Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU FAAL

KONTRAKSI OTOT POLOS (SMOOTH MUSCLE)


JEJUNUM KELINCI

DISUSUN OLEH
KELOMPOK V
1. Baiq Riska Asmayani (051811133069)
2. Vira Berliana Putri (051811133117)
3. Widya Uswatin Nisa (051811133133)
4. Dicky Chandra Kristiawan (051811133137)
5. Tiffany Tandian (051811133157)
6. Kevin Ksatria Handoko (051811133165)
7. Adinda Aulia Rosdiyanti (051811133188)
8. Amalia Teja Mustika (051811133241)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Teoritis


Secara anatomi, otot polos berada dari otot rangka dan otot jantung
karena otot polos tidak memperlihatkan gambaran serat-lintang. Hal ini
disebabkan karena otot polos memiliki filamen-filamen yang tidak tertata
dalam susunan yang teratur, seperti pada otot rangka danotot jantung. Otot
polos terdiri dari serabut-serabut otot polos yaitu dengan diameter 2 sampai
10 nm mikron dan panjangnya hanya 50 sampai 200 nm. dalam otot polos
terdapatretikulum sarkoplasma, tetapi tidak berkembang dengan baik.
Secara umum, otot polosmempunyai sedikit mitokondria, dan sangat
bergantung pada proses glikolisis untuk memenuhi kebutuhan
metabolismenya.
Otot polos dibagi menjadi dua jenis , yaitu;
a. Multi Unit Smooth Muscle
Otot polos jenis ini terdiri atas banyak unit otot polos yang
dipersarafi oleh single nerve ending, Sebagian kontraksi otot polos
disebabkan oleh saraf jarang terjadi karena rangsangan, otot polos multi
unit tidak terjadi reaksi spontan, jadi hanya terjadi jika kontraksinya
hanya8 dihasilkan apabila ada stimulus dari saraf. Contoh: otot ciliary
mata , iris mata , dan otot piloereksi.
b. Single Unit Smooth Muscle (Visceral Smooth Muscle)
Otot polos unit tunggal disebut juga dengan otot-otot polos viseral-
viseral sebab dijumpai pada dinding organ-organ berongga atau visera
yaitu saluran pencernaan, alat reproduksi, saluran kencing dan
pembuluh darah kecil. Letak dari sel berhimpitan satu sama lain,
Membran yang berdekatan saling berlekatan dan memiliki banyak gap
junction antar selnya. Potensial aksi pada visceral smooth muscle ada 2
macam yaitu: pasak dan plateau. Potensial aksi dapat dirangsag oleh
beberapa jenis rangsangan, yaitu: saraf, kimiawi, hormon, dan
regangan. Potensial aksi diawali dengan ritme gelombang lambat atau
slow wave rhythm tetapi bukan merupakan potensial aksi , apabila slow
wave dapat mencapai nilai ambang maka akan timbul potensial aksi
yang akan menyebar ke seluruh bagian visceral smooth muscle dan
akan disusul akan terjadinya reaksi.

Pada saat eksitasi, peningkatan sitosolik Ca2+ bertindak sebagai


intracellular messenger, menginisiasi kegiatan rantai biokimia yang
menghasilkan posporilasi dalam myosin light chain. Otot polos Ca2+
mengikat dengan calmodulin, sebuah protein intraselular ditemukan di
banyak sel yang secara struktur mirip dengan troponin. Ca2+-calmodulin
complex ini mengikat ke dan mengaktivasi protein lain, myosin light chain
kinase (MLC kinase), yang dalam giliran posporilat myosin light chain.
Perhatikan bahwa pospat inorganik pada myosin light chain adalah sebagai
tambahan inorganic phospate accompanying ADP pada myosin cross-
bridge ATPase site. Pi pada light chain memicu myosin cross-bridge untuk
mengikat dengan aktin sehingga cross-bridge cycling dapat dimulai.
(Sherwood, 2010: 292)
Ada obat-obat yang secara selektif mengubah respon dari setiap tipe
reseptor. Agonis mengikat ke reseptor neurotransmitter dan menyebabkan
respon yang sama seperti yang dilakukan neurotransmitter. Antagonis,
secara kontras, mengikat dengan reseptor, mencegah neurotransmitter
terikat dan menyebabkan respon, antagonis pula tidak menghasilkan respon.
Agonis meniru respon neurotransmitter dan antagonis menghalangi respon
neurotransmitter (Sherwood, 2010: 244)
Substansi kolinergik apabila berikatan dengan reseptor kolinergik akan
menyebabkan efek parasimpatik, yaitu menambah kontraksi otot polos
dalam sistem pencernaan. Sedangkan substansi adrenergik apabila berikatan
dengan reseptor adrenergik akan menyebabkan efek simpatik, yaitu
mengurangi kontraksi otot polos dalam sistem pencernaan (Sherwood, 2010:
243).

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh perlakuan substansi adrenergik dan kolinergik,
antara lain asetilkolin, adrenalin, pilokarpin, dan sulfas atropin, terhadap
kontraksi otot polos pencernaan secara in vitro pada jejunum kelinci?
1.3 Tujuan
Mempelajari pengaruh perlakuan substansi adrenergik dan kolinergik,
antara lain asetilkolin, adrenalin, pilokarpin, dan sulfas atropin, terhadap
kontraksi otot polos pencernaan secara in vitro. Variabel yang diamati adalah
amplitude, frekuensi dan tonus.
BAB II
METODE KERJA

2.1 Sarana Kerja


Software praktikum otot polos pencernaan: Organ Bath Simulation © J.
Dempster, University of Stratchlyde 2009-16 V2.8

2.2 Cara Kerja


Pada kegiatan dry lab menggunakan cara kerja sebagai berikut:
1. Membuka software Organ bath simulation
2. Memilih tissue type, pilih: Rabbit jejunum
3. Menekan Record
4. Memberikan perlakuan obat secara bergantian
Agonis: Asetilkolin, pilokarpin
Antagonis: Atropin
5. Membersihkan obat dari waterbath setiap kali akan mengganti dengan obat
yang baru dengan cara meng klik tombol flush dan clear drug
BAB III
HASIL PENGAMATAN

3.1 Grafik Penambahan Asetilkolin sebagai Agonis dalam Jejunum Kelinci

3.2 Grafik Penambahan Adrenalin sebagai Agonis dalam Jejunum Kelinci


3.3 Grafik Penambahan Pilokarpin sebagai Agonis dalam Jejunum Kelinci

3.4 Grafik Penambahan Sulfas Atropin sebagai Antagonis dalam Jejunum


Kelinci
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Diskusi Hasil


Pada praktikum ini, telah diamati pengaruh perlakuan substansi
adrenergik dan kolinergik, antara lain asetilkolin, adrenalin, pilokarpin, dan
sulfas atropin, terhadap kontraksi otot polos jejunum kelinci secara in vitro.
Variabel yang diamati adalah amplitudo, frekuensi dan tonus.
Sebelum memberikan pengaruh substansi andrenergik dan kolinergik,
grafik diamati terlebih dahulu supaya dapat melihat amplitudo, frekuensi dan
tonus otot polos sebelum perlakuan. Perlakuan dilakukan dengan menekan
tombol Flush pada Organ Bath Simulator untuk memberi perlakuan. Volume
seluruh substansi pada percobaan adalah 0,50 mL yang menjadi variabel
kontrol dalam percobaan.
Percobaan dilakukan dengan adanya perlakuan penambahan asetilkolin
dan pilokarpin sebagai agonis pada jejunum kelinci. Dalam grafik, terdapat
kenaikan frekuensi dan tonus jika dibandingkan dengan sebelum perlakuan,
yang menyebabkan adanya amplitudo baru setelah perlakuan. Hal ini
disebabkan kedua substansi tersebut yang meniru neurotransmitter untuk
mengikat pada reseptornya. Maka dapat disimpulkan bahwa asetilkolin
merupakan substansi kolinergik karena menyebabkan efek secara
parasimpatik yang bertindak sebagai agonis dalam percobaan tersebut.
Setelah itu, dilakukan perlakuan penambahan adrenalin sebagai agonis
dan sulfas atropin sebagai antagonis pada jejunum kelinci. Dalam grafik
terdapat penurunan frekuensi dan tonus hingga menunjukkan angka 0 yang
berarti bahwa otot polos setelah perlakuan tidak mengalami kontraksi. Hal ini
disebabkan kedua substansi tersebut yang menghalangi neurotransmitter
mengikat pada reseptornya. Maka dapat disimpulkan bahwa adrenalin sebagai
agen agonis merupakan substansi adrenergik dan sulfas atropin sebagai agen
antagonis merupakan substansi antikolinergik karena kedua substansi tersebut
menyebabkan efek secara simpatik.
4.2 Diskusi Jawaban Pertanyaan
1. Sebutkan jenis reseptor simpatis dan parasimpatis!
Reseptor dari saraf simpatik ada dua, yaitu reseptor α dan β. Reseptor
ini adalah reseptor adrenergic, yang menerima rangsang berupa
norepinefrin (NE) atau epinefrin (E) yang dilepaskan oleh neuron
simpatik, sehingga ia dapat menyebabkan efek tertentu pada sel target.
Reseptor α dan β sama-sama reseptor dengan protein G. Stimulasi
reseptor α akan menghasilkan aktivasi enzim dalam membrane. Reseptor α
ada dua jenis, yaitu reseptor α-1 dan α-2. Reseptor α-1 berfungsi untuk
melepas ion kalsium dari cadangan di reticulum endoplasma sehingga
menimbulkan efek eksitatori pada sel target, sedangkan α-2 jika
distimulasi akan menyebabkan penurunar kadar adenosine monofosfat
siklik (cAMP) di sitoplasma, yang penurunan ini menyebabkan inhibisi
sel. Dalam tubuh, reseptor α yang jumahnya paling banyak adalah reseptor
α-1.
Lain halnya dengan reseptor β, jika menerima rangsang maka ia akan
menstimulasi peningkatan kadar cAMP di sitoplasma. Reseptor β dibagi
dalam dua tipe yaitu β-1 yang lebih dominan berada di jantung dan β-2
yang umumnya tersebar luas dalam tubuh.
Reseptor untuk saraf parasimpatik ada dua, yaitu reseptor muskarinik
dan nikotinik. Keduanya merupakan reseptor kolinergik. reseptor
muskarinik dibagi menjadi dua, yaitu reseptor M1 yang terdapat di ganglia
otonom dan system saraf pusat, serta M2 yang terdapat di jantung dan
kelenjar ludah. Adapun reseptor nikotinik dibagi menjadi dua pula, yaitu
reseptor N1 yang terdapat di ganglia otonom dan N2 yang terdapat di
neuromuscular junction. Rangsang yang diterima oleh reseptor berupa
asetilkolin (ACh), yang menyebabkan reseptor ini disebut reseptor
kolinergik.
2. Jelaskan mekanisme kontraksi otot polos!
Mekanisme kontraksi otot polos dipicu oleh peningkatan ion kalsium
intraseluler. Diawali dengan meningkatnya konsentrasi ion kalsium (Ca ++)
intraseluler ketika Ca++ memasuki sel melalui kanal kalsium pada
membrane sel atau retikulum sarkoplasma (SR). Ion Ca ++ lalu berikatan
dengan kalmodulin membentuk kompleks Ca++-kalmodulin yang
kemudian mengaktivasi rantai ringan miosin kinase (myosin light chain
kinase / MLCK). MLCK ini bertugas memfosforilasi rantai ringan miosin
(MLC), yang akhirnya menyebabkan kontraksi otot polos (Guyton, 2016:
99).

3. Jelaskan mekanisme pengaruh adrenalin, asetilkolin, pilokarpin, dan sulfas


atropine terhadap otot polos pencernaan
Asetilkolin dan pilokarpin yang bertindak sebagai substansi kolinergik
bekerja dengan cara mengikat dengan kolinergik reseptor berjenis
mukarinik reseptor sehingga mengaktivasi G-protein coupled receptor
pathways untuk mengaktivasi second-messenger pathways menuju sel
target, yaitu sel otot polos pencernaan sehingga terjadi peningkatan
aktivitas otot polos. Adrenalin yang bertindak sebagai substansi adrenergik
bekerja dengan cara mengikat dengan adrenergik reseptor berjenis α2 yang
apabila terakivasi mengakibatkan efek inhibitor pada efektor yaitu otot
polos pencernaan sehingga terjadi penurunan aktivitas otot polos hingga
tidak bekerja akibat dari efek inhibitor tersebut. Sulfas atropin yang
bertindak sebagai agen antagonis bekerja dengan menghalangi asetilkolin
untuk terikat pada muskarinik reseptor di dalam otot polos pencernaan
sehingga terjadi penurunan aktivitas otot polos hingga tidak bekerja akibat
dari penghalangan asetilkolin oleh sulfas atropin (Sherwood, 2010: 243-
244).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2019. Buku Kerja Praktikum Ilmu Faal. Surabaya: Universitas


Airlangga.
Hall, John E. 2016. Guyton and Hall Textboox of Medical Physiology.
Philadelphia: Elsevier.
Sherwood, Lauralee. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems, Seventh
Edition. Belmont: Brooks/Cole.

Anda mungkin juga menyukai