Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SPINAL CORD


INJURY (SCI) DI RUANG SERUNI RSUD DR SOEBANDI JEMBER

OLEH :
Fauziyah, S.Kep
NIM 182311101076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI


NERS FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
OKTOBER, 2018

1
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN SPINAL CORD INJURY (SCI) DI RUANG SERUNI
RSUD
DR SOEBANDI JEMBER

A. KONSEP TEORI SPINAL CORD INJURY (SCI)


1. Pengertian SCI
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas
tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC
(2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Cedera tulang belakang
adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh
dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
( Sjamsuhidayat, 1997)
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury
tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan
karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih (Fransisca, 2008). Trauma pada tulang belakang dapat mengenai
jaringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang
sendiri dan sumsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi mobilitas. Penyebab
umum dari kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil, tembak, jatuh, cedera
olahraga, dll) atau penyakit (myelitis melintang, Polio, spina bifida, Ataksia
Friedreich, dll). Pada kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang
masih utuh, tetapi kerusakan selular mengakibatkan hilangnya fungsi tubuh. SCI
sangat berbeda dari cedera punggung seperti disk pecah, stenosis tulang belakang
atau saraf terjepit (Pratama 2017).

2
2. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan
olah raga(22%), terjatuh dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja. Lewis (2000)
berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh
beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran
ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada
tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada
tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang
berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

3. Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi ASIA (American Spinal injury Association)
1) ASIA A : Complete (kehilangan fungsi motoris dan sensoris termasuk
pada segmen sacral S4-S5 )

3
2) ASIA B : Incomplete (kehilangan fungsi motoris, namun fungsi sensoris
tidak hanya dibawah level lesi dan termasuk segmen sacral S4-S5)

3) ASIA C : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara tetapi


tidak fungsional dengan kekuatan otot < 3)

4) ASIA D : Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara dan


fungsional dengan kekuatan otot > 3)

5) ASIA E : Normal (fungsi sensoris dan motoris normal)

4. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak
cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi
akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi,
kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat
berupa memar, kontusio, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah,
dan perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk
melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga
mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia
syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan
gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi,
bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang terkena:
jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia
dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera
mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan,
menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari;
jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan
beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan
sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1

4
seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari
tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia
dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih
baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut
akan kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan
berkemih.

5. Menifestasi Klinis
1) Antara C1 sampai C5: Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien
meninggal.
2) Antara C5 dan C6: Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan
fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3) Antara C6 dan C7: Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan
bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4) Antara C7 dan C8: Paralisis kaki dan tangan
5) C8 sampai T1: Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis),
paralisis kaki.
6) Antara T11 dan T12: Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7) T12 sampai L1: Paralisis di bawah lutut.
8) Cauda equine: Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan
biasanya nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol
bowel dan bladder.
9) S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1: Kehilangan kontrol bowel dan
bladder secara total.

6. Pemeriksaan penunjang
1) CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik
komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut.
Akurasi Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya
herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT
dengan myelografi.

5
2) MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah
servikal. MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh
daerah medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat
divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya
abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan ,
sehingga hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat
perjalanan penyakit, keluhan maupun pemeriksaan klinis. Elektromiografi.
3) (EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan
bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi.

7. Komplikasi
1) Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2) Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti ) lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3) Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas.
4) Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.

6
8. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi
1) Medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral
dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV
untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung
bila memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal,
yang meliputi penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace
pada tengkorak, tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien
dengan fraktur servikal stabil ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal
atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada spinal bila
pada pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak aktif.
Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat
dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal
servikal, cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis
mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau
dekompres medulla. (Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89). Tindakan-tidakan
untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis dengan menggunakan
glukortiko steroid intravena
2) Keperawatan
Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap
kondisinya; lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C
(Airway, Breathing, Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin
memburuk.

7
B. Clinical Phatway

Faktor
kecelakaan,

Kontusio
Trauma tulang belakang perdarahan Iskemik
spinal cord
Mual muntah Risiko aspirasi
Fraktur vetebra nyeri Shock hemoragik Perfusi
jaringan
Gangguan
Kematian
pada spinal

Hilang fungsi motorik sensorik

Kelemahan otot pernafasan


Gangguan kontrol VU dan rektum
Kerusakan syaraf ekstremitas
Hambatan
mobilitas

Inkontinensia urin kelumpuhan


Defisi
Suplai
perawatan diri
oksigen
menurun Hambatan
eliminasi Peningkatan
Mekanisme badrest
kompensasi

Risiko
Ketidakefetifan kerusakan
pola nafas

8
C. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
1. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah klien pernah menderita
:
1) Penyakit stroke
2) Infeksi otak
3) DM
4) Diare dan muntah yang berlebihan
5) Tumor otak
6) Intoksiaksi insektisida
7) Trauma kepala
8) Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-
otot pernafasan tambahan
2) Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
3) Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
4) Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis
kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia.
5) Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan,
post spinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper
motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/
LMN).
6) Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
7) Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.

9
8) Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan
penglihatan.
9) Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus,
stress ulcer, feses keras atau inkontinensia.
10) Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
11) Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
12) Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus
13) Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi, enjakulasi, menstruasi tidak teratur.
14) Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot diafragma, kelemahan
dengan paralisis otot abdominal dan interkostal
2. Hambatan mobilitas fisik b.d. gangguan neuromuskular
3. Nyeri b.d. adanya cedera
4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi b.d. gangguan neuromuskular
5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama,
kehilangan sensori dan mobilitas.

10
Intervensi keperawatan

No. Masalah NOC NIC


Keperawatan
1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pla Airway management
efektif nafas tidak efektif pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria 1. Posisikan pasien untuk
hasil: memaksimalkan ventilasi
2. Pasang mayo bila perlu
Status permafasan (0415)
3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Aw Tujuan
No. Indikator 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya
al 1 2 3 4 5 suara tambahan
1. Frekuensi pernafasan √ 5. Atur intake untuk cairan
2. Irama pernafasan √ mengoptimalkan keseimbangan.
3. Kedalaman inspirasi √ 6. Monitor respirasi dan status O2
4. Volume tidal √ 7. Monitor vital sign
5. Kapasitas tidal √
Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi cukup dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal

2. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Terapi latihan: ambulasi
fisik hambatan mobilitas fisik pada pasien dapat teratasi, dengan 1. Sediakan tempat tidur yang rendah

1
kriteria hasil: dan sesuai
Ambulasi (0200) 2. Bantu pasien untuk duduk di sisi
Aw Tujuan tempat tidur untuk memfasilitasi
No. Indikator 1 2 3 4 5 penyesuaian sikap tubuh
al
Memopang berat 3. Bantu pasien untuk perpindahan,
1. √ sesuai kebutuhan
badan
4. Instruksikan pasien mengenai
Berjalan dengan
2. langkah yng efektif √ pemindahan dan teknik ambulasi
yang aman
Berjalan dengan
3. √ 5. Monitor penggunaan kruk atau alat
pelan
bantu berjalan lainnya
Berjalan dengan jarak
4. yang dekat (˂1 √ Terapi latihan: pergerakan sendi
blok/30 meter) 6. Tentukan batasan pergerakan sendi
Berjalan mengelilingi dan efeknya terhadap sendi;
5. √
kamar 7. Jelaskan pada klien dan keluarga
Keterangan: mengenai manfaat dan tujuan
1. Sangat terganggu melakukan latihan sendi
2. Banyak terganggu 8. Instruksikan klien/keluarga cara
3. Cukup terganggu melakukan latihan ROM aktif atau
4. Sedikit terganggu pasif.
5. Tidak terganggu 9. Monitor lokasi dan kecenderungan
adanya nyeri.
10. Pakaikan baju yang tidak
menghambat pergerakan pasien
3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Manajemen nyeri:
nyeri akut pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri
Kontrol nyeri (1605) komprehensif meliputi lokasi,

1
Tujuan karakteristik, durasi frekuensi,
No. Indikator Awal 1 2 3 4 5 kualitas dan faktor pencetus.
Menggunakan 2. Observasi adanya reaksi nonverbal
tindakan dan ketidaknyamanan.
1. √
pengurangan nyeri 3. Evaluasi pengalaman nyeri masa
tanpa analgesik lampau.
Mmenggunakan 4. Berikan informasi mengenai nyeri,
2. analgesik yang √ seperti penyebab nyeri, berapa lama
direkomendasikan nyeri akan dirasakan, dan antisipasi
Melaporkan gejala dari ketidaknyamanan akibat
yang tidak terkonrol prosedur.
3. √ 5. Kontrol lingkungan yang dapat
pada profesional
kesehatan mempengaruhi nyeri seperti suhu
Menggunakan ruangan, pencahayaan dan kebisingan
4. sumber daya yang √ 6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
tersedia (farmakologi, non farmakologi dan
Melaporkan nyeri inter personal).
5. √ 7. Berikan individu penurun nyeri yang
yang terkontrol
Keterangan: optimal dengan peresepan analgesik.
8. Dorong pasien untuk menggunakan
1. Tidak pernah menunjukkan
obat-obatan penurun nyeri yang
2. Jarang menunjukkan
adekuat.
3. Kadang-kadang menunjukkan
9. Monitor tanda-tanda vital sebelum
4. Sering menunjukkan
dan sesudah pemberian analgesik.
5. Secara konsisten menunjukkan
10. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi (seperti relaksasi,
hypnosis, akrupessure dll)
11. Berikan analgetik untuk mengurangi

1
nyeri
12. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
13. Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat dan tim kesehatan lain untuk
meilih dan mengimplementasikan
tindakan penurunan nyeri non
farmakologis
14. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
15. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri.

4. Gangguan eliminasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Managemen konstipasi (0450)
alvi/konstipasi
konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil:
1. Identifikasi faktor-faktor yang
Status nutrisi (1004) menyebabkan terjadinya konstipasi
2. Dukung intake cairan (1,5 L air
no Indikator awal Tujuan
perhari)
1 2 3 4 5
3. Buatlah jadwal untuk BAB dengan cara
1. Asupan gizi 2 √
yang tepat
2. Asupan 2 √
4. Intruksikan pada pasien dan keluarga
makanan
pada diet tinggi serat dengan cara yang
3. Asupan cairan 2 √
tepat (pisang, pir, apel, wortel)

1
4 Hidrasi 2 √ 5. Kolaborasi pemberian laksatif

1. Sangat menyimpang dari rentang normal


2. Banyak menyimpang dari rentang normal
3. Cukup menyimpang dari rentang normal
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal
5. Tidak menyimpang dari rentang normal

6. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Pressure Management
kulit kerusakan integritas kulit pada pasien dapat teratasi, dengan 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan
kriteria hasil: pakaian yang longgar
Penyembuhan luka bakar (1106) 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
Tujuan 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
No. Indikator Awal 1 2 3 4 5 bersih dan kering
1. Nyeri √ 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
2. Infeksi √ pasien) setiap dua jam sekali
3. Kulit melepuh √ 5. Monitor kulit akan adanya kemerahan
Edema pada area 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
4. √ pada daerah yang tertekan
bakar
5. Nekrosis jaringan √ 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
Keterangan: pasien
1. Sangat besar Insision site care
2. Besar 8. Membersihkan, memantau dan
3. Sedang meningkatkan proses penyembuhan

1
4. Terbatas pada luka yang ditutup dengan
5. Tidak ada jahitan, klip atau straples
9. Monitor proses kesembuhan area
insisi
10. Monitor tanda dan gejala infeksi pada
area insisi
11. Bersihkan area sekitar jahitan,
menggunakan lidi kapas steril
12. Gunakan preparat antiseptic, sesuai
program
13. Ganti balutan pada interval waktu
yang sesuai atau biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut) sesuai
program.

1
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer dkk., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK-
UI, Jakarta

Bruner & Suddarth, 2005, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, ECG-


Kedokteran, Jakarta.

Doenges, Moorhause & Geisher, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman


untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ECG-
Kedokteran, Jakarta.

Pratama, Anggi. 2017. Laporan Pendahuluan Spinal Cord Injury. Lp Keperawatan


Sylvia Price & Wilson, 2006, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, ECG-Kedokteran, Jakarta.
.
Sylvia Price & Wilson, 2006, Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, ECG-Kedokteran, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai