3. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di
otak. Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan
besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area
yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus,
emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan pant dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai
faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak
arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat
aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi (Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai
emboli dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak
yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan
kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih
besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam
beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena
trombosis biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi
pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada
dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika
sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat . menyebabkan
dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan
serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan
hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan
lebih sering menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit
serebro vaskulai; karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan
herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin,
2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang
otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus
perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk
waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit.
Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah
satunya henti jantung (Muttaqin, 2008).
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang
relatif banyak akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan
penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elernen-
elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi (Muttaqin, 2008).
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah
lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam
dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan
serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75%, namun volume darah 5 cc dan terdapat di pons
sudah berakibat fatal (Misbach, 1999 dalam Muttaqin, 2008).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) stroke menyebabkan berbagai
defisit neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi
akibat terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Gejala tersebut antara lain :
a. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala
b. Parasthesia, paresis, plegia sebagian badan
c. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan
kehilangan control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan
stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan
hilang atau menurunnya refleks tendon dalam.
d. Dysphagia
e. Kehilangan komunikasi
f. Gangguan persepsi
g. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis
h. Disfungsi kandung kemih
5. Penatalaksanaan Medik
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Phase Akut :
1) Pertahankan fungsi vital seperti: jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi
dan sirkulasi. Reperfusi dengan trombolitik atau vasodilation: Nimotop.
Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik / emobolik.
2) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30
menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian
dexamethason.
3) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
4) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan
kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral
berkurang
b. Post phase akut
1) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
2) Program fisiotherapi
3) Penanganan masalah psikososial
6. Prognosa
Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit
neurologis yang dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis
yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan,
kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1
bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar
35%. pasien yang selamat dari periode akut, sekitar satu setengah samapai
dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar 15% memerlukan
perawatan institusional. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi
500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000
orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Sebanyak
28,5% penderita stroke meninggal dunia, sisanya menderita kelumpuhan
sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari
serangan stroke dan kecacatan.
1. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cidera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan
darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
b. Primary Survey (Pengkajian Primer)
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift”
atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi
atau rotasi dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi: fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil, GCS, adanya nyeri.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas,
pemeriksaan suhu, lokasi luka.
c. Pengkajian Sekunder
Secondary survey ini merupakan pemeriksaan secara lengkap
yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,
dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai
membaik. Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis
riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian
pasien.Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan
sistem. Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh
langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan
cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat
kejadian.
Tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut Emergency Nurses
Association:
Nilai
Komponen Keterangan
normal
Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal.
Untuk mengukur suhu inti menggunakan kateter
arteri pulmonal, kateter urin, esophageal probe,
Suhu 36,5-37,5 atau monitor tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi penyakit, infeksi
dan injury.
60- Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais irama
Nadi
100x/menit jantung, frekuensi, kualitas dan kesamaan.
Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari usaha bernafas.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Kulit kepala
Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cidera ringan,
tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Inspeksi dan palpasi adanya pigmentasi,
laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala.
2) Wajah
Inspeksi kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cidera di
sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan
mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi
sulit.
3) Mata :
Periksa kornea ada cidera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau unisokor, bagaimana reflex cahaya, apakah pupil miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata, konjungtivanya anemis,
rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival
perdarahan.
4) Hidung :
Perdarahan,nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada
deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
5) Telinga :
Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan /
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter keutuhan
membrane timpani / adanya hemotimpanum.
6) Rahang
Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur
7) Mulut dan faring :
Inspeksi mucos, tekstur, warna, kelembaba, lesi, amati lidah,
pegang dan tekan daerah pipi, rasakan apa ada massa/ tumor
pembengkakkan dan nyeri, amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis), palpasi adanya respon nyeri.
8) Vertebra servikalis dan leher
Periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam,
lesi, dan massa, kaji keluhan disfagia (kesulitan menelan), suara
serak, cidera tumpul atau tajam, deviasi trakea.
9) Toraks
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang,
adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan
expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, frekuensi dan irama denyut jantung.
Palpasi: adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri
tekan, krepitasi. Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan
hipersonor dan keredupan. Auskultasi: suara nafas tambahan
(ronki, wheezing), bunyi jantung (desah, gallop).
10) Abdomen
Cidera intra-abdomen kadang luput terdiagnosis misalnya pada
keadaan cidera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur
vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, adanya trauma
tajam, tumpul adanya perdarahan internal adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, ecchymosis,
bekas luka. Auskultasi bising usus. Perkusi abdomen, untuk
mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler, nyeri lepas yang jelas
atau uterus yang hamil.
11) Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Diperiksa adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio,
hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Diteliti kemungkinan adanya darah dari
rectum, prostat, fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat
menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika
terdapat perdarahan vagina dicatat karakter dan jumlah kehilangan
darah dilaporkan lakukan tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. Pasien dengan keluhan kemih ditanya rasa sakit atau
terbakar dengan buang air kecil. frekuensi, hematuria kencing
berkurang sampel urin dianalisis.
12) Ektremitas
Pemeriksaan look-feel-move. Inspeksi, memeriksa adanya luka
dekat daerah fraktur (fraktur terbuka). Pelapasi, memeriksa denyut
nadi distal dari fraktur punggung. Perdarahan, lecet, luka,
hematoma, ecchymosis, edema, nyeri pada kolumna vertebra
periksa adanya deformitas.
13) Neurologis
Pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
pemeriksaan motorik dan sendorik, GCS, paralisis dapat
disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer,
Imobilisasi penderita dengan kolar servikal, imobilisasi dilakukan
samapai terbukti tidak ada fraktur servikal, inspeksi adanya kejang,
twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan), distaksia (kesukaran mengkoordinasi otot), vertigo
dan respon sensori. Nervus cranialis dapat terganggu bila cidera
kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau
perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
2. Penyimpangan KDM Fraktur Basis CraniI
Jaringan otak rusak Cidera medula oblongata Cidera otak Penurunan sirkulasi CSS Ekstra dan intra kranial
(kontusio laserasi)
Depresi pada pusat napas di Gangguan autoregulasi Peningkatan TIK Ekstra kranial:Terputusnya
Jaringan otak rusak otak
(kontusio laserasi) kontinuitas jaringan kulit,
otot, dan vaskuler. Intra
Aliran darah ke otak Messenfalon tertekan
Kerusakan pola pernafasan kranial: Jaringan otak
menurun
Peningkatan TIK di medula oblongata rusak
Gangguan kesadaran
Penurunan kesadaran Kerusakan neuromuscular Penurunan O2
control mekanisme ventilasi
Penurunan kekuatan otot,
Usaha penderita untuk Gangguan metabolisme program pembatasan gerak Risiko infeksi
Keletihan otot pernapasan
bernapas
(otot sternokleidomastoid)
Asam laktat meningkat Imobilisasi
Lidah mengalami prolaktus Komplikasi pada paru-paru.
ke belakang Invasi bakteri
Kerusakan jaringan otak Kerusakan mobilitas fisik
Ketidakefektifan pola Proteksi kurang
Orofaring tertutup napas
Penurunan kapasitas
adaptif intrakranial
Tindakan invasif dan non
Obstruksi jalan napas:
invasif
materi asing dalam jalan
napas
Ketidakefektifan bersihan
jalan napas
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim muncul:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas: materi asing dalam jalan napas.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan cidera medula oblongata;
keletihan otot pernapasan.
c. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan cidera otak.
d. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot,
program pembatasan gerak.
e. Risiko infeksi
Intoleransi aktivitas
Perubahan
metabolisme selular
Ansietas
Indeks masa tubuh
diatas perentil ke 75
sesuai usia
Gangguan kognitif
Konstraktur
Kepercayaan
budaya tentang
aktivitas sesuai usia
Fisik tidak bugar
Penurunan
ketahanan tubuh
Penurunan kendali
otot
Penurunan massa
otot
Malnutrisi
Gangguan
muskuloskeletal
Gangguan
neuromuskular, Nyeri
Agens obat
Penurunan
kekuatan otot
Kurang
pengetahuan tentang
aktvitas fisik
Keadaan mood
depresif
Keterlambatan
perkembangan
Ketidaknyamanan
Disuse, Kaku sendi
Kurang dukungan
Iingkungan (mis, fisik
atau sosiaI)
Keterbatasan
ketahanan
kardiovaskular
Kerusakan
integritas struktur
tulang
Program
pembatasan gerak
Keengganan
memulai pergerakan
Gaya hidup
monoton
Gangguan sensori
perseptual
e. Risiko infeksi