Anda di halaman 1dari 6

Nama : Yohanes Edward Gadi Paramaputra

NIM : 21303
Grup :2
Tugas : TIMBUL nomor 5

5. What are the clinical characteristics of spinal cord injury?

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medulla spinalis terjadi saat adanya kerusakan pada medulla
spinalis ataupun saraf-saraf yang berektensi dari medulla spinalis, dimana seringkali menyebabkan
perubahan permanen pada kemampuan motoris dan atau sensoris serta fungsi tubuh lainnya dibawah level
cedera medulla spinalisnya atau dengan kata lain memblokir komunikasi antara otak dengan tubuh;
Dengan catatan bahwa semakin tinggi level terjadinya kerusakan pada medulla spinalis, semakin parah
efek yang diterima oleh tubuh pasien; Cedera pada medulla spinalis ini biasa dikatakan sebagai complete
dan incomplete berdasarkan dari adanya gerakan dan sensasi yang terdapat di bawah level cedera
(Shepherd Center, 2011; Dixon, & Budd, 2017).

Etiologi dan Epidemiology

Spinal cord injury (SCI) dikatakan membawa konsekuensi yang mengubah kehidupan pasien
seperti disabilitas yang meliputi defisiensi sensoris dan paralysis; Secara etiologi lebih dari 90% kasus
SCI diakibatkan trauma dan diakibatkan kecelakaan di jalan (seperti saat bersepeda, lagi berjalan di
pinggir jalan, dan mengendarai kendaraan bermotor), olahraga, jatuh (20% dari kasus SCI) khususnya
orang yang berusia 65 tahun keatas menjadi berisiko tinggi terkena SCI akibat jatuh, dan kekerasan
(gunshots serta ledakan bomb); Kegiatan lainnya dengan risiko tinggi terkena cedera medulla spinalis
ialah panjat tebing, berlayar, dan hand gliding; Biaya annual dari SCI di Amerika Serikat sendiri
diestimasi mencapai 5-9 juta dollar dan di Australia mencapai kurang lebih 2 miliyar dollar; Tentu
penyebab SCI antar negara berbeda-beda, bila melihat data dari National Spinal Cord Injury Statistical
Center di Amerika Utara sendiri terdapat 12,500 kasus baru SCI tiap tahun; Rasio pria terhadap wanita
2:1 untuk SCI dan lebih sering terjadi pada orang dewasa bandingkan dengan anak-anak; Pria kebanyakan
terkena SCI pada awal dan akhir adulthood atau fase ketiga dan kedelepan dekade kehidupan, sedangkan
wanita memiliki risiko paling tinggi terhadap SCI saat masa-masa adolescence (berumur 15-19 tahun) dan
fase ketujuh decade; Terlihat polanya puncak risiko terdapat pada dewasa muda kemudian puncak kedua
melibatkan dewasa berumur lebih dari 60 tahun, dan perlu diketahui bahwa pada orang dewasa >60 tahun
yang terkena SCI akan memiliki prognosis yang lebih parah bandingkan pasien muda (hal ini terasosiasi
juga dengan perubahan densitas tulang seiring umur); Namun menurut Malhotra, Bhatoe, & Sudambrekar
(2010) rasio pria terhadap wanita disebutkan 4:1 dengan mayoritas cedera terjadi pada umur 16-30 tahun;
Kemudian cedera medulla spinalisnya lebih sering terjadi pada segment yang paling mobile yaitu spina
cervical khususnya 25% pada bagian atas cervical (Oc-C2) sedangkan 75% terjadi pada regio subaxial
(C3-C7) dan thoracolumbar khususnya pada junction-nya dengan L1 mengalami cedera pada 16% kasus
(5-20% pasien dengan cedera throcaolumbar memiliki fraktur noncontiguous; Untuk cedera multiple level
medulla spinalis telah diestimasi terjadi 4-20% dari kasus SCI (Mehdar, Mahjri, Al Rashah, & Alyazidi,
2019; Alizadeh, Dyck, & Karimi-Abdolrezaee, 2019; Malhotra, Bhatoe, & Sudambrekar, 2010).
Karakteristik Klinis

Secara garis besar SCI ini akan menghasilkan efek hilangnya gerakan/paralysis bagian dari tubuh
atau keseluruhan tubuh, hilangnya sensasi, kesusahan berjalan dan keseimbangan, hilangnya kendali atas
kandung kemih dan bowel/usus, aksi refleks yang berlebihan atau spasms, perubahan fungsi seksual,
sensitivitas seksual, fertilitas, munculnya sensasi nyeri yang bisa extreme atau intense stinging
(kemungkinan diakibatkan dari rusaknya serabut saraf medulla spinalis) yang kadang terasa tekanan pada
leher, kepala, atau punggung, dan kesusahan untuk bernafas, batuk, atau mengeluarkan dahak; Tentu
munculnya gejala-gejala klinis tersebut bergantung dengan keparahan dan lokasi dari lesi (termasuk
hilangnya keseluruhan atau parsial fungsi sensoris dan atau motoris di bawah level cedera); Terjadinya
lesi pada area thoracic bagian bawah bisa menyebabkan paraplegia (terjadinya paralisis ekstremitas
inferior dan bagian bawah badan), sedangkan lesi pada level cervical terasoisasi dengan quadriplegia
(dimana yang terkena dampaknya antara lain badan, ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan organ-organ
pelvis); SCI ini secara tipikal mengefek pada level cervical medulla spinalis (50% dari kasus) spesifiknya
paling sering terjadi pada level C5, cedera lainnnya pada level thoracic (35% kasus) dan regio lumbar
(11% kasus); Untuk data mengenai prognosis pasien SCI seiring waktu dengan perkembangan dalam
prosedur medis maupun perawatan pasien, pasien SCI sering kali bertahan hidup dari cedera traumatic ini
dan hidup berdekade setelah terjadinya cedera, dilaporkan dari tahun 1995 dan 2006 di Australia prognosis
dari pasien SCI khususnya pada kasus tetraplegia adalah 91,2% dan pada paraplegia 95,9%; Untuk
individual yang berumur 40 tahunan memiliki presentase survival 47% untuk tetraplegia dan 62% untuk
quadriplegia; Untuk masalah harapan hidup pasien SCI tetap tergantung pada level cedera dan fungsi yang
masih terselamatkan contohnya pasien dengan ASIA (american spinal injury association) Impairment
scale grade D yang membutuhkan kursi roda untuk melakukan aktivitas sehari-hari memiliki estimasi 75%
ekspentansi kehidupan normal, sedangkan pasien yang tidak memerlukan kuris roda dan catheterization
memiliki ekspentasi kehidupan yang lebih tinggi yaitu 90% layaknya individu normal (Mehdar, Mahjri,
Al Rashah, & Alyazidi, 2019; Alizadeh, Dyck, & Karimi-Abdolrezaee, 2019).

Sudah diketahui penyebab umum dari spinal cord injury (SCI) ini, kemudian sebenarnya SCI itu
bagaimana? SCI ini umumnya akibat dari benturan secara tiba-tiba dan traumatic pada spina yang
mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebrae; Kekuatan mekanisme inisial yang terarahkan pada
medulla spinalis pada waktu cedera terjadi disebut sebagai Primary injury atau cedera primer dimana
terjadinya disposisi fragment tulang, materi discus, dan atau lebamnya ligament atau robek ke jaringan
medulla spinalis perlu (kebanyakan cedera yang terjadi tidak sepenuhnya merusak medulla spinalis);
Empat karakteristik utama dari mekanisme cedera primer antara lain benturan dengan kompresi yang
persisten (merupakan bentuk umum dari cedera primer) terjadi tipikal melalui burst fracture dengan
fragment tulang kompresi medulla spinalis atau melalui cedera dislokasi-fraktur; benturan sendiri dengan
kompresi transient, yang ditemukan lebih jarang frekuensinya namun lebih umum terjadi pada cedera
hyperekstensi; distraksi, terjadi saat dua tulang vertebrae berdekatan menjauh menyebabkan columna
spinalis untuk tertarik dan robek pada planum axial; dan laserasi/transeksi, terjadi akibat cedera peluru,
dislokasi yang parah, atau fragment tulang tajam yang terdislokasi dan bisa bervariasi sifat cederanya dari
minor sampai transeksi penuh;
Namun menurut Malhotra, Bhatoe, & Sudambrekar (2010) SCI ini terkategori dalam tiga fase yaitu
akut, sekunder, dan kronis; Trauma mekanis langsung ke sumsum tulang belakang dengan cepat diikuti
oleh iskemia lokal dan perdarahan, mengakibatkan edema dan kematian sel saraf disekitarnya; Istilah syok
tulang belakang diperkenalkan untuk menggambarkan kondisi pasien setelah SCI akut ini (kelumpuhan
otot, tonus otot lembek, dan hilangnya refleks tendon di bawah tingkat lesi); Sedangkan cedera sekunder
ditandai dengan perubahan ionik yang dramatis pada zona cedera setelah SCI yang mengakibatkan
kerusakan pada membran sel dan pelepasan mediator inflamasi; Pada fase kronis SCI, terbentuk cavitas
cystic yang dikelilingi oleh bekas luka astrocytic; Selain itu, ada degenerasi akson distal cedera alias
degenerasi Wallerian; Gejala sisa jangka panjang setelah terjadinya SCI, termasuk nyeri kronis dan
spastisitas.
Selain itu cedera pada orang-orang yang di medan perang umumnya melibatkan beberapa segment
dari medulla spinalis, dengan study yang dilakukan pada personel militer Amerika dari tahun 2001 ke
2009 menunjukkan keparahan lebih dan pemulihan neurologis yang lebih rendah bandingkan dengan
individu masyarakat biasa dengan cedera paling sering pada lumbar bagian bawah (burst fracture) dan
dissosiasi pada lumbosacral; Akhirnya akan merusak jalur ascending dan descending medulla spinalis
serta disrupsi pembuluh
darah maupun membrane
sel berujung pada spinal
shock, systemic
hypotension, vasospasm,
ischemia, ionic imbalance,
dan akumulasi
neurotransmitter; Hal yang
bisa dilakukan tenaga
medis untuk penanganan
pada cedera primer ialah
operasi awal dekompresi
yang dilakukan kurang
dari 24 jam dari terjadinya
cedera; Berikut data yang
didapatkan Yusuf,
Mahmud, Alfin, Gana,
Timothy, Nwaribe, Dalhat,
Aruna, & Idris (2019)
mengenai karakteristik
pasien dan cedera:

Untuk karakteristik
klinis lainnya bisa
dikategorikan per segment
berdasarkan Shepherd
Center (2011) antara lain
High-Cervical Nerves
(C1-C4) merupakan cedera level medulla spinalis paling parah; Terjadinya paralysis lengan, tangan,
trunkus, dan kaki; Pasien bisa saja tidak mampu bernafas dengan sendirinya, batuk, atau mengontrol
kandung kemih dan Gerakan bowel/usus; Kemampuan untuk berbicara kadang terganggu atau tereduksi;
Saat keempat ekstremitas terkena disebut juga tetraplegia atau quadriplegia; Membutuhkan asistensi
penuh untuk beraktivitas sehari-hari seperti makan, berpakaian, mandi, bangun tidur dan kembali tidur,
serta pastinya menyetir (Intinya membutuhkan perawatan 24 jam); Bisa saja menggunakan kursi roda
elektrik dengan kendali khusus supaya bisa bergerak dengan sendirinya;

Kemudian pada Low-cervical nerve (C5-C8) yang berkoresponden dengan nervus yang
mengontrol lengan dan tangan, pasien dengan cedera pada level ini masih bisa bernafas dengan sendirinya
dan berbicara secara normal; Kita mulai pada cedera pada level C5, pasien masih bisa mengangkat kaki
maupun lengan dan menekuk siku; Bisa saja mengalami paralysis parsial atau total dari pergelangan
tangan, tangan, trunkus, dan kaki; Bisa berbicara normal dan menggunakan diafragma namun mengalami
pelemahan dalam bernafas; Tetap akan membutuhkan asistensi dengan kebanyakan aktivitas sehari-hari,
namun sekali diberikan kuris roda elektrik bisa bergerak secara independent; Cedera pada C6 melibatkan
nervus yang mengontrol ekstensi pergerlangan tangan, paralysis tipikal pada tangan, trunkus, dan kaki;
Seharusnya masih bisa menekuk pergelangan tangan ke belakang; Bisa berbicara dan menggunakan
diafragma namun pernafasan akan melemah; Bisa bergerak dari kuris roda menuju tempat tidur dengan
perlengkapan assistive ; Masih bisa menyetir dengan kendaraan yang dimodifikasi untuk menyesuaikan
kondisi pasien; Sedikit hingga tidak ada kendali atas kandung kemih dan bowel tapi masih bisa
mengendalikannya dengan perangkat khusus; Cedera pada C7 melibatkan nervus yang mengontrol
ekstensi siku dan beberapa ekstensi jari; Kebanyakan masih bisa meluruskan lengan mereka dan memiliki
gerakan normal pada pundak mereka; Bisa melakukan aktivitas sehari-hari dengan mandiri namun tetap
membutuhkan asisten dengan kegiatan yang lebih susah/memerlukan usaha lebih; Bisa menyetir dengan
kendaraan yang khusus; Sedikit hingga tidak ada kendali pada kandung kemih dan bowel namun bisa
mengaturnya sendiri dengan perangkat khusus; Lalu cedera C8 melibatkan nervus yang mengontrol
beberapa gerakan tangan; Bisa menggenggam dan melepas objek; Bisa melakukan kebanyakan aktivitas
sehari-hari dengan mandiri namun perlu asistensi dengan aktivitas yang lebih susah; Bisa juga menyetir
dengan kendaraan khusus; Sedikit hingga tidak ada kendali pada kandung kemih dan bowel namun bisa
mengaturnya sendiri dengan perangkat khusus;

Cedera pada Thoracic nerves (T1-T5), berkoresponden dengan nervus-nervus yang mengatur otot-
otot, dada bagian atas, pertengahan punggung, dan otot-otot abdomen; Tangan dan lengan berfungsi
normal; Cedera biasanya mengefek pada trunkus dan kaki (disebut juga paraplegia); Bisa menggunakan
kursi roda manual dan bisa menyetir dengan kendaraan yang sudah diadaptasikan; Bisa berdiri pada
standing frame dan ada yang bisa juga berjalan dengan braces;

Thoracic nerves (T6-T12) melibatkan nervus yang mengefek otot-otot trunkus (otot abdominal
dan punggung) tergantung pada level cedera; Biasanya menghasilkan paraplegia; Pergerakan bagian atas
tubuh yang normal; Kemampuan untuk mengontrol dan menyeimbangkan trunkus saat posisi duduk yang
cukup hingga bagus; Bisa batuk produktif (jika otot-otot abdomen masih intak); Sedikit hingga tidak ada
kendali pada kandung kemih dan bowel namun bisa mengaturnya sendiri dengan perangkat khusus; Bisa
menggunakan kursi roda manual dan bisa menyetir dengan kendaraan khusus; Bisa berdiri pada standing
frame dan ada yang bisa juga berjalan dengan braces;

Lumbar nerves (L1-L5), cedera pada regio ini umumnya menyebabkan hilangnya fungsi pada
panggul dan kaki; Kendali kandung kemih dan bowel yang sedikit hingga tidak ada sama sekali namun
bisa mengaturnya sendiri dengan perangkat khusus; Tergantung dengan kekuatan kaki pada tiap pasien,
ada yang membutuhkan kuris roda dan ada yang bisa berjalan menggunakan braces;
Sacral nerves (S1-S5), cedera pada regio ini umumnya menghasilkan kehilangan fungsi pada
panggul dan kaki pula; Sedikitnya kendali hingga tidak ada kendali sama sekali pada kandung kemih dan
bowel namun bisa menggunakan perangkat khusus untuk mengendalikannya; Kemungkinan besar masih
bisa berjalan.

Tambahan dari Mayo Clinic (2019) dan Malhotra, Bhatoe, & Sudambrekar (2010) mengenai
komplikasi yang bisa terjadi akibat gejala klinis yang diakibatkan oleh cedera medulla spinalis ini seperti
dysfungsi kandung kemih, dimana bisa meningkatkan risiko infeksi saluran kemih, infeksi ginjal dan batu
ginjal ataupun batu kandung kemih; Dysfungsi bowel, karena terjadinya dysfungsi otonom dan imobilitas,
waktu transit usus menjadi lebih lama, yang berujung pada konstipasi atau impaction parah, (perlu
diketahui bahwa kontrol buang air besar atas kehendak sendiri seringkali tidak ada pada cedera parah);
Hilangnya sensasi kulit di bawah tingkat cedera, hal ini dapat membuat pasien lebih rentan terhadap luka
tekan, sehingga dianjurkan sering mengubah posisi; Kontrol peredaran darah, cedera medulla spinalis
dapat menyebabkan masalah peredaran darah mulai dari tekanan darah rendah saat pasien berdiri
(hipotensi ortostatik) hingga pembengkakan pada ekstremitas; Perubahan sirkulasi ini juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya pembekuan darah, seperti DVT (deep vein thrombosis) atau PE
(pulmonary embolism), pharmacologixc prophylaxis harus diinisasikan secepat mungkin maksimal 72 jam
setelah cedera; Masalah lain dengan kontrol peredaran darah adalah peningkatan tekanan darah yang ganas
akibat terpicu stimulus yang noxious, berpotensi mengancam jiwa disebut hiperrefleksia otonom
(autonomic dysreflexia) khususnya pada pasien dengan cedera level vertebra T6 dan keatas; Kemudian
sistem pernapasan, munculnya masalah pada system pernafasan tergantung pada tingkat cedera segment
medulla spinalis, jika mengalami cedera medulla spinalis segment cervical dan thorax, akan memiliki
peningkatan risiko pneumonia;
Bentuk otot. beberapa orang dengan cedera medulla spinalis mengalami salah satu dari dua jenis
masalah tonus otot seperti kontraksi /gerakan yang tidak terkontrol pada otot (spastisitas) atau otot yang
lemah dan lemas yang tidak memiliki tonus otot (flaccidity);
Kemudian terjadinya penurunan berat badan dan atrofi otot sering terjadi segera setelah cedera
tulang belakang, tetapi dengan mobilitas yang terbatas dapat menyebabkan gaya hidup yang risiko
obesitas, penyakit kardiovaskular, dan diabetes;
Kesehatan seksual, fertilitas, dan fungsi seksual tentu dipengaruhi oleh cedera medulla spinalis;
dimana pria mungkin mengalami perubahan ereksi dan ejakulasi sedangkan wanita mengalami perubahan
lubrikasi;
Munculnya sensasi nyeri setelah cedera medulla spinalis, terutama pada pasien dengan incomplete
spinal cord injury; Dan depresi, hal-hal yang harus dilalui oleh pasien dengan semua perubahan akibat
SCI ini (hidup dengan rasa sakit) menyebabkan pasien mengalami depresi, lalu dari depresi ini bisa
mengarah pada penurunan system immune serta fungsi normal tubuh/homeostasis pada umumnya.

References:

Alizadeh, A., Dyck, S. M., & Karimi-Abdolrezaee, S. (2019). Traumatic Spinal Cord Injury: An Overview
of Pathophysiology, Models and Acute Injury Mechanisms. Frontiers in neurology, 10, 282.
https://doi.org/10.3389/fneur.2019.00282

Dixon, T. M., & Budd, M. A. (2017). Practical Psychology in Medical Rehabilitation. Practical
Psychology in Medical Rehabilitation, (October). https://doi.org/10.1007/978-3-319-34034-0
Malhotra, M., Bhatoe, H. S., & Sudambrekar, S. M. (2010). Spinal Cord Injuries. Medical journal, Armed
Forces India, 66(4), 325–328. https://doi.org/10.1016/S0377-1237(10)80009-7

Mayo Clinic. (2019). Spinal Cord Injury. Available online at: https://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/spinal-cord-injury/symptoms-causes/syc-20377890

Mehdar, K. M., Mahjri, A. A., Al Rashah, A. A., & Alyazidi, A. (2019). Epidemiology of Spinal Cord
Injuries and their Outcomes: A Retrospective Study at the King Khalid Hospital. Cureus, 11(12),
e6511. https://doi.org/10.7759/cureus.6511

Shepherd Center. (2011). Understanding Spinal Cord Injury. American Trauma Association, 1–16.

Yusuf, A. S., Mahmud, M. R., Alfin, D. J., Gana, S. I., Timothy, S., Nwaribe, E. E., Dalhat, N. K., Aruna,
A. A., & Idris, M. M. (2019). Clinical Characteristics and Challenges of Management of
Traumatic Spinal Cord Injury in a Trauma Center of a Developing Country. Journal of
neurosciences in rural practice, 10(3), 393–399. https://doi.org/10.1055/s-0039-1695696

Anda mungkin juga menyukai