Disusun Oleh :
Kejang adalah suatu episode aktivitas listrik yang tidak normal pada otak.
Seperti sakit kepala, kejang adalah gejala bukan suatu penyakit. Tiga kategori
utama kejang adalah kejang umum, fokal, dan status epileptikus. Epilepsi
merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang yang dapat
disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai dengan
hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran.
Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang
selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan otot
ataupun hentakan repetitive pada otot.
1.4 MANFAAT
Makalah ini dibuat agar mahasiswa dapat mengetahui mengenai kasus
kegawatdaruratan system neurologi pada kasus status epileptikus, GBS, CVA, dan Stroke.
BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Status Epileptikus 1. Definisi Status epileptikus adalah
kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat medis dan neurologis utama.
International International League Against Against Epilepsy Epilepsy mendefinisikan status
epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau
lebih (Nia Kania,2007). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami
kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih,
harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. 2. Etiologi a. Idiopatik epilepsi : biasanya
berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya penyebabnya tidak
diketahui. diketahui. Pasien dengan idiopatik idiopatik epilepsi epilepsi mempunyai
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik. b. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya
belum diketahui. belum diketahui. Kebanyakan lokasi Kebanyakan lokasi yang berhubungan
yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak
diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus. c. Simptomatik epilepsi : Pada
simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, contohnya oleh karena
sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses
proses desak ruang di otak, gangguan gangguan pembuluh pembuluh darah diotak, diotak,
toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. (Kustiowati dkk
2003, Sirven, Ozuna 2005
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Stroke atau Cerebrovaskular Accident (CVA) adalah defisit neurologi yang mempunyai
awitan mendadak sebagai akibat dari adanya penyakit cerebrovascular. Sekitas 75% stroke
diakibatkan oleh obstruksi vaskular (thrombus atau emboli) yang mengakibatkan iskemi dan
infark, sedangkan 25% stroke adalah hemoragi akibat penyakit vaskuler pendarahan
intraserebral.
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem
saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian.
B. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark
bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya
sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah
ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli,
perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan
paru dan jantung). Atherosklerotik sering/ cenderung sebagai faktor penting terhadap otak,
thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis,
dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah.
Thrombus mengakibatkan; iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang
bersangkutan dan edema dan kongesti disekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi
yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam
atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai
menunjukan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan
masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis
diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembukluh darah maka
akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang
tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan
perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh
darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari
keseluruhan penyakit cerebro vaskuler, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,
peningkatan tekanan intracranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak.
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang
otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak
terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh
anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila
anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi
salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peningian tekanan intrakranial dan mentebabkan menurunnya tekanan perfusi
otak serta terganggunya drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade
iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron- neuron di daerah yang
terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka
resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar.
Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan
kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah
berakibat fatal. (Misbach,cit Muttaqin 2013).
C. Etiologi
Gangguan aliran darah serebral yang mengakibatkan stroke dapat disebabkan oleh penyempitan
atau tertutupnya salah satu pembuluh darah keotak dan ini terjadi pada umumnya oleh :
a. Thrombosis Serebral
Yang diakibatkan adanya Arterosklerosis yang pada umumnya menyerang usia lanjut.
Thrombosis ini biasanya terjadi pada pembuluh darah dimana ekluri terjadi. Thrombosis ini
dapat menyebabkan iskemik jarngan otak. Endemik-endemik kongesti di area sekitarnya stroke
karena terbentuknya thrombus biasanya terjadi pada orangtua yang mengalami penurunan
aktivitas simpatis dan posisi recumbent menyebabkan menurunnya tekanan darah sehingga dapat
mengakibatkam askemik serebral.
b. Emboli Serebral
Merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bawaan darah, lemak ataupun udara,
pada umumnya berasal dari thrombus di jantung yang terlepas, dan menyumbat sistem
ateriserebral. Emboli serebral biasanya cepat dan gejala yang timbul <10-30 detik.
c. Stroke Hemoragi
Terjadi karena Arterosklerosis dan Hipertensi, keadaan ini pada umumnya terjadi pada
usia diatas 50 tahun, sehingga menyebabkan peneanan, pergeseran, dan pemisahan jaringan otak
yang berdekatan, akibatnya otak akan membengkak. Jaringan otak internal tertekan sehingga
menyebabkan infark otak, edema, dan kemungkinan herniase otak.
Tanda dan gejala stroke tergantung dari area vaskular yang terkena.
3) Infark lakunar:
b) Hemianopia homonym
E. Pemeriksaan penunjang
F. Penatalaksanaan medis
Tujuan intervensi adalah berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan melakukan tindakan
sebagai berikut:
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lender yang sering,
oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengendalikan tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk untuk usaha memperbaiki
hipotensi dan hipertensi.
d. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin pasien harus
dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan,
Pengobatan Konservatif
c. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan
agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.
d. Anti koagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya/ memberatnya trombosis atau
emboli di tempat lain di sistem kardiovaskuler.
Pengobatan Pembedahan
g. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri
karotis di leher.
h. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan
oleh pasien TIA.
G. Komplikasi
Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi komplikasi, komplikasi ini
dapat dikelompokan berdasarkan:
b. Berhubungan dengan paralisis lalu nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi,
d. Hidrocephalus
Individu yang menderita stroke berat pada bagian otak yang mengontrol respon pernapasan atau
kardiovaskuler dapat meninggal.
A. Pengertian
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat medis
dan neurologis utama. International League Against Epilepsy mendefinisikan status epileptikus
sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih (Nia
Kania,2014). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang
persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
B. Patofisiologi
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan, spontan, dan
sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi
kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau umum.
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
C. Etiologi
a. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya
tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil
pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
c. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi structural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan
kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat),
gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. (Kustiowati dkk 2013, Sirven, Ozuna 2013).
Untuk kejang parsial dan umum, tanda dan gejala dapat berlangsung dari beberapa detik hingga
15 menit per episode. Adapun gejala yang dapat timbul sebelum terjadi:
Hilangnya kesadaran
Kejang otot
Air liur yang menetes dan berbuih
Jatuh secara mendadak
Perasaan aneh dimulut
Menggigit lidah sendiri
Mengatupkan gigi
Memiliki gerakan mata secara mendadak
Menimbulkan suara seperti mendengkur
Tidak dapat mengontrol buang air kecil dan buang air besar
Berubahnya mood secara tiba-tiba
E. Pemeriksaan penunjang
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara langsung.
EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantupembedaan antara kejang
umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat :
- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan non spesifik
seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat
2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal
pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun negatif palsu,
dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada
pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis
dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran
selama serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan
negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan
yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.
- Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang penting
dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu.
Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang
dibutuhkan. Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas,
memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan
diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG. (Kirpatrick, Sisodiya,
Duncan 2013, Stefan, 2015).
F. Penatalaksanaan medis
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak tak terkontrol; bicara tidak
dapat dimengerti; mungkin pening; dapat mengalami perubahan penglihatan, suara, bau atau
pengecapan yang tak lazim atau tak menyenangkan.
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis tetapi tidak bertujuan; dapat
mengalami perubahan emosi, ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang yang berlebihan;
tidak mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh diikuti dengan perubahan
kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi (kontraksi tonik klonik umum)
A. Pengertian
3. Konsep GBS ( Guillain Barre Syndrome)
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah
kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu,
bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca
Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916
yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh
yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis.
Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang
sistem selaput saraf yang menyebabkan kelemahan akut ekstermitas tubuh. Pada
umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi. Proses penyakit mencakup demielinisasi
dan degerasi selaput mielin dari saraf perifer dan kranial.
Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua
tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula.
Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan pada usia
produktif (20 – 40 tahun). Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran,
terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul
seminggu atau tiga minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
B. Patofisiologi
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang
membungkus saraf perifer.Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS
menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami
regenerasi.Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan, beberapa derajat
distabilitas dapat tetap terjadi.
Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang
ke atas tubuh.Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps pernafasan.Fungsi
kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2013).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation.
Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem
penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf
perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan
target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris
terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena
denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses
peradangan/infeksi terjadi. Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin
hancur serta hilang pada beberapa segmen.hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi
saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan
konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel Schwann dapat
berdegenerasi dan membentuk myelin baru.Namun pada banyak kasus, demielinasi
menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil, 2014).
C. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Kehamilan atau dalam masa nifas.
e. Umur
f. Jenis kelamin
Paling banyak pasien-pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi, 1
sampai 3 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik.Pada beberapa
keadaan.Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat
diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan beberapa
proses lain atau sebuah kombinasi proses.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak
adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang
terserang.
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka
sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan
menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan
bekerja sebagaimana mestinya.
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS
yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.Dahulu sindrom ini di duga di sebabkan oleh infeksi virus, tetapi
akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab.Teori yang
dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune
response maupun immune mediated process.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas
bagian atas atau saluran pencernaan.Penyebab infeksi pada umumnya virus dari
kelompok herpes.Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri,
gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada prognosis yang lanjut adalah
1) Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian.
Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan
kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33%
penderita.
2) Kelemahan beberapa otot dapat menetap
3) Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke
dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena
dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr,
dkk, 2013).
a. pengkajian
b. diagnose
c. intervensi
2.5 CASE STUDY
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA