Anda di halaman 1dari 28

PRAKTIKUM ANATOMI DAN FISIOLOGI MANUSIA

“SISTEM GINJAL”

Disusun Oleh:
1. FRANSISKA NATASYA P.N. 2443020035
2. CHERYL AMANDA SANTOSO 2443020047
3. RIBKA TRIVENA MUABUAI 2443020049
4. GRACE MIRACLE JIMINA H. 2443020056
5. TIO MINARITATIS HUTAURUK 2443020057
6. DESI PUSPITA SARI 2443020065
7. CHELVINA ANGGLE 2443020076

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2020-2021
BAB I

Latar Belakang dan Tujuan Praktikum

1.1. Latar Belakang


Ginjal adalah organ ekskresi dan pengatur. Dengan menyaring air dan zat terlarut dalam
darah, ginjal mampu mengeluarkan kelebihan air, produk limbah, dan bahkan benda asing dari
tubuh. Namun, ginjal juga mengatur osmolaritas plasma (konsentrasi larutan dinyatakan sebagai
osmol zat terlarut per liter pelarut), volume plasma, keseimbangan asam basa tubuh, dan
keseimbangan elektrolit tubuh. Semua aktivitas ini sangat penting untuk memelihara homeostatis
dalam tubuh.
Ginjal berpasangan terletak di antara dinding perut posterior dan peritoneum perut. Ginjal
kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri. Setiap ginjal manusia mengandung kurang lebih satu
juta nefron, unit fungsional ginjal.
Setiap nefron terdiri dari sel ginjal dan tubulus ginjal. Sel ginjal terdiri dari "bola" kapiler,
yang disebut glomerulus, yang ditutup oleh kapsul berisi cairan, yang disebut kapsul Bowmans,
atau kapsul glomerulus. Arteriol aferen memasok darah ke glomerulus. Saat darah mengalir
melalui kapiler glomerulus, plasma bebas protein menyaring ke dalam kapsul Bowmans, suatu
proses yang disebut filtrasi glomerulus. Arteriol eferen kemudian mengalirkan glomerulus dari
sisa darah.
Filtrat mengalir dari kapsul Bowmans ke awal tubulus ginjal, yang disebut tubulus kontortus
proksimal, kemudian ke lengkung Henle, lingkaran jepit rambut berbentuk U, dan akhirnya, ke
dalam tubulus kontortus distal sebelum dikosongkan ke dalam saluran pengumpul. Dari saluran
pengumpul, filtrat mengalir ke, dan mengumpulkan, kelopak kecil.
Nefron melakukan tiga fungsi penting yang memproses darah menjadi filtrat dan urin: (1)
filtrasi glomerulus, (2) reabsorpsi tubular, dan (3) sekresi tubular. Filtrasi glomerulus adalah
proses pasif di mana cairan melewati lumen kapiler glomerulus ke dalam kapsul glomerulus
tubulus ginjal. Reabsorpsi tubular memindahkan sebagian besar filtrat kembali ke dalam darah,
meninggalkan sebagian besar air asin dan limbah di lumen tubulus. Beberapa zat terlarut yang
diinginkan, atau dibutuhkan, secara aktif direabsorbsi, dan lainnya bergerak secara pasif dari
lumen tubulus ke dalam ruang interstisial. Sekresi tubular pada dasarnya adalah kebalikan dari
reabsorpsi tubular dan merupakan proses di mana ginjal dapat membersihkan darah dari zat
tambahan yang tidak diinginkan, seperti kreatinin dan amonia.
Zat terlarut yang diserap kembali dan air yang bergerak ke ruang interstisial antara nefron
perlu dikembalikan ke darah, atau ginjal akan membengkak dengan cepat seperti balon. Kapiler
peritubular yang mengelilingi tubulus ginjal mengambil kembali zat yang diserap kembali dan
mengembalikannya ke sirkulasi umum. Kapiler peritubular muncul dari arteriol eferen yang
keluar dari glomerulus dan mengalir ke vena ginjal meninggalkan ginjal.

1.2.Tujuan Praktikum

1.2.1 Aktivitas 1 : Pengaruh Radius Arteriol pada Filtrasi Glomerulus


1. Untuk memahami istilah Nefron, Glomerulus,Kapiler Glomerulus,Tubulus Ginjal,Filtrasi,
Kapsul Bowmans, Sel Ginjal, Arteriol Aferen,Tekanan Kapiler Glomerulus, dan Laju
Filtrasi Glomerulus
2. Untuk memahami bagaimana perubahan radius Arteriol aferen berdampak pada tekanan
dan Filtrasi Kapiler Glomerulus

1.2.2 Aktivitas 2 : Pengaruh Tekanan pada Filtrasi Glomerulus


1. Untuk memahami istilah Glomerulus, Kapiler Glomerulus, Tubulus Ginjal, Filtrasi, Gaya
Starling, Kapsul Bowmans, Sel Ginjal, Arteriol Aferen, Tekanan Kapiler Glomerulus, dan
Laju Filtrasi Glomerulus
2. Untuk memahami bagaimana perubahan Tekanan Kapiler Glomerulus mempengaruhi
Laju Filtrasi Glomerulus
3. Untuk memahami bagaimana perubahan Tubulus Ginjal mempengaruhi Laju Filtrasi
Glomerulus

1.2.3 Aktivitas 3 : Respon Ginjal terhadap Perubahan Tekanan Darah


1. Untuk memahami istilah Nefron, Tubulus Ginjal, Filtrasi, Kapsul Bowmans, Tekanan
Darah, Arteriol Aferen, Glomerulus, Laju Filtrasi Glomerulus, dan Tekanan Kapiler
Glomerulus
2. Untuk memahami bagaimana Tekanan Darah mempengaruhi Tekanan Kapiler
Glomerulus dan Filtrasi Glomerulus
3. Untuk mengamati mana yang lebih selektif : Perubahan Radius Arteriol Aferen atau
Eferen saat terjadi perubahan Tekanan Darah

1.2.4 Aktivitas 4 : Gradien Terlarut dan Pengaruhnya terhadap Konsentrasi Urin


1. Untuk memahami istilah Hormon Antidiuretik (ADH) , Reabsorpsi, Lengkung Henle,
Duktus pengumpul, Lumen Tubulus, Ruang Interstitial, dan Kapiler Peritubular
2. Untuk menjelaskan proses Reabsorpsi air di daerah spesifik Nefron
3. Untuk memahami peran ADH dalam Reabsorpsi air oleh Nefron
4. Untuk menggambarkan bagaimana ginjal dapat menghasilkan urin yang empat kali lebih
pekat daripada darah

1.2.5 Aktivitas 6 : Pengaruh Hormon pada Pembentukan Urin

1. Untuk memahami istilah Antidiuretic Hormone (ADH), Aldosteron, Reabsorpsi,


Lengkung Henle, Tubulus Kontortus Distal, Duktus pengumpul, Lumen Tubulus, dan
Ruang Interstisial

2. Untuk memahami bagaimana Hormon Aldosteron dan ADH mempengaruhi proses ginjal
di ginjal manusia

3. Untuk memahami peran ADH dalam reabsorpsi air oleh nefron


4. Untuk memahami peran Aldosteron dalam reabsorpsi dan sekresi zat terlarut oleh nefron
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Fisiologi Ginjal

Ginjal mempunyai peran dalam empat macam proses dasar, yaitu filtrasi pada glomerulus,
perpindahan non-disriminatif plasma bebas protein dari darah ke dalam tubulus; dilanjutkan dengan
reabsorpsi tubulus, yang berupa pemindahan selektif konstituen-konstituen tertentu di filtrate
kembali ke dalam darah kapiler peritubulus; dan proses sekresi tubulus, proses perpindahan sangat
spesifik bahan-bahan spesifik dari darah kapiler peritubulus ke dalam cairan tubulus. Segala sesuatu
yang difiltrasi atau disekresikan tetapi tidak direabsorpsi akan dieksresikan di urin.

2.2 Filtrasi Ginjal

Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein tersaring melalui kapiler
glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam keadaan normal, 20% plasma yang masuk ke
glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal sebagai filtrasi glomerulus, adalah langkah pertama dalam
pembentukan urin. Secara rerata, 125 ml filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara
kolektif dari seluruh glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 47,5 galon)
setiap hari. Adanya pertimbangan bahwa volume rerata plasma pada orang dewasa adalah 2,75 liter,
maka hal ini berarti bahwa ginjal menyaring keseluruhan volume plasma sekitar 65 kali sehari. Jika
semua yang difiltrasi keluar sebagai urin, semua plasma akan menjadi urin dalam waktu kurang dari
setengah jam. Namun, hal ini tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan
erat di seluruh panjangnya, sehingga bahan-bahan dapat dipertukarkan antara cairan di dalam tubulus
dan darah di dalam kapiler peritubulus.

Filtrat glomerulus mempunyai komposisi yang hampir tepat sama dengan komposisi cairan
yang merembes dari ujung arteri kapiler ke dalam cairan interstisial. Tidak mengandung eritrosit dan
hanya mengandung sekitar 0,03 persen protein, atau sekitar 1/200 protein di dalam plasma. Elektrolit
dan komposisi solut lain dari filtrat glomelurus juga serupa dengan yang ditemukan di dalam cairan
interstisial. Di dalam glomerulus dihasilkan urine primer melalui filtrasi plasma. Urine primer
merupakan cairan isotonic terhadap plasma. Pori-pori yang dilalui oleh plasma, mempunyai garis
tengah efektif rata-rata sekitar 2,9 nm. Hal ini memungkinkan seluruh komponen plasma dengan
berat molekul hingga kira-kira 5 kDa dapat melalui pori-pori tanpa hambatan. Dengan bertambahnya
berat molekul, molekul akan ditahan, tetapi pertama-tama molekul dengan suatu M>65 kDa tidak
dapat lagi masuk kedalam urine primer. Karena protein darah secara umum mempunyai suati M>54
kDa, maka protein-protein darah hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam urine.

2.3 Reabsorpsi Ginjal

Reabsorpsi merupakan suatu proses penyerapan kembali zat-zat yang masih dibutuhkan oleh
tubuh yang diawali dengan proses filtrasi di ginjal. Ketika suatu zat akan direabsorbsi, pertama zat
tersebut harus ditranspor melintasi membran epitel tubulus ke dalam cairan interstisial ginjal dan
kemudian melalui membran kapiler peritubulus kembali ke dalam darah. Reabsorbsi melalui epitel
tubulus ke dalam cairan interstisial meliputi transpor aktif atau pasif. Suatu zat terlarut yang dapat
melawan gradien elektrokimia dan membutuhkan energi yang berasal dari metabolisme disebut
transpor aktif. Terdapat dua pembagian transpor aktif, yaitu : (1) transpor aktif primer, transpor yang
berhubungan langsung dengan suatu sumber energi seperti hidrolisis ATP; (2) transpor aktif
sekunder, transpor yang berhubungan secara tidak langsung dengan suatu sumber energi seperti yang
diakibatkan oleh gradien ion, disini dua atau lebih zat akan berinteraksi dengan suatu protein
membran spesifik (molekul carrier) dan ditranspor bersama melewati membran.

Sel-sel yang ada di tubulus ginjal, seperti sel epitel lainnya terikat satu sama lain oleh tight
junction. Ruang interselular lateralis terdapat di belakang tight junction dan memisahkan sel-sel
tubulus ginjal. Zat terlarut dapat direabsorbsi atau disekresi melintasi sel-sel melalui jalur trans-
selular, atau antara sel-sel dengan bergerak melintasi tight junction dan ruang interselular melalui
jalur paraselular. Untuk kebanyakan zat yang direabsorbsi dan disekresikan secara aktif, terdapat
suatu batas kecepatan agar zat terlarut dapat diteranspor yaitu transpor maksimum. Keterbatasan ini
disebabkan oleh kejenuhan dari sistem transpor spesifik yang dilibatkan apabila jumlah zat terlarut
yang dikirim ke tubulus meebihi kapasitas protein pengangkut dan enzim-enzim spesifik yang
terlibat dalam proses tranpor. Ada beberapa transpor maksimum yang penting untuk zat-zat yang
direabsorbsi secara aktif oleh tubulus sebagai berikut:

Zat Transpor Maksimum


Glukosa 375 mg/menit
Fosfat 0,10 mM/menit
Sulfat 0,06 mM/menit
Asam Amino 1,5 mM/menit
Urat 15 mg/menit
Laktat 75 mg/menit
Protein Plasma 30 mg/menit
Namun, zat-zat yang direabsorbsi secara pasif tidak memiliki transport maksimum karena
laju transpor zat-zat ini ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti (1) gradien elektrokimia bagi difusi
zat-zat yang melewati membran; (2) permeabilitas membran bagi zat-zat; (3) lamanya cairan yang
mengandung zat tersebut berada dalam tubulus. Kapasitas reabsorbsi yang besar dari tubulus
proksimal adalah hasil dari sifat-sifat selularnya yang khusus. Sel epitel tubulus proksimal bersifat
sangat metabolik dan memiliki sejumlah mitokondria untuk mendukung proses transpor aktif yang
kuat. Selain itu, sel tubulus proksimal memiliki banyak brush border pada sisi lumen (apikal)
membran dan juga labirin interselular serta kanal basalis yang luas. Permukaan membran epitel
brush border yang luas juga dimuati dengan molekul protein pembawa yang mentrasnpor sebagian
besar ion natrium yang melewati membran lumen yang bertalian melalui mekanisme ko-transpor
dengan berbagai nutrien organik seperti asam amino dan glukosa. Walaupun pompa Na + K+ ATPase
menyediakan tenaga yang besar untuk reabsorbsi natrium, klorida dan air di seluruh tubulus
proksimal, terdapat beberapa perbedaan mekanisme bagaimana natrium dan klorida ditranspor
melalui sisi lumen begian pertama dan terakhir membran tubulus proksimal.

Pada pertengahan pertama tubulus proksimal, natrium direabsorbsi dengan cara ko-transpor
bersama-sama dengan glukosa, asam amino dan zat terlarut lainnya. Tetapi pada bagian pertengahan
kedua dari tubulus proksimal, hanya sedikit glukosa dan asam amino yang direabsorbsi . justru
sekarang natrium yang terutama direabsorbsi bersama dengan ion korida. Pertengah kedua tubulus
proksimal memiliki konsentrasi klorida yang relatif tinggi (sekitar 140 mEq/L) dibandingkan dengan
bagian awal tubulus proksimal (sekitar 105 mEq/L) karena saat natrium direabsorbso, natrium
membawa glukosa, bikarbonat dan ion organik ppada bagian awal tubulus proksimal, meninggalkan
suatu larutan yang memilki konsentrasi klorida yang tinggi. Di pertengahan kedua tubulus proksimal,
tingginya konsentrasi klorida membantu difusi ion dari lumen tubulus melalui tautan interselular ke
dalam cairan interstisial ginjal.

Tubulus distal merupakan lanjutan dari segmen tebal ansa Henle. Bagian pertama dari
tubulus distal membentuk bagian kompleks jusktaglomerular yang menimbulkan kontrol umpan
balik GFR dan aliran darah dalam nefron yang sama. 1 Separuh bagian kedua dari tubulus diatal dan
tubulus koligentes berikutnya memiliki ciri-ciri fungsiona, yaitu:

Membran tubulus kedua segmen hapir selluruhnya impermeabel terhadap ureum, mirip
dengan segmen pengencer pada bagian awal tubulus distal. Jadi, hampir semua ureum yang
memasuki segmen-segmen ini berjalan melewati dan masuk ke dalam duktus kolignetes untuk
disekresikan dalam urin, walaupun beberapa reabsorbsi ureum terjadi dalam koligentens bagian
medula. 1

1. Tubulus distal bagian akhir dan tubulus koligentes kortikalis mereabsorbsi ion natrium, dan
kecepatan reabsorbsi ini dikontrol oleh hormon aldosteron. 1
2. Sel interkalatus dari segmen nefron banyak menyekresikan ion hidrogen melalui mekanisme
hidrogen-ATPase aktif. Proses ini berbeda dengan sekresi aktif sekunder ion hidrogen
melalui tubulus proksimal, karena proses inni mampu menyekresikan ion hidrogen melawan
gradien konsentrasi yang besar, sebesar 1000 terhadap 1. Jadi, sel intekalatus memainkan
peranan kunci dalam meregulasi asam-basa cairan tubuh. 1
3. Permeabilitas tubulus distal bagian akhir duktus koligentes kortikalis terhadap air diikontrol
oleh konsentrasi ADH. Kadar ADH yang tinggi, segmen-segmen tubulus menjadi permeabel
terhadap air, tetapi bila tidak ada ADH, maka segmen ini akan impermeabel. Karakteristik
yang khusus ini menyediakan suatu mekanisme penting untuk pengaturan derajat
pengenceran atau pemekatan urin.

Adapun beberapa hormon yang mengatur reabsorbsi tubulus sebagai berikut:

Hormon Tempat Kerja Efek


Aldosteron Tubulus koligentes dan Meningkatkan NaCl,
duktus koligentes reabsorbsi H2O,
meningkatkan sekresi K+
Angiotensin II Tubulus proksimal, segmen Meningkatkan NaCl,
tebal asenden ansa reabsorbsi H2O,
Henle/tubulus distal, tubulus meningkatkan sekresi H+
koligentes
Hormon ADH Tubulus distal/tubulus Meningkatkan reabsorbsi
koligentes dan duktus H2O
koligentes
Peptida natriuretik Tubulus distal/tubulus Menurunkan reabsorbsi
atrium koligentes dan duktus NaCl
koligentes
Hormon paratiroid Tubulus proksimal, segmen Menurunkan reabsorbsi
tebal asenden dan ansa PO4---, meningkatkan
Henle/tubulus distal reabsorbsi Ca++
2.4. Sekresi Ginjal

Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-bahan dari kapilel
peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini merupakan rute kedua bagi masuknya bahan ke
dalam tubulus ginjal dari darah, sedangkan yang pertama adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya
sekitar 20 % dari plasma yang mengalir melaiui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul
Bowman; sisa 8070 mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus
merupakan mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi
sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang ddak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan
memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai hasil filtrasi.

Sekresi H+

Sel tubulus proksimal dan distal, seperti juga sel kelenjar lambung, menyekresi ion hidrogen.
Pengasaman juga akan terjadi di duktus koligentes. Reaksi utama untuk sekresi H+ di tubulus
proksimal ialah pertukaran Na+ - H+. Pemompaan ke luar Na+ dari sel ke interstisium oleh pompa
Na+ - K+ ATPase akan menurunkan Na+ intrasel, dan hal ini menyebabkan Na+ di lumen tubulus
masuk ke dalam sel, bersamaan dengan pemompaan H+ ke lumen tubulus. H+ ini berasal dari reaksi
disosiasi H2CO3 intrasel dan HCO3- yang terbentuk akan berdifusi ke cairan interstisial.

Anhidrase karbonat mengatalis pembentukan H2CO3 dan obat-obat yang menghambat


anhidrase karbonat menekan sekresi asam oleh tubulus proksimal serta reaksi yang bergantung
padanya. Terdapat beberapa bukti bahwa H+ disekresikan di tubulus proksimal dengan pompa jenis
lain, tapi bukti untuk pompa tambahan ini masih kontroversial, dan pada setiap kasus peranannya
relatif kecil dibandingkan dengan mekanisme pertukaran Na+ - H+. Hal ini berlawanan dengan yang
terjadi di tubulus distal dan duktus koligentes, dimana sekresi H+  relatif tidak bergantung pada Na+
di lumen tubulus. Di bagian tubulus ini, sebagian besar H+ disekresikan melalui pompa proton yang
digerakkan oleh ATP.

Aldosteron bekerja pada pompa ini untuk meningkatkan  sekresi H+ di bagian distal. Sel I di
bagian tubulus ginjal ini mensekresikan asam, dan seperti sel parietal di lambung, sel I mengandung
banyak anhidrase karbonat dan struktur tubulovesikular. Didapatkan bukti bahwa ATPase yang
memindahkan H+ menyebabkan sekresi H+ terletak pada vesikel-vesikel ini ataupun dalam
membrane sel luminal, dan bahwa pada asidosis, jumlah pompa H+ meningkat akibat masuknya
tubulovesikel ini ke dalam membran sel luminal. Sebagian H+ juga disekresi oleh H+ - K+ ATPase.
Sel-sel ini juga mengandung Band 3, suatu protein penukar anion, di membrane sel basolateralnya,
dan protein ini dapat berfungsi sebagai penukar Cl- - HCO3- bagi pengangkutan HCO3- ke cairan
interstisium.

H+  di Urin

Jumlah asam yang disekresikan bergantung pada peristiwa-peristiwa di urin tubulus


selanjutnya. Pada manusia, tingkat perbedaan H+ maksimal yang harus dilawan oleh mekanisme
transport untuk dapat menyekresi berhubungan dengan pH urin sekitar 4,5; yaitu kadar H+ dalam
urin yang besarnya 1000 kali kadarnya di plasma. Dengan demikian, pH 4,5 merupakan pH
pembatas, yang dalam keadaan normal dicapai di duktus koligentes.

Sekresi Amonia

Reaksi di sel tubulus ginjal menghasilkan H+ dan HCO3-. NH4 berada dalam keseimbangan
dengan NH3 + H+ di dalam sel. Namun, NH3 bersifat larut dalam tingkat perbedaan konsentrasinya
ke dalam cairan interstisium dan urin tubulus. Reaksi utama yang menghasilkan NH4 dalam sel
adalah perubahan glutamine menjadi glutamate. Reaksi ini dikatalis oleh enzim glutaminase, yang
banyak terdapat di sel tubulus ginjal.

2.5 Ekskresi Ginjal

Ekskresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin. Ini bukan
merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses perrama di atas. Semua konstituen
plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir
ke pelvis ginjal untuk diekskresikan sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh. Jangan mengacaukan
ekskresi dengan sekresi). Perhatikan bahwa semua yang difiltrasi dan kemudian direabsorpsi, atau
tidak difiltrasi sama sekali, masuk ke darah vena dari kapiler peritubulus dan karenanya
dipertahankan di dalam tubuh dan tidak diekskresikan di urin, meskipun mengalir melewati ginjal.

2.6 Biokimia Ginjal


Agar fungsi sel normal maka volume dan osmolalitas sel (konsentasi zat terlarut per liter
cairan intasel harus dipertahankan dalam rentang yang sempit. Parameter ini sebagian diatur oleh
faktor-faktor yang menentukan gradient konsentrasi zat terlarut melintasi membrane plasma sel.
Faktor tersebut adalah difusi pasif air dan sebagian zat terlarut menembus membran sel dan transport
aktif ion oleh pompa yang mengunakan energi yang terletak di dalam membran sel. Volume
osmolaritas sel yang konstans juga sampai tahap tertentu ditentukan oleh osmolaritas CES, yang
sebagian ditentukan oleh ADH yang bekerja pada tubulus ginjal untuk mengatur ekskresi air bebas-
zat terlarut ke dalam urin.
Apabila pemeliharaan konsentrasi zat terlarut CES normal (osmolaritas) bergantung pada
mekanisme endokrin ini, volume darah dalam kompartemen vaskular (volume plasma) akan sangat
berfluktuasi sepanjang hari karena asupan sehari-hari air dan zat terlarut kita bersifat episodik.
Akibat sifat fluktuatif ini, volume darah yang relatif konstan tersebut harus dijaga, tentu saja oleh
banyak proses regulatorik. Faktor yang berperan mempertahankan hal tersebut, selain ADH pada
dasarnya juga bersifat endokrin. Faktor tersebut adalah sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA)
dan ANP. Efek utama hormon regulatorik tersebut adalah mempertahankan volume darah melalui
efek pada metabolisme air dan natrium oleh ginjal, yang menentukan jumlah natrium dan air di ruang
ekstrasel.

Hormon Antidiuretik (ADH)1,5


Hormon antidiuretik (ADH) dihasilkan oleh kelenjar hipotalamus yang selanjutnya akan
disimpan dan dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Sekresi ADH ini dikendalikan oleh konsentrasi air
dalam darah. Fungsi kera hormon tersebut adalah mempermudah penyerapan air pada bagian
pembuluh distal dan pembuluh pengumpul. jika konsentrasi air di dalam darah turun (artinya cairan
darah lebih pekat) misalnya karena berkeringat atau diare maka ADH disekresikan dan dialirkan ke
dalam ginal bersama darah. Akibatnya permeabilitas dinding pembuluh distal dan pembuluh
pengumpul terhadap air meningkat sehingga air yang masuk diserap kembali. Akibatnya urin yang
terbentuk sedikit. Sebalikmya jika konsentrasi air di dalam darah tinggi (artinya cairan darah lebih
encer) maka sekresi ADH berkurang sehingga penyerapan air di pembuluh distal dan pembuluh
pengumpul berkurang dan urin yang dihasilkan encer dan banyak.

Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA)


SRAA adalah penentuan utama kestabilan volume dan osmolalitas CES, garis tengah lumen
pembuluh darah, serta tingkat perfusi jaringan. Jenjang enzim (renin)- hormon peptide (angiotensin
II)- hormon steroid (aldosteron) ini melaksanakan fungsi penting tersebut melalui kapasitas
spesifiknya mendeteksi dan melawan ekspansi atau kontraksi kompartemen natrium dan air di salam
tubuh.
Fisiologi homeostatis SRAA yang kompleks dapat secara singkat diringkas mengunakan
kontraksi volume akut sebagai prangsangnya. Apabila seseorang pasien muntah terus-menerus
selama berjam-jam dan tidak dapat minum, volume CES mengalami kontraksi atau berkurang secara
akut. Akibatnya tekanan perfusi pada anterior aferen yang terletak proksimal dari kedua berkas
kapiler glomerulus ginjal turun. Sel jukstagomerulus yang terletak di dinding anterior tersebut
merasakan penurunan regangan elastik pada dinding pembuluh darah dan akibatnya mengeluarkan
enzim renin ke dalam darah kepiler glomerulus. Hati membentuk dan mengeluarkan polipeptida
angiotensinogen (substrat renin). Renin melakukan angiotensinogen untuk menghasilkan suatu
dekapeptida, angiotensin I (AI) di dalam ginjal. Angiotensin I yang tidak memiliki efek biologis
intrinsik, bekerja sebagai substrat untuk enzim pengkonversi-angiotensin (angiotensin-converting
enzyme, ACE) yang melakukan pemutusan dua asam amino dari AI (terutama di paru), untuk
membentuk suatu oktapeptida, angiotensin II (AII).
AII memiliki beberapa efek yang berperan memperbaiki volume CES yang berkurang. Salah
satu efek AII adalah meningkatkan pembentukan dan sekresi aldosteron oleh sel glomerulosa
adrenal. AII dapat diubah menjadi angiotensin III (AIII), suatu heptapeptida yang memiliki
kemampuan setara merangsang pengeluaran aldosteron adrenal dan, seperti AII menghambat sekresi
renin. Aldosteron, suatu minerokortikoid kuat yang dihasilkan oleh korteks adrenal, menyebabkan
reabsorpsi natrium dan air oleh bagian distal tubulus ginjal (serta kolon distal serta kelenjar keringat
dan liur), yang bekerja untuk memperbaiki volume CES yang berkurang. Kedua, AII menyebabkan
peningkatan reabsorpsi Na+ dan air di tubulus ginjal secara langsung. Ketiga, AII memiliki efek
vasokontriksi langsung yang kuat pada pembuluh resistensi di dalam tubuh, sehingga jaringan
vascular berkontaksi untuk mengakomodasi kontaksi volume akibat muntah tersebut akibatnya
tekanan darah dan perfusi jaringan dipertahankan. AII juga mengaktifkan sistem saraf adrenergic
sehingga terjadi pengeluaran norepinefrin, yang juga menyebabkan vasokontriksi dan
mengkompensasi setiap kecenderungan hipotensi dan hipoperfusi yang ditimbulkan oleh muntah-
muntah. Akhirnya, AII yang dikeluarkan di dalam SSP merangsang rasa haus dan mendorong pasien
minum sehingga volume CES yang berkurang dapat diganti.
Apabila gangguan terhadapt volume CES tubuh adalah penambahan berlebihan, maka
aktifitas SRAA akan tertekan karena volume CES akan menyebabkan siyal regangan berlebihan pada
sel jukstaglomerulus penghasil renin di ginjal, dan pengeluaran renin akan menrun akibatnya kadar
AII dan aldosteron dalam darah juga berkurang sehingga terjadi vasodilatasi dalam peningkatan
eksresi natrium dan air ke dalam urin (serta tinja, keringat, dan liur) yang semuanya membantu
memulihkan volume CES yang meningkat tersebut.

ANP (Atrial Natriuretic Peptide)


ANP adalah suatu peptide yang terdiri dari 28 asam amino (atriopeptin I) dengan sebuah
jembatan disulfida sistein-ke-sistein. Zat ini disintesis dan disimpan sebagai praprohormon yang
terdiri dari 126 asam amino oleh kardiosit di atrium kanan (dan mungkin kiri) dan disekresikan
sebgai suatu dimer inaktif.
Ginjal adalah sasaran utama ANP walaupun hormone ini juga bekerja pada arteri reistensi
perifer. DI ginjal, ANP meningkatkan tonus glomerulus arterior eferen (yang keluar) sementara
menurunkan tonus arterior glomerulus aferen (yang masuk). Hal ini menyebabkan tekanan filtrasi
glomerulus bermakna meingkatkan aliran darah ginjal. Efek ini menyebabkan peningkatan ekskresi
natrium dalam urin yang relative encer dalam jumlah besar. Eksresi natrium juga ditingkatkan
melalui efek supresif ANP pada sekresi renin dari sel jukstaglomerulus ginjal.

2.7 Keseimbangan Cairan-Larutan


Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter penting, yaitu: volume
cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan
mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur
keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan
abnormal dari air dan garam tersebut.

Pengaturan Volume Cairan Ekstrasel


Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan darah arteri
denganmenurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume cairan ekstrasel dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan memperbanyak volume plasma. Pengontrolan
volume cairan ekstrasel penting untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.Pengaturan volume
cairan ekstrasel dapat dilakukan dengan cara:
a. Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake & output) air,
tujuannya untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka
harus ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh.
Hal ini terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh
dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam:

1. External fluid exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar.


1.1 Pemasukan air melalui makanan dan minuman 2200 ml

air metabolisme/oksidasi 300 ml

2500

1.2 Pengeluaran air melalui insensible loss (paru-paru & kulit) 900 ml

Urin 1500 ml
Feses 100 ml
2500
2. Internal fluid exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi
dan reabsorpsi di kapiler ginjal.

Memperhatikan Keseimbangan Garam

Seperti halnya keseimbangan air, keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga
asupan garam sama dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah
memperhatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi,
seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya dan cenderung lebih dari
kebutuhan.Kelebihan garam yang dikonsumsi harus diekskresikan dalam urin untuk
mempertahankan keseimbangan garam. Ginjal mengontrol jumlah garam yang diekskresi dengan
cara:

1. Mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) / Glomerulus Filtration Rate(GFR).
2. Mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal

Pengaturan Osmolaritas Cairan Ekstrasel


Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut) dalam suatu larutan.
Semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute atau semakin rendah konsentrasi air
dalam larutan tersebut. Air akan berpindah dengan cara osmosis dari area yang konsentrasi solutnya
lebih rendah (konsentrasi air lebih tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi
air lebih rendah). Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak dapat
menembus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium merupakan solut yang banyak
ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang berperan penting dalam menentukan aktivitas
osmotik cairan ekstrasel. Sedangkan di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam
menentukan aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan
kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam menentukan
aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini. Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh
dilakukan melalui:
a. Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan osmolaritas yang
pada akhirnya akan membentuk urin yang sesuai dengan keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di
duktus koligen. Glomerulus menghasilkan cairan yang osmotik di tubulus proksimal (± 300 mOsm).
Dinding tubulus ansa Henle pars desending sangat permeable terhadap air, sehingga di bagian ini
terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini menyebabkan cairan di dalam
lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars asenden tidak permeable terhadap air dan secara aktif
memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsorbsi garam tanpa osmosis air.
Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan duktus koligen menjadi hipoosmotik.
Permeabilitas dinding tubulus distal dan duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya
vasopresin (ADH). Sehingga urin yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke
pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresin/ ADH.
b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (anti diuretic hormone/ ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (> 280 mOsm) akan merangsang osmoreseptor di
hypothalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron hypothalamus yang menyintesis
vasopressin. Vasopresin akan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan
dengan reseptornya di duktus koligen. Ikatan vasopressin dengan resptornya di duktus koligen
memicu terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membran bagian apeks duktus koligen.
Pembentukan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan ke vasa recta. Hal ini
menyebabkan urin yang terbentuk di duktus koligen menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat,
sehingga cairan di dalam tubuh tetap dapat dipertahankan. Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor
di hypothalamus akibat peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus
di hypothalamus sehingga terbentuk perilaku untuk mengatasi haus, dan cairan di dalam tubuh
kembali normal.
BAB III
Alat dan Bahan Praktikum
 Alat
1. Source breaker untuk darah.
2. Drain breaker untuk darah.
3. Flow tube dengan radius yang bisa disesuaikan.
4. Flow tube kedua dengan radius yang bisa disesuaikan.
 Bahan
1. Nefron

BAB IV
Hasil Praktikum
4.1. Hasil Praktikum Activity 1
Pada praktikum ini, kita akan mempelajari tentang bagaimana dampak perubahan radius
arteri Afferen terhadap filtrasi dan tekanan kapiler glomelorus, serta kita juga akan mempelajari
tentang bagaimana dampak perubahan radius arteri Efferen terhadap filtrasi dan tekanan kapiler
glomerulus.

Gambar 4.1.1. Tabel Pengaruh Afferent arteriole terhadap GFR dan Volume Urine
Pada tabel 4.1.1. dapat kita lihat bahwa dengan radius arteri afferen yang di ubah akan
memberi dampak pada laju filtrasi Glomerulus, volume urine serta tekanan glomerulus, yaitu jika
radius arteri afferent dikecilkan maka akan menyebabkan tekanan glomerulus yang akan menurun
juga, serta jika arteri afferent dikecilkan akan menyebabkan laju filtrasi glomerulus akan menurun
juga serta menyebabkan volume urine yang keluar juga akan berkurang. Hal ini dapat kita lihat pada
tabel di atas pada saat arteri afferent dari ukuran 0,50 mm dikecilkan menjadi 0,45 mm akan
menyebabkan tekanan glomerulus menurun dari 55,04 mmHg menjadi 51,54 mmHg, serta
menurunkan laju filtrasi glomerulus dari 124,99 ml/min menjadi 81,06 ml/min, serta menurunkan
volume urine dari 200,44 ml menjadi 179,88 ml. Begitu juga sebaliknya jika radius arteri afferent
diperbesar akan memberi dampak berupa laju filtrasi glomerulus yang meningkat, tekanan
glomerulus yang membesar serta volume urine yang keluar juga akan semakin banyak.
Sedangkan jika radius efferen yang dikecilkan maka akan memberikan dampak yaitu akan
memperbesar tekanan glomerulus, meningkatkan laju filtrasi glomerulus serta akan meningkat
volume urine yang keluar. Hal ini dapat kita lihat pada tabel diatas yang mana pada saat radius arteri
efferent diubah dari 0,40 mm menjadi 0,35 mm akan menyebabkan tekanan glomerulus membesar
dari 56,10 mmHg menjadi 56,84 mmHg dan juga akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus dari
137,69 ml/min menjadi 146,82 ml/min serta juga akan meningkatkan volume urine yang keluar dari
227,49 ml menjadi 247,96 ml.
4.2 Hasil Praktikum Aktivitas 2

Pada aktivitas ini kita akan mempelajari bagaimana pengaruh tekanan pada filtrasi
glomerulus. Baik tekanan hidrostatik darah di kapiler glomerulus dan tekanan filtrat di tubulus ginjal
akan memberikan dampak signifikan pada laju filtrasi glomerulus.

Tabel 4.2.1 Pengaruh Tekanan pada Filtrasi Glomerulus

Pada Tabel 4.2.1 dapat dilihat bahwa dengan radius arteriol aferen dan radius arteriol eferen
yang sama namun dengan tekanan hidrostatik darah yang berbeda dan kondisi katup penghubung
saluran pengumpul dan kandung kemih yang terbuka atau tertutup, akan menghasilkan tekanan
glomerulus dan laju filtrasi yang berbeda-beda.

Pada kondisi katup terbuka, tekanan hidrostatik darah sebesar 70 mmHg akan menghasilkan
tekanan glomerulus sebesar 49.72 mmHg dan laju filtrasi glomerulus sebesar 58.57 ml/menit. Ketika
tekanan darah ditingkatkan secara bertahap menjadi 80 mmHg, 90 mmHg, dan 100 mmHg, tekanan
glomerulus, laju filtrasi glomerulus, dan produksi urine juga ikut meningkat.

Namun, pada saat katup ditutup, laju filtrasi glomerulus pada tekanan 70 mmHg yang semula
sebesar 58.57 ml/menit mengalami penurunan hingga menjadi sebesar 26.94 ml/menit, dan laju
filtrasi glomerulus pada tekanan 100 mmHg yang semula sebesar 158.20 ml/menit juga mengalami
penurunan hingga menjadi sebesar 122.20 ml/menit.

4.3 Hasil Praktikum Aktivitas 3

Gambar 4.3.1 Respon Ginjal pada Peubahan Tekanan Darah

Pada activity ini kita akan mengetahui proses respon ginjal untuk mengubah tekanan darah.
Pertama-tama saat Afferent Radius dalam keadaan 0.50 mm dan Efferent Radius dalam keadaan 0.45
mm dan Beaker Press 90 mmHg kita dapat melihat Glomerular Pressnya 55.08 mmHg dan GFR
124.99 ml.min dan volume Urine 200.44 ml. Pada percobaan kedua dengan Affrent Radius dan
Efferent Radius yang sama namun Beaker Press diubah menjadi 70 mmHg, terlihat adanya
perubahan pada Glomerulus Press, GFR dan volume Urine nya mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan tekanan darah diturunkan sehingga membuat darah yang mengalir akan mengalami
penghambatan saat diproduksi oleh ginjal untuk memperoleh urine, sehingga tekanan
gromerular,GFR dan urin yang dikeluarkan semakin sedikit. Namun pada saat percobaan ke tiga, saat
Afferen Radius diitingkatkan menjadi 0.60 mm dengan Efferent radius dan Beaker Press nya sama,
maka tekanan Gromerular,GFR dan volume Urine meningkat. Hal ini dikarenakan ruang jalan saat
darah mengalir dari ginjal akan mengalami kelancaran/kelonggaran, sehingga darah saat diproduksi
dan difiltrasi menjadi urin akan mengalami peningkatan. Begitupun pada sampai pada percobaan
keempat dan kelima, namaun pada ini ada perbedaan dimana yang dikecilkan diameternya adalah
Efferent Radius dan juga Afferent Radius sehingga saat Afferent Radius dibesarkan dan Efferent
Radius dikecilkan maka Gromerulus Press, GFR dan voulume urinenya meningkat dan saat Afferent
Radius semakin dibesarkan, maka Gromerulus Press,GFR,dan volume urinenya juga semakin
meningkat.
4.4. Hasil Praktikum Aktivitas 4

Tabel 4.4.1 : Efek Gradien Zat Terlarut Pada Konsentrasi Urin

Hasil Ketika gradien konsentrasi meningkat yang terjadi pada volume urin adalah Volume
urin menurun. ADH meningkatkan permeabilitas sel-sel prinsipal, air bergerak secara cepat via
osmosis keluar dari cairan duktus kolektivus ke cairan interstitial di medulla bagian dalam dan ke
vasa recta. Peningkatan gradien konsentrasi urin yang terbentuk akan Mensekresikan urin yang
terkonsentrasi.

4.5. Hasil Praktikum Aktivitas 6

Tabel 4.5.1 Pengaruh Hormon terhadap Pembentukan Urin

Pertama-tama perhatikan bahwa konsentrasi zat terlarut total dalam cairan interstisial diatur
ke 1200 mOsm (konsentrasi zat terlarut maksimum normal di ginjal manusia) untuk difiltrasi. Filtrat
akan mengalir melalui nefron, dan zat terlarut dan air akan keluar dari tubulus menuju ruang
interstisial. Mereka juga akan bergerak kembali ke kapiler peritubulus, sehingga menyelesaikan
proses reabsorpsi. Lalu selanjutnya membandingkan kondisi filtrat dan volume urin dengan adanya
hormon aldosteron dan ADH. Aldosteron adalah hormon yang diproduksi oleh korteks adrenal di
bawah kendali sistem renin-ingiostensin tubuh. ADH atau antidiuretik adalah hormon yang
menghambat diuresis dengan cara menahan air di tubulus ginjal (Clinical Pathology and Medical
Laboratory Journal, 2012). Lalu klik Empty Bladder untuk mempersiapkan nefron untuk lari
berikutnya. Dengan langkah yang sama, pada saat pemberian aldosteron didapat konsentrasi kalium
pada urin yaitu 10,42 dari yang semula tidak diberi hormon yaitu 6,25. Tetapi pada saat penambahan
aldosteron, volume urin menurun menjadi 180,90 ml dari yang semulanya 201,00 ml juga pada saat
penambahan aldosteron konsentrasi urin menurun menjadi 100 bila dibandingkan dengan konsentrasi
zat terlarut total dalam cairan interstisial. Lalu pada saat penambahan ADH, konsentrasi kalium
meningkat menjadi 63,37 serta konsentrasi urin sama dengan konsentrasi zat terlarut total tetapi
volume urin menurun menjadi 16,86 ml. Kemudian diujikan pengaruh penambahan hormon
adosteron dan ADH secara bersamaan dan didapat konsentrasi kalium pada urin meningkat menjadi
65,37 dan konsentrasi urin sama dengan konsentrasi zat terlarut total yaitu 1200 tetapi volume urin
semakin menurun menjadi 12,67 ml.

BAB V
Pembahasan
5.1. Pengaruh Radius Arteriole pada Filtrasi Glomerulus
Perubahan radius arteri afferent dan juga arteri efferen sangatlah berpengaruh dalam beberapa
parameter seperti laju filtrasi glomerulus, tekanan glomerulus, serta volume urine yang dikeluarkan.
Perlu diketahui batas normal laju filtrasi glomerulus pada manusia adalah berkisar antara 80-140 ml/
menit.
Tekanan darah kapiler glomerulus dapat dikontrol untuk menyesuaikan GFR ( Laju Filtrasi
Glomerulus ) untuk menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh. ( Sherwood Lauralee ). Besarnya
tekanan darah kapiler glomerulus tergantung pada laju aliran darah di dalam masing-masing
glomeruli. Jumlah darah yang mengalir ke glomerulus per menit adalahditentukan sebagian besar
oleh besarnya tekanan darah arteri sistemik rata-rata dan resistensi yang ditawarkan oleh aferen
arteriol. ( Sherwood Lauralee ). Hal ini bisa dilihat ketika kita merubah-ubah nilai dari radius arteri
aferen, yang mana jika radius arteri aferen ditingkatkan maka akan menyebabkan penurunan
terhadap tekanan glomerulus, volume urine yang keluar serta laju filtrasi glomerulus, sebaliknya jika
menurunkan radius arteri aferen maka akan menyebabkan peningkatan terhadap tekanan glomerulus,
volume urine yang dikeluarkan serta peningkatan laju filtrasi glomerulus. Namun jika kita merubah-
ubah nilai dari radius arteri eferen akan memberikan efek yang beda, yaitu jika kita menurunkan
radius arteri eferen maka akan memberi dampak berupa peningakatan terhadap nilai tekanan pada
glomerulus, volume urine yang dikeluarkan serta meningkatkan laju filtrasi glomerulus.
Lebih mudahnya, bisa menggunakan pemisalan saja seperti kita misalkan arteri aferen itu
merupakan jalan masuk menuju ruanga, kemudian arteri eferen merupakan jalan keluar dari ruangan
tersebut serta kapsula bowman merupakan jalan cadangan serta glomerulus diumapamakan menjadi
ruangan itu sendiri. Saat arteri aferen tersebut melebar atau pintu tersebut lebar maka banyak orang
yang bisa masuk ke ruangan tersebut dalam sekali masuk, dan kemudian ruangan tersebut pasti akan
penuh lalu arteri eferen kita kecilkan atau pintu keluar kita kecilkan hanya bisa menampung beberapa
orang saja untuk keluar maka sisanya akan beralih ke jalan pintas yang merupakan kaspula bowman,
makin banyak cairan yang ada di dalam glomerulus tersebut menyebabkan tekanan akan semakin
membesar, dan juga semakin banyak caiaran yang disaring di kapsula bowman akan menghasilkan
banyak filtrat, serta banyaknya filtrat ini akan menyebabkan laju filtrasi meningkat.
Sedangkan jika arteri aferen kecil nilainya atau jalan masuknya kecil maka hanya sedikit
yang bisa masuk ke dalam ruangan tersebut, dan jika jalan keluarnya atau arteri eferennya memiliki
radius yang besar maka banyak cairan yang akan masuk dan diedarkan ke pembuluh darah
sedangkan yang akan masuk ke kapsula bowman akan sedikit oleh karena itu menyebabkan tekanan
di dalam glomerulus akan menurun serta laju filtrasi dalam glomerulus juga akan menurun. Ada dua
istilah dalam hal ini yaitu vasodilatasi yang artinya adalah pelebaran radius dan juga vasokontriksi
yang artinya adalah penyempitan radius.

5.2 Pengaruh Tekanan pada Filtrasi Glomerulus

Baik tekanan hidrostatik darah di kapiler glomerulus dan tekanan filtrat di tubulus ginjal
dapat berdampak signifikan pada laju filtrasi glomerulus. Selama filtrasi glomerulus, darah
memasuki glomerulus dari arteriol aferen. Sekitar 20% dari darah yang memasuki kapiler glomerulus
disaring kedalam kapsul bowman, yang disebut filtrat. Tekanan darah glomerulus yang meningkat
cenderung mendorong cairan keluar dari glomerulus ke dalam kapsul bowman disepanjang kapiler
glomerulus.

Pada kondisi katup penghubung antara saluran pengumpul dan kandung kemih terbuka,
dilakukan percobaan untuk mengamati pengaruh perubahan tekanan hidrostatik darah di kapiler
glomerulus terhadap laju filtrasi glomerulus. Ketika tekanan hidrostatik darah ditingkatkan, laju
filtrasi juga ikut meningkat, hal ini terjadi karena tekanan hidrostatik darah yang meningkat
menyebabkan tekanan yang meningkat pula pada glomerulus, sehingga cairan yang terdorong masuk
ke dalam kapsul bowman juga ikut meningkat. Cairan yang masuk ke dalam kapsul bowman ini di
saring dan hasilnya disebut sebagai filtrat. Banyaknya filtrat yang mengalir inilah yang menyebabkan
laju filtrasi meningkat, dan juga meningkatkan produksi urine. Dengan kata lain, tekanan dan laju
filtrasi ini berbanding lurus. Sehingga, meningkatkan tekanan akan meningkatkan laju filtrasi.

Pada kondisi katup penghubung antara saluran pengumpul dan kandung kemih tertutup,
dilakukan percobaan untuk mengamati pengaruhnya terhadap laju filtrasi glomerulus. Pada kondisi
tekanan hidrostatik darah yang sama namun dengan kondisi katup yang tertutup, tekanan pada
glomerulus tetap sama, namun laju filtrasi glomerulus mengalami penurunan, hal ini terjadi karena
pengaruh dari katup yang tertutup. Katup yang tertutup ini mengakibatkan tidak adanya filtrat yang
keluar ke kandung kemih, sehingga filtrat tersangkut di sistem filtrasi. Filtrat yang masih ada di
sistem filtrasi ini mengakibatkan sistem tidak dapat melakukan filtrasi sebanyak semula. Hal inilah
yang mengakibatkan laju filtrasi glomerulus mengalami penurunan.

5.3 Respon Ginjal pada Perubahan Tekanan Darah

Pada manusia sekitar 180 L filtrasi mengalir kedalam tubul ginjal setiap hari. Selama
glomerular filtrasin darah memasuki glomerulus dari affrent arteriole. Kekuatan Starling
menggerakkan cairan bebas protein dari serabut glomerular kedalam kapsul Bowman. Laju filtrasi
gromerulus akan berubah saat meningkatkan radius afferent atau saat menurunkan radius efferent
dan tekanan darah juga merupakan mekanisme yang mengubah laju filtrasi. Hal ini disebabkan
karena penyesuaian dari afferent erteriole akan membuat tubuh mengkompensasi atas efek
mengurangi tekanan darah pada tekanan filter glomerular. Pelebaran arteriole afferent akan
mengakibatkan lebih banyaak darah diizinkan untuk memasuki tempat kapiler. Mengurangi radius
dari limbah arteriole darah tidak akan berpindah dari tempat istirahat kapiler sebagai tingkat normal,
dan demikian menjaga tingkat penyaringan glomerular norml. Peningkatan radius afferent memiliki
dampak yang lebih besar daripada penurunan radius efferent. Hal ini dapat kita ketehaui dari
peningkatan tekanan glomerulus yang semakin besar. Mekanisme instring dan ekstrusi menghasilkan
perubahan pada arteriole afferent dan efferent untuk menjaga GFR.

Penyesuian arteriole afferent akan membuat tubuh mengkompensasi effek penurunan tekanan
darah pada tekanan filtrasi glomerulus. Pelebaran arteriole afferent akan menghasilkan lebih banyak
darah yang masuk ke kapiler bed. Mengurangi diameter arteriole efferent,darah tidak akan berpindah
dari kapiler seperti kecepatan normalnya, maka demikian mempertahankan laju filtrasi glomerulus
normal.

5.4 Efek Gradien Zat Terlarut Pada Konsentrasi Urin

Tiga proses pembentukan urin normal untuk membuang sisa-sisa metabolisme, yaitu filtrasi
gromerulus plasma, reabsorpsi tubular dan sekresi tubular. Saat filtrat bergerak melalui tubulus
nefron, zat terlarut dan air bergerak dari lumen tubulus ke dalam ruang interstisial nefron.
Pergerakan zat terlarut dan air ini bergantung pada gradien konsentrasi zat terlarut total di ruang
interstisial yang mengelilingi lumen tubulus. Cairan interstisial sebagian besar terdiri dari NaCl dan
urea. Ketika nefron permeabel terhadap zat terlarut atau air, kesetimbangan akan tercapai antara
cairan interstisial dan isi cairan tubular. Hormon antidiuretik (ADH) meningkatkan permeabilitas air
dari saluran pengumpul, memungkinkan air mengalir ke area dengan konsentrasi zat terlarut yang
lebih tinggi, dari lumen tubulus ke ruang interstisial di sekitarnya. Reabsorpsi menggambarkan
pergerakan zat terlarut yang disaring dan air dari lumen tubulus ginjal kembali ke plasma. Larutan
yang diserap kembali dan air yang pindah ke ruang interstisial perlu dikembalikan ke darah, atau
ginjal akan membengkak dengan cepat seperti balon. Kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus
ginjal mengambil kembali zat yang diserap kembali dan mengembalikannya ke sirkulasi umum.
Kapiler peritubular muncul dari arteriol eferen yang keluar dari glomerulus dan bermuara ke vena
ginjal meninggalkan ginjal. Tanpa reabsorpsi, kita akan mengeluarkan zat terlarut dan air yang
dibutuhkan tubuh kita untuk mempertahankan homeostasis, proses reabsorpsi pasif yang terjadi saat
filtrat bergerak melalui nefron dan urin terbentuk.

Urine normal berwarna jernih transparan, sedangkan warna urine kuning muda berasal dari zat warna
empedu (Bilirubin dan biliverdin). Urine normal terdiri dari air, urea, asam urat, amoniak, kreatinin,
asam laktat, asam fosfat, asam sulfat, klorida, garam- garam terutama garam dapur dan zatzat yang
berlebihan dalam darah misalnya vitamin c dan obat-obatan. Semua cairan dan pembentuk urine
tersebut berasal dari darah atau cairan interstisial.

Hasil Berat jenis urin adalah ukuran konsentrasi solut dalam urin.Berat jenis urin memberi
informasi tentang kemampuan ginjal dalam mengonsentrasikan urin.Nilai normal berat jenis urin
pagi berkisar antara 1.006-1.022. Nilai normal berat jenis urin sewaktu 1.003-1.030. Komponen yang
dapat mempengaruhi berat jenis urin antara lain molekul berukuran besar seperti protein dan glukosa.
Konsentrasi urin berubah ketika gradien konsentrasi cairan interestitial meningkat dikarenakan,
Simporter pada ansa henle ascendens tebal menyebabkan penumpukan Na+ dan Cldalam medulla
ginjal. Aliran cuntercurrent melewati ansa Henle ascendens dan descendens menimbulkan suatu
gradient osmotik di medulla ginjal. Sel-sel pada duktus kolektivus mereabsorpsi air dan urea. Daur
ulang urea menyebabkan penimbunan urea di medulla ginjal. Transfer urea yang konstan antar
segment tubulus ginjal dan cairan interstitial medulla. Reabsorpsi air dari cairan tubular
mempromosikan penimbunan urea di cairan interstitial pada medulla ginjal, yang berlanjut pada
promosi reabsorpsi air. Solut tinggal di lumen sehingga menjadi terkonsentrasi, dan volume kecil
urin terkonsentrasi di ekskresikan.Volume urin ketika gradien konsentrasi meningkat yang terjadi
adalah Volume urin menurun. ADH meningkatkan permeabilitas sel-sel prinsipal, air bergerak secara
cepat via osmosis keluar dari cairan duktus. Dengan peningkatan gradien konsentrasi dapat
mensekresikan urin yang terkonsentrasi terhadap urin yang terbentuk.

5.5 Pengaruh Hormon terhadap Pembentukan Urin

Pembentukan urin melewati 3 fase, yaitu :

1. Filtrasi Glomerular : Terjadi di renal corpuscle


2. Reabsorbsi : Proses penyerapan kembali beberapa molekul dari filtrat yang dapat digunakan
kembali oleh tubuh dari tubulus ginjal masuk ke dalam kapiler peritubular.
3. Sekresi : Proses mensekresikan molekul ke dari kapiler peritubular menuju tubulus ginjal.

Konsentrasi dan volume urin yang dikeluarkan oleh ginjal akan berubah tergantung pada apa
yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan homeostasis. Contoh, jika seseorang mengkonsumsi
air dalam jumlah besar, kelebihan air akan dieliminasi melalui volume urin yang banyak dan cair. Di
sisi lain, ketika dehidrasi terjadi, ginjal akan memproduksi urin dalam jumlah sedikit untuk
mempertahankan cairan dalam tubuh. Pada Aktivitas 4 telah menunjukkan gradien konsentrasi zat
terlarut total di persimpangan ruang intertisial yang mengelilingi lumen tubulus memungkinkan
untuk mengeluarkan urin pekat.

Aldosteron adalah hormon yang diproduksi oleh korteks adrenal di bawah kendali sistem renin-
ingiostensin tubuh. Penurunan tekanan darah dideteksi oleh sel-sel di aferen arteriol, yang memicu
pelepasan hormon renin. Renin bertindak sebagai enzim proteolitik, yang menyebabkan
angiostensinogen berkumpul menjadi angiotensin l. Sel endotel di seluruh tubuh memiliki enzim
pengubah yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II memberi sinyal
korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron, Aldosteron bekerja pada sel distal convulated tubule di
nefron untuk meningkatkan penyerapan kembali natrium dari filtrat ke dalam tubuh dan sekresi
kalium dari tubuh. Sehingga pada hasil praktikum pada saat penambahan aldosteron konsentrasi
kalium pada urin meningkat yaitu 62,37.

ADH atau antidiuretik adalah hormon yang menghambat diuresis dengan cara menahan air di
tubulus ginjal (Clinical Pathology and Medical Laboratory Journal, 2012). ADH diangkut oleh
hipotalamus dan disimpan di kelenjar pituitari posterior. Kadar ADH dipengaruhi oleh osmolalitas
cairan tubuh dan volume serta tekanan sistem kardiovaskular. Perubahan 1% dalam osmolalitas
tubuh akan menyebabkan hormon ini dilepaskan. Tindakan utama hormon ADH adalah
meningkatkan permeabilitas saluran pengumpul ke air sehingga lebih banyak air diserap kembali ke
dalam tubuh. dengan memasukkan aquaporins, atau saluran air, ke dalam membran apikal. Tanpa
reabsorpsi air, tubuh akan cepat mengalami dehidrasi. Sehingga pada hasil praktikum pada saat
penambahan ADH didapat volume urin menurun mencapai 16,86 ml.

Pada penambahan hormon aldosteron dan ADH secara bersamaan dapat mengakibatkan
konsentrasi kalium meningkat menjadi 65,37 dan konsentrasi urin sama dengan konsentrasi zat
terlarut total yaitu 1200. Ini dikarenakan aldosteron bekerja untuk meningkatkan penyerapan kembali
natrium dari filtrat ke dalam tubuh dan sekresi kalium dari tubuh. Perpindahan elektrolit ini,
ditambah dengan penambahan hormon antidiuretik (ADH), juga menyebabkan lebih banyak air
diserap kembali ke dalam darah, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Aldosteron dan
ADH dapat menghambat produksi urin maka dari itu pada hasil praktikum volume urin menurun
yaitu 12,67 ml. Penghambatan produksi urin ini sebagai efek agosnistik dari kedua hormon.

Dengan demikian, ginjal mengatur dengan ketat jumlah air dan zat terlarut yang dikeluarkan
untuk menjaga keseimbangan air dalam tubuh. Jika asupan air berkurang, atau jika ada kehilangan
cairan dari tubuh, ginjal bekerja untuk menghemat air dengan membuat urin menjadi sangat
hiperosmotik (memiliki konsentrasi zat terlarut yang relatif tinggi) ke darah. Jika sudah ada asupan
cairan yang banyak, urine lebih hipo-osmotik. Pada individu normal, Osmolaritas urin bervariasi
dari 50 hingga 1200 miliosmol / kg air.
BAB VI

Kesimpulan

6.1. Kesimpulan Activity 1


1. Pelebaran dan penyempitan arteri aferen ini berbanding lurus dengan laju filtrasi, tekanan
filtrasi dan volume urine yang dikeluarkan.
2. Pelebaran dan penyempitan arteri aferen ini berbanding terbalik dengan laju filtrasi
glomerulus, tekanan filtrasi dan volume urine yang dikeluarkan.
6.2. Kesimpulan Activity 2
Tekanan hidrostatik darah berbanding lurus dengan laju filtrasi glomerulus. Sehingga,
meningkatkan tekanan hidrostatik darah akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus.
6.3. Kesimpulan Activity 3
Jika tekanan darah dipertahankan nilai konstan, maka pelebaran arteriole afferent dan
penyempitan arteriole efferent akan menaikkan laju filtrasi glomerulus diatas nilai baseline. Dan saat
radius arteriole afferent menurun sebagai respon peningkatan tekanan darah, maka filtasi glomerulus
tetap kurang lebih sama.

6.4. Kesimpulan Activity 4


1. Jika tekanan darah dipertahankan nilai konstan, maka pelebaran arteriole afferent dan
penyempitan arteriole efferent akan menaikkan laju filtrasi glomerulus diatas nilai baseline.
Dan saat radius arteriole afferent menurun sebagai respon peningkatan tekanan darah, maka
filtasi glomerulus tetap kurang lebih sama.
2. Volume urin ketika gradien konsentrasi meningkat yang terjadi adalah Volume urin menurun.
ADH meningkatkan permeabilitas sel-sel prinsipal, air bergerak secara cepat via osmosis
keluar dari cairan duktus. Dengan peningkatan gradien konsentrasi dapat mensekresikan urin
yang terkonsentrasi terhadap urin yang terbentuk.

6.5. Kesimpulan Activity 6


Hormon aldosteron dapat meningkatkan konsentrasi kalium pada urin sedangkan hormon anti
diuretik atau ADH dapat meningkatkan konsentrasi urin menjadi sama dengan konsentrasi total zat
terlarut. Aldosteron dan ADH dapat menghambat produksi urin.
BAB VII
Daftar Pustaka
1. Sherwood, Lauralee. Human Physiology From Cells to Syste, 9th edition.
2. Marieb, Elaine N. & Katja Hoehn. 2016. Human Analogy & Physiology, 10 th edition.
Pearson Education Limited.
3. Universitas Muhammaddiyah Semarang Tinjauan Pustaka,Semarang repository unimus.ac.id
4. Perhimpuan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia 2012, Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 18, No. 2.
5. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 14th ed. United States:
John Wiley & Sons; 2013.

Anda mungkin juga menyukai