Anda di halaman 1dari 15

Referat Rabu Klinik, 17 April 2013

Dr. Rachmanda Haryo W.


Pembimbing 1: Dr. dr. M.Z. Arifin SpBS
Pembimbing 2: dr. Akhmad Imron SpBS
Pembimbing 3: dr. Firman Priguna SpBS

PATOFISIOLOGI KLINIK CEDERA OTAK TRAUMATIKA

Cedera mekanik awal pada cedera otak traumatika menghasilkan deformasi jaringan yang
menyebabkan kerusakan pada neuron, glia, akson, dan pembuluh darah. Hal ini diikuti oleh fase
cedera yang tertunda (delayed phase), yang dimediasi oleh jalur biologis intraseluler dan
ekstraseluler, dan dapat terjadi dalam hitungan menit, jam, hari, dan bahkan berminggu-minggu
setelah cedera primer. Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera sekunder yang terjadi
bersamaan, seperti hipoksia, hipotensi, pembengkakan otak, dan sebagai akibatnya, peningkatan
tekanan intrakranial (TTIK). Cedera sekunder ini akan lebih memperburuk cedera otak dan memiliki
efek negatif pada hasil akhir pasien. Pemahaman tentang cedera sekunder ini sangat penting dalam
pengelolaan cedera kepala.
Dari beberapa laporan terakhir, hipotensi dan hipoksia ditemukan pada 18% dan 20% pasien
cedera kepala. Dari penelitian lain (Miller dkk), 90% pasien mengalami mengalami satu atau lebih
cedera sekunder, yang lebih sering ditemukan pada pasien cedera kepala berat (67 dari 68),
dibandingkan dengan cedera kepala ringan (3 dari 20) dan sedang (7 dari 36). Cedera sekuder
tersebut sebagian besar dialami selama transportasi, dan dapat berulang saat perawatan di ruang
intensif. Cedera sekunder ini dapat mengakibatkan outcome yang buruk seperti: hipotensi arterial,
penurunn CPP, TTIK, hipoksemia, pan pireksia.

MEKANISME CEDERA KEPALA


Biomekanika cedera kepala tertutup telah dipelajari sejak lama, melalui berbagai percobaan
dengan hewan, kadafer, dan model kepala buatan. Mekanisme fisik yang menyebabkan cedera
kepala dapat menentukan luas dan jenis cedera otak primer yang terjadi. Komponen penting
diantaranya jenis benturan (kontak langsung atau beban inersial), mekanisme (rotasional,
translasional, angular), dan besar serta durasi benturan. Kontak langsung terjadi bila kepala tidak
bergerak setelah terjadinya benturan, sedangkan beban inersial terjadi bila terdapat akselerasi dan
deselerasi otak secara relatif terhadap tulang tengkorak. Sebagian besar cedera kepala merupakan
gabungan dari kedua jenis ini.

1
Kontak langsung biasanya menghasilkan cedera fokal seperti kontusi coup dan fraktur tulang.
Beban inersial yang terjadi secara translasional, juga menyebabkan cedera fokal, seperti kontusi dan
perdarahan subdural, sedangkan akselerasi-deselerasi rotasional seringkali berakibat cedera difus,
berkisar mulai konkusi sampai cedera aksonal difus (DAI). Cedera difus lebih membahayakan karena
merusak bagian kortikal serta struktur otak bagian dalam.
Akselerasi angular menggabungkan antara
akselerasi translasional dan rotasional dan
merupakan jenis yang paling sering dari cedera
inersial. Karena struktur anatomi kepala dan leher,
cedera ini seringkali berhubungan dengan leher
sekitar level servikal tengah atau bawah. Besarnya
resultan dari rotasi yang terjadi tergantung jarak
antara pusat gravitasi dengan pusat angulasi.
Semakin kecil jarak keduanya, maka semakin besar
komponen rotasional dari angulasi.
Besarnya cedera juga ditentukan oleh besar dan durasi dari mekanisme benturan. Dalam
sebuah penelitian, ditemukan bahwa benturan dengan besar akselerasi yang rendah dengan durasi
yang lama menghasilkan cedera aksonal difus, sedangkan benturan berkecepatan tinggi seringkali
menyebabkan robekan bridging vein superfisial, menyebabkan perdarahan subdural.

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Dengan tidak memperhatikan mekanisme cedera kepala yang terjadi, pasien secara klinis
dibedakan berdasarkan tingkat kesadaran dan distribusi anatomis dari cedera. Yang sudah secara
mendunia dipakai adalah Glasgow Coma Scale (GCS). Saat ini, penggunaan GCS dibatasi oleh
perkembangan tatalaksana terbaru, dengan meningkatnya penggunaan sedasi selama transportasi
atau perawatan di ruang intensif. Selain itu, intubasi dan cedera yang meliputi mata, dapat
mengaburkan penilaian komponen Eye dan Verbal. Penelitian Gale dkk mendapatkan bahwa 50%
pasien tidak dapat ditentukan GCS secara tepat dikarenakan faktor tersebut. Skala alternatif ialah
dengan menggunakan Head Injury Severity Score, namun menghadapi masalah yang serupa, karena
skala ini juga dibuat berdasarkan GCS.
Cedera kepala juga dapat diklasifikasikan berdasarkan pola cedera fokal atau difus.
Menggunakan CT dan MRI untuk melihat pola cedera, klasifikasi anatomis dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pasien akan meningkatnya resiko cedera sekunder, perburukan neurologis yang
tertunda, dan outcome klinis yang buruk. Pada 1991 diperkenalkan sistem klasifikasi berdasarkan CT

2
scan untuk cedera kepala. Dikenal dengan nama marshall score, klasifikasi ini seing dipergunakan
dalam penelitian untuk menentukan manajemen pasien dan memperkirakan outcome pasien
berdasarkan radiologis. Kemudian dikembangkan modifikasi dari Marshall Score (Rotterdam score)
dengan menambahkan beberapa kriteria tambahan.

3
CEDERA OTAK FOKAL
Kontusio Cerebri
Kontusio cerebri merupakan perdarahan dan pembengkakan subpial, dan terjadi pada 31%
pasien yang dilakukan pemeriksaan CT scan. Kontusi sering ditemukan pada daerah yang berkontak

4
dengan permukaan tulang tengkorak yang tidak rata, seperti frontal dan temporal pole, girus
orbitofrontal, korteks perisylvian, dan permukaan lobus temporal inferolateral.
Kontusi dapat dibedakan berdasarkan mekanisme, lokasi anatomis, atau cedera sekitar.
Sebagai contoh, kontusi fraktur terjadi akibat kontak langsung yang diakibatkan oleh fraktur tulang
di atasnya. Kontusi coup terjadi pada sisi benturan tanpa adanya fraktur, sedangkan kontusi
contrecoup pada sisi yang berlawanan dengan benturan. Gliding contusions adalah perdarahan yang
meliputi korteks dan substansia alba dari margin superior dari hemisfer cerebri, diakibatkan oleh
mekanisme rotasional. Kontusi intermediary melibatkan struktur yang dalam seperti corpus
callosum, basal ganglia, hipothalamus, dan batang otak. Kontusi herniasi terjadi pada area dimana
bagian medial dari lobus temporal berkontak dengan tepi tentorial (herniasi uncal), atau tomsil
serebellum berkontak dengan foramen magnum (herniasi tonsilar).
Gangguan neurologis akibat kontusi bervariasi tergantung area yang terkena, biasanya akibat
efek massa oleh edema sekitarnya atau progresifitas menjadi ICH.
Perdarahan Intrakranial Traumatika
Perdarahan intrakranial merupakan lesi massa yang potensial dapat teratasi dengan tindakan
bedah (berlawanan dengan kontusi). Ditemukan lebih sering pada pasien dengan fraktur tulang.
Perdarahan Epidural (EDH)
EDH terjadi pada 1% - 2% pasien cedera kepala, dan merupakan 5% - 15% dari cedera kepala
yang fatal. Lebih sering terjadi pada pasien berusia < 50 tahun. Pada dewasa, EDH lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan ICH atau SDH. Pada anak-anak EDH sering terjadi setelah cedera kepala,
disebabkan vaskularisasi pada diploe dan perlekatan duramater dengan tulang yang belum erat.
EDH terjadi akibat robeknya pembuluh darah di duramater atau fraktur pada tulang. Jarang
terjadi pada pasien infeksi, kelainan vaskular, sinusitis, atau gagal ginjal kronis. EDH klasik terjadi
pada daerah temporoparietal sebagai akibat ruptur dari arteri meningea media. EDH dapat
diklasifikasikan berdasarkan progresifitas radiografis menjadi 3 penampakan: tipe 1 (akut dan
hiperakut – hari 1, “swirl” sign dari darah yang belum membeku), tipe 2 (subakut – hari 2-4, solid),
dan tipe 3 (kronis – hari 7-20, densitas campuaran atau lusen dengan penyangatan dengan kontras).
Insedensinya secara berurutan, terjadi pada 58%, 31%, dan 11%.
Gejala klinik klasik dijabarkan oleh Jacobson (1886) sebagai “lucid interval”, hilang kesadaran
di awal benturan, perbaikan komplit yang bersifat sementara, dan penurunan neurologis yang
progresif, terjadi pada 14% - 21% pasien EDH. Lucid interval biasanya terjadi pada EDH murni dengan
volume yang besar. Beratnya gejala klinis yang terjadi tergantung besarnya massa EDH dan ada
tidaknya perdarahan lain. Gejala klasik EDH adalah hemiparesis, penurunan kesadaran, dan anisokor
ipsilateral. Pasien dengan EDH murni memiliki prognosis yang baik setelah pembedahan, sedangkan

5
yang disertai dengan perdarahan lain hanya 44% yang memiliki outcome yang baik. Mortalitas dan
morbiditas biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pembedahan. Volume EDH > 50 cc
meningkatkan mortalitas dan outcome neurologis pasien. EDH fossa posterior jarang ditemukan,
hanya 5% dari seluruh kasus perdarahan intrakranial.
Perdarahan Subdural (SDH)
Secara klasik, SDH disebabkan oleh robeknya bridging vein. Penyabab lain antara lain
perdarahan vena kortikal. Menurut waktunya, dibedakan menjadi SDH akut (< 48 jam, hiperdens),
subakut (2-14 hari, hiper-isodens), dan kronis (> 14 hari, hipodens).
SDH Akut
Merupakan 50-60% dari seluruh SDH, 72% disebabkan jatuh atau tindakan kriminal, 24% KLL.
Jarang, terjadi spontan akibat trauma minor pada pasien dengan terapi antikoagulan. Sebagian besar
SDH diakibatkan cedera vena pada permukaan otak, sebagai akibat dari 2 macam patologi. Pertama,
akibat benturan langsung dan berhubungan dengan kontusi atau laserasi kortikal, yang biasanya
disebut sebagai burst lobe, sering pada lobus temporal. Kedua, akibat beban inersial yang
menyebabkan robekan bridging vein. Evakuasi clot yang cepat (< 4 jam) berhubungan dengan
perbaikan neurologis yang signifikan.

Perdarahan Intracerebral
ICH terhitung 20% dari seluruh perdarahan intrakranial. Dibedakan dengan kontusi dari
besarnya lesi yang sebagian besar terdiri dari gumpalan darah, namun ICH dapat juga merupakan
progresifitas dari suatu kontusi, yang terjadi akibat ruptur pembuluh darah kortikal, seringkali arteri
parenkimal. ICH multipel terjadi pada 20% kasus. Lokasi tersering pada lobus temporal dan
orbitofrontal. ICH yang lebih dalam, seperti ganglia basal dan kapsula interna, hanya terjadi pada 2%
pasien trauma. Pasien dengan penggunaan antikoagulan kronis lebih beresiko mengalami ICH,
walaupun dengan trauma minor.

CEDERA OTAK DIFUS


Concussion
Concussion merupakan bentuk cedera otak difus yang paling ringan, diduga akibat akselerasi
rotasional dari kepala tanpa adanya kontak mekanik yang signifikan. Gejala klasik berupa penurunan

6
kesadaran sementara yang diikuti perbaikan yang segera. Patifisiologi concussion diduga akibat
gangguan atau lesi pada batang otak dan diencephalon.
Cedera Otak Difus (DAI)
DAI terjadi akibat akselerasi dan deselerasi angular dan rotasional yang menyebabkan
regangan terhadap akson-akson. DAI merupakan penyebab gangguan neurologis yang berat tanpa
adanya tanda kontusi parenkim tang bermakna, laserasi, atau perdarahan. Akselerasi coronal atau
lateral menyebabkan DAI yang paling berat, sedangkan akselerasi oblik atau sagital menghasilkan
DAI yang lebih ringan.
Dari temuan histologis, tampak kerusakan dan pembengkakan dari akson, “retraction balls”
(pembengkakan ujung proksimal dari akson), dan perdarahan pada pons, diencephalon, atau corpus
callosum. DAI dapat terjadi secara primer ataupun akibat cedera otak sekunder. DAI sering dikaitkan
dengan “Strich hemorrhages”, perdarahan kecil akibat ruptur pembuluh darah kecil, yang umumnya
terjadi pada corpus callosum, peri-ventrikular ketiga(hipotalamus, fornix, komissura anterior),
kapsula interna, ganglia basal, batang otak
dorsolateral, dan pedunculus cerebellaris
superior. Berdasarkan letaknya, Adams dkk
membuat suatu skala yang memperkirakan
lamanya penurunan kesadaran dan
persisten defisit neurologis.

Perdarahan Subarachnoid (SAH) Traumatika dan Vasospasme Posttraumatika


Teori sentripetal dari Ommaya dan Gennarelli menyebutkan bahwa dalamnya lesi tergantung
beratnya cedera. Berdasarkan hal ini, SAH traumatika terjadi akibat cedera otak yang berat,
akselerasi angular yang tinggi dan dengan durasi yang lama, yang menyebabkan rupturnya
pembuluh darah superfisial di sisterna subarakhnoid. SAH terjadi pada 33-60% kasus cedera kepala,
dan berhubungan dengan outcome yang buruk.
Vasospasme posttraumatika (PTV) merupakan cedera sekunder yang merupakan prediktor
dari defisit neurologis yang permanen dan outcome yang buruk. Insidensinya 18.6%-50% pada
sirkulasi anterior dan 19%-37% pada sirkulasi posterior. Dapat terjadi antara 12 jam – 5 hari setelah
cedera dan dapat bertahan sampai 30 hari.
Martin dkk menggunakan CBF dan USG Doppler untuk mengidentifikasikan 3 fase berbeda
setelah cedera kepala berat: fase I (hipoperfusi), fase II (hiperemia), dan fase III (vasospasme)
(Tabel).

7
Terdapat beberapa perbedaan dengan SAH akibat ruptur aneurisma. SAH trauma memiliki
distribusi yang berbeda, biasanya supratentorial, konveksitas, sulkal, dan interhemisfer. PTV juga
terjadi lebih cepat, dan membaik lebih cepat pula.

Perdarahan Intraventrikel (IVH)


Terjadi pada 25% pasien cedera kepala berat. Timbulnya IVH membutuhkan benturan yang
hebat. Pasien dengan IVH juga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terjadi perdarahan
intraparenkimal atau basal ganglia. Pada pemeriksaan postmortem dapat ditemukan perdarahan di
septum pelucidum, choroid plexus, dan fornix. Perdarahan ini kemungkinan disebabkan ruptur
pembuluh darah yang diakibatkan oleh tekanan negatif akibat benturan di bidang sagital yang secara
sesaat akan menambah diameter dari ventrikel. Walaupun berpotensi menyebabkan sumbatan
aliran LCS, hanya 4 dari 43 pasien (LeRoux dkk) yang membutuhkan drainase ventrikular untuk
penanganan hidrosefalus akut.

FISIOLOGI NORMAL DARI METABOLISME DAN SIRKULASI SEREBRI


Gangguan CBF dan metabolisme berperan kritis terhadap cedera kepala traumatika. Keadaan
yang normal sebelum kecelakaan, dapat berubah dengan cepat secara signifikan setalah cedera
kepala.
Metabolisme Cerebral
Metabolisme sel normal melibatkan konsumsi ATP selama kegiatan, yang merangsang
resintesis ATP dari ADP. ATP dibentuk oleh sitosol (melalui glikolisis) dan mitokondria (melalui
fosforilasi oksidatif). Glukosa merupakan glukosa merupakan sumenergi otama dari otak, yang dapat
dimetabolisme secara aerob dan anaerob. Dalam keadaan normal, 95% energi berasal dari
pembakaran glukosa menjadi H2O dan CO2:
1 glukosa + 6 O2 + 38 ADP + 38 Pi  6 CO2 + 6 H2O + 38 ATP
Dalam keadaan hipoksia, pembakaran glukosa diambil alih oleh glikolisis anaerob, lang jauh
lebih tidak efisien.
1 glukosa + 2 ADP + 2 Pi  2 laktat + ATP

8
Dua istilah yang sering ditemui dalam metabolisme glukosa dan oksigen yaitu CMRO2
(cerebral metabolic rate of oxygen, N: 3.3 mg/100 gr otak/menit) dan CMRglc (cerebral metabolic
rate of glucose, N: 5.5 mg/100 gr/menit). Lactate-oxygen index (LOI), terkadang digunakan untuk
menghitung rasio jumlah glukosa yang dimetabolisme secara anaerob dibandingkan dengan aerob
(LOI = AVDL/AVDO2). AVDL merupakan perbedaan laktat arteri-vena, AVDO2 merupakan perbedaan
oksigen arteri-vena.
AVDO2 = [SaO2 – SjvO2] x 1.34 x Hb + [PaO2 – PjvO2] x 0.0031
Dari total energi yang dihasilkan, 50% dipergunakan untuk pembentukan, pelepasan, dan
uptake neurotransmiter (aktifitas sinaptik); 25% digunakan untuk mempertahankan perbedaan ion
untuk melewati membran sel; dan sisa 25% untuk transport dan biosintesis molekular dan proses
lain. Dibandingkan dengan ogan lain, tingkat metabolisme otak sangat tinggi, membutuhkan hingga
20% dari cardiac output.

Regulasi Cerebral Blood Flow


Simpanan glukosa dan glikogen dalam astrosit sangatlah terbatas, dan tidak ada penyimpanan
oksigen yang signifikan di dalam otak. Oleh karena itu, otak sangat bergantung kepada aliran darah
yang konstan untuk memenuhi kebutuhan glukosa dan oksigen. Dalam keadaan normal, CBF diatur
sedemikian rupa untuk memenuhi pasokan suatu subsrat ke dalam otak. Hal ini dipenuhi melalui
perubahan diameter pembuluh darah, yang bervariasi sari 30 samapi 300 µm. Proses ini dikenal
dengan “autoregulasi”, terjadi sebagai respon terhadap sinyal metabolik, tekanan darah, viskositas,
serta reaksi perubahan tekanan parsial arterial CO2.
Autoregulasi Metabolik
Perubahan kebutuhan metabolik yang terjadi secara global atau regional normalnya akan
mengakibatkan perubahan pada CBF. Karena metabolisme oksidatif meliputi 95% kebutuhan energi
otak, CMRO2 merupakan pengukuran yang sensitif untuk mengetahui metabolisme serebral. Hal ini

9
terlihat dari persamaan Fick, CMRO2 = CBF x AVDO2. Pada persamaan ini AVDO2 cenderung
dipertahankan konstan.
Autoregulasi Tekanan Darah
Persamaan Poiseuille mengenai kecepatan dalam tabung silindris dapat diadopsi ke
persamaan sirkulasi arterial: CBF = k (CPPxd(4))/(8xlxv), dimana k merupakan konstanta, d diameter
pembuluh darah, l panjang pembuluh darah, dan v viskositas darah. Dengan viskositas darah relatif
konstan selama fase akut, maka perubahan tiba-tiba dari CPP akan diikuti oleh penurunan diameter
pembuluh darah untuk mempertahankan CBF normal.
Pada pasien sehat, autoregulasi ini efektif untuk mempertahankan CBF yang konstan selama
CPP berada di rentang 50 – 150 mmHg. Bila CPP di bawah atau di atas rentang tersebut, maka
pembuluh darah tidak mampu mempertahankan CBF yang konstan.
Autoregulasi Viskositas
Persamaan Poiseuille juga dapat digunakan untuk memperhitungkan efek viskositas terhadap
CBF. Perubahan viskositas darah dipengaruhi oleh variasi dari hematokrit, gamma globulin, dan
fibrinogen plasma. Peningkatan viskositas akan meningkatkan resistensi vaskular serebral, yang akan
mentrigger respon autoregulasi, dengan cara melakukan vasodilatasi atau vasokonstriksi.
Reaktifitas Karbondioksida
Reaktifitas karbondioksida merupakan mekanisme perubahan diameter pembuluh darah
untuk mempertahankan CBF, sebagai respon terhadap perubahan CO2 arteri. Dalam rentang 20 – 60
mmHg, setiap perubahan 1 mmHg PaCO2 akan menghasilkan perubahan CBF sebesar 2%-3%.
Hiperkarbia akan menyebabkan peningkatan CBF, sedangkan hipokarbia menyebabkan penurunan
CBF.
Cerebral Blod Flow dan Volume Darah Serebral (CBV)
Penurunan diameter pembuluh darah bukan hanya akan mempengaruhi perfusi otak, namun
juga perubahan dalam CBV. Perubahan dalam CBV dapat mengakibatkan efek yang cukup besar
terhadap ICP, yang merupakan kunci penting dalam penatalaksanaan cedera kepala.

SIRKULASI DAN METABOLISME SEREBRAL SETELAH CEDERA KEPALA BERAT: MEKANISME DARI
CEDERA KEPALA SEKUNDER
Cedera kepala akan mengaktifasi berbagai jalur neurokimia intraseluler dan ekstraseluler yang
dapat menyebabkan cedera sekunder. Meskipun belum terlalu jauh dimengerti, namun hal penting
yang diduga berperan penting meliputi pelepasan radikal bebas oksigen dan neurotransmiter
eksitatori yang berlebihan (glutamat), pergeseran ke arah metabolisme anaerob, dan gangguan

10
konsentrasi ion intraselular (ch. Kalsium) yang berakibat pada aktivasi jalur apoptosis dan nekrotik
sel.
Gangguan Metabolisme Serebral
Keadaan inadekuat dari CBF, hipoksia serebri, dan kegagalan mitokondria mempengaruhi
metabolisme oksidatif normal dan akan menggeser jalur metabolisme ke arah jalur glikolisis anaerob
(hiperglikolisis). Akibatnya, produksi laktat akan meningkat, begitu pula dengan Metabolic Ratio
(MR): MR = CMRglc/CMRO2. Hal ini dapat menyebabkan asidosis serebri, yang seringkali terjadi
setelah cedera kepala. Peningkatan glikolisis anaerob bukan hanya disebabkan oleh terganggunya
suplai oksigen ke otak, tetapi juga karena adanya disfungsi mitokondria.
Gangguan CBF
Iskemia serebri
Iskemia serebri terjadi bila CBF tidak mampu memenuhi kebutuhan metabolik dari otak. Ahl
ini dapat menyebabkan cedera sekunder yang akan memperburuk outcome pasien; 80% pasien yang
meninggal akibat cedera kepala memiliki bukti histologis adanya iskemia serebri. Iskemia serebri
sering ditemukan pada pasien denga SDH akut dan pembengkakan otak difus. Cedera kepala secara
signifikan akan menurunkan ambang toleransi otak terhadap iskemia; iskemia yang pada keadaan
normal dapat ditoleransi akan berakibat sangat buruk pada pasien dengan cedera kepala.
Saat CBF mulai menurun akibat gagalnya autoregulasi tekanan atau hipotensi berat,
mekanisme proteksi akan dijalankan dengan tujuan meningkatkan ekstraksi oksigen. Hasilnya adalah
dimaksimalkan, penurunan sedikit saja dari
CBF akan berakibat disfungsi sinaps, yang
diikuti kegagalan membran, terhentinya
pompa Na/K, pembengkakan sel, dan akhirnya
kematian sel. Ambang batas CBF hingga terjadi
kelainan ini adalah 18mL/100gr/menit.
Disfungsi neuronal dan kematian sel
bergantung pada besarnya perubahan CBF dan
durasi gangguan (gambar 331-5).
Terganggunya reaktifitas serebrovaskular
Terdapat beberapa variabilitas gangguan reaktifitas serebrovaskular dan autoregulasi dalam
hal insidensi, beratnya, dan durasi dari gangguan.
Autoregulasi Metabolik
Penurunan CMRO2 pada cedera kepala tidak selalu diikuti oleh penurunan CBF (metabolic
coupling). Bahkan, metabolic coupling hanya terjadi pada 45% ce dera kepala, umumnya pada 24

11
jam pertama pasca taruma. Metabolic uncoupling terjadi apabila CBF melebihi CMRO2, suatu
fenomena yang disebut sebagai luxury perfusion atau hyperemia. Pada keadaan ini CBF dapat
meningkat hingga 33mL/100gr/menit sampai 55mL/100gr/menit. Hiperemia biasanya terjadi antara
hari ke-1 sampai hari ke-5 setelah trauma. Hiperemia bisa berakibat buruk, berhubungan dengan
penengkakan otak dan peningkatan ICP.
Autoregulasi Tekanan
Autoregulasi tekanan biasanya tetap intak selama beberapa hari pertama pasca trauma. Pada
penelitian lain, gangguan autoregulasi tekanan pada pasien cedera kepala hanya terjadi pada 50%
pasien. Mekanisme yang menyebabkan terganggunya autoregulasi tekanan belum dipahami secara
baik, namun diduga berhubungan dengan adanya kerusakan endothelial akibat iskemia berat.
Autoregulasi Viskositas
Pada sebuah penelitian, 38% pasien cedera kepala akan mengalami gangguan autoregulasi
viskositas.

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Peningkatan tekanan intrakranial
merupakan konplikasi yang umu terjadi pada
pasien cedera kepala. ICP > 20 mmHg
merupakan faktor signifikan yang sangat
mempengaruhi outcome penderita. Doktrin
Monroe Kellie menyatakan bahwa total
volume intrakranial (CBV, CSF, dan parenkim
otak) akan selalu sama. Peningkatan salah satu komponen akak diikuti pengurangan komponen lain
untuk mempertahankan ICP tetap konstan. Kompensasi terjadi dengan mengurangi volume CSF dan
darah vena. Pada satu titik (dekompensasi), penambahan volume sedikit saja akan memberikan
peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan.
Mekanisme terjadinya peningkatan volume intrakranial dijabarkan oleh Marmarou: (1) sistem
CSF, (2) CBV, edema akibat kerusakan BBB (edema vasogenik), (4) edema neurotoksik, dan (5)
edema iskemik). Komponen CSF mengambil tempat sepertiga dari penyebab TTIK. Dua pertiga
lainnya oleh karena komponen vaskular (peningkatan volume darah) dan peningkatan cairan dalam
jaringan (edema).
Dengan baseline normal 20mL, CBV dapat berkisar antara 13 mL (vasokonstriksi maksimal)
sampai 51 mL (vasodilatasi maksimal). Klatzo membedakan edema seluler menjadi neurotoksik dan
iskemik. Edema iskemik disebabkan gangguan osmoregulasi akibat kegagalan pompa ion. Edema

12
neurotoksik akibat pelepasan asam amino eksitatori yang berlebihan, hilangnya homeostasis kalsium
dan potassium, dan pembentukan radikal bebas.
Pergeseran Otak Sekunder
Lesi massa intrakranial dapat menyebabkan herniasi otak atau pergeseran sebgian jaringan
otak melalui celah yang kaku dari duramater atau tulang kepala.

SIGNIFIKANSI CEDERA EKSTRAKRANIAL


Hipotensi Sistemik
Hipotensi merupakan satu dari lima indikator yang paling berpengaruh terhadap outcome
cedera kepala, dan berhubungan erat dengan perbaikan neurologis yang buruk. Satu episode
hipotensi setelah cedera kepala meningkatkan morbiditas dan mortalitas dua kali lipat, sedangkan
dua episode atau lebih meningkatkan mortalitas hingga 8 kali lipat. Total durasi dari kejadian
hipotensi juga mempengaruhi morbiditas pasien. Pada sebuah penelitian, hipotensi terjadi pada 35%
pasien cedera kepala berat, dan meningkatkan mortalitas hingga 150%. Pedoman tatalaksana
terbaru merekomendasikan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 90 mmHg setelah
cedera kepala, meskipun ada pendapat lain yang menyarankan hingga di ata 135 mmHg.

13
Hipoksia Sistemik
Hipoksemia juga merupakan salah satu indikator yang penting. Desaturasi oksigen yang berat
(<60%) selama transport prehospital meningkatkan mortalitas hingga 3.5x lipat. Data lain
menunjukkan peningkatan mortalitas setelah cedera kepala berat dari 27% menjadi bila terjadi
hipoksia. Pedoman terbaru menyarankan untuk mempertahankan saturasi oksigen di atas 90%
denagn PaO2 di atas 60 mmHg. Dengan adanya hipoksia, CBF dapat meningkat yang pada akhirnya
dapat meningkatkan ICP (PaO2 40 mmHg meningkatkan CBF 35% sedangkan PaO2 40 mmHg
meningkatkan CBF hingga 70%).
Penyebab Lain Cedera Serebri Sekunder
Pireksia
Setiap kenaikan 1 derajat Celcius dapat meningkatkan metabolisme hingga 10% - 13%. Pada
pasien dengan autoregulasi yang terganggu hal ini dapat menyebabkan cedera otak yang signifikan
karena peningkatan CBF tidak proporsional. Pasien dengan demam memiliki kecenderungan 4.7 kali
membutuhkan perawatan di ruang intensif lebih dari 12 hari. Pada percobaan dengan hewan, suhu
di atas 39oC memperlihatkan bukti histologis adanya kerusakan otak.
Anemia
Karena oksigen yang berikatan dengan hemoglobin sangat dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan, adany anemia dapat memberikan dampak yang buruk terhadap
otak. Adanya anemia saat cedera kepala berhubungan dengan outcome klinis yang lebih buruk. Saat
ini belum terdapat pedoman yang menyatakan level hemoglobin yang disarankan, karena msih
terdapat beberapa kontroversial. Tingkat Hb yang terlalu tinggi juga tidak baik karena membuat
viskositas darah menjadi lebih besar.
Hiperglikemia
Hiperglikemi pada cedera kepala berat berhubungan dengan outcome neurologis yang buruk.
Sumber hiperglikemi diduga disebabkan respon dari hepar terhadap respon simpatoadrenal.
Meningkatnya kadar gula dapat menyebabkan meningkatnya glikolisis yang pada akhirnya akan
meningkatkan kadar asam laktat dalam darah dan CSF.
Hipomagnesia
Cedera kepala berat sering dikaitkan dengan penurunan level magnesium dalam CSF.
Meskipun hal ini berhubungan dengan outcome yang buruk, namun koreksi yang agresif tidak
memberikan efek yang baik.
Cedera terhadap tulang dan kulit kepala

14
Cedera pada kulit kepala yang cukup luas dapat menyebabkan kehilangan darah dan gangguan
hemodinamik. Cedera pada tulang kepala dapat berupa fraktur di daerah konveksitas atau di skull
base.
“Brain Protection”: Koma Barbiturat dan Hipotermia
Bila intervensi terapetik tidak berhasil memperbaiki kebutuhan oksigen, maka dapat dipakai
strategi ”Brain Protection” untuk menurunkan CMRO2, dengan menggunakan infusan barbiturat
untuk menimbulkan “koma”. Hal ini akan menurunkan tonus vaskular, menekan kebutuhan
metabolisme, dan menghambat peroksidase radikal bebas, yang pada akhirnya akan menghasilkan
efek penurunan ICP. Efek samping penggunaan barbiturat dapat menyebabkan hipotensi. Oleh
karena itu disarankan metode ini dipergunakan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil.
Hipotermia menyebabkan penurunan produksi dan konsumsi energi, yang akan menurunkan
CMRO2 dan CBF.Tokutomi dkk menemukan bahwa suhu terbaik untuk menurunkan ICP ialah pada
rentang 35oC – 35.5oC.

KESIMPULAN
Cedera kepala merupakan suatu kompleks masalah yang masih menjadi penyabab kematian
yang cukup tinggi di seluruh dunia. Pemahaman yang baik mengenai patofisiologi cedera kepala akan
dapat memperbaiki manajemen, yang diharapkan dapat memperbaiki outcome pasien.

15

Anda mungkin juga menyukai