Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FARMAKOLOGI DASAR

PARASIMPATOMIMETIKUM DAN PARASIMPATOLITIK

Disusun oleh :
Ainil Mardiah
Ainun Nurain Nurdin
Deza Novrianti
Raja Ricky Arpendika
Wardatul Jannah

PROGRAM D-III
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
Yayasan Universitas Riau
2015-2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini sebagai tugas
mata kuliah Farmakologi.
Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun
tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan kami,
semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik lagi dari sebelumnya.
Tak lupa ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing atas bimbingan,
dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insyaAllah sesuai yang kami harapkan.
Dan kami ucapkan terimakasih pula kepada rekan-rekan dan semua pihak yang terkait dalam
penyusunan makalah ini.
Pada dasarnya makalah yang kami sajikan ini khusus mengupas tentang Parasimpatomimetik.
Untuk lebih jelas simak pembahasannya dalam makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini bisa memberikan sumbang pemikiran sekaligus pengetahuan
bagi kita semuanya. Amin.

Pekanbaru , 13 mei 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

2. RUMUSAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Pengenalan dasar tentang parasimpatomimetik dan parasimpatolitik
2. Mekanisme kerja obat parasimpatomimetik dan parasimpatolitik
3. Penggolongan obat parasimpatomimetik dan parasimpatolitik
4. Indikasi, kontra indikasi dan efek samping obat
3. TUJUAN
Mengerti lebih dalam tentang obat parasimpatomimetik dan parasimpatolitik

BAB II
PEMBAHASAN
1. PARASIMPATOMIMETIK
Parasimpatomimetika adalah zat-zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan efek
yang terjadi bila saraf parasimpatik dirangsang dan melepaskan asetilkolin pada ujung-ujung
neuronnya. Tugas utama dari saraf parasimpatis adalah mengumpulkan energi dan makanan
dan menghemat penggunaannya. Bila sarafnya dirangsang timbulah efek yang menyerupai
keadaan istirahat dan tidur.
A. MEKANISME KERJA OBAT PARASIMPATOMIMETIK
Obat parasimpatomimetik biasa bekerja secara langsung maupun tidak langsung terikat dan
mengaktivasi reseptor muskarinik atau nikotinik. Obat yang bekerja secara tidak langsung
kerjanya dengan menghambat kerja acetylcholinesterase, yang menghidrolisis acetylcholine
menjadi choline dan acetic acid. Obat-obat ini efeknya sebagai penguat dari acetylcholine
endogen dan bereaksi terutama ketika acetylcholine dikeluarkan secara fisiologis.
Beberapa penghambat cholinesterase, bahkan dalam konsentrasi rendah, juga menghambat
butyrylcholinesterase (pseudocholinesterase), dan penghambatan enzym ini terutama pada
konsentrasi tinggi. Bagaimanapun, penghambatan kerja butyrylcholinesterase mempunyai
peran kecil pada obat-obat parasimpatomimetik yang bekerja secara tidak langsung karena
enzim ini tidak punya peran penting pada kerja acetylcholine secara fisiologis di akhir sinaps.
Beberapa penghambat cholinesterase juga mempunyai cara kerja langsung yang sederhana,
misalnya pada kuaterner carbamate seperti neostigmine, yang mengaktifkan secara langsung
kolinoreseptor nikotinik pada neuromuskuler sebagai tambahan dari penghambat
cholinesterase.

B. Reseptor Parasimpatomimetik
1. Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor muskarinik ini
menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan menggunakan study ikatan dan
panghambat tertentu, maka telah ditemukan beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M 1,
M2, M3, M4, M5. Reseptor muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ
efektor otonom, seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus
walaupun kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M 1
ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M 2 terdapat dalam otot polos dan
jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-obat yang bekerja
muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam
kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula . Sejumlah mekanisme molekular yang
berbeda terjadi dengan menimbulkan sinyal yang disebabkan setelah asetilkolin mengikat
reseptor muskarinik. Sebagai contoh, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G, yang selanjutnya

akan mengaktifkan fosfolipase C. Akibatnya akan terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)bifosfat (PIP2) menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol (1,4,5)-trifosfat (IP 3) yang akan
meningkatkan kadar Ca++ intrasel. Kation ini selanjutnya akan berinteraksi untuk memacu
atau menghambat enzim-enzim atau menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi atau kontraksi.
Sebaliknya, aktivasi subtipe M2 pada otot jantung memacu protein G yang menghambat
adenililsiklase dan mempertinggi konduktan K+, sehingga denyut dan kontraksi otot jantung
akan menurun.
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi afinitas lemah
terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah
itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik ini terdapat di dalam sistem saraf
pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat-obat yang
bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor
nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan
neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh
heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik
dihambat oleh turbokurarin. Stimulasi reseptor ini oleh kolenergika menimbulkan efek yang
menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi
dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga stimulasi SSP ringan. Pada
dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan
blokade neuromuskuler.
C. Pembagian Obat Parasimpatomimetik
Obat kolinergik adalah obat yang kerjanya serupa dengan perasangan saraf simpatis. Obat
kolinergik dibagi dalam 3 golongan :
1.
Ester kolin
Dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbokol, betanekol. Asetilkolin (Ach)
adalah prototip dari oabat golongan ester kolin. Asetilkolin hanya bermanfaat dalam
penelitian tidak berguna secara klinis karena efeknya menyebar ke berbagai organ sehingga
titik tangapnya terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu Ach tidak dapat diberikan per oral,
karena dihidrolisis oleh asam lambung.
a.
Farmakodinamik
Secara umum farmakodinamik dari Ach dibagi dalam dua golongan, yaitu terhadap :
1.
Kelenjar eksoskrin dan otot polos, yanh disebut efek muskarinik
2.
Ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka, yang disebut efek nikotik.
Pembagian efek Ach ini berdasarkan obat yang dapat mengahambatnya, yaitu atropin
mengahambat khusus efek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar mengahambat efek
nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Bila asetilkolin diberikan intravena, maka efeknya
terhadap pembuluh darah merupakan resultante dari beberapa efek tunggal :
1.
Ach bekerja langsung pada reseptor kolinergik pembuluh darah dan melaui
pengelepasan EDRF (endhotelium derived relaxing factory) menyebabkan fasodilatasi.
2.
Ach bekerja pada ganglion simpatis dengan akibat pelepasan NE pada akhir
postsinaptik pembuluh darahdan menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hamper
tidak mempunayi pengaruh terhadap pembuluh darah melaluiganglion parasimpatis kecuali
pada alat kelamin.
3.
Ach bekerja merangsang sel medulla anak ginjal yang melepaskan katekolamin dan
menyebabkan vasokonstriksi
4. Ach dapat merangsang reseptor muskarinik parasinaps saraf adrenergic dan mengurangi
peepasan NE.

Resultante dari keempat efek ini akan menentukan apakah terjadi kenaikan atau penurunan
tekanan darah.
Saluran cerna. Pada saluran cerna semua obat dari golongan ini dapat merangsang
peristalsis dan sekresi lambung serta usus. Karbakol dan betanekol menimbulkan hal ini tanpa
mepengaruhi sisitem kardiovaskuler, sedangkan efek asetilkolin dan metakolin disrtai dengan
hipotensi dan takikardi kompensator.
Kelenjar eksoskrin. Ach dan ester kolin lainnya merangsang kelenjar keringat, kelenjar air
mata, kelenjar ludah dan pankreas. Efek ini merupakan efek muskarinik dan tidak nyata pada
orang sehat.
Bronkus. Ester kolin dikontraindikasikan pada penderita asma bronkial karena terutama pada
penderita ini akan menyebabkan spasme bronkus dan produksi lendir berlebihan. Efek ini
tidak nyata pada orang sehat.
Saluran kemih. Karbakol dan betanekol memperlihatkan efek yang lebih jelas terhadap otot
detrusor dan otot ureter dibandingkan dengan asetilkolin dan metakolin. Obat ini
menyebabkan kapasitas kandung kemih berkurang dan peristalsis ureter bertambah.
b.
Sediaan dan posologi
Karena jarang digunakan di klinik, sediaan kolinergik sulit didapat di Indonesia.
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi
200 mg, dosis : 10 100 mg IV.
Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg pemberian oral tidak dapat diandalkan ,
sebaliknya diberikan subkutan (SK) 2,5 40 mg, tergantung dari respon penderita.
Karbakol klorida sebagai tablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml, pemberian oral cukup efektif
dengan dosis 3 kali 0,2 0,8 mg. Dosis subkutan adalah 0,2 0,4 mg. Preparat ini tidak boleh
diberikan IV. Juga tersedia sebagai tetes mata untuk miotikum.
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung
5 mg/ml. Dosis oral adalah 10 - 30 mg, sedangkutan subkutan 2,5 5,0 mg. tidak boleh
diberikan IV atau IM.
c.
Efek Samping
Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu jangan diberikan secara IV,
kecuali asetilkolin yang lama kerjanya sangat singkat. Pemberian oral atau SK merupakan
cara yang lazim digunakan. Kombinasi dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak
boleh digunakan, karena terjadi potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Ester kolin
dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pectori, karena tekanan
darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner. Penderita hipertiroidisme dapat
mengalami fibrilasi atrium terutama pada pemberian metakolin. Tindakan pengamanan perlu
diambil yaitu dengan menyediakan atropin dan epinefrin sebagai antidotum. Gejala
keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik dan nikotinik yang berlebihan, keracunan
ini harus cepat diatasi dengan atropin dan epinefrin.
d.
Indikasi
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi perifer pada penyakit Raynaud
atau tromboflebitis bedasarkan efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah arteri tetapi
sekarang tidak digunakna lagi kerana intensitas respons yang tidak dapat diramalkan.
Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu
tekanan darah penderita sangat rendah. Pemberian metakolin 25 mg SK akan menyebabkan
turunnya tekanan darah seperti yang diharapkan tetapi dengan cepat disusul dengan
peningkatan tekanan sistolik maupun diastolik. Uji semacam ini uga dapat dikerjakan dengan
asetilkolin atau dengan histamine. Bila tensi penderita sedang tinggi, sedikit-dikitnya diatas
190 mmHg, maka sebaiknya dilakukan uji fentoloamin. Hasil uji fentolamin dikatakan positif
bila penurunan tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25 mmHg.
2.
Obat Antikolinesterase

Antikolinesterase terdiri dari eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), disospropilfluorofosfat (DFP), dan insektisida golongan organofosfat. Antikolinesterase menghambat
kerja kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saraf
kolinergik terus menerus karena Ach tidak dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua
kelompok obat yaitu yang menghambat secara reversible misalnya fisostigmin, prostigmin,
piridostigmin dan edrofonium. Dan menghambat secara ireversibel misalnya gas perang,
tabung, sarin, soman, insektisida organofosfat, parathion, malation, diazinon, tetraetilpirofosfat (TEPP), heksaetiltetrafosfat (HETP) dan oktametilpiro-fosfortetramid (OMPA).
a.
Mekanisme kerja
Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan adanya asetikolin endogen. Hal ini
disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat,
karena enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh antikolinesterase. Hambatan ini
berlangsung beberapa jam utuk antikolinesterase yang reversible, tetapi yang ireversibel
dapat merusak kolinesterase sehingga diperlukan sisntesis baru dari enzim ini untuk
kembalinya transmisi normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun pada rseptor
kolinergik ditempat Ach dilepaskan.
b.
Farmakodinamik
Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada pupil, usus dan
sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti toksikologi.
Mata. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFP diteteskan pada konjungtiva bulbi, maka terlihat
suatu perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi dan
hiperemia konjungtiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi
maksimal setelah setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan,
kembalinya ukuran pupil ke normal dapat terjadi dalam beberapa jam (fisostigmin) atau
beberapa hari sampai seminggu (DFP). Miosis menyebabkan terbukannya saluran Schlemm,
sehingga pengaliran cairan mata lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun. Terutama
bila ada glaukoma. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi oleh atropin.
Saluran cerna. Prostigmin paling efektif terhadap saluran cerna. Pada manusia pemberian
prostigmin meningkatkan peristalsis dan kontraksi lambung serta sekresi asam lambung. Efek
muskarinik ini dapat mengatasi inhibisi oleh atropine. Di sini N.vagus yang mempersarafi
lambung harus utuh setelah denervasi, prostagmin tidak memperlihatkan efek. Perbaikan
peristalsis ini merupakan dasar pengobatan meteorisme dan penggunaan prostigmin pasca
bedah.
Sambungan saraf-otot. Antikolinesterase memperlihatkan efek nikotinik terhadap otot
rangka dan asetikolin yang tertimbun pada sambungan saraf-otot menyebabkan otot rangka
dalam keadaan terangsang terus-menerus. Hal ini menimbulkan tremor, fibrilasi otot, dan
dalam keadaan keracunan, kejang-kejang. Bila perangsangan otot rangka terlau besar
misalnya padakeracunan insektisida organofosfat, maka akan terjadi kelumpuhan akibat
depolarisasi menetap (persisten).
Tempat-tempat lain. Pada umunya antikolinerase melaui efek muskarinik, memperbesar
skresi semua kelenjar eksoskrin misalnya kelenjar pada bronkus, kelenjar air mata, kelenjar
keringat, kelenjar liur, dan kelenjar saluran cerna. Pada otot polos bronkus obat ini
menyebabkan konstriksi, sehingga dapat terjadi suatu keadaan yang menyerupai asma
bronkial, sedangkan pada ureter meningkatkan peristalsis. Pembuluh darah perifer
umumnya melebar akibat antikolinesterase, sebaliknya pembuluh koroner dan paru-paru
menyempit. Terhadap jantung efek langsungnya ialah penimbunan asetilolin endogen dengan
akibat bradikardi dan efek inotropik negative sehingga menyebabkan berkurangnya curah
jantung. Hal ini disertai dengan memanjangnya waktu refrakter dan waktu konduksi.
c.
Farmakokinetik

Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan maupun melaui selaput
lendir lainya. Seperti atropin, fisostigmin dalam obat tetes mata dapat menyebabkan obat
sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial mata dimana terdapat kanalis
lakrimalis. Prostigmin dapat diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada
pemberian oral diperlukan dosis 30 kali lebih besar dan penyerapannya tidak teratur. Efek
hipersalivasi baru tampak 1-1 jam setelah pemberian oral 15-20 mg.
d.
Sediaan dan posologi
Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat tetes mata, oral dan parenteral.
Prostigmin bromida (Neostigmin bromida) tersedia untuk pemakian oral (15mg per tablet)
dan neostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0 mg/ml. Pridostigmin
bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul 0,5 mg/ml. Edrofonium
klorida ( Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai untuk antagonis
kurareatau diagnosis miastenia gravis. Diisopropilfluorofosfat (DFP) atau isoflurorat
tersedia sebagai larutan dalam minyak untuk pemberian parenteral dan sebagai obat tetes
mata (0,1 % larutan dalam air).
e.
Indikasi
1. Antonio otot polos
Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos saluran cerna dan kandung
kemih yang sering terjadi pada pasca bedah atau keadaan toksik. Pemberian sebaiknya secara
SK atau IM. Prostigmin yang diberikan sebelum pengambilan X-foto abdomen juga
bermanfaat untuk menghilangkan bayangan gas dalam usus.
2.
Sebagai miotika
Fisostigmin dan DFP secara local digunakan dalam oftalmologi untuk menyempitkan pupil,
terutama setelah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh atropin berlangsung
berhari-har dan menggangu penglihaan bila tidak diantagonis dengan eserin. Dalam hal ini
DFP merupakan miotik yang kuat. Perlekatan iris dengan lensa kadang-kadang terjadi akibat
peradangan dalam hal ini atropin dan fisostigmin digunakan berganti-ganti untuk mencegah
timbulnya perlengketan tersebut.
3.
Diagnosis dan pengobatan miastenia gravis
Miastenia gavis ditandai dengan kelemhan otot yang ekstrim. Gejala penyakit ini adalah
berkurangnya produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot atau dapat ditandai juga dengan
peninggian ambang rangsangan. Setelah pemberian 1,5 mg prostigmin SK kelemahan otot
rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap sebagai suatu tes diagnostik.
Untuk diagnosis digunakan 2 mg androfonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis
pertama tidak mempan. Prostigmin dan piridostigmin merupakan kolinergik yang sering
digunakan untuk mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin
atau 30 mg prodiatigmin biasanya 3 kali sehari. Bila diragukan apakah efek kolinergik sudah
cukup apa belum, dapat diuji dengan pemberian endrofonium, bila terjadi perbaikan berarti
dosis perlu ditambah.
4.
Penyakit Alzheimer
Dosis yang diberiakn pada penyakit Alzheimer yaitu 3 kali sehari 25-50 mg diawali dengan
50 mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4 minggu. Efek samping mual dan
efek kolinergik perofer lainnya tidak menibulkan masalah, mungkin karena dosis dinaikan
secra bertaha dalam 4 minggu. Obat ini meningkatkan enzim aminotransferase dan
dikhawatirkan bersifat hepatotoksisk. Karena itu dianjurkan melakukan uji fungsi hati setiap
2 minggu dalam 3 bulan pertama dan setiap bulan setelahnya.
3. Alkaloid tumbuhan
Alkaloid tumbuhan yaitu : muskarin yang berasal dari jamur Amanita muscaria, pilokarpin
yang berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus microphyllus dan arekolin
yang berasal dari Areca catehu (pinang). Ketiga obat ini bekerja pada efek muskarinik,

kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek nikotinik. Pilokorpin terutama


menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat yang terjadi karena perangangan
langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik),
kelenjar air mata dan kelenjar ludah. Produksi keringat dapat mencapai 3 liter. Pada
penyuntika IV biasanya terjadi kenaikan tekanan darah akibat efek ganglionik dan sekresi
katekolamin dari medulla adrenal.
a.
Intoksikasi
Keracunan muskarin dapat terjdi akibat keracunan jamur. Keracunan jamur Clitocybe dan
Inocybe timbul cepat dalam beberapa menit sampai dua jam setelah makan jamur sedangkan
gejala keracunan A. phalloides timbul lambat, kira-kira sesudah 6-15 jam, dengan sifat gejala
yang berlainan. Amanita muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik tetapi efek utama
disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan antidotum yang ampuh bila efek
muskariniknya yang dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya, keracunannya ditandai
dengan gejala-gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat.
b.
Indikasi
Pilokarpin HCL atau pilokarpin nitrat digunakan sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan
miosis dengan larutan 0,5-3 %. Obat ini juga digunakan sebagai diaforetik dan untuk
menimbulkan saliva diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg. Arekolin hanya digunakan
dalam bidang kedokteran hewan untuk penyakit cacing gelang. Musakrin hanya berguna
untuk penelitian dalam laboratorium dan tidak digunakan dalam terapi. Aseklidin adalah
suatu senyawa sintetik yang strukturnya mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya
dengan pilokarpin dalam menurunkan tekanan intraokular. Obat ini digunakan pada penderita
glaukoma yang tidak tahan pilokarpin.
4.
Obat kolinergik lainnya
1.
Metoklopramid
Metoklopramid merupakan senyawa golongan benzamid. Gugus kimianya mirip
prokainamid, tetapi metoklopramid memiliki efek anestetik lokal yang sangat lemah dan
hamper tidak berpengaruh terhadap miokard.
a.
Efek farmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna, obat ini juga dapat
meningkatkan sekresi prolaktin. Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran cerna, yaitu :
1.
Potensiasi efek kolinergik
2.
Efek langsung pada otot polos
3.
Penghambatan dopaminergik sentral
b.
Indikasi. Metaklopramid terutama digunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras
pada waktu pemeriksaan radiologic lambung dan deuodenum untuk mencegah atau
mengurangi muntah akibat radiasi dan pascabedah, untuk mempermudah intubasi saluran
cerna. selain itu obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan gejala
mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan dan gangguan cerna
(indigestion) misalnya pada gastroparesis diabetik.
c.
Kontraindikasi, efek samping dan interaksi obat
Metoklopiramid dikontraindikasikan pada obstruksi, perdarahan, dan perforasi saluran cerna,
epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Efek samping yang timbul pada
penggunaan metoklopramid pada umunya ringan. Yang penting diantaranya adalah kantuk,
diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal.
d.
Sediaan dan posologi
Metoklopiramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg, sirup mengandung 5 mg/ 5 ml
dan suntikan 10 mg/2ml untuk penggunaan IM atau IV. Dosis untuk dewasa ialah 5-10 mg 3
kali sehari, untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg 5 mg diminum 3 kali sehari, anak 3-5 tahun 2 mg
diminum 2 atau 3 kali sehari, anak 1-3 tahun 1 mg diminum 2 atau 3 kali sehari dan bayi 1
mg diminum 2 kali sehari.

2.
Sisaprid
Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang merangsang motilitas saluran cerna. Kerja obat
ini diduga meningkatkan pelepasan ACH di saluran cerna.
a.
Eksperimental pada hewan
Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan meningkatkan amplitudo
kontraksi esofagus bagian distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit mulutsaekum memendek, peristalsis kolon meningkat.
b.
Indikasi
Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroessofagial, gangguan mobilitas gaster dan
dyspepsia bukan karena tukak.
c.
Sediaan dan posologi
Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama pengobatan 4-12 minggu.
Obat ini dimetabolisme secara ekstensif di hati sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal
hati. Pada pasien gagal ginjal, dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya gangguan,
mungkin sampai separuhnya. Perhatian. Jangan memberikan sisaprid bila peningkatan
gerakan saluran cerna dapat berpengaruh buruk misalnya pada pendarahan, obstruksi,
perforasi, atau keadaan pascabedah.
d.
Efek samping
Efek samping pada saluran cerna berupa : Kolik, borborigmi, dan diare. Gejala sistem saraf
pusat berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan efek.
D. KEGUNAAN
Kolinergik terutama digunakan pada:

Glaukoma, yaitu suatu penyakit mata dengan ciri tekanan intra okuler meningkat
dengan akibat kerusakan mata dan dapat menyebabkan kebutaan. Obat ini bekerja dengan
jalan midriasis seperti pilokarpin, karbakol dan fluostigmin.

Myastenia gravis, yaitu suatu penyakit terganggunya penerusan impuls di pelat ujung
motoris dengan gejala berupa kelemahan otot-otot tubuh hingga kelumpuhan. Contohnya
neostigmin dan piridostigmin.

Atonia, yaitu kelemahan otot polos pada saluran cerna atau kandung kemih setelah
operasi besar yang menyebabkan stres bagi tubuh. Akibatnya timbul aktivitas saraf adrenergik
dengan efek obstipasi, sukar buang air kecil atau lumpuhnya gerakan peristaltik dengan
tertutupnya usus (ielus paralitikus). Contohnya prostigmin (neostigmin)

2. PARASIMPATOLITIK
Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang bekerja menghambat
timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis. Antimuskarinik merupakan
antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi serabut pascaganglion kolinergik.
Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang
pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik. Penghambat reseptor muskarinik atau
antimuskarinik dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu: (1) alkaloid antimuskarinik, atropin

dan skopolamin; (2) derivat semisintesisnya; dan (3) derivat sintesis (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Efek samping antikolinergik bisa dipisahkan ke dalam 2 tipe, yaitu efek samping pada
sistem saraf pusat dan periferal. Dokter perlu menyesuaikan kemungkinan efek samping ini
agar secara efektif dapat mengobati pasien. Potensi komplikasi medis dari efek samping
antikolinergik adalah cukup besar dan rentan pada pasien yang usianya lebih tua atau pasien
yang punya gejala seperti asma. Pada efek samping periferal lebih terlihat secara fisik, oleh
karena itu lebih mudah untuk didiagnosa. Gejala khas termasuk kering mulut, sembelit,
retensi urin, penghalang usus besar, membesarnya pupil, pandangan menjadi kabur,
meningkatnya detak jantung, dan berkurangnya jumlah keringat. Ketika efek samping tidak
terlihat serius, dokter perlu waspada karena efek samping ini bisa menyebabkan komplikasi
medis. Pada efek samping sistem saraf pusat, cacat dalam fungsi kognitif dapat menyebabkan
kelainan schizophrenia. Efek samping lainnya pada otak dan termasuk kelainan konsentrasi
cairan pada otak, konfusi, kelainan dalam proses mengingat (Lieberman, 2004).
Obat dengan aktifitas antikolinergik dapat memproduksi respon antagonis yang signifikan
ketika dibuat kombinasi. Obat seperti atropin dan skopolamin menghambat reseptor
asetilkolin muskarin dan dapat memproduksi pada efek periferal dan pusat. Pemberian secara
bersamaan dari obat dengan aktivitas antikolinergik dapat memperluas gejala, terutama rentan
pada pasien usia tua dimana usia mempengaruhi penurunan asetilkolin endogen (Horn &
Hansten, 2005).

Atropin
Atropin (campuran d- dan l-hiosiamin) terutama ditemukan pada Atropa belladona dan
Datura stramonium.
Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan syaraf pusat, merangsang
medulla oblongata dan pusat lain di otak, menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat
dilatasi bronkus, pada dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan
lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata. Efek atropin pada
mata menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada saluran nafas, atropin dapat mengurangi
sekresi hidung, mulut dan bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat
bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara
langsung dan menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin
sebagai antispasmodik yaitu menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada otot
polos atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan retensi urin
(Ganiswara, 2001).
Farmakodinamik
Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin
dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin
endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen.
Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antarorgan. Pada dosis kecil
(sekitar 0,25 mg) misalnya, atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan
keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang lebih besar (0,5-1,0 mg) baru
terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi , dan penghambatan N-vagus sehingga terlihat
takikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk menghambat peristaltik usus dan
sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi

serabut pascaganglion kolinergik dan pada keadaan ini biasanya efek adrenergik menjadi
lebih nyata.
-

Susunan saraf Pusat


Atropin pada dosis kecil memperlihatkan efek merangsang di susunan saraf pusat dan pada
dosis toksik memperlihatkan efek depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan.
Atropine merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak.

Sistem Kardiovaskular
Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa
digunakan, frekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan oleh perangsangan pusat
vagus.

Mata
Alkaloid belladonna menghambat M. contrictor papillae dan M. ciliaris lensa mata, sehingga
menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis
menyebabkan fotofobia, sedangkan siklopegia menyebabkan hilangnya kemampuan melihat
jarak dekat.

Saluran napas
Tonus bronkus sangat dipengaruhi oleh system parasimpatis melalui reseptor M3 demikian
juga sekresi kelenjar submukosanya. Alkaloid belladonna mengurangi secret hidung, mulut,
faring, dan bronkus.

Saluran cerna
Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus, atropine juga disebut sebagai
antispasmodik. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen ( atau esterkolin) terjadi lengkap,
tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya terjadi parsial. Atropine menyebabkan
berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung.

Otot Polos Lain


Saluran kemih dipengaruhi oleh atropine dalam dosis agak besar (kira-kira 5 mg). Pada
pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter, dan kandung kemih. Hal ini dapat
mengakibatkan retensi urin.

Kelenjar Eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropine ialah kelenjar liur dalam mulut
serta bronkus.
Farmakokinetik
Alkaloid belladona mudah diserap di semua tempat, kecuali di kulit. Dari sirkulasi darah,
atropin cepat memasuki jaringan dan separuhnya mengalami hidrolisis enzimatik di hepar.
Sebagian di ekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal. Waktu paruh atropin sekitar 4 jam.
Indikasi dan Kontraindikasi

Saluran cerna
Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus. Terutama dipakai
pada ulkus peptikum dan sebagai pengobatan simptomatik pada berbagai keadaan misalnya
disentri, colitis, diverticulitis, dan kolik karena obat atau sebab lain. Dalam pengobatan ulkus
peptikum, atropin atau antikolinergik lain dalam dosis yang biasa digunakan tidak cukup
untuk menghambat sekresi asam lambung.

Saluran Napas

Antikolinergik berguna untuk mengurangi sekresi lendir hidung dan saluran napas misalnya
pada rhinitis akut, koriza dan hay fever, tetapi terapi ini tidak memeperpendek masa sakit.
-

Oftalmologi
Semua pasien yang diberi antimuskarinik sebagai obat tetes mata harus diperiksa dahulu
untuk menyingkirkan adanya glaucoma, karena penyakit ini merupakan kontraindikasi utama
antikolinergik. Peninggian intraokuler terus-menerus dapat menyebabkan kebutaan.

Indikasi Lain
Medika praanestesia. Atropine berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada
anesthesia, terutama anesthesia inhalasi dengan gas yang merangsang. Kelenjar yang
sekresinya dihambat secara baik oleh antikolinergik ialah kelenjar dan kelenjar ludah.
Efek Samping
Efek samping antimuskarinik hampir semua efek farmakodinamiknya. Pada orang
muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak
membahayakan. Pada orang tua dapat terjadi efek sentral terutama berupa sindrom demensia.
Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat dan memburuknya penglihatan pada
pasien glaucoma, menyebabkan obat ini kurang diterima. Efek samping sentral kurang pada
pemberian antimuskarinik yang tergolong ammonium kuarterner. Walaupun demikian,
selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat terjadi.
Muka merah setelah pemberian atropine bukan reaksi alergi melainkan akibat
kompensasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropine jarang ditemukan
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).

Fenobarbital
Fenobarbital asam 5,5-fenil-etil barbiturat merupakan senyawa organik pertama yang
digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi
pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal
ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulan sentral tanpa
mengurangi efek antikonvulsinya (Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007).
Morfologi Fenobarbital
Fenobarbital mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C 12H12N2O3
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian

: Hablur atau serbuk hablur; putih tidak berbau; ras agak pahit.

Kelarutan
: sangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P, dalam
larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.
Khasiat penggunaan : Hipnotikum, sedativum.
Dosis maksimum
Indonesia, 1979).

: sekali 300 mg, sehari 600 mg (Departemen Kesehatan Republik

Fenobarbital merupakan obat anti konvulsi yang paling luas digunakan karena mempunyai
keamanan yang tinggi. Efek sampingnya berupa sedasi sering menghambat aktivitas kerja

setelah konvulsi hilang. Berdasar hal tersebut, digunakan Adrenalin yang mempunyai sifat
analeptik untuk mengurangi efek hipnotik Fenobarbital tanpa mengurangi efek anti
konvulsinya (Ellyas dkk, 2009).

Cara Pemberian Obat


Absorpsi dari zat obat merupakan factor yang sangat penting dalam memilih cara pemberian
obat yang tepat.
Cara oral
Obat paling sering digunakan dengan pemberian oral. Walaupun beberapa obat yang
digunakan secara oral dimaksudkan larut dalam mulut, sebagian besar dari obat yang
digunakan secara oral adalah ditelan. Dari semua ini sebagian besar dimaksudkan untuk efek
sistemik dari obat, yang dihasilkan setelah terjadi absorpsi pada berbagai permukaan
sepanjang saluran cerna. Beberapa obat ditelan untuk kerja lokal pada daerah yang terbatas
dalam saluran cerna, yang dimungkinkan karena tidak larut dan atau daya absorpsi yang tidak
baik melalui cara ini.
Dibandingkan dengan cara lainnya, cara oral dianggap paling alami, tidak sulit,
menyenangkan dan aman dalam hal pemberian obat. Hal-hal yang tidak menguntungkan pada
pemberian secara oral termasuk respons obat yang lambat (bila dibandingkan dengan obatobat yang diberikan secara perenteral); kemungkinan absorbsi obat yang tidak teratur, yang
tergantung pada faktor-faktor seperti perbaikan yang mendasar, jumlah atau jenis makanan
dalam saluran cerna; dan perusakan beberapa obat oleh reaksi dari lambung atau oleh enzimenzim dari saluran cerna.
Obat-obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan farmasi yang beragam, masingmasing dengan keuntungan terapeutik yang mengakibatkan penggunaannya yang selektif oleh
dokter. Bentuk yang paling populer adalah tablet, kapsul, suspensi dan berbagai larutan
sediaan farmasi (Ansel, 1989).
Cara Parenteral
Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah sesuatu yang disuntikkan melalui lubang
jarum yang runcing ke dalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan bermacam-macam
kedalaman. Tiga cara utama dari pemberian parenteral adalah subkutan, intramuskular (IM)
dan intravena (IV) walaupun ada yang lain seperti intrakardiak dan intraspinal.
Obat-obat yang rusak atau diinaktifkan dalam sistem saluran cerna atau tidak diabsorbsi
dengan baik untuk memberikan respons memuaskan, dapat diberikan secara parenteral. Cara
perenteral juga disukai bila dibutuhkan absorbs yang segera, seperti pada keadaan darurat.
Satu hal yang merugikan dari pemberian parenteral adalah bahwa sekali obat yang sudah
disuntikkan, tidak bisa ditarik lagi. Secara farmasi, preparat-preparat yang dapat disuntikkan
biasanya berupa suspensi atau larutan steril dari suatu zat obat dalam air atau dalam minyak
nabati yang sesuai.
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara
merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Injeksi diracik dengan
melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut

atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau dosis ganda
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1979).
-

Injeksi subkutan
Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat meliputi injeksi melalui lapisan kulit ke
dalam jaringan longgar di bawah kulit. Biasanya, injeksi subkutan dibuat dalam bentuk
larutan dalam air atau sebagai suspensi dan relatif diberikan dalam volume yang kecil yaitu 2
mL atau kurang.

Injeksi intramuskular
Injeksi intramuskular diberikan jauh ke dalam otot rangka, umumnya pada otot pinggul atau
pinggang. Tempat penyuntikan dipilih yang bahaya pengrusakan terhadap saraf atau
pembuluh darahnya kecil. Obat-obat yang memedihkan jaringan di bawah kulit seringkali
diberikan secara intramuskular. Juga jumlah volume yang lebih besar (2 sampai 5 mL)
seringkali diberikan intramuskular daripada subkutan.

Injeksi intravena
Dalam pemberian obat secara intravena, larutan air disuntikkan ke dalam vena dengan
kecepatan yang sepadan dengan efisiensi, keselamatan, menyenangkan bagi pasien dan
lamanya reaksi obat yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Gaya Baru. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga.
Departemen Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta.
Katzung, Bertram G.2001.Farmakologi. Dasar dan Klinik.Jakarta: Salemba Medika.
Katzung, Bertram G.2002.Farmakologi Dasar dan Klinik.Jakarta:EGC.

Pagliaro.1986.Pharmacologic Aspect of Nursing.Princeton:Mosby Company.


Scherer, Jeanne C.1985.Drug Manual.Philadepia:J.B Lippincott Company.
Syarif, Amir dkk.1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK UI.

Anda mungkin juga menyukai