Anda di halaman 1dari 5

Jurnal Inovasi Kesehatan, Volume 3 Nomor 1 (Oktober 2021) ISSN 2686-5084

Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua

Penentuan Minimum Dosis Terapi Dan Minimum Toksik Ekstrak Etanol Buah Sawo
Manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) Sebagi Hepatoprotektor Pada Tikus Jantan

Alfiana P. Gonibala1(K), Aulia Wati2


1(K)
S1 Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Institut Kesehatan dan Teknologi Graha Medika Indonesi;
alfianagonibala95@gmail.com (Koresponden)
2
S1 Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Indonesia; aulia.wati@umi.ac.id

ABSTRAK

Hepatoprotektor merupakan suatu senyawa yang memiliki kemampuan untuk melindungi hati dengan cara
menekan peningkatan aktivitas enzim-enzim aminotransferase. Buah sawo manila memiliki aktivitas sebagai
hepatoprotektor. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan minimum dosis terapi dan minimum toksik buah
sawo manila. Penelitian ini menggunakan tikus jantan 24 ekor yang dibagi menjadi 8 kelompok yaitu kelompok
I (Na-CMC 1% b/v), kelompok II (pembanding 12,476 mg/kgBB), kelompok III (parasetamol 2,5 g/kgBB),
kelompok IV, V, VI, VII, dan VIII sebagai kelompok ekstrak dengan dosis 1, 10, 100, 1000, dan 10000
mg/kgBB. Perlakuan sediaan uji dilakukan selama 7 hari kecuali kelompok III, hari ke-9 diberikan parasetamol
kecuali kelompok I, dan pemberian fenobarbital pada hari ke-12 untuk semua kelompok perlakuan, dilakukan
uji pendahuluan toksisitas akut. Parameter yang diukur adalah kadar SGPT, durasi waktu tidur, dan uji
pendahuluan toksisitas akut. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan uji one way anova dan
uji post hoc LSD dan berdasarkan skor kategori toksisitas. Hasil menunjukan minimum dosis terapi ekstrak
etanol buah sawo manila berada pada dosis 100 mg/kgBB dan minimum dosis toksik pada 10000 mg/kgBB.

Kata kunci : Manilkara Zapota (L.) P. Royen, Minimum Dosis Terapi, Minimum Dosis Toksik, Hepatoprotektor

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hati (hepar) merupakan organ terbesar pada tubuh yang memiliki fungsi sangat penting yaitu sebagai
pusat metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan zat kimia lainnya. Hati sebagai pusat metabolisme dalam
tubuh rentan terpapar zat-zat kimia yang bersifat toksik yang dapat menimbulkan kerusakan. Kerusakan pada
hati yang diakibatkan terpapar zat kimia yang toksik dapat menyebabkan beberapa penyakit(2.4). Penyakit hati
yang timbul dapat diakibatkan karena penggunaan obat-obatan yang disebut Drug Induced Hepatitis (DIH).
Menurut data dari Perhimpunan Penyakit Hepar Indonesia (PPHI) pada tahun 2013 menunjukan sekitar 50%
penderita hepatitis akut disebabkan penggunaan obat-obatan seperti aspirin, rifampisin, parasetamol dan obat-
obat lain yang metabolismenya di hati dan digunakan dalam jangka waktu panjang(3).
Suatu senyawa yang memiliki kemampuan untuk melindungi hati disebut hepatoprotektor (pelindung
hati). Banyak tanaman disekeliling kita yang dapat dimanfaatkan sebagai hepatoprotektor salah satunya adalah
buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen)(1). Golongan senyawa yang ditemukan dalam tanaman
sebagai hepatoprotektor adalah senyawa polifenol contohnya flavonoid(9). Kandungan kimia buah sawo manila
adalah flavonoid, saponin, tanin. Telah ditemukan dua senyawa antioksidan baru yang memiliki aktivitas tinggi
yaitu methyl 4-O-galloylchlorogenate dan 4-O-galloylchlorogenic acid dengan nilai IC50 masing-masing
sebesar 12,9µm dan 23,5µm oleh (9).Selain itu penelitian oleh(1) menunjukan bahwa ekstrak etanol buah sawo
manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) memiliki efek sebagai hepatoprotektor dengan dosis efektif 500
mg/kgBB pada tikus yang diinduksi parasetamol.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang bersifat eksploratif untuk menentukan minimum
dosis terapi dan minimum toksik untuk ekstrak etanol buah sawo manila sebagai hepatoprotektor. Dalam
penelitian ini parameter yang digunakan adalah kadar SGPT dan durasi waktu tidur. SGPT adalah parameter
spesifik untuk mengetahui adanya kerusakan sel hati. Fenobarbital digunakan sebagai penginduksi durasi waktu

27
27
Jurnal Inovasi Kesehatan, Volume 3 Nomor 1 (Oktober 2021) ISSN 2686-5084
Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua

tidur. Biotransformasi merupakan proses perubahan obat menjadi bahan yang larut air dan dapat diekskresikan
melalui urin. Dalam hati terdapat sistem enzim mikrosomal yang berperan dalam proses biotransformasi obat
dan ditemukan dalam retikulum endoplasma halus. Fenobarbital adalah obat golongan barbiturat yang di
metabolisme di dalam hati. Ketika hati mengalami kerusakan atau hepatoksisitas menyebabkan metabolisme
dari fenobarbital terganggu dan terjadi peningkatan durasi waktu tidur. Uji pendahuluan toksisitas akut
dilakukan pengujian perilaku hewan uji untuk melihat tanda-tanda toksisitas yang timbul setelah pemberian obat
(11,15). Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian mengenai penentuan minimum dosis terapi dan

minimum toksik ekstrak etanol buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) sebagai hepatoprotektor
pada tikus.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan efek heopatoprotektor dari ekstrak etanol buah sawo
manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) pada tikus jantan serta menentukan minimum dosis terapi dan
minimum toksisk dari ekstarak etanol buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) sebagai
hepatoprotektor dengan parameter kadar SGPT dan durasi waktu tidur.

METODE

Penelitian ini dilakukan secara eksperimental laboratorium dengan parameter durasi waktu tidur pada
tikus Hewan uji dibagi menjadi 8 kelompok perlakuan yaitu kelompok I diberi Na-CMC 1% b/v sebagai
kelompok normal, kelompok II sebagai pembanding dosis 12,476 mg/kgBB, kelompok III diberi parasetamol
dosis 2,5 g/kgBB, kelompok IV, V, VI, VII, dan VIII diberi EBSM dosis 1, 10, 100, 1000, dan 10000 mg/kgBB.
Pemberian perlakuan sediaan uji diberikan selama 7 hari peroral sesuai dengan volume pemberiannya.
Penginduksian parasetamol dengan dosis 2,5 g/kgBB diberikan untuk semua kelompok perlakuan kecuali
kelompok 1 pada hari ke-9. Hari ke-12 dilakukan penginduksian waktu tidur dengan pemberian obat
fenobarbital dengan dosis 20 mg/kgBB untuk semua kelompok perlakuan. Pengukuran SGPT dilakukan pada
hari ke-11 setelah induksi parasetamol. Sebelum diberikan perlakuan hewan uji dipuasakan selama 8-16 jam.
Setelah itu dilakukan pengamatan durasi waktu tidur dari setiap kelompok perlakuan. Selanjutnya dilakukan
pengamatan uji pendahuluan toksisitas akut setelah 24 jam pemberian ekstrak uji dan data yang diperoleh
diberikan skor 0-4 (7,11,14,16).

HASIL

Pada penelitian ini menggunakan kadar SGPT sebagai parameter spesifik untuk melihat adanya
gangguan fungsi sel-sel hati setelah pemberian parasetamol sebagai penginduksi. Hasil penelitian berdasarkan
rata-rata selisih kadar SGPT yang dapat dilihat pada tabel 1. Selisih kadar SGPT diperoleh dari pengurangan
kadar SGPT setelah induksi parasetamol dengan kadar SGPT awal. Nilai selisih kadar SGPT semakin rendah
menunjukan bahwa sediaan uji memiliki kemampuan untuk mempertahankan kadar SGPT normal dan
sebaliknya. Dari hasil tabel menunjukan bahwa kelompok parasetamol memiliki selisih yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Rata-rata selisih kadar SGPT yang mendekati kelompok
pembanding adalah EBSM 100 mg/kgBB dan selisih yang rendah dari semua kelompok perlakuan ekstrak uji
adalah 1000 dan 10000 mg/kgBB.
Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran kadar SGPT awal, setelah perlakuan sediaan uji, setelah induksi.

Kelompok Perlakuan Pengukuran Kadar SGPT (IU)

Awal±SD Terapi±SD Induksi±SD Selisih±SD


Kelompok Na-CMC 39,7 ±6,25 40,06±5,93 41,4±5,44 1,7±1,12*

Kelompok Curliv 34,46±5,93 40,14±5,10 43,46±1,15 12±4,81*


Kelompok Parasetamol 38,76±8,11 39,16±7,22 102±3,07 63,23±10,83

Kelompok EBSM 38,76±7,84 39,03±3,61 84,36±3,61 45,6±6,63*


1mg/kgBB

28
28
Jurnal Inovasi Kesehatan, Volume 3 Nomor 1 (Oktober 2021) ISSN 2686-5084
Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua

Kelompok EBSM 10 39,9±5,20 40,56±0,97 79,36±0,97 39,46±4,8*


mg/kgBB
Kelompok EBSM 100 38,1±9,54 37,96±0,32 50,36±0,97 12,26±8,68*
mg/kgBB
Kelompok EBSM 38,46±2,55 38,56±0,32 47,96±0,32 9,5±2,81*
1000 mg/kgBB
Kelompok EBSM 39,36±6,74 39,76±0,45 48,93±0,45 9,56±6,70*
10000 mg/kgBB

Hasil data selisih kadar SGPT kelompok perlakuan dianalisis statistik menggunakan uji one way anova.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukan terdapat perbedaan nyata (p<0,05) selisih kadar SGPT antar kelompok
perlakuan (dapat dilihat pada tabel 1). Hal ini berarti terdapat perbedaan kadar SGPT yang dihasilkan tiap
kelompok perlakuan. Untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan maka dilakukan analisis uji post hoc
menggunakan LSD (dapat dilihat pada tabel 1), menunjukan bahwa selisih kadar SGPT kelompok parasetamol
terhadap kelompok perlakuan lainnya menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Hal ini berarti parasetamol berhasil
meningkatkan kadar SGPT dan menyebabkan kerusakan hati. Sedangkan selisih kadar SGPT kelompok
pembanding terhadap kelompok EBSM 100,1000,10000 mg/kgBB menunjukan tidak berbeda nyata (p>0,05).
Hal ini berarti ekstrak etanol buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) memiliki aktivitas yang sama
dengan pembanding sebagai hepatoprotektor.

PEMBAHASAN

Hepatoprotektor (pelindung hati) merupakan suatu senyawa yang memiliki kemampuan untuk
melindungi hati dengan cara menekan peningkatan aktivitas enzim-enzim aminotransferase (10). Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan minimum dosis terapi dan minimum toksik ekstrak etanol buah
sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) sebagai hepatoprotektor. Parameter yang diukur dalam penelitian
ini kadar SGPT, durasi waktu tidur, dan uji pendahuluan toksisitas akut.
Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus jantan sebanyak 24 ekor yang dibagi dalam 8 kelompok
perlakuan yaitu kelompok I (normal) dengan pemberian Na-CMC 1% b/v, kelompok II sebagai pembanding
dosis 12,476 mg/kgBB, kelompok III sebagai kontrol negatif dengan pemberian parasetamol 2,5 g/kgBB,
kelompok IV, V, VI, VII, dan VIII masing-masing diberikan ekstrak etanol buah sawo manila dengan dosis 1,
10, 100, 1000, dan 10000 mg/kgBB. Hewan uji dipuasakan, setelah itu hewan uji diberikan sediaan uji selama 7
hari. Pada hari ke-9 dilakukan penginduksikan parasetamol dosis 2,5 g/kgBB, kecuali kelompok normal.
Pengukuran kadar SGPT dilakukan pada awal sebelum perlakuan, setelah induksi sediaan uji (hari ke-8) dan
setelah induksi parasetamol (hari ke-11). Pengukuran kadar SGPT dilakukan dengan tujuan untuk melihat
peningkatan kadar SGPT setelah pemberian parasetamol pada kelompok III. Setelah itu dilakukan pengukuran
durasi waktu tidur pada hari ke-12 dengan menggunakan fenobarbital sebagai penginduksi waktu tidur.
Pada penelitian ini menggunakan kadar SGPT sebagai parameter spesifik untuk melihat adanya
gangguan fungsi sel-sel hati setelah pemberian parasetamol sebagai penginduksi. Parasetamol digunakan
sebagai penginduksi kerusakan hati dengan melihat kadar SGPT hewan uji. Parasetamol dapat menyebabkan
kerusakan hati (hepatotoksik) dengan pemberian dosis berlebih dan jangka waktu yang lama. Mekanisme
kerusakan hati akibat parasetamol dengan cara terjadi peningkatan metabolit reaktif N-asetil-p-benzoquinonimin
(NAPQI) yang dihasilkan oleh parasetamol. Dimana metabolit tersebut dapat menyebabkan deplesi glutation
(GSH) dan akan berikatan secara kovalen dengan sel-sel hepatosit hati yang menyebabkan terjadinya nekrosis.
Pada keadaan normal NAPQI akan berikatan dengan glutation (GSH) dan diubah bentuknya menjadi asam
merkapturit kemudian diekskresikan melalui urin (12). Dosis yang digunakan pada penelitian ini 2,5 g/kgBB
karena dosis tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada hati (12). Kerusakan pada hati terjadi dalam waktu 24
jam dan mencapai puncak dalam waktu 48 jam yang ditandai dengan peningkatan SGPT (12).
Hasil penelitian berdasarkan rata-rata selisih kadar SGPT yang dapat dilihat pada tabel 1. Selisih kadar
SGPT diperoleh dari pengurangan kadar SGPT setelah induksi parasetamol dengan kadar SGPT awal. Nilai
selisih kadar SGPT semakin rendah menunjukan bahwa sediaan uji memiliki kemampuan untuk
mempertahankan kadar SGPT normal dan sebaliknya. Dari hasil tabel menunjukan bahwa kelompok
parasetamol memiliki selisih yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Rata-rata selisih
kadar SGPT yang mendekati kelompok pembanding adalah EBSM 100 mg/kgBB dan selisih yang rendah dari
semua kelompok perlakuan ekstrak uji adalah 1000 dan 10000 mg/kgBB.

29
29
Jurnal Inovasi Kesehatan, Volume 3 Nomor 1 (Oktober 2021) ISSN 2686-5084
Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua

Hasil data selisih kadar SGPT kelompok perlakuan dianalisis statistik menggunakan uji one way anova.
Berdasarkan hasil tersebut menunjukan terdapat perbedaan nyata (p<0,05) selisih kadar SGPT antar kelompok
perlakuan (dapat dilihat pada tabel 1). Hal ini berarti terdapat perbedaan kadar SGPT yang dihasilkan tiap
kelompok perlakuan. Untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan maka dilakukan analisis uji post hoc
menggunakan LSD (dapat dilihat pada tabel 1), menunjukan bahwa selisih kadar SGPT kelompok parasetamol
terhadap kelompok perlakuan lainnya menunjukan berbeda nyata (p<0,05). Hal ini berarti parasetamol berhasil
meningkatkan kadar SGPT dan menyebabkan kerusakan hati. Sedangkan selisih kadar SGPT kelompok
pembanding terhadap kelompok EBSM 100,1000,10000 mg/kgBB menunjukan tidak berbeda nyata (p>0,05).
Hal ini berarti ekstrak etanol buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) memiliki aktivitas yang sama
dengan pembanding sebagai hepatoprotektor.
Penelitian ini juga menggunakan parameter Barbiturates Sleep Time yang menggunakan fenobarbital
sebagai penginduksi. Fenobarbital merupakan turunan dari barbiturat yang dimetabolisme oleh enzim
mikrosomal hati. Ketika terjadi kerusakan atau hepatoksisitas sel-sel hati, metabolisme dari fenobarbital akan
terganggu sehingga menyebabkan peningkatan durasi waktu tidur (9). Hasil penelitian berdasarkan rata-rata
durasi waktu tidur yang dapat dilihat pada tabel 1. Dari hasil tabel menunjukan bahwa kelompok parasetamol
memiliki rata-rata durasi waktu tidur yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. Hal ini
berarti durasi waktu tidur pada kelompok yang telah mengalami kerusakan hati semakin lama. Untuk rata-rata
durasi waktu tidur yang mendekati kelompok pembanding adalah EBSM 1000 m/kgBB.
Hasil data pengukuran durasi waktu tidur kelompok perlakuan dianalisis statistik menggunakan uji one
way anova. Berdasarkan hasil tersebut menunjukan terdapat perbedaan nyata (p<0,05) durasi waktu tidur antar
kelompok perlakuan (dapat dilihat pada tabel 1). Hal ini berarti terdapat perbedaan durasi waktu tidur yang
dihasilkan tiap kelompok perlakuan. Untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan maka dilakukan
analisis uji post hoc LSD (dapat dilihat pada tabel 1), menunjukan bahwa kelompok Na-CMC terhadap semua
kelompok perlakuan berbeda nyata (p<0,05). Hal ini berarti terdapat perbedaan durasi waktu tidur antara
kelompok Na-CMC dengan kelompok lainnya. Kelompok Na-CMC merupakan kelompok kontrol normal
sehingga dianalogikan sebagai durasi waktu tidur hewan normal dengan pemberian fenobarbital. Durasi waktu
tidur kelompok pembanding terhadap kelompok EBSM 100, 1000, dan 10000 mg/kgBB tidak menunjukan
berbeda nyata (p>0,05). Hal ini berarti sediaan uji EBSM (100,1000,10000 mg/kgBB) memiliki durasi waktu
tidur dan aktivitas yang sama dengan pembanding sebagai hepatoprotektor.
Penentuan dosis minimum toksik dilakukan dengan pengamatan uji pendahuluan toksisitas akut dengan
cara pemberian ekstrak uji yang diamati perilaku hewan setelah 24 jam. Data yang diperoleh diberikan skor
toksisitas 0 smpai 4 (16). Kategori perilaku hewan coba terbagi menjadi 5 yaitu keadaan (mood), eksitasi, depresi,
otonom, postur tubuh (16). Hasil penelitian uji pendahuluan toksisitas menunjukan terjadi perubahan perilaku
hewan uji pada kelompok EBSM 10000 mg/kgBB masuk dalam kategori subnormal response, supernormal
response dan abnormal response. Berdasarkan nilai skor toksisitas pada kelompok EBSM 10000 mg/kgBB
perubahan yang terjadi ditandai dengan peningkatan grooming, urinasi, saliva, terjadi piloereksi sebanyak 2 kali
selama satu menit, dan terjadi penurunan aktivitas motorik.
Dari hasil penelitian penentuan minimum dosis terapi dan minimum toksik ekstrak etanol buah sawo
manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) sebagai hepatoprotektor pada tikus jantan menunjukan bahwa ekstrak
etanol buah sawo manila pada dosis 100 mg/kgBB merupakan minimum dosis terapi sebagai hepatoprotektor
dan dosis 10000 mg/kgBB dikategorikan sebagai minimum toksik dari ekstrak uji.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa minimum dosis terapi
dari ekstrak etanol buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) sebagai hepatoprotektor pada dosis 100
mg/kgBB dan minimum toksik dari ekstrak etanol buah sawo manila (Manilkara zapota (L.) P. Royen) sebagai
hepatoprotektor pada dosis 10000 mg/kgBB.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adiwicaksana I., Efek Hepatoprotektif Ekstrak Etanol Buah Sawo Manila (Manilkara zapota (L) P. Royen)
Asal Kota Makassar Pada Tikus Jantan, Skripsi, S. farm., Universitas Muslim Indonesia, Makassar. 2015.
2. Amirudin R.,Bab 24: Fisiologi dan Biokimia Hati, Dalam Buku Ajat Ilmu penyakit Dalam Jilid II Ed VI,
Setiawati S., Alwi I., Sudoyo W.A., Simadibrata M., Setiyohadui B., Syam F.A 1927., Interna publishing,
Jakarta. 2014.

30
30
Jurnal Inovasi Kesehatan, Volume 3 Nomor 1 (Oktober 2021) ISSN 2686-5084
Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Papua

3. Arifin R.,Efek Hepatoprotektor Ekstrak Etanol Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Aktivitas Enzim Alanin
Aminotransferase (ALT) Dalam Plasma Rattus novergicus Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Parasetamol,
Skripsi S. Ked, Universitas Tanjungpura, Pontianak. 2014.
4. Bethesda dan Maryland., AHFS Drug Information, American Society Of Health- System Pharmacist. 2013.
5. Cimey, Pengertian Dan Contoh Penelitian Eksploratif, verifikatif, Development, (Cimmey-
mdz.blogspot..c0.id/2014/01 diakses 24 Desember 2015, di Makassar). 2014.
6. Dinesh K., Sivakumar V., Selvapriya B., Deepika E., Sadiq M. A., Evaluation of Hepatoprotective
Polyherbal Formulation Contain Some Indian medical Plants, Journal of Pharmacognosy and
Phytochemistery, PG and Research Departements of Bhiochemistery Adhiparasakthi College of Arts and
Science, India. 2014.
7. Girish C, Koner B. C., Jayanthi S., Rao K. R., Rajesh B., Pradhan C. S., Hepatoprotective Activity of
Picroliv Curcumin and Ellagic Acid Compared to Ailymarin on Paracetamol Induced Liver Toxicity in Mice,
Departements of Pharmacology, Bhiochemistery, Jawaharlal Institute of Postgraduate medical Education and
Research (JIPMER), Pondhicherry, India. 2009.
8. Katzung,B.G.,Farmakologi Dasar dan Klinik Vol 1 dan Vol 2 Ed 12, Salemba Medika: Jakarta. 2014.
9. Ma J Luo X D Protiva p Yang H et al, Bioactive Novel Pholypenols From the fruitof Manikara zapota
(Sapodilla) 66(7). 2003: hal 983-986
10. Nurdjanah S., Bab 24: Sirosis Hati, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed VISetiawati S., Alwi
I., Sudoyo W.A., Simadibrata M., Setiyohadui B., Syam F.A. 1978, Interna Publishing, Jakarta. 2014.
11. Pamuji W. R., Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Sengkubak (Phycnarrhena cauliflora Diels)
terhadap Tikus Betina Galur Wistar Deangan Metode OECD 425, Skripsi S. Farm, Universitas Tanjungpura,
Pontianak. 2015.
12. Rahmawati, N. S. , Efek Hepatoprotektif Ekstrak Aiir Jamur Lingzhi (Ganoderma lucidum) Pada tikus
Jantan yang Diinduksi Parasetamol, Skripsi S. Farm, Universita Muhamadiyah, Surakarta. 2010.
13. Situmorang E. T.pengaruh Pemberian Jus Pepaya (Carica papaya L) Sebagai Hepatprotektor Terhadap
Hepar Mencit yang Terpapar parasetamol, Skripsi S. Ked., Universitas Sebelas Maret, Semarang. 2010.
14. Sudhir S., Dr dan Subas P. Dr.,Protective Effect of Mussaenda frondosa Linn Extracts On Isoniazid Induced
Hepatotoxicity In WistarRats, Dept of Pharmacology, Maratha Mandal’s College of Pharmacy, Belgaum,
India. 2013.
15. Sudjono T.A., Widiatmoko Y.W., Karuniawati H., Efek Infusa Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa) Pada
Serum Glutamate piruvat Transaminase Tikus yang Diinduksi parasetamol. Dosis Toksik, 13 (2). 2012: hal
65-69
16. Thompson B. Emmanuel, Ph.D.,Drug Bioscreening Fundamental of Drug Evaluation Technique in
Pharmacology, Associate Professor of Pharmacology College of Pharmacy Departement of
Pharmacodynamics, University of Illinols, Health Science Center, Chicago. 1985.

31
31

Anda mungkin juga menyukai