantal di bawah tungkai atas yang difleksikan, yang

menyongkong tungkai setinggi panggul.

5) Tempatkan bantal pasien paralel dengan permukaan plantar kaki

(lakukan selama 5 menit dengan waktu istrahat 1 menit ke arah kiri

kemudian kanan)

c. Latihan mengencangkan otot gluteal dengan cara;

1) Tekan otot pantat.

2) Menggerakan kaki kanan keatas kemudian ketepi tempat tidur.

3) Menahan posisi dalam hitungan 1-5.

4) Mengembalikan kaki ke posisi semula (di tengah).

5) Menggerakan kaki kiri keatas kemudian ketepi tempat tidur.

6) Mengembalikan kaki ke posisi semula.

7) Lakukan selama 5 menit dengan waktu istrahat 1 menit setiap

selesai gerakan ke kanan dan ke kiri.

d. Posisikan kepala 300 selama 15 menit.

e. Posisikan bagian bawah tempat tidur lebih rendah.

f. Sitting balance yaitu membantu pasien untuk duduk di sisi tempat tidur

dengan bantuan yang diperlukan menurut (Berger & Williams, 1992)

dengan cara;

1) Dengan satu lengan di bawah punggung pasien dan satu lengan di

bawah paha pasien, pindahkan pasien dengan posisi dangling

(Thomson, 2002).Dangling adalah pasien duduk dengan kaki

menjuntai di tepi tempat tidur.


12

2) Beri instruksi untuk menggoyangkan kaki selama beberapa menit

(Bai, 2009). Jangan terlalu memaksakan pasien untuk banyak

melakukan pergerakan pada saat bangun untuk menghindari

kelelahan.

g. Standing balance yaitu melatih berdiri dan berjalan. Perhatikan waktu

pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukan gejala-gejala pusing,

sulit bernafas dan lain lain. Tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat

hipotensi orthostatik.

Menurut (Berger & Willians, 1992) memperhatikan pusing sementara

adalah proses pencegahan yang sangat penting saat mempersiapkan pasien

untuk mobilisasi dini. Bahkan bedrest jangka pendek, terutama setelah

cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai hipotensi orthostatik.

Hipotensi orthostatik adalah komplikasi yang sering terjadi pada bedrest

jangka pendek, meminta pasien duduk di sisi tempat tidur untuk beberapa

menit sebelum berdiri biasanya sesuai untuk hipotensi orthostatik yang

benar. Lakukan istrahat sebentar, ukur denyut nadi (Asmadi, 2008). Ketika

membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus berdiri tepat di

depannya. Pasien meletakan tangannya di pundak perawat, dan perawat

meletakan tangannya di bawah ketiak pasien,pasien dibiarkan berdiri

sebentar untuk memastikan tidak merasa pusing. Bila telah terbiasa dengan

posisi berdiri, pasien dapat mulai untuk berjalan. Perawat harus berada di

sebelah pasien untuk memeberikan dukungan dan dorongan fisik, harus hati-
12

hati untuk tidak membuat pasien merasa letih: lamanya periode mobilisasi

dini pertama beragam tergantung


13

pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien (Brunner &

Suddarth, 2002).

h. Walking seperti halnya tindakan lainya, membantu pasien berjalan

memerlukan persiapan. Perawat mengkaji toleransi pasien terhadap aktivitas,

kekuatan, adanya nyeri, koordinasi dan keseimbangan pasien untuk

menentukan jumlah bantuan yang diperlukan pasien. Aktifitasi ini mungkin

memerlukan alat seperti kruk, tongkat, dan walker. Namun pada prinsipnya

perawat dapat melakukan aktivitas ini meskipun tanpa alat yaitu dengan

cara;

1) Minta pasien untuk meletakan tangan di samping badan atau memegang

telapak tangan pasien.

2) Berdiri di samping pasien dan pegang telapak dan lengan tangan pada

bahu pasien 3) Bantu pasien untuk berjalan (Alimul, 2002).

E. ROM

Range Of Motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan

batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan sebagai

dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan sendi abnormal

(HELMI, 2012). Menurut (potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of

Motion) adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada

sendi, di salah satu dari tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal.

Range Of Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat

dilakukan oleh sendi yang bersangkutan.


14

Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan

terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-

masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.

F. Klasifikasi ROM

Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi rom

sebagai berikut: 1) ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien

yang mengalami kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada

tulang maupun sendi dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga

klien memerlukan bantuan perawat atau keluarga. 2) ROM pasif adalah latihan

ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa bantuan perawat dari setiap

gerakan yang dilakukan. Indikasi ROM aktif adalah semua pasien yang

dirawat dan mampu melakukan ROM sendii dan kooperatif.

G. Tujuan ROM

Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) sebagai

berikut:

1) Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas yang

sakit.

2) Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.

3) Mencegah komplikasi vaskular akibat iobilitas.

4) Memudahkan kenyamanan.
14

Sedangkan menurut (Potter dan Perry (2006) Tujuan ROM adalah : (1).

Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, (2). Memelihara mobilitas

persendian, (3) Merangsang sirkulasi darah, (4). Mencegah kelainan bentuk.


15

Sedangkan tujuan ltihan Range Of Motion (ROM) menurut Suratun,

Heryati, Manurung, & Raenah (2008). 1) Mempertahankan atau memelihara

kekuatan otot. 2) Memelihara mobilitas persendian. 3) Merangsang sirkulsi

darah. 6 6 4) Mencegh kelainan bentuk.

H. Prinsip Dasar ROM Prinsip dasar latihan range of motion (ROM)

Menurut Suratun, Heryati, Manurung, & Raenah (2008) yaitu:

1) ROM harus di ulangi sekitar 8 kali dan di kerjakan minimal 2 kali sehari.

Menurut Pranata, Lilik, Dheni Koernawan, dan Novita Elisabeth Daeli

(2019) ROM dilakukan selama tiga kali seminggu dengan durasi waktu ±

30 menit dan pengulangan gerak 8 kali sehingga akan meningkatkan skala

kekuatan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah.

2) ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehinga tidak melelahkan pasien.

3) Dalam merencanakan program latihan Range OF Motion (ROM) ,

Memperhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah

baring.

4) ROM sering di programkan oleh dokter dan di kerjakan oleh ahli

fisioterapi.

5) Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari, lengan,

siku, bahu, tumit, atau pergelangan kaki.

6) Rom dapat dilakukan pada semua persendian yang di curigai mengurangi

proses penyakit.
15

7) Melakukan ROM hrus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau

perawatan rutin telah dilakukan.


16

I. Gerakan pada ROM

Rom aktif Merupakan latian gerak isotonik (terjadi kontraksi dan

pergerakan otot) yang dilakukan klien dengan menggerakan masingmasing

persendiannya sesuai dengan rentang geraknya yang normal. (Kusyati Eni,

2006) Rom pasif merupakan latihan pergerakan perawat atau petugas lain yang

menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang geraknya. (Kusyati Eni,

2006).

Prosedur pelaksanaan :

a. Gerakan pinggul dan panggul (Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul)

1. Angkat kaki dan bengkokkan lutut.

2. Gerakkan lutut ke atas menuju dada sejauh mungkin.

3. Kembalikan lutut ke bawah, tegakkan lutut, rendahkan kaki sampai

pada kasur.

b. Abduksi dan adduksi kaki

1. Gerakkan kaki ke samping menjauh klien

2. Kembalikan melintas di atas kaki yang lainnya

c. Rotasikan pinggul internal dan eksternal

1. Putar kaki ke dalam, kemudian ke luar Gerakkan telapak kaki dan

pergelangan kaki

d. Dorsofleksi telapak kaki

1. Letakkan satu tangan di bawah tumit.

2. Tekan kaki klien dengan lengan anda untuk menggerakkannya ke arah

kaki
17

e. Fleksi plantar telapak kaki

1. Letakkan satu tangan pada punggung dan tangan yang lainnya berada

pada tumit.

2. Dorong telapak kaki menjauh dari kaki

f. Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki

1. Letakkan satu tangan pada punggung kaki klien, letakkan tangan yang

lainnya pada pergelangan kaki.

2. Bengkokkan jari-jari ke bawah.

3. Kembalikan lagi pada posisi semula

g. Intervensi dan eversi telapak kaki

1. Letakkan satu tangan di bawah tumit, dan tangan yang lainnyadi atas

punggung kaki.

2. Putar telapak kaki ke dalam, kemudian ke luar.

J. Pengukuran kekuatan otot

Perubahan struktur otot sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan serabut

otot, atrofi, pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut

otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-

lain mengakibatkan efek negative. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan,

penurun fleksibilitas, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan

fungsional (Pudjiastuti & Utomo, 2008).

Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai

untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain mendiagnosa

status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada kemajuan yang
18

diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya apakah terjadi

perburukan pada penderita. Penilaian tersebut meliputi :

1. Nilai 0: paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot.

2. Nilai 1: kontaksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot,

dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan sendi.

3. Nilai 2: otot hanya mampu mengerakkan persendian tetapi kekuatannya 10

10 tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.

4. Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh

gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa.

5. Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan

otot terhadap tahanan yang ringan.

6. Nilai 5: kekuatan otot normal. (Suratun, dkk, 2008).

Untuk mengetahui kekuatan atau kemampuan otot perlu dilakukan

pemeriksaan derajat kekuatan otot yang di buat ke dalam enam derajat ( 0 – 5 ) .

Derajat ini menunjukan tingkat kemampuan otot yang berbedabeda.

Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat dilakukan

otot dengan tahanan maksimal dari proses yang dilakukan berulang-ulang tanpa

menimbulkan kelelahan. Derajat 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM)

secara penuh dan dapat melawan tahanan ringan Derajat 3 Dapat melkukan ROM

secara penuh dengan melawan gaya berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan

tahanan. Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat

melakukan ROM secara penuh. Derajat 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba


19

pada otot bersangkutan tanpa menimbulkan gerakan. Derajat 0 Tidak ada

kontraksi otot sam sekali. (Asmadi, 2008).

Adapun cara untuk memeriksa kekutan otot dengan menggunakan derajat

kekuatan otot tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Pemeriksaan kekuatan otot ekstermitas atas.

b. Pemeriksaan kekuatan otot bahu. Caranya:

1. Minta klien melakukan fleksi pada lengan ekstensi lengan dan beri

tahanan.

2. Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi lengan, lalu beri

tahanan.

3. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 1)

c. Pemeriksaan kekuatan otot siku. Caranya:

1. Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan beri tahanan.

2. Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi siku, lalu beri

tahanan.

3. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 2)

d. Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan tangan.

1. Letakkan lengan bawah klien di atas meja dengan telapak tangan

menghadap keatas.

2. Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi telapak tangan dengan

melawan tahanan.

3. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 12 12 3)

e. Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari tangan Caranya:


20

1. Mintalah klien untuk meregangkan jari-jari melawan tahanan.

2. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 2.

f. Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah

g. Pemeriksaan kekuatan otot panggul. Caranya:

1. Atur posisi tidul klien, lebih baik pemeriksaan dilakukan dalam posisi

supine.

2. Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi tungkai dengan melawan

tahanan.

3. Minta klien untuk melakukan gerakan abduktif dan adduksi tungkai

melawan tahanan.

4. Nilai kekuatan otot dengan menggunkan skala 0-5. 2).

h. Pemeriksaan kekuatan otot lutut. Caranya:

1. Minta klien untuk melakukan gerakn fleksi lutut dengan melawan

tahanan.

2. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 3).

i. Pemeriksan kekuatan otot tumit. Caranya:

1. Minta klien untuk melakukan gerakan plantarfleksi dan dorsifleksi

dengan melawan tahanan.

2. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5. 4).

j. Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari kaki.

1. Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi jari-jari kaki

dengan melawan tahanan.


20

2. Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5 . Subhan, Afif

(2012).
BAB III
INTERVENSI KEPERAWATAN MOBILISASI
3.1 Intervensi Keperawatan Mobilisasi
Setelah melakukan pencarian artikel jurnal dengan menggunakan teknik
PICO diperoleh 5 jurnal yang sesuai dengan tujuan atau output yang diharapkan
dari studi literatur ini. Berdasarkan hasil analisis dari 5 jurnal tersebut didapatkan
hasil bahwa dengan mobilisasi dapat mengurangi nyeri pada pasien fraktur
ekstremitas bawah. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan pada pasien
fraktur ekstremitas bawah dapat berupa latihan mobilisasi ROM (Range of
Motion) yaitu latihan gerak sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan
pergerakan otot. Dimana pasien menggerakan persendiannya sesuai gerakan
normal, baik secara aktif maupun pasif (Putri & Sarifah, 2015). Manfaat dari
latihan ROM ini sendiri yaitu: dengan menggerakan tubuh secara teratur dapat
meningkatkan kesegaran tubuh, mempertahankan dan memelihara kekuatan otot,
merangsang sirkulasi darah, memperbaiki tonus otot dan sikap tubuh serta
mencegah kelainan bentuk. sehingga pasien post pembedahan dapat memenuhi
kebutuhan aktivitasnya kembali (Ditya et al., 2016). Gerakan ROM juga dapat
dimodifikasi dengan terapi lain seperti terapi musik, dan terapi murrotal al-quran
(Permana, Nurchayati & Herlina, 2015).

21
22

Artikel penelitian pertama dengan judul Pengaruh mobilisasi dini


terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur femur Di Ruang Kenanga
RSUD Sunan Kalijaga Demak dari penulis Susanti, Suryani & Rahmawati
(2020). Dengan metode penelitian Quasy experimental untuk mengetahui
Pengaruh mobilisasi dini terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur
femur. Peneliti menemukan bahwa terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap
penurunan skala nyeri pada pasien post operasi fraktur femur RSUD Sunan
Kalijaga Demak. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada kelompok intervensi
ada pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan mobilisasi dini terhadap penurunan
skala nyeri. Dimana, kelompok intervensi mendapatkan standart pelayanan post
operasi dari pihak rumah sakit dan mengikuti tahapan mobilisasi secara
berkesinambungan mulai dari 6 jam post operasi dengan latihan tungkai, latihan
kaki, dan perubahan posisi (Miring kanan miring kiri), 24 jam post operasi
latihan duduk, 48 jam post operasi latihan turun dari tempat tidur dan berjalan.
Sedangkan pada kelompok Kontrol pada tahap ke 1 ada penurunan skala nyeri
sebesar 9,00 dari sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, pada tahap ke 2
tidak ada penurunan yang signifikan sebesar 5,00. Sedangkan pada tahap ke 3
penurunan rata-rata sebesar 3,00.yang berarti ada perbedaan sebelum dan
sesudah dilakukan mobilisasi tetapi tida sesignifikan kelas intervensi.
23

Artikel penelitian kedua dengan judul nyeri pada pasien post op fraktur
ekstremitas bawah dengan pelaksanaan mobilisasi dan ambulasi dini dari penulis
Bahrudin (2018), dengan metode penelitian cross sectional yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat nyeri dengan pelaksanaan mobilisasi dini
dan ambulasi dini pada pasien post op fraktur eksremitas bawah di ruang Seruni
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang
melakukan kegiatan mobilisasi berjumlah 82,9% dan pasien yang tidak
melakukan kegiatan mobilisasi berjumlah 17,1%, pasien yang melakukan
kegiatan ambulasi berjumlah 82,9% dan pasien yang tidak melakukan kegiatan
ambulasi berjumlah 17,1%, nyeri sedang berjumlah 77,1% dan nyeri berat
berjumlah 22,9% (n=35). Artikel penelitian ini juga membahas bahwa mobilisasi
dan ambulasi dini berpengaruh untuk mengatasi nyeri pada pasien post op fraktur
ekstremitas bawah di ruang Seruni RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Penelitan ini
sejalan dengan Ditya et. al bahwa mobilisasi dini dapat mempertahankan fungsi
tubuh, mempertahankan tonus otot, dan memulihkan pergerakan sedikit demi
sedikit sehingga pasien post pembedahan dapat memenuhi kebutuhan
aktivitasnya kembali (Ditya et al., 2016).
Artikel ketiga yang digunakan dalam studi literatur ini berjudul Timing of
initiating manual therapy and therapeutic exercises in the management of patients
after hindfoot fractures: a randomized controlled trial dari penulis Albin et.al
(2018), dengan metode penelitian Randomized Controlled Trial untuk
mengetahui perbedaan setelah dilakukan ROM dan terapi manual pada pasien 2
minggu dan 6 minggu post op. Hasil dari penelitian ini menunjukan
perkembangan pada pelaksanaan early ROM dan therapeutic exercise (2 minggu
pasca operasi) lebih cepat serta dapat meningkatkan hasil dalam jangka panjang
dan menurunkan komplikasi pada pasien patah tulang kaki belakang, sedangkan
pada delay efek samping yang timbul meningkat.
24

Artikel penelitian keempat berjudul pengaruh range of motion (rom)


terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah dari
penulis Permana, Nurchayati & Herlina (2015). Metode penelitian yang
digunakan yaitu Quasy Experiment dengan rancangan penelitian Non-Equivalent
Control Group yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh Range Of Motion
(ROM) untuk mengurangi nyeri pada pasien pasca operasi fraktur ekstremitas
bawah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa setelah 4 hari terdapat
perbedaan sebelum dan sesudah diberikan ROM dengan gerakan sedang, efektif
dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas
bawah.
Artikel penelitian kelima berjudul Efektivitas program intervensi latihan
fisik dalam meningkatkan mobilitas fungsional pada orang dewasa yang lebih tua
setelah patah tulang pinggul dalam rehabilitasi tahap selanjutnya: protokol uji
klinis acak (Studi REATIVE) dari penulis Lima et.al (2016). Metode dalam
penelitian ini yaitu Trial design dengan tujuan untuk mengetahui apakah program
latihan untuk orang yang pernah mengalami patah tulang pinggul terkait jatuh
akan meningkatkan mobilitas fungsional jika dibandingkan dengan perawatan
biasa. Hasil dari penelitian ini yaitu latihan pada fase pemulihan setelah patah
tulang pinggul menjadi efektif dalam meningkatkan mobilitas keseimbangan dan
kekuatan otot.
3.2 Pembahasan

Fraktur merupakan suatu kondisi diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh

trauma atau keadaan fatologis. Kondisi fraktur dapat mempengaruhi kegiatan

sehari-hari. Selain itu, pada pasien fraktur juga dapat terjadi diskontinuitas

jaringan tulang yang ditandai dengan krepitasi dan nyeri. Sehingga pasien harus

segera dimobilisasi (Marlina, 2010). Pasien yang menjalani post operasi

dianjurkan untuk segera meninggalkan tempat tidur atau melakukan mobilisasi.


24

Latihan mobilisasi dilakukan untuk mencegah komplikasi, decubitus,

merangsang
25

peristaltik dan untuk mengurangi rasa nyeri. Mobilisasi berperan penting dengan

cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau pembedahan,

meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat serta mengurangi

aktivitas mediator kimiawi pada proses peradangan yang meningkatkan respon

nyeri (Pristahayuningtyas, 2016).

Berdasarkan hasil penelitian Susanti, Suryani & Rahmawati, (2020), yang

menyebutkan bahwa terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan skala

nyeri pada pasien post operasi fraktur femur. Tahapan mobilisasi dimulai dari 6

jam post operasi dengan latihan tungkai, latihan kaki, dan perubahan posisi

(Miring kanan miring kiri), 24 jam post operasi latihan duduk, 48 jam post

operasi latihan turun dari tempat tidur dan berjalan. Didukung oleh penelitian

Agustin & Purwanti (2017), yang menyebutkan bahwa tindakan mengubah posisi

sesering mungkin, memposisikan tungkai dalam keadaan abduksi, melatih

aktivitas fungsional terbukti efektif dilakukan untuk pasien fraktur femur dengan

hambatan mobilitas fisik dan data yang mendukung yaitu dengan evaluasi pada

pasien yang terlihat mampu memposisikan duduk dan melakukan aktivitas

fungsional.

Mobilisasi pada pasien fraktur juga bisa dengan latihan ROM (Range Of

Motion) yaitu latihan gerak sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan

pergerakan otot. Berdasarkan hasil penelitian Permana, Nurchayati & Herlina

(2015), menyebutkan bahwa pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah

setelah 4 hari terdapat perbedaan sebelum dan sesudah diberikan ROM dengan

gerakan sedang yang efektif dalam menurunkan intensitas nyeri. Didukung


25

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Albin et.al (2018), yang

menunjukkan bahwa
26

perkembangan pada pelaksanaan early ROM dan therapeutic exercise (2 minggu

pasca operasi) lebih cepat serta dapat meningkatkan hasil dalam jangka panjang

dan menurunkan komplikasi pada pasien patah tulang kaki belakang., sedangkan

pada delay efek samping yang timbul meningkat.

Mobilisasi dini mempunyai peranan penting dalam mengurangi rasa nyeri.

Untuk itu peran perawat disini yaitu sebagai educator perlu memberikan

informasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya mobilisasi dini pada

pasien post operasi fraktur. Selain itu perawat sebagai pemberi asuhan

keperawatan (Case Provider) dirumah sakit dapat mengimplementasikan

mobilisasi dini khususnya pada pasien fraktur karena mobilisasi dini sangat

berperan terhadap proses kesembuhan pasien.

Berdasarkan dari fenomena yang terjadi di Rumah sakit dimana tidak

seluruh perawat melakukan mobilisasi pada pasien post operasi fraktur. Dimana

mobilisasi dilakukan untuk mencegah komplikasi, decubitus, merangsang

peristaltik dan untuk mengurangi rasa nyeri, namun tidak semua perawat

melakukannya. Sejalan dengan penelitian Nopianti, Setyorini & Pebrianti (2018),

yang menyebutkan bahwa perawat jarang melakukan mobilisasi dini pada pasien

paska operasi, karena perawat hanya menganjurkan pasien untuk melakukan

mobilisasi dengan menggerak-gerakan anggota badannya yang dioperasi.

Berdasarkan hasil dari penelitian Sudarmi (2018), menyebutkan bahwa

perawat yang tidak melakukan implementasi mobilisasi dini dikarenakan perawat

tidak mendapatkan pelatihan mobilisasi. Sedangkan perawat yang mendapatkan

pelatihan lebih dominan melakukan implementasi mobilisasi dini pada pasien


27

paska operasi. Selain itu dalam artikel ini ditemukan bahwa faktor lain dari

tidaknya perawat melakukan implementasi mobilisasi pada pasien paska operasi

adalah dari lamanya bekerja dimana, perawat yang bekerja <1 tahun terdapat

kesimbangn atara yang melakukan dan tidak melakukan implementasi mobilisasi

dini. Untuk perawat yang bekerja 1-3 tahun lebih dominan melakukan

implementasi mobilisasi dini. Sedangkan Perawat yang bekerja 3-5 tahun lebih

dominan tidak melakukan implementasi mobilisasi dini dan perawat yang bekerja

>5 tahun cenderung melakukan implementasi mobilisasi dini.

Didukung oleh penelitian Nurkolis (2013), yang menyebutkan bahwa faktor

perawat tidak melakukan implementasi mobilisasi dini yaitu usia, pendidikan

serta pengalaman kerja perawat. Dimana pada usia dewasa awal lebih banyak

melakukan implementasi mobilisasi dini, karena pada usia tersebut

memungkinkan untuk perawat menerima dan mengingat suatu materi dan

informasi tentang mobilisasi dini.


BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Fraktur pada ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah dapat
menyebabkan perubahan pada pemenuhan aktivitas. Perubahan yang timbul
diantaranya adalah terbatasnya aktivitas, karena rasa nyeri akibat tergeseknya
saraf motorik dan sensorik, pada luka fraktur. Terjadinya fraktur
mengakibatkan adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah yang
menimbulkan rasa nyeri. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Nyeri yang timbul pada fraktur bukan semata-
mata karena frakturnya saja, namun karena adanya pergerakan fragmen
tulang. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang
rasa nyeri dan juga dengan teknik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah
yang fraktur).

Penatalaksanaan nyeri dilakukan untuk meredakan rasa nyeri dengan cara


pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pengkajian nyeri secara
komprehensif, kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap nyeri. Berdasarkan hasil analisis ke lima jurnal di atas
maka dapat di simpulkan bahwa range of motion (ROM) serta Mobilisasi dini
dapat digunakan sebagai salah satu alternatif terapi non farmakologi dalam
penalaksanaan nyeri dengan tingkat sedang, intervensi ini efektif dalam
menurunkan tingkat nyeri pada pasien dengan fraktur dibagian ekstremitas
bawah.

4.2 Saran
Diharapkan perawat dapat menerapkan teknik ROM pada pasien dengan
post operasi fraktur ekstremitas bawah. Selain untuk memandirikan pasien,
perawat harus dapat memberikan edukasi kepada pasien bahwa pentingnya
melakukan mobilisasi dini yaitu untuk memperbaiki sirkulasi, memulihkan

28
pergerakan sedikit demi sedikit sehingga pasien dapat memenuhi kebutuhan
aktivitasnya kembali serta mencegah terjadinya masalah atau

28
29

komplikasi setelah operasi serta mempercepat proses pemulihan pasien itu


sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, A., & Purwanti, S. (2017). Upaya peningkatan mobilisasi pada pasien post
operasi fraktur intertrochanter femur.
Albin, S. R., Koppenhaver, S. L., Van Boerum, D. H., McPoil, T. G., Morgan, J., &
Fritz, J. M. (2018). Timing of initiating manual therapy and therapeutic
exercises in the management of patients after hindfoot fractures: a randomized
controlled trial*. Journal of Manual and Manipulative Therapy, 26(3), 147–156.
https://doi.org/10.1080/10669817.2018.1432542.
Bahrudin. (2018). Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah
Dengan Pelaksanaan Mobilisasi Dan Ambulasi Dini. Hilos Tensados, 1, 1–476.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Chua, M. J., Hart, A. J., Mittal, R., Harris, I. A., Xuan, W., & Naylor, J. M. (2017).
Early mobilisation after total hip or knee arthroplasty: A multicentre prospective
observational study. PLoS ONE, 12(6), 1–15.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0179820

DiazCuriel, M. (2014). Physical Activity and Risk of Fracture. Journal of


Osteoporosis and Physical Activity, 02(02), 2–3. https://doi.org/10.4172/2329-
9509.1000e109

Igiany, P. D. (2018). Faktor Yang Mempengaruhi Pasien Post Op Fraktur Untuk


Melakukan Range of Motion (ROM). Jurnal Manajemen Informasi Dan
Administrasi Kesehatan, 1(2), 18–23.

Kasiati, & Ni Wayan Rosmalawati, D. (2016). Kebutuhan Dasar Manusia I.


Kementerian Kesehatan.

Lima, Camila Astolphi et.al . (2016). Effectiveness of a physical exercise intervention


program in improving functional mobility in older adults after hip fracture in
later stage rehabilitation: protocol of a randomized clinical trial (REATIVE
Study).BMC Geriatrics (2016) 16:198. DOI 10.1186/s12877-016-0370-7

Marlina. (2010). Mobilisasi Pada Pasien Fraktur Melalui Pendekatan Konseptual


Model Dorothea E. Orem. Idea Nursing Journal, 1(1), 26–34.

Nopianti, Wikeu; Setyorini, Diyah; Pebrianti, S. (2019). Gambaran Implementasi


Perawat dalam Melakukan Mobilisisasi Dini pada Pasien Post Operasi ORIF
Fraktur Ekstremitas Bawah di Ruang Orthopedi RSUD dr. Slamet Garut.
Concept and Communication, 1(23), 301–316.
https://doi.org/10.15797/concom.2019..23.009

Nurkolis, Z., & Alimansur, M. (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat


Tentang Mobilisasi Dini Dengan Pelaksanaan Tindakan Mobilisasi Dini Pada
Pasien Post Operasi. 3(1), 34–40.

Nopianti, Wikeu; Setyorini, Diyah; Pebrianti, S. (2019). Gambaran Implementasi


Perawat dalam Melakukan Mobilisisasi Dini pada Pasien Post Operasi ORIF
Fraktur Ekstremitas Bawah di Ruang Orthopedi RSUD dr. Slamet Garut.
Concept and Communication, 1(23), 301–316.

Oktasari, V., Rahayuningsih, A., & Susanti, M. (2016). Pengaruh Pendidikan


Kesehatan Terhadap Pelaksanaan Rentang Gerak Sendi Aktif Post Operasi Pada
Pasien Fraktur Ekstremitas di Ruang Bedah Trauma Center RSUP DR. M.
Djamil Padang. NERS Jurnal Keperawatan, 9(2), 101.
https://doi.org/10.25077/njk.9.2.101-108.2013

Painter, E. E., Deyle, G. D., Allen, C., Petersen, E. J., Croy, T., & Rivera, K. P.
(2015). Manual physical therapy following immobilization for stable ankle
fracture: A case series. Journal of Orthopaedic and Sports Physical Therapy,
45(9), 665–674. https://doi.org/10.2519/jospt.2015.5981

Pranata, Lilik dan Dheni Koernawan, Novita Elisabeth Daeli. (2019). Effektivitas
ROM terhadap gerak rentang sendi lansia. Prodi Ilmu Keperawatan, Fakultas
Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Musi Charitas: Palembang.

Smeeing, D. P. J., Houwert, R. M., Briet, J. P., Kelder, J. C., Segers, M. J. M.,
Verleisdonk, E. J. M. M., Leenen, L. P. H., & Hietbrink, F. (2015). Weight-
bearing and mobilization in the postoperative care of ankle fractures: A
systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials and cohort
studies. PLoS ONE, 10(2), 1–12. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0118320

https://doi.org/10.15797/concom.2019..23.009

Permana, O., Sofiana Nurchayati, & Herlina. (2015). Pengaruh range of motion
(rom) terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas bawah (Doctoral dissertation, Riau University).

Pristahayuningtyas, R. C. Y., & Kalimantan, J. (2016). Pengaruh mobilisasi dini


terhadap perubahan tingkat nyeri klien post operasi apendektomi Di
Rumah Sakit Baladhika Husada Kabupaten Jember. Pustaka
Kesehatan, 4(1), 102-107.

Putri, A.K., & Sarifah, S. (2016). Effectiveness Exercise On The Range Of Motion
Of Upper Extremity Joints Movement On Patients Post Operative Fracture.
Jurnal Kebidanan, 7(02).
Sudarmi, S. (2018). Gambaran Implementasi Mobilisasi Dini Oleh Perawat Pada
Klien Paska Operasi ORIF Fraktur Ekstremitas Bawah. JIKO (Jurnal Ilmiah
Keperawatan Orthopedi), 2(2), 100-105.
LAMPIRAN ARTIKEL

20
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015

PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP


INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI
FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH

Orien Permana1, Sofiana Nurchayati2, Herlina3

Program Studi Ilmu Keperawatan


Universitas Riau
Email: permana.orien@yahoo.com

Abstract

Fracture was a breat of continuity and disconnection condition or cartilage which is generally caused
by involuntary and also caused by trauma or physical exertion. One of the effects of fractures caused
primarily limited activity in patient with postoperative fracture. Postoperative fracture can be recovered
gradually through movement exercises. The aim of this study was to determine the effect of range of
motion (ROM) to reduce pain in post surgery patients of lower extremity fracture. This study used quasy
experiment with non-equivalent control group design. Purposive sampling technique with inclusion
criteria was used to recruit 30 respondents. The instrument in this study was observational sheet with
Numeric Rating Scale (NRS). The data were analyzed by using paired sample t-test and independent
sample t-test.The result showed p value 0,000. It meant there was a differences between experimental
group and control group. This result showed that range of motion was effective to reduce pain. Based
on this result, it is recommended to health provider especially nurses to use range of motion

as one of non pharmacological therapy to akibat banyak kehilangan waktu untuk bekerja,
reduce pain. dan kecacatan sementara sampai permanen.
Salah satu bentuk trauma yang diakibatkan oleh
Keywords : Fracture, (ROM), Pain kecelakaan lalu lintas tersebut adalah yang
mengenai sistem muskuloskeletal yaitu
PENDAHULUAN
terjadinya fraktur (Muttaqin, 2008).
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia, Fraktur atau patah tulang merupakan suatu
khususnya di negara berkembang. Menurut kondisi terputusnya kontinuitas tulang dan atau
Global Status Report on Road Safety 2013 yang tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
dibuat oleh World Health Organization (WHO), rudapaksa dan juga disebabkan oleh trauma atau
sebanyak 1,24 juta korban meninggal tiap tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya
tahunnya di seluruh dunia akibat kecelakaan lalu trauma. Penyebab fraktur adalah trauma, yang
lintas. Di Indonesia pada tahun 2010 telah terjadi dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
31.234 kematian akibat kecelakaan lalu lintas. langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung
(WHO, 2013). Trauma yang dialami seseorang yaitu benturan pada tulang, biasanya penderita
akan menyebabkan masalah-masalah seperti, terjatuh dengan posisi miring dimana daerah
biaya yang besar untuk mengembalikan fungsi trochanter mayor langsung terbentur dengan
tulang setelah mengalami trauma, risiko benda keras (jalanan). Trauma tidak langsung
kematian yang tinggi, produktivitas menurun yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar tetap terbaring lama, membiarkan tubuh tetap
mandi. Trauma ringan yaitu keadaan yang dapat kaku. Untuk mencegah tidak terjadinya kekakuan
menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri otot dan tulang pada daerah yang dilakukan
sudah rapuh atau underlying deases atau fraktur operasi, serta mengurangi rasa nyeri yang
patologis (Sjamsuhidayat & Wim de Jong, dialami pasien maka tindakan yang dapat
2010). dilakukan adalah mobilisasi contohnya yaitu
dengan melakukan Range Of Motion (Smeltzer
Dampak yang ditimbulkan oleh trauma pada
& Bare, 2009).
fraktur diantaranya terbatasnya aktivitas, karena
rasa nyeri akibat tergeseknya saraf motorik dan Range Of Motion (ROM) adalah Latihan gerakan
sensorik pada luka fraktur. Nyeri adalah sesuatu sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi
hal yang bersifat subjektif, tidak ada dua orang dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan
sekalipun yang mengalami kesamaan rasa nyeri masing-masing persendiannya sesuai gerakan
dan tidak ada dua kejadian menyakitkan yang normal baik secara aktif ataupun pasif (Perry &
mengakibatkan respon atau perasaan yang sama Potter, 2006). Meningkatkan kemampuan
pada individu. Asosiasi internasional yang aktivitas mandiri pasien harus melakukan
khusus mempelajari tentang nyeri (The pergerakan, hal tersebut juga bertujuan untuk
International Association For the Study of menghilangkan kekakuan pada otot dan tulang,

1327
Pain/IASP) (1977) dalam (Potter & Perry, terutama pada pasien post operasi. Pergerakan
2010), mendefinisikan nyeri sebagai sesuatu badan sedini mungkin dan nyeri yang dirasakan
yang tidak menyenangkan, bersifat subjektif dan pada saat latihan gerakan sendi harus dapat
berhubungan dengan panca indera, serta ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi
merupakan suatu pengalaman emosional yang menjadi gangguan (Kusmawan, 2008).
dikaitkan dengan kerusakan jaringan baik aktual
Hasil penelitian Rustianawati (2013),
maupun potensial, atau digambarkan sebagai
dalam penelitiannya tentang efektivitas ambulasi
suatu kerusakan/cedera. Salah satu dampak dari
dini terhadap penurunan intensitas nyeri pada
fraktur yang ditimbulkan diantaranya terbatasnya
pasien post operasi laparatomi di RSUD Kudus
aktivitas terutama pada pasien post operasi
fraktur. mendapatkan hasil bahwa mobilisasi pasca
laparatomi dapat menurunkan nyeri dengan
Post operasi yang tidak mendapatkan perawatan
menggunakan uji independent samples t test
maksimal setelah pasca bedah dapat
didapatkan hasil ρ value (0,009 < α = 0,05).
memperlambat penyembuhan dan menimbulkan
komplikasi. Pasien post operasi sering kali Kemudian penelitian Purwanti dan Purwaningsih
dihadapkan pada permasalahan adanya proses (2013) tentang pengaruh latihan range of motion
peradangan akut dan nyeri yang mengakibatkan (ROM) aktif terhadap kekuatan otot pada pasien
keterbatasan gerak. Sedangkan kecacatan fisik post operasi fraktur humerus di RSUD Dr.
dapat dipulihkan secara bertahap melalui latihan MOEWARDI didapatkan hasil ada pengaruh
rentang gerak yaitu dengan latihan Range of signifikan pada latihan range of motion (ROM)
Motion (ROM) yang dievaluasi secara aktif, aktif terhadap kekuatan otot pada pasien post
yang merupakan kegiatan penting pada periode operasi fraktur humerus di RSUD Dr. Moewardi
post operasi guna mengembalikan kekuatan otot dengan hasil ρ value (0,000 < α = 0,05).
pasien (Lukman dan Ningsih, 2009). Rasa nyeri Penelitian lainnya dari Syahputra (2013) tentang
post operasi yang dialami pasien, membuat hubungan tingkat nyeri dengan tingkat
pasien takut untuk menggerakkan ekstremitas kecemasan pada pasien fraktur tulang panjang di
yang cedera, sehingga pasien cenderung untuk
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapatkan kontrol masing-masing dilakukan pengukuran
hasil ρ value (0,04 < α = 0,05). sebelum diberikan intervensi (pre-test) dan
setelah diberikan intervensi (post-test) (Hidayat,
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu
2007).
kondisi terputusnya kontinuitas tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh Sampel pada penelitian ini adalah pasien
rudapaksa dan juga disebabkan oleh trauma atau yang mengalami post operasi fraktur ekstremitas
tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya bawah yang ada di ruangan Dahlia RSUD Arifin
trauma. Trauma menyebabkan tulang patah dapat Achmad. Instrumen pada penelitian ini adalah
berupa trauma langsung dan trauma tidak lembar observasi dengan menggunakan Numeric
langsung. Fraktur biasa terjadi karena trauma Rating Scale (NRS).
langsung eksternal, tetapi dapat juga terjadi
Pengumpulan data dilakukan di ruang
karena deformitas tulang misalnya fraktur
rawat inap dahlia RSUD Arifin Achmad
patologis karena osteoporosis, penyakit paget
Pekanbaru. Peneliti melakukan pemilihan sampel
dan osteogenesis imperfekta) (Sjamsuhidayat,
berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
2005; Potter & Perry, 2005).
Kelompok eksperimen selanjutnya akan
Nyeri post operasi adalah nyeri yang diberikan tindakan ROM selama 20 menit, dan
dirasakan akibat dari hasil pembedahan. kelompok kontrol tidak. Setelah melakukan
Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post intervensi kedua kelompok diukur kembali
operasi berbeda-beda. Lokasi pembedahan intensitas nyerinya dengan menggunakan skala
mempunyai efek yang sangat penting yang hanya intensitas nyeri numerik.
dapat dirasakan oleh pasien. Nyeri pasca operasi
Analisa data pada penelitian ini adalah
tidak hanya terjadi setelah operasi besar, tetapi
univariat dan bivariat. Analisa univariat
juga setelah operasi kecil. Selain faktor
dilakukan untuk melihat karakteristik responden
fisiologis, nyeri juga dipengaruhi oleh rasa takut
meliputi umur, jenis kelamin, dan status
atau kecemasan mengenai operasi (dimensi
pendidikan. Analisa bivariat menggunakan
afektif), yang dapat meningkatkan persepsi
dependent t test dan independent t test.
individu terhadap intensitas nyeri (dimensi
Dependent t test digunakan untuk melihat
sensorik). Meskipun semua pasien post operasi
perbedaan rata-rata nilai intensitas nyeri pre-test
mengalami sensasi rasa nyeri, ada perbedaan
dan post-test. Independent t test digunakan untuk
dalam ekspresi atau reaksi nyeri (dimensi
membandingkan nilai intensitas nyeri post-test
perilaku), latar belakang budaya (dimensi
pada kelompok eksperimen dan kelompok
sosiokultural) (Suza, 2007).
kontrol.
METODOLOGI PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam
Berdasarkan penelitian didapatkan hasil
penelitian ini adalah Quasy Experiment dengan
sebagai berikut:
rancangan penelitian Non-Equivalent Control
Group, yaitu sebuah rancangan penelitian
1. Analisa univariat
dimana peneliti tidak melakukan randomisasi
untuk pengelompokan antara kelompok Tabel 1
eksperimen dan kelompok kontrol. Penelitian ini Gambaran karakteristik responden
melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Dalam Eksp
penelitian ini kelompok eksperimen diberikan erime
intervensi/perlakuan. Sedangkan pada kelompok Kontrol Jumlah
kontrol tidak diberikan intervensi/perlakuan. Karakteri n
(n=15) (n=30)
Pada kelompok eksperimen dan kelompok
stik (n=15
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
) kontrol
N % N % n %
Intensitas Nyeri Mean SD
Umur Pasien Post
a. 12-16 1 3,3 0 0 1 3,3 Operasi Fraktur
b. 17-25 3 10, 1 3,3 4 13,3 Ekstremitas bawah
0 Sebelum Diberikan
c. 26-35 4 13, 5 16, 9 30,0 Intervensi
3 7 Eksperimen 4,71 0,56
d. 36-45 1 3,3 6 20, 7 23,3
Kontrol 4,91 0,24
0 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa mean
e. 46-55 4 13, 3 10, 7 23,3 intensitas nyeri pasien post operasi fraktur
3 0 ekstremitas bawah sebelum diberikan intervensi
f. 56-65 2 6,7 0 0 2 6,7 yaitu 4,71 pada kelompok eksperimen dan 4,91
Jenis pada kelompok kontrol dengan standar deviasi
Kelami pada kelompok eksperimen 0,56 dan 0,24 pada
n kelompok kontrol
a. Laki- 43, 1 46, 2
Laki 13 3 4 7 7 90,0 Tabel 3
b. Pere Hasil Pengukuran Rata-Rata Intensitas Nyeri
mpu 2 6,7 1 3,3 3 10,0 Pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah
an Setelah Diberikan Intervensi pada Kelompok
Pendidikan Eksperimen dan Kelompok Kontrol.
a. SD 2 6,7 2 6,7 4 13,3
Intensitas Nyeri Pasien Post Operasi Mean
b. SMP 4 13,3 2 6,7 6 SD
20,0 Fraktur Ekstremitas Bawah Setelah
c. SMA 6 20,0 9 30,0 15 Diberikan Intervensi
50,0 Eksperimen 3,27 0,28
d. PT 2 6,7 2 6,7 4 13,3 Kontrol 4,71 0,24
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa
e. Tidak
mean intensitas nyeri pasien post operasi fraktur
sekola 1 3,3 0 0 1 3,3
ekstremitas bawah setelah diberikan intervensi
h
yaitu 3,27 pada kelompok eksperimen dan 4,71
Berdasarkan tabel diatas, mayoritas umur pasien pada kelompok kontrol dengan standar deviasi
pada kelompok eksperimen dan kontrol berada pada kelompok eksperimen yaitu 0,28 dan 0,24
pada rentang umur 26-35 tahun yaitu sebanyak 9 pada kelompok kontrol.
orang (30,0%). Untuk jenis kelamin yaitu untuk
laki-laki sebanyak 27 orang (90,0%). Pada 2. Analisa bivariate
karakteristik status pendidikan, responden Tabel 4
sebagian besar berpendidikan SMA yaitu Uji normalitas data dengan uji shapiro-wilk
sebanyak 15 orang (50,0%).
Kelompok N p value
Tabel 2 Eksperimen Pre 15 0,255
Hasil pengukuran rata-rata intensitas nyeri pada test
pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah Post 15 0,510
sebelum diberikan intervensi pada kelompok test
eksperimen dan kelompok Kontrol Pre 15 0,178
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
test antara mean intensitas nyeri sebelum dan
Post 15 0,210 sesudah pada kelompok kontrol.
test
Berdasarkan tabel diatas, dari uji Tabel 7
normalitas data dengan uji Shapiro- Perbedaan Rata-Rata Intensitas Nyeri Sesudah
Wilk didapatkan hasil pada kelompok eksperimen diberikan Intervensi pada Kelompok Eksperimen
pre test dan post test adalah data terdistribusi dan Kelompok Kontrol yang Tidak Diberikan
secara normal dengan ρ value (0,255-0,510) > α Intervensi
(0,05). Mean p
Mea
Pada kelompok kontrol pre test dan post test Variabel SD Perbedaa valu
n
adalah data terdistribusi secara normal dengan p n e
value (0,178-0,210) > α (0,05). Eksperime 3,27 0,28
n 0
Tabel 5 0,24 -1,44 0,00
Perbedaan Rata-Rata Intensitas Nyeri Sebelum Kontrol 4,71
7 0
dan Sesudah Intervensi pada Kelompok Tabel diatas menunjukkan bahwa hasil uji
Eksperimen statistik Independent t test didapatkan mean
Intensitas Mean SD p intensitas nyeri post test kelompok eksperimen
Nyeri value adalah 3,27 sedangkan mean post test pada
Pre test 4,71 0,560 kelompok kontrol lebih tinggi yaitu 4,71. Hasil
uji statistik diperoleh ρ value 0,000 (ρ<α). Hal ini
Post test 3,27 0,280 0,000 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
Berdasarkan tabel diatas, dari hasil uji statistik intensitas nyeri antara kelompok eksperimen dan
didapatkan mean intensitas nyeri sesudah kelompok kontrol sesudah diberikan Range Of
dilakukan range of motion terjadi penurunan, Motion (ROM).
dimana hasil pre test adalah 4,71 dengan SD
0,560 menurun saat post test menjadi 3,27 PEMBAHASAN
dengan SD 0,280. Berdasarkan uji statistik 1.Karakteristik Responden
diperoleh ρ value = 0,000 < α (0,05), berarti
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara a. Umur
mean intensitas nyeri sebelum dan sesudah pada Hasil penelitian yang telah dilakukan pada
kelompok eksperimen. pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah
didapatkan hasil bahwa sebagian besar pasien
Tabel 6 yang mengalami post operasi fraktur ekstremitas
Perbedaan Rata-Rata Intensitas Nyeri Sebelum bawah sebagian besar terjadi pada usia yaitu usia
dan Sesudah pada Kelompok Kontrol yang Tidak 26-35 tahun yaitu sebanyak 9 orang (30,0%).
Diberikan Intervensi Kategori umur menurut Depkes (2009) yaitu 12-
Intensitas Mean SD p 16 tahun remaja awal, 17-25 tahun remaja akhir,
Nyeri value 26-35 tahun dewasa awal, 36-45 tahun dewasa
Pre test 4,91 0,248 akhir, 46-55 tahun lansia awal, 56-65 tahun
lansia akhir. Hal ini juga didukung oleh
Post test 4,71 0,247 0,004 Aukerman (2008), yang menyebutkan bahwa
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari hasil uji fraktur sebagian besar terjadi pada usia
statistik didapatkan mean intensitas nyeri pre test produktif antara 25-65 tahun. Hasil ini sejalan
adalah 4,91 dengan SD 0,248 dan mean dengan penelitian yang dilakukan Syahputra
intensitas nyeri post test adalah 4,71 dengan SD (2013) tentang hubungan tingkat nyeri dengan
0,247. Berdasarkan uji statistik diperoleh ρ value tingkat kecemasan pada pasien fraktur tulang
= 0,004 < α (0,05), berarti adanya penurunan panjang di RSUD Arifin Achmad dimana
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
responden yang mengalami fraktur mayoritas mengendarai sepeda motor yang berisiko tinggi
pada usia dewasa yaitu sebanyak 22 responden untuk mengalami cedera/fraktur.
(73,3%).
Latar belakang pendidikan merupakan faktor
Menurut Potter & Perry (2010) menjelaskan
yang mempengaruhi pola pikir seseorang. Latar
bahwa masa dewasa merupakan masa dimana
belakang pendidikan akan membentuk cara
produktif dan terjadi peningkatan kebutuhan
berpikir seseorang termasuk membentuk
terhadap keuangan untuk menafkahi keluarga,
kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang
sehingga banyak individu yang memilih untuk
berkaitan dengan penyakit dan menggunakan
bekerja diluar rumah, sehingga berisiko
pengetahuan tersebut untuk menjaga kesehatan
terjadinya cedera yang mengakibatkan fraktur.
(Perry &Potter, 2005). Dengan demikian dengan
pendidikan yang tinggi akan memudahkan pasien
b. Jenis kelamin
untuk menerima pengetahuan untuk upaya
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien
mengatasi masalah nyeri pasca operasi fraktur.
yang mengalami post operasi fraktur ekstremitas
bawah kebanyakan adalah laki-laki (90,0%). Ini
2. Pengaruh range of motion terhadap intensitas
disebabkan karena aktifitas yang sering
nyeri pada pasien post operasi fraktur
dilakukan diluar rumah seperti berolahraga,
ekstremitas bawah
mengendarai sepeda motor sehingga berisiko
mengalami cedera/fraktur. Menurut Aukerman Berdasarkan hasil penelitian yang telah
(2008) menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak dilakukan pada 30 pasien yang dibagi kedalam 2
terutama pada usia 30 tahun. Hal ini dikarenakan kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
aktifitas yang dilakukan laki-laki lebih banyak kelompok kontrol. Kelompok eksperimen
dan bervariasi dibandingkan perempuan, laki- diajarkan melakukan gerakan ROM selama 4
laki bergerak lebih aktif dibandingkan hari berturut-turut selama 20 menit sedangkan
perempuan sehingga resiko kecelakaan yang kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan
dapat menyebabkan fraktur pada laki-laki lebih seperti kelompok eksperimen dan pada kedua
besar dibanding perempuan. Sedangkan pada kelompok diberikan masing-masing analgetik
perempuan setelah menopause, terutama pada ketorolak. Pengukuran intensitas nyeri pada
usia 45 tahun keatas cenderung beresiko lebih kedua kelompok menggunakan Numeric Rating
tinggi mengalami fraktur akibat terjadinya Scale (NRS).
osteoporosis dikarenakan perempuan pada masa
Pengukuran intensitas nyeri dengan
ini kehilangan estrogen dan kekurangan protein
sehingga terjadi penurunan masa tulang (Black & menggunakan skala nyeri numerik didapatkan
Hawks, 2005). hasil rata-rata intensitas nyeri sebelum dilakukan
ROM yaitu 4,71 pada kelompok eksperimen dan
c. Pendidikan 4,91 pada kelompok kontrol. Sedangkan rata-rata
Secara umum pendidikan terakhir pasien post intensitas nyeri setelah dilakukan ROM yaitu
operasi fraktur ekstremitas bawah yang paling 3,27 pada kelompok eksperimen dan 4,71 pada
banyak adalah SMA sebanyak 15 orang (50%). kelompok kontrol. Pada saat melakukan pre test
Hasil ini sejalan dengan penelitian Winda dalam ditemukan sebagian besar responden
Syahputra (2014), yang mengatakan bahwa mengeluhkan nyeri pada daerah yang mengalami
sebagian besar status pendidikan adalah SMA fraktur yang dilakukan operasi dan mengalami
(43,3%). Kejadian fraktur biasa terjadi pada hambatan dalam beraktifitas. Hal ini sesuai
individu dengan tingkat pendidikan tinggi dengan teori tentang dampak yang ditimbulkan
maupun pendidikan rendah. Karena pendidikan oleh trauma pada fraktur yang diantaranya
SMA lebih banyak pada orang dengan tingkat terbatasnya aktifitas, karena rasa nyeri akibat
ekonomi bawah yang mengharuskan mereka tergeseknya saraf motorik dan sensorik pada luka
untuk lebih banyak beraktifitas diluar seperti fraktur. Post operasi yang tidak mendapatkan
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
perawatan maksimal setelah pasca bedah dapat pada rentang umur 26-35 tahun yaitu sebanyak 9
memperlambat penyembuhan dan sering kali orang (30,0%), sedangkan untuk jenis kelamin
dihadapkan pada permasalahan adanya proses mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebanyak 27
akut dan nyeri yang mengakibatkan keterbatasan orang (90,0%), mayoritas berpendidikan SMA
gerak seperti sulitnya untuk menggerakkan yaitu sebanyak 15 orang (50,0%).
persendian (Lukman dan Ningsih, 2009).
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
tentang pemberian ROM yaitu pada kelompok
perbedaan intensitas nyeri yang signifikan
eksperimen yang diberikan perlakuan gerakan
sebelum dan sesudah melakukan ROM, sehingga
ROM selama 4 hari mengalami penurunan yang
dapat disimpulkan bahwa gerakan ROM efektif
sangat signifikan yaitu didapatkan mean pretest
dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien.
adalah 4,71 menjadi 3,27. Sedangkan pada
Hasil penelitian Rustianawati (2013), dalam
kelompok kontrol didapatkan bahwa juga terjadi
penelitiannya tentang efektivitas ambulasi dini
penurunan sedikit yaitu didapatkan mean pretest
terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien
pada kelompok kontrol 4,91 menjadi 4,71. Hasil
post operasi laparatomi di RSUD Kudus
yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada
mendapatkan hasil bahwa mobilisasi pasca
kelompok eksperimen terdapat penurunan yang
laparatomi dapat menurunkan nyeri.
signifikan antara pretest dan posttest, dan pada
Penelitian yang dilakukan Galuh (2009) pada kelompok kontrol juga didapatkan adanya
pasien pasca operasi fraktur femur dengan teknik penurunan yang terjadi pada pretest dan posttest.
distraksi didapatkan hasil bahwa terjadi Hal ini disebakan karena pada kedua kelompok
penurunan nyeri yang signifikan pada kelompok diberikan analgetik ketorolak dan pada kelompok
eksperimen (p=0.006). Hal ini juga sejalan eksperimen diberikan latihan gerakangerakan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanti ROM.
dan Purwaningsih (2013), yang menyatakan
Hasil ini membuktikan terdapat bahwa
bahwa pengaruh latihan ROM aktif efektif untuk
pengaruh ROM efektif menurunkan intensitas
kekuatan otot pada pasien post operasi humerus
nyeri pada pasien post operasi
dengan ρ value (0,000) < α (0,05).
fraktur ekstremitas bawah.
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Saran
latihan ROM terbukti dapat menurunkan
Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan khusunya
intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur
keperawatan dapat menjadikan range of motion
ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan karena
(ROM) sebagai salah satu alternatif terapi non
dengan melakukan pergerakan ROM merupakan
farmakologi dalam penatalaksanaan nyeri dengan
salah satu teknik yang dapat dilakukan dalam
intensitas sedang. Peneliti menyarankan agar
menurunkan nyeri karena dapat memelihara
gerakan ROM dapat dimodifikasi dengan terapi
kekuatan otot, memperlancar sirkulasi darah, dan
lain seperti terapi musik, dan terapi murrotal al
memelihara mobilitas persendian. Oleh karena
quran.
itu latihan ROM efektif untuk menurunkan
intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur 1
ekstremitas bawah. Orien Permana: Mahasiswa Program Studi

PENUTUP Kesimpulan Ilmu Keperawatan Universitas Riau, Indonesia.


Setelah dilakukan penelitian tentang pengaruh 2
range of motion (ROM) terhadap intensitas nyeri Ns. Sofiana Nurchayati, M.Kep: Dosen
pada pasien post operasi fraktur ekstremitas Bidang Keilmuan Keperawatan Medikal Bedah
bawah didapatkan hasil yang menunjukkan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
bahwa sebagian besar umur yang mengalami Riau, Indonesia.
post operasi fraktur ekstremitas bawah terjadi
3
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
Gruendemenn, F. (2006). Keperawatan
Ns. Herlina, M.Kep.,Sp.Kep.Kom: Dosen perioperatif. Jakarta : EGC.
Bidang Keilmuan Keperawatan Komunitas
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Galuh, A. N (2009). Pengaruh teknik relaksasi
Riau, Indonesia. nafas dalam terhadap penurunan tingkat
nyeri pada pasien pasca operasi fraktur
femur. Diperoleh pada juli 2015 dari
http://viewer.eprints.ums.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008).Tehnik prosedural Hidayat, Aziz Alimul, (2007). Metode penelitian
keperawatan: konsep dan keperawatan teknik analisa data.
aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Jakarta : Salemba Medika.
Salemba Medika.
Kementerian Kesehatan RI (2010). Rencana
Aukerman, 2008. Ilmu Bedah (Handbook Of strategis kementerian kesehatan Tahun
Surgery). Jakarta: Penerbit 2010-2014. Jakarta
Buku Kedokteran EGC.
Kusmawan. (2008). Spesialis bedah. Jogjakarta :
Black, M. J. & Hawks, H.J. (2009). Medical Pustaka Pelajar.
Surgical Nursing : Clinical Management
for Continuity of Care, 8th Li, Liu, & Herr.(2007). Post operatif pain
ed. intensity assessment: a comparison of
Philadephia: W.B. Saunders Company. four scales in chinese adult. Diunduh
tanggal 25 Maret 2009 dari
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2005). Medical http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
surgical nursing: Clinical management
for positive outcomes. Missouri: elseiver Lukman & Nurmaningsih, N. (2011). Asuhan
Saunders. keperawatan pada klien dengan
gangguan muskuloskeletal.
Burns and Grove, S.K (2005). The Practice of Jakarta : Salemba Medika.
nursing research counduct, critique &
utilization. USA :W.B. Saunders Muttaqin, Arif. (2008).Buku ajar asuhan
Company keperawatan klien gangguan
sistem muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
Depkes RI. (2009). Sistem Ketahanan Nasional.
Jakarta. Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian
kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Eldawati. (2011). Pengaruh latihan kekuatan
otot pre operasi terhadap kemampuan Potter, Perry. (2010).Fundamental of nursing,
ambulasi dini pasien pasca operasi Buku 3, Edisi 7. Jakarta : EGC.
fraktur ekstrimitas di RSUP Fatmawati
Jakarta. Skripsi tidak dipublikasikan. Purwanti., Purwaningsih. (2013).
Diakses pada 25 Januari 2015. Pengaruh Latihan Range of
Motion (ROM) terhadap kekuatan
Evans, M. R. H. (2006). Interventions for clients otot pada pasien post operasi fraktur
with muculoskeletal trauma. Dalam D. D. humerus di RSUD Dr.
Ignatavicius & M. L. Workman (Eds.), MOEWARDI. Skripsi tidak
Medical surgical nursing (5th ed., hal. dipublikasikan. Diakses pada tanggal Juli
1189-1226). Philadelphia: Elseiver. 2015.
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015
Rasjad, Chairuddin. (2007).
Pengantar ilmu bedah ortopedi. Bab 12,
hal:286-287 . Makassar : Bintang
Lamumpatue.

World Health Organization. (2013).


Kecelakaan Rosyidi, Kholid.
(2013). Muskuloskeletal.
Lalu Lintas. Wikipedian Ensiklopedia.
Jakarta : Trans Info Media. Diakses
melalui
http://id.wikipedia.org/wiki/Hujan
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015

Rustianawati, Yuni. (2013). Efektivitas


ambulasi tanggal 16 Juli
2011 dini terhadap penurunan
intensitas nyeri pada pasien post
operasi laparatomi di
RSUD Kudus. Skripsi
tidak dipublikasikan.
Diakses pada tanggal 27
Januari 2015.

Saryono. (2011).Metodologi
penelitian kesehatan: penuntun
praktis bagi pemula.
Yogyakarta: Mitra Cendikia
Press.

Sjamsuhidajat, R. Wim de jong.


(2010). Buku ajar ilmu
bedah edisi 3. Jakarta :
EGC

Smeltzer, SC & Bare BG.


(2009). Buku ajar
keperawatan medikal
bedah. Jakarta: EGC.

Suharti C. Dasar-Dasar
Hemostasis. Dalam :
Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I,
dkk. Ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam.
Ed 4. Pusat
Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FK
UI. Jakarta;
2006:749-754.

Suratun, Heryati, Manurung,


S.,Raenah. (2008).
Klien gangguan
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015

sistem
muskuloskeletal.
Jakarta: EGC.

Suza, D. E. (2007). Comparison


of pain experiences between
Javanese and Batak. Songkla
Med J , 249.

Syahputra, H. (2013).
Hubungan tingkat
nyeri dengan tingkat
kecemasan pada
pasien fraktur
ekstremitas bawah di
RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru.

Tamsuri. (2007). Konsep dan


penatalaksanaan nyeri.
Jakarta : EGC.

Winda, I. R.
(2014).Faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat
kecemasan pasien fraktur
tulang panjang pra operasi
yang dirawat di
RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru. Skripsi tidak
dipublikasikan. Diakses
pada Juli 2015.
Journal of Telenursing Volume 2, Nomor 1, Juni 2020 e-ISSN:
2684-8988 p-ISSN: 2684-8996
DOI: https://doi.org/10.31539/joting.v2i1.1129

NYERI PADA PASIEN POST OP FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH


DENGAN PELAKSANAAN MOBILISASI DAN AMBULASI DINI

Juli Andri1, Henni Febriawati2, Padila3, Harsismanto, J4, Rahayu


Susmita5
Universitas Muhammadiyah Bengkulu1,2,3,4,5
juli_andri0788@yahoo.co.id1

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat nyeri dengan
pelaksanaan mobilisasi dini dan ambulasi dini pada pasien post op fraktur eksremitas
bawah di ruang Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu. Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah desain cross sectional. Hasil penelitian, pasien
yang melakukan kegiatan mobilisasi berjumlah 82,9% dan pasien yang tidak
melakukan kegiatan mobilisasi berjumlah 17,1%, pasien yang melakukan kegiatan
ambulasi berjumlah 82,9% dan pasien yang tidak melakukan kegiatan ambulasi
berjumlah 17,1%, nyeri sedang berjumlah 77,1% dan nyeri berat berjumlah 22,9%.
Pada hasil uji chi square, nilai p value = 0.000. Simpulan, ada hubungan pelaksanaan
mobilisasi dan ambulasi dini dengan nyeri pada pasien post op fraktur ekstremitas
bawah di RSUD Dr. M. Yunus.

Kata Kunci : Ambulasi Dini, Mobilisasi, Nyeri

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the relationship between the level of pain
with the implementation of early mobilization and early ambulation in post-op
fracture patients with lower extremities in the Seruni room of RSUD dr. M. Yunus,
Bengkulu. The research design used in this study was a cross-sectional design. The
results of the study, patients who did mobilization activities amounted to 82.9%.
Patients who did not mobilize to 17.1% of patients who carried out ambulation
activities amounted to 82.9%. Patients who did not perform ambulation activities
amounted to 17.1%, pain moderate amounted to 77.1%, and severe pain amounted to
22.9%. In the chi-square test results, the value of p-value = 0,000. In conclusion,
there is a correlation between the implementation of mobilization and early
ambulation with pain in post-op patients with lower limb fractures at RSUD Dr. M.
Yunus.

Keywords: Early Ambulation, Mobilization, Pain

PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) mengemukakan bahwa kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab kematian nomor 8 dan merupakan penyebab kematian teratas
pada penduduk usia 15 – 29 tahun di dunia dan jika tidak ditangani dengan serius
pada tahun 2030 kecelakaan lalu lintas akan meningkat menjadi penyebab kematian
kelima di dunia. Pada tahun 2011- 2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan
1,3 juta orang menderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. (Desiartama, aryana,
2017).
Insiden fraktur femur di Indonesia merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39%
diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana penyebab
terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%) dan jatuh (37,3%) dan
mayoritas adalah pria (63,8%).4,5% Puncak distribusi usia pada fraktur femur adalah
pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan orang tua (diatas 70 tahun) (Risnah et al., 2019).
Fraktur dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan juga kecacatan
apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik (Padila, 2012). Komplikasi yang
timbul akibat fraktur antara lain perdarahan, cedera organ dalam, infeksi luka, emboli
lemak dan sindroma pernafasan. Banyaknya komplikasi yang ditimbulkan contohnya
diakibatkan oleh tulang femur adalah tulang terpanjang, terkuat, dan tulang paling
berat pada tubuh manusia dimana berfungsi sebagai penopang tubuh manusia. Selain
itu pada daerah tersebut terdapat pembuluh darah besar sehingga apabila terjadi
cedera pada femur akan berakibat fatal (Desiartama, Aryana, 2017).
Fraktur terjadi akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara sekunder akibat
proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur yang
patologis. Fraktur dibagi berdasarkan dengan kontak dunia luar, yaitu meliputi fraktur
tertutup dan terbuka. Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit
masih utuh, tulang tidak keluar melalui kulit. Fraktur terbuka adalah fraktur yang
merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka
fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi infeksi (Asrizal, 2014; Rahmawati, 2018).
Fraktur pada ekstremitas atas dan bawah dapat menyebabkan perubahan pada
pemenuhan aktivitas. Perubahan yang timbul diantaranya adalah terbatasnya aktivitas,
karena rasa nyeri akibat tergeseknya saraf motorik dan sensorik, pada luka fraktur
(Smeltzer, Bare, 2013).
Hasil studi yang dilakukan oleh Rahmawati (2018) menyatakan bahwa sebagian besa
kualitas hidup pasien fraktur terganggu pada domain fungsi fisik dan keterbatasan
fisik, sedangkan kualitas hidup ditinjau dari mental secara keseluruhan baik.
Diperlukan edukasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien pasca operasi. Salah
satu tanda dan gejala dari fraktur adalah nyeri. Nyeri merupakan gejala yang paling
sering ditemukan pada gangguan muskoskeletal. Nyeri merupakan pengalaman
sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat (SDKI, 2016).
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan ekstremitas atas maupun bawah dalam
bergerak secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik kesulitan mengubah posisi,
keterbatasan rentang gerak sendi, melakukan aktivitas lain dengan dibantu orang lain,
pergerakan lambat. Sedangkan faktor berhubungannya yaitu kerusakan integritas
tulang, adanya gangguan muskuloskeletal, kerusakan pada integritas struktur tulang,
adanya program pembatasan gerak (Wiley, Sons, 2015).
Penatalaksanaan fraktur tersebut dapat mengakibatkan masalah atau komplikasi
seperti kesemutan, nyeri, kekakuan otot, bengkak atau edema serta pucat pada
anggota gerak yang dioperasi (Carpintero et al., 2014). Masalah tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah kurang atau tidak dilakukannya
mobilisasi dini pasca pembedahan (Lestari, 2014). Beberapa literatur menyebutkan
bahwa pentingnya melakukan mobilisasi dini yaitu untuk memperbaiki sirkulasi,
mencegah terjadinya masalah atau komplikasi setelah operasi serta mempercepat
proses pemulihan pasien (Keehan et al., 2014).
Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan
teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan
kesehatannya (Wahyudi, Wahid, 2016). Kehilangan kemampuan untuk bergerak
menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan.
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan
kesehatan, memperlambat proses penyakit khusunya penyakit degeneratif dan untuk
aktualisasi diri (Wahyudi, Wahid, 2016).
Hasil penelitian Lestari (2014) menyebutkan bahwa mobilisasi dini atau pergerakan
yang dilakukan sesegera mungkin akan berpengaruh pada proses penyembuhan dan
lamanya hari rawat.
Berdasarkan Survey awal yang peneliti lakukan selama berada di ruang seruni
selama 3 hari terhadap 12 orang pasien yang mengalami Fraktur di ekremitas bagian
bawah, 5 orang mengatakan tidak berani melakukan miring kanan dan miring kiri
(tindakan mobilisasi) dikarenakan takut jahitan luka operasi nya lepas, dan 7 orang
pasien mengatakan melakukan mobilisasi sesuai anjuran perawat ruangan, didapatkan
hasil bahwa pasien yang mau melakukan mobilisasi dini dan ambulasi mengalami
nyeri ringan pada post operasi hari ke 3 dan 4, sementara pasien yang tidak mau
melakukan atau taukut melakukan mobilisasi dan ambulasi mengalami nyeri sedang
sampai berat.
METODE PENELITIAN Jenis dan Rancangan penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan metode cross sectional dimana
penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan variable independent (Mobilisasi
post op fraktur eksremitas bawah) dengan variabel dependent (tingkat nyeri) dengan
observasi atau pengukuran di lakukan sekaligus dalam kurun waktu yang sama.

Populasi dan Sampel Populasi


Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien post op fraktur ekstremitas bawah di
RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

Sampel
Sampel yang diambil adalah pasien post op fraktur ekstremitas bawah di ruang Seruni
RSUD dr.M.Yunus yang berjumlah 35 orang. Kriteria yang ditentukan oleh peneliti
adalah : Pasien Post Op fraktur ekstremitas bawah yang dirawat di RSUD Dr. M.
Yunus Bengkulu, kesadaran kompos mentis dengan nilai GCS 13-15, bersedia
menjadi responden dan tidak ada komplikasi seperti perdarahan dll.

HASIL PENELITIAN Analisa Univariat

Tabel. 1
Gambaran Distribusi Frekuensi
Mobilisasi pada
Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas
Bawah

Kegiatan mobilisasi Frekuensi Persentase


Ya 29 82,9%
Tidak 6 17,1%
Total 35 100%
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 35 responden sebagian besar mengikuti
kegiatan mobilisasi, yaitu sebanyak 29 responden (82,9%).

Tabel. 2
Gambaran Distribusi Frekuensi Ambulasi
pada
Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas
Bawah
Kegiatan Ambulasi Frekuensi Persentase
Ya 29 82,9%
Tidak 6 17,1%
Total 35 100,0%

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 35 responden sebagian besar mengikuti


kegiatan ambulasi, yaitu sebanyak 29 responden (82,9%).

Tabel. 3
Gambaran Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri (Pre) pada
Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas
Bawah

Intensitas nyeri Frekuensi Prosentase


%
Tidak nyeri 0 0
Nyeri ringan 0 0
Nyeri sedang 0 0
Nyeri berat 24 68,6 %
Nyeri sangat berat 11 31,4 %
Total 35 100,0%

Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa dari 35 pasien post op fraktur ekstremitas bawah
di ruang Seruni RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu sebelum dilakukan intervensi sebagian
besar mengalami nyeri berat berjumlah 24 orang dengan persentase 68,6%.

Tabel. 4
Gambaran Distribusi Frekuensi Tingkat
Nyeri (post) pada Pasien post op Fraktur
Ekstremitas Bawah

Intensitas nyeri Frekuensi Prosentase %


Tidak nyeri 0 0
Nyeri ringan 0 0
Nyeri sedang 27 77,1%
Nyeri berat 8 22,9%
Nyeri sangat berat 0 0
Total 35 100%
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa dari 35 pasien post op fraktur ekstremitas bawah
di ruang Seruni RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu setelah dilakukan intervensi sebagian
besar mengalami nyeri sedang berjumlah 27 orang dengan persentase 77,1%.

Tabel. 5
Hubungan Pelaksanaan Mobilisasi dengan
Nyeri pada Pasien Post Op Fraktur
Ekstremitas Bawah

Tingkat Nyeri
Total P. Value
Variabel Nyeri Sedang Nyeri Berat

N % N % N %
Tidak Mobilisasi 1 16,7 5 83,3 6 100 0,000
Melakukan 26 89,7 3 10,3 29 100
Total 27
Mobilisasi
77,1 8
22,9 35
100

Berdasarkan tabel 5 hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pelaksanaan mobilisasi dengan nyeri pada pasien post op fraktur ekstremitas bawah
dengan nilai p = 0,000.

Tabel. 6
Hubungan Pelaksanaan Ambulasi Dini
dengan Nyeri pada Pasien Post Op
Fraktur Ekstremitas Bawah

Tingkat Nyeri
Total P. Value
Variabel Nyeri Sedang Nyeri Berat
N % N % N %
Tidak Ambulasi 0 0 6 100 6 100 0,000
Melakukan Ambulasi 27 93,1 2 6,9 29 100
Total 27 77,1 8 22,9 35 100

Berdasarkan tabel 6 hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pelaksanaan ambulasi dini dengan nyeri pada pasien post op fraktur ekstremitas
bawah dengan nilai p = 0,000.

PEMBAHASAN
Analisa Univariat Gambaran Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Mobilisasi pada
Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah
Dari hasil penelitian pada pasien post op fraktur ekstremitas bawah diruang Seruni
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu sebagian besar melakukan mobilisasi.
Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan ekstremitas atas maupun bawah dalam
bergerak secara mandiri dan terarah. Batasan karakteristik kesulitan mengubah posisi,
keterbatasan rentang gerak sendi, melakukan aktivitas lain dengan dibantu orang lain,
pergerakan lambat. Sedangkan faktor berhubungannya yaitu kerusakan integritas
tulang, adanya gangguan muskuloskeletal, kerusakan pada integritas struktur tulang,
adanya program pembatasan gerak (Wiley, Sons, 2015).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ferdian at al., (2015) yang menyatakan
bahwa mobilisasi dini berpengaruh terhadap intensitas nyeri pasien pasca bedah
dengan general anestesi di RS Pani Wilasa Citarum.
Mobilisasi dini berperan penting pula untuk mengurangi nyeri dengan cara
menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau daerah pembedahan,
mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses peradangan yang meningkatkan
respon nyeri, serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf pusat
(Pristahayuningtyas, Kalimantan, 2016)
Pemberian mobilisasi dini menjadi penting karena telah dijadikan standar dalam
prosedur Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) (Dolgun et al., 2017). Mobilisasi
dini mampu melancarkan sistem peredaran darah dan membantu system tubuh
kembali normal dengan cepat.
Penelitian Agustin, Purwanti (2017) menunjukkan bahwa tindakan mengubah posisi
sesering mungkin atau tirah baring, mengajarkan pasien memposisikan tungkai dalam
keadaan abduksi dengan memberikan bantal diantara kedua tungkai untuk
menghindari adduksi, melatih aktivitas fungsional terbukti efektif dilakukan untuk
pasien fraktur intertrochanter femur dengan hambatan mobilitas fisik dan data yang
mendukung yaitu dengan evaluasi ke pasien yang terlihat mampu memposisikan
duduk, mampu melakukan aktivitas fungsional.
Gambaran Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Ambulasi Dini pada Pasien Post
Op Fraktur Ekstremitas Bawah
Dari hasil penelitian pada pasien post op fraktur ekstremitas bawah diruang Seruni
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu sebagian besar melakukan ambulasi dini.
Konsep yang ada mengatakan bahwa ambulasi dini dapat membantu peningkatan
mobilitas dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dalam penelitian Pashikanti,
Diane (2012) menunjukkan bahwa mobilisasi dini (khususnya ambulasi dini) pada
populasi klien dengan tindakan pembedahan mengalami peningkatan dalam hasil
yang diharapkan pada klien. Dalam penelitian ini yang mengalami peningkatan
adalah intake makanan secara oral dan waktu defekasi terjadi lebih awal pada
populasi yang dilakukan ambulasi dini, ditemukan bahwa jarak ketika latihan berjalan
diantara 600- 12.000 m pada kelompok ambulasi dan pada kelompok yang dilakukan
bed-rest ratarata hanya 66 m. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa terjadi
peningkatan nilai yang signifikan pada jumlah score pemenuhan ADL pada kelompok
yang dilakukan ambulasi dini dibandingkan dengan kelompok yang tidak dilakukan
ambulasi dini.
Penelitian Wulansari et al., (2017) menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan
seseorang akan meningkat setelah terjadinya trauma dan setelah dilakukan operasi.
Hal ini juga terjadi pada penelitian ini, sebelum trauma klien dapat melakukan semua
aktivitas sehari-hari dengan mandiri namun setelah fraktur dan sebelum dilakukan
ambulasi dini terjadi peningkatan ketergantungan dalam pemenuhan ADL.
Penjelasan mengenai keuntungan ambulasi dini pada beberapa aspek dan juga
berpengaruh pada pemenuhan ADL dapat menjadi pertimbangan untuk perawat untuk
melakukan ambulasi dini secepat mungkin dengan pertimbangan kondisi klinis klien.
Dari segi klien sendiri, yang menjadi pertanyaan bagi peneliti adalah faktor-faktor
yang menyebabkan klien kooperatif dan mau melakukan ambulasi dini. Salah satu
faktor yang menyebabkan klien kooperatif melakukan ambulasi dini adalah
karakteristik responden yang melalukan ambulasi dini (Wulansari et al., 2017).

Gambaran Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri (Pre) dan (Post) pada Pasien Post
Op Fraktur Ekstremitas Bawah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi sebagian besar
mengalami nyeri berat berjumlah 24 orang. Setelah dilakukan intervensi sebagian
besar mengalami nyeri sedang berjumlah 27 orang.
Terjadinya fraktur mengakibatkan adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah yang
menimbulkan rasa nyeri. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi. Nyeri yang timbul pada fraktur bukan semata-mata
karena frakturnya saja, namun karena adanya pergerakan fragmen tulang. Untuk
mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga
dengan teknik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur) (Fakhrurizal,
2015).
Penatalaksanaan nyeri dilakukan membantu meredakan rasa nyeri dengan pendekatan
farmakologi dan non farmakologi dengan cara lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif, kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap nyeri. Latihan ambulasi dini dan mobilisasi berfungsi untuk mengembalikan
fungsi tubuh dan mengurangi nyeri karena dapat meningkatkan sirkulasi darah yang
akan memicu penurunan nyeri.

Hubungan Pelaksanaan Mobilisasi dan Ambulasi Dini dengan Nyeri pada


Pasien Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara pelaksanaan mobilisasi
danambulasi dini dengan nyeri pada pasien post op fraktur ekstremitas bawah dengan
masing-masing nilai p = 0,000.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi nyeri dengan teknik relaksasi nafas dalam,
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer dengan instruksikan keluarga untuk
mengobservasi kulit jika ada laserasi, kerusakan integritas kulit dengan mobilisasi
pasien (ubah posisi pasien setiap dua jam sekali), hambatan mobilisasi fisik dengan
damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu memenuhi kebutuhan sehari-hari,
resiko infeksi dengan inspeksi kondisi luka atau insisi bedah dan ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala infeksi, resiko syok (hipovolemik) dengan memonitor suhu
dan pernafasan (Huda, 2015; Alvinanta et al., 2019).
Untuk variabel ambulasi pasien yang melakukan ambulasi dengan tingkat nyeri
sedang berjumlah 27 orang dengan persentase 93,1%, pasien yang melakukan
ambulasi dengan tingkat nyeri berat berjumlah 2 orang dengan persentase 6,9%
sedangkan pasien yang tidak melakukan ambulasi dengan tingkat nyeri berat
berjumlah 6 orang dengan persentase 100% .
Nyeri post pembedahan akan timbul setelah hilangnya efek dari pembiusan, nyeri
hebat akan dirasakan 24 jam pertama atau hari ke dua post pembedahan baik pasien
yang baru pertama kali dilakukan pembedahan sebelumnya maupun yang sudah
berulang kali dilakukan pembedahan (Bahrudin, 2018). Anastesi regional merupakan
salah satu upaya penurunan nyeri pada pasien post pembedahan dibandingkan dengan
anastesi umum. Upaya lain dalam mengantisipasi nyeri post pembedahan adalah
dengan edukasi pra pembedahan. Di sini, dijelaskan bahwa edukasi yang baik yang
spesifik sesuai dengan kebutuhan pasien, melibatkan pendukung pasien dan
menggunakan pendekatan personal (Chou et al., 2016).
Hasil tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari yang
menunjukkan nilai signifikansi sebesar p=0,000, membuktikan bahwa terdapat
pengaruh mobilisasi dini terhadap nyeri post operasi TURP pada pasien BPH,
kesamaan lain dalam penelitian ini yaitu pada jenis anestesi yang diberikan pada
responden post pembedahan yaitu anestesi regional (Wulandari, 2018).
Hasil penelitian Lestari (2014) menyebutkan bahwa mobilisasi dini atau pergerakan
yang dilakukan sesegera mungkin akan berpengaruh pada proses penyembuhan dan
lamanya hari rawat.

Penelitan ini sejalan dengan Ditya et. al bahwa mobilisasi dini dapat mempertahankan
fungsi tubuh, mempertahankan tonus otot, dan memulihkan pergerakan sedikit demi
sedikit sehingga pasien post pembedahan dapat memenuhi kebutuhan aktivitasnya
kembali (Ditya et al., 2016).
Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan
teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan
kesehatannya (Wahyudi, Wahid, 2016). Kehilangan kemampuan untuk bergerak
menyebabkan ketergantungan dan ini membutuhkan tindakan keperawatan.
Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan
kesehatan, memperlambat proses penyakit khusunya penyakit degeneratif dan untuk
aktualisasi diri (Wahyudi, Wahid, 2016).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa pentingnya melakukan mobilisasi dini yaitu
untuk memperbaiki sirkulasi, mencegah terjadinya masalah atau komplikasi setelah
operasi serta mempercepat proses pemulihan pasien (Keehan et al., 2014).

SIMPULAN
Ada hubungan yang bermakna antara pelaksanaan mobilisasi dan ambulasi dini
dengan nyeri pada pasien post op fraktur ekstremitas bawahdi ruang Seruni RSUD
Dr. M. Yunus Bengkulu.

SARAN
Hasil penelitian dapat memberikan suatu masukan bagi Rumah Sakit dan evaluasi
dalam pelaksanaan program yang telah dilaksanakan sehingga dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan terhadap pasien terutama pasien post op fraktur ekstremitas
bawah.
Institusi pendidikan keperawatan hendaknya menambah referensi dan memberikan
informasi tentang kegiatan mobilisasi dan ambulasi pada pasien post opfraktur
khususnya bagi mahasiswa Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, A., & Purwanti, S. (2017). Upaya Peningkatan Mobilisasi pada Pasien Post
Operasi Fraktur Intertrochanter Femur. Naskah Publikasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Alvinanta, N. P., Widiastuti, H. P., & Firdaus, R. (2019). Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Post Op Fraktur Ekstremitas Bawah di Ruang Cempaka RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kalimantan Timur
Asrizal, R. A. (2014). Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Medula, 2(3)
Bahrudin, M. (2018). Patofisiologi Nyeri (Pain). Saintika Medika: Jurnal Ilmu
Kesehatan dan Kedokteran Keluarga, 13(1), 7–13
Carpintero, P., Caeiro, J., Morales, A., Carpintero, R., Mesa, M., Silva, S. (2014).
Complications of Hip Fractures: A Review. World Journal of Orthopedics,
5(4), 402 – 411
Chou, R., Gordon, D. B., Casasola, O. A., Rosenberg, J. M., Bickler, S., & Brennan,
T. (2016). Guidelines on the Management of Postoperative Pain. The Journal of
Pain, 17(2), 131–157
Desiartama, D., & Aryana, A. (2017). Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur Femur
Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Orang Dewasa di Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika
Ditya, W., Asril, Z., & Afriwardi. (2016). Hubungan Mobilisasi Dini dengan Proses
Penyembuhan Luka pada Pasien Pasca Laparatomi di Bangsal Bedah Pria dan
Wanita RSUP Dr M Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(3), 724–729
Dolgun, E., Meryem, Y. V. G., Arzu, A., & Yasemin, A. (2017). The Investigation of
Mobilization Times of Patients After Surgery. Asian Pacific Journal of Health
Science, 4(1), 71–75
Fakhrurrizal, A. (2015). Pengaruh Pembidaian terhadap Penurunan Rasa Nyeri pada
Pasien Fraktur Tertutup di Ruang IGD Rumah Sakitumum Daerah
A.M Parikesit Tenggarong. Jurnal Ilmu Kesehatan, 3(2)
Ferdian, A. S. O., Puguh, S. K., & Supriyadi, S. (2015). Efektivitas SEFT dan
Mobilisasi Dini terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Pasca Bedah dengan
General Anestesi di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan, 1-9
Huda, N. H., & Kusuma, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda NIC-NOC Jilid 2. Jogjakarta: Medication
Keehan, R., Kendrick, E., Flavell, E., & Deglurkar, M. (2014). Enhanced Recovery
for Fractured Neck of Femur: A Report of 3 Cases. Geriatric orthopaedic
surgery & rehabilitation, 5(2), 37–42
Lestari, Y. E. (2014). Pengaruh ROM Exercise Dini pada Pasien Post Operasi Fraktur
Ekstermitas Bawah (Fraktur Femur dan Fraktur Cruris) terhadap Lama Hari
Rawat di Ruang Bedah RSUD Gambiran Kota Kediri. Jurnal Ilmu Kesehatan,
3(1)
Padila, P. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika
Pashikanti, L.,& Diane, A. V. (2012). Impact of Early Mobilization Protocol on the
Medical-Surgical Inpatient Population. http://unmhospitalist.pbworks.com/w/fil
e/fetch/66026941/Impact%20of%20Early%20Mobilization%20Protocol%20o
%2
0the%20MedicalSurgical%20Inpatient%20Population.pd
Pristahayuningtyas, R. C. Y., & Kalimantan, J. (2016). Pengaruh Mobilisasi Dini
terhadap Perubahan Tingkat Nyeri Klien Post Operasi Apendektomi di Rumah
Sakit Baladhika Husada Kabupaten Jember. Pustaka Kesehatan, 4(1), 102–107
Rahmawati, R., Arif, M., & Yuliano, A. (2018). Pengaruh Pembidaian terhadap
Penurunan Skala Nyeri pada Pasien Fraktur Tertutup di Ruangan IGD RSUD
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2018. Skripsi. Stikes Perintis Padang
Risnah, R., Risnawati, H. R., Azhar, M. U., & Irwan, M. (2019). Terapi Non
Farmakologi dalam Penanganan Diagnosis Nyeri Akut pada Fraktur: Systematic
Review. Journal of Islamic Nursing, 4(2), 77-87
SDKI, DPP & PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Wahyudi, A. S. dan Wahid, A. (2016). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta:
Mitra Wacana Media
Wiley, J. & Sons, S. (2015). Nursing Diagnoses-Definition and Classification 2015-
2017. Jakarta: EGC
Wulandari, A. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Nyeri Post Operasi TURP
pada Pasien BPH di RS PKU Muhammadiyah Bantul. Retrieved from
http://digilib.unisayogya.ac.id/3929/1/NASPUB BU ANI-1.pd
Wulansari, N. M. A., Ismonah, I., & Shobirun, S. (2017). Pengaruh Ambulasi Dini
terhadap Peningkatan Pemenuhan Activity Daily Living (ADL) pada Pasien
Post Operasi Fraktur Ekstremitas di RSUD Ambarawa. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), III(1), 16-26
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

PENGARUH MOBILISASI DINI TERHADAP SKALA NYERI PADA PASIEN


POST OPERASI FRAKTUR FEMUR DI RUANG KENANGA
RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK

Oleh;
Dwi Chrisna Susanti1), Suryani2), Rahmawati3)
1)
Mahasiswa Universitas An Nuur, Email; chrisnapajak@gmail.com
2)
Dosen Universitas An Nuur, Email; suryanilatifa@gmail.com
3)
Dosen Universitas An Nuur, Email; wrahma976@gmail.com

ABSTRAK

Latar belakang: Di RSUD Sunan Kalijaga Demak di ruang Kenanga pasien fraktur femur
menempati 10 besar penyakit dalam semester pertama di tahun 2018, yaitu sebesar 42%.
Pasien Post Operasi Femur timbul sensasi nyeri yang berbeda-beda, sehingga perawat
melakukan tindakan mandiri dengan mobilisasi dini untuk mengurangi skala nyeri. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui pengaruh mobilisasi dini terhadap skala nyeri pada post
operasi fraktur femur di ruang Kenanga RSUD Sunan Kalijaga Demak .
Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan jenis quasy experimental
dengan rancangan penelitian berbentuk pretest- post test control group design. Pengambilan
sampel menggunakan accidental sampling
Hasil: Berdasarkan analisis Uji wilcoxon kelas eksperimen sig p 0,000<0,05 dengan mean
rank negatif 9,00, sedangkan kelas kontrol hari ke-1 sig p 0,000 < 0,05 dengan nilai mean
rank negatif 9,00, pada hari ke-2 kelas kontrol sig p 0,05 ≥ 0,05 mean rank negatif sebesar
5,00 dan kelas kontrol hari ke-3 sig p 0,025<0,05 dengan mean rank negatif sebesar 3,00
dari pre test ke posr test. Berdasarkan hasil hipotesis mann withney diperoleh Sig 0,000 p<
0,05 berarti ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post
operasi fraktur femur.
Kesimpulan: Ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan skala nyeri pada pasien post
operasi fraktur femur RSUD Sunan Kalijaga Demak

Kata Kunci: Fraktur Femur, Mobilisasi Dini, Skala Nyeri


TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 15
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

EFFECT OF EARLY MOBILIZATION OF PAIN SCALE ON POST OPERATION OF


FEMUR FRACTURES PATIENT IN KENANGA ROOM SUNAN KALIJAGA DEMAK

By;
Dwi Chrisna Susanti , Suryani2), Rahmawati3)
1)

1)
Student of Universitas An Nuur, Email; chrisnapajak@gmail.com
2)
Lecturer of Universitas An Nuur, Email; suryanilatifa@gmail.com
3)
Lecturer of Universitas An Nuur, Email; wrahma976@gmail.com

ABSTRACT

Background: In Sunan Kalijaga Demak Hospital in the space of femur fracture patients
occupy the top 10 diseases in the first semester of 2018, amounting to 42% of all fracture
patients who were opnamed at Sunan Kalijaga Demak Regional Hospital. Postoperative
Femur Patients arise different sensations of pain, so nurses take action independently with
early mobilization of postoperative femur fracture patients to reduce the scale of pain. The
objective is to determine the effect of early mobilization on pain scale on postoperative
femoral fracture in the space of Sunan Kalijaga Demak Regional Hospital.
Method: This type of research is experimental research with quasy experimental type with
the design of in the form of pretest-posttest control group design. Sampling using accidental
sampling
Results: Based on the Wilcoxon Test analysis experimental class sig p 0,000 <0.05 with a
negative mean rank of 9.00, while the control class on day 1 sig p 0,000 <0.05 with a mean
negative rank of 9.00, on the day 2 control classes sig p 0.05 ≥ 0.05 negative mean rank of
5.00 and third day control class sig p 0.025 <0.05 with negative mean rank of 3.00 from
pretest to posr test. Based on the results of the mann withney hypothesis, Sig 0.000 p <0.05
means that there is an influence of early mobilization on the decrease in pain scale in
femoral fracture postoperative patients.
Conclusion: There is an influence of early mobilization on pain scale reduction in
postoperative femoral fracture patients at Sunan Kalijaga Demak Regional Hospital

Keywords: Femur Fracture, Early Mobilization, Pain Scale

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 16
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 16
PENDAHULUAN bahwa angka kejadian cidera yang terjadi
Fraktur adalah terputusnya di jalan raya yaitu dari 42,8% ( Riskesdas
kontuinitas jaringan tulang baik total,
2013) menjadi 31,4%.
partial yang dapat mengenai tulang panjang
Menurut Desiartama & Aryuna
dan sendi jaringan otot dan pembuluh
(2017) di Indonesia kasus fraktur femur
darah trauma yang disebabkan oleh stress
merupakan yang paling sering yaitu
pada tulang, jatuh pada ketinggian,
sebesar 39% diikuti fraktur humerus
kecelakaan kerja, cedera saat olah raga,
(15%), fraktur tibia dan fibula (11%),
fraktur degeneratif
dimana penyebab terbesar fraktur femur.
(osteoporosis, kanker, tumor tulang) dan
Kasus fraktur di ruang Kenanga
ditandai dengan Look: tanda yang dapat
RSUD Sunan Kalijaga Demak
dilihat, adanya deformitas berupa
menempati 10 besar penyakit dalam
penonjolan yang abnormal, bengkak,
semester pertama di tahun 2018. Kasus
warna kulit merah, adanya ekimosis,
fraktur femur sebanyak 42%, fraktur cruris
angulasi, rotasi dan pemendekan, Feel:
16%, Fraktur clavicula 21%.
nyeri, MoveK: krepitasi dan terasa nyeri
saat digerakkan, gangguan fungsi Nyeri merupakan kondisi berupa
pergerakkan (Lewis, 2007). Fraktur femur perasaan yang tidak menyenangkan,
adalah hilangnya kontinuitas tulang paha bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri
tanpa atau disertai adanya kerusakan pada setiap orang berbeda dalam hal skala
jaringan lunak (Helmi, 2012). ataupun tingkatanya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau
Menurut World Health Organization
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya
(WHO) menyebutkan bahwa 1,25 juta
(Tetty, 2015). Latihan mobilisasi dilakukan
korban meninggal setiap tahunnya di
untuk mencegah komplikasi, mencegah
seluruh dunia akibat kecelakaan lalu lintas
dekubitus, merangsang peristaltik serta
pada tahun 2016. Road injuy atau cidera di
menguarangi adanya nyeri (Hidayat, 2006).
jalan merupakan Top 10 causes of death.
Penelitian yang dilakukan oleh Zetri
Road injury atau Cidera ini mendapat
Akhrita pada tahun 2011 menyebutkan
peringkat ke 8.
bahwa post operasi yang dilakukan
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan mobilisasi dini memiliki waktu
Dasar (Riskesdas) tahun 2018 didapatkan penyembuhan yang lebih cepat

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 17
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

dibandingkan klien yang tidak mobilisasi


dini.

Menurut Potter & Perry (2010)


mobilisasi dini sangat penting sebagai
tindakan pengembalian secara berangsur
angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya.

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 18
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

Dampak mobilisasi yang tidak dilakukan Masa Dewasa Awal(26-35) 2


bisa menyebabkan gangguan fungsi tubuh, Masa Dewasa Akhir(36-45) 4
aliran darah tersumbat dan peningkatan Masa Lansia Awal(46-55) 4
intensitas nyeri. Mobilisasi dini Masa Lansia Akhir(56-65) 4
mempunyai peranan penting dalam Jenis Kelamin :
mengurangi rasa nyeri dengan cara. Untuk Laki-Laki 9
itu perawat perlu memberikan informasi Perempuan 8
kepada pasien dan keluarga pasien tentang
Pendidikan :
pentingnya mobilisasi dini pada pasien
SD 2
post operasi fraktur. SMP 3
SMA 12

HASIL
Pos-Test Kelompok Eksperimen Tahap 1 - Pre-Test
METODE
Kelompok Eksperimen Tahap 1
Metode yang digunakan dalam
Post-Test Kelompok Kontrol Tahap 1-Pre-Tes
penelitian ini adalah quasy experiment
Kelompok Kontrol Tahap 1
dengan desain dalam pretest- post test
Post-Test kelompok Eksperimen Tahap 2 - Pre-Tes
control group design, sedangkan teknik
Kelompok Eksperimen Tahap 2
sampling yang digunakan adalah
Post-Test Kelompok Kontrol Tahap 2 - Pre-Tes
probability sampling dengan teknik yang
Kelompok Kontrol Tahap 2
diambil yaitu simple random sampling.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk Post-Test Kelompok Eksperimen Tahap 3 - Pre-Tes

pengumpulan data dalam penelitian ini Kelompok Eksperimen Tahap 3


Post-Test Kelompok Kontrol Tahap 3 - Pre-Tes
adalah SOP mobilisasi dini, Skala NRS
Kelompok Kontrol Tahp 3
(Numeric Rating Scale) yang berisi skor 0
– 10 dan Lembar observasi
Tabel 2. Pengaruh Perubahan Skala
Tabel 1. Distribusi Nyeri Setelah Di Lakukan
Frekuensi Responden Mobilisasi Dini dan Tanpa
Kategori Mobilisasi Dini pada Pasien
Kelompok Eksperimen
Post Operasi Fraktur Femur

Usia :
Masa Remaja Akhir(17-25)

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 19
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

Tabel 3. Perbedaan Pengaruh Hasil


Mobilisasi Dini dan Tanpa Mobilisasi Dini Tahap ke-1
Hasil Skala
Nyeri
Mann-Whitney U 23,500
Wilcoxon W 176,500
Z -4,683
Sig. (2-tailed) ,000
Exact Sig. ,000b

Tabel 4. Perbedaan Pengaruh Hasil


Mobilisasi Dini dan Tanpa Mobilisasi Dini Tahap ke-2
Hasil Skala
Nyeri
Mann-Whitney U 58,500
Wilcoxon W 211,500
Z -3,441
Sig. (2-tailed) ,001
Exact Sig. ,002b

Tabel 5. Perbedaan Pengaruh Hasil


Mobilisasi Dini dan Tanpa Mobilisasi Dini Tahap ke-3
Hasil Skala Nyeri

Mann-Whitney U 22,500
Wilcoxon W 175,500
Z -4,495
Sig. (2-tailed) ,000
Exact Sig. ,000b

PEMBAHASAN
A. Hasil Analisis Penelitian
1. Eksperimen Perlakuan mobilisasi Dini Terhadap Pengurangan Skala Nyeri

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep
20
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

Bahwa nilai sig pada Pada kelas eksperimen sig p 0,000<0,05 berarti ada
perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah di lakukan mobilisasi dini pada kelas
eksperimen .Berdasarkan hasil hipotesis diperoleh Sig 0,000 p< 0,05 berarti Ho di
tolak dan Ha di terima dalam arti ada pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan
skala nyeri pada pasien post operasi fraktur femur.

Menurut Smeltzer Bare, Hinkle & Cheever (2010) bahwa nyeri berkurang bila
ambulasi dini diperbolehkan, pasien post operasi yang melakukan ambulasi dini

akan mempercepat pemulihan dan mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah.


Mekanisme kerja ambulasi dini mempunyai peranan penting dalam mengurangi rasa
nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi nyeri atau daerah
operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses peradangan yang
meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan transmisi saraf nyeri menuju saraf
pusat (Potter & Perry, 2010).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Rustianawati, Karyati dan Himawan


(2013) bahwa ambulasi dini menunjukkan adanya perbedaan rata-rata intensitas
nyeri pada tahap ke -1 didapatkan nilai p value = 0,009, hari kedua didapatkan nilai
p value 0,000 dan tahap ke- 3 didapatkan nilai p value = 0,000 antara kelompok
eksperimen yang melakukan ambulasi dini dan kelompok kontrol yang tidak
melakukan ambulasi dini.

Menurut teori Smeltzer, Bare (2014) yang mendukung penelitian ini bahwa
ambulasi dini merupakan pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi
sebelumnya untuk mencegah komplikasi dan sebagai usaha untuk mengurangi nyeri
dan memperlancar sirkulasi darah. Dengan sirkulasi yang baik akan mempengaruhi
luka, karena luka membutuhkan keadaan peredaran darah yang baik untuk
pertumbuhan atau perbaikan sel. Kelompok Kontrol Tanpa Perlakuaan Mobilisasi
Dini

Hasil penelitian pada kelas kontrol tahap ke-1 sig p 0,000 < 0,05 berarti ada
perbedaan signifikan tanpa perlakuan, berdasarkan nilai rank rata-rata ada penurunan

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep
21
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

skala nyeri dari pre ke post test sebesar 9,00. Hal ini karena efek anestesi dan
analgesik yang di berikan. Pada tahap ke-2 kelas kontrol sig p 0,05 ≥ 0,05 berati tidak
ada penuruna yang signifikan hanya menurun rata-rata sebesar 5,00. Sedangkan kelas
kontrol tahap ke-3 sig p 0,025<0,05 berarti ada perbedaan signifikan skala sebelum
dan sesudah tanpa mobilisasi dini, tetapi penuruan rata-rata sebesar 3,00 dari pre test
ke post test. Hal ini berarti tanpa mobilisasi dini skala nyeri berkurang tetapi tidak
sesignifikan kelompok eksperimen. Meskipun tanpa perlakuan ada penurunan skala
nyeri ini di karenakan ketersediaan dukungan dan sumber informasi salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi penurunan intensitas nyeri pada kelompok kontrol.
Meskipun tidak mendapatkan intervensi ambulasi dini dari peneliti secara formal
namun responden mendapat pelayanan perawatan post operasi fraktur femur sesuai
dengan standart rumah sakit. Persiapan praoperatif yang diterima oleh pasien
(termasuk informasi tentang apa yang diperkirakan juga dukungan penenangan dan
psikologis) adalah faktor yang signifikan dalam menurunkan ansietas dan nyeri yang
dialami dalam periode pascaoperatif (Smeltzer Bare, Hinkle & Cheever, 2010).

Hasil penurunan intensitas nyeri pada kelompok kontrol dapat disimpulkan


bahwa penurunan intensitas nyeri pasien post operasi abdomen tidak hanya terkait
pada latihan ambulasi dini saja namun juga dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor lain
seperti persepsi nyeri, sosial budaya, usia, jenis kelamin, arti nyeri, ansietas,
pengalaman sebelumnya mengenai nyeri, harapan dan efek plasebo yang dapat
berpengaruh pada penurunan intensitas nyeri pasien)

B. Perbedaan Pengaruh Mobilisasi Dini dan Tanpa Mobilisasi Dini dengan


Pengurangan Skala Nyeri Pasien Post Operasi Fraktur Femur
Berdasarkan hasil penelitian nilai sig 2-tailed sig 0,000 p<0,05 berarti ada
perbedaan hasil skala nyeri antara pasien yang di lakukan mobilisasi dini dan tanpa
mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur femur di ruang kenanga RSUD Sunan
Kalijaga Demak. Di perkuat pada uji dua kelompok atau dua sampel yang saling
berpasangan yaitu melihat perbedaan mean nilai skala nyeri pre test dan post test post
operasi fraktur femur pada kelompok intervensi sebelum dan setelah diberikan

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep
22
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

intervensi, menunjukkan bahwa nilai sig pada pada kelas eksperimen sig p
0,000<0,05 berarti ada perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah di lakukan
mobilisasi dini pada kelas eksperimen sedangkan pada kelas kontrol hari ke-1 sig p
0,000 < 0,05 berarti ada perbedaan signifikan tanpa perlakuan, pada hari ke-2 kelas
kontrol sig p 0,05 ≥ 0,05 dan kelas kontrol hari ke-3 sig p 0,025>0,05 berarti ada
perbedaan tetapi tidak signifikan skala sebelum dan sesudah tanpa mobilisasi dini.

Kelompok intervensi selain mendapatkan standart pelayanan post operasi


fraktur femur dari pihak rumah sakit responden juga mendapatkan intervensi
mobilisasi dini langsung dipantau oleh peneliti sehingga responden dapat mengikuti
tahapan mobilisasi dini secara berkesinambungan mulai dari 6 jam post operasi
dimulai dengan latihan tungkai, latihan kaki, dan perubahan posisi (miring kiri dan
miring kanan), 24 jam post operasi latihan duduk, 48 jam post operasi latihan turun
dari tempat tidur dan berjalan. Perubahan skala nyeri ini terjadi akibat adanya
motivasi yang kuat dari dalam diri responden dan keluarga untuk tetap membantu
proses penyembuhan pasien setelah menjalani operasi fraktur femur. Disamping itu,
responden kelompok intervensi telah mendapatkan informasi pra operasi terkait
dengan anjuran mibilisasi dini post operasi fraktur femur.

Mengatasi nyeri pasca bedah fraktur femur merupakan tindakan penting dalam
mencegah nyeri kronik, mengurangi lama perawatan demi meningkatkan kulitas
hidup pasien. Tindakan farmakologi merupakan tindakan kolaborasi antara perawat
dengan dokter yang menekankan pada pemberian obat analgesik (Potter &Perry,2010.
Pemulihan pasien post operasi membutuhkan waktu rata-rata 72,45 menit, sehingga
pasien akan merasakan nyeri yang hebat rata-rata pada dua jam pertama sesudah
operasi karena pengaruh obat anastesi sudah hilang, dan pasien sudah keluar dari
kamar sadar. Menurut Black dan manajemen nyeri dengan farmakologi adalaah
pemberian analgesik atau obat penghilang rasa sakit. Penatalakasanaan farmakologi
adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi nyeri.

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep
23
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

KETERBATASAN
Keterbatan dalam penelitian ini pada metoda berjenis quasi eksperimen dengan
perlakuaan beberapa kali dan serangkaian waktu sehingga besarnya factor-faktor
pengaruh dari luar seperti lingkungan atau faktor farmokologi tidak bisa di
kesampingkan dan di ukur secara pasti.

KESIMPULAN
Berdasarkan Uji dua kelompok yang berbeda atau dua kelompok yang tidak
saling ketergantungan atau tidak berpasangan yaitu melihat perbedaan skala nyeri
antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi sig 2-tailed sig 0,000 p<0,05
berarti Ha di terima yang artinya ada perbedaan hasil skala nyeri antara pasien yang
di lakukan mobilisasi dini dan tanpa mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur
femur di ruang kenanga RSUD Sunan Kalijaga Demak.

DAFTAR PUSTAKA Helmi, N.Z., (2012). Buku Ajar


Aziz Alimul. H. (2006). Gangguan Muskuloskeletal.
Pengantar Kebutuhan Dasar Jakarta : EGC
Manusia: Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika Hidayat, A (2006). Penghantar
kebutuhan dasar manusia.
. Jakarta. Salemba MMMeeedika.
Clark, E., Diane, Lowman, D. John,
Lewis, S, L., Dirksen, S. R.,
Griffin, L., Russell, Mattehws,
Heitkemper, M. M., & Bucher,
M. Helen, Reiff, A. Donald,
L., (2011). Medical Surgical
(2013). Effectiveness of an Early
Nursing : Assesment And
Mobilization Protocol in a
Managemen Of Clinica
Trauma and Burns Intensive
Problems(Sheed). USA :
Care Unit.
Elsevier Mosby.
Critical Illness, 93, 186-196.
Potter, P.A, Perry, A. G (2010) Buku
. Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 7.
Volume2. Alih Bahasa: Renata

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep
24
TSCD3Kep _Jurnal Vol.5 No.1 Tahun 2020 ISSN: 2503-2437

Riskesdas (2018). Badan penelitian Keperawatan Maternitas. PT


dan pengembangan kemenkes Refika Adiwijaya.
RI.2018 Bandung

Smeltzer, S dan Bare, B. 2014. Buku Zanni, J. M., & Needham, D. M.


Ajar (2010)

Keperawatan Medikal Bedah Promoting Early Mobiliy


Brunner anfRehabilitation in the
Intensive Care Unit.
Ptmmotion,32-38
Tety, S. (2015). Konsep Dan Aplikasi
Relaksasi Dalam

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep
25
Journal of Manual & Manipulative therapy, 2018
vol. 26, no. 3, 147–156
https://doi.org/10.1080/10669817.2018.1432542

Timing of initiating manual therapy and therapeutic exercises in the management of patients
after hindfoot fractures: a randomized controlled trial*
Stephanie R. Albina,b, Shane L. Koppenhaverc, Drew H. Van Boerumd, Thomas G. McPoila, James
Morgand and Julie M. Fritze
a
School of physical therapy, regis university, Denver, Co, uSa; bintermountain healthcare, Salt lake
City, ut, uSa; cDepartment of physical therapy, Baylor university, Dallas, tX, uSa; dDepartment of
orthopedics, the orthopedic Specialty hospital, Salt lake City, ut, uSa; eDepartment of physical
therapy, College of health, university of utah, Salt lake City, ut, uSa
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 148

ABSTRACT
Study design: Randomized clinical trial.
Background: Patients with fractures to the talus and calcaneus report
decreased functional
outcomes and develop long-term functional limitations. Although
physical therapy is typically
not initiated until six weeks after fixation, there’s little research on the
optimal time to initiate a formal physical therapy program.
Objectives: To assess whether initiating physical therapy including range
of motion (ROM) and
manual therapy two weeks post-operatively (EARLY) vs. six weeks post-
operatively (LATE) in patients with fixation for hindfoot fractures results
in different clinical outcomes.
Methods: Fifty consecutive participants undergoing operative fixation of
a hindfoot fracture
were randomized to either EARLY or LATE physical therapy. Outcomes,
including the American Orthopedic Foot and Ankle Society Hindfoot
Scale (AOFAS), the Lower Extremity Functional Scale (LEFS), active
ROM, swelling, and pain, were collected at three and six months and
analyzed
using linear mixed-modeling to examine change over time. Adverse
events were tracked for 12 months after surgery.
Results: The EARLY group demonstrated significantly larger
improvements for the AOFAS
(p = .01) and the LEFS (p = .01) compared to the LATE group. Pairwise
comparison of the LEFS favors the EARLY group at 6 months [7.5
(95%CI −.01 to 15.0), p = .05]. There were no differences
between the groups with regard to ROM, pain, and swelling. The LATE
group incurred increased adverse events in this study.
Conclusion: Initiating early physical therapy may improve long-term
outcomes and mitigate
complications in patients after hindfoot
fractures. Level of Evidence: Therapy,
level 2b.

KEYWORDS
Calcaneus fracture; talus fracture; outcomes; rehabilitation
Introduction million [2,3]. Approximately 25% of patients
Patients sustaining fractures to the hindfoot, are unable to return to work within one year of
including the talus and calcaneus, experience their calcaneal fracture [3], and the mean
decreases in quality of life and long-term period of work incapacity has been reported to
disability. Van Tetering et al. [1] found be 260.5 days [4]. Males in their productive
patients with fractures of the calcaneus working age are often most affected by
reported worse outcomes 2 years after their calcaneal fractures [4]. These fractures
fractures compared to patients with organ commonly lead to post-traumatic arthritis,
transplants or myocardial infarctions. Although continued pain, and long-term disability.
relatively uncommon (11.5/100,000 incidence Wound complications are common with
rate), these fractures often produce a numbers as high as 25% after open reduction
significant socioeconomic burden estimated internal fixation (ORIF) [3,5–7]. Previous
annually to be between $28.5 and $40.5 literature has demonstrated longterm deficits in
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 148
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 149
range of motion (ROM), decreased joint degrees) for the first six weeks after operative
mobility, alterations in gait patterns, and fixation [16]. With regard to talus fractures,
diminished self-reported functional outcomes studies propose that early motion may improve
[8–10]. the prognosis after ORIF [12,17]. For patients
with calcaneal fractures, research suggests
Talar fractures comprise 0.5% of fractures,
subtalar joint motion is a predictor of clinical
and similar to calcaneal fractures, also pose
outcomes [8] and early ROM after internal
challenges to management due to high rates of
fixation may decrease the incidence of post-
avascular necrosis, malunions, and nonunions
traumatic arthritis. Conversely, some research
[11]. These high energy fractures are often
suggests that initiating early mobilization in
associated with additional fractures of the
patients with fractures to the ankle may lead to
metatarsals, calcanei, and malleoli and
disruption of wound healing [18].
frequently result in osteochondral injuries of
CONTACT Stephanie r. albin albin149@regis.edu
*
this study was approved by intermountain healthcare’s institutional review
Board. this trial was initiated prior to 1/1/2013 the supplementary material
for this paper is available online at
https://doi.org/10.1080/10669817.2017.1432542.
© 2018 informa uK limited, trading as taylor & francis Group
the talar dome [11]. Complications such as To the authors’ knowledge, no study to date
avascular necrosis, early post-traumatic has assessed outcomes of patients initiating an
arthritis, impaired joint mobility, malunion, early supervised physical therapy program
nonunion, infection, soft tissue necrosis, and consisting of manual therapy and therapeutic
varus deformities lead to suboptimal long-term exercise versus those initiating a formal
outcomes [11–14]. Like calcaneal fractures, physical therapy program six weeks after
displaced fractures of the talus are associated operative treatment of hindfoot fractures.
with a high percentage of permanent disability Therefore, the primary purpose of this study
[12]. The incidence rate of hindfoot arthritis was to assess whether initiating a formal
following talar neck fractures ranges from 30 physical therapy program including range of
to 90% [15]. Studies suggest a third of patients motion and manual therapy two weeks post-
with a talar fractures will develop a hindfoot operatively (EARLY) vs. six weeks post-
deformity [15]. operatively (LATE) in patients with ORIF for
talus or calcaneus fractures results in
Historically, patients have not been sent to a
differences in clinical outcomes of disability,
formal physical therapy program within the
active ROM, swelling, pain, or adverse events
first few weeks after operative fixation of a
such as wound complications.
calcaneal fracture due in part to concerns of
wound complications such as delayed healing
and infection [16]. Research suggests that a Methods
majority of surgeons’ protocols recommend This study was a longitudinal randomized
physical therapy 6 weeks after operative care controlled trial. Intermountain Healthcare’s
[16]. Pfeifer et al. completed an analysis of 213 Review Board approved the study protocol and
protocols for the management of patients with all patients gave their informed consent. This
ankle, hindfoot, and midfoot fractures [16]. study was not funded.
They found in the majority of protocols,
patients were immobilized for the first several Participants
weeks after operative care of intra-articular
Between 2010 and 2014, patients sustaining an
calcaneal fractures with active ROM limited to
ORIF of either a calcaneal or talar fracture
10 degrees below neutral dorsiflexion (−10
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 149
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 150
were recruited from two fellowship trained up appointments with their surgeons. All
board certified foot and ankle orthopedic patients received an additional five visits
surgeons. The reduction of the fracture was between the three and six month post-operative
determined through intraoperative radiographs. timeframe. See Figure 1 for a flow diagram of
Patients were eligible for this study if they the study. During time periods when patients
were between the ages of 18 and 70 years. were not participating in formal physical
Patients were excluded if they had a previous therapy, they were given a standardized home
foot/ankle fracture or surgery, an open fracture, program consisting of active ROM of the
a head injury affecting cognitive function, a talocrural and subtalar joints such as ankle
fracture not fixed utilizing a standardized later pumps, ankle circles, and drawing the alphabet
extensile approach, or other fractures impeding with their foot. In addition, they were given
normal rehabilitation. straight leg raises and clam shell exercises in
non-weight bearing positions to perform
Measures Intervention independently every day. Patients were given
Eligibility was confirmed, and then baseline the standardized home exercise program of the
measures were performed. Fifty patients were above exercises with specific instructions on
then randomized to the EARLY group (n = the number of repetitions, sets, and times per
24), defined as starting a formal supervised day to perform each exercise. Supervised
physical therapy program within the first two physical therapy treatments were provided by
weeks post-operatively, or the LATE group (n the same fellowship trained manual physical
= 26), defined as initiating a formal supervised therapist for both groups and included
physical therapy program after their six week
follow-up appointment with their orthopedic
fellowship trained foot and ankle surgeon.
Randomization was stratified to control for
fracture type (talus vs. calcaneus). The
treatment allocation was placed in opaque,
sealed envelopes prior to enrollment and was
not opened until baseline measures were
complete. The study design did not allow
blinding of the participants; however, an
assessor blinded to group allocation performed
all measures. In addition, participants were
asked not to reveal group allocation to their
assessor.
All patients were treated for the same
number of visits (10); however, the EARLY
group received five supervised treatments
including manual therapy prior to their six
week follow-up appointment with their
orthopedic surgeon and then continued to work
on range of motion exercises independently
between post-operative weeks six through 12.
The LATE group received range of motion
exercises to work on independently between
prior to their six week follow-up appointment
with their surgeon, and then received five
supervised treatments including manual
therapy between their six and 12 week follow-
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 150
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 151

Figure 1. flow diagram of study treatment. Beck Anxiety Questionnaire. Swelling and
active ROM were assessed by a clinician
manual therapy and therapeutic exercise based blinded to group allocation. All outcome
on an evidence-based model that was measures were assessed at baseline, 3 months,
individualized based on the patient’s fracture and 6 months except for the Beck Anxiety
pattern. For example, if a participant sustained Inventory which was only administered at
a talar neck fracture and was lacking active baseline only.
dorsiflexion ROM, the therapist avoided an
The AOFAS is a 100-point scale with both a
anterior to posterior talocrural joint
subjective and objective component. It is the
mobilization which could place increased
most frequently cited outcome score for
stress through the healing talar neck. Instead,
patients post intra-articular calcaneal fractures
the physical therapist may have chosen to
and contains nine patient and physician-
mobilize the talonavicular joint, distal tibio-
reported items regarding function and
fibular, and/ or subtalar joint.
alignment of the ankle and hindfoot [19]. A
Patients who had incurred a talar neck or perfect score of 100 points indicates no
body fracture or a calcaneal fracture were disability [20]. Forty points of the AOFAS
allowed to begin weightbearing at 12 weeks Ankle-Hindfoot Score is devoted to pain, 50
post-operatively. Patients were allowed to points to function, and 10 points to alignment
weightbear after a lateral process fracture at six [15]. The LEFS is comprised of 20-item
weeks after ORIF and remained in a walking questionnaire with rating a patient’s difficulty
boot until 12 weeks post-operatively. Once with activities. The patient may choose one of
patients were weightbearing, physical therapy five different responses using a 0–4 scale.
management consisted of gait training, balance Patients rate a 0 for extreme difficulty or
and proprioception retraining, continued unable to perform and a 4 for no difficulty and
swelling management, joint mobilizations, and responses are then totaled. A perfect score of
functional strengthening. 80 points indicates no disability [21]. The
minimal clinically important difference
Outcome measures (MCID) for the LEFS is 9 points [21]. The
Participants filled out the following self- Beck Anxiety Inventory is a 21 question
reported questionnaires: the American assessment of how a subject has been feeling
Orthopedic Foot and Ankle Score (AOFAS), over the past week. It is designed for subjects’
the Lower Extremity Functional Scale (LEFS), age 17–80 years. Higher scores indicate
Numeric Pain Rating Scale (NPRS), and the increases in anxiety, and previous research has
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 151
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 152
demonstrated links between psychosocial an MCID in the AOFAS hindfoot scale of 8.9
factors such as anxiety and foot trauma [22,23]. with a standard deviation of 10, a two-tailed
Pain intensity was measured on an 11-point alpha level of .05, and up to a 16% attrition
numeric pain rated scale (NPRS) (0–10) [24]. rate [29].
Current, best, and worst pain intensity was
All analyses were performed using SPSS
collected at each assessment. The NPRS has
Version 23.0 statistical software (IBM
been found to be a reliable and valid measure
Corporation, Armonk, NY). To evaluate the
of pain intensity [25]. Ankle swelling, assessed
primary study purpose of EARLY vs. LATE
by the figure-of-eight method has been shown
group comparison across time, an intention-to-
to have an intraexaminer reliability (ICC =
treat (ITT) analysis was done using linear
0.99) for patients with post-operative ankle
mixed modeling. Baseline descriptive statistics
swelling [26]. The minimal detectable change
were assessed for potentially important
(MDC) for the figure-of-eight method is 9.6
differences, and were added to the model as co-
mm [26]. Active ROM was assessed with a
variates as appropriate. Group, time, and the
plastic goniometer, and has been shown to
group by time interaction were modeled as
have good intraexaminer reliability (ICC =
fixed Table 1. Baseline demographics
0.89) [27].
Baseline demographics
For this study, active ROM was measured in
a long sitting position with the stationary arm early (n late (n
aligned to the fibular head and the moving arm = 24) = 26)
was aligned parallel to the plantar surface of age (years), SD 40.46 ± 39.65
the calcaneus instead of the fifth MT as 13.32 ±
previously described. This was done in an 12.91
attempt to capture talocrural joint ROM and Male, n (%) 22 24
alleviate the combination of talocrural and (91.7) (92.3
forefoot ROM. An intra-rater reliability of this )
measure was completed prior to the beginning fracture type, 20 21
of this study using 20 participants. The Calcaneus, n (%) (83.3) (80.7
intraclass correlation (ICC) for active )
dorsiflexion range of motion was 0.96 (95% CI lefS, SD 17.16 ± 20.08
0.90 to 0.99) and for plantarflexion range of 11.67 ±
motion, the ICC was 0.94 (95% CI 0.86 to 10.73
0.98). aofaS hindfoot, SD 42.14 ± 41.58
9.22 ±
All patients with a calcaneal fracture 12.85
received a computerized tomography scan (CT) roM side-to-side 29.3 ± 30.61
prior to operative fixation. Calcaneal fractures difference (Degrees), 9.29 ± 7.68
were then classified according the Sanders SD
classification system by one of two foot and Swelling side-to-side 3.43 ± 3.88 +
ankle fellowship trained orthopedic surgeons difference (cm), 1.6 1.49
from the CT scan prior to operative fixation. SD
pain intensity worst (0– 5.17 ± 4.0 ±
Anaylsis 10), SD 2.17 2.63
A priori power analysis was performed using Beck anxiety Score, SD 13.67 ± 7.34 ±
GPower 3 [28]. The sample size calculation 8.07 7.18
was based on the primary aims with the previous smoker, n (%) 8 10
AOFAS hindfoot scale being the primary (33.3) (38.4
endpoint. Recruiting 25 participants per group )
was planned to provide an 80% power to detect injury to operative 13.23 ± 15.17
a difference between groups at 6 months and treatment (days), 5.16 ± 8.33
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 152
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 153
SD head fracture, and six with a talar neck
abbreviations: lefS, lower extremity functional fracture. Of the six patients with a talar neck
Scale; aofaS, american orthopeadic foot and fracture, one had a Hawkins I classification,
ankle Society hindfoot Scale; roM, range of
four a Hawkins II classification, and one with a
motion; cm, centimeters.
Hawkins IV classification. Sixteen patients
effects. Treatment effects were estimated using were smokers prior to the study and two
separate, random intercept and slope linear patients were current smokers. Twenty-six
mixed models for each outcome variable. For (52%) of patients sustained fractures to the
each model, the co-variance structure right lower extremity. For a majority of
(autoregressive, unstructured, scaled identity) patients in this study (n = 38), the mechanism
was used based on best model fit and ability of of injury was a fall from a height. Sporting
the model to reach convergence. Missing data activities, such as rock climbing and mountain
points were estimated in the mixed model biking, accounted for an additional 10
analyses using restricted maximum likelihood fractures, and motor vehicle accidents
ratio estimation with 100 iterations; therefore, accounted for only two fractures in this study.
all participants randomized to a treatment
group were included in the analyses of Five subjects were lost to follow-up at 3
outcome for that group. months and 18 subjects at 6 months (See
Figure 1). The dropout rate was higher for the
Due to a higher than expected dropout rate, a LATE group than the EARLY group at 6
sensitivity analysis was additionally performed months (5 in the EARLY vs. 13 in the LATE
which excluded estimated data from analysis. group). No differences were noted between the
Since linear mixed modeling automatically patients that completed the study and those that
imputes missing data, the sensitivity analysis were lost to follow-up at 6 months (See Table
was performed using analysis of co-variance 2). In addition, no participant reported
(ANCOVA). Baseline outcome scores were dropping out due to any study-related
used as co-variates, and the primary result of procedures.
interest was the group (EARLY vs. LATE) by
time interaction. The Beck Inventory Scores Intention-to-treat analysis
were also used as co-variates due to differences Results of the intention-to-treat analysis are
between the EARLY and LATE group at listed in Table 3. The hypothesis of interest
baseline. was the group by time interaction which was
examined with pairwise comparisons of the
Results estimated marginal means. A significant group
Twenty-four patients were randomized to the by time interaction was found for both the
EARLY group and 26 patients were AOFAS hindfoot score (p = .01) and the LEFS
randomized to the LATE group. Baseline (p = .01) favoring the EARLY group (See
demographics are listed in Table 1. No Figures 2 and 3, respectively). For the LEFS,
clinically important differences were found the mean difference for the pairwise
between the two groups at baseline, except for comparison at 6 months was 7.5 (95%CI −.01
baseline Beck Anxiety scores, which were used to 15.0), p = .05 favoring the early group. No
as a co-variate in each analysis. Forty significant difference was found between the
participants (80%) were enrolled in the study EARLY and LATE group (p = .07) for active
which had undergone ORIF for a calcaneal ROM at 6 months; however, the trend was for
fracture and 10 for a talar fracture. Of the 40 a greater improvement in total ROM for the
Calcaneal fractures, 28 had a Sanders 2A, 2B, EARLY group (See Figure 4). There was no
or 2C type fracture, 11 sustained a 3AB, 3 AC, difference between the EARLY and LATE
or 3 BC, and one was unknown. Of the 10 groups over time for the outcomes of swelling
participants with talar fractures, three presented (p = .30) or pain (p = .73).
with a lateral process fracture, one with a talar
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 153
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 154
Sensitivity analysis pain intensity 5.0 ± 2.74 4.32 ±
Due to the high dropout rate a sensitivity (0–10) 2.31
Beck anxiety 9.5 ± 6.71 10.88 ±
analysis was performed. Repeated measures
Score 8.98
ANCOVA analyses were performed with the
abbreviations: lefS, lower extremity functional
Beck Anxiety Questionnaire and baseline Scale; aofaS, american orthopeadic foot and
scores as co-variates to assess group by time ankle Society hindfoot Scale; roM, range of
interactions. Similar to the ITT analysis, a motion; cm, centimeters. *values are mean ±
significant difference favoring the EARLY SD.
group was found for the AOFAS hindfoot scale score in the AOFAS hindfoot score between
(p = .03). Pairwise comparisons at six months baseline and 3 months was 8.09 (95% CI 5.13,
were not significant for the AOFAS [1.80 11.06), p < .01, and between 3 and 6 months
(95% CI -4.26 to 7.86), p = .54]. Repeated was 25.13 (95% CI 21.74, 28.52), p < .01. All
measures ANCOVA analysis demonstrated no participants in the study improved over time as
significant interaction for the groups over time reported with the LEFS, with a mean change
with regard to the LEFS (p = .30). Pairwise score between baseline and six months of
comparisons at six months for the LEFS were 39.57 (95% CI 36.45, 42.68), p < .01.
also not significant [2.68 (95% CI −3.14 to
8.40), p = .35]. However, pairwise All participants had improved total active
comparisons at six months for sideto-side ROM of the talocrural joint. From baseline to
differences in ROM were significant favoring six months follow-up, side-to-side ROM
the EARLY group [4.62 (95% CI .359 to 8.89), differences decreased by 14 degrees (95% CI
p = .04]. 12.05, 16.77). At baseline, the total side-to-side
difference in active ROM of the talocrural joint
between the affected and unaffected side was
Main effects 30.0 degrees (95% CI 27.6 to 32.5). At 3
For the main effect of the AOFAS hindfoot months, the total talocrural side-toside
scale, all participants in the study improved difference in active ROM decreased to 13.3
28.75 (95% CI 25.39, 32.10), p < .01. Utilizing degrees (95% CI 11.3 to 15.2), and at 6
the ITT analysis, the mean change months, it decreased to 8.0 degrees (95% CI
5.9 to 10.1). The EARLY group started with a
Table 2. Baseline characteristics of participants greater overall side-to-side loss of motion
lost to follow-up at six months and those compared to their unaffected side, however, at
completing the study*. six months, they had a decreased overall deficit
Lost to in ROM compared to the LATE group.
follow-up 6
Pain and swelling improved for all
Months (n = Complete
participants in the study from the initial visit to
Variable 18) d study
the one year follow-up period. At baseline, the
age (years) 39.5 ± 40.34 ±
mean reported pain was 4.6 ± 2.5 (range 0–10)
12.66 13.34
lefS (0–80) 16.78 ± 19.75 ± and by the six month follow-up, the mean
11.39 11.09 reported pain was 1.7 ± 1.9 (range 0–7). The
aofaS (0–100) 43.17 ± 41.03 ± mean difference between the affected and
10.98 11.48 unaffected side at baseline for swelling was 3.7
roM side-to- 29.53 ± 30.23 ± cm (95% CI 3.2 to 4.1), and by six months, the
side 9.43 7.97 mean side-to-side difference of swelling
difference decreased to 1.1 cm (95% CI 0.8 to 1.4) which
Swelling side- 3.74 ± 3.64 ± fell below the MDC of 9.6 mm.
to-side 1.69 1.51
difference
(cm)
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 154
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 155
Participants were also dichotomized based
on calcaneal of talus fractures. There were
significant differences in the LEFS self-
reported outcome favoring the talar fracture
group over the calcaneal fracture group. The
mean difference in the LEFS at the six month
follow-up was 12.2 (95% CI 2.2 to 22.3), p = .
02.
Adverse events were tracked for one year
after the study by means of chart review. Few
adverse events occurred throughout the course
of the study, with more events noted in the
LATE group than the EARLY group (See
Table 4). One patient in the EARLY group
required an additional surgery, while three in
the LATE group required an additional surgical
procedure throughout the course of the study.
The patient in the EARLY group with an
additional operation underwent a subtalar joint
arthrodesis. The three operative procedures for
patients in the LATE group included: a
hardware removal, a hardware removal with a
peroneal tendon repair and a lateral wall take
down, and a hardware removal and lateral wall
take down. Due to the few number of adverse
advents, differences between groups were not
analyzed statistically.

Discussion
Patients sustaining fractures to the hindfoot can
be difficult and challenging to manage. It is
unknown when the

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 155
Table 3. outcome measures for early and late groups.
EARLY LATE
group group
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 156
Mean
Mean Mean diff
Adjuste change Adjuste change betwee p
Unadjuste d from Unadjuste d from n valu
d mean mean baseline d mean mean baseline groups e

AOFA
S
Baselin
e 53.19 57.13
(SD/Ci 41.58 ± (49.47 to 42.14 ± (52.86 to
) 12.85 56.92) 9.22 61.41)
3 Month 63.74 ± 64.42 11.23 62.76 ± 61.25 4.12 3.17 .
(SD/Ci) 13.38 (60.19 to (6.83 to 9.59 (56.88 to (−0.55 (−2.91 31
68.65) 15.6 65.62) to to
2) 8.78 9.25)
)
6 Month 84.46 ± 85.58 32.95 81.1 ± 82.49 25.36 3.08 .
(SD/Ci) 9.07 (80.83 to (27.49 12.48 (78.06 to (20.6 to (−3.41 35
90.32) to 86.93) 30.1 to
37.2 2) 9.58)
7)
LEFS
Baselin 20.08 ± 22.39 17.17 ± 25.13
e 10.73 (17.77 11.68 (20.13 to
(SD/Ci) to 27) 30.12)
3 Month 34.22 ± 34.74 12.36 29 ± 28.6 3.48 6.14 .
(SD/Ci) 13.59 (30 to (8.49 to 14.1 (23.65 to (0.63 (−0.7 08
39.5) 16.2 33.56) to 2 to
3) 7.58 13)
)
6 Month 64.54 ± 67.24 44.86 60.05 ± 59.95 34.82 7.29 .
(SD/Ci) 8.76 (61.84 to (40.19 12.11 (54.85 to (30.5 (−0.14 05
72.65) to 65.05) 3 to to
49.5 39.1 14.72
2) 2) )
ROM 23.77
30.62 ± 29.3 ± 29.3 ±
Baseline (21.12 to
7.68 9.3 9.3
(SD/Ci) 26.42)
3 Month 13.25 ± 13.07 10.7 12.8 ± 12.8 ± 5.32 0.3 .
(SD/Ci) 4.49 (10.34 to (7.93 7.28 7.28 (2.18 (−3.76 88
15.8) to to to
13.4 8.46 4.36)
7) )
6 Month 8.46 ± 7.22 16.55 7.22 ± 7.22 ± 11.26 0.39 .
(SD/Ci) 5.77 (3.88 to (13.17 6.01 6.01 (8.02 to (2.87 to 44
10.56) to 14.4 6.54)
19.9 9)
3)
abbreviations: Diff, Difference; Betw, Between; aofaS, american orthopeadic foot and ankle
Society hindfoot Scale; lefS, lower extremity functional Scale; roM, range of motion.
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 156
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 157
optimal time is to initiate a formal physical interaction for ROM between the EARLY and
therapy program. The primary purpose of this LATE group; however, the sensitivity analysis
study was to examine if initiating an early demonstrated a significant group by time
(within two weeks post-operatively) formal interaction. The purpose of doing a sensitivity
physical therapy program improves outcomes analysis is to determine if the study results are
for patients with hindfoot fractures. With contingent upon
regard to the ITT analyses, both the AOFAS
abbreviations: roM, range of motion.
and LEFS self-reported outcomes favored the
group initiating an early supervised program.
However, the ITT analysis imputes data for Table 4. Complications for the early and late
participants that miss a follow-up session. In groups.
contrast, when comparing this to the sensitivity Complications EARL LAT
analysis where Y E
Superficial Wound 3 4
patients that were lost to follow-up were Complications
excluded from the analyses, the results differ. Deep wound 0 0
Like the ITT analysis, the sensitivity analysis complications
also demonstrated a significant group by time Dvts 0 1
interaction for the AOFAS; however, there was StJ early post-traumatic 2 7
not a significant interaction for the LEFS. The arthritis
ITT analysis demonstrated no group by time additional surgeries 1 3

Figure 3. patient self-reported lefS adjusted mean scores for early and late
groups.
abbreviations: lefS, lower extremity functional Scale; Mo, Month.

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 157
Figure 4. Side-to-side differences in talocrural joint range of motion between
early and late groups.
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 158
abbreviations: Dvts, Deep vein thrombosis; Keene et al. performed a systematic review
StJ, Subtalar Joint. of early ankle movement vs. immobilization in
ankle fractures and found increased odds of
the analytic strategy utilized creating less wound complications in patients that initiated
confidence in the results, which was the case of early ROM, however, they did not look
this study. Our primary results suggest that specifically at patients who had incurred
either early physical therapy results in superior hindfoot fractures [18]. In our study, there were
outcomes than standard-practice late physical no deep wound infections requiring surgical
therapy, or that there are equivocal outcomes intervention. Although one major concern of
with early vs. late physical therapy. Either way, initiating an early supervised physical therapy
we can conclude there does not appear to be program for this patient population was wound
any adverse effects by initiating an early complications, there was no difference between
supervised physical therapy program as some the EARLY and LATE groups with the
previous literature has suggested [18]. EARLY group experiencing three superficial
wound complications and the LATE group
All patients demonstrated significant
incurring four superficial wound
improvements in all clinical outcomes for this
complications. All of these complications
study. AOFAS scores were rated according to
resolved with a course of oral antibiotics.
Dudkiewicz: 90–100 points – excellent, 70–89
There was only one reported deep venous
points – good, 40–69 points – moderate, and
thrombosis (DVT) which occurred in the
below 40 – poor [30]. At six months post-
LATE group. This is similar to other literature
operatively, the mean AOFAS hindfoot score
which has reported increased events of DVT in
was 84.0 (95% CI 80.8 to 87.3) indicating good
patients who are immobilized vs. those who
outcomes for this patient population.
begin early ankle motion after ankle fracture
At 6 months after operative repair of a [18]. Of the nine patients that demonstrated
hindfoot fracture, patients continued to early post-traumatic arthritis as evidenced by
demonstrate limitations in active range of radiograph within one year after operative
motion of the talocrural joint compared to the fixation, only two were in the EARLY group.
contralateral side. Although the limitation of Therefore, initiating an early supervised
active ROM compared to the contralateral side physical therapy program may be valuable in
was 8.0 degrees, this was still a 17% decrease this patient population from a standpoint of
compared to the unaffected side. This is facilitating joint nutrition through joint
consistent with previous literature in which mobilization in combination with range of
significant long-term side-to-side differences motion.
have been reported for both the talocrural and
One limitation of this study was the high
subtalar joints after intra-articular calcaneal
drop-out rate, and therefore, the results of this
fractures and talar fractures [9,31,32].
study must be interpreted with caution.
Patients sustaining talar fractures achieved Approximately 35% of patients dropped out of
better self-reported outcomes than those the study by the six-month follow-up period
patients sustaining calcaneal fractures. (50% in the LATE group and only 21% in the
However, patients with lateral process fractures EARLY group). Patients were not
were included in this study and typically report compensated for participating in the study,
better clinical outcomes than those patients which may have been a factor in the high
with talar neck, head, or body fractures. attrition rate. In addition, patients sustaining
Therefore; these improved outcomes may not these fractures are typically laborers and
be a true reflection of talar neck or body experienced greater difficulty in returning to
fractures. their previous line of work. One such patient
was on a temporary work visa and returned to
his native country before completion of the
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 158
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 159
study. Several other patients went through to initiating early therapy and starting early
vocational rehabilitation, and were unavailable supervised physical therapy management of
to attend long-term follow-up visits. In patients after hindfoot fractures may help
addition, there were no baseline differences mitigate other complications such as early
between those that completed the study and onset post-traumatic arthritis and additional
those that did not complete the study at the six- surgical procedures.
month follow-up visit. Further, Younger has
previously commented on the risk of Key points Findings
‘participant fatigue’ in orthopedic studies with There appears to be a benefit for initiation and
long-term outcomes [33]. EARLY supervised physical therapy program
To our knowledge, there are no studies for patients undergoing operative fixation for
examining the effects of a supervised physical hindfoot fractures, as patients reported
therapy program on the long-term outcomes of improved self-reported outcomes.
patients with hindfoot fractures. Therefore,
additional research is needed in this area to Implications
help guide the management of patients with Patients historically do not initiate a formal
these challenging and complex fractures. physical therapy program until six weeks after
Future research should include cost analyses as operative fixation due to concerns with wound
our study suggests initiating a formal physical complications; however, we did not find any
therapy program six weeks after post-operative increased wound issues in this study for
treatment may lead to more complications than patients that initiated EARLY physical therapy
those who begin a formal physical therapy and these patients also presented with less
program earlier. adverse events such as additional surgical
procedures and early onset post-traumatic
We recognize that an early supervised arthritis compared to the LATE group.
rehabilitation program may not be
advantageous for every patient, as many other Caution
factors related to healing such as co- Due to a significant loss to follow-up at 6
morbidities, patient compliance, and tissue months after operative fixation, the results of
integrity play a critical role in achieving this trial should be interpreted with caution.
successful patient outcomes. Nevertheless, the
Disclosure statement
assumption that an early rehabilitation program
can lead to complications such as disruption of We affirm that we have no financial affiliation
wound or bone healing was not observed in or involvement with any commercial
organization that has a direct financial interest
this study. Furthermore, there may be some
in any matter included in this manuscript,
significant benefits to initiating an early
except as disclosed in an attachment and cited
rehabilitation program including minimizing
in the manuscript.
complications such as early post-traumatic
arthritis and additional surgical procedures;
however, further research is needed. Notes on Contributors
Stephanie R. Albin is a fellow in the American
Academy of Orthopaedic Manual Physical
Conclusion
Therapists. She is an assistant professor in the
Initiating an early supervised physical therapy
School of Physical Therapy at Regis
program consisting of manual therapy and
University. Her main area of research interest
therapeutic exercise may improve long-term
is foot and ankle trauma.
outcomes in patients after hindfoot fractures;
however, this conclusion should be tempered Shane Koppenhaver is currently a clinical
due to the high drop-out rate in this study. associate professor and the director of
Additionally, there appears to be no downside Research for the Doctoral Physical Therapy
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 159
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 160
program at Baylor University. He is board intra-articular fractures of the calcaneus.
certified in Orthopedic Physical Therapy, Acta Chir Belg. 2002 Oct;102:329–333.
fellowship trained in manual therapy, and just [5] Potter MQ, Nunley JA. Long-term
completed 20 years active service in the U.S. functional outcomes after operative
Army. His primary research interests concern treatment for intra-articular fractures of the
mechanistic and clinical outcomes associated calcaneus. J Bone Joint Surg Am. 2009
with manual therapy and dry needling, Aug;91:1854– 1860.
especially as they apply to clinical reasoning [6] F olk JW, Starr AJ, Early JS. Early wound
and management of patients with complications of operative treatment of
neuromusculoskeletal conditions. calcaneus fractures: analysis of 190
fractures. J Orthop Trauma. 1999 Jun–
Tom McPoil is a full professor at Regis Jul;13:369–372.
University School of Physical Therapy. He has [7] L im EV, Leung JP. Complications of
published extensively in the area of foot and intraarticular calcaneal fractures. Clin
ankle. He is also a Catherine Worthingham Orthop Relat Res. 2001 Oct:7–16.
Fellow of the American Physical Therapy [8] Kingwell S, Buckley R, Willis N. The
Association. association between subtalar joint motion
Drew Van Boerum is a fellowship trained foot and outcome satisfaction in patients with
displaced intraarticular calcaneal fractures.
and ankle orthopedic surgeon at the Orthopedic
Foot Ankle Int. 2004 Sep;25:666–673.
Specialty Hospital in Salt Lake City, Utah.
[9] Hirschmuller A, Konstantinidis L, Baur H,
James Morgan is a fellowship trained foot and Muller S, Mehlhorn A, Kontermann J, et al.
ankle orthopedic surgeon at the Orthopedic Do changes in dynamic plantar pressure
Specialty Hospital in Salt Lake City, Utah. distribution, strength capacity and postural
control after intra-articular calcaneal
Julie Fritz is the associate dean for Research,
fracture correlate with clinical and
College of Health at the University of Utah in
radiological outcome? Injury. 2011
Salt Lake City, Utah. She is also an adjunct
Oct;42:1135–1143.
professor for Othopaedic Surgery Operations,
[10] S chepers T, Van der Stoep A, Van der
and distinguished professor for Physical
Avert H, et al. Plantar pressure analysis
Therapy and Athletic Training at the after percutaneous repair of displaced intra-
University of Utah. She has published articular calcaneal fractures. Foot Ankle
extensively in the area of management of Int. 2008 Feb;29:128–135.
patients with low back pain. [11] Pogliacomi F, De Filippo M, Soncini G,
et al. Talar fractures:
References long-term results. Acta Biomed.
2009;80:219–224.
[1] van Tetering EA, Buckley RE. Functional
[12] E lgafy H, Ebraheim NA, Tile M, et al.
outcome (SF-36) of patients with displaced
Fractures of the talus: experience of two
calcaneal fractures compared to SF-36
level 1 trauma centers. Foot Ankle Int.
normative data. Foot Ankle Int. 2004
2000 Dec;21:1023–1029.
Oct;25:733– 738.
[13] I nokuchi S, Ogawa K, Usami N, et al.
[2] Mitchell MJ, McKinley JC, Robinson CM.
Long-term follow up of talus fractures.
The epidemiology of calcaneal fractures.
Orthopedics. 1996 May;19:477–481.
Foot (Edinb). 2009 Dec;19:197–200.
[14] V allier HA, Nork SE, Barei DP, et al.
[3] S chepers T, den Hartog D, Ginai AZ, et al.
Talar neck fractures: results and outcomes.
Posterior capsular avulsion fracture of the
J Bone Joint Surg Am. 2004 Aug;86:1616–
calcaneus: an uncommon avulsion fracture.
1624.
J Foot Ankle Surg. 2007 Sep–Oct;46:409–
[15] Sanders DW, Busam M, Hattwick E, et
410.
al. Functional outcomes following
[4] Mortelmans LJ, Du Bois M, Donceel P, et
al. Impairment and return to work after
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 160
JOURNAL OF MANUAL & MANIPULATIVE THERAPY 161
displaced talar neck fractures. J Orthop change for the figure-of-eight-20 method of
Trauma. 2004 May–Jun;18:265–270. measurement of ankle edema. J Orthop
[16] Pfeifer CG, Grechenig S, Frankewycz Sports Phys Ther. 2007 Apr;37:199–205.
B, et al. Analysis of 213 currently used [27] Y oudas JW, Bogard CL, Suman VJ.
rehabilitation protocols in foot and ankle Reliability of goniometric measurements
fractures. Injury. 2015 Oct;46(Suppl and visual estimates of ankle joint active
4):S51–7. range of motion obtained in a clinical
[17] Rammelt S, Zwipp H. Talar neck and setting. Arch Phys Med Rehabil. Oct
body fractures. Injury. 2009 Feb;40:120– 1993;74:1113–1118.
135. [28] Faul F, Erdfelder E, Lang AG, et al.
[18] K eene DJ, Williamson E, Bruce J, et G*Power 3: a flexible statistical power
al. Early ankle movement versus analysis program for the social, behavioral,
immobilization in the postoperative and biomedical sciences. Behav Res
management of ankle fracture in adults: a Methods. 2007 May;39:175–191.
systematic review and metaanalysis. J [29] Dawson J, Doll H, Coffey J, et al.
Orthop Sports Phys Ther. 2014 Responsiveness and minimally important
Sep;44:690–701, C1–7. change for the Manchester-Oxford foot
[19] S chepers T, Heetveld MJ, Mulder PG, questionnaire (MOXFQ) compared with
et al. Clinical outcome scoring of intra- AOFAS and SF-36 assessments following
articular calcaneal fractures. J Foot Ankle surgery for hallux valgus. Osteoarthritis
Surg. 2008 May–Jun;47:213–218. Cartilage. 2007 Aug;15:918–931.
[20] Pinsker E, Inrig T, Daniels TR, et al. [30] Dudkiewicz I, Levi R, Blankstein A, et
Reliability and validity of 6 measures of al. Dynamic footprints: adjuvant method
pain, function, and disability for ankle for postoperative assessment of patients
arthroplasty and arthrodesis. Foot Ankle after calcaneal fractures. Isr Med Assoc J.
Int. 2015 Jun ;36:617–625. 2002 May;4:349–352.
[21] Martin RL, Irrgang JJ, Burdett RG, et [31] Griffin D, Parsons N, Shaw E, et al.
al. Evidence of validity for the foot and Operative versus nonoperative treatment
ankle ability measure (FAAM). Foot Ankle for closed, displaced, intra-articular
Int. 2005 Nov;26:968–983. fractures of the calcaneus: randomised
[22] Beck AT, Epstein N, Brown G, et al. controlled trial. BMJ. 2014;349:g4483.
An inventory for measuring clinical [32] Schulze W, Richter J, Russe O, et al.
anxiety: psychometric properties. J Consult Surgical treatment of talus fractures: a
Clin Psychol. 1988 Dec;56:893–897. retrospective study of 80 cases followed for
[23] van der Sluis CK, Eisma WH, 1–15 years. Acta Orthop Scand. 2002
Groothoff JW, et al. Longterm physical, Jun;73:344–351.
psychological and social consequences of a [33] Y ounger A. A calcaneal fracture study
fracture of the ankle. Injury. 1998 illustrates a need for better statistical
May;29:277–280. methods for orthopaedic outcomes:
[24] Farrar JT, Berlin JA, Strom BL. Commentary on an article by Per-Henrik
Clinically important changes in acute pain Agren, MD, et al.: “Operative versus
outcome measures: a validation study. J nonoperative treatment of displaced intra-
Pain Symptom Manage. 2003 May;25:406– articular calcaneal fractures a prospective,
411. randomized, controlled multicenter trial”. J
[25] F arrar JT, Young JP Jr, LaMoreaux L, Bone Joint Surg Am. 2013 Aug
et al. Clinical importance of changes in 07;95:e111.
chronic pain intensity measured on an 11-
point numerical pain rating scale. Pain.
2001 Nov;94:149–158.
[26] Rohner-Spengler M, Mannion AF,
Babst R. Reliability and minimal detectable
http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 161
Lima et al. BMC Geriatrics (2016) 16:198
DOI 10.1186/s12877-016-0370-7

STUDYPROTOCOL Open Access

Effectiveness of a physical exercise intervention


program in improving functional mobility in older
adults after hip fracture in later stage
rehabilitation: protocol of a randomized clinical
trial (REATIVE Study)
Camila Astolphi Lima1, Catherine Sherrington2, Adriana Guaraldo1, Suzana Albuquerque de Moraes1,
Renata dos Ramos Varanda1, Juliana de Araújo Melo3, Kodi Edson Kojima3 and Monica Perracini1,4*

Abstract
Background: Hip fractures resulting from falls increase substantially with advancing age and less than half of older
hip fracture survivors regain their former levels of mobility. There is increasing evidence that rehabilitation
interventions with exercises that goes beyond the sub-acute phase or even in a later stage of care have a positive
impact on various functional abilities. The purpose of this study is to determine if exercise program training for
people who have suffered a fall-related hip fracture will improve functional mobility when compared with usual
care.
Methods: A randomized controlled trial with blinded assessors and intention-to-treat analysis will be undertaken.
We will recruit 82 older adults, 60 years or over who have suffered a hip fracture due to a fall in the previous 6 to
24 months. Participants randomized to the Intervention Group (IG) will undertake a physical exercise program
involving progressive and challenging balance training and neuromuscular and functional training of the lower
limbs, conducted at home by physiotherapists, once a week, lasting about one hour, in the first, second and third
month after randomization and will be taught to perform exercises at home, twice a week, using a booklet. Visits
to monitor and progress the home exercise program will be conducted once a month, from the fourth to the sixth
month and each 2 months until the end of the follow up at the 12 th month, i.e., a total of 18 sessions. Participants
will receive monthly phone calls to encourage exercise adherence. The control group will receive usual care. The
primary outcome will be mobility-related disability and participants will be assessed at baseline, and at 3 months, 6
and 12 months. Participants will receive monthly phone calls to ask about falls and exercise adherence. Adverse
effects will be monitored.
(Continued on next page)

* Correspondence: monica.perracini@unicid.edu.br
1
Master’s and Doctoral Programs in Physical Therapy, Universidade Cidade de
São Paulo, Rua Cesáreo Galeno 448, Tatuapé, São Paulo CEP: 03071-000,
Brazil
4
Master’s and Doctoral Programs in Gerontology, Faculty of Medicine,
Universidade Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil
Full list of author information is available at the end of the article

© The Author(s). 2016 Open Access This article is distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0
International License (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/), which permits unrestricted use, distribution, and
Lima et al. BMC Geriatrics (2016) 16:198 Page 163 of 105
reproduction in any medium, provided you give appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to the Creative Commons license, and
indicate if changes were made. The Creative Commons Public Domain Dedication waiver (http://creativecommons.org/publicdomain/zero/1.0/) applies to the data
made available in this article, unless otherwise stated.
(Continued from previous page)

Discussion: This study proposes a home-based exercise program, which may in part overcome some barriers for
rehabilitation, such as difficulties with public transportation and lack of a caregiver to accompany older patients
to sessions. If a positive effect is observed this program has the potential to be incorporated into the public health
system and contribute to building a pathway of care for older people with hip fracture.
Trial registration: Clinicaltrials.gov Identifier: NCT02295527.
Keywords: Hip fracture, Accidental falls, Rehabilitation, Exercise program, Clinical trial, Aging health

http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index.php/TSCD3Kep 163
Background from 15 million to 32 million and to reach 64
Over a lifetime, about half of women and a quarter million (30% of the total population) by 2050 [17].
of men will suffer a fragility bone fracture [1, 2], Furthermore, people aged 80 and over will increase
mostly due to falling [2]. Among the most serious exponentially the next four decades, a growing and
and common fractures are hip fractures, which disproportionate demand on the health system and
have significant risks of mortality [2] and disability social support [17]. Along with an increased aged
[3]. It is estimated that in 2050 the global number population LMICs will have to overcome barriers of
of hip fractures will be between 7.3 and 21.3 care, such as difficulties in access and failure of
million [4] and the cost with the treatment will be existing health services to address older peoples’
approximately of 131.5 billion US dollars [5]. rehabilitation needs. Yet post-fracture
rehabilitation strategies are yet to be tested in low-
Physical and psychological post-fracture limitations,
and middle-income countries.
such as decreased mobility [6] and lower limb
strength [7], impaired balance [6], lack of The primary aim of this study is evaluate the
confidence [7], fear of falling [6] and increased risk effectiveness of a physical exercise program for
of falls [8] restrain about 40% of older people from improving functional mobility in older people who
returning to daily activities required to live have suffered a hip fracture due to a fall in the
independently and safely [3, 9]. previous 6 to 48 months. Secondary aims to 1)
determine the effects of the program in improving
Two years after injury more than half of older hip
physiological risk for falls, functional and
fracture survivors do not regain pre-injury
performance disability and quality of life; 2)
functional abilities [10] and experience a moderate
establish predictors of adherence to the program
to high risk of further falls [6]. The restoration of
and outcomes related to functional and mobility
mobility is crucial to enable old people to move
disability in older people after fall-related hip
around in and outside home, the recommended
fracture.
levels of physical activity, maintain social
engagement and preserve autonomy. Ultimately, Methods
adequate mobility is a key component for an active Trial design
and healthy ageing [11]. This is a randomized controlled trial with 12
months follow-up. The Ethics Committee on Human
Although there is no consensus about the best
Research of the City University of São Paulo (CAAE:
intervention for improving functionality of older
27398814. 7.0000.0064) approved the project. This
people after hip fracture [8], exercise programs
study has been registered with the number
delivered in an intensive and supervised basis, have
protocol of NTC02295527 trials register.
been found to improve the mobility of these
patients [8, 12, 13]. However, few studies have After the baseline assessment an independent
explored the late period of recovery (over 6 investigator, not involved with recruitment or data
months) [14, 15], when functional limitations can collection, will randomly allocate the eligible
persist due to inadequate dose as well as the type participants to one of two parallel groups by
of exercise performed. Recently a home-based opening a sealed envelope with study group
exercise intervention with minimal contact from a assignments i.e., a concealed allocation system.
physiotherapist (4 visits) boosted by monthly The randomization schedule will be prepared in
telephone calls and the provision of a DVD version advance by an independent investigator, not
resulted in clinical meaningful improvement in the involved with recruitment or data collection, using
physical function of the lower limbs, but not in self- in randomly-ordered blocks of 2, 4, and 6
reported mobility and daily activities [16]. participants. All assessors will be blinded to the
group allocation, however, due to the trial design,
Over the next decades a huge increase in the older
participants and therapist are not able to be
population will be experienced by low-and
blinded to group allocation.
middleincome countries (LMICs), such as Brazil
where population is ageing at one of the fastest Participants
rates in the world. The number of seniors in Brazil
is predicted to double between 2002 and 2020,
Community-dwelling people aged 60 years and abductors. The intensity will be defined
over, men and women, after a first hip fracture due individually and will correspond to the adequate
to falling or bone fragility that has been surgically amount of weight that would allow them to
treated will be recruited. These participants will be perform for 10–15 reps, 2–3 sets. Participants will
in the later stage of rehabilitation phase (6 months receive ankle cuff weights to perform the
to 2 years after the fracture). Participants will be exercises. Progressive balance training, consisting
of a protocol of exercises with 1 or 2 sets of 10
recruited from public and private hospitals in São
repetitions, according to individual capacity, to
Paulo municipality, from rehabilitation services and
ensure that participants reach their maximum
through general advertisement.
level of functionality [19]. Weightbearing
Participants will be excluded if they have a severe exercises [14, 15], training with emphasis on
cognitive impairment (assessed using the Mini perception of the limits of stability, change of
Mental State Examination, with scores adjusted position/ direction, maintenance of static and
dynamic stability, anticipatory adjustments using
according to educational level [18] illiterate ≤ 13
different bases of support and different sensory
points, 1 to 8 years of schooling ≤18 points and, 9
conditions will be made. Exercises will include
or more years of schooling ≤26 points); inability to 360° turns, sitting and standing, walking up and
walk despite using a walking aid; progressive or down stairs, functional reach, steps in different
severe neurological disease (e.g., Parkinson’s directions and walk training.
disease, stroke) with severe functional limitations;
communication disability that would impede In the first session the physiotherapist will choose
intervention participation (severe uncompensated two exercises that best address the participant’s
visual or hearing deficits); medical condition functional goals and will add more exercises each
contraindicating exercise (e.g. unstable angina, week according to the participant’s ability, rate of
severe heart disease, large or expanding aortic improvement and motivation. The degree of
aneurysm, etc.); acute vertigo or dizziness less than balance challenge will be progressed in terms of
3 months duration; engaged in a regular exercise reducing the base of support, the use of hands and
program with a frequency of at least twice a week the inclusion of multisegmental coordination
30min a day (excluding walking and senior dance). exercises. Participants will be receive
recommendations on how to perform the exercises
Interventions
safely, such as standing near of a table or in the
Intervention group
corner of a room, so they can promptly use hands
Intervention Group (IG) will undergo a physical
for protection if they start to fall. Those who are
exercise program involving progressive and
frailer will be encouraged to perform exercises
challenging balance training and neuromuscular
under supervision of a caregiver. Participants will
and functional training of the lower limbs,
receive a detailed booklet, containing photos and
conducted at home by physiotherapists, once a
instructions for the exercises.
week, lasting about one hour, in the first, second
and third month after randomization and will be Adverse effects related to the intervention that
taught to perform exercises at home, twice a week, interfere in the activities of everyday life for more
using a booklet. than 48h or require medical attention will be
recorded and monitored (pain, discomfort,
Visits to monitor and progress the home exercise
swelling, etc.). During homevisits the
program will be conducted once a month, from the
physiotherapist will check how the participant is
fourth to the sixth month and each 2 months until
performing the exercises and progress the
the end of the follow up at the 12 th month, i.e., a
exercises if necessary. Participants will receive
total of 18 sessions. Participants will receive
monthly phone calls to encourage exercise
monthly phone calls to encourage exercise
adherence and to collect information about falls
adherence. The physical exercise program will
and their consequences. Participants will be asked
consist of balance training and neuromuscular
reasons for non-adherence to exercises.
training of lower limbs, as described below:
Participants will receive a diary logbook to record
Progressive strengthening of three muscle groups: the number of falls a week and a guidance booklet
ankle dorsiflexors, knee extensors and hip
containing information about prevention of falls ○ The peripheral sensation tests: tactile sensitivity,
(involving person, environmental and occupational measured by Semmes-Weinstein-type pressure
factors), prevention of fractures and bone health. esthesiometer;
This group will also receive usual health care. ○ Proprioception: position sense of lower limbs;
○ Muscle strength test: the muscle groups
Control group
flexor and extensors of knee and ankle dorsi
This group will receive usual care; so will not be flexors will be assessed through a
disadvantaged by participating in the study. Usual dynamometer;
care will be what the participant receives as part of ○ Reaction time test: Reaction time is measured in
the network of health care which he/she is part of. milliseconds using a modified computer, a
The participants will receive a diary falls logbook mouse is used for response to finger pressure
and a guidance booklet containing information task and one pedal pressure for feet task;
about prevention of falls, fractures and bone ○ Balance test through a portable stabilogram, the
health. Control group participants will receive swaymeter.
monthly phone calls requesting information about
falls and their consequences. Functional performance measured by the self-
reported WHO Disability Assessment Schedule
Outcomes
(WHODAS 2.0) [24]. This scale measures health and
All participants will be assessed in their homes at
functionality in 6 domains: cognition, mobility, self-
four different timepoints: at baseline and after 3, 6
care, interpersonal relationships, daily activities
and 12 months of randomization.
and participation. It was developed by WHO based
Primary outcomes on the International Classification of Functioning,
Lower limb functionality will be measured by the Disability and Health (ICF), and it is not intended for
Short Physical Performance Battery (SPPB) [20], any specific health condition. This short version
that consists of three tests that assess static assesses the difficulty degree of performing 12
balance, walking speed and, indirectly, the strength activities in past 30 days, which can be classified as
of the lower limbs (sitting and standing from a chair none, mild, moderate, severe and extreme (cannot
unassisted). Each test has a score of zero (worst be performed). The degree of difficulty reported is
performance) to 4 points (best performance), based on the presence of increased effort,
totaling a maximum final score of 12 points. This discomfort or pain, slowness or the presence of
instrument can predict negative consequences some change in the way of doing the activity.
such as falls and the onset of disability in older
Quality of life measured by WHOQOL-bref [25],
people [21]. The use of walking aids will be allowed
consists of 26 questions divided in 4 domains:
during the test if necessary.
physical, psychological, social relationships and
Secondary outcomes environment. The questionnaire is based on the
Physiological risk of falls will be measured by the last 2 weeks of the participant and evaluated, for
Profile Physiological Assessment long version (PPA) example, how safe he/she feel in her/his daily life
[22, 23] which provides an overall score for risk of and how satisfied is he/she with his/her ability to
falling through a series of tests that evaluates the perform daily life activities.
systems involved in the postural stability system.
Physical activity level will be measured by the self-
The results are computed using software
reported Incidental and Planned Exercise
specifically developed for the test that generates a
Questionnaire IPEQ_W [26], ten questions
report assessing the risk of falls. Physiological PPA
designed to measure physical activity planned and
tests include:
unplanned for older people. The version estimates
the intensity of physical activity during the last
○ Vision: low and high contrast, visual acuity and
week will be used. The participant will be
contrast sensitivity evaluated by the Melbourne
questioned for the frequency (every day, 3–6 times
Edge Test; per week, twice a week, once a week or less than
once per week) and duration of activity (less than
15min per day, more than 15min and under 30min
per day, more than 30min and less than 1h, less The screening consists of 6 basic questions about
over 1h and 2h per day more and less than 4h per weight loss, BMI, mobility and neuropsychological
day 2h, 4h, and daily or more). The total score is problems. The score in the first part of the
derived by multiplying the frequency categories by assessment can vary from 0 to 14 points. If the
categories of activity duration, expressed in hours score is less than 12, the researcher must continue
per week. through the second part of the questionnaire,
composed of more specific questions on nutrition
Occurrence of falls will be assessed by monthly
and physical assessment. The sum of 18 questions
phone calls to participants who will be encouraged
can provide a maximum score of 30. The person
to use to diary to record the number of falls each
with a score greater than or equal to 24 points is
day. A structured questionnaire will be used to
considered well-nourished, a score of 17–23.5 is
identify possible falls and their consequences. The
considered at risk for malnutrition, and a score of
intervention group will be compared to control
less than 17 classifies the person as malnourished.
group at 6 and 12 months followup in relation to
the number of falls (primary outcome) and the Number of regular medications, prescribed by a
proportion of fallers. doctor, in the last 3 months will be computed,
except vitamins and other medications for sporadic
Sample characterization
use (analgesics, for example). The use of
Functional Comorbidity Index [27] is an 18-item psychotropic medications will be specifically
scale designed to assess comorbidities related to recorded.
physical function rather than mortality. Each scale
item receives 1 point if the patient reports the Hospitalization and care in emergency department:
disease. duration and reason for hospitalization and
duration of stay in the emergency department
Cognitive function will be assessed through the during the study period.
Montreal Cognitive Assessment Test (MoCA Test)
[28], a battery of tests to detect mild cognitive Sample size calculation
impairment. The test takes 10min and the The sample size of this study (41 participants per
maximum score is 30 points. The test assesses group) is sufficient to detect a change of 1.0 ± 1.48
different cognitive domains: attention and points in the score of the Short Physical
concentration, memory, language, Performance Battery SPPB [32] with a statistical
visuoconstructional skills, conceptual thinking, power of 80% and a significance level of 5%,
calculations and orientation. considering a possible sample loss of up to 15%.

Depressive symptoms assessed by the Geriatric Statistical analysis


Depression Scale (GDS) [29], an instrument The comparison between groups on tests involving
designed to detect depression in the older people. continuous variables (lower limbs functionality,
The short version contains 15 items and is the most physiological risk of falls, functional performance,
used in clinical settings due to its rapid application. quality of life and physical activity level) will be
Each answer has a score of 0 or 1, and a final score performed using linear models (General Linear
above 6 points is considered to be indicative of Models-ANCOVA) adjusted for baseline values. The
depression. rate of falls will be compared between groups using
negative binomial regression. Logistic regression
Fall-related self-efficacy, assessed by the Falls
models will be used to compare dichotomous
Efficacy Scale International (FES-I) [30] a scale of
variables between groups. All analyses will use the
self-efficacy of fall avoidance during activities of
principle of intention-to- treat, in that participants
everyday life, which has 16 items with scores
will be analyzed according to their randomized
ranging from 1 to 4 (maximum total score 64) and a
assignment, regardless of whether they complied
cutoff score of 31 points.
with the study protocol.
Nutritional status, assessed by the Mini Nutritional
Assessment (MNA) [31] a questionnaire consisting Discussion
of two parts: Screening and Overall Assessment. Several studies have found exercise in the late
phase of recovery after hip fracture to be effective
in improving mobility, balance [14, 15] and muscle Availability of data and materials Not
applicable.
strength [7, 14, 15]. However no previous studies
have been conducted in lowand middle-income Authors’ contributions
CAL, CS, MRP are responsible for designed the protocol and methodology
countries (LMICs). This study aims to evaluate the of the study. AG, SAM, RV, JAM, KEK contributed with writing the
manuscript. All authors read and approved the final manuscript.
effectiveness of a physical exercise program in a
later stage of recovery after fall-related hip fracture Competing interests
The authors declare that they have no competing interests.
in improving functional mobility in older people
when compared with usual care. If a positive effect Consent for publication Not
applicable.
is observed, this study will contribute to increase
the evidence about the functionality of the Ethics approval and consent to participate
The Ethics Committee on Human Research of the City University of São
therapeutic exercise program to be tested, Paulo (CAAE: 27398814.7.0000.0064) approved the project and
functional training focusing on the progressive participants will assign a informed consent before start the study.

balance and resistance training of lower limb. Author details


1
Master’s and Doctoral Programs in Physical Therapy, Universidade Cidade
In LMICs the impact of ageing population and the de
São Paulo, Rua Cesáreo Galeno 448, Tatuapé, São Paulo CEP: 03071-000,
burden of non-communicable diseases and injuries Brazil. 2The George Institute for Global Health, Sydney Medical School,
will be very significant in coming years. The University of Sydney, Sydney, Australia. 3Orthopedics and Traumatology
Institute, Universidade de São Paulo, São Paulo, Brazil. 4Master’s and
evaluation of the effectiveness of an exercise Doctoral Programs in Gerontology, Faculty of Medicine, Universidade
program in late rehabilitation after hip fracture is Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil.
Received: 14 April 2016 Accepted: 16 November 2016
substantially important in health care settings in
these countries where the provision of
rehabilitation after hip fracture in acute and sub-
References
acute phases is extremely variable and restricted. 1. Akesson K, Marsh D, Mitchell PJ, McLellan AR, Stenmark J, Pierroz DD,
Although in Brazil the hip fracture has been chosen et al. Capture the fracture: a best practice framework and global
campaign to break the fragility fracture cycle. Osteoporos Int.
as a sentinel event for falls in the elderly [33], the 2013;24(8):2135–52.
establishment of a pathway of care after hip 2. Johnell O, Kanis J. Epidemiology of osteoporotic fractures.
Osteoporos Int. 2005;16 Suppl 2:S3–7.
fracture is still nascent and fragmented, with 3. Magaziner J, Simonsick EM, Kashner TM, Hebel JR, Kenzora JE.
negative consequences for efficiency and equity Predictors of functional recovery one year following hospital
discharge for hip fracture: a prospective study. J Gerontol.
access to rehabilitation. There is a need to organize 1990;45(3):M101–7.
a continuum of structured networks through 4. Gullberg B, Johnell O, Kanis JA. World-wide projections for hip
fracture. Osteoporos Int. 1997;7(5):407–13.
integrated care health care, ensuring the transition 5. Johnell O. The socioeconomic burden of fractures: today and in the
from hospital to home care and outpatient. 21st century. Am J Med. 1997;103(2A):20S–5.
6. Shumway-Cook A, Ciol MA, Gruber W, Robinson C. Incidence of and
risk factors for falls following hip fracture in community-dwelling
We are proposing a home-based exercise program, older adults. Phys Ther. 2005;85(7):648–55.
which may in part overcome some barriers for 7. Portegijs E, Edgren J, Salpakoski A, Kallinen M, Rantanen T, Alen M, et
al. Balance confidence was associated with mobility and balance
rehabilitation, such as difficulties with public performance in older people with fall-related hip fracture: a cross-
transportation and lack of a caregiver to sectional study. Arch Phys Med Rehabil. 2012;93(12):2340–6.
8. Handoll HH, Sherrington C, Mak JC. Interventions for improving
accompany older patients to sessions. Although the mobility after hip fracture surgery in adults. Cochrane Database Syst
program are supported by supervision on a regular Rev. 2011;3:CD001704.
9. Rubenstein LZ. Falls in older people: epidemiology, risk factors and
basis, we believe that the visits distribution along strategies for prevention. Age Ageing. 2006;35 Suppl 2:ii37–41.
the follow up will help patients to cope with the 10. Magaziner J, Hawkes W, Hebel JR, Zimmerman SI, Fox KM, Dolan M,
et al. Recovery from hip fracture in eight areas of function. J Gerontol
exercises, particularly those who are illiterate or A Biol Sci Med Sci. 2000;55(9):M498–507.
less motivated. If proven to be effective this 11. WHO. World report on ageing and health. 1st ed. Switzerland: World
Health Organization Press; 2015.
program may be incorporated into the public 12. Binder EF, Brown M, Sinacore DR, Steger-May K, Yarasheski KE,
health system and contribute to building a pathway Schechtman KB. Effects of extended outpatient rehabilitation after
hip fracture: a randomized controlled trial. JAMA. 2004;292(7):837–
of care for older people with hip fracture. 46.
Acknowledgements 13. Auais MA, Eilayyan O, Mayo NE. Extended exercise rehabilitation
after hip fracture improves patients’ physical function: a systematic
The authors are grateful to the contributions of Sileno de Queiroz Fortes
review and metaanalysis. Phys Ther. 2012;92(11):1437–51.
Filho MD, Luiz Eugênio Garcez Leme MD, Jorge dos Santos Silva MD, Ana
Paula Monteiro PT. 14. Sherrington C, Lord SR, Herbert RD. A randomized controlled trial of
weightbearing versus non-weight-bearing exercise for improving
Funding physical ability after usual care for hip fracture. Arch Phys Med
This project is supported by the São Paulo Research Foundation – FAPESP Rehabil. 2004;85(5):710–6.
(Protocol number: 2013/ 25149–7).
15. Sherrington C, Lord SR. Home exercise to improve strength and
walking velocity after hip fracture: a randomized controlled trial. Arch Submit your next manuscript to BioMed Central
Phys Med Rehabil. 1997;78(2):208–12. and we will help you at every step:
16. Latham NK, Harris BA, Bean JF, Heeren T, Goodyear C, Zawacki S, et
• We accept pre-submission inquiries
al. Effect of a home-based exercise program on functional recovery
following rehabilitation after hip fracture: a randomized clinical trial. • Our selector tool helps you to find the most relevant journal
JAMA. 2014; 311(7):700–8.
• We provide round the clock customer support
17. Gragnolati M, Jorgensen OH, Rocha R, Fruttero A. Growing old in an
older Brazil: implicatios of population aging on growth, porverty, • Convenient online submission
public finance, and service delivery. Washington, D.C.: The World
Bank; 2011. • Thorough peer review
18. Bertolucci PH, Brucki S, Campacci SR, Juliano Y. O mini-exame do • Inclusion in PubMed and all major indexing services
estado mental em uma populaçäo geral: impacto da escolaridade.
Arq Neuropsiquiatr. 1994;52(1):1–7. • Maximum visibility for your research
19. Haskell WL, Lee I-M, Pate RR, Powell KE, Blair SN, Franklin BA, et al.
Submit your manuscript at
Physical activity and public health: updated recommendation for
www.biomedcentral.com/submit
adults from the American College of Sports Medicine and the
American Heart Association. Circulation. 2007;116(9):1081.
20. Freire AN, Guerra RO, Alvarado B, Guralnik JM, Zunzunegui MV.
Validity and reliability of the short physical performance battery in
two diverse older adult populations in Quebec and Brazil. J Aging
Health. 2012;24(5):863–78.
21. Guralnik JM, Simonsick EM, Ferrucci L, Glynn RJ, Berkman LF, Blazer
DG, et al. A short physical performance battery assessing lower
extremity function: association with self-reported disability and
prediction of mortality and nursing home admission. J Gerontol.
1994;49(2):M85–94.
22. Lord SR, Menz HB, Tiedemann A. A physiological profile approach to
falls risk assessment and prevention. Phys Ther. 2003;83(3):237–52.
23. Sampaio N, Rosa N, Godoy A, Pereira D, Hicks C, Lord S, et al.
Reliability evaluation of the physiological profile assessment to assess
fall risk in older people. J Gerontol Geriatr Res. 2014;3(5):179.
24. Üstün TB, Chatterji S, Kostanjsek N, Rehm J, Kennedy C, Epping-
Jordan J, et al. Developing the World Health Organization disability
assessment schedule 2.0. Bull World Health Organ. 2010;88(11):815–
23.
25. Fleck M, Louzada S, Xavier M, Chachamovich E, Vieira G, Santos L, et
al. Application of the Portuguese version of the abbreviated
instrument of quality life WHOQOL-bref. Rev Saúde Públ.
2000;34(2):178–83.
26. Merom D, Delbaere K, Cumming R, Voukelatos A, Rissel C, Van Der
Ploeg HP, et al. Incidental and planned exercise questionnaire for
seniors: validity and responsiveness. Med Sci Sports Exerc.
2014;46(5):947–54.
27. Groll DL, To T, Bombardier C, Wright JG. The development of a
comorbidity index with physical function as the outcome. J Clin
Epidemiol. 2005;58(6):595–602.
28. Memoria CM, Yassuda MS, Nakano EY, Forlenza OV. Brief screening
for mild cognitive impairment: validation of the Brazilian version of
the Montreal cognitive assessment. Int J Geriatr Psychiatry.
2013;28(1):34–40.
29. Almeida OP, Almeida SA. Confiabilidade da versão brasileira da Escala
de Depressão em Geriatria (GDS) versão reduzida. Arq
Neuropsiquiatr. 1999; 57(2B):421–6.
30. Camargos FF, Dias RC, Dias JM, Freire MT. Adaptação transcultural e
avaliação das propriedades psicométricas da Falls Efficacy
ScaleInternational em idosos Brasileiros (FES-I-BRASIL). Rev Bras
Fisioter. 2010;14(3):237–43.
31. Vellas B, Guigoz Y, Garry PJ, Nourhashemi F, Bennahum D, Lauque S,
et al. The Mini Nutritional Assessment (MNA) and its use in grading
the nutritional state of elderly patients. Nutrition. 1999;15(2):116–22.
32. Perera S, Mody SH, Woodman RC, Studenski SA. Meaningful change
and responsiveness in common physical performance measures in
older adults. J Am Geriatr Soc. 2006;54(5):743–9.
33. Louvison M, Rosa T. Políticas de atenção integral à saúde da pessoa
idosa no SUS e o monitoramento e prevenção de quedas de pessoas
idosas. São Paulo: Secretaria Estadual de Saúde; 2010.

Anda mungkin juga menyukai