Anda di halaman 1dari 27

MODUL 6 MIOPATI DAN KELAINAN PADA MEDULA SPINALIS

SKENARIO 6 : Tangan dan kaki ku tidak bisa digerakkan

Anton 14 tahun mengalami tabrakan mobil dengan mobil dari belakang. Mobil Anton sengaja
dilepas sandaran kepala biar kelihatan keren dan modif. Saat tabrakan terjadi leher Anton
tertekuk ke belakang dan pingsan. Anton dilarikan ke RSUCM, saat tiba di IGD Anton tersadar
dan tidak bisa merasakan serta tidak bisa menggerakkan kedua tangan dan kakinya, dia pun sulit
untuk bernafas. Saturasi O₂ semakin menurun dan membaik setelah diberikan oksigen. Dari
pemeriksaan penunjang x-ray cervical AP/Lateral didapatkan subluksasi cervival C4-C5. Ibu
Anton merasa sangat khawatir karena anaknya sudah mengalami kelemahan otot dan kaki
sebelumnya semenjak penggunaan obat kortikosteroid yang lama karena penyakit lain yang
dialaminya. Bagaimana anda menjelaskan kasus diatas?

JUMP 1 TERMINOLOGI

1.miopati :perubahan anatomis dan biokimia dari serabut bagian otot tidak normal sebagai mana
mestinya sehingga mengalami kelemahan pada otot

2.saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri,
saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %.

3.subluksasi adalah lesi atau disfungsi dalam sebuah sendi atau segmen gerakan dimana
keterkaitan, integritas gerakan dan/atau fungsi fisiologis berubah, meskipun kontak antara
permukaan sendi tetap utuh.

JUMP 2 RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa Pada Saat Terjadinya Kecelakaan yang di alami oleh Anton tersebut ketika terjadi
,leher tertekuk yang menyebabkan Anton pingsan

2.mengapa pada saat kecelakaan pada anton ditandai tidak dapat menggerakkan tangan dan
kakinya dan kesulitan bernafas?

3.bagaimana hubungan jk dan usia pada skenario?

4.gejala lain yang bisa timbul?

5.Apa yang menyebabkan terjadinya Penurunan Saturasi O2

6.apa saja indikasi penggunaan obat kortikosteroid dan ES?

7.selain saturasi oksigen adap tata laksana lainnya?

8.bagaimana mekanisme cedera tulang belakang pada anton?


9.apa saja Kelasi fikasi dari cedera servikal?

10.bagaimana interpretasi x ray yang ditemukan pada skenario tersebut?

11.apa dx serta prognosis dan komplikasinya?

12.apa saja pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada anton?

13. Bagaimana Hubungan antara Riwayat Kelemahan Otot yang di alami Oleh Anton
terdahulu,dengan kondisi nya saat ini

JUMP 3 HIPOTESA

1. dikarenakan pergerakan mendadak yang menyebabkan tendon dan lig.di sekitar leher
anton tersebut meregang sehingga terjadi perubahan aliran o2 menuju otak anton tersebut
dan menimbulkan gejala berupa pingsan dan tidak sadarkan diri.
2. Anton mengalami tetraplegia ( Quadriplegia ) yang mana menyebabkan Anton
mengalami kelumpuhan pada keempat anggota gerak atau kedua tangan dan kedua kaki.
Kondisi ini disebabkan oleh penyakit ataupun cedera pada otak maupun saraf tulang
belakang. Gejala utama dari penyakit ini adalah ketidakmampuan secara fisik motorik
untuk melakukan gerakan tubuh. Hal itu menyebabkan pengidapnya mungkin
membutuhkan bantuan dalam beraktivitas, latihan dengan pola tertentu, serta fasilitas
pendukung lainnya. Kondisi ini juga bisa terjadi pada anak-anak. Quadriplegia yang
menyerang anak sering menyebabkan gejala berupa gangguan perkembangan fungsional,
kesulitan belajar, gangguan emosional, serta kelainan berbicara dan berbahasa.Sulit
bernafas krna pada saat kecelakaan itu bagian leher Anton mengalami cedera sehingga
mmbuat ia sulit utk bernafas.
Penyempitan pada foramen intervertebralis mengakibatkan adanya kompresi pada akar
saraf sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri juga dapat terjadi karena adanya iritasi oleh
osteofit dan spasme pada otot–otot para cervical. Rasa nyeri dan keluhan lain yang timbul
akibat proses degenerasi akan menimbulkan gangguan fungsi dan keterbatasan pada
semua gerakan cervical yaitu gerak : fleksi, ekstensi, lateral fleksi kiri dan kanan serta
rotasi kiri dan kanan. Gangguan gerak dan fungsi tersebut disebabkan karena adanya rasa
nyeri, dan mengakibatkan seseorang enggan menggerakkan lehernya, sehingga terjadi
immobilisasi. Immobilisasi yang lama akan menyebabkan timbulnya kekakuan dan
keterbatasan gerak.

3. Berhubungan,menyatakan bahwa laki-laki lebih mungkin menderita cedera tulang


belakang leher dalam kecelakaan mobil daripada wanita (80:29).cedera tulang belakang
cervical pada anak terhitung lebih tinggi proporsi cedera tulang belakang, mencapai
75%,dan juga menghasilkan angka kematian yang lebih tinggi

•usia rata-rata pasien telah meningkat waktu; dan tingkat servikal atas saat ini yang paling
sering terkena. Laporan statistic dari pusat trauma regional di Kanada menunjukkan
bahwa kecelakaan kendaraan menyumbang 71% insidendari CSCI; 66% pasien CSCI
adalah laki-laki; 75% adalahdi bawah 50 tahun; dan yang paling umum.
•Tingkat cedera tulang belakang adalah C2 (27%) diikuti oleh C5 (22%). Tingkat cedera
tulang belakang pada individu berbeda antara penumpang kursi depan dan belakang
dalam kecelakaan kendaraan. Sebuah studi epidemiologi tentangcedera tulang belakang
traumatis (TSCI) di Spanyol berakhir periode 20 tahun (1995-2014) melaporkan total
1.195 pasien dengan TSCI, 76,4% di antaranya adalah laki-lakidan 23,6% perempuan.
Usia rata-rata pasien adalah5 0,2 tahun. Kecelakaan lalu lintas menyumbang 37%
darisemua cedera TSCI. Usia rata-rata pasien meningkat secara signifikan dari waktu ke
waktu (dari 46,4 hingga 56,54 tahun).Tingkat neurologis yang paling sering terkena
adalah tingkat servikal (54,9%), meningkat dikasus tingkat C1 – C4 dari waktu ke waktu.

4. Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut:


 Nyeri,Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan daripatahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
 Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang
terlokalisir pada daerah fraktur danextravasi daerah di jaringan sekitarnya.
 Memar/ekimosisMerupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah
di jaringan sekitarnya.
 Spasme otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
 Penurunan sensasi Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
 Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme
otot. paralysis dapat terjadikarena kerusakan syaraf.
 Mobilitas abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
pada kondisi normalnya tidak terjadipergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang
panjang.
 Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
 Deformitas

5.disebabkan oleh terjadinya penurunan kesedaran yang dialami anton akan


menyebabkan terjadinya penunan suplai oksigen sehingga menyebabkan penurunan
saturasi oksigen.

6.efek samping:
 Penumpukan lemak di pipi (moon face)
 Rentan terkena infeksi
 Meningkatnya tekanan darah atau hipertensi
 Meningkatnya kadar gula darah
 Mempercepat timbulnya katarak
 Tukak (ulkus) pada lambung atau duodenum
 Masalah kulit
 Pelemahan fungsi otot
 Perubahan mood dan perilaku.
Gangguan metabolisme karbohidrat menyebabkan hiperglikemia dankadang-kadang diabetes.
Hilangnya protein dari otot skelet menyebabkanpengurangan massa dan kelemahan otot. Hal ini
tidak dapat diatasi olehprotein dari makanan karena sintesis protein dihambat.

7. penatalaksanaan pada pasien trauma servikal yaitu :


 Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)
 Mengatur posisi kepala dan Icher untuk mendukung airway : headtil, chin lip,jaw thrust.
 Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar,imobilisasi
lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
 Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7)dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi),member lipatan selimut
di bawah pelvis kemudian mengikatnya.
 Menyediakan oksigen tambahan.
 Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulseoksimetri.
 Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.
 Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruhdari hipotensi
dan bradikardi.
 Memberikan obat berupa steroid dosis tinggi dalam periode lebih dari 24 jam dimulai
dari 8 jam setelah kejadian

8.Mekanisme tersering pada cedera medula spinalis ialah gaya translasional tidak
langsung pada vertebra seperti hiperekstensi dan fleksi-rotasi (paling tidak stabil)
mendadak yang mengakibatkan cedera medula spinalis. Cedera juga dapat diakibatkan
oleh kompresi langsung pada medula spinalis. Pada beberapa kasus, terutama yang
berusia muda (< 8 tahun ), dpt terjadi cedera medspin tanpa kerusakan tulang atau
struktur disekitarnya.
Sumsum tulang belakang berjalan di dalam kanal vertebralis dibentuk oleh bagian
belakang tulang belakang. Tiga puluh-satu pasang saraf bercabang dari sumsum tulang
belakang melalui tulang belakang, membawa pesan di antaranya otak dan setiap bagian
tubuh lainnya. SCI terjadi saat patah tulang, dislokasi atau leher lainnya cedera merusak
sumsum tulang belakang.
bahwa penyebab cedera paling umumadalah fleksi (48%), tekan (26%) danmekanisme
hiperekstensi (26%) [66].SCI sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai mekanik
ketegangan dan tekanan yang mana sumsum tulang belakang berada di bawah selama
trauma
adalebih banyak tekanan, regangan dan perpindahan pada ante-permukaan inferior
sumsum tulang belakang daripada di postepermukaan bawah. Dalam fleksi dan ekstensi,
posteriorpermukaan sumsum tulang belakang melihat lebih banyak perpindahan,stres dan
ketegangan dari anterior.

9. Komplit : Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5


Inkomplit :
• Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen sakral S4-
S5
• Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik utama masih
punya kekuatan < 3
• Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama punya
kekuatan > 3
 Normal : Fungsi motorik dan sensorik normal
10.interpretasi x ray:Adanya gambaran sublukasi menandakan perubahan fungsi
fisiologis dari tulang servikal ke-4 dan 5.

11. Dx: traumatic spinal cord injury completeà


Kenapa traumaticà karna kan pada kasus Anton dia kecelakaan yang mana dia mengalami
Cedera sumsum tulang belakang yg traumatis krn dapat berasal dari pukulan mendadak
dan traumatis pada tulang belakang yang mematahkan, terkilir, meremukkan atau
menekan satu atau lebih tulang belakang.
Knp completeà krn semua perasaan (sensorik) dan semua kemampuan untuk mengontrol
gerakan (fungsi motorik) hilang di bawah cedera tulang belakang, sehingga cederanya
disebut lengkap ( complete ).
Prognosis: tergantung pada patologi sumsum tulang belakang dancedera tulang belakang
terkait. Prognosis untuk sumsum tulang belakang transeksi masih sangat buruk. Terkait
kompresi ekstrinsikdisebabkan oleh fragmen tubuh vertebral dan diskus harusdikoreksi
melalui pembedahan. Dalam kasus dengan fraktur mungkin perlufiksasi dan fusi tulang
belakang.
Komplikasi:hipoventilasi,hyperfleksi autoremik,syok

12.x-ray,CT-scan,x-ray spinal,mielography,MRI spinal

13.Terdapat Hubungan antara Kelemahan Otot yang di alami oleh anton tersebut dengan
keluhanya saat ini , dimana kekuatan Otot berhubungan langsung dengan Kemampuan
Otot untuk melawan Gravitasi Serta Beban External ketika terjadinya suatu pergerakan
secara mendadak.

JUMP 4 SKEMA

Gangguan muskuloskeletal

Lesi medulla spinalis Py.neuromuskular

Dystrophia Musculorum
servikal torakal lumbal sacral Progressiva (Duchene)

etiologi

diagnosis
Tatalaksana

Komplikasi dan
prognosis

rujukan

JUMP 5 LO

1. Lesi Medula Spinalis

2. Dystrophia Musculorum Progressiva (Duchene)

3. Penyakit Neuromuscular
JUMP 7

1. Lesi Medula Spinalis


DEFINISI

Trauma medula spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian.

EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medula spinalis dalam setahun di
Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Di Indonesia, insidens trauma
medula spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dengan sekitar 8.000-
10.000 kasus per tahun.2

ETIOLOGI

Trauma medula spinalis dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, luka tembak,
luka bacok, kecelakaan pada olahraga kontak fisik dan menyelam, kecelakaan industri, ledakan
bom dan sebagainya.

KELASIFIKASI

A. Kelasifikasi cedera spinal menurut Holdsworth adalah :

1. Cedera fleksi

Cedera fleksi menyebabkan beban reganggan pada ligamentum posterior dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian corpus vertebra dan mengakibatkan wedge
fracture (Teardrop Fracture) cedera semacam ini lah cedera yang stabil.

2. cedera fleksi-rotasi

Cedera fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang
juga processus articularis dan selanjutnya akan mengakibkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan slice fracture corpus vertebra. Cedera ini adalah cedera
yang paling tidak stabil.
3. Cedera ekstensi

Pada cedera ini biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi di leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi,
maka cedera ini masih tergolong stabil.

4. Cedera kompresi vertikal

Cedera ini mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan
burst fracture.

5. Cedera robek langsung

Cedera ini biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung sehingga salah satu vertebra bergeser. Selain itu juga dapat mengakibatkan
fraktur prosessus artikularis dan ruftur ligamen.

B. Kelasifikasi menurut ASIA (American Spinal Association Injury)

Kelasifikasi ini tingkat keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72 jam
sampai 7 hari setelah trauma.

1) Berdasarkan impairment scale :

Grade Tipe Gangguan medula spinalis

A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai


S4-S5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik, tapi motorik


terganggu sampai segmen sakral S4-S5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi


otot-otot motorik utama masih punya kekuatan <
3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level otot-


otot motorik utama punya kekuatan > 3

E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal.

2) Berdasarkan tipe dan lokasi trauma:


 Complete spinal cord injury (Grade A)

 Unilevel

 Multilevel

 Incomplete spinal cord injury (Grade B,C,D)

 Cervico medullary syndrome

 Central cord syndrome

 Anterior cord syndrome

 Posterior cord syndrome

 Brown sequard syndrome

 Conus medullary syndrome

 Complete cauda equina injury (Grade A)

 Incomplete cauda equaina injury (Grade B,C,D).

PATOGENESIS

Efek trauma terhadap tulang belakang bisa berupa fraktur dan dislokasi. Dislokasi bisa
ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medula spinalis. Medula
spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikutnya :

1) Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi discus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh corpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.

2) Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap peregangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.

4) Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior.3

GEJALA KLINIS

Gejala-gejala trauma medula spinalis bergantung pada komplit atau tidak komplitnya lesi
dan juga dari tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai separuh segmen kiri atau segmen
kanan medula spinalis akan menimbulkan Sindrom Brown Sequard. Hematomieli menimbulkan
gejala-gejala sebagai siringomieli, sedang lesi yang komplit akan menimbulkan paralisis dan
anestesi total di bawah tempat lesi.1

Bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, maka akan mendapatkan paraplegi
dengan gangguan sensibilitas di bawah lesi. Sedang bila lesi komplit itu berada di daerah
servikal maka akan menimbulkan tetraplegi di bawah lesi. Disamping itu akan ada pula
gangguan vegetatif. Lesi di daerah servikal bagian atas yaitu dari C1-C4 merupakan keadaan
yang sangat berbahaya karena timbulnya paralisis pada nervus frenikus.1

Ini akan menyebabkan lumpuhnya otot-otot diafragma sehingga menimbulkan kematian


dengan cepat. Lesi di daerah servikal C8-T1 dapat disertai adanya gejala-gejala Sindrom Horner.
Lesi di daerah konus medularis, disamping konus, sering kali pula kauda equina ikut terkena
sehingga disamping gejala-gejala paraplegi/paraparesis, gangguan sensibilitas dan vegetatif, akan
ada juga tanda lasegue yang positif. Lesi dapat juga hanya mengenai kauda equina sehingga
menimbulkan gangguan gejala-gejala motorik dan sensorik yang bersifat perifer dengan tanda
lasegue yang positif.1

DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis berdasarkan :

 Anamnesis riwayat trauma

 Berdasarkan gejala dan tanda klinis (ASIA scale)


 Gambaran klinis tergantung letak dan luas lesi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Investigasi diagnostik cedera spinal dengan pemeriksaan foto polos vertebra, CT-Scan
(dengan rekonstruksi 3 dimensi) dan MRI, serta ditunjang EMG untuk menetapkan lokasi yang
rusak. CT-Scan berguna untuk menentukan kerusakan kolom elemen-elemen spinal khususnya
disrupsi elemen posterior yang tidak stabil dan burst injury. Foto sagital CT-Scan dapat
menampilkan kerusakan sendi faset. Pemeriksaan MRI pada cedera spinal sangat efektif
terutama untuk menampilkan perdarahan dan kerusakan jaringan lunak selain posisi struktur
tulang.

PENATALKSANAAN

I. Manajemen Pre-Hospital

Perlu diperhatiakan tatalaksana disaat pre-hospital yaitu :

 Stabilisasi manual

 Penanganan imobilitas vertebra dengan kolar leher dan vertebra brace.

II. Manajemen Di Unit Gawat Darurat

Tindakan darurat mengacu pada:

1. A (Airway)

Manjaga jalan nafas tetap lapang

2. B (Breathing)

Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada cedera
medula spinalis, cervikalis atas) dan pemasangan alat bantu nafas.

3. C (Circulation)

Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan antara:


a) Syok hipovolemik. Tindakan : berikan cairanj kristaloid, kalo perlu dengan
koloid.

b) Syok neurogenik. Pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema
paru) maka harus diberikan obat vasopressor :

 Dopamin untuk menjaga MAP > 70

 Bila perlu adrenalin 0,2 mg s.k

 Boleh diulangi 1 jam kemudian

4. Selanjutnya :

 Pasang foley kateter untuk moniter hasil urin dan cegah retensi urin.

 Pasang pipa naso gastrik dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi
dan kepentingan nutrisi enteral.

5. Pemeriksaan umum dan neurologis khusus.

Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis :

 Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan di samping kanan
kiri leher ditaruh bantal pasir.

 Torakal : lakukan fiksasi (brace)

 Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal

6. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium :

 Darah perifer lengkap

 Urin lengkap

 Gula darah sewaktu


 Ureum dan kreatinin

 AGDA

b. Radiologi :

 Foto vertebra posisi AP/L dengan sesuai letak lesi.

 CT-Scan/MRI jika dengan foto konvensional masih meragukan.

c. Pemeriksaan lain

EKG bila terdapat aritmia jantung

7. Pemberian kortikosteroid :

 Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan : methylprednisolon 30


mg/kgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan
methylprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus teus-
menerus methylprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/KgBB/jam.

 Bila 3-8 jam, sama seperti yang diatas hanya infus methylprednisolon dilanjutkan
untuk 47 jam.

 Bila > 8 jam tidak dianjurkan pemberian methylprednisolon.

III. Manajemen Di Ruang Rawat

1. Perawatan umum

 Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan

 Usahakan suhu badan tetap normal

 Jika ada gangguan miksi pasang kateter

2. Pemeriksaan neurofisiologi klinik

3. Medikamentosa
 Lanjutkan pemberian methylprednisolon

 Anti spastisitas otot sesuai keadaan klinis

 Analgetik

 Mencegah dekubitus

 Mencegah trombosis vena dalam dengan stoking kaki khusus atau fisioterapi.

 Mencegah proses sekunder dengan pemberian vitamin C, dan vitamin E.

 Stimulasi sel saraf dengan pemberian GM1-ganglioside dimulai kurun waktu 72


jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari.

 Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.

 Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel.

4. Operasi

1. Waktu operasi

Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan


neurologis, dan komplikasi.

2. Indikasi operatif

 Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis

 Gambaran neurologis progresif memburuk

 Fraktur, dislokasi yang labil

 Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis

Konsultasi ke bagian bedah saraf berdasarkan indikasi.

IV. Neurorehabilitasi
Tujuan :

1. Memberikan penerangan dan pendidikan pada pasien dan keluarga mengenai


medula spinalis.

2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan self care atau latih langsung.

3. Mencegah komorbiditi (kontraktur, dekubitus, infeksi paru dll)

Tindakan :

1. Fisioterapi

2. Terapi okupasi

3. Latihan miksi dan defekasi rutin

Terapi psikologis.

2. Dystrophia Musculorum Progressiva (Duchene)

Distrofi muskular progresif merupakan kelainan berupa kelemahan otot karena degenerasi yang
progresif. Nama lain DMP adalah Duchenne Muscular Dystrophy

Epidemiologi

 Laki-laki lebih sering dari pada wanita (sangat jarang).


 1 : 3.600 bayi laki-laki lahir hidup.

Etiologi

 Diturunkan sebagai gen resesif terkait-X. Kelainan pada kromoson X pada lokus Xp21.
 Mutasi gen pada distropin. Distropin merupakan protein otot. Pada Distropi Ducehne, gen
ini tidak ada. Pada distropi Becker, gen ini mengalami perubahan. Manifestasi klinis
lebih progresif pada Duchene dari pada Becker.

Patofisiolgi
Tidak adanya distrofin (protein pada otot rangka)=> degenerasi serat otot bertahap dengan
karakteristik kelemahan progresif dan pengecilan otot.

Manifestasi Klinis => mulai terlihat saat anak berusia 3 - 5 tahun


Gejala Awal

 Kelemahan tulang panggul : kesulitan berjalan, berlari, dll.


 Keterlambatan perkembangan motorik

Gejala Progresif

 Tanda berjalan abnormal mulai terlihat


 Kemampuan berjalan terhenti saat usia 9 - 12 tahun
 Tanda Gower
 Pseudohipertrofi otot betis
 Masalah jantung
 Penurunan intelektual

Diagnosis

 Munculan manifestasi klinis


 Pemeriksaan Penunjang
o CPK (Creatin Phospokinase) => meningkat
o Biopsi otot => adanya degenerasi otot. Ada penumpukan lemak.
o EKG dan uji paru
o EMG (Elektromiografi) => penurunan amplitudo dan durasi potensial unit
motorik. Miopati. Penurunan aktivitas otot.

Komplikasi

1. Dekompresi jantung dan kardiomiopati


2. Infeksi paru
3. Osteoporosis
4. Obesitas
5. Kontraktur
6. Skoliosis
7. Depresi
Tatalaksana

 Belum ada obat untuk menghentikan progresifitas penyakit ini. Yang ada hanyalah
supportif.
 Perhatikan nutrisi
 Fisioterapi
 Beri penyangga untuk mengurangi skoliosis (Orthosis berupa brace)

Prognosis => terkait progresifnya penyakit ini dan belum ada obatnya => prognosisnya buruk.

Pola Pikir => Bila ada anak 7-12 tahun mengeluh kehilangan kemampuan motorik tanpa adanya
trauma atau penyakit dan penyebab yang jelas sebelumnya => lakukan pemeriksaan dan
anamnesis dengan baik => Pemeriksaan lab (biopsi) => tatalaksana suportif

3.Penyakit Neuromuscular

Myasthenia Gravis

1. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.

2. Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.
Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit
turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta
populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000
kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG
kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam
hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada
usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini
sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria
tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada
kelaziman usia dan jenis kelamin.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika
Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi
Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum
dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling
umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria.
Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria
lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya tanda-tanda biasanya
setelah usia 50.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu
yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah
sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah
kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama.

3. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita
acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia
timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subKelas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya
transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan
untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

4. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi
pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia gravis antara lain4,5 :
 Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu gejala
kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita
sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah,
pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara.
Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

5. Kelasifikasi Miastenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diKelasifikasikan sebagai berikut:
a. Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan
otot-otot lain normal.
b. Kelas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada
otot-otot lain selain otot okular.
c. Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan
otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Kelas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan Kelas IIa.
e. Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Kelas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Kelas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan.
Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam
derajat ringan.
h. Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Kelas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Kelas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan.
Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan
intubasi.
k. Kelas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak
pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan
tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

6. Diagnosis Miastenia Gravis


a. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis.
Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara
penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis
akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat
terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum.
Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk
menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-
otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher.
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan
otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering
mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami
kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada
ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi panggul, serta
melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-
jari kaki.
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat
diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot
faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada
otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat
penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus
lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata
yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.

b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti


1. Pemeriksaan Laboratorium
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody
 Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam
usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40
tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.
 Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan
miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan
suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.
2. Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
c. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain :
- Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa
penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
 Paralisis pasca difteri
 Pseudoptosis pada trachoma
 Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.

 Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)


Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal
suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada
membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal,
sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak
mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

7. Penatalaksanaan
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara
dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0
mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan
IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian
propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari
bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga
dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena
neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini
dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping
tersebut.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan
azatioprin sangat dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis
bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi
kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian
ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya
untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada
penanganan kasus kronik.

Anda mungkin juga menyukai