Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Terdapat korelasi antara level cedera dengan morbiditas dan mortalitas, dimana semakin tinggi level cedera, semakin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Disabilitas akibat trauma harus diterima oleh pasien dan keluarga. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang bersifat irreversible, karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan saraf pusat yang tidak bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf tepi memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Tata laksana pasien dengan cedera saraf tulang belakang sangat kompleks, mulai penanganan prarumah sakit yang memadai, standar proteksi tulang belakang sesuai ATLS (advanced trauma life support), diagnosis dini, menjaga fungsi medula spinalis, dan pemeliharaan aligment serta stabilitas tulang belakang merupakan keberhasilan dari manajemen (Mahadewa, 2009; Japardi, 2002). Sekitar 5-10% pasien tidak sadar yang datang ke ruang gawat darurat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh, disertai dengan trauma tulang belakang servikal. Fraktur tulang belakang servikal 1/3nya terjadi pada level C2 dan 1/2nya terjadi pada level C6 atau C7. Fraktur servikal yang fatal, sering terjadi pada level servikal yang lebih tinggi, pada craniocervical junction C1 atau C2. (Davenport, 2009) Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas secara umum tentang imobilisasi fraktur servikal.

BAB II IMOBILISASI FRAKTUR CERVICAL

2.1. Anatomi vertebra servikalis Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra pertama dari tulang belakang yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis. Dimulai dari bagian bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak. Vertebra servikal terdiri dari C1 sampai C7, sedangkan nervus servikalis terdiri dari C1 sampai C8. Tulang servikal berbentuk C terbalik (lordotic view) dan lebih mobile dari tulang belakang di daerah torakal dan lumbal. Vertebra servikalis selain berfungsi melindungi medula spinalis dari kerusakan, juga menyangga kepala, dan menggerakan kepala rotasi, ke depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang belakang yang lain, dalam tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang mensuplai darah ke otak, yang hanya melalui vertebra C1 sampai C6 (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009). Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis (C2), berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus anterior yang tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses dan tidak memiliki korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki perbedaan secara anatomis, tetapi secara umum tulang vertebra terdiri atas bagian anterior yang disebut korpus dan bagian posterior yang disebut arkus vertebra. Keduanya membentuk foramen vertebrae yang dilalui medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang pedicle yang

membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang melengkapi arkus dibagian belakang (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009). Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung luar, annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus. Diskus ini berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan pergerakan antara korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat diantara tulang yang disebut ligament longitudinal. Ligamen longitudinal anterior berjalan di depan korpus vertebra dan ligamen longitudinal posterior berada di posterior korpus vertebra, di depan medula spinalis (Anonim, 2010).

2.2. Patofisiologi Cedera servikal dapat berupa dislokasi atlanto occipital, dislokasi atlanto aksial, fraktur atlas (C1), fraktur aksis (fraktur Hangmans, fraktur odontoid), fraktur subaksial (C3 C7), fraktur Clay Shoveler. Keterlibatan dari medula spinalis disebabkan adanya cedera mekanis primer, dapat berupa kompresi, penetrasi, laserasi, atau distraksi. Cedera primer kemudian diikuti cedera sekunder yaitu hilangnya autoregulasi, adanya vasospasme, perdarahan, perubahan permeabilitas, edema, perubahan elektrolit, perubahan biokimia termasuk neurotransmiter. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan aksonal dan kematian sel. Iskemi medula spinalis

mendasari adanya defisit neurologis, yang berhubungan dengan perubahan vaskular sistemik atau lokal setelah trauma (Anonim, 2001(a)). Gangguan sistem respirasi dan disfungsi paru sering terjadi pada pasien dengan fraktur servikal. Gangguan yang berat dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, kapasitas inspirasi, dan relatif hipoksemia. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia global dan memperberat iskemi pada medula spinalis setelah trauma akut. Ini menunjukkan deteksi dini disfungsi ventilasi dan jantung diperlukan, sehingga pasien perlu perawatan intensif (intensiv care unit) serta monitoring terhadap fungsi paru dan jantung. Suatu studi melaporkan 62% pasien dengan fraktur servikal yang dirawat di ICU memiliki outcome yang baik (Anonim, 2001(a); Crosby, 2006).

2.3. Diagnosis fraktur servikal Fraktur servikal selalu dipikirkan terjadi pada pasien dengan riwayat kecelakaan dengan kendaraan bermotor kecepatan tinggi, trauma pada wajah dan kepala yang signifikan, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma multipel. Gambaran umum adanya fraktur servikal dapat berupa nyeri pada palpasi dari prosesus spinosus di leher posterior, terbatasnya gerakan yang disertai nyeri, adanya kelemahan ekstremitas, rasa kebas, parestesi pada saraf yang terkena. Sulit untuk mengevaluasi secara klinis adanya trauma tumpul servikal. Dari penelitian, kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal berdasarkan pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%, dan 33% pasien yang tidak

terdiagnosis. Karena keterbatasan dan besarnya morbiditas jangka panjang bila trauma tidak terdiagnosis, pasien dengan trauma tumpul yang komplek dilakukan pemeriksaan radiologi, sampai dieksklusi adanya trauma servikal. Tidak terdiagnosisnya trauma servikal dapat

disebabkan karena tidak dicurigai adanya trauma servikal, gambaran radiologi yang tidak adekuat, dan interpretasi radiologi yang salah. (Mahadewa, 2009; Davenport, 2009 ;Brohi, 2002). Adanya trauma servikal dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik berupa : spinal shock (paresis flaksid, areflexia, hilangnya tonus sfingter anus, inkontinensia alvi, priapismus),

neurogenic shock (hipotensi, bradikardi paradoksikal, flushed, kering dan hangat pada kulit), disfungsi otonom (ileus, retensi urin, poikilotermi). Trauma servikal yang mengenai medula spinalis dapat berupa lesi yang komplit atau inkomplit (Davenport, 2009; Kirshblum et al, 2004). Pemeriksaan radiologi diperlukan pada pasien dengan defisit neurologis yang konsisten dengan lesi medula spinalis, pasien dengan perubahan kesadaran karena trauma kepala atau intoksikasi, pasien dengan keluhan nyeri leher, pasien tanpa keluhan nyeri leher tetapi dengan trauma signifikan disekitarnya. Pemeriksaan radiologis standar yang dilakukan adalah rontgen servikal anteroposterior, cross-table lateral, open-mouth odontoid view, bila diperlukan rontgen servikal swimmers, dan bilateral oblique (Davenport, 2009; Brohi, 2002; Cohen, 1997)

2.4. Manajemen fraktur servikal 2.4.1. Penatalaksanaan awal Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma, sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum ATLS (advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary survey ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding, disability and environment). Bila airway tidak adekuat, perlu dilakukan intubasi

tanpa menggerakkan kepala (C-spine protection). Evaluasi dan assesment berulang diperlukan pada pasien dengan trauma kepala dan karena pasien dengan kesadaran menurun tidak dapat mengetahui adanya nyeri pada leher. Bila stabil dilanjutkan ke secondary survey (head to toe examination) (Foster, 2009; Mahadewa, 2009; Anonim, 2001(b)). Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat kejadian. Perhatian utama selama penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan fungsi neurologi karena gerakan yang patologis (trauma). Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula spinalis terjadi saat awal

trauma saat transit atau pada saat penatalaksanaannya. Telah dilaporkan beberapa kasus dengan outcome yang buruk karena kesalahan penanganan cedera servikal (Anonim, 2001(b)). Stabilisasi tulang belakang manajemen hemodinamik dan gangguan otonom sangat

penting pada trauma akut. Prinsip khusus penatalaksanaan cedera servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi, dan fiksasi tulang belakang sesuai indikasi. Semua pasien dengan cedera servikal atau yang potensial untuk cedera servikal, harus dilakukan imobilisasi sampai dieksklusi adanya trauma servikal. Bila terdapat kecurigaan trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau dengan collar. Beberapa alat yang direkomendasikan American College of Surgeons dapat digunakan untuk imobilisasi pre-hospital adalah hard backboard, rigid cervical collar, dan pita pengikat. Imobilisasi ini dapat mengurangi gerakan sehingga menurunkan morbiditas, karena gerakan patologis (trauma) pada servikal menyebabkan kerusakan pada medula spinalis atau radiks saraf. Teknik imobilisasi dan penanganan pasien pre-hospital yaitu tulang belakang harus dilindungi selama manajemen pasien dengan trauma multipel. Prinsip dasar pengelolaan cedera spinal adalah dengan melakukan proteksi sepanjang columna vertebralis agar tidak terjadi gerakan baik fleksi, ekstensi, rotasi maupun lateral bending. Proteksi spinal yang dilakukan adalah dengan memasang semi rigid servikal collar dan memfiksasi penderita pada long spine board. Yang perlu diperhatikan pada prosedur proteksi spinal ini adalah sesegera mungkin melakukan upaya menegakkan diagnosis ada tidaknya cedera spinal. Prinsip umum yaitu pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera spinal, mencegah terjadinya cedera kedua, waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang, lakukan evaluasi dan rehabilitasi. Tindaka yang dilakukan yaitu adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan), optimaliasi faal ABC : jalan napas,pernapasan dan perderan darah, penanganan kelainan yang lebih urgen (pneumotoraks), pemerikasaan neurologis untuk menentukan tempat lesi, pemeriksaan radiologis (kadang diperlukan), tindak bedah (dekompresi,reposisi dan stabilisasi), pencegahan penyulit : ileus paralitik di sonde lambung, penyulit kelumpuhan kandung kemih -> kateter, Pneumonia, Dekubitus

Posisi ideal adalah imobilisasi seluruh tulang belakang posisi netral dengan permukaan yang keras. Dapat dilakukan secara manual, servikal collar semi rigid, side head support dan pengikat. Pindahkan pasien secara hati-hati menggunakan logroll technique untuk mencegah displacement ke arah lateral. Papan spine direkomendasikan, juga dapat digunakan bantal, head blocks. Traksi untuk mendapatkan dan mempertahankan alignment yang baik, imobilisasi eksternal untuk stabilisasi sementara dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera sekunder (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009; Anonim, 2001(b)) Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi gastrointestinal (ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection, hidronefrosis), dermatologi (dekubitus), dan

muskuloskeletal (fraktur, nyeri akut dan kronis). (Gondim, 2009).

2.4.2. Traksi dan imobilisasi Pada fraktur sevikal dengan malalignment, sebelum terapi definitif, dilakukan pemasangan servikal traksi dengan Crutchfield traction atau Halo Tong Traction dengan beban sesuai dengan level kerusakan segmen servikalnya. Halo vest sering digunakan sebagai alat definitf eksternal fiksasi untuk cedera spinal servikal. Philadelphia collar bersifat semi rigid, sintetik foam brace dimana pada dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-j collar bersifat lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran. Brace yang adekuat melakukan imobilisasi adalah Thermoplastic Minnerva Body Jacket (TMBJ) dan halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih nyaman dibandingkan halo vest, sedangkan halo vest lebih baik membatasi rotasi. Pasien cedera servikal diberikan imobilisasi untuk mencegah penekanan medula spinalis lebih lanjut (Mahadewa, 2009)

Traksi Servikal Ada dua macam traksi servikal yaitu traksi memakai pita kulit lebar yang disarungkan di dagu oksipit (biasanya untuk stabilisasi sementara) yang disebut Halter traction dan traksi skeletal yang dipasang pada tulang tengkorak. Beban traksi yang diberikan sebaiknya jangan melebihi 5 kg untuk maksmal waktu dua jam. Traksi skeletal dipasang di tengkorak pada lokasi di atas telinga, pada titik di atas garis yang ditarik dari prosesus mastoid ke meatus audiotorius eksternal. Pemasangan

pada lokasi yang lebih anterior akan membuat traksi leher menjadi lebih ekstensi, sedangkan lokasi yang lebih posterior akan menjadikan traksi leher yang fleksi. Pedoman umum yang dipakai untuk menentukan berat bebantraksi pada awalnya adalah 2,5 kg per vertebra mulai dari basis sampai dengna lokasi cedera. Namun biar bagaimanapun, pemasangan traksi ini harus dipantau ketat melalui pemeriksaan klinis neurologis dan radiologis. Kadang perlu pula diberikan obat penenang ringan seperti diazepam dan atau analgetika selama pemasangan traksi. 7

Fiksasi Jaket Halo Pada prinsipnya system fiksasi jaket ini terdiri dari suatu cincin (HALO) logam yang berpaku untuk fiksasi pada tengkorak, jaket plastic dan batang logam penghubung antara jaket dan halo yang dapat diatur tingginya. Biasanya jaket ini dipasang untuk menggantikan traksi skeletal yang sebelumnya telah dipasang. Penanganan operatif pada cedera spinal terutama ditujukan untuk stabilisasi yaitu dengan prosedur instrumentasi dengan memakai berbagai bahan. Atang logam Luque yang diikat dengan kawat sublaminer adalah salah satu instrument yang sering dipergunakan untuk fiksasi segmental. Teknik fiksasi dengan menggunakan berbagai bentuk plat cenderung menjadi popular. Fiksasi segmental dari posterior kebanyakan diterapkan dengna memakai sekrup pedikel, plat atau batang logam

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM.Sinopsis Ilmu Bedah Saraf : Trauma Spinal. Sagung Seto.Jakarta : 2011. Hal 31-42 2. Schwartz.intisari Prinsip-prinsip Ilmu bedah edisi 6.penerbit buku kedokteran EGC.1995.hal 626-630 3. De Jong,Wim. Buku ajar Ilmu bedah edisi 2. Cedera tulang belakang dan sumsum tulang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2005. Hal 822 4. Hughes,Irvene. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) edisi 8. Trauma tulang belakang dan medulla spinalis. Americam College of surgeons. Chicago : 2008. Hal 185 - 202 5. Anonim. Fraktur Cervical. Last updated 5-09-2008. http://www.Dislokasiinterfasetal-bilateral.html. Download at 01-05-2012 6. Moira Davinport. Fracture cervical spine. Last updated 30-04-2010. http://www.82340-overview.htm. Download at 01-05-2012 7. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Cedera Spinal. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta : 2010. Hal 393 - 403

Anda mungkin juga menyukai