Anton 14 tahun mengalami tabrakan mobil dengan mobil dari belakang. Mobil Anton sengaja
dilepas sandaran kepala biar kelihatan keren dan modif. Saat tabrakan terjadi leher Anton
tertekuk ke belakang dan pingsan. Anton dilarikan ke RSUCM, saat tiba di IGD Anton tersadar
dan tidak bisa merasakan serta tidak bisa menggerakkan kedua tangan dan kakinya, dia pun sulit
untuk bernafas. Saturasi O₂ semakin menurun dan membaik setelah diberikan oksigen. Dari
pemeriksaan penunjang x-ray cervical AP/Lateral didapatkan subluksasi cervival C4-C5. Ibu
Anton merasa sangat khawatir karena anaknya sudah mengalami kelemahan otot dan kaki
sebelumnya semenjak penggunaan obat kortikosteroid yang lama karena penyakit lain yang
dialaminya. Bagaimana anda menjelaskan kasus diatas?
JUMP 1 TERMINOLOGI
1.miopati :perubahan anatomis dan biokimia dari serabut bagian otot tidak normal sebagai mana
mestinya sehingga mengalami kelemahan pada otot
2.saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri,
saturasi oksigen normal adalah antara 95 – 100 %.
3.subluksasi adalah lesi atau disfungsi dalam sebuah sendi atau segmen gerakan dimana
keterkaitan, integritas gerakan dan/atau fungsi fisiologis berubah, meskipun kontak antara
permukaan sendi tetap utuh.
1. Mengapa Pada Saat Terjadinya Kecelakaan yang di alami oleh Anton tersebut ketika terjadi
,leher tertekuk yang menyebabkan Anton pingsan
2.mengapa pada saat kecelakaan pada anton ditandai tidak dapat menggerakkan tangan dan
kakinya dan kesulitan bernafas?
13. Bagaimana Hubungan antara Riwayat Kelemahan Otot yang di alami Oleh Anton
terdahulu,dengan kondisi nya saat ini
JUMP 3 HIPOTESA
1. dikarenakan pergerakan mendadak yang menyebabkan tendon dan lig.di sekitar leher
anton tersebut meregang sehingga terjadi perubahan aliran o2 menuju otak anton tersebut
dan menimbulkan gejala berupa pingsan dan tidak sadarkan diri.
2. Anton mengalami tetraplegia ( Quadriplegia ) yang mana menyebabkan Anton
mengalami kelumpuhan pada keempat anggota gerak atau kedua tangan dan kedua kaki.
Kondisi ini disebabkan oleh penyakit ataupun cedera pada otak maupun saraf tulang
belakang. Gejala utama dari penyakit ini adalah ketidakmampuan secara fisik motorik
untuk melakukan gerakan tubuh. Hal itu menyebabkan pengidapnya mungkin
membutuhkan bantuan dalam beraktivitas, latihan dengan pola tertentu, serta fasilitas
pendukung lainnya. Kondisi ini juga bisa terjadi pada anak-anak. Quadriplegia yang
menyerang anak sering menyebabkan gejala berupa gangguan perkembangan fungsional,
kesulitan belajar, gangguan emosional, serta kelainan berbicara dan berbahasa.Sulit
bernafas krna pada saat kecelakaan itu bagian leher Anton mengalami cedera sehingga
mmbuat ia sulit utk bernafas.
Penyempitan pada foramen intervertebralis mengakibatkan adanya kompresi pada akar
saraf sehingga menimbulkan nyeri. Nyeri juga dapat terjadi karena adanya iritasi oleh
osteofit dan spasme pada otot–otot para cervical. Rasa nyeri dan keluhan lain yang timbul
akibat proses degenerasi akan menimbulkan gangguan fungsi dan keterbatasan pada
semua gerakan cervical yaitu gerak : fleksi, ekstensi, lateral fleksi kiri dan kanan serta
rotasi kiri dan kanan. Gangguan gerak dan fungsi tersebut disebabkan karena adanya rasa
nyeri, dan mengakibatkan seseorang enggan menggerakkan lehernya, sehingga terjadi
immobilisasi. Immobilisasi yang lama akan menyebabkan timbulnya kekakuan dan
keterbatasan gerak.
•usia rata-rata pasien telah meningkat waktu; dan tingkat servikal atas saat ini yang paling
sering terkena. Laporan statistic dari pusat trauma regional di Kanada menunjukkan
bahwa kecelakaan kendaraan menyumbang 71% insidendari CSCI; 66% pasien CSCI
adalah laki-laki; 75% adalahdi bawah 50 tahun; dan yang paling umum.
•Tingkat cedera tulang belakang adalah C2 (27%) diikuti oleh C5 (22%). Tingkat cedera
tulang belakang pada individu berbeda antara penumpang kursi depan dan belakang
dalam kecelakaan kendaraan. Sebuah studi epidemiologi tentangcedera tulang belakang
traumatis (TSCI) di Spanyol berakhir periode 20 tahun (1995-2014) melaporkan total
1.195 pasien dengan TSCI, 76,4% di antaranya adalah laki-lakidan 23,6% perempuan.
Usia rata-rata pasien adalah5 0,2 tahun. Kecelakaan lalu lintas menyumbang 37%
darisemua cedera TSCI. Usia rata-rata pasien meningkat secara signifikan dari waktu ke
waktu (dari 46,4 hingga 56,54 tahun).Tingkat neurologis yang paling sering terkena
adalah tingkat servikal (54,9%), meningkat dikasus tingkat C1 – C4 dari waktu ke waktu.
6.efek samping:
Penumpukan lemak di pipi (moon face)
Rentan terkena infeksi
Meningkatnya tekanan darah atau hipertensi
Meningkatnya kadar gula darah
Mempercepat timbulnya katarak
Tukak (ulkus) pada lambung atau duodenum
Masalah kulit
Pelemahan fungsi otot
Perubahan mood dan perilaku.
Gangguan metabolisme karbohidrat menyebabkan hiperglikemia dankadang-kadang diabetes.
Hilangnya protein dari otot skelet menyebabkanpengurangan massa dan kelemahan otot. Hal ini
tidak dapat diatasi olehprotein dari makanan karena sintesis protein dihambat.
8.Mekanisme tersering pada cedera medula spinalis ialah gaya translasional tidak
langsung pada vertebra seperti hiperekstensi dan fleksi-rotasi (paling tidak stabil)
mendadak yang mengakibatkan cedera medula spinalis. Cedera juga dapat diakibatkan
oleh kompresi langsung pada medula spinalis. Pada beberapa kasus, terutama yang
berusia muda (< 8 tahun ), dpt terjadi cedera medspin tanpa kerusakan tulang atau
struktur disekitarnya.
Sumsum tulang belakang berjalan di dalam kanal vertebralis dibentuk oleh bagian
belakang tulang belakang. Tiga puluh-satu pasang saraf bercabang dari sumsum tulang
belakang melalui tulang belakang, membawa pesan di antaranya otak dan setiap bagian
tubuh lainnya. SCI terjadi saat patah tulang, dislokasi atau leher lainnya cedera merusak
sumsum tulang belakang.
bahwa penyebab cedera paling umumadalah fleksi (48%), tekan (26%) danmekanisme
hiperekstensi (26%) [66].SCI sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai mekanik
ketegangan dan tekanan yang mana sumsum tulang belakang berada di bawah selama
trauma
adalebih banyak tekanan, regangan dan perpindahan pada ante-permukaan inferior
sumsum tulang belakang daripada di postepermukaan bawah. Dalam fleksi dan ekstensi,
posteriorpermukaan sumsum tulang belakang melihat lebih banyak perpindahan,stres dan
ketegangan dari anterior.
13.Terdapat Hubungan antara Kelemahan Otot yang di alami oleh anton tersebut dengan
keluhanya saat ini , dimana kekuatan Otot berhubungan langsung dengan Kemampuan
Otot untuk melawan Gravitasi Serta Beban External ketika terjadinya suatu pergerakan
secara mendadak.
JUMP 4 SKEMA
Gangguan muskuloskeletal
Dystrophia Musculorum
servikal torakal lumbal sacral Progressiva (Duchene)
etiologi
diagnosis
Tatalaksana
Komplikasi dan
prognosis
rujukan
JUMP 5 LO
3. Penyakit Neuromuscular
JUMP 7
Trauma medula spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi di
medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian.
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medula spinalis dalam setahun di
Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Di Indonesia, insidens trauma
medula spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta penduduk per tahun, dengan sekitar 8.000-
10.000 kasus per tahun.2
ETIOLOGI
Trauma medula spinalis dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, luka tembak,
luka bacok, kecelakaan pada olahraga kontak fisik dan menyelam, kecelakaan industri, ledakan
bom dan sebagainya.
KELASIFIKASI
1. Cedera fleksi
Cedera fleksi menyebabkan beban reganggan pada ligamentum posterior dan selanjutnya
dapat menimbulkan kompresi pada bagian corpus vertebra dan mengakibatkan wedge
fracture (Teardrop Fracture) cedera semacam ini lah cedera yang stabil.
2. cedera fleksi-rotasi
Cedera fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera pada ligamentum posterior dan kadang
juga processus articularis dan selanjutnya akan mengakibkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan slice fracture corpus vertebra. Cedera ini adalah cedera
yang paling tidak stabil.
3. Cedera ekstensi
Pada cedera ini biasanya merusak ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan
herniasi diskus. Biasanya terjadi di leher. Selama kolum vertebra dalam posisi fleksi,
maka cedera ini masih tergolong stabil.
Cedera ini mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat menimbulkan
burst fracture.
Cedera ini biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung sehingga salah satu vertebra bergeser. Selain itu juga dapat mengakibatkan
fraktur prosessus artikularis dan ruftur ligamen.
Kelasifikasi ini tingkat keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat 72 jam
sampai 7 hari setelah trauma.
Unilevel
Multilevel
PATOGENESIS
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa berupa fraktur dan dislokasi. Dislokasi bisa
ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang
belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medula spinalis. Medula
spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikutnya :
1) Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi discus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh corpus vertebra
yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap peregangan akan menurun
dengan bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior.3
GEJALA KLINIS
Gejala-gejala trauma medula spinalis bergantung pada komplit atau tidak komplitnya lesi
dan juga dari tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai separuh segmen kiri atau segmen
kanan medula spinalis akan menimbulkan Sindrom Brown Sequard. Hematomieli menimbulkan
gejala-gejala sebagai siringomieli, sedang lesi yang komplit akan menimbulkan paralisis dan
anestesi total di bawah tempat lesi.1
Bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, maka akan mendapatkan paraplegi
dengan gangguan sensibilitas di bawah lesi. Sedang bila lesi komplit itu berada di daerah
servikal maka akan menimbulkan tetraplegi di bawah lesi. Disamping itu akan ada pula
gangguan vegetatif. Lesi di daerah servikal bagian atas yaitu dari C1-C4 merupakan keadaan
yang sangat berbahaya karena timbulnya paralisis pada nervus frenikus.1
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Investigasi diagnostik cedera spinal dengan pemeriksaan foto polos vertebra, CT-Scan
(dengan rekonstruksi 3 dimensi) dan MRI, serta ditunjang EMG untuk menetapkan lokasi yang
rusak. CT-Scan berguna untuk menentukan kerusakan kolom elemen-elemen spinal khususnya
disrupsi elemen posterior yang tidak stabil dan burst injury. Foto sagital CT-Scan dapat
menampilkan kerusakan sendi faset. Pemeriksaan MRI pada cedera spinal sangat efektif
terutama untuk menampilkan perdarahan dan kerusakan jaringan lunak selain posisi struktur
tulang.
PENATALKSANAAN
I. Manajemen Pre-Hospital
Stabilisasi manual
1. A (Airway)
2. B (Breathing)
Mengatasi gangguan pernafasan, kalau perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada cedera
medula spinalis, cervikalis atas) dan pemasangan alat bantu nafas.
3. C (Circulation)
b) Syok neurogenik. Pemberian cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema
paru) maka harus diberikan obat vasopressor :
4. Selanjutnya :
Pasang foley kateter untuk moniter hasil urin dan cegah retensi urin.
Pasang pipa naso gastrik dengan tujuan untuk dekompresi lambung pada distensi
dan kepentingan nutrisi enteral.
Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan di samping kanan
kiri leher ditaruh bantal pasir.
6. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium :
Urin lengkap
AGDA
b. Radiologi :
c. Pemeriksaan lain
7. Pemberian kortikosteroid :
Bila 3-8 jam, sama seperti yang diatas hanya infus methylprednisolon dilanjutkan
untuk 47 jam.
1. Perawatan umum
3. Medikamentosa
Lanjutkan pemberian methylprednisolon
Analgetik
Mencegah dekubitus
Mencegah trombosis vena dalam dengan stoking kaki khusus atau fisioterapi.
Terapi obat lain sesuai indikasi seperti antibiotik bila ada infeksi.
4. Operasi
1. Waktu operasi
2. Indikasi operatif
IV. Neurorehabilitasi
Tujuan :
Tindakan :
1. Fisioterapi
2. Terapi okupasi
Terapi psikologis.
Distrofi muskular progresif merupakan kelainan berupa kelemahan otot karena degenerasi yang
progresif. Nama lain DMP adalah Duchenne Muscular Dystrophy
Epidemiologi
Etiologi
Diturunkan sebagai gen resesif terkait-X. Kelainan pada kromoson X pada lokus Xp21.
Mutasi gen pada distropin. Distropin merupakan protein otot. Pada Distropi Ducehne, gen
ini tidak ada. Pada distropi Becker, gen ini mengalami perubahan. Manifestasi klinis
lebih progresif pada Duchene dari pada Becker.
Patofisiolgi
Tidak adanya distrofin (protein pada otot rangka)=> degenerasi serat otot bertahap dengan
karakteristik kelemahan progresif dan pengecilan otot.
Gejala Progresif
Diagnosis
Komplikasi
Belum ada obat untuk menghentikan progresifitas penyakit ini. Yang ada hanyalah
supportif.
Perhatikan nutrisi
Fisioterapi
Beri penyangga untuk mengurangi skoliosis (Orthosis berupa brace)
Prognosis => terkait progresifnya penyakit ini dan belum ada obatnya => prognosisnya buruk.
Pola Pikir => Bila ada anak 7-12 tahun mengeluh kehilangan kemampuan motorik tanpa adanya
trauma atau penyakit dan penyebab yang jelas sebelumnya => lakukan pemeriksaan dan
anamnesis dengan baik => Pemeriksaan lab (biopsi) => tatalaksana suportif
3.Penyakit Neuromuscular
Myasthenia Gravis
1. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.
2. Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.
Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit
turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta
populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000
kasus. MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG
kelihatannya menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam
hubungan keluarga. Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada
usia < 40 tahun, 70 % nya adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini
sering disimpulkan dengan menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria
tua. Pada pasien yang mengalami MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada
kelaziman usia dan jenis kelamin.
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika
Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi
Myasthenia Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum
dipelajari, terlihat bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling
umum terserang adalah pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria.
Berdasarkan populasi umur, rata-rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria
lebih sering terserang dibanding wanita, dan permulaan munculnya tanda-tanda biasanya
setelah usia 50.
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu
yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah
sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah
kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama.
3. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang
memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita
acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia
timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subKelas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya
transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan
untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
4. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi
pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis miastenia gravis antara lain4,5 :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu gejala
kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7. Kelemahan otot
bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas4.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita
sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah,
pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara.
Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
7. Penatalaksanaan
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin
metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara
dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0
mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga
asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan
IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian
propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari
bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga
dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena
neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini
dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping
tersebut.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan
azatioprin sangat dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa
hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan
fisioterapi dan antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis
bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi
kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian
ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di
rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya
untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada
penanganan kasus kronik.