Anda di halaman 1dari 11

Trauma Kepala

A. Klasifikasi Cidera Otak

Klasifikasi cidera otak dibagi berdasarkan tingkat kesadaran dan gambaran luka-luka yang
diderita. Untuk kondisi klinis dan tingkat kesadaran yang umumnya dipakai adalah dengan
Glasgow Coma Scale (GCS). Diadopsi untuk menilai tingkat keparahan klinis cidera kepala
dan patologi lainnya yang mengganggu kesadaran.1

GCS memainkan peran penting dalam mengkategorikan tingkat keparahan cidera,


menentukan standar status neurologis klinis, hingga mendeteksi kerusakan neurologis. Perlu
dicatat, bahwa kegunaan GCS mulai terbatas dengan terapi modern. Sebagai contoh, sebagian
besar pasien yang datang ke rumah sakit dengan ambulans tidak respon karena sedasi dan
blokade neuromuskular; Pada pasien ini, skor yang akurat tidak dapat ditentukan sampai efek
farmakologisnya telah selesai atau habis dimetabolisme.1

Hal serupa dihadapi selama tatalaksana unit perawatan intensif (ICU) karena banyak terapi
menurunkan TIK membuat pasien harus memakai sedasi. Selanjutnya, intubasi dan
pembengkakan orbital dapat secara signifikan mengganggu penilaian skor mata dan skor
verbal. Dalam sebuah studi oleh Gale dan kawan-kawan, 50% pasien tidak dapat diberi nilai
GCS yang akurat karena variabel pengganggu ini. Skala alternatif untuk menilai kondisi
klinis adalah skala keparahan cidera kepala, tetapi menghadapi tantangan yang sama karena
sebagian besar didasarkan pada skor GCS.1

Tabel 1.1 Skala keparahan cidera

Tabel 1.2 Glassgow Coma Scale


Ada juga klasifikasi berdasarkan difus atau fokal cidera kepala yang dialami. Tergolong difus
adalah konkusi, diffuse axonal injury, edema otak berat. Sedangkan yang fokal adalah
contusio dan hematomaa.
Kontusio dapat ditandai dengan mekanisme, lokasi anatomis, atau luka yang berdekatan.
Misalnya, kontusio fraktur akibat cidera kontak langsung dan terjadi segera.
Kontusio coup adalah cidera yang timbul langsung di tempat benturan dan tidak adanya patah
tulang, sedangkan counter coup adalah cidera akibat dari benturan dari sisi yang berlawanan.
Kontusio biasanya menghasilkan berbagai tingkat defisit neurologis tergantung pada area
yang terlibat. Kontusio dapat menyebabkan efek massa yang signifikan karena edema di
sekitarnya atau perkembangan hemoragik menjadi hematomaa intraserebral. Kontusi juga
mewakili sumber cidera kepala sekunder ke jaringan yang berdekatan melalui pelepasan
neurotransmiter dan perubahan biokimia lokal. Adams dan rekannya mengusulkan sebuah
metode untuk mengkuantifikasi kontusio serebral (indeks kontusio) yang disebabkan oleh
cidera kepala Mereka menemukan bahwa kontusio paling parah di lobus frontal maupun
temporal dan tidak secara konsisten berkorelasi dengan mekanisme cidera. Kontusio yang
lebih parah bila dikaitkan dengan patah tulang tengkorak, diffuse axonal injury.
Untuk jenis hematoma terdapat epidural hematoma, subdural hematomaa, dan intracerebral
hematomaa.1

Klasifikasi lainnya berdasarkan temuan dari CT Scan kepala, yaitu Marshall Score dan
Rotterdam Score.1

Tabel 1.3 Klasifikasi cidera kepala berdasarkan Marshall Score 1


Tabel 1.4 Klasifikasi cidera kepala berdasarkan Rotterdam1
Kemungkinan meninggal 6 bulan setelah cidera kepala menurut skor Rotterdam1
1 ≥ 0%
2 ≥ 7%
3 ≥ 16%
4 ≥ 26%
5 ≥ 53%
6 ≥ 61%

B. Jenis - Jenis Cedera Kepala

a. Epidural Hematoma

Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan intrakranial yang sering terjadi. EDH
seringkali disebabkan akibat tulang tengkorak yang mengalami fraktur. Tulang tengkorak
dengan sifat yang kaku dan keras melindungi otak dari trauma dibantu dengan duramater,
yaitu lapisan pembungkus otak. Duramater memiliki banyak manfaat antara lain menutupi
sinus-sinus vena, membentuk periosteum tabula interna, dan sebagai barrier pembungkus
otak.
Pengikisan dan robekan pembuluh darah yang mengelilingi otak dan duramater dapat
diakibatkan benturan kepala hebat. Kondisi tersebut dapat menyebabkan penumpukan
perdarahan di celah antara tulang tengkorak dan duramater. Kondisi ini disebut epidural
hematoma.

Epidural hematomma adalah kondisi kegawatdaruratan medis yang berkaitan dengan


gangguan neurologis. Kondisi tersebut terjadi akibat ruptur pembuluh arteri dan vena
sehingga menimbulkan perdarahan. Epidural hematoma akibat rupturnya pembuluh vena
biasanya berlangsung secara perlahan sedangkan hematom yang akibat rupturnya pembuluh
arteri terjadi penumpukan darah lebih cepat mengisi rang epidural. Epidural hematoma yang
berkaitan dengan ruptur arteri paling sering terjadi pada middle
meningeal artery (MMA) yang letakya di bawah tulang temporal.

Insidensi EDH paling tinggi pada orang dewasa dan remaja di antara usia 20 - 30 tahun.
Paling sering EDH disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh, dan kekerasan. Pada
pasien EDH, 75 - 95% ditemukan adanya fraktur tulang tengkorak. Selain it EDH dapat juga
disebabkan karena proses non-trauma antara lain infeksi/abses, malformasi vaskular, tumor,
dan kelainan koagulopati.

Manifestasi klinis yang sering muncul pada pasien EDH adalah periode sadar diantara dua
periode tidak sadarkan diri hingga koma (lucid interval), nyeri kepala, muntah, dan terkadang
mengalami kejang. Pasien dengan kondisi EDH perlu mendapatkan tatalaksana cepat dan
tepat karena bila tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan herniasi transtentorial
progresif yang muncul dengan klinis perburukan neurologis progresif (penurunan GCS >2,
dengan GCS sebelumnya <9), pupil dilatasi, pupil anisokor, pupil asimetris, dan ekstensor
posturing/tidak berespons. 2

b. Subdural Hematoma

Subdural hematomaa (SDH) adalah adanya kumpulan darah di bawah duramater, tapi masih
di atas otak, lebih tepatnya di atas arachnoid mater. Subdural hematomaa tidak hanya terjadi
pada pasien cidera kepala berat tapi dapat dengan cidera kepala ringan, khususnya pada orang
tua yang mengkonsumsi antikoagulan. Subdural hematomaa dapat spontan atau disebabkan
suatu prosedur seperti lumbal pungsi. Tingkat mortalitas dan morbiditas cukup tinggi
walaupun dilakukan medikasi terbaik dan pantauan dokter bedah saraf.

Subdural hematomaa biasanya dicirikan dari ukuran, lokasi, dan waktu dari awal kejadian
(dapat akut, subakut, kronis). Jika waktu tidak diketahui maka tampilan pada CT Scan dapat
membantu kapan SDH mulai terjadi. Faktor ini, selain klinis pasien, menentukan pengobatan
yang tepat dan mempengaruhi outcome.

Umumnya SDH akut terjadi kurang dari 72 jam dan hiperdensitas pada CT Scan kepala.
Subakut terjadi 3-7 hari setelah masa akut. Sedangkan SDH kronis terjadi lebih dari 14 hari
dan gambaran hipodensitas dibanding otak pada CT Scan kepala. Namun dapat juga terjadi
mixed density jika SDH kronis terjadi perdarahan akut. SDH akut biasanya dikarenakan
cidera otak primer yang hebat, 82% pasien koma dengan SDH akut mempunyai kontusio.

SDH akut terjadi 50-60% semua SDH. Paling sering terjadi karena pergerakan kepala
tiba-tiba akibat jatuh atau benturan. SDH spontan dapat terjadi akibat trauma minor,
pemakaian antikoagulan yang lama, atau ruptur aneurisma arteri komunikans posterior.
Kebanyakan SDH karena robeknya bridging vein yang berada di subdural mengalirkan darah
dari korteks ke sinus dura.

Mekanisme yang menyebabkan SDH benturan dengan kecepatan tinggi ke kepala


menyebabkan akselerasi dan deselerasi pada dura yang terfiksasi, merobek pembuluh darah.
Pada usia tua bridging vein robek karena tertarik oleh otak yang atrofi. Penyebab lainnya
adalah rupturnya arteri kortikal akibat trauma minor, ruptur arteri ini ditemukan di sekitar
sylvian fissure.

Dengan subdural terisi darah maka arachnoid dan duramater berpisah, kemudian memberikan
tekanan ke parenkim otak, meningkatkan tekanan intrakranial. Pada penelitian biomekanik
otak didapatkan pola pasien dengan SDH akut yang sudah dioperasi didapatkan kadar
oksigen rendah dan banyaknya sisa metabolisme seperti laktat pada otak yang mengalami
hematomaa. Pola ini mungkin menjadi signifikan untuk evaluasi pengobatan.

Cerebral Blood Flow (CBF) menjadi berkurang, ini dibuktikan dari pasien SDH akut yang
membutuhkan kraniotomi emergensi, ditemukan CBF pada hemisphere yang mengalami
SDH terjadi CBF yang rendah dari normal. Meningkatnya CBF dan cerebral blood volume
(CBV) setelah operasi tidak disertai perubahan segera PCO2 dan tekanan darah setelah
operasi. Ini disebabkan SDH menekan mikrosirkulasi yang membuat tekanan intrakranial
meningkat.

Sama dengan massa lainnya di dalam kranium, SDH juga menyebabkan efek massa yang
dapat menyebabkan herniasi otak, dua tipe herniasi tersering adalah herniasi subfalcine
(gyrus cingulate) dan trantentorial (Herniasi uncal). Herniasi subfalcine menyebabkan infark
dengan menekan arteri cerebri anterior, herniasi transtentorial menyebabkan infark dengan
menekan arteri cerebri posterior. Herniasi trantentorial sering menekan nervus okulomotorius
(N. III) sehingga didapatkan dilatasi pupil ispsilateral. Jika herniasi transtentorial semakin
berkembang akan menyebabkan kematian karena menekan pembuluh darah yang mensuplai
batang otak.Herniasi transtentorial ditandai dengan bradikardi disertai hipertensi (Cushing’s
response).

Gejala yang dapat ditemukan pada SDH adalah penurunan kesadaran, sakit kepala,
kehilangan keseimbangan, kehilangan memori, perubahan kepribadian, afasia, kejang, dan
hemiparese. Sakit kepala yang terjadi mempunya ciri onset tiba-tiba, sakit kepala berat,
disertai muntah-muntah, dan dapat dicetuskan dengan batuk dan aktivitas.
Pemeriksaan fisik pertama yang dilakukan adalah menilai GCS. Jika menemukan GCS
kurang dari 15 dan bukan akibat alkohol atau obat sedatif, segera dilakukan CT Scan kepala.
Untuk mencari penyebab penurunan kesadaran dan defisit neurologis lainnya. Karena jika
didapatkan SDH pada CT Scan dan dapat dievakuasi kuran dari 4 jam dapat menghasilkan
outcome neurologis yang signifikan.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan kesadaran, pupil dilatasi ipsilateral
dengan SDH, dan hemiparese kontralateral dari hematomaa. Dapat juga terjadi dilatasi pupil
kontralaterl, ini terjadi karena kompresi terjadi bagian kontralateral, disebut kernohan
phenomenon. Pasien juga dapat mengalami lucid interval, dimana saat dilakukan CT Scan
hasilnya negatif karena perdarahan belum terbentuk.
Diagnosis banding pada SDH adalah child abuse, epidural hematoma, perdarahan
subarachnoid, stroke iskemik, meningitis, dan syok hemoragik.1

c. Intracerebal Hematoma

Perdarahan intracerebral adalah perdarahan spontan yang bukan disebabkan oleh trauma,
yang darahnya masuk parenkim otak membentuk hematoma. Akibat perdarahan, terjadi
hematoma intracerebral yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dan
penekanan pada jaringan otak sekitar yang menyebabkan terjadinya defisit neurologis.
Apabila tidak diatasi dengan cepat, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan. Maka dari
itu, diperlukan penanganan yang cepat dan tepat.3
Penyebab ICH ini terbagi dua, trauma dan non trauma. Penyebab non trauma adalah
hipertensi, ruptur aneurisma, arteriovenous malformation, arteriopati (cerebral amiloid
angiopati), nekrosis hemoragik (tumor), osbtruksi vena (cerebral venous trombosis), dan
gangguan pembekuan darah (konsumsi antikoagulan, diatesa hemoragik)1 Akibatnya adalah
penghentian suplai darah ke otak yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen
gerakan, berpikir memori, bicara, atau sensasi.3

Gambaran klinis ICH tergantung lokasi hematomaa.


Manifestasi klinis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan intrakranial:
- Penurunan kesadaran (hampir 50%)
- Mual dan muntah (40-50%)
- Sakit kepala (40%)
- Kejang (6-7%)
- Defisit neurologis fokal

Sebuah data menunjukkan jika titik hematoma lebih dari 3, diameter lebih dari 5 mm, dan
lebih dari 180 Hounsfield Unit adalah prediktor independen bahwa hematoma akan
bertambah besar.1

Defisit neurologis fokal yang dapat terjadi tergantung lokasi terjadinya hematomaa.
Pada putamen dapat terjadi:
- Hemiparese kontralateral
- Kehilangan sensorik kontralateral
- Konjugat gaze paresis kontralateral
- Hemianopia homonim
- Afasia
- Apraxia
Pada talamus dapat terjadi:
- Kehilangan sensorik kontralateral
- Hemiparese kontralateral
- Hemianopia homonim
- Miosis
- Afasia
- Confusion
Pada lobar dapat terjadi:
- Hemiparese kontralateral atau kehilangan sensorik
- Konjugat gaze parese kontralateral
- Hemianopia homonim
- Abulia - Afasia
- Apraxia
Pada nukleus kaudatus terjadi:
- Hemiparese kontralateral
- Konjugat gaze parese kontralateral
- Confusion
Pada batang otak dapat terjadi:
- Tetraparese
- Kelemahan wajah
- Penurunan kesadaran
- Gaze parese
- Ocular bobbing (dimana mata tidak dapat ke posisi tengah)
- Miosis
- Autonom tidak stabil
Pada cerebellum dapat terjadi:
- Ataxia yang diawali dari badan
- Kelemahan wajah ipsilateral
- Kehilangan sensorik ipsilateral
- Gaze parese
- Skew deviasi
- Miosis
- Penurunan kesadaran

d. Diffuse Axonal Injury (DAI)

Diffuse axonal injury (DAI) adalah cidera paling sering pada cidera kepala berat, kurang
lebih 50% dari semua cidera kepala berat. Pada kasus ringan tidak ada lesi pada CT Scan
kepala atau MRI. Terkadang ditemukan perdarahan kecil di ventrikel III dan korpus kalosum
atau kapsula interna. Perdarahan intraventrikuler pada CT Scan pertama dilaporkan sebagai
indikator awal terjadi DAI di korpus kalosum pada MRI. Meskipun pemeriksaan
histopatologi adalah gold standard untuk diagnostik DAI.1

Gambar perjalanan difus axonal injury.

Pada gambar pertama adalah CT Scan saat awal terjadi cidera kepala, tampak edema otak.
Gambar kedua 7 jam setelah cidera kepala, mulai tampak perdarahan intraparenkim di
temporal kiri. Gambar ketiga adalah 3 bulan setelah terjadi cidera, tampak degeneratif luas
ditandai dengan temporal horn dilatasi dan perbedaan white matter temporal dan oksipital
pada FLAIR (fluid attenuated inversion recovery). Gambar keempat 3 bulan setelah cidera
dengan diffusion tensor imaging (DTI) tampak tidak ada koherensi di temporal kiri. Gambar
5 adalah MRI normal sebagai pembanding.1
Daftar Pustaka

1. Darmajaya R. Buju Referensi Trauma Kepala. Medan, Indonesia: USU Press; 2018.

2. Rudyanto D, Patongai F, Suharmanto. Epidural Hematoma pada Laki-laki 29 tahun. Jurnal


Kedokteran UNILA. 2023 Sept;10(2).

3. Intracerebral hemorrhage (ICH), hemorrhagic stroke, stroke: Cincinnati, oh mayfield brain


& spine [Internet]. [cited 2024 Jan 22]. Available from:
https://mayfieldclinic.com/pe-ich.htm

Anda mungkin juga menyukai