Oleh:
Ella Shafira Ramadhani Muksin
NIM 212311101138
2) Syaraf Spinal
Syaraf spinal terdiri atas 31 pasang syaraf yang berawal dari korda melalui
radiks dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal
ganglion, dua radiks bergabung membentuk satu syaraf spinal. Semua syaraf
tersebut adalah syaraf gabungan (motorik dan sensorik), membawa informasi ke
korda melalui neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron eferen.
Syaraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna bertebra
tempat munculnya syaraf tersebut.
1.3 Epidemiologi
Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Penderita cidera kepala meninggal sebelum tiba di rumah sakit
sejumlah 10 % dan pasien yang sampai di rumah sakit, 80% di kelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera kepala sedang, dan 10% termasuk cedera
kepala berat. Pada tahun 2016, di RS Fatmawati yang bekerja sama dengan Korps
Lalu Lintas (Korlantas) menerangkan bahwa penyebab kematian langsung terbanyak
pada kecelakaan adalah cedera kepala (Ginting dkk., 2020).
1.4 Etiologi
Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera traumatis
lainnya pada kepala atau tubuh. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa
faktor termasuk sifat cedera dan kekuatan benturan (Mayoclinic, 2021). Mayoritas
penyebab kejadian cedera otak berat adalah karena kecelakaan (Syahrul dkk, 2020).
Beberapa kejadian yang dapat menyebabkan cedera otak traumatis meliputi:
a. Kekerasan tumpul: kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena
kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga bunuh diri.
b. Kekerasan tajam: merupakan jenis kekerasan yang cukup banyak terjadi. Benda
penyebab tersering ialah batang besi atu kayu runcing, pecahan kaca, atau
benda-benda lain yang tajam.
c. Cedera akibat tembakan juga dapat menyebabkan kematian dimana dilihat dari
kerusakan yang ditimbulkan, jenis peluru yang digunakan, jarak tembakan,
jalannya peluru yang masuk pada otak.
d. Cedera kepala akibat gerakan mendadak yang dapat meyebabkan kematian
meskipun tidak terdapat kekerasan yang nampak langsung pada kepala. Cedera
dapat terjadi karena gerakan yang mendadak misalnya suatu percepatan,
perlambatan, atau perputaran. Kerusakan yang terjadi terutama pada pembuluh
darah otak dan jaringan sekitarnya (Awaloei dkk., 2016)
1.5 Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat kesadaran pasien, klasifikasi cedera otak dinilai
dengan pemeriksaan GCS dengan motorik, verbal, dan gerakan mata yang terdiri dari
total 15 poin (Marehbian dkk, 2017).
a. Cedera otak ringan dengan GCS ≥ 13
b. Cedera otak sedang dengan GCS 9-12
c. Cedera otak berat dengan GCS ≤ 8
1.6 Patofisiologi
Cedera primer terjadi pada saat trauma akibat benturan langsung,
akselerasi/deselerasi yang cepat, kekuatan atau gangguan mekanis lainnya yang
menyebabkan gangguan akson materi putih, badan sel saraf/glial, dan struktur
serebrovaskular. Akibat dari cedera primer ini dapat memulai cedera sekunder yang
mengakibatkan kaskade proses molekuler yang saling terkait terjadi secara tertunda
dan menyebabkan kerusakan bertahap lebih lanjut pada parenkim otak. Peristiwa
kunci dari cedera sekunder termasuk eksitotoksisitas, ketidakseimbangan ion,
pergeseran menuju metabolisme anaerob, disfungsi vaskular, stres oksidatif,
perkembangan edema, dan peradangan saraf. Semua peristiwa molekuler tersebut
berkontribusi pada perkembangan krisis metabolisme serebral, iskemia, peningkatan
tekanan intracranial yang akibatnya penurunan aliran darah otak dan tekanan perfusi
serebral. Selain itu, perkembangan dan progresi komplikasi ekstraserebral seperti
pneumonia, sepsis, kegagalan organ multipel akibat disregulasi sentral, inflamasi
sistemik, dan lonjakan katekolamin menyebabkan memburuknya kondisi klinis dan
berkontribusi pada hasil yang buruk (Juškys, 2019).
Cedera otak terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi otak dan seluruh sistem dalam
tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan
yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga
terjadi hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan
volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila
trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan
desakan pada otak dan perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera
intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Dampak
peningkatan tekanan intra kranial antara lain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Grace dan Neil, 2006).
Tatalaksana dalam manajemen medis cedera otak traumatis berat adalah sebagai
berikut (Marehbian dkk, 2017):
a. Berikan asam traneksamat (TXA) yang merupakan antifibrinolitik untuk
mencegah kehilangan darah yang berlebihan, dan pencegahan terhadap risiko
kejadian oklusif vaskular seperti infark miokard, stroke, emboli paru, dan
trombosis vena dalam.
b. Manajemen koagulopati
Ketika terdapat kondisi koagulopati maka harus cepat ditangani untuk
mencegah ekspansi perdarahan yang dapat menyebabkan cedera sekunder.
c. Neuromonitoring di Unit Perawatan Intensif
Setelah pasien cedera otak traumatis distabilkan dan dipindahkan dari UGD ke
ICU, berbagai bentuk neuromonitoring dapat menginformasikan pengobatan
untuk mengurangi cedera sekunder.
d. Pemantauan tekanan intrakranial dan pemantauan tekanan perfusi serebral.
Monitor tekanan intracranial ditempatkan secara khusus pada pasien cedera
otak traumatis yang dianggap dapat diselamatkan dengan hasil CT abnormal
atau pada hasil CT normal
1.10 Komplikasi
Komplikasi dari cedera otak ini adalah adanya kondisi edema paru yang dapat
terjadi akibat usaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan.
Komplikasi lainnya adalah karena peningkatan TIK yang dapat mengakibatkan
herniasi dengan gagal pernapasan dan gagal jantung serta kematian. Komplikasi
lainnya adalah kebocoran cairan serebrospinal, kejang pascatrauma, demam dan
menggigil, serta sindrom pasca kontusio (Marbun dkk, 2020).
1.11 Clinical Pathway/Web of Caution
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui informasi dan status kesehatan pasien
yang berguna dalam proses pemberian asuhan keperawatan.
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat, pekerjaan,
status perkawinan, dan sumber informasi
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Pada klien cedera otak berat secara umum pasien mengalami penurunan
kesadaran. Respon yang dikeluarkan biasanya mengeluh sakit, nyeri kepala,
pusing, mual, dan muntah
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien cedera otak berat kaji adanya riwayat trauma kepala sebelumnya.
Rata-rata trauma kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh, terbentur,
dan sebab lainnya. Kaji proses terjadinya trauma. Kaji tingkat kesadaran
(GCS < 15), TTV, ada tidaknya kejang, mual, muntah, perdarahan, nyeri
kepala, kesimetrisan wajah, luka di kepala, fraktur, perdarahan, hilang
keseimbangan, paralisis, sumbatan di saluran nafas, keluarnya cairan liquor
(cairan yang menyelimuti susunan sistem syaraf pusat sebagai pelindung
terhadap otak) dari hidung dan telinga. Riwayat amnesia setelah cedera
kepala menunjukkan derajat kerusakan otak
c. Riwayat pendakit dahulu
Kaji penyakit penyerta yang dimiliki pasien seperti epilepsi, jantung, asma,
riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal
pembekuan darah.
d. Riwayat penyakit keluarga
Kaji adakah riwayat penyakit menurun dari keluarga seperti hipertensi dan
diabetes melitus. Serta adakah penyakit menular seperti tuberculosis.
3. Pengkajian pola gordon
a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Apabila koping baik maka persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
akan baik
b. Pola nutrisi
Biasanya pada pasien dengan cedera otak berat mengalami mual, muntah,
dan mengalami perubahan selera.
c. Pola eliminasi
Kaji adanya perubahan ataupun gangguan pada kebiasaan BAB dan BAK
saat sebelum masuk rumah sakit dan saat berada di rumah sakit.
d. Pola aktivitas dan latihan
Pasien dengan cedera otak berat merasa lemah, lelah dan hilang
keseimbangan. Terjadi perubahan kesadaran, letargi, hemiparese
quadreplegia, ataksia, dan cara berjalan tak tegap.
e. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien dengan gangguan rasa nyaman, pola tidurnya terganggu
dikarenakan rasa ketidaknyamanan.
f. Pola kognitif dan persepsi
Pasien dengan cedera otak mengalami perubahan perilaku, perubahan ingatan
dan perubahan fisik pada bicara, penglihatan serta gerakan motorik yang
dapat timbul segera atau secera lambat.
g. Pola persepsi diri
Apabila pandangan terhadap diri dan kondisi sakit baik maka pola persepsi
diri akan baik.
h. Pola seksualitas dan reproduksi
Kondisi sakit dapat menyebabkan seksualitas dan reproduksi terganggu.
i. Pola peran dan hubungan
Kondisi sakit dapat menyebabkan peran dan hubungan terganggu.
j. Pola manajemen koping stress
Lama waktu perawatan atau pengobatan akan mempengaruhi kondisi
psikologis.
k. System nilai dan keyakinan
Adanya perubahan dalam kondisi kesehatan kemungkinan akan menghambat
atau mempengaruhi sistem nilai dan keyakinan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum biasanya lemah
b. Tingkat kesadaran
Cedera berat: tidak sadar lebih dari 24 jam, perubahan kesadaran sampai
koma dengan GCS total 3-8
c. Pernafasaan (Breath)
Pemampatan pada Brainstem menyebabkan gangguan irama pada jantung. Hal
ini akan mengakibatkan perubahan pada pola napas, kedalaman napas,
respiratory rate (RR), irama pernapasan, cheyne stokes, adanya bunyi napas
tambahan, produksi sputum meningkat pada saluran napas. Kaji dan monitor
saturasi oksigen (SPO2) dengan menggunakan oksimetri, periksa TTV,
monitor terjadinya tekanan darah rendah, syok dan peningkatan tekanan
intrakranial. Pemberian cairan sangat penting jika terjadi syok atau
peningkatan TIK sebagai subtitusi cairan tubuh yang hilang. Peningkatan TIK
ditandai dengan naiknya tekanan darah, HR <60X/meit dan RR <24x/menit
(Heller, 2012)
d. Darah (Blood)
Hearth rate menunjukan <60 x/menit menandakan brakikardia karena tekanan
pada pusat vasomotor yang membuat transmisi stimulus parasimpatis ke
jantung mengalami kenaikan juga. Hal ini menandakan terjadinya peningkatan
TIK. Pada kasus biasanya menunjukan HR lebih atau kurang dari 60x/menit
dan gangguan irama jantung
e. Otak (Brain)
Salah satu tanda dan gejala terjadinya masalah pada otak karena cedera kepala
yakni terjadinya penurunan atau masalah kesadaran. Pada klien dengan COB,
apabila terjadi perdarahan yang meluas hingga menuju ke brainstem maka
nervus cranialis akan terganggu. Hal tersebut dapat mengakibatkan, yaitu :
- Berubahnya kondisi mental klien.
Berubahnya kondisi mental klien dapat berupa pengenalan, kehatihatian,
kepedulian, daya fokus, cara untuk menyelesaikan permasalahan, dampak
emosi, sikap dan daya ingat.
- Berubahnya fungsi untuk melihat.
Fungsi penglihatan mengalami perubahan, yakni ketajaman dalam
melihat, penglihatan ganda, pandangan menghilang baik seluruh atau
hanya sebagian, sakit ketika melihat cahaya yang terang.
- Berubahnya pupil
Perubahan pada pupil ini dapat berupa reaksi pada cahaya, simetri,
terjadinya deviasi pada mata.
- Terganggunya keseimbangan badan.
- Sering cegukan
Disebabkan oleh kompresi di nervus vagus. Kompresi ini dapat
mengakibatkan kompresi spasmodik diafragma
- Nervus hipoglosus terjadi permasalahan.
Lidah dapat jatuh pada salah satu sisi, sulit untuk menelan, lemah pada
otot yang digunakan dalam berbicara (bicara dapat lambat atau tidak
jelas)
f. Kandung kemih (Blader)
Masalah pada kandung kemih yang terjadi biasanya klien dengan SDH akan
mengalami retensi urine, inkontensia urine dan tidak mampunya dalam
menahan miksi
g. Pencernaan (Bowel)
Sistem pencernaan akan mengalami gangguan dan menurun. Gangguan
tersebut dapat berupa lemahnya suara bising usus, nausea, keluarnya makanan
atau minuman dari kerongkongan, perut begah, selera makan menurun,
masalah dalam menelan dan terjadinya masalah pada eliminasi alvi
h. Bone
Klien dengan COB sering mengalami lemahnya gerakan anggota badan atau
hanya sebagiannya dan bahkan sampai mengalami kelumpuhan. Apabila hal
ini berlangsung dengan periode yang lama akan mengakibatkan keterbatasan
ruang gerak sendi karena klien tidak melakukan mobilitas dan kemampuan
tonus otot akan mengalami penurunan disebabkan oleh hubungan syaraf yang
berada pada otak dengan reflex spinal
i. Pemeriksaan TTV
Tekanan darah meningkat jika ada peningkatan tekanan intracranial dan bisa
normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi dapat brakikardi ataupun
takikardi, frekuensi pernapasan dan suhu.
j. Pemeriksaan Head to Toe
- Kepala.
Pada pasien dengan trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan nyeri
tekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan pendarahan
- Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran, drainase cairan spinal
pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya perdarahan dari tulang
telinga
- Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang merupakan
tempat interprestassi penciuman dapat terjadi penurunan fungsi
penciuman. Bisa juga terdapat drainase cairan serebro spinal pada fraktur
dasar tengkorak yang mengenai sinus paranasal.
- Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekan reflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.
- Leher
Kaji tanda adanya cedera pada tulang servikal, tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas,
status motorik, sensorik, dan autonomik
- Dada
Inspeksi: kaji bentuk, terjadi perubahan irama, frekuensi dan kedalaman
pernafasan terdapat retraksi dinding dada.
Palpasi: biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi trauma
Perkusi: bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi: kaji bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi apabila
terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak, perubhan
frekuensi dan irama
- Abdomen
Inspeksi: kaji adakah luka/jejas pada abdomen
Auskultasi: terdengar bising usus bisa meningkat atau menurun
Perkusi: timpani
Palpasi: biasanya terdapat nyeri tekan
- Ekstermitas
Kaji adanya luka/bekas luka, kekuatan otot, nyeri pada area ekstremitas,
mati rasa pada area ekstremitas, keseimbangan
- Kulit dan kuku
Kaji warna kulit, kelembapan kulit, turgor kulit, CRT.
- Neurologi
Periksa saraf II-III yaitu pemeriksaan pupil: besar & bentuk, reflek
cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri. Tanda-tanda lesi saraf
VII perifer
1. Penurunan kapasitas adaptif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
intrakranial (D.0066) b.d edema keperawatan selama …x 24 jam (I.06194)
serebral (cedera otak berat) d.d diharapkan penurunan kapasitas Observasi
sakit kepala, tekanan darah adaptif intrakranial dapat teratasi 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
meningkat dengan tekanan nadi dengan kriteria 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (brakikardia,
melebar, brakikardi, pola napas pola napas ireguler)
Kapasitas adaptif
tidak efektif, tingkat kesadaran 3. Monitor intake-output cairan
intracranial (L.06049)
menurun, respon pupil melambat 4. Monitor status pernapasan
1. Tingkat kesadaran meningkat
atau tidak sama, muntah, tampak 5. Monitor intake dan output cairan Teraputik
2. Sakit kepala menurun
lemah, fungsi kognitif terganggu. 6. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
3. Respon pupil membaik
4. Refleks neurologis membaik lingkungan yang tenang
7. Berikan posisi semi fowler
8. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
9. Pertahankan suhu normal
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
2. Risiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan tekanan intracranial (I.06198)
efektif (D.0017) d.d cedera keperawatan selama …x 24 jam Observasi
kepala. diharapkan risiko perfusi serebral 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
teratasi dengan ktiteria hasil 2. Monitor penurunan tingkat kesadaran
3. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon
Perfusi serebral (L.02014)
pupil
1. Tingkat kesadaran meningkat
4. Monitor tekanan perfusi serebral
2. Gelisah menurun
3. Kecemasan menurun Terapeutik
5. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
6. Kalibrasi transduser
7. Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
8. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
9. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
10. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
11. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
12. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. Pola napas tidak efektif (D.0005) Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (i.01011)
b.d cedera otak d.d dispnea, keperawatan selama …x 24 jam Observasi
penggunaan otot bantu diharapkan pola napas tidak efektif 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
pernapasan, pola napas abnormal. teratasi dengan ktiteria hasil napas)
2. Monitor bunyi napas (gurgling, mengi,
Pola napas (L.01004)
wheezing, ronkhi kering)
1. Dispnea menurun
Terapeutik
2. Frekuensi napas membaik
3. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt
3. Kedalaman napas membaik
dan chin lift
4. Posisikan semi fowler atau fowler
5. Berikan oksigen jika perlu
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
ada kontraindikasi
9. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektron,
mukolitik, jika perlu
4. Nyeri akut (D.0077) b.d agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi
pencedera fisik d.d mengeluh keperawatan selama …x 24 jam
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
nyeri, tampak meringis, bersikap diharapkan nyeri akut dapat teratasi
kualitas, intensitas nyeri
protektif, gelisah, frekuensi nadi dengan kriteria
meningkat, sulit tidur, tekanan 2. Identifikasi skala nyeri
Tingkat nyeri (L.08066)
darah meningkat, pola napas 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
1. Keluhan nyeri menurun
berubah, nafsu makan berubah, 5. Identifikasi faktor yang memperberat dan
2. Meringis menurun
proses berpikir terganggu, menarik memperingan nyeriMonitor efek samping
3. Gelisah menurun
diri, berfokus pada diri sendiri, penggunaan analgetic
4. Kesulitan tidur menurun
diaphoresis. 6. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
5. Frekuensi nadi membaik
sudah diberikan
6. Pola napas membaik
Terapeutik
7. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
8. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
9. Fasilitasi istirahat dan
tidur Edukasi
10. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
11. Jelaskan strategi meredakan nyeri
12. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
13. Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu
5. Defisit nutrisi (D.0019) b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi (I.03119)
cedera otak d.d nyeri, nafsu keperawatan selama …x 24 jam Observasi
makan menurun, mual, muntah, diharapkan defisit nutrisi dapat teratasi
1. Identifikasi status nutrisi
otot menelan lemah. dengan kriteria
2. Identifikasi makanan yang disukai
Status Nutrisi (L.03030)
3. Monitor asupan makanan
1. Porsi makanan yang dihabiskan
meningkat Terapeutik
2. Kekuatan otot menelan 4. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
protein Edukasi
diprogramkan Kolaborasi
6. Gangguan pola tidur (D.0055) Setelah dilakukan tindakan Dukungan tidur (I.09265)
b.d hambatan lingkungan d.d keperawatan selama …x 24 jam 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
mengeluh sulit tidur, mengeluh diharapkan gangguan pola tidur teratasi
2. Identifikasi factor pengganggu tidur
sering terjaga, mengeluh tidak dengan ktiteria hasil
puas tidur, mengeluh pola tidur 3. Identifikasi makanan dan minuman
Pola tidur (L.05045)
berubah, mengeluh istirahat tidak yang mengganggu tidur
1. Keluhan sulit tidur membaik
cukup, mengeluh kemampuan 4. Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
beraktivitas menurun. 2. Keluhan sering terjaga membaik
Terapeutik
3. Keluhan pola tidur berubah
5. Modifikasi lingkungan
membaik
6. Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur
Edukasi
istirahat Edukasi
9. Gangguan memori (D.0062) b.d Setelah dilakukan tindakan Latihan memori (I.06188)
gangguan neurologis d.d tidak keperawatan selama …x 24
jam Observasi
mampu mengingat perilaku diharapkan gangguan memori teratasi
1. Identifikasi masalah memori yang dialami
tertentu yang pernah dilakukan, dengan ktiteria hasil
tidak mampu mengingat peristiwa, 2. Identifikasi kesalahan terhadap orientasi
Memori (L.09079)
tidak mampu mengingat informasi 3. Monitor perilaku dan perubahan memori
1. Verbalisasi kemampuan
factual. selama terapi
mengingat perilaku tertentu yang
pernah dilakukan meningkat Terapeutik
10. Ansietas (D.0080) b.d krisis Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas (I.09314)
situasional d.d merasa bingung, keperawatan selama …x 24
jam Observasi
merasa khawatir dengan akibat diharapkan ansietas teratasi dengan
1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
dari kondisi yang dihadapi, sulit ktiteria hasil
berkonsentrasi, tampak gelisah, 2. Monitor tanda-tanda ansietas
Tingkat ansietas (L.09093)
tampak tegang, sulit tidur, Terapeutik
1. Verbalisasi khawatir akibat
mengeluh pusing, anoreksia,
kondisi yang dihadapi menurun 3. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
palpitasi, merasa tidak berdaya,
kepercayaan
frekuensi napas meningkat, 2. Perilaku gelisah menurun
frekuensi nadi meningkat, tekanan 4. Pahami situasi yang membuat ansietas
3. Perilaku tegang menurun
darah meningkat, diaphoresis, 5. Dengarkan dengan penuh perhatian
4. Pola tidur membaik
tremor, muka tampak pucat, suara
6. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
bergetar, kontak mata buruk,
7. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
sering berkemih, berorientasi pada
kecemasan
masa lalu.
Edukasi
8. Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin
dialami
relaksasi Kolaborasi
11. Defisit perawatan diri (D.0109) Setelah dilakukan tindakan Defisit Perawatan Diri (I.11348)
b.d kelemahan d.d tidak mampu keperawatan selama …x 24 jam Observasi
mandi atau mengenakan diharapkan defisit perawatan diri
1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
pakaian/makan/ ke toilet/ berhias teratasi dengan ktiteria hasil
sesuai usia
secara mandiri.
Perawatan diri (L.11103)
2. Monitor tingkat kemandirian
1. Verbalisasi keinginan melakukan
3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri
perawatan diri meningkat dan berpakaian
Edukasi
12. Defisit pengetahuan (D.0111) b.d Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan (I.12383)
kurang terpapar informasi d.d keperawatan selama …x 24 jam Observasi
menanyakan masalah yang diharapkan defisit pengetahuan teratasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
dihadapi, menunjukan perilaku dengan ktiteria hasil
informasi
tidak sesuai anjuran, menunjukan
Tingkat pengetahuan (L.12111)
persepsi yang keliru terhadap 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
1. Perilaku sesuai anjuran dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih
masalah, menjalani pemeriksaan
meningkat dan sehat
yang tidak tepat, menunjukan
perilaku berlebihan. 2. Perilaku sesuai dengan Terapeutik
pengetahuan meningkat 3. Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
3. Pertanyaan tentang masalah yang
4. Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai
dihadapi menurun
kesepakatan
bertanya Edukasi
13. Risiko jatuh (D.0143) d.d Setelah dilakukan tindakan Pencegahan cedera (I.14540)
penurunan tingkat kesadaran. keperawatan selama …x 24 jam Observasi
diharapkan risiko cedera teratasi
1. Identifikasi faktor risiko jatuh
dengan ktiteria hasil
2. Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan
Tingkat jatuh (L.14138)
risiko jatuh
1. Jatuh dari tempat tidur menurun
Terapeutik
2. Jatuh saat duduk menurun 3. Orientasikan ruangan pada pasien dan keluarga
Edukasi