FISIOLOGI MANUSIA
SISTEM ENDOKRIN
Disusun Oleh :
FAKULTAS FARMASI
2021-2022
BAB I
1.2 Tujuan
2. Memahami regulasi glukosa darah oleh hormon insulin dan penyakit Diabetes
Mellitus,
LANDASAN TEORI
Hipotalamus di yang terdapat di otak juga merupakan salah satu kelenjar yang penting
dalam produksi tiroksin dan TSH. Hipotalamus merupakan kelenjar endokrin utama yang
mengeluarkan beberapa hormon yang mempengaruhi kelenjar pituitari atau hipofisisnyang
juga terletak di otak. Thyrotropin-releasing hormone (TRH) berhubungan langsung dengan
sekresi tiroksin dan TSH. TRH dari hipotalamus merangsang hipofisis anterior untuk
menghasilkan TSH yang kemudian merangsang tiroid untuk menghasilkan tiroksin.
Peristiwa ini adalah bagian dari mekanisme umpan balik negatif klasik. Ketika tingkat
sirkulasi tiroksin rendah, hipotalamus mengeluarkan lebih banyak TRH untuk merangsang
kelenjar pituitari untuk mengeluarkan lebih banyak TSH. Peningkatan TSH selanjutnya
merangsang sekresi tiroksin dari kelenjar tiroid. Peningkatan kadar tiroksin selanjutnya akan
mempengaruhi hipotalamus untuk menurunkan produksi TRH-nya. TRH berjalan dari
hipotalamus ke kelenjar hipofisis melalui sistem portal hipotalamus-hipofisis. Sistem portal
hipotalamus-hipofisis mengangkut banyak hormon lain dari hipotalamus ke kelenjar hipofisis.
Hipotalamus mengeluarkan hormon tropik yang merangsang sekresi hormon lain. TRH
adalah contoh hormon tropik karena merangsang pelepasan TSH dari kelenjar pituitari dan
merangsang produksi tiroksin.
Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta bagian endokrin pankreas.
Hormon ini sangat penting untuk pengaturan kadar glukosa plasma atau gula darah karena
hormon ini memungkinkan sel-sel kita menyerap glukosa dari aliran darah. Glukosa yang
diserap dari darah digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolisme atau disimpan sebagai
glikogen (juga dikenal sebagai glikogen hewan) yang paling menonjol di sel hati dan sel otot.
Sekitar 75% glukosa yang dikonsumsi selama makanan disimpan sebagai glikogen. Karena
manusia tidak memberi makan terus menerus (kita dianggap "pemberi makan terputus-
putus"), produksi glikogen dari makanan menunjukkan bahwa pasokan glukosa akan tersedia
selama beberapa jam setelah makan. Selanjutnya, tubuh harus mempertahankan tingkat
tertentu glukosa plasma untuk terus melayani sel-sel saraf karena jenis sel ini hanya
menggunakan glukosa untuk bahan bakar metabolisme. Plasma yang turun di bawah nilai
tertentu akan merangsang sel alfa pankreas untuk melepaskan hormon glukagon. Glukagon
merangsang pemecahan glikogen yang disimpan menjadi glukosa yang kemudian dilepaskan
kembali ke dalam darah. Ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin, maka akan
terjadi diabetes mellitus tipe 1. Ketika pankreas menghasilkan insulin yang cukup tetapi
tubuh gagal meresponsnya maka akan terjadi diabetes mellitus tipe 2. Dalam kedua kasus
tersebut, glukosa tetap berada dalam aliran darah dan sel-sel tubuh tidak dapat mengambilnya
sebagai bahan bakar utama untuk metabolisme. Ginjal kemudian menyaring kelebihan
glukosa keluar dari plasma. Karena reabsorpsi glukosa yang difiltrasi melibatkan sejumlah
transporter yang terbatas di sel tubulus ginjal, beberapa kelebihan glukosa tidak direabsorbsi
ke sirkulasi. Sebaliknya, ia keluar dari tubuh dalam bentuk urin. Ketidakmampuan sel-sel
tubuh untuk mengambil glukosa dari darah juga mengakibatkan sel-sel otot rangka menjalani
katabolisme protein untuk membebaskan asam amino menjadi asam amino yang digunakan
dalam pembentukan glukosa di hati. Tindakan ini menempatkan tubuh ke dalam
keseimbangan nitrogen negatif dari penipisan protein yang dihasilkan dan pemborosan
jaringan. Masalah terkait lainnya termasuk penyembuhan luka yang buruk dan resistensi yang
buruk terhadap infeksi.
Follicle-stimulating hormone (FSH) adalah hormon peptida hipofisis anterior yang
merangsang pertumbuhan folikel ovarium. Ovariun sendiri merupakan bagian dari sistem
reproduksi wanita. Ovarium berfungsi menghasilkan sel telur tiap bulan (mulai dari masa
pubertas hingga menopause), serta memproduksi hormon estrogen dan progesteron. Folikel
ovarium yang berkembang kemudian memproduksi dan mengeluarkan hormon steroid yang
disebut estrogen ke dalam plasma. Estrogen memiliki banyak efek pada tubuh wanita dan
homeostasis, termasuk stimulasi pertumbuhan tulang dan perlindungan terhadap osteoporosis
(pengurangan jumlah tulang yang ditandai dengan penurunan massa tulang dan peningkatan
kerentanan terhadap patah tulang). Menopause merupakan berakhirnya siklus menstruasi
secara alami yang biasanya terjadi saat wanita memasuki usia 45 hingga 55 tahun. Setelah
menopause, ovarium berhenti memproduksi dan mensekresi estrogen. Salah satu dampak
dan potensi gangguan kesehatan menopause adalah hilangnya kepadatan tulang yang dapat
mengakibatkan osteoporosis dan patah tulang. Penurunan kepadatan tulang secara tidak
normal akan meyebabkan osteopenia. Akibatnya, kekuatan tulang ikut menurun dan risiko
patah tulang menjadi lebih besar. Kondisi ini bisa disebut sebagai peralihan tulang yang sehat
menuju osteoporosis. Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
berkurangnya massa tulang dan kerusakan mikroarsitektur tulang yang menyebabkan tulang
menjadi rapuh dan meningkatkan risiko terjadi patah tulang. Oleh karena itu, diperlukan
perawatan pascamenopause untuk mencegah osteoporosis yang sering kali melibatkan terapi
penggantian hormon. Estrogen dapat diberikan untuk meningkatkan kepadatan tulang.
Kalsitonin (disekresi oleh sel C di kelenjar tiroid) adalah hormon peptida lain yang dapat
diberikan untuk melawan perkembangan osteoporosis. Kalsitonin menghambat aktivitas
osteoklas dan merangsang pengambilan dan deposisi caksium pada tulang panjang.
Kortisol suatu homone yang disekresikan oleh korteks adrenal penting dalam respons
tubuh terhadap berbagai jenis stres. Pelepasan kortisol dirangsang oleh adrenocorticotropic
homone (ACTH), suatu tropic homone yang dilepaskan oleh hipofisis anterior. Hormon
tropik merangsang sekresi homone lain. Pelepasan ACTH pada gilirannya, dirangsang oleh
corticotropin-releasing hormone (CRN) yang merupakan suatu hormon tropik dari
hipotalamus. Peningkatan kadar kortisol memberi umpan balik negatif untuk menghambat
pelepasan ACTH dan CRH. Peningkatan kortisol dalam darah atau hiperkortisolisme disebut
sebagai sindrom Cushing. Peningkatan tersebut disebabkan oleh tumor kelenjar adrenal.
Sindrom Cushing juga bisa bersifat latrogenik. Misalnya, sindrom Cushing yang diinduksi
oleh dokter dapat terjadi ketika hormon glukokortikold, seperti prednison diberikan untuk
mengobati rheumatoid arthritis, asma, atau lupus. Sindrom Cushing sering disebut sebagai
"diabetes steroid" karena menyebabkan hiperglikemia. Sebaliknya, penyakit Cushing adalah
hiperkortisolisme yang disebabkan oleh tumor hipofisis anterior. Orang dengan penyakit
Cushing menunjukkan peningkatan kadar ACTH dan kortisol. Penurunan kortisol dalam
darah atau hipokortisol dapat terjadi karena insufisiensi adrenal. Pada insufisiensi adrenal
primer dikenal juga sebagai penyakit Addison dimana kortisol yang rendah secara langsung
disebabkan oleh penghancuran bertahap korteks adrenal dan tingkat ACTH biasanya
meningkat sebagai efek kompensasi. Insufisiensi adrenal sekunder juga mengakibatkan
rendahnya kadar kortisol, biasanya disebabkan oleh kerusakan pada hipofisis anterior. Oleh
karena itu, kadar ACTH juga rendah pada insufisiensi adrenal sekunder. Berbagai gangguan
endokrin dapat dikaitkan dengan tingkat kortisol dan ACTH yang tinggi dan rendah.
Tabel 2.1 Gangguan Endokrin Yang Dipengaruhi Oleh Tingkat kortisol dan ACTH
BAB III
3.1 Alat
3.1.1 Activity 1
3.1.2 Activity 2
3.1.4 Activity 4
3.2 Bahan
3.2.1 Activity 1
3.2.2 Activity 2
1. Air deionisasi digunakan untuk mengatur volume agar sama untuk setiap
reaksi Standar glukosa
4. Heparin
3.2.3 Activity 3
2. Garam
3. Esterogen
4. Kalsitonin
3.2.4 Activity 4
CARA KERJA
4.1 Activity 1
4.2 Activity 2
1. Tarik tabung uji ke pemegang pertama dalam inkubasi, ulangi sampai 5 kali
2. Tarik pipet Glucose standard pada tabung uji, teteskan beberapa kali sesuai nomor
tabung uji
3. Tambahkan Deionized Water, teteskan beberapa kali sesuai nomor tabung uji
4. Klik Mix kemudian klik Centrifuge setelah itu klik Remove Pellet
5. Tambahkan Enzym color reagent , teteskan beberapa kali sesuai nomor tabung uji
6. Klik Incubate
7. Klik Set up,
8. Tarik tabung 1 ke spectrometer , kemudian klik analyze
9. Klik Record data
10. Ulangi prosedur nomor 8 -9 hingga tabung ke 5
11. Klik Graph Glucose Standard untuk menghasilkan kurva standard
12. Tarik tabung uji ke pemegang pertama dalam inkubasi, ulangi sampai 5 kali
13. Tarik dan tambahkan 5 sample pada masing-masing tabung
14. Tambahkan Deionized Water, teteskan pada masing-masing tabung
15. Tambahkan Barium Hydroxide, teteskan pada masing-masing tabung
16. Tambahkan Heparin, teteskan pada masing-masing tabung
17. Klik Mix kemudian klik Centrifuge setelah itu klik Remove Pellet
18. Tambahkan Enzym color reagent , teteskan pada tabung uji
19. Ulangi prosedur nomor 6-11
20. Klik submit
4.3 Activity 3
1. Tarik jarum suntik ke botol saline untuk mengisi jarum suntik dengan 1 ml saline.
2. Tarik jarum suntik ke tikus control, tempatkam ujung jarum di daerah perut bagian
bawah tikus. Suntikan ke daerah ini di anggap intraperitoneal dan akan dengan cepat
diedarkan oleh pembuluh darah perut.
3. Klik clean dibawah tempat jarum suntik untuk membersihkan jarum suntik dari semua
residu.
4. Tarik jarum suntik ke botol estrogen untuk mengisi jarum suntik dengan 1 ml estrogen.
5. Tarik jarum suntik ke tikus estrogen-treated, tempatkan ujung jarum di daerah perut
bagian bawah tikus.
6. Klik clean dibawah tempat jarum suntik untuk membersihkan jarum suntik dari semua
residu.
7. Tarik jarum suntik ke botol kalsitonin untuk mengisi jarum suntik dengan 1 ml
kalsitonin.
8. Tarik jarum suntik ke tikus calcitonin-treated, tempatkan ujung jarum di daerah perut
bagian bawah tikus.
9. Klik clean dibawah tempat jarum suntik untuk membersihkan jarum suntik dari semua
residu.
11. Setiap tikus harus menerima 7 suntikan selama 7 hari (1 suntikan/hari). Suntikan yang
tersisa akan otomatis.
Klik tampilan jam untuk mengulangi rangkaian suntikan sampai anda menyuntikan
masing-masing tikus sebanyak 7 kali.
12. Klik anestesi diatas kandang tikus control untuk melumpuhkan tikus control dengan
anestesi gas untuk pemindaian sinar-X
13. Seret tikus yang dibius ke meja pemeriksaan untuk pemindaian sinar-X
14. Klik scan untuk mengaktifkan pemindaian. Skor T akan muncul di tampilan skor T.
Klik record data untuk merekam hasil anda di kisi. Tikus control akan ototmatis
dikembalikan ke kandang nya.
15. Sekarang anda akan mendapatkan skor T untuk tikus yang tersisa. Lakukan langkah-
langkah ini untuk mendapatkan skor T untuk tikus. Yang diberi estrogen, kemudian
ulangi langkah-langkah ini untuk mendaptkan skor T untuk tikus yang diberi
kalsitonin.
16. Klik anestesi di atas kandang tikus untuk melupuhkan tikus dengan anestesi gas untuk
pemindaian sinar-X
Seret tikus yang dibius ke meja untuk pemindaian sinar-X. Klik scan untuk
mengaktifkan pemindaian. Skor T akan muncul di tampilan skor T.
Klik record data untuk merekam hsil anda di kisi. Tikus akan otomatis dikembalikan
ke kandangnya
4.4 Activity 4
2. Tarik spuit ke tabung pertama isi spuit dengan plasma yang diisolasi dari pasien
pertama.
3. Tarik spuit ke injektor HPLC. Sampel akan masuk ke tubing dan mengalir melalui
kolom. Konsentrasi kortisol dalam sampel pasien akan muncul di layar detektor HPLC.
6. Tarik spuit ke tabung kedua untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kedua.
7. Tarik spuit ke injektor HPLC. Sampel akan masuk ke tubing dan mengalir melalui
kolom. Konsentrasi kortisol dalam sampel pasien akan muncul di layar detektor HPLC.
10. Prosedur untuk sampel yang tersisa akan selesai secara otomatis.
11. Tarik spuit ke tabung ketiga untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien ketiga.
Ketika kortisol konsentrasi untuk pasien ketiga dicatat dalam kisi, seret jarum
suntik ke tabung keempat untuk mengisi jarum suntik dengan plasma yang diisolaidari
pasien keempat. Ketika konsentrasi kortisol untuk pasien keempat dicatat dalam kotak,
seret spuit ke tabung kelima untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kelima.
12. Klik ACTH untuk menyiapkan kolom pemisahan dan pengukuran ACTH.
13. Tarik spuit ke tabung pertama untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien pertama.
15. Klik Bersihkan di bawah jarum suntik untuk menyiapkan sampel berikutnya.
Klik Bersihkan Kolom untuk menghapus sisa ACTH dari kolom.
16. Tarik spuit ke tabung kedua untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kedua.
17. Tarik spuit ke injektor HPLC. Sampel akan masuk ke tubing dan mengalir melalui
kolom. Konsentrasi ACTH dalam sampel pasien akan muncul di layar detektor HPLC.
Klik Bersihkan Kolom untuk menghilangkan sisa ACTH dari kolom. Prosedur
untuk sampel yang tersisa akan selesai secara otomatis.
20. Tarik spuit ke tabung ketiga untuk mengisi spuit dengan plasma yang diisolasi dari
pasien ketiga.
Ketika ACTH konsentrasi untuk pasien ketiga dicatat dalam kisi, pindahkan
jarum suntik ke tabung keempat untuk mengisi jarum suntik dengan plasma yang
diisolasi dari pasien keempat.
Ketika ACTH konsentrasi untuk pasien keempat dicatat dalam kisi, seret jarum suntik
ke dalam tabung kelima untuk mengisi jarum suntik dengan plasma yang diisolasi dari
pasien kelima
21. Tunjukkan apakah konsentrasi (kadar) kortisol dan ACTH untuk setiap pasien
tinggi atau rendah dengan menggunakan titik henti yang ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Klik baris pasien lalu klik Tinggi atau Rendah di sebelah kortisol dan ACTH.
HASIL PRAKTIKUM
5.1 Activity 1
Tabel 5.1 Pengaruh Pemberian Tiroksin, TSH dan PTU Terhadap Laju Metabolisme Tikus.
Pada tabel diatas, dapat kita lihat bahwa ketika tikus Normal tidak diberi injeksi maka akan
memiliki nilai BMR yang lebih tinggi yakni sebesar 17044.00. kita lihat juga bahwa laju
metabolisme tikus normal lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Thyroidectomized (Tx)
dan tikus Hypophysectomized (Hypox). Tetapi antara tikus Tx dan Hypox, laju
metabolismenya relatif sama. Pada pemberian injeksi Tiroksin, ketiga tikus menunjukkan
peningkatan metabolik. Pada pemberian injeksi TSH yang mengalami peningkatan
metabolik hanya tikus Normal dan Hypox, sedangkan tikus Tx nilai BMR nya sama seperti
diberikan injeksi tiroksin. Untuk pemberian injeksi PTU, tikus Normal dan Tx
menunjukkan penurunan metabolik, sedangkan pada tikus Hypox mengalami sedikit
peningkatan laju metabolik.
5.2 Activity 2
Tabel 5.2.1 Pada percobaan ini dari kelima tabung di bedakan menjadi 2 part, pada
part pertama optical density nya meningkat setelah di teteskan beberapa larutan yang
dapat berpengaruh pada peningkatan glukosa dengan tabung tertentu sedangkan pada
part kedua semua tabung mengalami peningkatan pada optical density nya kecuali
pada tabung ke 4 mengalami penurunan dengan glukosa yang stabil.
5.3 Activity 3
Control 7 7 0 0 -2.85
Estrogen 7 0 7 0 -1.68
Calcitonin 7 0 0 7 -2.15
Tabel 5.3.1 Pada percobaan dengan di lakukannya X-ray pada tikus percobaan,
didapatkan bahwa tikus dalam kondisi kontrol, estrogen dan kalsitonin, masing-
masing diberi suntikan sebanyak 7 kali dalam 7 hari (1 suntikan per hari) menunjukan
hasil yang berbeda. Pada efek terapi hormone kali ini menunjukan bahwa hasil dari
tikus yang di injeksi saline lebih tinggi dibandingkan kedua tikus dengan estrogen dan
kalsitonin. Hormon estrogen dalam plasma sendiri merupakan hasil, dari pengeluaran
hormon steroid dari pertumbuhan folikel ovarium. Setelah menopause, hormon
estrogen akan terjadi penurunan produksi.
5.4 Activity 4
Tabel 5.4.2 Tabel diatas merupakan gangguan-gangguan yang terjadi pada hormone
Kortisol dan ACTH
Tabel5.4.3 Tabel diatas menunjukkan hasil pengukuran Kortisol dan ACTH dari kelima
sampel pasien yang sudah disediakan. Data tersebut menunjukkan bahwa :
6.1 Activity 1
Pada praktikum kali ini, kita menggunakan 3 hewan coba yang sama namun dalam
keadaan yang berbeda, yakni tikus normal, tikus thyroidectomized dan tikus
hypophysectomized. Tikus thyroidectomized adalah tikus yang kelenjar tiroidnya
telah diangkat melalui pembedahan sehingga tidak menghasilkan hormon tiroksin,
sedangkan tikus hypophysectomized adalah tikus yang kelenjar pituitarinya telah
diangkat melalui pembedahan sehingga tidak menghasilkan hormon TSH (thyroid-
stimulanting hormone). Pada masing-masing tikus akan disuntikkan injeksi tiroksin,
TSH (thyroid-stimulanting hormone) dan PTU (propylthiouracil). Dalam proses
metabolisme oksigen sangat diperlukan oleh tubuh, maka dari itu pada percobaan ini
penggunaan oksigen tiap jam disebutkan sebagai laju metabolisme.
Pada percobaan ini, tikus normal memiliki angka laju metabolik yang paling tinggi,
sedangkan tikus Tx dan Hypox memiliki laju yang relatif sama. Hal ini dikarenakan
pada tikus Tx tidak memiliki kelenjar tiroid yang dimana fungsi kelenjar tiroid yakni
menghasilkan hormon tiroksin yang berperan dalam proses metabolisme, sehingga
pada tikus Tx proses metabolismenya menjadi lambat. Sedangkan pada tikus Hypox
tidak memiliki kelenjar pituitary yang berfungsi untuk mengeluarkan TSH (thyroid-
stimulanting hormone) ketika dirangsang oleh TRH (Thyrotropin-releasing hormone).
Karena kelenjar pituitarinya telah diangkat, maka BMR pada tikus hipotirodektomi
akan lebih rendah dari tikus normal, dan hormon yang menurun adalah TSH.
Pada saat pemberian injeksi tiroksin, nilai BMR pada ketiga tikus mengalami
peningkatan dan tentunya tikus normal tetap memiliki nilai BMR tertinggi. Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa pemberian injeksi tiroksin akan meningkatkan laju
metabolisme.
Goiter adalah keadaan dimna kelenjar tiroid menonjol dan membesar yang terjadi jika
miksedema kekurangan yodium. Pada praktikum kali ini senyawa yang dapat
menimbulkan Goiter adalah TSH karena menyebabkan kelenjar tiroid membesar dan
mensekresi tiroksin ke dalam sirkulasi umum. Sehingga jika kadar TSH terlalu tinggi
akan terjadi pembengkakan kelenjar (Goiter/gondok) dan PTU karena menghambat
produksi tiroksin. Sehingga ketika sirkulasi tiroksin rendah, hipotalamus
mengeluarkan lebih banyak TRH untuk merangsang kelenjar pituitari untuk
mengeluarkan lebih banyak TSH. Dengan demikian kadar TSH akan meningkat dan
mengakibatkan pembengkakan kelenjar (Goiter/gondok).
6.2 Activity 2
Insulin merupakan hormon yang di produksi oleh sel sel beta dari pankreas yang sangat
penting untuk mengatur kadar glukosa plasma.Ketika pankreas tidak menghasilkan
insulin yang cukup menyebabkan Diabetes Mellitus Tipe 1,sedangkan jika pankreas
menghasilkan insulin yang cukup tetapi tubuh gagal meresponnya menyebabkan
Diabetes Mellitus Tipe 2.
5.3 Activity 3
Kalsitonin diberikan untuk pengobatan penyakit tulang, juga dalam mencegah dan
mengobati osteoporosis pascamenopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena
berkurangnya hormon estrogen yang bertugas membantu mengatur pengangkutan
kalsium kedalam tulang. Osteoporosis sendiri merupakan suatu penyakit yang ditandai
dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan bentuk mikro jaringan tulang
yang mengakibatkan rendahnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang
sehingga dapat menyebabkan tulang mudah patah. Sedangkan osteopenia merupakan
suatu tahapan kondisi penurunan kepadatan tulang secara tidak normal sebelum
memasuki osteoporosis.
Nilai T-score didapat saat pemeriksaan BMD (Bone Mineraral Density). Bila T-score
kurang dari -2.5 digolongkan sebagai osteoporosis. Nilai T-score di bawah -1.0
dinamakan osteopenia. Nilai T-score diantara -1 sampai +1 tergolong normal.
5.4 Activity 4
Pada activity 4 ini kita akan membahas tentang hormon Kortisol dan ACTH. Kortisol
adalah suatu hormon yang disekresikan oleh korteks adrenal yang penting dalam respon
tubuh terhadap berbagai jenis stres. Pelepasan kortisol dirangsang oleh
adrenocorticotropic hormon atau disebut sebagai ACTH. ACTH ini sendiri adalah
hormon tropik yang dilepaskan hipofisis anterior.
Hormon Kortisol memiliki satuan (mcg/dl) dan Hormon ACTH memiliki satuan
(pg/dl). Hormon-hormon tersebut dapat mengalami berbagai macam gangguan, yang
dapat kita lihat pada tabel tinggi-rendahnya kadar hormon tersebut dalam tubuh
manusia. Pada hormon Kortisol mengalami gangguan jika memiliki kadar lebih besar
dari 23 mcg/dl dan kurang dari 5 mcg/dl. Sedangkan hormon ACTH sendiri mengalami
gangguan bila memiliki kadar lebih besar dari 80 pg/ml dan dibawah 20 pg/dl.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang kami dapat berdasarkan hasil praktikum diatas bahwa pada activity 1 tikus
normal akan memiliki nilai BMR yang paling besar baik sebelum diberi injeksi ataupun
sudah diberi injeksi. Pemberian injeksi TSH dan PTU akan menimbulkan Goiter karena
kedua injeksi tersebut akan meningkatkan kadar TSH dalam tubuh.
Pada activity 2, tubuh manusia terdapat hormon insulin. Hormon insulin ini merupakan
hormon di produksi oleh sel sel beta dari pankreas yang sangat penting untuk mengatur kadar
gula darah. Ketika hormon insulin yang diproduksi tubuh berkurang dapat menyebabkan
Diabetes Mellitus yang disebabkan oleh kelainan hormon yang mengakibatkan sel-sel di
dalam tubuh tidak dapat menyerap glukosa.
Pada activity ke 4, tubuh manusia memiliki hormon kortisol dan hormon ACTH dalam tubuh
manusia. Hormon tersebut sangat penting untuk perkembangan hidupa manusia. Jika hormon
tersebut terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengakibatkan berbagai macam gangguan.
Kortisol mengalami gangguan jika memiliki kadar lebih besar dari 23 mcg/dl dan kurang dari
5 mcg/dl. Sedangkan hormon ACTH sendiri mengalami gangguan bila memiliki kadar lebih
besar dari 80 pg/ml dan dibawah 20 pg/dl.
DAFTAR PUSTAKA
1. Marieb, Elaine N., dan Katja Hoehn. 2016. Human Anatomy & Physiologi. England:
Pearson Education Limited
2. Buku praktium Anatomi Fisiologi Manusia Universitas Widya Mandala Surabaya Tahun
Ajaran 2020/2021
3. Tortora, G. & Derrickson, B. H. 2009. Principle of Anatomy and Physiology, 12th Edition.
New York: John Wiley & Sons. p. 137-138