Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

RESEPTOR KOLINERGIK DI USUS

Kelompok 1

Kelas A2 2019

Anggota Kelompok:

1. Adie Prasetia Maulana Utama P (201910330311105)


2. Ainnurrahmi Respati Putri (201910330311126)
3. Caesar Santoso Hidayat (201910330311087)
4. Iasha Maylaidine Devi Sillalahi (201910330311131)
5. Rizki Sani Aisyah (201910330311038)
6. Shabrina Adilia Roida (201910330311088)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Landasan Teori


Pada prisipnya semua bagian dari fraktus gastrointestinal dapat digunakan untuk
percobaan organ terpisah (esofagus, gaster, ileum, kolon dan bahkan rektum)
Percobaan ini digunakan untuk mengetahui efek obat terhadap organ yang
secara tidak langsung menunjukkan kerja obat di reseptornya. Apabila
jumlah reseptor obat pada organ adalah N total, konsntrasi obat yang diberikan
XA maka reseptor yang ditempati oleh obat ini adalah NA . Reaksi ini dapat
digambarkan sebagai berikut :

Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap pemberian
obat.
Respon organ terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Pada
praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat unutk melihat efeknya terhadap
organ terpisah (usus)
Pada teori prinsip pendudukan (occupancy) menjelaskan bahwa intensitas efek
obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya. Baik
pada hewan atau manusia , efek yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam dosis yang
rendah akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan dosis. Namun seiring
dengan bertambahnya dosis obat, peningkatan respon tubuh atau efek yang
ditimbulkan akan berkurang, sehingga meskipun dosisnya ditambah maka tidak akan
terjadi efek lagi. Inilah yang disebut efficacy. Eficacy adalah besar efek maksimal
yang bisa ditimbulkan oleh suatu obat waktu sekali obat tersebut berikatan dengan
reseptor. Eficacy terjadi jika seluruh reseptor diduduki oleh obat. Efficacy suatu obat
tidak selalu 100%. Karena tiap tiap obat mempunyai efficacy yang berbeda.
Obat juga mempunyai potensi yang berbeda beda. Potensi menunjukan kisaran
dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang
mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat dan afinitas obat
terhadap reseptornya, yaitu seberapa kuat suatu obat bisa berikatan dengan
reseptornya. Afinitas bisa ditentukan dengan cara mencari efek ½ maksimal.
Reseptor bisa diduduki oleh agonis maupun antagonis. Agonis mempunyai
afinitas sekaligus efficacy ( aktifitas intrinsik). Sedangkan antagonis hanya
mempunyai affinitas tanpa ada aktivitas intrinsik sehingga tidak dapat meneruskan
sinyal tranduksi. Antagonis adalah obat menghambat kerja suatu agonis. Antagonis
dibedakan menjadi 2 yaitu antagonis competitive dan antagonis non competitif .
Antagonis competitif adalah antagonis yang berikatan dengan reseptor di tempat
ikatan agonis (receptor site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser
aloh agonis kadar tinggi. Hambatan kadar antagonis dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis sampai akhir dicapai efek maksimal yang sama.
Sementara antagonis non competitive tidak bisa digeser karena merupakan ikatan
kovalen sehingga efek yang dihasilkan tidak akan maksimal. Jika terdapat antagonis
kompetitif dalam konsentrasi tertentu terlebih dahulu yang menempati reseptor maka
untuk menggesernya dibutuhkan dosis agonis yang lebih besar sehingga bisa
menimbulkan efek yang sama jika dibandingkan ketika tanpa antagonis.

1.2 Tujuan
1. Memahami prinsip-prinsip percobaan farmakologi dengan menggunakan sediaan
jaringan usus terpisah
2. Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada jaringan usus
terpisah
3. Menghitung afinitas dan selektifitas obat terhadap reseptor pada sediaan usus
terpisah

BAB II

METODE PRAKTIKUM

2.1 Alat dan Bahan

1. Metakolin
2. Atropin
3. Larutan tyrode
4. Organ bath
5. Pompa udara
6. Kertas kymograph/ aplikasi
7. Ileum 3- 4 cm

2.2 Prosedur Kerja

1. Marmut yang telah dibunuh, diambil ileumnya sepanjang 3-4 cm


2. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrode dengan
temperatur 37°C dan diaerasi dengan udara dari pompa udara
3. Perubahan pada ileum (kontraksi) diteruskan melalui lever yang diujungnya
dipasang jarum penulis. Besar kontraksi ileum dicatat pada kertas kymograph
melalui jarum penulis
4. Respon organ terhadap obat dapat dilihat dengan pemberian obat ke dalam
larutan di dalam organ bath

2.3 Pengamatan Respon

Pada praktikum ini dapat dilihat :

1. Perubahan tonus
2. Perubahan kontraksi
3. Mula kerja dan masa kerja obat

● Respon organ terhadap pemberian metacolin (Cholinoseptor agonist)

Injeksikan obat agonis ke dalam larutan di dalam organ bath. Gantilah


larutan dengan volume yang sama setelah kontraksi usus mulai turun (lebih kurang
1 menit). Tunggu aktivitas ileum kembali normal sebelum memberikan obat
berikutnya (lebih kurang 3 menit)

Tabel Pemberian Metakolin pada Marmut


No. Konsentrasi Volume Konsentrasi Metakolin
Metakolin (M) Metakolin (cc) dalam Organ Bath (M)

1. 2,5 x 10-6 0,2 10-8

2. 2,5 x 10-6 1,8 10-7

3. 2,5 x 10-5 1,8 10-6

4. 2,5 x 10-4 1,8 10-5

5. 2,5 x 10-3 1,8 10-4

6. 2,5 x 10-2 1,8 10-3


● Respon organ terhadap pemberian atropin (Cholinoseptor antagonist)
i. Siapkan usus terpisah dalam organ bath dengan larutan baru (dari
percobaan b)
ii. Berikan atropin pada larutan dalam organ bath sebesar 0,2 ul dengan
konsentrasi 3 x 10-6M. Konsentrasi atropin dalam organ bath 3 x 10-8M
(volume larutan 25 ml). Tunggu 1 menit
iii. Berikan metakolin sesuai dengan urutan konsentrasi pada a dengan cara
seperti pada a

2.4 Pengumpulan Data

A. Metakolin
B. Atropin metakolin
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


Data Praktikum

METAKOLIN 1 ATROPIN METAKOLIN 2

Dosis Time Gel Dosis Time Gel Dosis Time Gel

10-7 8,34 0,36 10-7 X X 10-7 X

10-6 9,13 0,34 10-6 13,10 0,38 10-6 27,17

10-5 10,50 0,26 10-5 X X 10-5 28,10


10-4 10,56 0,19 10-4 X X 10-4 28,41

10-3 11,28 0,20 10-3 X X 10-3 29,22

10-2 12,11 0,20 10-2 X X 10-2 29,46

Ket:
Metakolin 1 = belum diberi Atropin
Metakolin 2 = telah diberi Atropin
Time = per menit

Kurva Perbandingan Dosis Efek Metakolin dan Atropin-Metakolin

Pembahasan

A.1. Pemberian Metakolin

Pada data di atas menunjukkan bahwa dengan pemberian Metakolin pada organ terpisah usus
dapat menyebabkan usus berkontraksi. Pada saat pemberian metakoline, usus mengalami
kontraksi yang ditandai dengan peningkatan grafik awal sebesar 0,1 ketika pemberian
metakolin dengan konsentrasi 10-4. Puncak efeknya terjadi setelah pemberian metakolin
dengan konsentrasi 10-2 dengan peningkatan grafik sebesar 0,43. Hal ini terjadi karena
metacholine merupakan salah satu agonis muskarinik yang akan merangsang pelepasan ach.
Diketahui bahwa usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang berkerja
memacu peristaltik usus sehingga pada pemberian metacholine akan meningkatkan ach pada
post sinaps sehingga jumlah ach yang berlebih pada celah sinaps akan diterima oleh reseptor
muskarinik yang ada dipermukaan usus. Hal ini yang menyebabkan usus mengalami
kontraksi. Perlu diketahui bahwa syaraf parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan
organ bahkan menempel dengan organ yang diinervasinya.
A.2. Pemberian Atropin - Metakolin

Berdasarkan grafik hasil pengamatan diketahui pula bahwa afinitas metakolin lebih besar
jika dibandingkan dengan metakolin yang ditambah dengan atropine. Hal ini dapat terjadi
karena atropin bekerja menghambat Ach menduduki reseptor muskarinik secara kompetitif
sehingga dapat mengurangi efek ach di tempat kerjanya. Disebut kompetitif karena atropine
adalah antagonis yang bekerja mencegah akses asetilkolin atau segala sesuatu mirip obat
agonis dengan reseptor asetilkolin dan atropine menstabilkan reseptor dan membuatnya
inaktif. Ini dibuktikan dengan data yang ada pada grafik. Ketika atropine ditambahkan grafik
akan turun dari base line sebesar 0.04. Menurut teorinya pun antagonis akan mengurangi efek
asetilkolin maupun ligan endogennya dalam tubuh karena beberapa reseptor telah dibuat
inaktif. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Ini dibuktikan dengan
ketika usus diberi atropine lalu ditambahkan metakolin ke dalamnya dengan konsentrasi 10-4
maka grafik akan naik sebesar 0.02. Puncak efeknya pun terjadi setelah penambahan
metakolin dengan konsentrasi 10-2 dan grafiknya naik sebesar 0.82. Namun seharusnya
menurut teori peak effect yang dihasilkan oleh metakolin yang sebelumnya ditambahkan
atropine akan lebih kecil dari pada saat ditambahkan metakolin saja. Ini disebabkan karena
ketika ditambahkan atropine maka atropine akan menginaktivasi sebagian reseptor metakolin.
Namun dalam hasil praktikum kami ketika ditambahkan atropine dulu hasilnya malah lebih
besar dari pada ketika hanya ditambahkan metakolin saja. Ini bisa disebabkan karena dosis
metakolin yang diberikan ketika atropine-metakoline lebih besar dari pada metakoline saja,
maka metakoline yang berikatan dengan reseptor semakin banyak sehingga peak effect
semakin besar

Pembahasan

A.1. Pemberian Metakolin

Pada data di atas menunjukkan bahwa dengan pemberian Metakolin pada organ terpisah usus
dapat menyebabkan usus berkontraksi. Pada saat pemberian metakoline, usus mengalami
kontraksi yang ditandai dengan peningkatan grafik awal sebesar 0,1 ketika pemberian
metakolin dengan konsentrasi 10-4. Puncak efeknya terjadi setelah pemberian metakolin
dengan konsentrasi 10-2 dengan peningkatan grafik sebesar 0,43. Hal ini terjadi karena
metacholine merupakan salah satu agonis muskarinik yang akan merangsang pelepasan ach.
Diketahui bahwa usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang berkerja
memacu peristaltik usus sehingga pada pemberian metacholine akan meningkatkan ach pada
post sinaps sehingga jumlah ach yang berlebih pada celah sinaps akan diterima oleh reseptor
muskarinik yang ada dipermukaan usus. Hal ini yang menyebabkan usus mengalami
kontraksi. Perlu diketahui bahwa syaraf parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan
organ bahkan menempel dengan organ yang diinervasinya.

A.2. Pemberian Atropin - Metakolin


Berdasarkan grafik hasil pengamatan diketahui pula bahwa afinitas metakolin lebih besar
jika dibandingkan dengan metakolin yang ditambah dengan atropine. Hal ini dapat terjadi
karena atropin bekerja menghambat Ach menduduki reseptor muskarinik secara kompetitif
sehingga dapat mengurangi efek ach di tempat kerjanya. Disebut kompetitif karena atropine
adalah antagonis yang bekerja mencegah akses asetilkolin atau segala sesuatu mirip obat
agonis dengan reseptor asetilkolin dan atropine menstabilkan reseptor dan membuatnya
inaktif. Ini dibuktikan dengan data yang ada pada grafik. Ketika atropine ditambahkan grafik
akan turun dari base line sebesar 0.04. Menurut teorinya pun antagonis akan mengurangi efek
asetilkolin maupun ligan endogennya dalam tubuh karena beberapa reseptor telah dibuat
inaktif. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Ini dibuktikan dengan
ketika usus diberi atropine lalu ditambahkan metakolin ke dalamnya dengan konsentrasi 10-4
maka grafik akan naik sebesar 0.02. Puncak efeknya pun terjadi setelah penambahan
metakolin dengan konsentrasi 10-2 dan grafiknya naik sebesar 0.82. Namun seharusnya
menurut teori peak effect yang dihasilkan oleh metakolin yang sebelumnya ditambahkan
atropine akan lebih kecil dari pada saat ditambahkan metakolin saja. Ini disebabkan karena
ketika ditambahkan atropine maka atropine akan menginaktivasi sebagian reseptor metakolin.
Namun dalam hasil praktikum kami ketika ditambahkan atropine dulu hasilnya malah lebih
besar dari pada ketika hanya ditambahkan metakolin saja. Ini bisa disebabkan karena dosis
metakolin yang diberikan ketika atropine-metakoline lebih besar dari pada metakoline saja,
maka metakoline yang berikatan dengan reseptor semakin banyak sehingga peak effect
semakin besar.

3.2 Pembahasan Diskusi dan Tugas


1. Prinsip Praktikum Sediaan Organ Terpisah (Isolated Organ)
⮚ Syarat viabilitas isolated organ
Preparasi Organ Terpisah
Marmut yang sebelumnya telah dipuasakan selama 10-12 jam dieksekusi
dengan cara dislokasi tulang leher kemudian adomennya dibuka dan
caecumnya diangkat kedepan maka ileum akan ditemukan tergabung pada
bagian belakangnya. Ileum dipotong 5 cm dari caecum sepanjang 2 cm
kemudian dimasukkan dalam cawan petri yang berisi larutan Kreb’s. Agar
tidak rusak, dalam menanganinya sebaiknya tidak menggunakan pinset tetapi
jari. Sebelum dimasukkan dalam organ bath mesentrerialnya dibersihkan dulu
kemudian isi usus dibersihkan dengan cara disemprot rongga ususnya dengan
pipet berisi larutab Kreb’s, setelah itu benang diikatkan pada kedua ujung
ileum.
Ileum dimasukkan ke dalam organ bath dengan ujung bawah diikatkan pada
tangkai penahan dan ujung
atas diikatkan dengan ujung fulcrum/tangkai pada kimograf dengan diberi
beban sebesar 1 gram. Setelah siap, suhu dalam organ bath diatur setinggi
37°C dan terus diaerasi non stop memakai air pump. Preparat ileum
diinkubasikan dahulu dalam larutan Kreb’s selama 1-2 jam disertaipencucian
dengan mengganti larutan kreb’s tiap 10-15 menit agar preparat teradaptasi.
Pada saat eksperimen dengan ekstrak daun Physalis minima L volume larutan
Kreb’s harus stabil sebesar 30 ml sehingga tiap kali berkurang harus segera
ditambah lagi agar volumenya tetap (6,8) (Tarannita,2006).

2. Prinsip kontraksi usus sebagai organ otonomik


⮚ Persarafan otonomik usus
Usus memiliki sistem persarafan lokal yang mengatur aktivitasnya yaitu :
1. Plexus myecentric : merupakan lapisan yang terletak di antara
lapisan otot longitudinal dengan lapisan otot sirkuler. Berfungsi
untuk mengatur aktivitas otot polos pada usus.
2. Plexus submucosal : terletak di antara lapisan otot sirkuler dengan
lapisan epitel usus. Berfungsi untuk mengatur sektresi pada usus.
Plexus myecentric dan plexus submucosal saling terhubung untuk
menyinkronkan antar berbagai aktivitas usus sehingga dapat
berjalan optimal. (Katzung B G,dkk. 2012)
⮚ Isolated usus – masih ada efek kontraksi (pada praktikum)
Usus memiliki sistem saraf lokal dan otot yang terletak di dindingnya. Hal
ini menyebabkan usus dapat bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan
walaupun telah terputus dari sistem saraf pusat selama organ dijaga dalam
kondisi normalnya dengan suplai nutrisi yang adequat. (Tarannita,2006).

3. Prinsip kerja obat pada reseptor


⮚ Teori Okupansi
⮚ Teori Occupancy oleh Gaddum dan Clark menyatakan bahwa intensitas
efek farmakologis secara langsung proportional dengan jumlah reseptor
yang diduduki obat. Respon biologis hilang ketika komplek obat-reseptor
mengalami disosiasi. Bagaimanapun juga tidak semua agonis
menghasilkan suatu respon maksimal. Oleh karena itu, teori ini tidak
menguraikan agonis parsial. Ariens dan Stephenson memodifikasi teori
Occupancy untuk menjelaskan agonis parsial (istilah yang dibuat oleh
Stephenson). Konsep asli Langley mengenai reseptor menyatakan bahwa
interaksi obat-reseptor terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama terjadi
kompleksasi obat dengan reseptor yang disebut afinitas. Kedua terjadi
inisiasi efek biologis yang oleh Ariens disebut dengan aktivitas intrinsic
dan oleh Stephenson disebut juga efikasi. Afinitas merupakan suatu ukuran
kapasitas obat untuk berikatan dengan reseptor dan ini tergantung pada
komplemen obat dan reseptor. Aktivitas intrinsik (α) merupakan ukuran
kemampuan komplek obat-reseptor untuk menimbulkan respon. Aktivitas
intrinsik dari suatu obat dianggap konstan. Jika suatu obat mempunyai α
nilai sama dengan 1,0 maka obat tersebut merupakan suatu agonis, jika
kurang dari 1,0 maka obat tersebut merupakan parsial agonis. Secara
umum antagonis berikatan dengan kuat pada suatu reseptor (afinitas besar)
tetapi sama sekali tidak menimbulkan efek (tidak mempunyai efikasi).
Agonis yang poten mungkin mempunyai afinitas terhadap reseptor yang
lebih kecil dibandin agonis parsial atau antagonis. Teori Occupancy yang
termodifikasi digunakan untuk menjelaskan adanya agonis parsial atau
antagonis, tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa dua obat bisa menduduki
reseptor yang sama dan mempunyai aksi yang berbeda di mana yang satu
sebagai agonis dan yang lain sebagai antagonsis (Rollando, 2017).

4. Prinsip kerja agonis


⮚ Grafik kymograf dan kurva dosis-efek metakolin
Semakin besar dosis pada agonis (metakolin) maka semakin besar efek
yang ditimbulkan. Ketika pemberian dosis 10^-2, obat menempati semua
reseptor dan terjadi efek maksimal. (Tarannita,2006).
⮚ Mekanisme sinyal transduksi metakolin sampai dengan timbul efek
kontraksi
Agonis kolinergik (metakolin) bekerja mirip dengan kerja asetilkoin
pada reseptor kolinergik. Obat-obat ini berkaitan dengan reseptor pada
membran sel-sel organ target mengubah permeabilitas membran sel dan
mempermudah pengaliran kalsium dan natrium ke dalam sel yang
menyebabkan stimulasi otot. Masa kerja lebih lama resisten terhadap
hidrolisis oleh kolinesterase non spesifik, relative resisten hidrolisi oleh
ACh.
Receptor M 1 dan M 2 diaktifkan, reseptor ini akan mengalami
perubahan kovermasi dan berinteraksi dengan protein G yang selanjutnya
akan mengaktifkan fosfolipase p akibatnya akan terjadi hidrolisis
fosfatidilinositol9440bifosfate (PIP2) yang akan menyebabkan
peningkatan kadar Ca2+ intra sel. Selanjutnya akan memicu atau
berinteraksi dan menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi, kontraksi.
(Mycek, M. J. Harvey, R.A. and Champe,P.C. Lippincott’S. 2000.)

5. Prinsip kerja antagonis


⮚ Grafik kymograf
Pemberian antagonis kompetitif (atropine) sebelum pemberian agonis,
akan menyebabkan peningkatan dosis agonis sampai menimbulkan efek.
Terdapat perbedaan effikasi antara pemberian obat agonis (metakolin) saja
dengan pemberian antagonis (atropine) dan agonis (metakolin).
(Hoffman BB and Taylor P.2005)
⮚ Mekanisme sinyal transduksi atropin
Atropin digunakan sebagai spasmodik untuk mengurangi aktivitas
saluran cerna. Atropin merupakan obat terkuat sebagai penghambat saluran
cerna walaupun motilitas (gerakan usus) dikurangi tetapi produksi asam
hidroklorat tidak jelas dipengaruhi. Oleh karena itu, obat ini tidak efektif
penyembuhan ulkus peptikum.
Antikolinergic (atropin) menyekat sinaps muskarinik pada saraf
parasimpatis secara selektif. Oleh karena itu, efek persarafan efek
paasimpatik menjadi terganggu, dan kerja pacu simpatis muncul tanpa
imbangan. (Asep Sukohar. 2014)
6. Perbandingan affinitas dan effikasi metakolin apabila hanya diberikan
metakolin dan apabiladiberikan atropin dahulu kemudian metakolin
⮚ Prinsip kerja antagonis kompetitis dan non kompetitif
⮚ Jika terdapat agonis dalam konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi
antagonis kompetitif reversible secara progresif akan menghambat respons
agonis, konsentrai tinggi antagonis akan mencegah terjadinya resposn
agonis secara komplit. Sebaliknya, konsentrasi agonis yang cukup tinggi
juga dapat melawan efek antagonis secara komplit; artinya agonis tetap
sama untuk setiap antagonis dalam konsentrasi tertentu. Antagonis bersifat
kompetitif, maka keberadaan antagonis akan meningkatkan jumlah
konsentrasi agonis yang dibutuhkan agar dapat menimbulkan respons
tertentu.
⮚ Antagonis dapat bekerja secara nonkompetitif melalui mekanisme yang
berbeda, yaitu dengan terikat ke tempat lain di protein reseptor tempat
terikatnya agonis, dengan demikian mencegah aktivasi reseptor tersebut
tanpa perlu memblokade agonis untuk terikat dengan reseptor. Walaupun
berkerja secara nonkompetitif, efek kerja obat bersifat reversible jika tidak
berikatan secara kovalen (Katzung, dkk. 2012).
⮚ Bagaimana hasil praktikum?
⮚ Hasil praktikum menunjukkan bahwa afinitas metakolin lebih besar
dibandingkan dengan metakolin yang ditambah dengan atropine. Karena
atropin bekerja menghambat Ach menduduki reseptor muskarinik secara
kompetitif sehingga dapat mengurangi efek Ach di tempat kerjanya.
⮚ Kerja atropin sebagai antagonis berdasarkanhasil afinitas dan
effikasinya.
⮚ Atropin berperan sebagai antagonis kompetitif berkompetisi dengan
asetilkolin dan agonis muskarinik lainnya. Lalu akan menghambat
rangsang saraf post-ganglionik parasimpatik yang mengakibatkan
terjadinya penurunan pelepasan Ach dan peningkatan reseptor pada
neuroreseptor. Hal ini akan mengurangi efek asetilkolin dan obat yang
mirip di dalam tubuh. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis
agonis. Antagonis menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan sehingga
mengurangi afinitas agonis.(Asep Sukohar. 2014.).
⮚ Kesimpulan
Setelah diberikan antagonis kompetitif (atropine), dosis agonis
(metakolin) yang diberikan harus ditingkatkan untuk memberikan efek
yang sama.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Semakin besar dosis pada agonis maka semakin besar efek yang
ditimbulkan. Efek akan mencapai efek maksimal apabila obat menempati
semua reseptor.
2. Pemberian antagonis kompetitif sebelum pemberian agonis, akan
menyebabkan peningkatan dosis agonis sampai menimbulkan efek.
3. Terdapat perbedaan effikasi antara pemberian obat agonis saja dengan
pemberian antagonis dan agonis. Kesalahan ini mungkin terjadi karena
viabilitas usus, durasi pemberian obat dan perlakuan yang salah.
DAFTAR PUSTAKA

Tarannita C, dkk. 2006. Efek Hambatan Ekstrak Daun Ceplukan (Physalis minima L)
Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Usus Halus Terpisah Marmut Dengan Stimulasi
Metakolin Eksogen. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol XXII. No 1.
Rollando. 2017. Pengantar Kimia Medisinal. Malang : Seribu Bintang.
Asep Sukohar. 2014. Buku Ajar Farmakologi: Neufarmakologi Asetilkolin dan Nore
Efinefrin. Lampung : FK Universitas Lampung
Katzung B G,dkk. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC : Jakarta
Hoffman BB and Taylor P, Neurotransmission The Autonomic and Somatic Motor
Nervous System in Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 10th ed. 2005. McGraw-Hill, USA, pp. 115-149.
Mycek, M. J. Harvey, R.A. and Champe,P.C. Lippincott’S Illustrated Reviews:
Pharmacology 2nd edition. 2000. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp.
27-34, 55-79

Anda mungkin juga menyukai