Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI

FISIOLOGI MANUSIA

SISTEM ENDOKRIN

Disusun Oleh :

1. Mayrilla Ira S. Ina Kia Guru (2443021186)

2. Maria Hendrika Liwu (2443021187)

3. Nova Viola Kilay (2443021188)

4. Bernadetta Esti Kusumastuti (2443021189)

5. Ni Made Deandra Felicia (2443021190)

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

2021-2022
BAB I

LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PRAKTIKUM

1.1 Latar Belakang


Dalam tubuh manusia, sistem endokrin berperan untuk mengoordinasikan dan
mengintegrasikan fungsi berbagai sistem fisiologis. Dengan demikian, sistem endokrin
memainkan peran penting dalam mempertahankan homeostasis. Peran ini dimulai dengan
bahan kimia, seperti hormon yang disekresikan dari kelenjar endokrin tanpa saluran dan
merupakan jaringan yang memiliki asal epitel. Kelenjar endokrin mensekresikan hormon
ke dalam kompartemen cairan ekstraseluler. Hormon mengikat reseptor afinitas tinggi
yang terletak di permukaan sel target di sitosol atau di nukleusnya. Reseptor hormon ini
memiliki sensitivitas yang luar biasa, karena konsentrasi hormon dalam darah dapat
berkisar dari 10" hingga 10" molari A kompleks hormon-reseptor terbentuk dan
kemudian dapat mengerahkan tindakan biologis melalui kaskade transduksi sinyal dan
perubahan transkripsi gen pada sel target. Respon fisiologis terhadap hormon dapat
bervariasi dari detik hingga jam hingga hari, tergantung pada sifat kimiawi hormon dan
lokasi reseptornya di sel target. Struktur kimia hormon penting dalam menentukan
bagaimana ia akan berinteraksi dengan sel target. Misalnya, bahan kimia yang disebut
CAMP (cyclic adenosine monophosphate) disintesis dari molekul ATP. Sintesis bahan
kimia ini membuat sel lebih aktif secara metabolik. Oleh karena itu, lebih mampu
merespons stimulus.
Hormon steroid dan tiroksin (hormon tiroid) adalah hormon kerja lambat yang
memasuki sel target dan berinteraksi dengan nukleus untuk mempengaruhi transkripsi
berbagai protein yang dapat disintesis sel. Hormon memasuki nudeus dan menempel
pada titik-titik tertentu pada DNA. Organ-organ sistem endokrin tidak berfungsi secara
independen. Aktivitas satu kelenjar endokrin sering dikoordinasikan dengan aktivitas
kelenjar lain. Tidak ada satu sistem yang berfungsi secara independen dari sistem lainnya.
Karena pengaruh kuat yang dimiliki hormon pada homeostasis, mekanisme umpan balik
negatif sangat dibutuhkan dalam mengatur sekresi, sintesis, dan efektivitas hormon pada
sel target. Umpan balik negatif dapat memastikan bahwa, jika tubuh membutuhkan
hormon tertentu, hormon itu akan diproduksi sampai jumlahnya terlalu banyak. Ketika
ada terlalu banyak hormon, pelepasannya akan terhambat. Pelepasan oksitosin dari
hipofisis posterior adalah salah satu contoh yang jarang terjadi. Oksitosin adalah hormon
yang menyebabkan lapisan otot rahim yang disebut miometrium yang berkontraksi saat
melahirkan. Kontraksi miometrium ini menyebabkan oksitosin tambahan dilepaskan,
memungkinkan kontraksi yang lebih kuat. Tidak seperti yang terjadi pada mekanisme
umpan balik negatif, peningkatan kadar oksitosin dalam sirkulasi tidak menghambat
sekresi oksitosin.
Berdasarkan penjelasan diatas, kita akan mempelajari bagaimana mengeluarkan
kelenjar dari hewan dan kemudian menyuntikkan, menanamkan, atau memberi makan
ekstrak kelenjar ke hewan normal atau hewan yang kehilangan kelenjar yang dipelajari.
Oleh karena itu, pada praktikum ini akan dibahas lebih mendalam tentang fungsi dan
regulasi beberapa kelenjar endokrin.

1.2 Tujuan

1. Memahami metabolisme dan regulasi hormon tiroid,

2. Memahami regulasi glukosa darah oleh hormon insulin dan penyakit Diabetes
Mellitus,

3. Memahami prinsip hormone replacement therapy (terapi sulih hormone),

4. Memahami pengukuran kortisol dan hormon adrenocorticotropic.


BAB II

LANDASAN TEORI

Metabolisme adalah berbagai reaksi biokimia yang terjadi di dalam tubuh.


Metabolisme meliputi anabolisme dan katabolisme. Anabolisme adalah pembentukan
molekul kecil menjadi molekul yang lebih besar dan lebih kompleks melalui reaksi enzimatik.
Energi disimpan dalam ikatan kimia yang terbentuk ketika molekul yang lebih besar dan
lebih kompleks terbentuk. Katabolisme adalah pemecahan molekul besar dan kompleks
menjadi molekul yang lebih kecil melalui reaksi enzimatik. Pemutusan ikatan kimia dalam
katabolisme melepaskan energi yang dapat digunakan sel untuk melakukan berbagai aktivitas,
seperti membentuk ATP. Sel tidak menggunakan semua energi yang dilepaskan oleh
pemutusan ikatan. Sebagian besar energi dilepaskan sebagai panas untuk mempertahankan
suhu tubuh tetap, terutama pada manusia. Manusia adalah organisme homeotermik yang
perlu mempertahankan suhu tubuh tetap untuk mempertahankan aktivitas berbagai jalur
metabolisme dalam tubuh. Hormon yang paling penting untuk menjaga metabolisme dan
panas tubuh adalah tiroksin (hormon tiroid), disebut juga sebagai tetraiodothyronine. Tiroksin
disekresikan oleh kelenjar tiroid yang terletak di leher. Produksi tiroksin dikendalikan oleh
kelenjar hipofisis dimana hipofisis yang mengeluarkan hormon perangsang tiroid (TSH).
Darah membawa TSH ke jaringan targetnya yakni kelenjar tiroid. TSH menyebabkan
kelenjar tiroid membesar dan mensekresi tiroksin ke dalam sirkulasi umum. Jika kadar TSH
terlalu tinggi maka kelenjar tiroid akan membesar. Pembengkakan kelenjar yang dihasilkan
di leher ini yang disebut dengan Goiter (gondok).

Hipotalamus di yang terdapat di otak juga merupakan salah satu kelenjar yang penting
dalam produksi tiroksin dan TSH. Hipotalamus merupakan kelenjar endokrin utama yang
mengeluarkan beberapa hormon yang mempengaruhi kelenjar pituitari atau hipofisisnyang
juga terletak di otak. Thyrotropin-releasing hormone (TRH) berhubungan langsung dengan
sekresi tiroksin dan TSH. TRH dari hipotalamus merangsang hipofisis anterior untuk
menghasilkan TSH yang kemudian merangsang tiroid untuk menghasilkan tiroksin.
Peristiwa ini adalah bagian dari mekanisme umpan balik negatif klasik. Ketika tingkat
sirkulasi tiroksin rendah, hipotalamus mengeluarkan lebih banyak TRH untuk merangsang
kelenjar pituitari untuk mengeluarkan lebih banyak TSH. Peningkatan TSH selanjutnya
merangsang sekresi tiroksin dari kelenjar tiroid. Peningkatan kadar tiroksin selanjutnya akan
mempengaruhi hipotalamus untuk menurunkan produksi TRH-nya. TRH berjalan dari
hipotalamus ke kelenjar hipofisis melalui sistem portal hipotalamus-hipofisis. Sistem portal
hipotalamus-hipofisis mengangkut banyak hormon lain dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis.
Hipotalamus mengeluarkan hormon tropik yang merangsang sekresi hormon lain. TRH
adalah contoh hormon tropik karena merangsang pelepasan TSH dari kelenjar pituitari dan
merangsang produksi tiroksin.

Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta bagian endokrin pankreas.
Hormon ini sangat penting untuk pengaturan kadar glukosa plasma atau gula darah karena
hormon ini memungkinkan sel-sel kita menyerap glukosa dari aliran darah. Glukosa yang
diserap dari darah digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolisme atau disimpan sebagai
glikogen (juga dikenal sebagai glikogen hewan) yang paling menonjol di sel hati dan sel otot.
Sekitar 75% glukosa yang dikonsumsi selama makanan disimpan sebagai glikogen. Karena
manusia tidak memberi makan terus menerus (kita dianggap "pemberi makan terputus-
putus"), produksi glikogen dari makanan menunjukkan bahwa pasokan glukosa akan tersedia
selama beberapa jam setelah makan. Selanjutnya, tubuh harus mempertahankan tingkat
tertentu glukosa plasma untuk terus melayani sel-sel saraf karena jenis sel ini hanya
menggunakan glukosa untuk bahan bakar metabolisme. Plasma yang turun di bawah nilai
tertentu akan merangsang sel alfa pankreas untuk melepaskan hormon glukagon. Glukagon
merangsang pemecahan glikogen yang disimpan menjadi glukosa yang kemudian dilepaskan
kembali ke dalam darah. Ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin, maka akan
terjadi diabetes mellitus tipe 1. Ketika pankreas menghasilkan insulin yang cukup tetapi
tubuh gagal meresponsnya maka akan terjadi diabetes mellitus tipe 2. Dalam kedua kasus
tersebut, glukosa tetap berada dalam aliran darah dan sel-sel tubuh tidak dapat mengambilnya
sebagai bahan bakar utama untuk metabolisme. Ginjal kemudian menyaring kelebihan
glukosa keluar dari plasma. Karena reabsorpsi glukosa yang difiltrasi melibatkan sejumlah
transporter yang terbatas di sel tubulus ginjal, beberapa kelebihan glukosa tidak direabsorbsi
ke sirkulasi. Sebaliknya, ia keluar dari tubuh dalam bentuk urin. Ketidakmampuan sel-sel
tubuh untuk mengambil glukosa dari darah juga mengakibatkan sel-sel otot rangka menjalani
katabolisme protein untuk membebaskan asam amino menjadi asam amino yang digunakan
dalam pembentukan glukosa di hati. Tindakan ini menempatkan tubuh ke dalam
keseimbangan nitrogen negatif dari penipisan protein yang dihasilkan dan pemborosan
jaringan. Masalah terkait lainnya termasuk penyembuhan luka yang buruk dan resistensi yang
buruk terhadap infeksi.
Follicle-stimulating hormone (FSH) adalah hormon peptida hipofisis anterior yang
merangsang pertumbuhan folikel ovarium. Ovariun sendiri merupakan bagian dari sistem
reproduksi wanita. Ovarium berfungsi menghasilkan sel telur tiap bulan (mulai dari masa
pubertas hingga menopause), serta memproduksi hormon estrogen dan progesteron. Folikel
ovarium yang berkembang kemudian memproduksi dan mengeluarkan hormon steroid yang
disebut estrogen ke dalam plasma. Estrogen memiliki banyak efek pada tubuh wanita dan
homeostasis, termasuk stimulasi pertumbuhan tulang dan perlindungan terhadap osteoporosis
(pengurangan jumlah tulang yang ditandai dengan penurunan massa tulang dan peningkatan
kerentanan terhadap patah tulang). Menopause merupakan berakhirnya siklus menstruasi
secara alami yang biasanya terjadi saat wanita memasuki usia 45 hingga 55 tahun. Setelah
menopause, ovarium berhenti memproduksi dan mensekresi estrogen. Salah satu dampak
dan potensi gangguan kesehatan menopause adalah hilangnya kepadatan tulang yang dapat
mengakibatkan osteoporosis dan patah tulang. Penurunan kepadatan tulang secara tidak
normal akan meyebabkan osteopenia. Akibatnya, kekuatan tulang ikut menurun dan risiko
patah tulang menjadi lebih besar. Kondisi ini bisa disebut sebagai peralihan tulang yang sehat
menuju osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
berkurangnya massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur tulang yang menyebabkan tulang
menjadi rapuh dan meningkatkan risiko terjadi patah tulang. Oleh karena itu, diperlukan
perawatan pascamenopause untuk mencegah osteoporosis yang sering kali melibatkan terapi
penggantian hormon. Estrogen dapat diberikan untuk meningkatkan kepadatan tulang.
Kalsitonin (disekresi oleh sel C di kelenjar tiroid) adalah hormon peptida lain yang dapat
diberikan untuk melawan perkembangan osteoporosis. Kalsitonin menghambat aktivitas
osteoklas dan merangsang pengambilan dan deposisi caksium pada tulang panjang.

Kortisol suatu homone yang disekresikan oleh korteks adrenal penting dalam respons
tubuh terhadap berbagai jenis stres. Pelepasan kortisol dirangsang oleh adrenocorticotropic
homone (ACTH), suatu tropic homone yang dilepaskan oleh hipofisis anterior. Hormon
tropik merangsang sekresi homone lain. Pelepasan ACTH pada gilirannya, dirangsang oleh
corticotropin-releasing hormone (CRN) yang merupakan suatu hormon tropik dari
hipotalamus. Peningkatan kadar kortisol memberi umpan balik negatif untuk menghambat
pelepasan ACTH dan CRH. Peningkatan kortisol dalam darah atau hiperkortisolisme disebut
sebagai sindrom Cushing. Peningkatan tersebut disebabkan oleh tumor kelenjar adrenal.
Sindrom Cushing juga bisa bersifat latrogenik. Misalnya, sindrom Cushing yang diinduksi
oleh dokter dapat terjadi ketika hormon glukokortikold, seperti prednison diberikan untuk
mengobati rheumatoid arthritis, asma, atau lupus. Sindrom Cushing sering disebut sebagai
"diabetes steroid" karena menyebabkan hiperglikemia. Sebaliknya, penyakit Cushing adalah
hiperkortisolisme yang disebabkan oleh tumor hipofisis anterior. Orang dengan penyakit
Cushing menunjukkan peningkatan kadar ACTH dan kortisol. Penurunan kortisol dalam
darah atau hipokortisol dapat terjadi karena insufisiensi adrenal. Pada insufisiensi adrenal
primer dikenal juga sebagai penyakit Addison dimana kortisol yang rendah secara langsung
disebabkan oleh penghancuran bertahap korteks adrenal dan tingkat ACTH biasanya
meningkat sebagai efek kompensasi. Insufisiensi adrenal sekunder juga mengakibatkan
rendahnya kadar kortisol, biasanya disebabkan oleh kerusakan pada hipofisis anterior. Oleh
karena itu, kadar ACTH juga rendah pada insufisiensi adrenal sekunder. Berbagai gangguan
endokrin dapat dikaitkan dengan tingkat kortisol dan ACTH yang tinggi dan rendah.

Tabel 2.1 Gangguan Endokrin Yang Dipengaruhi Oleh Tingkat kortisol dan ACTH
BAB III

ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat

3.1.1 Activity 1

1. Tiga jarum suntik isi ulang-digunakan untuk menyuntikkan tikus dengan


propiltiourasil (obat yang menghambat produksi tiroksin dengan
menghalangi penggabungan yodium ke dalam molekul prekursor
hormon), hormon perangsang tiroid (TSH), dan tiroksin
2. Ruang hewan kaca kedap udara-menyediakan sistem terisolasi dan
tertutup untuk mengukur jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh tikus
dalam jumlah waktu tertentu (Membuka klem pada tabung kiri
memungkinkan udara luar masuk ke dalam bilik, dan menutup klem
akan membuat sistem tertutup dan kedap udara. Konektor T pada tabung
kanan memungkinkan Anda untuk menghubungkan ruang ke manometer
atau menghubungkan manometer berisi cairan ke jarum suntik berisi
udara)
3. Tabung berbentuk U yang berisi cairan (Saat tikus mengkonsumsi
oksigen dalam sistem terisolasi dan tertutup, cairan ini akan naik di sisi
kiri tabung berbentuk U dan turun di sisi kanan tabung)
4. Jarum suntik-digunakan untuk menyuntikkan udara ke dalam tabung dan,
dengan demikian, mengukur jumlah udara yang dibutuhkan untuk
mengembalikan kolom cairan di manometer ke tingkat semula
5. Skala hewan-digunakan untuk mengukur berat badan

3.1.2 Activity 2

1. Tabung reaksi-d sebagai wadah reaksi untuk berbagai pengujian Unit


inkubasi tabung teks-disatukan untuk menginkubasi, mencampur, dan
mensentrifugasi sampel.

2. Spektrofotometer-digunakan untuk mengukur jumlah cahaya yang


diserap atau ditransmisikan oleh larutan berpigmen.
3.1.3 Activity 3

1. Jarum suntik yang dapat digunakan kembali-digunakan untuk


menyuntikkan tikus

2. Anestesi-digunakan untuk melumpuhkan tikus untuk pemindaian sinar-X

3. Dual X-ray absorptiometry bone-density scanner (XDA)-digunakan


untuk mengukur kepadatan tulang vertebral tikus

3.1.4 Activity 4

1. Kolom HPLC (kromatografi cair kinerja tinggi) digunakan untuk


mengukur jumlah kortisol dan ACTH secara kuantitatif dalam sampel
pasien

2. Detektor HPLC-menyediakan konsentrasi hormon dalam sampel pasien •


Jarum suntik yang dapat digunakan kembali-digunakan untuk
menyuntikkan sampel pasien ke dalam port injeksi HPLC

3. Port injeksi HPLC-digunakan untuk menyuntikkan sampel pasien ke


dalam kolom HPLC

3.2 Bahan

3.2.1 Activity 1

1. Soda lime (ditemukan di dasar ruang kaca)-menyerap karbon


dioksida yang dilepaskan menurut rasio
2. Tiga tikus putih-tikus normal, tikus tiroidektomi (Tx) (tikus yang
kelenjar tiroidnya telah diangkat melalui pembedahan, dan tikus
hipofisektomi (Hypox) (tikus yang kelenjar hipofisisnya telah
diangkat melalui pembedahan).

3.2.2 Activity 2

1. Air deionisasi digunakan untuk mengatur volume agar sama untuk setiap
reaksi Standar glukosa

2. Pereaksi warna enzim


3. Barium hydroride

4. Heparin

5. Sampel darah dari lima pasien

3.2.3 Activity 3

1. Tiga tikus ovarlektomisasi (Perhatikan bahwa, jika ini adalah


laboratorium basah yang sebenarnya, ovariektomi akan telah dilakukan
pada tikus sebulan sebelum percobaan untuk memastikan tidak ada
residu hormon tetap dalam sistem tikus.)

2. Garam

3. Esterogen

4. Kalsitonin

3.2.4 Activity 4

1. Sampel plasma dari 5 pasien


BAB IV

CARA KERJA

4.1 Activity 1

4.1.1 Menentukan kecepatan metabolisme dasar

a. Menimbang berat badan tikus normal pada chamber.


b. Menutup tabung bagian atas sehingga tikus hanya menghirup oksigen dalam
tabung.
c. Berikan waktu 1 menit selama tikus menghirup udara dalam tabung tertutup.
d. Setelah itu, menghubungkan manometer dan spuit dengan membuka T-
connector agar tikus dapat menghirup udara dari luar.
e. Mengamati manometer lengan kiri dan kanan, setelah itu suntik tambahkan
oksigen hingga mencapai level atau keadaan yang sama dengan manometer
kiri dan kanan.
f. Menghitung konsumsi oksigen perjam serta metabolisme kg berat tikus.
Memeriksa tiroid apakah ada gondok pada hewan coba.
g. Kemudian memulihkan peralatan seperti semula, lalu ulangi pada Tikus
Thyroidectomized (Tx), dan Tikus Hypophysectomized (Hypox).

4.1.2 Menentukan Pengaruh Tiroksin pada Laju Metabolisme


a. Mengisi syiringe dengan Tiroksin.
b. Menyuntikkan injeksi tiroksin pada bagian belakang tikus normal.
c. Meletakan tikus yang telah diinjeksi kedalam chamber.
d. Mencatat hasil dari berat tikus, jumlah oksigen yang dikonsumsi tikus dalam
satu menit, oksigen tikus per jam, tingkat metabolisme tikus, dan hasil palpasi
tiroid kan dihasilkan.
e. Membersihkam jejak injeksi tiroksin dan syringe.
f. Mengulangi percobaan injeksi tiroksin pada Tikus Thyroidectomized (Tx), dan
Tikus Hypophysectomized (Hypox).

4.1.3 Menentukan Pengaruh TSH pada Laju Metabolisme


a. Menyuntikkan injeksi TSH pada bagian belakang tikus normal.
b. Meletakan tikus yang telah diinjeksi kedalam chamber.
c. Mencatat hasil dari berat tikus, jumlah oksigen yang dikonsumsi tikus dalam
satu menit, oksigen tikus per jam, tingkat metabolisme tikus, dan hasil palpasi
tiroid kan dihasilkan.
d. Membersihkam jejak injeksi TSH dan syringe.
e. Mengulangi percobaan injeksi TSH pada Tikus Thyroidectomized (Tx), dan
Tikus Hypophysectomized (Hypox).

4.1.4 Menentukan Pengaruh Propylthiouracil pada Laju Metabolisme


a. Menyuntikkan injeksi propylthiouracil pada bagian belakang tikus normal.
b. Meletakan tikus yang telah diinjeksi kedalam chamber.
c. Mencatat hasil dari berat tikus, jumlah oksigen yang dikonsumsi tikus dalam
satu menit, oksigen tikus per jam, tingkat metabolisme tikus, dan hasil palpasi
tiroid kan dihasilkan.
d. Membersihkam jejak injeksi propylthiouracil dan syringe.

e. Mengulangi percobaan injeksi propylthiouracil pada Tikus Thyroidectomized


(Tx), dan Tikus Hypophysectomized (Hypox).

4.2 Activity 2
1. Tarik tabung uji ke pemegang pertama dalam inkubasi, ulangi sampai 5 kali
2. Tarik pipet Glucose standard pada tabung uji, teteskan beberapa kali sesuai nomor
tabung uji
3. Tambahkan Deionized Water, teteskan beberapa kali sesuai nomor tabung uji
4. Klik Mix kemudian klik Centrifuge setelah itu klik Remove Pellet
5. Tambahkan Enzym color reagent , teteskan beberapa kali sesuai nomor tabung uji
6. Klik Incubate
7. Klik Set up,
8. Tarik tabung 1 ke spectrometer , kemudian klik analyze
9. Klik Record data
10. Ulangi prosedur nomor 8 -9 hingga tabung ke 5
11. Klik Graph Glucose Standard untuk menghasilkan kurva standard
12. Tarik tabung uji ke pemegang pertama dalam inkubasi, ulangi sampai 5 kali
13. Tarik dan tambahkan 5 sample pada masing-masing tabung
14. Tambahkan Deionized Water, teteskan pada masing-masing tabung
15. Tambahkan Barium Hydroxide, teteskan pada masing-masing tabung
16. Tambahkan Heparin, teteskan pada masing-masing tabung
17. Klik Mix kemudian klik Centrifuge setelah itu klik Remove Pellet
18. Tambahkan Enzym color reagent , teteskan pada tabung uji
19. Ulangi prosedur nomor 6-11
20. Klik submit

4.3 Activity 3

1. Tarik jarum suntik ke botol saline untuk mengisi jarum suntik dengan 1 ml saline.

2. Tarik jarum suntik ke tikus control, tempatkam ujung jarum di daerah perut bagian
bawah tikus. Suntikan ke daerah ini di anggap intraperitoneal dan akan dengan cepat
diedarkan oleh pembuluh darah perut.

3. Klik clean dibawah tempat jarum suntik untuk membersihkan jarum suntik dari semua
residu.

4. Tarik jarum suntik ke botol estrogen untuk mengisi jarum suntik dengan 1 ml estrogen.

5. Tarik jarum suntik ke tikus estrogen-treated, tempatkan ujung jarum di daerah perut
bagian bawah tikus.

6. Klik clean dibawah tempat jarum suntik untuk membersihkan jarum suntik dari semua
residu.

7. Tarik jarum suntik ke botol kalsitonin untuk mengisi jarum suntik dengan 1 ml
kalsitonin.

8. Tarik jarum suntik ke tikus calcitonin-treated, tempatkan ujung jarum di daerah perut
bagian bawah tikus.

9. Klik clean dibawah tempat jarum suntik untuk membersihkan jarum suntik dari semua
residu.

10. Klik tampilam jam untuk maju 1 hari (24 jam)

11. Setiap tikus harus menerima 7 suntikan selama 7 hari (1 suntikan/hari). Suntikan yang
tersisa akan otomatis.
Klik tampilan jam untuk mengulangi rangkaian suntikan sampai anda menyuntikan
masing-masing tikus sebanyak 7 kali.

12. Klik anestesi diatas kandang tikus control untuk melumpuhkan tikus control dengan
anestesi gas untuk pemindaian sinar-X

13. Seret tikus yang dibius ke meja pemeriksaan untuk pemindaian sinar-X

14. Klik scan untuk mengaktifkan pemindaian. Skor T akan muncul di tampilan skor T.

Klik record data untuk merekam hasil anda di kisi. Tikus control akan ototmatis
dikembalikan ke kandang nya.

15. Sekarang anda akan mendapatkan skor T untuk tikus yang tersisa. Lakukan langkah-
langkah ini untuk mendapatkan skor T untuk tikus. Yang diberi estrogen, kemudian
ulangi langkah-langkah ini untuk mendaptkan skor T untuk tikus yang diberi
kalsitonin.

16. Klik anestesi di atas kandang tikus untuk melupuhkan tikus dengan anestesi gas untuk
pemindaian sinar-X

Seret tikus yang dibius ke meja untuk pemindaian sinar-X. Klik scan untuk
mengaktifkan pemindaian. Skor T akan muncul di tampilan skor T.

Klik record data untuk merekam hsil anda di kisi. Tikus akan otomatis dikembalikan
ke kandangnya

17. Klik Submit

4.4 Activity 4

1. Klik Kortisol untuk menyiapkan kolom pemisahan dan pengukuran kortisol.

2. Tarik spuit ke tabung pertama isi spuit dengan plasma yang diisolasi dari pasien
pertama.

3. Tarik spuit ke injektor HPLC. Sampel akan masuk ke tubing dan mengalir melalui
kolom. Konsentrasi kortisol dalam sampel pasien akan muncul di layar detektor HPLC.

4. Klik Rekam Data untuk tampilkan hasil Anda di kisi.


5. Klik Bersihkan di bawah jarum suntik untuk menyiapkan sampel berikutnya. Klik
bersihkan Kolom untuk menghilangkan sisa kortisol dari kolom.

6. Tarik spuit ke tabung kedua untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kedua.

7. Tarik spuit ke injektor HPLC. Sampel akan masuk ke tubing dan mengalir melalui
kolom. Konsentrasi kortisol dalam sampel pasien akan muncul di layar detektor HPLC.

8. Klik Rekam Data untuk tampilkan hasil Anda dikisi.

9. Klik Bersihkan di bawah jarum suntik untuk menyiapkan sampel berikutnya.


Klik Bersihkan Kolom untuk menghilangkan sisa kortisol dari kolom.

10. Prosedur untuk sampel yang tersisa akan selesai secara otomatis.

11. Tarik spuit ke tabung ketiga untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien ketiga.

Ketika kortisol konsentrasi untuk pasien ketiga dicatat dalam kisi, seret jarum
suntik ke tabung keempat untuk mengisi jarum suntik dengan plasma yang diisolaidari
pasien keempat. Ketika konsentrasi kortisol untuk pasien keempat dicatat dalam kotak,
seret spuit ke tabung kelima untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kelima.

12. Klik ACTH untuk menyiapkan kolom pemisahan dan pengukuran ACTH.

13. Tarik spuit ke tabung pertama untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien pertama.

14. Klik Rekam Data untuk tampilkan hasil Anda di kisi.

15. Klik Bersihkan di bawah jarum suntik untuk menyiapkan sampel berikutnya.
Klik Bersihkan Kolom untuk menghapus sisa ACTH dari kolom.

16. Tarik spuit ke tabung kedua untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kedua.

17. Tarik spuit ke injektor HPLC. Sampel akan masuk ke tubing dan mengalir melalui
kolom. Konsentrasi ACTH dalam sampel pasien akan muncul di layar detektor HPLC.

18. Klik Rekam Data untuk menampilkan hasil Anda di kisi.


19. Klik Bersihkan di bawah jarum suntik untuk menyiapkan sampel berikutnya.

Klik Bersihkan Kolom untuk menghilangkan sisa ACTH dari kolom. Prosedur
untuk sampel yang tersisa akan selesai secara otomatis.

20. Tarik spuit ke tabung ketiga untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien ketiga.

Ketika ACTH konsentrasi untuk pasien ketiga dicatat dalam kisi, pindahkan
jarum suntik ke tabung keempat untuk mengisi jarum suntik dengan plasma yang
diisolasi dari pasien keempat.

Ketika ACTH konsentrasi untuk pasien keempat dicatat dalam kisi, seret jarum suntik
ke dalam tabung kelima untuk mengisi jarum suntik dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kelima

21. Tunjukkan apakah konsentrasi (kadar) kortisol dan ACTH untuk setiap pasien
tinggi atau rendah dengan menggunakan titik henti yang ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Klik baris pasien lalu klik Tinggi atau Rendah di sebelah kortisol dan ACTH.

22. Klik submit data untuk merekam hasil.


BAB V

HASIL PRAKTIKUM

5.1 Activity 1

Rat Weight (g) ml O2/min ml O2/hr BMR Palpation Injected


(ml O2/kg/hr)
Normal 250 7.1 426.00 1704.00 No Mass none
Tx 245 6.4 384.00 1567.35 No Mass none
Hypox 244 6.3 378.00 1549.18 No Mass none
Normal 250 8.4 504.00 2016.00 No Mass thyroxine
Tx 245 7.8 468.00 1910.20 No Mass thyroxine
Hypox 244 7.8 468.00 1918.03 No Mass thyroxine
Normal 250 7.9 474.00 1896.00 Mass TSH
Tx 245 6.4 384.00 1567.35 No Mass TSH
Hypox 244 7.8 468.00 1918.03 Mass TSH
Normal 250 6.4 384.00 1536.00 Mass ptu
Tx 245 6.3 378.00 1542.86 No Mass ptu
Hypox 244 6.4 384.00 1573.77 No Mass ptu

Tabel 5.1 Pengaruh Pemberian Tiroksin, TSH dan PTU Terhadap Laju Metabolisme Tikus.

Pada tabel diatas, dapat kita lihat bahwa ketika tikus Normal tidak diberi injeksi maka akan
memiliki nilai BMR yang lebih tinggi yakni sebesar 17044.00. kita lihat juga bahwa laju
metabolisme tikus normal lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Thyroidectomized (Tx)
dan tikus Hypophysectomized (Hypox). Tetapi antara tikus Tx dan Hypox, laju
metabolismenya relatif sama. Pada pemberian injeksi Tiroksin, ketiga tikus menunjukkan
peningkatan metabolik. Pada pemberian injeksi TSH yang mengalami peningkatan
metabolik hanya tikus Normal dan Hypox, sedangkan tikus Tx nilai BMR nya sama seperti
diberikan injeksi tiroksin. Untuk pemberian injeksi PTU, tikus Normal dan Tx
menunjukkan penurunan metabolik, sedangkan pada tikus Hypox mengalami sedikit
peningkatan laju metabolik.
5.2 Activity 2

Tabel 5.2.1 Pada percobaan ini dari kelima tabung di bedakan menjadi 2 part, pada
part pertama optical density nya meningkat setelah di teteskan beberapa larutan yang
dapat berpengaruh pada peningkatan glukosa dengan tabung tertentu sedangkan pada
part kedua semua tabung mengalami peningkatan pada optical density nya kecuali
pada tabung ke 4 mengalami penurunan dengan glukosa yang stabil.

5.3 Activity 3

Rat Elapsed Saline injections Estrogen Calcitonin T score


Days injections
injections

Control 7 7 0 0 -2.85

Estrogen 7 0 7 0 -1.68

Calcitonin 7 0 0 7 -2.15

Tabel 5.3.1 Pada percobaan dengan di lakukannya X-ray pada tikus percobaan,
didapatkan bahwa tikus dalam kondisi kontrol, estrogen dan kalsitonin, masing-
masing diberi suntikan sebanyak 7 kali dalam 7 hari (1 suntikan per hari) menunjukan
hasil yang berbeda. Pada efek terapi hormone kali ini menunjukan bahwa hasil dari
tikus yang di injeksi saline lebih tinggi dibandingkan kedua tikus dengan estrogen dan
kalsitonin. Hormon estrogen dalam plasma sendiri merupakan hasil, dari pengeluaran
hormon steroid dari pertumbuhan folikel ovarium. Setelah menopause, hormon
estrogen akan terjadi penurunan produksi.
5.4 Activity 4

5.4.1 Tabel diatas merupakan kadar Kortisol ACTH yang abnormal

Tabel 5.4.2 Tabel diatas merupakan gangguan-gangguan yang terjadi pada hormone
Kortisol dan ACTH

Tabel5.4.3 Tabel diatas menunjukkan hasil pengukuran Kortisol dan ACTH dari kelima
sampel pasien yang sudah disediakan. Data tersebut menunjukkan bahwa :

1. Pasien 1 menderita Insufisiensi adrenal sekunder atau Hypopituitarism ditandai


dengan rendahnya kadar Kortisol dan ACTH dalam tubuhnya.
2. Pasien 2 menderita Sindrom Caushing (Hiperkortisolisme primer) dikarenakan
kadar Kortisol yang tinggi dan dan kadar ACTH yang rendah
3. Pada pasien ke 3 menderita penyakit Caushing (Hiperkortisolisme sekunder) yang
ditandai dengan kadar Kotisol dan ACTH dalam tubuhnya tinggi.
4. Pada pasien ke 4 menderita penyakit Addison (Insufisiensi adrenal primer) dimana
kadar Kortisol rendah dan ACTH tinggi. erta meningkatnya ACTH karena efek
kompensasi.
5. Pasien ke 5 menderita Sindrom Caushing latrogenik diamana kadar Kortisol tinggi
dan kadar ACTH rendah.
BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PRAKTIKUM

6.1 Activity 1

Pada praktikum kali ini, kita menggunakan 3 hewan coba yang sama namun dalam
keadaan yang berbeda, yakni tikus normal, tikus thyroidectomized dan tikus
hypophysectomized. Tikus thyroidectomized adalah tikus yang kelenjar tiroidnya
telah diangkat melalui pembedahan sehingga tidak menghasilkan hormon tiroksin,
sedangkan tikus hypophysectomized adalah tikus yang kelenjar pituitarinya telah
diangkat melalui pembedahan sehingga tidak menghasilkan hormon TSH (thyroid-
stimulanting hormone). Pada masing-masing tikus akan disuntikkan injeksi tiroksin,
TSH (thyroid-stimulanting hormone) dan PTU (propylthiouracil). Dalam proses
metabolisme oksigen sangat diperlukan oleh tubuh, maka dari itu pada percobaan ini
penggunaan oksigen tiap jam disebutkan sebagai laju metabolisme.

Pada percobaan ini, tikus normal memiliki angka laju metabolik yang paling tinggi,
sedangkan tikus Tx dan Hypox memiliki laju yang relatif sama. Hal ini dikarenakan
pada tikus Tx tidak memiliki kelenjar tiroid yang dimana fungsi kelenjar tiroid yakni
menghasilkan hormon tiroksin yang berperan dalam proses metabolisme, sehingga
pada tikus Tx proses metabolismenya menjadi lambat. Sedangkan pada tikus Hypox
tidak memiliki kelenjar pituitary yang berfungsi untuk mengeluarkan TSH (thyroid-
stimulanting hormone) ketika dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing hormone).
Karena kelenjar pituitarinya telah diangkat, maka BMR pada tikus hipotirodektomi
akan lebih rendah dari tikus normal, dan hormon yang menurun adalah TSH.

Pada saat pemberian injeksi tiroksin, nilai BMR pada ketiga tikus mengalami
peningkatan dan tentunya tikus normal tetap memiliki nilai BMR tertinggi. Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa pemberian injeksi tiroksin akan meningkatkan laju
metabolisme.

Goiter adalah keadaan dimna kelenjar tiroid menonjol dan membesar yang terjadi jika
miksedema kekurangan yodium. Pada praktikum kali ini senyawa yang dapat
menimbulkan Goiter adalah TSH karena menyebabkan kelenjar tiroid membesar dan
mensekresi tiroksin ke dalam sirkulasi umum. Sehingga jika kadar TSH terlalu tinggi
akan terjadi pembengkakan kelenjar (Goiter/gondok) dan PTU karena menghambat
produksi tiroksin. Sehingga ketika sirkulasi tiroksin rendah, hipotalamus
mengeluarkan lebih banyak TRH untuk merangsang kelenjar pituitari untuk
mengeluarkan lebih banyak TSH. Dengan demikian kadar TSH akan meningkat dan
mengakibatkan pembengkakan kelenjar (Goiter/gondok).

6.2 Activity 2

Insulin merupakan hormon yang di produksi oleh sel sel beta dari pankreas yang sangat
penting untuk mengatur kadar glukosa plasma.Ketika pankreas tidak menghasilkan
insulin yang cukup menyebabkan Diabetes Mellitus Tipe 1,sedangkan jika pankreas
menghasilkan insulin yang cukup tetapi tubuh gagal meresponnya menyebabkan
Diabetes Mellitus Tipe 2.

5.3 Activity 3

Estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium ditulang yang potensial karena


keberadaannya dapat menunjang sekresi dan meningkatkan kalsitonin serta
menurunkan sekresi hormon paratiroid. Penurunan produksi estrogen juga
menggagalkan osteoblast mendeposit jaringan matriks (osteoid). Estrogen bertanggung
jawab pada fase pertumbuhan dan menutup perkembangan epifisis pada tulang panjang
masa pubertas.

Kalsitonin diberikan untuk pengobatan penyakit tulang, juga dalam mencegah dan
mengobati osteoporosis pascamenopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena
berkurangnya hormon estrogen yang bertugas membantu mengatur pengangkutan
kalsium kedalam tulang. Osteoporosis sendiri merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan bentuk mikro jaringan tulang
yang mengakibatkan rendahnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang
sehingga dapat menyebabkan tulang mudah patah. Sedangkan osteopenia merupakan
suatu tahapan kondisi penurunan kepadatan tulang secara tidak normal sebelum
memasuki osteoporosis.
Nilai T-score didapat saat pemeriksaan BMD (Bone Mineraral Density). Bila T-score
kurang dari -2.5 digolongkan sebagai osteoporosis. Nilai T-score di bawah -1.0
dinamakan osteopenia. Nilai T-score diantara -1 sampai +1 tergolong normal.

5.4 Activity 4

Pada activity 4 ini kita akan membahas tentang hormon Kortisol dan ACTH. Kortisol
adalah suatu hormon yang disekresikan oleh korteks adrenal yang penting dalam respon
tubuh terhadap berbagai jenis stres. Pelepasan kortisol dirangsang oleh
adrenocorticotropic hormon atau disebut sebagai ACTH. ACTH ini sendiri adalah
hormon tropik yang dilepaskan hipofisis anterior.

Hormon Kortisol memiliki satuan (mcg/dl) dan Hormon ACTH memiliki satuan
(pg/dl). Hormon-hormon tersebut dapat mengalami berbagai macam gangguan, yang
dapat kita lihat pada tabel tinggi-rendahnya kadar hormon tersebut dalam tubuh
manusia. Pada hormon Kortisol mengalami gangguan jika memiliki kadar lebih besar
dari 23 mcg/dl dan kurang dari 5 mcg/dl. Sedangkan hormon ACTH sendiri mengalami
gangguan bila memiliki kadar lebih besar dari 80 pg/ml dan dibawah 20 pg/dl.

Pada pasien 1 menderita Insufisiensi adrenal sekunder atau Hypopituitarism dimana


pasien tersebut mengalami penurunan atau rendahnya kadar Kortisol dan ACTH dalam
tubuhnya. Rendahnya kadar ACTH disebabkan oleh kerusakan pada hipofisis anterior.
Pasien 2 menderita Sindrom Caushing (Hiperkortisolisme primer) dikarenakan kadar
Kortisol yang tinggi dan dan kadar ACTH yang rendah. Pada pasien ke 3 menderita
penyakit Caushing (Hiperkortisolisme sekunder) Penyakit ini disebabkan oleh tumor
hipofisis anterior dimana dapat ditandai dengan kadar Kotisol dan ACTH dalam
tubuhnya tinggi. Sindrom Caushing ini sendiri juga dapat disebut sebagai Diabetes
Steroid dikarenakan menyebabkan hiperglikemia. Pada pasien ke 4 menderita penyakit
Addison (Insufisiensi adrenal primer) dimana kadar Kortisol rendah dan ACTH tinggi.
Rendahnya kadar kortisol ini disebabkan oleh penghancuran bertahap korteks adrenal
serta meningkatnya ACTH karena efek kompensasi. Pasien ke 5 menderita Sindrom
Caushing latrogenik diamana kadar Kortisol tinggi dan kadar ACTH rendah.
BAB VII

KESIMPULAN

Kesimpulan yang kami dapat berdasarkan hasil praktikum diatas bahwa pada activity 1 tikus
normal akan memiliki nilai BMR yang paling besar baik sebelum diberi injeksi ataupun
sudah diberi injeksi. Pemberian injeksi TSH dan PTU akan menimbulkan Goiter karena
kedua injeksi tersebut akan meningkatkan kadar TSH dalam tubuh.

Pada activity 2, tubuh manusia terdapat hormon insulin. Hormon insulin ini merupakan
hormon di produksi oleh sel sel beta dari pankreas yang sangat penting untuk mengatur kadar
gula darah. Ketika hormon insulin yang diproduksi tubuh berkurang dapat menyebabkan
Diabetes Mellitus yang disebabkan oleh kelainan hormon yang mengakibatkan sel-sel di
dalam tubuh tidak dapat menyerap glukosa.

Pada activity ke 3, ketiga tikus tersebut berturut-turut mengalami osteoporosis, osteopenia


dan osteopenia. Karena pada tikus yang osteoporosis memiliki kuantitatif dibawah -2.5, pada
tikus yang osteopenia memiliki nilai kuantitatif diatas -1.0 dan tidak melebihi -2.49.

Pada activity ke 4, tubuh manusia memiliki hormon kortisol dan hormon ACTH dalam tubuh
manusia. Hormon tersebut sangat penting untuk perkembangan hidupa manusia. Jika hormon
tersebut terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengakibatkan berbagai macam gangguan.
Kortisol mengalami gangguan jika memiliki kadar lebih besar dari 23 mcg/dl dan kurang dari
5 mcg/dl. Sedangkan hormon ACTH sendiri mengalami gangguan bila memiliki kadar lebih
besar dari 80 pg/ml dan dibawah 20 pg/dl.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marieb, Elaine N., dan Katja Hoehn. 2016. Human Anatomy & Physiologi. England:
Pearson Education Limited
2. Buku praktium Anatomi Fisiologi Manusia Universitas Widya Mandala Surabaya Tahun
Ajaran 2020/2021
3. Tortora, G. & Derrickson, B. H. 2009. Principle of Anatomy and Physiology, 12th Edition.
New York: John Wiley & Sons. p. 137-138

Anda mungkin juga menyukai