Kelompok 1
Kelas A2 2019
Anggota Kelompok:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Ada 2 macam metoda organ terpisah, yaitu yang disertai saraf dan tidak
disertai saraf. Dengan metoda ini dapat diamati respon organ terhadap pemberian
obat.
Respon organ terhadap obat dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif
sehingga dapat digunakan untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Pada
praktikum ini digunakan beberapa konsentrasi obat unutk melihat efeknya terhadap
organ terpisah (usus)
Pada teori prinsip pendudukan (occupancy) menjelaskan bahwa intensitas efek
obat berbanding lurus dengan fraksi reseptor yang diduduki atau diikatnya. Baik
pada hewan atau manusia , efek yang ditimbulkan oleh suatu obat dalam dosis yang
rendah akan meningkat berbanding lurus dengan peningkatan dosis. Namun seiring
dengan bertambahnya dosis obat, peningkatan respon tubuh atau efek yang
ditimbulkan akan berkurang, sehingga meskipun dosisnya ditambah maka tidak akan
terjadi efek lagi. Inilah yang disebut efficacy. Eficacy adalah besar efek maksimal
yang bisa ditimbulkan oleh suatu obat waktu sekali obat tersebut berikatan dengan
reseptor. Eficacy terjadi jika seluruh reseptor diduduki oleh obat. Efficacy suatu obat
tidak selalu 100%. Karena tiap tiap obat mempunyai efficacy yang berbeda.
Obat juga mempunyai potensi yang berbeda beda. Potensi menunjukan kisaran
dosis obat yang menimbulkan efek. Besarnya ditentukan oleh kadar obat yang
mencapai reseptor, yang tergantung dari sifat farmakokinetik obat dan afinitas obat
terhadap reseptornya, yaitu seberapa kuat suatu obat bisa berikatan dengan
reseptornya. Afinitas bisa ditentukan dengan cara mencari efek ½ maksimal.
Reseptor bisa diduduki oleh agonis maupun antagonis. Agonis mempunyai
afinitas sekaligus efficacy ( aktifitas intrinsik). Sedangkan antagonis hanya
mempunyai affinitas tanpa ada aktivitas intrinsik sehingga tidak dapat meneruskan
sinyal tranduksi. Antagonis adalah obat menghambat kerja suatu agonis. Antagonis
dibedakan menjadi 2 yaitu antagonis competitive dan antagonis non competitif .
Antagonis competitif adalah antagonis yang berikatan dengan reseptor di tempat
ikatan agonis (receptor site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser
aloh agonis kadar tinggi. Hambatan kadar antagonis dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis sampai akhir dicapai efek maksimal yang sama.
Sementara antagonis non competitive tidak bisa digeser karena merupakan ikatan
kovalen sehingga efek yang dihasilkan tidak akan maksimal. Jika terdapat antagonis
kompetitif dalam konsentrasi tertentu terlebih dahulu yang menempati reseptor maka
untuk menggesernya dibutuhkan dosis agonis yang lebih besar sehingga bisa
menimbulkan efek yang sama jika dibandingkan ketika tanpa antagonis.
1.2 Tujuan
1. Memahami prinsip-prinsip percobaan farmakologi dengan menggunakan sediaan
jaringan usus terpisah
2. Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada jaringan usus
terpisah
3. Menghitung afinitas dan selektifitas obat terhadap reseptor pada sediaan usus
terpisah
BAB II
METODE PRAKTIKUM
1. Metakolin
2. Atropin
3. Larutan tyrode
4. Organ bath
5. Pompa udara
6. Kertas kymograph/ aplikasi
7. Ileum 3- 4 cm
1. Perubahan tonus
2. Perubahan kontraksi
3. Mula kerja dan masa kerja obat
A. Metakolin
B. Atropin metakolin
BAB III
Ket:
Metakolin 1 = belum diberi Atropin
Metakolin 2 = telah diberi Atropin
Time = per menit
Pembahasan
Pada data di atas menunjukkan bahwa dengan pemberian Metakolin pada organ terpisah usus
dapat menyebabkan usus berkontraksi. Pada saat pemberian metakoline, usus mengalami
kontraksi yang ditandai dengan peningkatan grafik awal sebesar 0,1 ketika pemberian
metakolin dengan konsentrasi 10-4. Puncak efeknya terjadi setelah pemberian metakolin
dengan konsentrasi 10-2 dengan peningkatan grafik sebesar 0,43. Hal ini terjadi karena
metacholine merupakan salah satu agonis muskarinik yang akan merangsang pelepasan ach.
Diketahui bahwa usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang berkerja
memacu peristaltik usus sehingga pada pemberian metacholine akan meningkatkan ach pada
post sinaps sehingga jumlah ach yang berlebih pada celah sinaps akan diterima oleh reseptor
muskarinik yang ada dipermukaan usus. Hal ini yang menyebabkan usus mengalami
kontraksi. Perlu diketahui bahwa syaraf parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan
organ bahkan menempel dengan organ yang diinervasinya.
A.2. Pemberian Atropin - Metakolin
Berdasarkan grafik hasil pengamatan diketahui pula bahwa afinitas metakolin lebih besar
jika dibandingkan dengan metakolin yang ditambah dengan atropine. Hal ini dapat terjadi
karena atropin bekerja menghambat Ach menduduki reseptor muskarinik secara kompetitif
sehingga dapat mengurangi efek ach di tempat kerjanya. Disebut kompetitif karena atropine
adalah antagonis yang bekerja mencegah akses asetilkolin atau segala sesuatu mirip obat
agonis dengan reseptor asetilkolin dan atropine menstabilkan reseptor dan membuatnya
inaktif. Ini dibuktikan dengan data yang ada pada grafik. Ketika atropine ditambahkan grafik
akan turun dari base line sebesar 0.04. Menurut teorinya pun antagonis akan mengurangi efek
asetilkolin maupun ligan endogennya dalam tubuh karena beberapa reseptor telah dibuat
inaktif. Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Ini dibuktikan dengan
ketika usus diberi atropine lalu ditambahkan metakolin ke dalamnya dengan konsentrasi 10-4
maka grafik akan naik sebesar 0.02. Puncak efeknya pun terjadi setelah penambahan
metakolin dengan konsentrasi 10-2 dan grafiknya naik sebesar 0.82. Namun seharusnya
menurut teori peak effect yang dihasilkan oleh metakolin yang sebelumnya ditambahkan
atropine akan lebih kecil dari pada saat ditambahkan metakolin saja. Ini disebabkan karena
ketika ditambahkan atropine maka atropine akan menginaktivasi sebagian reseptor metakolin.
Namun dalam hasil praktikum kami ketika ditambahkan atropine dulu hasilnya malah lebih
besar dari pada ketika hanya ditambahkan metakolin saja. Ini bisa disebabkan karena dosis
metakolin yang diberikan ketika atropine-metakoline lebih besar dari pada metakoline saja,
maka metakoline yang berikatan dengan reseptor semakin banyak sehingga peak effect
semakin besar
Pembahasan
Pada data di atas menunjukkan bahwa dengan pemberian Metakolin pada organ terpisah usus
dapat menyebabkan usus berkontraksi. Pada saat pemberian metakoline, usus mengalami
kontraksi yang ditandai dengan peningkatan grafik awal sebesar 0,1 ketika pemberian
metakolin dengan konsentrasi 10-4. Puncak efeknya terjadi setelah pemberian metakolin
dengan konsentrasi 10-2 dengan peningkatan grafik sebesar 0,43. Hal ini terjadi karena
metacholine merupakan salah satu agonis muskarinik yang akan merangsang pelepasan ach.
Diketahui bahwa usus merupakan organ yang terdapat syaraf parasimpatik yang berkerja
memacu peristaltik usus sehingga pada pemberian metacholine akan meningkatkan ach pada
post sinaps sehingga jumlah ach yang berlebih pada celah sinaps akan diterima oleh reseptor
muskarinik yang ada dipermukaan usus. Hal ini yang menyebabkan usus mengalami
kontraksi. Perlu diketahui bahwa syaraf parasimpatis memiliki ganglion yang dekat dengan
organ bahkan menempel dengan organ yang diinervasinya.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Semakin besar dosis pada agonis maka semakin besar efek yang
ditimbulkan. Efek akan mencapai efek maksimal apabila obat menempati
semua reseptor.
2. Pemberian antagonis kompetitif sebelum pemberian agonis, akan
menyebabkan peningkatan dosis agonis sampai menimbulkan efek.
3. Terdapat perbedaan effikasi antara pemberian obat agonis saja dengan
pemberian antagonis dan agonis. Kesalahan ini mungkin terjadi karena
viabilitas usus, durasi pemberian obat dan perlakuan yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
Tarannita C, dkk. 2006. Efek Hambatan Ekstrak Daun Ceplukan (Physalis minima L)
Terhadap Kontraktilitas Otot Polos Usus Halus Terpisah Marmut Dengan Stimulasi
Metakolin Eksogen. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol XXII. No 1.
Rollando. 2017. Pengantar Kimia Medisinal. Malang : Seribu Bintang.
Asep Sukohar. 2014. Buku Ajar Farmakologi: Neufarmakologi Asetilkolin dan Nore
Efinefrin. Lampung : FK Universitas Lampung
Katzung B G,dkk. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC : Jakarta
Hoffman BB and Taylor P, Neurotransmission The Autonomic and Somatic Motor
Nervous System in Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 10th ed. 2005. McGraw-Hill, USA, pp. 115-149.
Mycek, M. J. Harvey, R.A. and Champe,P.C. Lippincott’S Illustrated Reviews:
Pharmacology 2nd edition. 2000. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, pp.
27-34, 55-79