Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PENGARUH ASAM KLOROGENAT PADA EKSTRAK KOPI HIJAU


UNTUK MENJAGA KESEHATAN RETINA DI TINJAU DARI
KEDOKTERAN
2.1. Asam Klorogenat
Asam klorogenat merupakan salah satu senyawa fenolik yang
terdapat pada ekstrak biji kopi hijau dan digunakan sebagai zat penambah
bahan makanan untuk produk rasa kopi seperti, permen karet, dan produk
minuman lainnya yang memiliki rasa kopi. Sebagai senyawa bahan alam,
asam klorogenat merupakan ester dari asam kafeat dan asam elquinat.
Isomer dari asam klorogenat antara lain adalah asam 4-O-Caffeoylquinic
(4-CQA) dan 5-O-caffeoylquinic (5-CQA). Kedua isomer ini mengandung
molekul asam caffeic yang disebut asam isoklorogenat dan larut pada
etanol dan aseton (Farah at al, 2008).

Gambar 1 : Struktur Kimia Asam Klorogenat (Holguin at al, 2005).

Efek biologi yang diketahui pada asam klorogenat adalah


menurunkan tekanan darah, sebagai bahan laksatid atau relaksasi,
psikostimulan, dan pelindung, juga sebagai neuro inflamasi dan bersifat
sebagai antioksidan dalam melindungi degenerasi retina (Sukohar at al,
2011).
2.1.1. Biosintesis Asam Klorogenat
Biosintesis atau pembentukan asam klorogenat berasal dari
senyawa flavonoid, stilben, hidroksisinamat (turunan asam sinamat yang
mengandung gugus hidroksil atau -OH seperti asam kafeat, asam ferulat,
asam p-kumarat) dan asam fenol melibatkan jaringan kompleks dari
lintasan asam sikimat, fenilpropanoid, dan flavonoid. Reaksi penting
dalam pembentukan asam sinamat dan berbagai turunannya adalah
pengubahan fenilalanin menjadi asam sinamat melalui proses deaminasi
atau pelepasan amonia dari fenilalanin untuk membentuk asam sinamat.
Berikutnya asam sinamat diubah menjadi p-kumarat dengan penambahan
satu atom oksigen dari O2 dan atom H dari NADPH langsung pada posisi
asam mulai dari asam sinamat. Penambahan gugus hidroksil (OH) lainnya
di sebelah gugus OH dari asam p-kumarat dengan reaksi serupa
menghasilkan asam kafeat. Adapun penambahan gugus metil (-CH3)
dari S-adenosil metionin (SAM) gugus OH dari asam kafeat menghasilkan
asam ferulat. Asam kafeat membentuk ester dengan gugus alkohol dalam
asam lainnya yang terbentuk pada lintasan asam sikimat, yaitu asam
quinat, dan menghasilkan asam klorogenat (Koshiro at al, 2007).
7

Gambar 2: Biosintesis asam klorogenat ( Koshiro at al, 2007)


8

2.1.2. Mekanisme Asam Klorogenat Sebagai Antioksidan


Senyawa fenolik yang terdapat di dalam biji kopi selain asam
klorogenat diantaranya adalah hydroxy-cinnamic acid, caffeoylquinic acid,
feruloylquinic acid, dan dicaffeoylquinic acid, tannin, antocyanin (Farah at
al, 2008).
Asam klorogenat merupakan keluarga ester yang dibentuk antara
trans cinnamic acids dan quinic acid dan merupakan senyawa fenolik
utama di dalam kopi yang banyak ditemukan di tanaman lain yang
didapatkan dari buah dan daun. Senyawa ini telah dikenal sejak lama
sebagai antioksidan dan mampu memperlambat pembentukan radikal
bebas sebelum degenerasi seluler(Jang at al,2013)
Asam klorogenat dapat bersifat antioksidan juga penghambat
aktivitas perangsang tumor. Dapat juga berperan sebagai antivirus,
antibakteri, antifungi serta mempunyai efek samping yang relatif rendah,
dan tidak menyebabkan resistensi antimikroba. Senyawa ini sering juga
digunakan pada industri makanan dan farmasi (Jang at al,2013). Asam
klorogenat telah terbukti secara in vitro pada studi hewan mampu
menghambat hydrolysis glukosa-6-fosfat secara ireversibel. Mekanisme ini
menyebabkan asam klorogenat mampu mengurangi hepatic glycogenolysis
(transformasi dari glycogen menjadi glukosa) serta mengurangi absorpsi
glukosa baru. Pada studi in vivo hewan coba telah ditunjukkan bahwa
pemberian asam klorogenat akan mengurangi puncak hyperglycemic yang

berasal dari glycogenolysis dengan adanya glucagon, suatu hormon


hyperglyceminant. Studi tersebut juga menunjukkan berkurangnya kadar
glukosa darah dan peningkatan kadar intrahepatik dari glukosa-6-fosfat
dan dari glikogen (Rosalelyana,2008).
Asam klorogenat dibentuk bersama caffeic acid dan quinic acid
yang merupakan antioksidan kuat secara in vitro. Juga merupakan produk
dari jalur phenylpropanoid, satu cabang dari metabolisme phenolik yang
keberadaannya dirangsang oleh kondisi stres lingkungan seperti infeksi
mikroba, luka mekanik, berlebihnya paparan sinar ultra violet atau
tingginya kadar cahaya (Rakshit et al., 2010). Kandungan asam klorogenat
terdapat pada berbagai macam buah buahan, sayur-sayuran, kacangkacangan atau polong polongan. Adapun di dalam kopi, asam klorogenat
mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi secara in vitro dan mampu
melindungi DNA, lipid serta protein, juga mempengaruhi signal
transduction, aktivasi faktor transkripsi, ekspresi gen, hepatoprotektif,
hypoglikemik, aktivitas antivirus. Asam klorogenat di dalam biji kopi
hijau mengandung jumlah polyphenol terbanyak yang bertanggung jawab
sebagai antioksidan dan secara in vivo mampu mengurangi risiko
terjadinya penyakit kronik (Rosalelyana,2008).
Selama pengolahan kopi, asam klorogenat dapat mengalami
isomerisasi, hidrolisis, atau degradasi menjadi senyawa dengan berat
molekul lebih rendah. Suhu yang tinggi saat pemanggangan atau roasting,
akan

menghasilkan

transformasi

dari

asam

klorogenat

menjadi
10

quinolactone dengan senyawa lain, melanoidin. Setelah mengalami proses


hidrolitik, maka total kandungan asam fenolic dari secangkir kopi yang
berupa caffeic acid adalah 166 14mg, p-coumaric acid 2,8 0,2mg,
ferulic acid 28,6 2,5mg. Adanya 1,5-quinolactones telah diteliti memiliki
efek hypoglikemi pada fungsi otak, terutama pada reseptor adenosine.
Kandungan asam klorogenat (5-caffeoyl quinic acid, jumlah terbanyak)
pada 10 gr kopi brew percangkir sekitar 15-325 mg, sedang pada kopi
brewed by drip filtering kadarnya 200mg per cangkir. Kandungan
antioksidan dalam secangkir kopi 200 ml adalah 95,8 4,6 mg asam
klorogenat (5-caffeoylquinic acid) (Rosalelyana,2008).
Faktor genetik, fisiologi dan faktor lingkungan saat prosesing
mempengaruhi komposisi kimia kandungan biji kopi. Artinya, aktivitas
antioksidan akan meningkat dengan adanya pemanggangan biji kopi
selama 10 menit (medium roasted coffee) sehingga akan memproduksi
kopi dengan optimal oxygen scarvenging dan chain breaking activities
secara in vitro. Dalam suatu studi dikatakan 200 ml cangkir kopi robusta
mengandung 70 350 mg, sedang kopi arabica mengandung sekitar 70 200 mg asam klorogenat. Diperkirakan bahwa peminum kopi akan
mencerna 1 g per hari cinnamate esters ( sebagian besar kandungannya
adalah asam klorogenat ) dan 500 mg per hari cinnamates, yang sebagian
besar mengandung caffeic acid (Rakshit et al., 2010).
Gugus utama asam klorogenat ditemukan pada biji kopi hijau,
sesuai indentitas kimia, nomor dan posisi dari acyl residues. Gugus
11

senyawa tersebut adalah: caffeoylquinic acids (CQA), dicaffeoylquinic


acids (diCQA), feruloylquinic acids (FQA), p-coumaroylquinic acids
(pCoQA), caffeoylferuloylquinic acids (CFAQ) yang merupakan campuran
diesters dari caffeic dan ferulic acids dengan quinic acid (Rakshit et al.,
2010).
Studi tentang metabolisme asam klorogenat menunjukkan bahwa
asam klorogenat yang tidak dapat dicerna saat mencapai kolon akan
dihidrolisa menjadi caffeic acid dan quinic acid oleh bakteri/mikroflora
kolon. Dehiroksilasi oleh koloni mikroflora, absorpsi dan metabolisme di
liver dan ginjal, maka terbentuklah benzoic acid yang akan dikonjugasi
oleh glycine dan membentuk hipuric acid. Separuh dari asam klorogenat
yang dicerna akan muncul dalam urin sebagai hipuric acid. Metabolisme
ini dipertimbangkan akan meminimalkan efek antioksidan secara in vivo
karena hipuric acid tidak mempunyai aktivitas antioksidan. Senyawa lain
yang terkandung di dalam kopi selain asam klorogenat (Rakshit et al.,
2010):
1. Hydroxy-cinnamic acids
Senyawa ini merupakan trans-phenyl-3-propenoic acids dengan
substitusi yang berbeda pada cincin aromatik dan yang paling banyak
terdapat pada biji kopi adalah caffeic acid, ferulic acid, p-coumaric
acid.

12

Gambar 3: Struktur Hydroxy-cinnamic acids


Sumber: (Holguin at al, 2005).

2. Caffeoylquinic acids, feruloylquinic acids dan dicaffeoylquinic acids


Senyawa ini termasuk kelompok utama asam klorogenat yang
ditemukan sedikit pada biji kopi dan coffee pulp (ampas/daging buah).

Gambar 4: Struktur Caffeoylquinic acids, feruloylquinic acids dan


dicaffeoylquinic acids
Sumber: (Holguin at al, 2005).
13

3. Tannin
Senyawa ini merupakan senyawa fenolik yang terkandung dalam buah
kopi. Kandungan tannin dapat rusak atau dikurangi dengan merendam
ampas dalam air, serta larutan alkali, dan inokulasi dengan
mikroorganisme terseleksi. Tannin ditemukan pada pemrosesan kering
sebagai residu dari coffee pulp, namun tidak ditemukan pada
pemrosesan biji kopi cara basah. Tannin merupakan senyawa phenolik
utama pada buah kopi , sedang pada biji kopi tannin terutama sebagai
keluarga ester yang terbentuk antara hydroxycinnamic acids dan quinic
acid, secara bersama-sama disebut chlorogenic acid.

Gambar 5 : Struktur Tannin


Sumber: (Holguin at al, 2005).

14

4. Anthocyanidin
Anthocyanidin seperti cyanidin, pelargonidin dan 1- peonidin
diidentifikasi pada biji kopi arabika 1 % phenolic glycosides.

Gambar 6 : Struktur Anthocyanidin


Sumber: (Holguin at al, 2005).

5. Lignan
Termasuk senyawa ini adalah secoisolariciresinol, lariciresinol,
matairesinol dan pinoresinol. Lignan merupakan antioksidan larut
lemak seperti sesamolinol dan sesamolin. Perannya mencegah
terbentuknya radikal bebas, dan membersihkan radikal bebas yang
telah siap terbentuk. Lignan merupakan phytoestrogen dengan
estrogenik. Lignan ditemukan dalam berbagai sumber bahan makanan,
termasuk kopi. Senyawa phenolik seperti lignan dan anthocyanins
terdapat pada biji kopi dalam jumlah kecil.

15

Gambar 7 : Struktur Lignan


Sumber: (Holguin at al, 2005).
Kopi hijau dan hitam mengandung antioksidan total sebanyak 15,9
dan 22,6 mmol dalam 100gr. Perbedaan antara biji kopi hijau dan hitam
menurut data yang ada sebelumnya bahwa beberapa antioksidan
cenderung rusak saat proses roasting namun terbentuk reaksi lain yaitu
Maillard reactions (the browning reaction) dimana reaksi ini juga
menimbulkan antioksidan. Beberapa penelitian menunjukkan bioaktivitas
dari kopi yang berkontribusi terhadap antioksidan pada kopi. Banyak studi
menyatakan

bahwa

kopi

mengurangi

plasma

gamma-glutamyl

transpeptidase (-GT), yang merupakan biomarker awal adanya oxidative


stress. Pada roasting of coffee beans akan meningkatkan kadar aktivitas
antioksidan total karena akan memproduksi kopi dengan optimal oxygen
scavenging serta chain breaking activities in vitro. Hasil studi pada kopi
robusta dan arabika di 6 negara menunjukkan efek protektif lebih banyak
pada kopi raosted daripada kopi hijau. Selama roasting of coffee beans
akan terbentuk melanoidin yang merupakan polymer warna coklat, yang
terbentuk melalui reaksi Maillard yang bermakna terhadap aktivitas
antioxidant secara in vitro (Farah at al, 2008).
16

2.2. Degenerasi Retina


Retina adalah sebuah jaringan tipis yang terletak di dinding
belakang bagian dalam bola mata. Organ ini mengandung jutaan sel yang
peka terhadap cahaya dan sel-sel saraf yang mengatur dan menerima
informasi secara nyata. Secara bersamaan, sel-sel inilah yang mengirimkan
informasi tersebut ke otak melalui saraf optik. Retina adalah salah satu
jaringan tubuh metabolik yang paling aktif dalam menkonsumsi oksigen
dengan cepat dibandingkan jaringan lain selain otak. Oleh karena itu retina
rentan terhadap berbagai penyakit akibat stres oksidatif (degenerasi retina).
Termasuk penyakit degenerasi adalah etinopathy diabetikum, dan
glaukoma yang dapat menyebabkan kebutaan sebagian ataupun kebutaan
total (Jang at al, 2013).
Beberapa contoh degenerasi retina adalah hipoksia, penurunan
suplai oksigen ke retina yang di sebabkan oleh keadaan patologi seperti
oklusi arteri retina pusat, iskemik vena retina pusat, komplikasi penyakit
diabetes, dan beberapa jenis glaukoma dapat menyebabkan penyakit
vaskular pada mata. Hipoksia pada retina dapat berdampak buruk pada
fungsi jarigan maupun kelangsungan hidup sel, serta mengakibatkan
gangguan penglihatan (Jang at al, 2013).
Degenerasi macula adalah suatu keadaan dimana macula
mengalami kemunduran sehingga terjadi penurunan ketajaman penglihatan
dan kemungkinan akan menyebabkan hilangnya fungsi penglihatan

17

sentral. Macula adalah pusat dari retina dan merupakan bagian yang paling
vital dari retina yang memungkinkan mata melihat detil-detil halus pada
pusat lapang pandang. Tanda utama dari degenerasi pada makula adalah
didapatkan adanya bintik-bintik abu-abu atau hitam pada pusat lapangan
pandang. Kondisi ini biasanya berkembang secara perlahan-lahan, tetapi
kadang berkembang secara progresif, sehingga menyebabkan kehilangan
penglihatan yang sangat berat pada satu atau kedua bolamata (Liesegang,
2003-2004).
Berdasarkan American Academy of Oftalmology penyebab utama
penurunan penglihatan atau kebutaan di AS yaitu umur yang lebih dari 50
tahun. Data di Amerika Serikat menunjukkan, 15 persen penduduk usia 75
tahun ke atas mengalami degenerasi makula itu. Terdapat 2 jenis tipe dasar
dari penyakit-penyakit tersebut yakni Standar Macular Degeneration dan
Age Related Macular Degeneration (AMD). Bentuk yang paling sering
terjadi adalah AMD. Degenerasi makula terkait usia merupakan kondisi
generatif pada makula atau pusat retina (Liesegang, 2003-2004).
Terdapat 2 macam degenarasi makula yaitu tipe kering (atrofik)
dan tipe basah (eksudatif). Kedua jenis degenerasi tersebut biasanya
mengenai kedua mata secara bersamaan (Angelia, 2007). Degenerasi
makula terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada epitel pigmen retina.
Degenerasi makula menyebabkan kerusakan penglihatan yang berat
(misalnya kehilangan kemampuan untuk membaca dan mengemudi) tetapi
jarang menyebabkan kebutaan total. Penglihatan pada tepi luar dari lapang
18

pandang dan kemampuan untuk melihat biasanya tidak terpengaruh, yang


terkena hanya penglihatan pada pusat lapang pandang. Gejala klinis biasa
ditandai terjadinya kehilangan fungsi penglihatan secara tiba-tiba ataupun
secara perlahan tanpa rasa nyeri. Kadang gejala awalnya berupa gangguan
penglihatan pada salah satu mata, dinilai garis yang sesungguhnya lurus
terlihar bergelombang (Liesegang, 2003-2004).
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil
pemeriksaan mata. Sejauh ini belum ada terapi untuk degenerasi makula
tipe kering. Suplemen seng hanya mampu membantu memperlambat
progresivitas gangguan. Untuk beberapa kasus basah, terapi laser bisa
membersihkan pembuluh darah abnormal sehingga kekaburan penglihatan
dapat dicegah. Tetapi, tidak semua kasus bisa diatasi dengan terapi laser.
Saat ini sedang dikembangkan berbagai obat dan prosedur operasi baru
antara lain terapi foto dinamik. Faktor resiko gangguan ini selain karena
usia tua, juga riwayat keluarga (genetik), ras kaukasia serta merokok
(Huang at all, 2006).
2.2.1. Etiologi
Degenerasi macula dapat disebabkan oleh beberapa factor dan
dapat diperberat oleh beberapa faktor resiko, diantaranya (James at al,
2006) :
1. Umur, faktor resiko yang paling berperan pada terjadinya
degenerasi makula adalah umur. Meskipun degenerasi makula

19

dapat terjadi pada orang muda, penelitian menunjukkan bahwa


umur di atas 60 tahun beresiko lebih besar terjadi di banding
dengan orang muda. 2% saja yang dapat menderita degenerasi
makula pada orang muda, tapi resiko ini meningkat 30% pada
orang yang berusia di atas 70 tahun.
2. Genetik, penyebab kerusakan makula adalah CFH, gen yang
telah bermutasi atau faktor komplemen H yang dapat dibawa
oleh para keturunan penderita penyakit ini. CFH terkait
dengan bagian dari sistem kekebalan tubuh yang meregulasi
peradangan.
3. Merokok, Merokok dapat meningkatkan terjadinya degenrasi
makula.
4. Ras kulit putih (kaukasia) adalah sangat rentan terjadinya
degenerasi makula di banding dengan orang Afrika atau yang
berkulit hitam.
5. Riwayat keluarga, resiko seumur hidup terhadap pertumbuhan
degenerasi makula adalah 50% pada orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga penderita dengan degenerasi
makula, dan hanya 12 % pada mereka yang tidak memiliki
hubungan dengan degenerasi makula.
6. Hipertensi dan diabetes. Degenerasi Makula menyerang para
penderita penyakit diabetes, atau tekanan darah tinggi garagara mudah pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil

20

(trombosis) sekitar retina. Trombosis mudah terjadi akibat


penggumpalan sel-sel darah merah dan penebalan pembuluh
darah halus
7. Paparan terhadap sinar Ultraviolet, Obesitas dan kadar
kolesterol tinggi

2.2.2. Klasifikasi
1. Degenerasi Makula tipe non-eksudatif (tipe kering) atau nonneovaskular
Rata-rata 90% kasus degenerasi makula terkait usia adalah
tipe kering. Kebanyakan kasus ini bisa memberikan efek berupa
kehilangan penglihatan yang sedang.
Pada gambaran fundus, macula tampak lebih kuning atau
pucat dikelilingi oleh bercak-bercak dan pembuluh darah tampak
melebar. Bercak-bercak ini disebut drusen yaitu bangunan khas
yang berbentuk bulat, berwarna kekuningan. Secara histopatologi
drusen terdiri atas kumpulan materi eosinofilik yang terletak
diantara epitel pigmen dan membran Bruch sehingga drusen dapat
menyebabkan pelepasan fokal dari epitel pigmen (Huang at all,
2006).

21

(a)

(b)

Gambar 8 : Degenerasi Makula tipe non-eksudatif;(a)gambaran kuning


pada daerah fundus makula (dursen); (b) makula yang mengecil
Sumber: (Huang at all, 2006)

Bentuk ini muncul dalam bentuk timbulnya drusen serta


kelainana EPR.Drusen merupakan suatu timbunan material
ekstraseluler yang terletak diantara membrane basal EPR
denganmembran Bruch.Secara klinis, drusen tampak sebagai lesi
kekuningan yang terletak pada lapisan luar retina, di polus
posterior.Drusen

mempunyai

bervariasi.Ukuran

drusen

ukuran

dapat

yang

sangat

diperkirakan

dengan

membandingkannya dengan caliber vena besar disekitar papil iaitu


sekirat 125 mikron. Menurut ukurannya, drusen dibagi menjadi:
-

Kecil (kurang dari 64 um)

Sedang (antara 64 -125 um)

Besar (lebih dari 125 um)

22

Menurut bentuknya, drusen dibagi menjadi keras dan


lunak.Beberapa drusen dapat bergabung menjadi satu yang
disebut drusen confluent. Drusen keras merupakan residual
bodies yang bertanggungjawab terhadap penebalan membrane
Bruch, yang berhubungan dengan adanya deposit laminar basal
yang terdiri dari hialin. Drusen lunak merupakan timbunan
membranosa dan vesicular yang berhubungan dengan deposit
laminar basal.Biasanya ukurannya lebih besar dari drusen keras
dan batasnya kurang tegas. Pada angiografi fluoresin, drusen
keras akan tampak sebagai bercak-bercak hiperfluoresensi yang
cemerlang pada stadium midvena, dan memudar setelah
memudarnya corakan latar belakang fluoresin koroid, sedangkan
drusen lunak akan muncul sebagai daerah hiperfluoresensi lebih
lambat dan kurang cemerlang dibanding drusen keras (Huang at
all, 2006).
Drusen keras ditemukan pada 95,5% individu berumur
lebih dari 49 tahun, tetapi sebagian besar hanya brupa drusen
kecil yang jumlahnya tidak banyak. Drusen keras bisa mengalami
regresi spontan, dapat membesar atau menyatu dengan drusen
disebelahnya atau menimbulkan atrofi sel EPR yang ada
diatasnya, yang dapat menimbulkan atrofi geografk EPR apabila
daerahnya luas, sehingga corak pembuluh darah koroid
dibawahnya dapat terlihat, serta retina diatasnya tampak tipis,

23

yang berlanjut menjadi atrofi fotoreseptor, dan menyebabkan


atrofi

geografik

retina,

atau

berkembang

membentuk

neovaskularisasi koroid CNV (Huang at all, 2006).


Perubahan lain yang dapat terjadi adalah hipopigmentasi
dan hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi terjadi karena hipertrofi
EPR dan sel makrofag yang mengandung pigmen melanin
mengalami migrasi kearah fotoreseptor.Hipopigmentasi terjadi
karena

depigmentasi

di

sekitar

EPR

yang

mengalami

hiperpigmentasi.Secara klinis, strofi retina geografis tampak


sebagai daerah hipopigmentasi atau depigmentasi atau hilangnya
EPR yang berbentuk bulat atau oval dan berbatas tegas. Atrofi
geografik merupakan penyebab kehilangan ketajaman sentral
sebesar 12% sampai 21% dari seluruh kehilangan penglihatan
sentral yang diakibatkan AMD. Kemampuan membaca akan
menurun bukan hanya karena adanya skotoma parasentral saja,
melainkan juga karena penurunan sensitivitas adaptasi gelap pada
fovea, kemunduran ketajamana penglihatan pada keadaan redup,
serta menurunkan sensitivitas kontras (Sato at all 2010).

2. Degenerasi Makula tipe eksudatif ( tipe basah) atau neovaskular


Degenerasi makula tipe ini adalah jarang terjadi namun
lebih berbahaya di bandingkan dengan tipe kering. Kira kira
didapatkan adanya 10% dari semua degenerasi makula terkait

24

usia dan 90% dapat menyebabkan kebutaan. Tipe ini ditandai


dengan adanya neovaskularisasi subretina dengan tanda-tanda
degenerasi makula terkait usia yang mendadak atau baru
mengalami gangguan penglihatan sentral termasuk penglihatan
kabur, distorsi atau suatu skotoma baru (Sato at all 2010).
Pada keadaan ini terjadi pembentukan pembuluh darah baru
subretinal dan terjadi kerusakan macula yang disertai eksudat.
Cairan serosa dari koroid bocor melalui defek pada membrane
bruch

sehingga

menyebabkan

pelepasan

epitel

pigmen.

Pemeriksaan fundus menunjukkan adanya pendarahan dan


eksudat subretina, lesi berwarna hijau keabu-abuan pada macula
dan tampak adanya neovaskularisasi (Vaughan at al, 2006).

(a)

(b)

Gambar 9 : Degenerasi Makula tipe eksudatif; (a)perbandingan ataran retina


normal dan degenerasi makula; (b) perdarahan dan eksudat subretinal
Sumber: (Huang at all, 2006)

25

Bentuk AMD neovaskular adalah neovaskularisasi koroid


(CNV) dan semua manifestasi yang menyertainya antara lain;
-

Ablasi EPR

Robekan EPR

Pendarahan subretina

Pendarahan vitreus

Sikatrik disiforms

Adanya kerusakan pada membrane Bruch memungkinkan


pembuluh darah neovaskularisasi yang berasal dari kapiler koroid
menembus membrane Bruch.Pembuluh darah neovaskular ini
diserai oleh jaringan fibrosa, membentuk satu kompleks
fibrovaskular yang dapat mengganggu dan merusak membrane
Bruch, kapiler koroid, serta EPR (Vaughan at al, 2006).
Gejala yang dialami oleh pasien dengan CNV saja, berupa
gangguan penglihatan sentral seperti penurunan visus, mikropsia,
makropsia ataupun skotoma sentral. Walaupun demikian apabila
kelainan terjadi diluar fovea, maka dapat tanpa gejala penglihatan
sentral sama sekali. Pada fundus tampak adanya bayangan hijau
keabu-abuan dengan ablasi EPR diatasnya.Walaupun demikian
CNV kadang hanya memberikan tanda berupa ablasi EPR yang
datar saja (Vaughan at al, 2006).

26

2.2.3. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya AMD belum diketahui dengan pasti sampai
saat ini. Beberapa teori yang diajukan, antara lain:
1. Proses penuaan
bagian paling luar dari sel fotoreseptor yang berbentuk keeping
sering di makan oleh epitel pigmen retina (EPR) dengan pola diurnal,
yaitu keping terluar sel batang dimakan pada siang hari dan keping
terluar sel kerucut dimakan pada malam hari. keping yang tidak
terfagosit akan tertimbun dalam EPR yang disebut lipohfuhsin.
Lipohfusin akan menghambat degradasi makromolekul seperti protein
dan lemak, mempengaruhi ekspresi gen yang mengatur keseimbangan
antara vascular endothelial growth factor (VEGF) dengan produksi
pigment epithelial derived factor yang merupakan zat anti angiogenik,
serta bersifat fotoreaktif, akibatnya menimbulkan terjadinya apoptosis
EPR. Lipohfusin yang tertimbun dalam sel EPR akan mengurangi
volume sitoplasma, sehingga makin menurunkan kemampuan EPR
untuk memfagosit keping-keping sel fotoreseptor. Lipohfuhsin
tertimbun diantara sitoplasma dan membrane basalis sel EPR,
membentuk lapisan yang disebut basal laminar deposit, yang ikut
bertanggungjawab dalam penebalan membrane Bruch (James at al,
2006).

27

2. Teori iskemik
Angiogenesis terjadi karena adanya iskemik pada jaringan yang
memacu timbulnya suatu agen angiogenik antara lain VEGF. Pada
penelitian didapatkan fakta yang menunjukkan bahwa pada AMD
iskemia tidak memegang peranan yang penting. Sel fotoreseptor hanya
terpapar oleh sedikit oksigen, sedangkan EPR terpapar olek oksigen
dalam konsentrasi

yang sangat tinggi.Pada kenyataannya, sel

fotoreseptor tidak memproduksi VEGF, justru sel EPR yang


memproduksi VEGF dalam jumlah besar. Disamping itu ditemukan
pula tanda-tanda adanya sel-sel radang pada jaringan coroid
neovascular (CNV) yang dieksisi, sehingga diduga bahwa lebih besar
kemungkinannya CNV tumbuh sebagai reaksi perbaikan luka dari pada
sebagai reaksi terhadap iskemi (James at al, 2006).

3. Teori kerusakan oksidatif


Kerusakan oksidatif terjadi karena terbentuknya zat yang disebut
reactive oxygen substance (ROS) yang dihasilkan oleh oksidasi pada
mitokondria. Adanya ROS menimbulkan gangguan metabolism intrasel
antara lain metabolism protein dan lemak. Lemak yang sangat rentan
terhadap kerusakan oksidatif adalah asam lemak tak jenuh ganda. Sel
EPR yang mengalami kerusakan oksidatif akan memproduksi VEGF
dalam jumlah besar, yang memacu timbulnya CNV. Retina sangat

28

mudah mengalai kerusakan oksidatif karena beberapa alasan (James at


al, 2006):
-

Bagian luar fotoreseptor mengandungi sangat banyak asam


lemak tak jenuh ganda

Bagian dalam sel batang mengandung sangat banyak


mitokondria yang dapat membocorkan ROS

Penyediaan oksigen yang sangat tinggi pada koroid

Paparan terhadap sinar menimbulkan preses foto-oksidatif


oleh ROS

2.2.4. Manifestasi Klinis


Gejala-gejala klinik yang biasa didapatkan pada penderita
degenerasi makula antara lain (James at al, 2006):
1. Distorsi penglihatan, obyek-obyek terlihat salah ukuran atau
bentuk
2. Garis-garis lurus mengalami distorsi (membengkok) terutama
dibagian pusat penglihatan.
3. Kehilangan kemampuan membedakan warna dengan jelas
4. Ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan.
5. Kesulitan membaca, kata-kata terlihat kabur atau berbayang
6. Secara

tiba-tiba

ataupun

secara

perlahan

akan

terjadi

kehilangan fungsi penglihatan tanpa rasa nyeri

29

Gambar 10: Gambaran pada penglihatan normal dan gambaran pada


penderita degenerasi makula terkait usia
Sumber: (Huang at all, 2006).

2.2.5. Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan hasil
pemeriksaan oftalmoskopi yang mencakup ruang lingkup pemeriksaan
sebagai berikut (Liesegang, 2003-2004):
1. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji
yang mirip dengan kertas milimeter grafis untuk memeriksa
luar titik yang terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian
retina diteropong melalui lampu senter kecil dengan lensa
khusus.
30

Gambar 11: Amsler Grid


Sumber: (Sato at all 2010).

2. Test penglihatan warna, untuk melihat apakah penderita masih


dapat membedakan warna, dan tes-tes lain untuk menemukan
keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan pada makula.
3. Kadang-kadang dilakukan angiografi dengan zat warna
fluoresein. Dokter spesialis mata menyuntikan zat warna
kontras ini ke lengan penderita yang kemudian akan mengalir
ke mata dan dilakukan pemotretan retina dan makula. Zat
warna ini memungkinkan melihat kelainan pembuluh darah
dengan lebih jelas.

2.2.6. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus untuk AMD noneksudatif penglihatan
dimaksimalkan dengan alat bantu penglihatan termasuk alat pembesar
dan teleskop. Pasien diyakinkan bahwa meski penglihatan sentral
menghilang, penyakit ini tidak menyebabkan hilangnya penglihatan

31

perifer. Ini penting karena banyak pasien takut merekaakan menjadi


buta total (James at al, 2006).
Pada sebagian kecil pasien dengan AMD eksudatif yang pada
angiogram

fluorosen

memperlihatkan

membrane

neovaskular

subretina yang terletak eksentrik (tidak sepusat) terhadap fovea,


mungkin dapat dilakukan obliterasi membrane tersebut dengan terapi
laser argon. Membrane vascular subfovea dapat diobliterasi dengan
terapi fotodinamik (PDT) karena laser argon konvensional akan
merusak

fotoreseptor

di

atasnya.

PDT

dilakukan

dengan

menyuntikkan secara intravena bahan kimia serupa porfirin yang


diaktivasi oleh sinar laser nontermal saat sinar laser berjalan melalui
pembuluh darah di membrane subfovea. Molekul yang teraktivasi
menghancurkan pembuluh darah namun tidak merusak fotoreseptor.
(Sato at all 2010).
Pemakaian interferon alfa parenteral, belum terbukti efektif
untuk penyakit ini. Namun apabila terdapat membrane neovaskular
subretina ekstrafovea yang berbatas tegas (200 um dari bagian tengah
zona avaskular fovea), diindikasikan fotokoagulasi laser. Dengan
angiografi dapat ditentukan dengan tepat lokasi dan batas-batas
membrane neovaskular yang kemudian diablasi secara total oleh lukaluka bakar yang ditimbulkan oleh laser. Fotokoagulasi juga
menghancurkan retina di atasnya tetapi bermanfaat apabila membrane
subretina dapat dihentikan tanpa mengenai fovea (Suhardjo,2007).

32

Fotokoagulasi

laser

krypton

terhadap

neovaskularisasi

subretina avaskular fovea (200 um dari bagian tengah zona avaskular


fovea) dianjurkan untuk pasien nonhipertensif. Setelah fotokoagulasi
membrane neovaskular subretina berhasil dilakukan, neovaskularisasi
rekuren di dekat atau jauh dari jaringan parut laser dapat dapat terjadi
pada separuh kasus dalam 2 tahun. Rekurensi sering disertai
penurunan penglihatan berat sehingga pemantauan yang cermat
dengan Amsler grid.(Suhardjo,2007).
Tindakan bedah yang mungkin dikerjakan adalah pengambilan
CNV subretina, serta translokasi

makula. Beberapa penelitian

mengenai ekstraksi membrane CNV subretina mendapatkan bahawa


hasil akhir visus tidak lebih dari 6/60. Tetapi cara ini dapat disarankan
pada penderita yang tidak berhasil dengan PDT. Terdapat tindakan
bedah lain yang mungkin dikerjakan yaitu translokasi makula.
Translokasi makula adalah suatu istilah yang merujuk kepada tindakan
mengablasi makula dengan sengaja dari epitel pigmen dibawahnya,
untuk selanjutnya memindahkannya ke tempat lain. Walaupun teknik
ini menjanjikan untuk kondisi tertentu khususnya CNV, teknik
optimal dan prognosis jangka panjangnya belum diketahui (Sato at all
2010).
Selain itu terapi juga dapat dilakukan di rumah berupa
pembatasan kegiatan dan follow up pasien dengan mengevaluasi daya
penglihatan

yang rendah. Selain itu dengan mengkomsumsi

33

multivitamin dan antioksidan (berupa vitamin E , vitamin C, beta


caroten, asam cupric dan zinc), karena diduga dapat memperbaiki dan
mencegah terjadinya degenerasi makula. Sayuran hijau terbukti bisa
mencegah terjadinya degenerasi makula tipe kering. Selain itu
kebiasaan merokok dikurangi dan dan pembatasn hipertensi (Sato at
all 2010).
Konsumsi obat-obat antioangiogenesis seperti VEGF-A, yang
merupakan

substansi

angiogenik

utama

dalam

terbentuknya

neovaskularisasi pada AMD. Obat yang pertama kali digunakan


adalah Na-pegabtanib (Macugen), obat ini memberikan perbaikan
ketajaman penglihatan pada 6% pasien. Setelah itu digunakan obat
lain yaitu ranibizumab, yang lebih memberikan kenaikan ketajaman
penglihatan,
Bevacizumab,

karena
yang

mengikat
merupakan

kesemua
antibody

bentuk

aktif

VEGF.

monoclonal

seperti

ranibizumab, ternyata memberikan hasil yang lebih menjanjikan


karena mempunyai 2 binding sites terhadap VEGF (Sato at all 2010).

2.2.7. Efek Asam Klorogenat sebagai penghambat Degradasi Retina


Pengaruh asam klorogenat pada saraf optik ditunjukkan
dengan menghancurkan oklusi yang menyebabkan kerusakan retina
pada tikus. Telah dilakukan penelitian eksperimental ONC (opticus
nerve crush) dengan menjadikan glaukoma kronis pada tikus. Selama
prosedur pembedahan, saraf optik terbuka dan dijepit selama beberapa

34

detik yang mengakibatkan

kematian RGC (retinal ganglion cell)

utama karena saraf optik cedera dan kematian sekunder sekitarnya,


RGCs terluka (Jang at al,2013).
Dari hasil histologis hematoksin dan pewarnaan eosin dapat
dilihat jaringan yang terdapat ONC (opticus nerve crush), jaringan
yang hancur tetapi tidak diberikan perlakuan apa-apa oleh zat kimia
terlihat adanya penipisan pada lapisan plexiform dalam (IPL). Namun,
penipisan tersebut menjadi terhambat pada jaringan yang telah diberi
asam klorogenat (Jang at al,2013).
Selain

menyelidiki

pola-pola

morfologi,

peneliti

juga

menggunakan pewarnaan TUNEL untuk menyelidiki apakah asam


klorogenat juga bisa mengurangi apoptosis sel ganglion terkait dengan
ONC (opticus nerve crush) . terlihat pada jaringan kontrol memiliki
lebih sedikit TUNEL positif oleh sel-sel dari yang dikenakan ONC
(opticus nerve crush). Seperti dengan hematoxylin dan uji eosin,
peneliti menemukan bahwa efek negatif dari ONC (opticus nerve
crush) yang diatasi dengan pengobatan menggunakan asam klorogenat
terlihat lebih sedikit TUNEL positif pada sel-sel di lapisan sel
ganglion (GCL) (Jang at al,2013).
RGC (retinal ganglion cell)

hidup jauh lebih sedikit pada

jaringan yang telah mengalami kerusakan pada nervus optikus (ONC)


dari pada kelompok kontrol. Di jaringan yang telah diobati dengan
asam klorogenat, bagaimanapun, RGC (retinal ganglion cell) survival

35

adalah nyata lebih tinggi. Hal ini terutama dalam jaringan yang telah
diberikan dengan 30 mg / kg asam klorogenat. Selanjutnya, pada yang
menggunakan asam klorogenat terdapat penurunan dramatis (52,7%)
di Mu-1 protein yang terjadi pada jaringan yang telah mengalani
kerusakan pada nervus optikus. Mu-1 adalah glikoprotein permukaan
dinyatakan unik di RGCs itu berfungsi sebagai penanda awal
penurunan fungsi RGC (retinal ganglion cell) pada kerusakan retina
(Jang at al, 2013).
Pemberian, 30 mg / kg asam klorogenat lebih efektif pada
syaraf yang mengalami degenerasi retina
epigallo catechin gallate (EGCG)

dari pada pemberian

dengan konsentrasi yang sama

yang digunakan sebagai kontrol positif dengan demikian, dapat


dilaporkan bahwa pemberian asam klorogenat di sini menunjukkan
dapat mencegah kematian sel pada retina (Jang at al, 2013) .
Selain menyelidiki efek murni asam klorogenat pada
degenerasi retina, kami juga meneliti apakah CE (coffe ekstrac)
merupakan sumber utama asam klorogenat dan memiliki manfaat
yang sama seperti yang diamati dalam penelitian ini (Jang at al,2013).

36

Anda mungkin juga menyukai