Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA TN “M” DENGAN DIAGNOSA MEDIS STROKE NON


HEMORAGIK (NHS) DI RUANG KRISAN RS. TK II PELAMONIA
MAKASSAR

NILAM SARI, S.Kep


22007044

CI. LAHAN CI. INSTITUSI

( ) (Aminullah, S.Kep, Ns )

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MAKASSAR
2021
Page |2

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Defenisi

Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang

diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2002).

Menurut WHO, Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi

cerebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat, berlangsung

lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain

daripada gangguan vaskuler.

Serangan otak merupakan istilah kontemporer untuk stroke atau cedera

serebrovaskuler yang mengacu kepada gangguan suplai darah otak secara

mendadak sebagai akibat dari oklusi pembuluh darah parsial atau total, atau akibat

pecahnya pembuluh darah otak (Chang, 2010).

Stroke merupakan gangguan mendadak pada sirkulasi serebral di satu

pembuluh darah atau lebih yang mensuplai otak. Stroke menginterupsi atau

mengurangi suplai oksigen dan umumnya menyebabkan kerusakan serius atau

nekrosis di jaringan otak (Williams, 2008).

Stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik (primary

hemorrhagic strokes) dan stroke non hemoragik (ischemic strokes) . Menurut

Price, (2006) stroke non hemoragik (SNH) merupakan gangguan sirkulasi cerebri

yang dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh misalnya

trombus, embolus atau penyakit vaskuler dasar seperti artero sklerosis dan arteritis

yang mengganggu aliran darah cerebral sehingga suplai nutrisi dan oksigen ke otal

menurun yang menyebabkan terjadinya infark. Sedangkan menurut Padila, (2012)

Stroke Non Haemoragik adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi
Page |3

aliran darah otak terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau

embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di tubuh.

Dari beberapa pengertian stroke diatas, disimpulkan stroke non hemoragik

adalah adalah gangguan cerebrovaskular yang disebabakan oleh sumbatnya

pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti aterosklerosis, arteritis, trombus

dan embolus.

B. Klasifikasi

Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah :

1. Transient Ischemic Attack (TIA)

TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak

sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebih

dari 24 jam.

2. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)

RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak

berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 1-3

minggu

3. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)

Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan

peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal

dalam beberapa jam sampe bbrpa hari

4. Stroke in Resolution

Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan

peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai

maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari


Page |4

5. Completed Stroke (infark serebri)

Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau

gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa

memburuk lagi.

Sedangkan secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2007) Stroke iskemik

(Stroke Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi :

1. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena

trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri serebri

media. Permulaan gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau sedang istrirahat

kemudian berkembang dengan cepat,lambat laun atau secara bertahap sampai

mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-kadang dalam

beberapa hari (2-3 hari), kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada

kecendrungan untuk membaik dalam beberapa hari,minggu atau bulan.

2. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena emboli

yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala terlihat sangat

mendadak berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya tidak terganggu,

kemungkinan juga disertai emboli pada organ dan ada kecenderungan untuk

membaik dalam beberapa hari, minggu atau bulan.

C. Etiologi

Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:

1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)

Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran

darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan

kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang

mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat


Page |5

menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi

pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena

penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat

menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali

memburuk pada 48 jam setelah trombosis.

2. Embolisme cerebral

Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari

bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh

bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus

di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut

berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik

3. Iskemia

Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau

penyumbatan pembuluh darah.

D. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.

Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya

pembuluh daralidan adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai

oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin

lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme

vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan

jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pad-a otak.

Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area

yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi

(Muttaqin, 2008).
Page |6

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli

dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak yang disuplai

oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area.

Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu

sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah

beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.

Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal„ jika tidak terjadi perdarahan masif.

Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan

nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding

pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi

berada pada pembuluh darah yang tersumbat . menyebabkan dilatasi aneurisma

pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma

pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).

Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi

pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering

menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai;

karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan

intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk

serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan

perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.

Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak

di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:

Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 4-

6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
Page |7

dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung

(Muttaqin, 2008).

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif

banyak akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan

tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elernen-elemen vasoaktif

darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,

menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi

(Muttaqin, 2008).

Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih

dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%

pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan

volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun

volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Misbach, 1999

dalam Muttaqin, 2008).

E. Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) Stroke menyebabkan berbagai deficit

neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat

terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi

(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak

adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala

tersebut antara lain :

1. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala

2. Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan

3. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan

control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke, gambaran


Page |8

klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau menurunnya

refleks tendon dalam

4. Dysphagia

5. Kehilangan komunikasi

6. Gangguan persepsi

7. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis

8. Disfungsi Kandung Kemih

Defisit neurologik stroke manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut :

No Defisit neurologi Manifestasi

1. Defisit lapang penglihatan a. Tidak menyadari orang atau objek, mengabaikan

a.   Homonimus Hemlanopsia salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak

Kehilangan penglihatan b.  Kesulitan melihat pada malam hari, tidak

perifer menyadari objek atau batas objek.

b.   Diplopia b.  Penglihatan ganda

2. Defisit Motorik a.  Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada

a.    Hemiparesis b.  sisi yang sama.

b.    Hemiplegia a.  Paralisis wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang

c.    Ataksia sama.

d.    Disatria b.  Berjalan tidak mantap, tidak mampu menyatukan

2.    Disfagia kaki.

c.  Kesulitan dalam membentuk kata

d.  Kesulitan dalam menelan.

3. Defisit sensori : Parastesia a.    Kesemutan

4. Defisit verbal a.  Tidak mampu membentuk kata yang dapat

a.   Fasia ekspresif dipahami

b.   Fasia reseptif b.  Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan,


Page |9

c.   Afasia global mampu berbicara tapi tidak masuk akal

c.  Kombinasi afasia reseptif dan ekspresif

5. Defisit kognitif a.  Kehilangan memori jangka pendek dan panjang,

penurunan lapang perhatian, tidak mampu

berkonsentrasi, dan perubahan penilaian.

6. Defisit Emosional a.  Kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,

depresi, menarik diri, takut, bermusuhan, dan

perasaan isolasi.

F. Komplikasi

Komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral, penurunan aliran darah serebral dan

luasnya area cidera (Suzzane C. Smelzzer, dkk, 2001, hlm. 2137)

1. Hipoksia serebral

Otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan.

2. Penurunan darah serebral

Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan

integritas pembulu darah serebral.

3. Luasnya area cidera

Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibralsi atrium

atau dapat berasal dari katup jantung prrostetik. Embolisme akan menurunkan

aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.

Distritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian

thrombus lokal.

G. Faktor Resiko

Menurut Smeltzer, 2002 faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke non

hemoragik yaitu:
P a g e | 10

1. Faktor resiko terkendali

Beberapa faktor resiko terkendali yang menyebabkan stroke non hemoragik

sebagai berikut :

a) Hipertensi

b) Penyakit kardiovaskuler, embolisme serebral yang berasal dari jantung,

penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri,

abnormalitas irama (khususnya fibrasi atrium), penyakit jantung kongestif.

c) Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.

d) Kolesterol tinggi

e) Infeksi

f) Obesitas

g) Peningkatan hemotokrit meningkatkan resiko infark serebral

h) Diabetes

i) Kontrasepsi oral (khusunya dengan disertai hipertensi, merokok, dan

estrogen tinggi

j) Penyalahgunaan obat (kokain)

k) Konsumsi alkohol

2. Faktor resiko tidak terkendali

Beberapa faktor resiko tidak terkendali yang menyebabkan stroke non

hemoragik sebagai berikut :

a) Usia, merupakan foktor resiko independen terjadinya strok, dimana refleks

sirkulasi sudah tidak baik lagi.

b) keturunan / genetic

H. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

ialah sebagai berikut :


P a g e | 11

1. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke secara

spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari

sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.

2. Lumbal pungsi: Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada

carran lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau

perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan

adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai

pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya

warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.

3. CT scan.: Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi

henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya

secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang

pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.

4. MRI: MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang

magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak.

Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark

akibat dari hemoragik.

5. USG Doppler: Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah

sistem karotis).

6. EEG: Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan

dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam

jaringan otak.

Pemeriksaan Laboratorium:
P a g e | 12

1. Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada

perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna

likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.

2. Pemeriksaan darah rutin.

3. Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula

darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur-

angsur turun kembali.

4. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.

I. Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi

dua, yaitu :

1. Phase Akut :

a) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi dan

sirkulasi.Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation : Nimotop.

Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik / emobolik.

b) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30

menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian

dexamethason.

c) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik

d) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan kepala

tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral berkurang

2. Post phase akut

a) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik

b) Program fisiotherapi

c) Penanganan masalah psikososial

J. Pencegahan
P a g e | 13

Langkah utama untuk mencegah stroke adalah menerapkan gaya hidup sehat.

Selain itu, kenali dan hindari factor resiko yang ada, serta ikuti anjuran dokter.

Beberapa cara yang dilakukan untuk mencegah stroke, antara lain :

1. Menjaga pola makan

2. Olahraga secara teratur

3. Berhenti merokok

4. Hindari komsumsi minuman beralkohol.

A. Pengkajian
P a g e | 14

Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien,

keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat

penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.

1. Identitas Klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis

kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam

MRS, nomor register, dan diagnosis medis.

2. Keluhan utama: Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan

kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak

dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.

3. Riwayat penyakit sekarang: Serangan stroke hemorhagik sering kali

berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas.

Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak

sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak

yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran

disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku

juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak

responsif, dan konia.

4. Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke

sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma

kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,

aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian

obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi,

antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,

penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian

riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
P a g e | 15

merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan

tindakan selanjutnya.

5. Riwayat penyakit keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita

hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi

terdahulu.

6. Pengkajian psikososiospiritual: Pengkajian psikologis klien stroke meliputi

beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi

yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian

mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons

emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien

dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam

kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan

akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas

secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra

tubuh). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami

kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan

konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,

rnudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien

biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan

proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan

kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah

laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah keadaan ini

memberi dampak pada status ekonomi klien karena biaya perawatan dan

pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Stroke memang suatu


P a g e | 16

penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan

perawatan dapat mernengaruhi keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini

dapat memengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan keluarga. Perawat

juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak

gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif

keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang

diakibatkan.oleh defisit neurolcgis dalam hubungannya dengan peran sosial

klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan

neurologis di dalam sistem dukungan individu.

7. Pemeriksaan Fisik: Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada

keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung

data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan

secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan

B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

a. B1 (Breathing): Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan

produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan

peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan

seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan

kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien

stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan

tingkat kesadaran compos mends, pengkajian inspeksi pernapasannya

tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang

kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

b. B2 (Blood): Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan

(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
P a g e | 17

biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan

darah >200 mmHg).

c. B3 (Brain): Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung

pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang

perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau

aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap

dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

d. B4 (Bladder): Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia

urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan

kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih

karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter

urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan

kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang

berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.

e. B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan

oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat

penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

f. B6 (Bone): Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan

kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor

atas menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi

tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi

yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah


P a g e | 18

hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang

berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah

tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak

pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,

perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang

menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya

kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau

paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat.

8. Pengkajian Tingkat Kesadaran: Kualitas kesadaran klien merupakan parameter

yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan

pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah

indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem

digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan

keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya

berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah

mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat

kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.

9. Pengkajian Fungsi Serebral: Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi

intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.

a. Status Mental: Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,

ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut

biasanya status mental klien mengalami perubahan.

b. Fungsi Intelektual: Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik

jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung

dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu
P a g e | 19

kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu

nyata.

c. Kemampuan Bahasa: Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi

yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang

dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area

Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami

bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari

girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu

klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan

bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan

bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang

bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan

untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat

ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

d. Lobus Frontal: Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan

jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau

fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini

dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam

pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini

menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi

umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien terhadap

penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan

dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustrasi, dendam, dan

kurang kerja sama.

e. Hemisfer Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh,

penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga


P a g e | 20

kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Pada stroke hemifer

kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,

kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah

frustrasi.

10. Pengkajian Saraf Kranial

Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf

kranial I-XII.

a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi

penciuman.

b. Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di

antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial

(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering

terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat

memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.

c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, padasatu

sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat

unilateral di sisi yang sakit.

d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf

trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,

penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi

otot pterigoideus internus dan eksternus.

e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan

otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.

f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
P a g e | 21

g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka

mulut.

h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi,

serta indra pengecapan normal.

11. Pengkajian Sistem Motorik: Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN)

dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.

Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah

satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang

berlawanan dari otak

12. Pengkajian Sistem Sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi

terdapat ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi

persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata dan

korteks visual.

Menurut Doenges (2012) data dasar pengkajian pada pasien NHS yaitu:

1. Aktivitas/ istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,

kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia)

Tanda: gangguan tonus otot, hemiplagia, dan terjadi kelemahan umum,

gangguan pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran.

2. Sirkulasi

Gejala: adanya penyakit jantung , polisitemia, riwayat hipotensi postural,

Tanda: hipertensi arterial,nadi bisa bervariasi karena pengaruh jantung,

disaritmia, perubahan EKG

3. Integritas ego

Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa


P a g e | 22

Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira,

kesulitan untuk mengekspresikan diri.

4. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria, distensi

abdomen, bising usus negatif

5. Makanan/ cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual selama fase akut (peningkatan TIK),

kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorok, disfagia, ada

riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.

Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal)

6. Neurosensori

Gejala : sinkope/ pusing, sakit kepala, kelemahan/ kesemutan/ kebas, sisi

yang terkena terlihat seperti mati/ lumpuh, pengelihatan menurun,

pengelihatan ganda, atau gangguan yang lain, gangguan pengecapan.

Tanda: status mental/ kesadaran; biasanya terjadi koma pada tahap awal

haemorhagic, pada wajah terjadi paralisis atau parese (ipsilateral), afasia,

kehilangan kemampuan untuk mengenali / menghayati masuknya rangsang

visual, apraksia

7. Nyeri/ kenyamanan

Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda

Tanda: tingkah laku yang stabil, gelisah, ketegangan pada otot.

8. Pernapasan

Gejala: merokok

Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan napas


P a g e | 23

9. Kemanan

Tanda: motorik/ sensorik akan masalah dengan pengelihatan, perubahan

persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan), kesulitan untuk

melihat objek dari sisi kiri (pada stroke kanan), kesulitan menelan, tidak

mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara mandiri.

10. Interaksi sosial

Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.

B. Diagnosa

Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Doengoes

(2012) adalah :

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan

oklusif, vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan

tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/

sensori: gelisah, defisit sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda- tanda

vital.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,

kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan ketidakmampuan bergerak

dengan tujuan dalam lingkungan fisik; kerusakan koordinasi,; keterbatasan

rentang gerak; penurunan kekuatan otot/ kontrol.

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi

serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.

4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/

penerimaan sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan :

disorientasi terhadap tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan,

konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi, ketidakmampuan untuk

menyebutkan posisi bagian tbuh.


P a g e | 24

5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan

dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya tahan,

koordinasi otot, kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai dengan:

kerusakan kemampuan AKS.

6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik,

psikososial, perseptual kognitif, ditandai dengan perubahan aktual dalam

struktur atau fungsi, perasaan negatif tentang tubuh, perasaan tidak berdaya,

tidak melihat atau menyentuh pada bagian yang sakit.

7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular.

8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan

kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak mengenal

sumber informasi, ditandai dengan: meminta informasi, penyataan kesalahan

informasi, ketidak akuratan mengikuti instruksi.

C. Intervensi

Adapun intervensi keperawatn yang diterapkan pada pasien NHS menurut

Doengoes (2012), yaitu:

1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan

oklusif, vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan

tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/

sensori: gelisah, defisit sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda- tanda

vital.

Kriteria hasil:

a. Mempertahankan tingkat kesadaran; biasanya/membaik, fungsi kognitif,

dan motorik/ sensori


P a g e | 25

b. Mendemontrasikan tanta- tanda vital stabil, dan tidak ada tanda-tanda

peningkatan TIK

c. Menunjukkan tidak ada tanda-tanda kelanjutan/ kekambuhan.

Intervensi:

a. Tentukan faktor – faktor yang berhubungan dengan keadaan/ penyebab

khusus selama koma/ penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya

peningkatan TIK.

Rasional: Mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan atau

kemunduran gejala/tanda setelah fase awal memerlukan tindakan

pembedahan segera dan atau harus dipindahkan ke ruang ICU.

b. Pantau/ catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan

keadaan normalnya/ standar.

Rasional: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial

peningkatan TIK dan mengetahui luas, dan kemajuan / resolusi

kerusakan SSP.

c. Pantau tanda- tanda vital, seperti catat: adanya hipertensi, frekuensi irama

jantung, catat irama dan pola pernapasan, evaluasi pupil, reaksinya

terhadap cahaya. Catat perubahan dalam pengelihatan, seperti adanya

kebutaan, gangguan lapang pandang

Rasional: adanya variasi mungkin terjadi, namun tanda- tanda vital harus

mendapat perhatian karena bisa mempengaruhi intervensi yang akan

dilakukan.

d. Kaji fungsi bicara

Rasional: perubahan bicara merupakan indikator dari lokasi atau derajat

gangguan serebral.
P a g e | 26

e. Letakkan kepala dalam posisi agak ditinggikan dan dalam posisi

anatomis.

Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan

sirkulasi.

f. Pertahankan keadaan tirah baring: ciptakan lingkungan yang tenang,

batasi pengunjung/ aktivitas pasien sesuai indikasi.

Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.

g. Kolaborasi:

1) berikan oksigen sesuai indikasi

rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi

serebral dan tekanan meningkat.

2) Berikan obat sesuai dengan indikasi (antikoagulasi, antihipertensi,

vasodilatasi perifer)

Rasional: antikoagulasi meningkatkan memperbaiki aliran darah,

anti hipertensi menurunkan tekanan darah, vasodilatasi perifer

memperbaiki sirkulasi dan menurunkan vasospasme.

3) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan indikasi.

Rasional: memberikan informasi tentang kefektifan pengobatan.

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,

kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan ketidakmampuan bergerak

dengan tujuan dalam lingkungan fisik; kerusakan koordinasi,; keterbatasan

rentang gerak; penurunan kekuatan otot/ kontrol.

Kriteria hasil:

a. Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak

adanya kontraktur

b. Mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang terkena


P a g e | 27

c. Mempertahankan integritas kulit.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan secara fungsional/ luasnya kerusakan awal dan dengan

cara yang teratur

Rasional: mengidentifikasi kelemahan dan dapat memberikan informasi

mengenai pemulihan.

b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang , miring) dan jika

memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang

terganggu

Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan. Daerah

yang terkena mengalami perburukan/ sirkulasi yang lebih jelek dan

menurunkan sensasi.

c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua

ekstremitas. Anjurkan untuk melakukan latihan seperti menggenggam

bola karet melebarkan jari-jari kaki/ telapak.

Rasional:meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu

mencegah kontraktur.

d. Gunakan penyangga lengan ketika pasien dalam posisi tegak, sesuai

indikasi.

Rasional: menurunkan resiko subluksasio lengan dan sindrom bahu-

lengan.

e. Tempatkan bantal di bawah aksilla untuk melakukan abduksi pada tangan.

Rasional: mencegah abduksi bahu dan fleksi siku.

f. Tinggikan tangan dan kepala.

Rasional: meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah

terbentuknya edema.
P a g e | 28

g. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan

menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong daerah

tubuh yang mengalami kelemahan.

Rasional: dapat berespons yang baik jika daerah yang sakit tidak menjadi

lebih terganggu dan memerlukan latihan aktif untuk menyatukan kembali

sebagian tubuhnya sendiri.

h. Kolaborasi: konsultasikan dengan ahli fisioterapi, secara aktif, latihan

resistif dan ambulasi pasien.

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi

serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.

Kriteria hasil:

a. Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi

b. Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipersepsikan

Intervensi:

a. Kaji tipe/ derajat disfungsi, seperti pasien tampak tidak memahami kata,

atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.

Rasional: membantu menentukan daerah dan kerusakan serebral yang

terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses

komunikasi.

b. Minta pasien untuk mengucapkan kata sederhana seperti “pus”

Rasional: mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari

bicara seperti lidah yang dapat mempengaruhi artikulasi.

c. Anjurkan pengunjung untuk mempertahankan usahanya untuk

berkomunikasi dengan pasien

Rasional: mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan

komunikasi yang efektif.


P a g e | 29

d. Kolaborasi: konsultasikan/ rujuk pada ahli terapi wicara.

4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/

penerimaan sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan :

disorientasi terhadap tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan,

konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi, ketidakmampuan untuk

menyebutkan posisi bagian tubuh.

Kriteria hasil:

a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual

b. Mengakui perubahan dan kemampuan

c. Mendemostrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap defisit hasil.

Intervensi:

a. Lihat kembali proses patologis kondisi individual

Rasional: kesadaran akan tipe/ daerah yang terkena membantu dalam

mengkaji defisit spesifik dan perawatan

b. Evaluasi adanya gangguan pengelihatan.

Rasional: munculnya gangguan pengelihatan dapat berdampak negatif

terhadap kemampuan pasien untuk menerima lingkungan dan

mempelajari kembali keterampilan.

c. Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabt yang

membahayakan.

Rasional: membatasi jumlah stimulasi pengelihatan, mencegah resiko

kecelakaan.

d. Anjurkan klien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi

bagian tubuh tertentu. Buat pasien memperhatikan bagian tubuh yang

terabaikan.
P a g e | 30

Rasional: penggunaan stimulasi pengelihatan dan sentuhan membantu

dalam mengintegrasikan kembali sisi yang sakit.

5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan

dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya tahan,

koordinasi otot, kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai dengan:

kerusakan kemampuan AKS.

Kriteria Hasil:

a. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.

b. Mengidentifikasi sumber komunitas/ pribadi memberikan bantuan sesuai

kebutuhan.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk menentukan kebutuhan

sehari- hari

Rasional: membantu dalam merencanakan pemenuhan kebutuhan secara

individual

b. Anjurkan keluarga pasien untuk menghindari melakukan sesuatu untuk

pasien yang dapat dilakukan sendiri, berikan bantuan sesuai kebutuhan.

Rasional: penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk

diri sendiri untuk memperthakankan harga diri dan meningkatkan

pemulihan.

c. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup

untuk mengerjakan aktivitasnya.

Rasional: pasien akan memerukan empati, tetapi perlu untuk mengetahui

pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten.

d. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.


P a g e | 31

6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik,

psikososial, perseptual kognitif, ditandai dengan perubahan aktual dalam

struktur atau fungsi, perasaan negatif tentang tubuh, perasaan tidak berdaya,

tidak melihat atau menyentuh pada bagian yang sakit.

Kriteria hasil:

a. Bicara/ berkomunikasi dengan orang terdekat,

b. Mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi

c. Mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam cara

yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi:

a. Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat

ketidakmampuannya.

Rasional: penentuan faktor secara individu membantu dalam

mengembangkan perencanaan asuhan / pilihan intrevensi.

b. Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk perasaan

marah.

Rasional: mendemontrasikan penerimaan/ membantu pasien untuk

mengenal dan mulai memahami perasaannya.

c. Dorong orang terdekat untuk memberi kesempatan pada saat melakukan

sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri

Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima

kebanggan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.

d. Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi,

pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu, letargi, dan

menarik diri.
P a g e | 32

Rasional: mungkin merupakan indikasi serangan depresi yang mungkin

memerlukan evaluasi dan intervensi lanjut.

7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular.

Kriteria hasil:

a. Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan

aspirasi tercegah.

b. Mempertahankan berat badan yang diinginkan

Intervensi:

a. Tinjau ulang kemampuan menelan pasien. Catat adangan gangguan lidah,

kemampuan untuk melindungi jalan napas.

Rasional: intervensi nutrisi ditentukan oleh faktor ini.

b. Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif

dengan mengontrol kepala, posisi tegak/ duduk setlama dan setelah

makan, stimulasi bibir untuk menutup dan membuka secara manual,

meletakkan makanan pada bagian yang tidak mengalami gangguan,

memberikan makan dengan perlahan di lingkungan yang tenang.

c. Pertahankan masukan dan haluaran yang adekuat.

d. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan.

e. Kolaborasi: Berikan cairan IV dan/ atau makanan melalui selang.

8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan

kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak mengenal

sumber informasi, ditandai dengan: meminta informasi, penyataan kesalahan

informasi, ketidak akuratan mengikuti instruksi.

Kriteria hasil:

a. Berpartisipasi dalam proses belajar.


P a g e | 33

b. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan aturan terapiutik.

Intervensi:

a. Evaluasi tipe/ derajat dari gangguan persepsi sensori

Rasional: defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isis/

kompleksitas instruksi.

b. Tinjau ulang/ pertegas kembali pengobatan yang diberikan, identifikasi

cara meneruskan program pengobatan setelah pulang.

Rasional: tentang aktivitas yang dianjurkan, pembatasan, dan kebutuhan

merupakan hal penting untuk pemulihan.


P a g e | 34

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta:

EGC.

Corwin, Elizabeth J . 2009 . Buku Saku Patofisiologi . Jakarta: E G C.

Doengoes, Marilyn dkk . 2012 . Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta: E G C

Muttaqin, Arif. 2008 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan

Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha

Medika.

Price, SA dan Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses penyakit

ed. 6 vol.1. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth . Jakarta : E G C.

Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem Persyarafan .

Jakarta: Sagung Seto.

William, Lippicont . 2008 . Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit .

Jakarta: Indeks.

Wilkinson, Judith . 2013 . Diagnosis NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC.

Jakarta: EGC .

Anda mungkin juga menyukai