Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN CEDERA OTAK

BERAT (COB) DI RUANG MELATI RUMAH SAKIT DAERAH dr.


SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Ella Shafira Ramadhani Muksin
NIM 212311101138

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
BAB 1 . KONSEP TEORI PENYAKIT

1.1 Review Anatomi Fisiologi


Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi
tulang kranium dan kanal vertebral (Wahyuningsih dan Kusmiyati, 2017)
1.1.1 Otak (Brain)
Otak merupakan suatu organ dengan mempunyai 3 bagian dengan fungsi
dapat mengendalikan semua fungsi tubuh, menafsirkan informasi yang diperoleh
dari luar, merefleksikan esensi dari pikiran, kecerdasan, kreativitas, emosi dan
memori. Tulang tengkorak merupakan alat pelindung yang melindungi otak.
Apabila otak mengalami suatu masalah maka akan mempengaruhi aktivitas tubuh
manusia (Hines, 2018).
Otak mampu menerima informasi dari panca indera, yaitu penglihatan,
penciuman, sentuhan, rasa dan pendengaran. Ketika otak menerima rangsangan
maka akan meneruskan informasi tersebut dalam suatu ingatan atau memori. Otak
terletak di dalam rongga tengkorak. Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan
berat tubuh, mengkonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian
utama otak adalah otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak.
(Hines. 2018). Otak terbagi menjadi tiga komponen, yaitu:

Gambar 1. Anatomi Otak Manusia


a. Otak Besar (Cerebrum)
Otak besar merupakan komponen paling besar dari otak. Permukaan luar otak
besar disebut dengan korteks serebri. Otak besar dibagi menjadi dua komponen,
yakni right cerebrum dan left cerebrum. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus,
yaitu:
1) Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi,
seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara, pusat penghidu, dan
emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di gyrus
presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area
premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi
bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara,
motivasi dan inisiatif
2) Lobus Temporalis
Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura
laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan
berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi
3) Lobus Parietalis
Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus
postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran
4) Lobus Oksipitalis
Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain
& memori
(White, 2008)
b. Otak Kecil (Cerebellum)
Cerebellum berada di bawah Cerebrum yang memiliki fungsi dalam
mengkoordinasikan gerakan otot, mempertahankan postur tubuh dan
keseimbangan (Hines, 2018). Otak kecil terdiri dari korteks serebral dan deep
cerebellar nuclei. Korteks serebral terdiri dari 3 lapisan, yaitu molekul, purkinje
dan lapisan granula. Cerebellum terhubung ke batang otak oleh struktur yang
disebut cerebellar pundencles (Maldonado, 2019).

c. Batang Otak (Brainstem)


Batang otak merupakan bagian otak yang terdapat di depan otak kecil. Bagian
ini menyambung ke susunan saraf di tulang belakang. Batang otak disebut juga
sebagai brainsteam. Batang otak memiliki fungsi yang penting, karena ia bertugas
untuk menyebarkan informasi dari otak ke seluruh tubuh. Batang otak kemudian
dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu:
1) Mid Brain. Otak tengah berguna dalam mengatur respon penglihatan,
pergerakan mata, midriasis pupil, mengontrol pergerakan badan dan
pendengaran
2) Pons. Berguna dalam meneruskan memori ke pusat otak
3) Medulla Oblogata. Bertugas dalam mengatur heart rate, blood circulation,
respiration dan digestion

1.1.2 Sistem Limbik


Sistem limbik manusia terdiri dari struktur primitif/responsif (mis., amigdala,
hipokampus, talamus) berfungsi dalam kemampuan seseorang untuk memahami,
memproses, dan menciptakan memori tentang emosi dengan valensi emosional
(Janak dan Tye, 2015).

1.1.3 Medulla Spinalis


Sumsum tulang belakang terletak memanjang didalam rongga tulang belakang,
mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas tulang pinggang yang kedua. Di
dalam sumsum tulang belakang terdapat syaraf sensorik, syaraf motorik, dan syaraf
penghubung. Fungsinya adalah sebagai penghantar impuls dari otak dan ke otak
serta sebagai pusat pengatur gerak.
a. Sistem Syaraf Tepi
Sistem syaraf tepi terdiri dari saraf kranial dan saraf spinal yang
menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Sistem
saraf tepi terdiri dari jaringan saraf yang berada di bagian luar otak dan medulla
spinalis. Sistem ini juga mencakup saraf kranial yang berasal dari otak; saraf spinal
yang berasal dari medulla spinalis dan ganglia serta reseptor sensorik yang
berhubungan. Sistem syaraf tepi menghubungkan melalui sumsum tulang belakang
dan 12 syaraf kranial sehingga otak mampu berkomunikasi dengan badan (Hines,
2018)
1) Syaraf Kranial

2) Syaraf Spinal
Syaraf spinal terdiri atas 31 pasang syaraf yang berawal dari korda melalui
radiks dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Pada bagian distal radiks dorsal
ganglion, dua radiks bergabung membentuk satu syaraf spinal. Semua syaraf
tersebut adalah syaraf gabungan (motorik dan sensorik), membawa informasi ke
korda melalui neuron aferen dan meninggalkan korda melalui neuron eferen.
Syaraf spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna bertebra
tempat munculnya syaraf tersebut.

b. Sistem Syaraf Pusat


Merupakan pusat kendali badan, mengatur dan sebagai alat penghubung dan
meneruskannya ke sistem dan organ badan. Sistem ini juga merupakan pusat dari
kegiatan kejiwaan baik berupa pandangan, penelaahan dan daya ingat (Chalik,
2016). Sistem syaraf pusat juga berperan sebagai alat penerus stimulan ke lapisan
syarat pusat dan penerima rangsangan (Feriyawati, 2016). Aktivitas sistem syaraf
dikelompokan dalam 3 bagian, yaitu:
1) Aktivitas Sensorik. Memanfaatkan berbagai juta reseptor sensorik dalam
memonitor transformasi.
2) Aktivitas Integritas. Mengoperasikan dan menguraikan arahan yang
dikumpulkan oleh aktivitas sensorik.
3) Aktivitas Motorik. Pengaktifan otot dan kelenjar dalam menghasilkan suatu
reaksi (Chalik, 2016).
1.2 Definisi
Cedera kepala adalah trauma pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis,
fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat sementara ataupun permanen
(Nasution, 2014). Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan
kematian yang cukup tinggi dalam kasus neurologi (Kastilong dkk., 2018). Penderita
cedera kepala sering kali mengalami edema serebri atau perdarahan intrakranial yang
akan meningkatkan tekanan intracranial (Arifin & Risdianto, 2012).
Cedera otak tidak spesifik (cedera otak sedang dan cedera otak berat) adalah
cedera otak yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesadaran yang diukur dengan
menggunakan skala GCS (Glasgow Coma Scale), dimana GCS untuk cedera otak
berat adalah <8 (Universitas Airlangga, 2016). Cedera kepala sangat berkaitan
dengan cedera otak rudapaksa atau traumatic brain injury (TBI) terutama di kasus
berat yang merupakan penyebab angka kematian (mortalitas) dan angka kesakitan
(morbiditas) pada usia dewasa maupun anak-anak (Shaikh dan Waseem, 2021).
Cedera otak traumatis bukan merupakan penyakit, namun merupakan penyebab
kematian dan kecacatan terbesar secara global di antara semua cedera terkait trauma.
Individu dengan cedera otak berat memerlukan perawatan di rumah sakit dan
kemungkinan memiliki masalah jangka Panjang yang mempengaruhi hal-hal seperti
berpikir, memori, pelajaran, koordinasi dan keseimbangan, bicara atau pendegaran
atau penglihatan dan emosi sehingga dapat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari
(CDC, 2022)

1.3 Epidemiologi
Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Penderita cidera kepala meninggal sebelum tiba di rumah sakit
sejumlah 10 % dan pasien yang sampai di rumah sakit, 80% di kelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera kepala sedang, dan 10% termasuk cedera
kepala berat. Pada tahun 2016, di RS Fatmawati yang bekerja sama dengan Korps
Lalu Lintas (Korlantas) menerangkan bahwa penyebab kematian langsung terbanyak
pada kecelakaan adalah cedera kepala (Ginting dkk., 2020).

1.4 Etiologi
Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera traumatis
lainnya pada kepala atau tubuh. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa
faktor termasuk sifat cedera dan kekuatan benturan (Mayoclinic, 2021). Mayoritas
penyebab kejadian cedera otak berat adalah karena kecelakaan (Syahrul dkk, 2020).
Beberapa kejadian yang dapat menyebabkan cedera otak traumatis meliputi:
a. Kekerasan tumpul: kasus paling sering dalam etiologi ini ialah karena
kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga bunuh diri.
b. Kekerasan tajam: merupakan jenis kekerasan yang cukup banyak terjadi. Benda
penyebab tersering ialah batang besi atu kayu runcing, pecahan kaca, atau
benda-benda lain yang tajam.
c. Cedera akibat tembakan juga dapat menyebabkan kematian dimana dilihat dari
kerusakan yang ditimbulkan, jenis peluru yang digunakan, jarak tembakan,
jalannya peluru yang masuk pada otak.
d. Cedera kepala akibat gerakan mendadak yang dapat meyebabkan kematian
meskipun tidak terdapat kekerasan yang nampak langsung pada kepala. Cedera
dapat terjadi karena gerakan yang mendadak misalnya suatu percepatan,
perlambatan, atau perputaran. Kerusakan yang terjadi terutama pada pembuluh
darah otak dan jaringan sekitarnya (Awaloei dkk., 2016)

1.5 Klasifikasi
Berdasarkan pada tingkat kesadaran pasien, klasifikasi cedera otak dinilai
dengan pemeriksaan GCS dengan motorik, verbal, dan gerakan mata yang terdiri dari
total 15 poin (Marehbian dkk, 2017).
a. Cedera otak ringan dengan GCS ≥ 13
b. Cedera otak sedang dengan GCS 9-12
c. Cedera otak berat dengan GCS ≤ 8
1.6 Patofisiologi
Cedera primer terjadi pada saat trauma akibat benturan langsung,
akselerasi/deselerasi yang cepat, kekuatan atau gangguan mekanis lainnya yang
menyebabkan gangguan akson materi putih, badan sel saraf/glial, dan struktur
serebrovaskular. Akibat dari cedera primer ini dapat memulai cedera sekunder yang
mengakibatkan kaskade proses molekuler yang saling terkait terjadi secara tertunda
dan menyebabkan kerusakan bertahap lebih lanjut pada parenkim otak. Peristiwa
kunci dari cedera sekunder termasuk eksitotoksisitas, ketidakseimbangan ion,
pergeseran menuju metabolisme anaerob, disfungsi vaskular, stres oksidatif,
perkembangan edema, dan peradangan saraf. Semua peristiwa molekuler tersebut
berkontribusi pada perkembangan krisis metabolisme serebral, iskemia, peningkatan
tekanan intracranial yang akibatnya penurunan aliran darah otak dan tekanan perfusi
serebral. Selain itu, perkembangan dan progresi komplikasi ekstraserebral seperti
pneumonia, sepsis, kegagalan organ multipel akibat disregulasi sentral, inflamasi
sistemik, dan lonjakan katekolamin menyebabkan memburuknya kondisi klinis dan
berkontribusi pada hasil yang buruk (Juškys, 2019).
Cedera otak terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi otak dan seluruh sistem dalam
tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan
yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga
terjadi hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan
volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila
trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan
desakan pada otak dan perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera
intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Dampak
peningkatan tekanan intra kranial antara lain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan
terjadinya gangguan dalam mobilitas (Grace dan Neil, 2006).

1.7 Manifestsi Klinis


Rawis dkk (2016) menjelaskan tanda dan gejala klien yang sedang mengalami
cedera kepala berat , diantaranya :
a. Klien tersebut mengalami penurunan kesadaran yang progresif atau kehilangan
kesadaran >36 jam
b. Amnesia post traumatik> 7 hari 3
c. Tanda kerusakan saraf lokall (sesuai lokasi otak yang mnegalami kerusakan,
misalnya gangguan penglihatan, gangguan nafas dan kelumpuhan
d. Perubahan tanda-tanda vital (perubahan pola nafas, hipertensi, bradikardia,
takikardia, hipotermia atau hipertermia)
e. Nyeri kepala
Sedangkan menurut Irina dkk (2018), tanda dan gejala yang tampak pada pasien
dengan cedera otak berat adalah sebagai berikut:
a. Penurunan kesadaran
b. Keabnormal pada sistem pernafasan sistem pernafasan
c. Penurunan reflek pupil dan reflek kornea
d. Penurunan fungsi neurologis secara cepat
e. Perubahan TTV dengan peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan
darah, brakikardi, takikardi, hipotermi atau hipertermi
f. Pusing / vertigo
g. Mual dan muntah
h. Perubahan pada perilaku kognitif maupun fisik
i. Amnesia
j. Kejang
1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan cedera otak adalah
sebegai berikut (Marbun dkk, 2020):
a. Pemeriksaan neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap.
Sedangkan pada pasien yang berada dalam kondisi koma maka hanya dapat
dilakukan pemeriksaan objektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda
perangsangan meningan berupa tes kaku kuduk yang boleh idlakukan jika ruas
tulang leher dalam kondisi normal dan tidak boleh pada kondisi fraktur atau
dislokasi servikalis. Perangsangan terhadap 12 saraf juga dilakukan.
b. Pemeriksaan radiologis
1. Foto rontgen polos
Pemeriksaan foto rontgen pada pasien dengan cedera kepala diperlukan
tinfakan foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film
diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Foto kolumna vertebralis servikalis
dibuat anterior-posterior dan lateral untuk melihat adanya fraktur atau dislokasi.
Pada foto polos tengkorak mungkin dapat ditemukan garis fraktur atau fraktur
impresi.
2. CT scan
CT scan kepala merupakan standar baku untuk mendeteksi perdarahan
intracranial. CT scan dilakukan hanya dengan indikasi seperti nyeri kepala
hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis krani, adanya riwayat cedera yang
hebat, muntah lebih dari 1x, lansia > 65 tahun dengan penurunan kesadaran,
kejang, riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obat anti koagulan,
rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan, serta gangguan
orientasi.
3. MRI
MRI lebih spesifik daripada CT scan tetapi membutuhkan waktu
pemeriksaan yang lebih lama.
4. EEG (Electroencephalogram)
EEG digunakan untuk membantu dalam diagnosis status epilepticus
nonkonvulsif
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan cedera otak meliputi:
1. BC termasuk trombosit
2. Serum elektrolit dan urea
3. Serum glukosa
4. Status koagulasi: PT, INR, active PTT
5. Tingkat alcohol darah dan skrining toksikologi jika diindikasikan
6. Analisa urin
1.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana sebelum di rumah sakit pada kejadian cedera otak berat adalah
dengan mencakup penilaian GCS, ukuran pupil, target tekanan darah sistolik > 90
mmHg dan saturasi oksigen > 90% serta segera menuju rumah sakit (Marehbian dkk,
2017).
Tatalaksana saat di IGD rumah sakit (Marehbian dkk, 2017) adalah sebagai
berikut:
a. Cek jalan napas, pernapasan, ventilasi, sirkulasi, disabilitas (pengkajian GCS
dan saraf), dan paparan lingkungan.
b. Evaluasi trauma sistemik
c. Evaluasi bedah saraf
d. Laboratorium: Kimia, CBC, PT/PTT, toksikologi, tingkat alkohol, tes
kehamilan
e. Pencitraan: CT kepala, CT tulang belakang, dada, perut, panggul dari evaluasi
trauma
f. Kontrol ICP dengan: atur ketinggian kepala tempat tidur, posisi kepala netral,
sedasi dan manajemen nyeri, eukarbia
g. Perburukan saraf: terapi bolus osmotik (manitol atau larutan hipertonik),
eunatremia, euglikemia, normotermia, profilaksis kejang

Tatalaksana dalam manajemen medis cedera otak traumatis berat adalah sebagai
berikut (Marehbian dkk, 2017):
a. Berikan asam traneksamat (TXA) yang merupakan antifibrinolitik untuk
mencegah kehilangan darah yang berlebihan, dan pencegahan terhadap risiko
kejadian oklusif vaskular seperti infark miokard, stroke, emboli paru, dan
trombosis vena dalam.
b. Manajemen koagulopati
Ketika terdapat kondisi koagulopati maka harus cepat ditangani untuk
mencegah ekspansi perdarahan yang dapat menyebabkan cedera sekunder.
c. Neuromonitoring di Unit Perawatan Intensif
Setelah pasien cedera otak traumatis distabilkan dan dipindahkan dari UGD ke
ICU, berbagai bentuk neuromonitoring dapat menginformasikan pengobatan
untuk mengurangi cedera sekunder.
d. Pemantauan tekanan intrakranial dan pemantauan tekanan perfusi serebral.
Monitor tekanan intracranial ditempatkan secara khusus pada pasien cedera
otak traumatis yang dianggap dapat diselamatkan dengan hasil CT abnormal
atau pada hasil CT normal

Penatalaksanaan umum cedera kepala adalah sebagai berikut


a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
c. Berikan oksigenasi
d. Awasi tekanan darah
e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovolemik
f. Atasi shock
g. Awasi kemungkinan munculnya kejang

Tindakan terhadap peningkatan TIK:


a. Pemantauan TIK dengan ketat, oksigenasi adekuat, pemberian manitol
b. Penggunaan steroid, peningkatan kepala tempat tidur, bedah neuro

Tindakan pendukung lain:


Dukungan ventilasi, pencegahan kejang, pemeliharaan cairan, elektrolit dan
keseimbangan nutrisi, terapi antikonvulsan untuk mencegah kejang, klorpromazin
untuk menenangkan pasien, dan pemasangan selang nasogastric (Suriya & Zuriati,
2019)

1.10 Komplikasi
Komplikasi dari cedera otak ini adalah adanya kondisi edema paru yang dapat
terjadi akibat usaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan.
Komplikasi lainnya adalah karena peningkatan TIK yang dapat mengakibatkan
herniasi dengan gagal pernapasan dan gagal jantung serta kematian. Komplikasi
lainnya adalah kebocoran cairan serebrospinal, kejang pascatrauma, demam dan
menggigil, serta sindrom pasca kontusio (Marbun dkk, 2020).
1.11 Clinical Pathway/Web of Caution
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui informasi dan status kesehatan pasien
yang berguna dalam proses pemberian asuhan keperawatan.
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat, pekerjaan,
status perkawinan, dan sumber informasi
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Pada klien cedera otak berat secara umum pasien mengalami penurunan
kesadaran. Respon yang dikeluarkan biasanya mengeluh sakit, nyeri kepala,
pusing, mual, dan muntah
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien cedera otak berat kaji adanya riwayat trauma kepala sebelumnya.
Rata-rata trauma kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh, terbentur,
dan sebab lainnya. Kaji proses terjadinya trauma. Kaji tingkat kesadaran
(GCS < 15), TTV, ada tidaknya kejang, mual, muntah, perdarahan, nyeri
kepala, kesimetrisan wajah, luka di kepala, fraktur, perdarahan, hilang
keseimbangan, paralisis, sumbatan di saluran nafas, keluarnya cairan liquor
(cairan yang menyelimuti susunan sistem syaraf pusat sebagai pelindung
terhadap otak) dari hidung dan telinga. Riwayat amnesia setelah cedera
kepala menunjukkan derajat kerusakan otak
c. Riwayat pendakit dahulu
Kaji penyakit penyerta yang dimiliki pasien seperti epilepsi, jantung, asma,
riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal
pembekuan darah.
d. Riwayat penyakit keluarga
Kaji adakah riwayat penyakit menurun dari keluarga seperti hipertensi dan
diabetes melitus. Serta adakah penyakit menular seperti tuberculosis.
3. Pengkajian pola gordon
a. Persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Apabila koping baik maka persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
akan baik
b. Pola nutrisi
Biasanya pada pasien dengan cedera otak berat mengalami mual, muntah,
dan mengalami perubahan selera.
c. Pola eliminasi
Kaji adanya perubahan ataupun gangguan pada kebiasaan BAB dan BAK
saat sebelum masuk rumah sakit dan saat berada di rumah sakit.
d. Pola aktivitas dan latihan
Pasien dengan cedera otak berat merasa lemah, lelah dan hilang
keseimbangan. Terjadi perubahan kesadaran, letargi, hemiparese
quadreplegia, ataksia, dan cara berjalan tak tegap.
e. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien dengan gangguan rasa nyaman, pola tidurnya terganggu
dikarenakan rasa ketidaknyamanan.
f. Pola kognitif dan persepsi
Pasien dengan cedera otak mengalami perubahan perilaku, perubahan ingatan
dan perubahan fisik pada bicara, penglihatan serta gerakan motorik yang
dapat timbul segera atau secera lambat.
g. Pola persepsi diri
Apabila pandangan terhadap diri dan kondisi sakit baik maka pola persepsi
diri akan baik.
h. Pola seksualitas dan reproduksi
Kondisi sakit dapat menyebabkan seksualitas dan reproduksi terganggu.
i. Pola peran dan hubungan
Kondisi sakit dapat menyebabkan peran dan hubungan terganggu.
j. Pola manajemen koping stress
Lama waktu perawatan atau pengobatan akan mempengaruhi kondisi
psikologis.
k. System nilai dan keyakinan
Adanya perubahan dalam kondisi kesehatan kemungkinan akan menghambat
atau mempengaruhi sistem nilai dan keyakinan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Tergantung berat ringannya cedera, keadaan umum biasanya lemah
b. Tingkat kesadaran
Cedera berat: tidak sadar lebih dari 24 jam, perubahan kesadaran sampai
koma dengan GCS total 3-8

c. Pernafasaan (Breath)
Pemampatan pada Brainstem menyebabkan gangguan irama pada jantung. Hal
ini akan mengakibatkan perubahan pada pola napas, kedalaman napas,
respiratory rate (RR), irama pernapasan, cheyne stokes, adanya bunyi napas
tambahan, produksi sputum meningkat pada saluran napas. Kaji dan monitor
saturasi oksigen (SPO2) dengan menggunakan oksimetri, periksa TTV,
monitor terjadinya tekanan darah rendah, syok dan peningkatan tekanan
intrakranial. Pemberian cairan sangat penting jika terjadi syok atau
peningkatan TIK sebagai subtitusi cairan tubuh yang hilang. Peningkatan TIK
ditandai dengan naiknya tekanan darah, HR <60X/meit dan RR <24x/menit
(Heller, 2012)
d. Darah (Blood)
Hearth rate menunjukan <60 x/menit menandakan brakikardia karena tekanan
pada pusat vasomotor yang membuat transmisi stimulus parasimpatis ke
jantung mengalami kenaikan juga. Hal ini menandakan terjadinya peningkatan
TIK. Pada kasus biasanya menunjukan HR lebih atau kurang dari 60x/menit
dan gangguan irama jantung
e. Otak (Brain)
Salah satu tanda dan gejala terjadinya masalah pada otak karena cedera kepala
yakni terjadinya penurunan atau masalah kesadaran. Pada klien dengan COB,
apabila terjadi perdarahan yang meluas hingga menuju ke brainstem maka
nervus cranialis akan terganggu. Hal tersebut dapat mengakibatkan, yaitu :
- Berubahnya kondisi mental klien.
Berubahnya kondisi mental klien dapat berupa pengenalan, kehatihatian,
kepedulian, daya fokus, cara untuk menyelesaikan permasalahan, dampak
emosi, sikap dan daya ingat.
- Berubahnya fungsi untuk melihat.
Fungsi penglihatan mengalami perubahan, yakni ketajaman dalam
melihat, penglihatan ganda, pandangan menghilang baik seluruh atau
hanya sebagian, sakit ketika melihat cahaya yang terang.
- Berubahnya pupil
Perubahan pada pupil ini dapat berupa reaksi pada cahaya, simetri,
terjadinya deviasi pada mata.
- Terganggunya keseimbangan badan.
- Sering cegukan
Disebabkan oleh kompresi di nervus vagus. Kompresi ini dapat
mengakibatkan kompresi spasmodik diafragma
- Nervus hipoglosus terjadi permasalahan.
Lidah dapat jatuh pada salah satu sisi, sulit untuk menelan, lemah pada
otot yang digunakan dalam berbicara (bicara dapat lambat atau tidak
jelas)
f. Kandung kemih (Blader)
Masalah pada kandung kemih yang terjadi biasanya klien dengan SDH akan
mengalami retensi urine, inkontensia urine dan tidak mampunya dalam
menahan miksi
g. Pencernaan (Bowel)
Sistem pencernaan akan mengalami gangguan dan menurun. Gangguan
tersebut dapat berupa lemahnya suara bising usus, nausea, keluarnya makanan
atau minuman dari kerongkongan, perut begah, selera makan menurun,
masalah dalam menelan dan terjadinya masalah pada eliminasi alvi
h. Bone
Klien dengan COB sering mengalami lemahnya gerakan anggota badan atau
hanya sebagiannya dan bahkan sampai mengalami kelumpuhan. Apabila hal
ini berlangsung dengan periode yang lama akan mengakibatkan keterbatasan
ruang gerak sendi karena klien tidak melakukan mobilitas dan kemampuan
tonus otot akan mengalami penurunan disebabkan oleh hubungan syaraf yang
berada pada otak dengan reflex spinal
i. Pemeriksaan TTV
Tekanan darah meningkat jika ada peningkatan tekanan intracranial dan bisa
normal pada keadaan yang lebih ringan, nadi dapat brakikardi ataupun
takikardi, frekuensi pernapasan dan suhu.
j. Pemeriksaan Head to Toe
- Kepala.
Pada pasien dengan trauma tumpul terdapat hematom, bengkak dan nyeri
tekan. Pada luka terbuka terdapat robekan dan pendarahan
- Telinga
Penurunan fungsi pendengaran pada trauma yang mengenai lobus
temporal yang menginterprestasikan pendengaran, drainase cairan spinal
pada fraktur dasar tengkorak, kemungkinan adanya perdarahan dari tulang
telinga
- Hidung
Pada cedera kepala yang mengalami lobus oksipital yang merupakan
tempat interprestassi penciuman dapat terjadi penurunan fungsi
penciuman. Bisa juga terdapat drainase cairan serebro spinal pada fraktur
dasar tengkorak yang mengenai sinus paranasal.
- Mulut
Gangguan menelan pada cedera kepala yang menekan reflek serta
gangguan pengecapan pada cedera kepala dan berat.
- Leher
Kaji tanda adanya cedera pada tulang servikal, tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas,
status motorik, sensorik, dan autonomik
- Dada
Inspeksi: kaji bentuk, terjadi perubahan irama, frekuensi dan kedalaman
pernafasan terdapat retraksi dinding dada.
Palpasi: biasanya terjadi nyeri tekan apabila terjadi trauma
Perkusi: bunyi resonan pada seluruh lapang paru, terkecuali daerah
jantung dan hepar bunyi redup
Auskultasi: kaji bunyi nafas normal (vesikuler), bisa ronchi apabila
terdapat gangguan, bunyi S1 dan S2 bisa teratur bisa tidak, perubhan
frekuensi dan irama
- Abdomen
Inspeksi: kaji adakah luka/jejas pada abdomen
Auskultasi: terdengar bising usus bisa meningkat atau menurun
Perkusi: timpani
Palpasi: biasanya terdapat nyeri tekan
- Ekstermitas
Kaji adanya luka/bekas luka, kekuatan otot, nyeri pada area ekstremitas,
mati rasa pada area ekstremitas, keseimbangan
- Kulit dan kuku
Kaji warna kulit, kelembapan kulit, turgor kulit, CRT.
- Neurologi
Periksa saraf II-III yaitu pemeriksaan pupil: besar & bentuk, reflek
cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri. Tanda-tanda lesi saraf
VII perifer

2.2. Diagnosa Keperawatan


a. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d edema serebral (cedera otak berat)
d.d sakit kepala, tekanan darah meningkat dengan tekanan nadi melebar,
brakikardi, pola napas tidak efektif, tingkat kesadaran menurun, respon pupil
melambat atau tidak sama, muntah, tampak lemah, fungsi kognitif terganggu
b. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d cedera kepala.
c. Pola napas tidak efektif b.d cedera otak d.d dispnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, pola napas abnormal.
d. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik d.d mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah
meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah, proses berpikir
terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaphoresis.
e. Defisit nutrisi b.d cedera otak d.d nyeri, nafsu makan menurun, mual, muntah,
otot menelan lemah.
f. Gangguan pola tidur b.d hambatan lingkungan d.d mengeluh sulit tidur,
mengeluh sering terjaga, mengeluh tidak puas tidur, mengeluh pola tidur
berubah, mengeluh istirahat tidak cukup, mengeluh kemampuan beraktivitas
menurun.
g. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular d.d kekuatan otot
menurun, ROM menurun, sendi kaku, nyeri saat bergerak, fisik lemah, gerakan
terbatas.
h. Gangguan persepsi sensori b.d hipoksia serebral d.d distorsi sensori, respons
tidak sesuai, konsentrasi buruk, disorientasi waktu, tempat, orang dan situasi.
i. Gangguan memori b.d gangguan neurologis d.d tidak mampu mengingat
perilaku tertentu yang pernah dilakukan, tidak mampu mengingat peristiwa,
tidak mampu mengingat informasi factual.
j. Ansietas b.d krisis situasional d.d merasa bingung, merasa khawatir dengan
akibat dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak
tegang, sulit tidur, mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi, merasa tidak berdaya,
frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah
meningkat, diaphoresis, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar, kontak
mata buruk, sering berkemih, berorientasi pada masa lalu.
k. Defisit perawatan diri b.d kelemahan d.d tidak mampu mandi atau mengenakan
pakaian/makan/ ke toilet/ berhias secara mandiri.
l. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi d.d menanyakan masalah
yang dihadapi, menunjukan perilaku tidak sesuai anjuran, menunjukan persepsi
yang keliru terhadap masalah, menjalani pemeriksaan yang tidak tepat,
menunjukan perilaku berlebihan.
m. Risiko jatuh d.d penurunan tingkat kesadaran.
2.3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan (SDKI) Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi Keperawatan (SIKI)

1. Penurunan kapasitas adaptif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
intrakranial (D.0066) b.d edema keperawatan selama …x 24 jam (I.06194)
serebral (cedera otak berat) d.d diharapkan penurunan kapasitas Observasi
sakit kepala, tekanan darah adaptif intrakranial dapat teratasi 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
meningkat dengan tekanan nadi dengan kriteria 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (brakikardia,
melebar, brakikardi, pola napas pola napas ireguler)
Kapasitas adaptif
tidak efektif, tingkat kesadaran 3. Monitor intake-output cairan
intracranial (L.06049)
menurun, respon pupil melambat 4. Monitor status pernapasan
1. Tingkat kesadaran meningkat
atau tidak sama, muntah, tampak 5. Monitor intake dan output cairan Teraputik
2. Sakit kepala menurun
lemah, fungsi kognitif terganggu. 6. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
3. Respon pupil membaik
4. Refleks neurologis membaik lingkungan yang tenang
7. Berikan posisi semi fowler
8. Hindari pemberian cairan IV hipotonik
9. Pertahankan suhu normal
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
2. Risiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan tindakan Pemantauan tekanan intracranial (I.06198)
efektif (D.0017) d.d cedera keperawatan selama …x 24 jam Observasi
kepala. diharapkan risiko perfusi serebral 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
teratasi dengan ktiteria hasil 2. Monitor penurunan tingkat kesadaran
3. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon
Perfusi serebral (L.02014)
pupil
1. Tingkat kesadaran meningkat
4. Monitor tekanan perfusi serebral
2. Gelisah menurun
3. Kecemasan menurun Terapeutik
5. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
6. Kalibrasi transduser
7. Pertahankan sterilitas sistem pemantauan
8. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
9. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
10. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
11. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
12. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. Pola napas tidak efektif (D.0005) Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (i.01011)
b.d cedera otak d.d dispnea, keperawatan selama …x 24 jam Observasi
penggunaan otot bantu diharapkan pola napas tidak efektif 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
pernapasan, pola napas abnormal. teratasi dengan ktiteria hasil napas)
2. Monitor bunyi napas (gurgling, mengi,
Pola napas (L.01004)
wheezing, ronkhi kering)
1. Dispnea menurun
Terapeutik
2. Frekuensi napas membaik
3. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head tilt
3. Kedalaman napas membaik
dan chin lift
4. Posisikan semi fowler atau fowler
5. Berikan oksigen jika perlu
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000ml/hari, jika tidak
ada kontraindikasi
9. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektron,
mukolitik, jika perlu
4. Nyeri akut (D.0077) b.d agen Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
Observasi
pencedera fisik d.d mengeluh keperawatan selama …x 24 jam
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
nyeri, tampak meringis, bersikap diharapkan nyeri akut dapat teratasi
kualitas, intensitas nyeri
protektif, gelisah, frekuensi nadi dengan kriteria
meningkat, sulit tidur, tekanan 2. Identifikasi skala nyeri
Tingkat nyeri (L.08066)
darah meningkat, pola napas 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
1. Keluhan nyeri menurun
berubah, nafsu makan berubah, 5. Identifikasi faktor yang memperberat dan
2. Meringis menurun
proses berpikir terganggu, menarik memperingan nyeriMonitor efek samping
3. Gelisah menurun
diri, berfokus pada diri sendiri, penggunaan analgetic
4. Kesulitan tidur menurun
diaphoresis. 6. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
5. Frekuensi nadi membaik
sudah diberikan
6. Pola napas membaik
Terapeutik
7. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
8. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
9. Fasilitasi istirahat dan
tidur Edukasi
10. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
11. Jelaskan strategi meredakan nyeri
12. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
13. Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu
5. Defisit nutrisi (D.0019) b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi (I.03119)
cedera otak d.d nyeri, nafsu keperawatan selama …x 24 jam Observasi
makan menurun, mual, muntah, diharapkan defisit nutrisi dapat teratasi
1. Identifikasi status nutrisi
otot menelan lemah. dengan kriteria
2. Identifikasi makanan yang disukai
Status Nutrisi (L.03030)
3. Monitor asupan makanan
1. Porsi makanan yang dihabiskan
meningkat Terapeutik

2. Kekuatan otot menelan 4. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu

meningkat 5. Berikan makanan tinggi serat untuk

3. Nafsu makan membaik mencegah konstipasi

4. Membrane mukosa membaik 6. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi

protein Edukasi

7. Anjurkan posisi duduk, jika mampu

8. Ajarkan diet yang

diprogramkan Kolaborasi

9. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan


(misal pereda nyeri, antiemetik)
10. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan

6. Gangguan pola tidur (D.0055) Setelah dilakukan tindakan Dukungan tidur (I.09265)
b.d hambatan lingkungan d.d keperawatan selama …x 24 jam 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur
mengeluh sulit tidur, mengeluh diharapkan gangguan pola tidur teratasi
2. Identifikasi factor pengganggu tidur
sering terjaga, mengeluh tidak dengan ktiteria hasil
puas tidur, mengeluh pola tidur 3. Identifikasi makanan dan minuman
Pola tidur (L.05045)
berubah, mengeluh istirahat tidak yang mengganggu tidur
1. Keluhan sulit tidur membaik
cukup, mengeluh kemampuan 4. Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
beraktivitas menurun. 2. Keluhan sering terjaga membaik
Terapeutik
3. Keluhan pola tidur berubah
5. Modifikasi lingkungan
membaik
6. Fasilitasi menghilangkan stress sebelum tidur

7. Lakukan prosedur untuk


meningkatkan kenyamanan

8. Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau


tindakan untuk menunjang siklus tidur
terjaga

Edukasi

9. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit


10. Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur

11. Anjurkan menghindari makanan/minuman


yang menganggu tidur

12. Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi


terhadap gangguan pola tidur

13. Ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara


nonfarmakologi lainnya

7. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan Dukungan mobilisasi (I.05173)


(D.0054) b.d gangguan keperawatan selama …x 24
jam Observasi
neuromuskular d.d kekuatan otot diharapkan gangguan mobilitas fisik
1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
menurun, ROM menurun, sendi teratasi dengan ktiteria hasil
kaku, nyeri saat bergerak, fisik 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Mobilitas fisik (L.05042)
lemah, gerakan terbatas. 3. Monitor kondisi umum selama melakukan
1. Pergerakan ekstremitas
mobilisasi
meningkat
Terapeutik
2. Kekuatan otot meningkat
4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu
3. Rentang gerak (ROM) meningkat
5. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
4. Nyeri menurun
meningkatkan pergerakan
5. Kelemahan fisik menurun Edukasi

6. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

7. Anjurkan melakukan mobilisasi dini

8. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus


dilakukan

8. Gangguan persepsi sensori Setelah dilakukan tindakan Minimalisasi rangsangan (I.08241)


(D.0085) b.d hipoksia serebral d.d keperawatan selama …x 24 jam Observasi
distorsi sensori, respons tidak diharapkan gangguan persepsi sensori
1. Periksa status mental, status sensori, dan
sesuai, konsentrasi buruk, teratasi dengan ktiteria hasil
tingkat kenyamanan
disorientasi waktu, tempat, orang Persepsi sensori (L.09083)
dan situasi. Terapeutik
1. Respons sesuai stimulus
2. Diskusikan tingkat toleransi terhadap
membaik
beban sensori
2. Konsentrasi membaik
3. Batasi stimulus lingkungan
3. Orientasi membaik
4. Jadwalkan aktivitas harian dan waktu

istirahat Edukasi

5. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus


Kolaborasi

6. Kolaborasi dalam meminimalkan


prosedur/tindakan

7. Kolaborasi pemberian obat yang


mempengaruhi persepsi stimulus

9. Gangguan memori (D.0062) b.d Setelah dilakukan tindakan Latihan memori (I.06188)
gangguan neurologis d.d tidak keperawatan selama …x 24
jam Observasi
mampu mengingat perilaku diharapkan gangguan memori teratasi
1. Identifikasi masalah memori yang dialami
tertentu yang pernah dilakukan, dengan ktiteria hasil
tidak mampu mengingat peristiwa, 2. Identifikasi kesalahan terhadap orientasi
Memori (L.09079)
tidak mampu mengingat informasi 3. Monitor perilaku dan perubahan memori
1. Verbalisasi kemampuan
factual. selama terapi
mengingat perilaku tertentu yang
pernah dilakukan meningkat Terapeutik

2. Verbalisasi kemampuan 4. Rencanakan metode mengajar sesuai kemampuan


mengingat peristiwa meningkat pasien

5. Koreksi kesalahan orientasi

6. Fasilitasi tugas pembelajaran

7. Fasilitasi kemampuan konsentrasi


Edukasi

8. Jelaskan tujuan dan prosedur Latihan

9. Ajarkan teknik memori yang tepat

10. Ansietas (D.0080) b.d krisis Setelah dilakukan tindakan Reduksi ansietas (I.09314)
situasional d.d merasa bingung, keperawatan selama …x 24
jam Observasi
merasa khawatir dengan akibat diharapkan ansietas teratasi dengan
1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
dari kondisi yang dihadapi, sulit ktiteria hasil
berkonsentrasi, tampak gelisah, 2. Monitor tanda-tanda ansietas
Tingkat ansietas (L.09093)
tampak tegang, sulit tidur, Terapeutik
1. Verbalisasi khawatir akibat
mengeluh pusing, anoreksia,
kondisi yang dihadapi menurun 3. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
palpitasi, merasa tidak berdaya,
kepercayaan
frekuensi napas meningkat, 2. Perilaku gelisah menurun
frekuensi nadi meningkat, tekanan 4. Pahami situasi yang membuat ansietas
3. Perilaku tegang menurun
darah meningkat, diaphoresis, 5. Dengarkan dengan penuh perhatian
4. Pola tidur membaik
tremor, muka tampak pucat, suara
6. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
bergetar, kontak mata buruk,
7. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
sering berkemih, berorientasi pada
kecemasan
masa lalu.
Edukasi
8. Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin
dialami

9. Informasikan secara factual mengenai diagnosis,


pengobatan dan prognosis

10. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi

11. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi


ketegangan

12. Latih teknik

relaksasi Kolaborasi

13. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika


perlu

11. Defisit perawatan diri (D.0109) Setelah dilakukan tindakan Defisit Perawatan Diri (I.11348)
b.d kelemahan d.d tidak mampu keperawatan selama …x 24 jam Observasi
mandi atau mengenakan diharapkan defisit perawatan diri
1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
pakaian/makan/ ke toilet/ berhias teratasi dengan ktiteria hasil
sesuai usia
secara mandiri.
Perawatan diri (L.11103)
2. Monitor tingkat kemandirian
1. Verbalisasi keinginan melakukan
3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri
perawatan diri meningkat dan berpakaian

2. Minat melakukan perawatan diri Terapeutik


meningkat
4. Sediakan lingkungan yang terapeutik

5. Siapkan keperluan pribadi

6. Damping dalam melakukan perawatan diri

7. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu


melakukan perawatan diri

Edukasi

8. Anjurkan melakukan perawatan diri secara


konsisten sesuai kemampuan

12. Defisit pengetahuan (D.0111) b.d Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan (I.12383)
kurang terpapar informasi d.d keperawatan selama …x 24 jam Observasi
menanyakan masalah yang diharapkan defisit pengetahuan teratasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
dihadapi, menunjukan perilaku dengan ktiteria hasil
informasi
tidak sesuai anjuran, menunjukan
Tingkat pengetahuan (L.12111)
persepsi yang keliru terhadap 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
1. Perilaku sesuai anjuran dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih
masalah, menjalani pemeriksaan
meningkat dan sehat
yang tidak tepat, menunjukan
perilaku berlebihan. 2. Perilaku sesuai dengan Terapeutik
pengetahuan meningkat 3. Sediakan materi dan media Pendidikan Kesehatan
3. Pertanyaan tentang masalah yang
4. Jadwalkan Pendidikan Kesehatan sesuai
dihadapi menurun
kesepakatan

5. Berikan kesempatan untuk

bertanya Edukasi

6. Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi


Kesehatan

7. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat

8. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk


meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat

13. Risiko jatuh (D.0143) d.d Setelah dilakukan tindakan Pencegahan cedera (I.14540)
penurunan tingkat kesadaran. keperawatan selama …x 24 jam Observasi
diharapkan risiko cedera teratasi
1. Identifikasi faktor risiko jatuh
dengan ktiteria hasil
2. Identifikasi faktor lingkungan yang meningkatkan
Tingkat jatuh (L.14138)
risiko jatuh
1. Jatuh dari tempat tidur menurun
Terapeutik
2. Jatuh saat duduk menurun 3. Orientasikan ruangan pada pasien dan keluarga

4. Pasang handrail tempat tidur

5. Tempatkan pasien berisiko tinggi jatuh dekat


dengan pemantauan perawat dari nurse stasion

Edukasi

1. Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan


bantuan untuk berpindah

2. Anjurkan berkonsentrasi untuk


menjaga keseimbangan tubuh
2.4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Evaluasi keperawatan dibagi menjadi (Hidayat, 2014) :
a. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon segera
pada saat dan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
b. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa
status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada catatan perkembangan.

Anda mungkin juga menyukai