Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PREPRAKTIKUM SPASMOLITIKA

Nama : Yohanes Edward Gadi Paramaputra


NIM : 19/440000/KU/21303
Kelompok : 2
Topik : Spasmolytics

SOAL PRAKTIKUM SPASMOLITIKA

1. Sebutkan spasmolitika yang digunakan dalam praktikum ini serta mekanisme kerjanya.

Obat spasmolitika yang digunakan pada praktikum kali ini ialah atropine sulphate. Sebagai
muscarinic receptor antagonist, atropine sulphate ini bekerja dengan mencegah efek Acetylcholine
(Ach) dengan memblokir pengikatannya ke reseptor muskarinik (khususnya pada orthosteric ACh
site) pada sel-sel efektor di neuroeffector junctions parasimpatis (dan kolinergik simpatis) di ganglia
perifer maupun system saraf pusat (CNS); Atropin tersebar luas di dalam tubuh dan level signifikan
dicapai pada system saraf pusat dalam waktu 30 menit-1 jam, dengan begitu dapat membatasi
dosis yang dapat ditoleransi pasien saat obat dikonsumsi untuk efek perifernya; Secara umum,
muscarinic antagonists menyebabkan sedikit blokade reseptor nikotinik;
Antagonisme oleh atropin ini bersifat kompetitif (menghasilkan reversible blockade dari aksi
cholinomimetic pada receptor muscarinic), yang berarti dapat diatasi oleh ACh jika konsentrasi ACh
pada reseptor muskarinik ini ditingkatkan; Walaupun menghambat aksi asetilkolin atau rangsangan
kolinergik lainnya secara kompetitif pada efektor otonom yang dipersarafi oleh saraf cholinergic
postganglionik, dan pada tingkat yang lebih rendah pada otot polos yang kekurangan persarafan
kolinergik; Namun muscarinic receptor antagonist ini kurang efektif dalam menginhibisi respons
terhadap stimulasi saraf cholinergic postganglionik daripada menghambat respons terhadap
choline ester yang diinjeksikan; Perbedaan tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pelepasan
ACh oleh terminal saraf kolinergik terjadi di dekat reseptor, mengakibatkan konsentrasi transmitter
yang sangat tinggi di reseptor;
Ketika atropin berikatan dengan reseptor muskarinik, ia akan mencegah pelepasan inositol
trisphosphate (IP3) dan penghambatan adenylyl cyclase yang disebabkan oleh agonist muskarinik;
Efektivitas atropine ini bervariasi dengan jaringan dan sumber agonis; Jaringan yang paling sensitif
terhadap atropin adalah glandula salivary, bronchial, dan keringat; Sedangkan sekresi asam
lambung oleh sel parietal gaster merupakan jaringan yang paling tidak sensitif;
Atropin sangat selektif untuk reseptor muskarinik; Namun perlu diketahui bahwa atropin
tidak membedakan antara subkelompok M1, M2, dan M3 dari reseptor muskarinik; Potensinya
pada reseptor nikotinik jauh lebih rendah, dan aksi pada reseptor non-muskarinik umumnya tidak
terdeteksi secara klinis; Atropin pada autonomic ganglia akan memblok kolinergik parsial pada
dosis yang relatif tinggi, karena pada autonomic ganglia transmisi cholinergic melibatkan receptor
nicotinic; Sedangkan pada neuromuscular junction, di mana reseptor kolinergik utamanya atau
secara eksklusif adalah nikotinik, hanya atropin dalam dosis tinggi yang akan menghasilkan tingkat
blokade apapun;
Tambahan informasi, dosis kecil atropin akan menekan sekresi saliva dan bronkial serta
berkeringat; Dengan dosis yang lebih besar, muncul efek dilatasi pupil, akomodasi lensa untuk
penglihatan dekat terhambat, dan efek vagal pada jantung
terblokir sehingga detak jantung meningkat; Dosis yang
lebih besar akan meng-antagoniskan kontrol parasimpatis
dari vesica urinaria dan saluran gastrointestinal (GI), dengan
kata lain dapat menghambat miksi (buang air kecil) dan
menurunkan tonus serta motilitas usus; Tetap diperlukan
dosis yang lebih besar untuk dapat menghambat motilitas
gastric, terutama sekresinya; Bisa dikatakan atropine yang
digunakan untuk menekan sekresi lambung juga hampir
selalu mempengaruhi sekresi saliva, akomodasi mata,
mikturisi, dan motilitas GI (United States Department of
Health and Human Service, 2020;Katzung, 2018; Luellman et
al., 2017; Brunton et al., 2017).

2. Sebutkan spasmolitika yang bekerja langsung di usus dan mekanisme kerjanya.

a. Alverine citrate adalah obat antispasmodik yang menghambat uptake kalsium dan modulasi
aktivitas otot polos; Studi yang dilakukan Annaházi et al. (2014) pada kucing yang diberi anastesi
menunjukkan bahwa alverine bekerja pada ujung sensorik vagal dari saluran gastrointestinal (GI),
dimana ia menurunkan respon mechanoreceptors terhadap rangsangan mekanis dan kimia; Karena
baik respons yang diinduksi secara kimiawi (respon mekanoreseptor) maupun kontraksi otot polos
bergantung pada kalsium, penurunan sensitivitas kimiawi dan relaksasi otot polos dapat dijelaskan
dengan berkurangnya influx kalsium; Alverine citrate ini menekan durasi kontraksi spontan usus,
mencegah iskemia lokal dan nyeri reflektor di dinding kolon yang ditimbulkan oleh "spasme";
Selain itu, juga telah dicatat bahwa alverin dapat meningkatkan masuknya kalsium selama
potensial aksi dengan menghambat inaktivasi saluran kalsium, tetapi mengurangi sensitivitas
protein kontraktil terhadap kalsium, akibatnya menekan aktivitas otot yang ditimbulkan (Annaházi
et al., 2014).

b. Mebeverine bisa dikatakan sebagai agen musculotropic yang secara potent memblokir peristalsis
intestinal (Annaházi et al., 2014); Mebeverine pada dasarnya merupakan turunan beta-
phenyletylamine dari reserpin yang memiliki efek relatif spesifik pada sel otot polos, tanpa memiliki
efek samping seperti atropine pada manusia; Obat ini secara langsung memblokir voltage-
operated channel natrium dan menghambat akumulasi kalsium intraseluler; Ditemukan
mebeverine ini tiga kali lebih kuat daripada papaverine dalam menghambat refleks peristaltik
ileum pada hewan guinea-pig/marmot (Annaházi et al., 2014).

c. Papaverine adalah penghambat siklik adenosin monofosfat fosfodiesterase, yang menyebabkan


peningkatan intraseluler adenosin monofosfat siklik, yang menghasilkan relaksasi otot polos (Clair,
2011). Dikatakan sebagai relaksan nonspesisfik otot halus oleh Katzung (2018). Berdasarkan
Annaházi et al. (2014) efek antispasmodik papaverine bersifat langsung pada otot halus dan tidak
terkait dengan inervasi otot. Papaverine pada dasarnya ialah inhibitor fosfodiesterase non-selektif
yang ditemukan di opium poppy; Telah dibuktikan untuk meningkatkan cGMP dan cAMP pada otot
polos, dimana keduanya menyebabkan vasorelaksasi; Selain itu papaverine juga dapat
menurunkan kekuatan otot polos dengan menaikkan fosforilasi dari HSPB6 dan VASP (regulator
polimerasi actin), menurunkan level filamentous actin seperti F-actin, ditambah karena ia
menurunkan konsentrasi kalsium intraseluler maka berhubungan juga dengan myosin light chain
(MLC20) sehingga mencegah peningkatan fosforilasi MLC20, dan penurunan fosforilasi MYPT1
(Hocking et al., 2016).

d. Hyoscyamine merupakan turunan dari alkaloid belladonna dan memiliki aktivitas antikolinergik;
Memiliki peran sebagai antagonis kompetitif non-selektif dari reseptor muskarinik; Dengan kata
lain ia dapat menghambat aktivitas parasimpatis asetilkolin dan menghasilkan penurunan air liur,
lendir bronchial, gastric fluid, dan keringat; Terdapatnya penurunan motilitas GI dan kontraksi otot
polos vesica urinaria (Kohnen & Kayser, 2019).

e. Dicyclomine merupakan turunan dari asam karboksilat, berperan sebagai antikolinergik selektif
dengan aktivitas spasmolytic; Bekerja dengan memblokir asetilkolin agar tidak berikatan dengan
reseptor muskarinik pada otot polos (efek relaksasi langsung pada otot polos), jadi bisa dikatakan
mampu mencegah spasme pada otot polos saluran pencernaan (gastrointestinal); Penelitian pada
hewan menunjukkan bahwa tindakan ini dicapai melalui mekanisme dual yaitu efek antikolinergik
spesifik (antimuskarinik) di situs reseptor asetilkolin (dengan sekitar 1/8 potensi miligram atropin
(in vitro, guinea pig ileum)); dan mekansime kedua ialah efek langsung pada otot polos
(muskulotropik) sebagaimana dibuktikan oleh antagonisme dicyclomine dari spasme yang
diinduksikan oleh bradikinin dan histamin pada ileum marmut yang diisolasi; Studi in vivo pada
kucing dan anjing menunjukkan disiklomin sama kuat melawan spasme usus yang diinduksi oleh
asetilkolin (ACh) ataupun barium klorida (BaCl2), tetapi tetap kalah dengan atropin yang setidaknya
200 kali lebih kuat melawan efek ACh daripada BaCl2 (National Center for Biotechnology
Information, 2020).

3. Terangkan bahan yang digunakan dalam praktikum serta fungsinya

- Larutan Tyrode: larutan yang bersifat isotonik terhadap cairan interstitial yan pada dasarnya
untuk menjaga ileum tetap segar (sebagai pengganti cairan interstitial) umumnya digunakan untuk
percobaan fisiologis dan kultur jaringan
- Asetilkolin (10-4 M, 10-5M, 10-6M): neurotransmitter yang meningkatkan motilitas (gerak
peristaltic) dari usus
- Atropine sulphate (10-8M, 10-7M): obat spasmolitik yang menurunkan kontraksi usus

4. Apa yang dimaksud dengan pemberian Asetilkolin dosis bertingkat?

Pemberian asetilkolin dosis bertingkat merupakan pemberian asetilkolin dengan peningkatan


dosis yang dilakukan secara bertahap. Tujuan dilakukan hal ini selain untuk mendapatkan data
yang lebih “valid” (karena kuantitas data yang bertambah/banyak) terutama untuk melihat
dampak obat pada berbagai tingkat keparahan spasme, juga supaya dapat melihat hubungan
antara dosis suatu obat terhadap efek yang diberikan obat tersebut. Ataupun juga bisa melihat
bahwa penambahan obat secara linier sebenarnya tidak berarti akan menghasilkan efek yang linier
pula, dimana disini ditemukan bahwa kenyataannya ditemukan percobaan ini dilakukannya
peningkatan dosis obat secara logaritmik supaya dapat terlihat peningkatan efek secara linier.
Volume of Ach which is added in Final concentration of Ach in
No 20 mL of Tyrode solution in organ organ bath
bath
1 0.2 mL of Ach 10-6 M 10-8 M
2 0.4 mL of Ach 10-6 M 10-7.5 M
3 0.14 mL of Ach 10-5 M 10-7 M
4 0.4 mL of Ach 10-5 M 10-6.5 M
5 0.14 mL of Ach 10-4 M 10-6 M
6 0.4 mL of Ach 10-4 M 10-5.5 M

5. Terangkan cara praktikum spsmolitika.

 Pertama, hewan uji kita puasakan (tidak diberi makanan) tetapi kita beri minum (sepuas
hewan uji inginkan/ad libitum) selama 12 jam.
 Hewan uji kemudian dikorbankan dengan membuka abdomennya dan kita keluarkan
ileumnya ke dalam gelas beaker berisi larutan tyrode.
 Setelah itu Ileum diangkat dan taruh ke cawan petri, dipotong-potong sepanjang 2 cm dan
bersihkan lemaknya.
 Kedua ujung ileum difiksasi dan disuspensikan ke dalam organ bath yang berisi larutan
tiroda.
 Hubungkan ke kymograph.
 Catat kontraksi normal.
 Tambahkan asetilkolin dengan konsentrasi yang meningkat dan buatl kurva konsentrasi log
terhadap persentasi (%) kontraksi.
 Kemudian ileum dicuci dengan larutan tyrode sampai terlihatnya kontraksi normal.
 Tambahkan atropine sulfate 10-8M dan biarkan selama 30 detik.
 Tambahkan asetilkolin dengan konsentrasi yang meningkat dan buat kurva konsentrasi log
terhadap presentase (%) kontraksi.
 Ulangi kedua langkah diatas dengan atropine sulfate 10-7M.

6. Buat tabel “ panjang kontraksi dan persentase kontraksi ileum “dari file data hasil praktikum
spasmolitik November 2020

No Log of Contraction
Acetylcholine
Before treatment Atropine Atropine
concentration
(Acetylcholine) 10-8 M 10-7M
(x)
Length % Length % Length %
(mm) (y) (mm) (y) (mm) (y)
1 -8 6 15% 2 5% 0 0%
2 -7,5 16 40% 6 15% 4 10%
3 -7 28 70% 16 40% 6 15%
4 -6,5 36 90% 28 70% 12 30%
5 -6 38 95% 32 80% 24 60%
6 -5,5 40 100% 36 90% 32 80%

7. Buat Grafik dari tabel panjang kontraksi dan persentase kontraksi ileum

Kurva Konsentrasi Log Terhadap Persentasi Kontraksi


120

100

80
Presentasi Kontraksi

60

40

20
-8 -7.5 -7 -6.5 -6 -5.5

8. Terangkan cara mengetahui efek spasmolitika pada praktikum ini ?

Pada praktikum ini, efek spasmolitik atropine sulphate didapat dengan membandingkan :
- Konsentrasi asetilkolin yang dibutuhkan untuk mencapai kontraksi 50%, antara kurva sebelum
dan sesudah penambahan atropine sulphate
- Kontraksi yang dihasilkan dengan menambahkan konsentrasi asetilkolin, antara kurva sebelum
dan sesudah pemberian atropine sulphate

Ataupun dengan memicu terjadinya spasme otot halus terlebih dahulu dengan pemberian
asetilkolin (ACh). Kemudian setelah munculnya kontraksi akibat Ach tersebut, lalu diberikan Atropine,
dimana efek spasmolitik dapat dibuktikan dengan adanya penurunan panjang kontraksi ileum setelah
diberi Atropine pula.

References:

Annaházi, A., Róka, R., Rosztóczy, A., & Wittmann, T. (2014). Role of antispasmodics in the
treatment of irritable bowel syndrome. World Journal of Gastroenterology,
20(20), 6031–6043. https://doi.org/10.3748/wjg.v20.i20.6031
Brunton, L., Knollman, B., & Hilal-Dandan, R. (2017). Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 13th Edition. McGraw-Hill Education.
https://books.google.co.id/books?id=yAg7DwAAQBAJ
Clair, D. (2011). Chapter 35 - Mesenteric Syndromes (W. S. Moore & S. S. B. T.-E. S. (Fourth E.
Ahn (eds.); pp. 367–384). W.B. Saunders.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-1-4160-6208-0.10035-7
Hocking, K. M., Putumbaka, G., Wise, E. S., Cheung-Flynn, J., Brophy, C. M., & Komalavilas, P.
(2016). Papaverine Prevents Vasospasm by Regulation of Myosin Light Chain
Phosphorylation and Actin Polymerization in Human Saphenous Vein. PloS one,
11(5), e0154460. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0154460
Katzung, B.G. (2018). Basic & Clinical Pharmacology. 14th ed. New York : McGraw-Hill
Education. https://books.google.co.id/books?id=balQpV5CcTQC
Kohnen-Johannsen, K. L., & Kayser, O. (2019). Tropane alkaloids: Chemistry, pharmacology,
biosynthesis and production. Molecules, 24(4), 1–23.
https://doi.org/10.3390/molecules24040796
Luellmann, H., Mohr, K., & Hein, L. (2017). Color Atlas of Pharmacology. Thieme.
https://books.google.co.id/books?id=03M3DwAAQBAJ
National Center for Biotechnology Information. (2020). PubChem Compound Summary for CID
3042, Dicyclomine. Retrieved November 23, 2020 from
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Dicyclomine.
United States Department of Health and Human Service. (2020). Atropine Sulfate – Medical
Countermeasure Database. Chemical Hazards Emergency Medical Management.
Available online from: https://chemm.nlm.nih.gov/countermeasure_atropine-
sulfate.htm
Vogel, HG (Ed). (2002). Drug Discovery and Evaluation Pharmacology Assays, 2nd ed., Springer-
Verlag, Berlin.

Anda mungkin juga menyukai