Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada prinsipnya senya bagian dari fraktus gastrointestinal dapat digunakan untuk
percobaan organ terpisah (esofagus, gaster, ileum, kolon dan bahkan rektum). Percobaan
ini digunakan untuk mengetahui efek obat terhadap organ uang secara tidak langsung
menunjukkan kerja obat di reseptornya. Apabila jumlah reseptor obat pada organ adalah
N total, konsentrasi obat yang diberikan XA maka reseptor yang idtempati oleh obat ini
adalah NA.

𝑘+1
A + R AR
𝑘−1

(Obat XA) Reseptor Bebas (Ntot – NA) Kompleks (NA)

Keterangan :
A = Obat (XA)
B = Reseptor Bebas (Ntot - NA)
AR = Kompleks NA

Ada 2 macam metode organ terpisah, yaitu yang disertai daraf dan tidak disertai saraf.
Dengan metode ini dapat diamati repson organ terhadap pemberian obat. Respon organ
terhadap obat dapat diukur secara kualitatif fan kuantitatif sehingga dapat digunakan
untuk menghitung afinitas obat terhadap reseptor. Oada oraktikum ini digunakan
beberapa konsentrasi obat untuk melihat efeknya terhadap organ terpisah (usus).

1.2 Tujuan
1. Memahami prinsip-prinsip percobaan farmakologi dengan menggunakan sediaan
jaringan usus terpisah
2. Memahami efek farmakologis obat agonis dan antagonis pada jaringan usus terpisah
3. Menghitung afinitas dan selektifitas obat terhadap reseptor pada sediaan usus terpisah

1.3 Manfaat
Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan dapat mengetahui efek
farmakologis obat agonis dan antagonis, serta menghitung afinitas dan selektifitas obat
pada jaringan usus terpisah.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Atropin
Atropin memiliki afinitas kuat terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini
terikat secara kompetitif, sehingga mencegah asetilkolin terikat pada tempatnya di
reseptor muskarinik. Atropin menyekat reseptor muskarinik baik disentral maupun
disaraf tepi. Mekanisme kerja atropin memblok aksi kolinomimetik pada reseptor
muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropin
dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara
dalam dosis besar. Hal ini memnunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan
tempat ikatan. Hasil ikatan pada resptor muskarinik adalah mencegah aksi pelepasan
IP3 dan hambatan adenilil siklase yang diakibatkan oleh asetilkolin atau antagonis
muskarinik lainnya.
Absorpsi, Nasib, dan Ekskresi Antagonis Muskarinik
Alkaloid beladona dan turunan sintetik maupun semisintetik tersiernya diabsorpsi
dengan cepat dari saluran cerna dan permukaan mukosa. Absorpsi dari kulit terbatas,
walaupun absorpsi secara efisien terjadi di daerah pasca aurikular untuk beberapa zat
yang memungkinkan penghantaran menggunakan koyo transdermal. Absorpsi
sistemik dari antagonis muskarinik kuartener yang dihirup maupun yang dicerna
secara oral sangat sedikit, bahkan dari konjungtiva mata. Senyawa kuartener tidak
dapat melewati sawar darah-otak. Atropin memiliki waktu paruh -4 jam, metabolism
hepatik berperan dalam eliminasi sekitar setengah dari dosis yang diberikan, dan
sisanya dieksresi dalam bentuk utuh dalam urine. Ipratropium diberikan dalam bentuk
aerosol atau larutan untuk diisap, tiotropium dalam bentuk serbuk kering. Seperti
sebagian besar obat yang diberikan dengan cara inhalasi , -90% dari dosis tertelan dan
muncul dalam feses. Setelah inhalasi, respons maksimal biasanya berkembang selama
30-90 menit; tiotropium memiliki onset yang lebih lambat. Efek ipratropium bertahan
selama 4-6 jam, efek tiotropium bertahan 24 jam dan obat ini dapat dibuat dalam
dosis sekali sehari.
2.2 Metacholin
Metacholin (asetil-B-metilkolin) berbeda dengan Ach terutama pada durasi dan
selektivitas kerjanya yang lebih baik. Kerja metakolin lebih lama karena tambahan
gugus metil meningkatkan resistensinya terhadap hidrolisis oleh kolinesterase.
Karbakol dan betanekol, yang. merupakan ester karbamoil tidak tersubsritusi, sangat
resisten terhadap hidrolisis oleh kolinesterase sehingga senyawa-senyawa tersebut
dapat bertahan lebih lama untuk didistribusikan ke daerah yang sedikit aliran
darahnya.
Sifat Farmakologis
1. Saluran Gastrointestinal
Semua agonls muskarinik mampu menstimulasi otot polos saluran gastrointestinal
sehingga meningkatkan tonus dan motilitas; dosis yang besar akan menyebabkan
spas/ne dan tenesmus. Karbakol, betanekol dan pitokarpin, berbeda dengan metakolin,
akan menstimulasi saluran gastrointestinal tanpa efek kardiovaskular yang signifikan.
2. Saluran Urine
Ester kolin dan pilokarpin mengontraksi otot detrusor kandung kemih, meningkatkan
tekanan pengosongan, menurunkan kapasitas kandung kemih, dan meningkatkan
peristaltis ureter. Selain itu, otot trigonum dal sfingter eksternal berelaksasi.
Betanekol menunjukkan selektivitas untuk stimulasi kandung kemih dibandingkan
untuk aktivitaskardiovaskular.
3. Kelenjar Eksokrin
Ester kotin dan alkaloid muskarinik menstimulasisekresi kelenjar-kelenjar yang
meneima persarafan kolinergik parasimpatik atau simpatik, termasuk kelenjar
lakrimal, saliva, pencemaan,. trakeobronkial, dan keringat, pilokarpin, khususnya,
menyebabkan diaforesis yang nyata (2 sampai3liter keringat dapat disekresi) dan
meningkatkan salivasi secara nyata. Muskarin dan arekolin juga merupakan senyawa
diaforetik kuat
2.3 Teori Pendudukan
· Clark (1926) memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati sati sisi
reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebihan agar tetap efektif
selama proses pembentukan kompleks
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah
reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis
saja yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi
antagonis.
Jadi respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
1. rangsangan aktivitas (efek agonis )
2. pengurangan aktivitas (efek antagonis )
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-
reseptor menjadi dua tahap yaitu :
1. Pembentukan komplek obat-reseptor
2. Menghasilkan respon biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan
respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah
sebagai berikut:
2.4 Afinitas
O + R < ==========> komplek OR → respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat
bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai
timbulnya respon biologis.
O + R < =====> O-R → respon (+) : senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas
instrinsik =1)
O + R < ===> O-R → respon (-) : senyawa antagonis (afinitas besar dan aktivitas
instrinsik = 0)
2.5 Larutan Tyrode
Adalah larutan yang isotonic dengan cairan interstisial dan digunakan dalam
percobaan fisiologis dan kultur jaringan.
BAB III

METODELOGI

3.1 Alat dan Bahan


- Alat :
1. Spuit 1cc
2. Wadah untuk obat
3. Organ bath
- Bahan :
1. Metakolin
2. Atropin
3. Cairan Tyrode
4. Usus marmut
a. Metode
a. Preparasi
1. Marmut yang telah dibunuh, diambil ileumnya sepanjang 3-4 cm
2. Ileum dimasukkan ke dalam organ bath yang berisi larutan tyrode dengan
temperatur 37o C dan diaerasi dengan udara dari pompa udara
3. Perubahan pada uleum (kontraksi) diteruskan melalui lever yang diujungnya
dipasang jarum penulis. Besar kontaksi ileum dicatat pda kertas kynograph
melelalui jarum penulis
4. Respon organ terhadap obat dapat dilihat dengan pemberian obat ke dalam
larutan di dalam organ bath
b. Pengamatan respon
Pada praktikum ini dapat dilihat :
- Perubahan tonus
- Perubahn kontraksi
- Mula kerja dan masa kerja obat
a. Respon organ terhadap pemberian Metakolin (cholinoreseptor agonist)
Injeksikan obat agonis ke dalam larutan di dalam organ bath. Gantilah
larutan dengan volume yang sama setelah kontaksi usus mulai turun (lebih
kurang 1 menit). Tunggu aktivitas ileum kembali normal sebelum
memberikan obat berikutnya (lebih kurang 3 menit). Setelah itu amatilah
perubahan yang terjadi pada kurva setelah pemberian agonis dengan
perbedaan konsentrasi
No Konsentrasi Volume Konsentrasi
Metakolin (M) Metakolin (cc) Metakolin dalam
organ bath (M)
1. 2,5 x 10-6 1,8 10-7
2. 2,5 x 10-5 1,8 10-6
3. 2,5 x 10-4 1,8 10-5
4. 2,5 x 10-3 1,8 10-4
5. 2,5 x 10-2 1,8 10-3
6. 2,5 x 10-2 1,8 10-2
7. 2,5 x 10-2 1,8 10-1

b. Respon organ terhadap pemberian chilinoreseptor antagonis (atropin)


1. Siapkan usus terpisah dalam organ bath dengan larutan baru (dari
percobaan b) atau lakukan proses washing pada usus yang sebelumnya
digunakan hingga kurva datar menunjukkan 0
2. Berikan atropin pada larutan dalam organ bath sebesar 0,5 ml dengan
konsentrasi 3 x 10-4 M tunggu 5 menit
3. Berikan metakolin sesuai dengan urutan konsentrasi pada a dengan cara
seperti pada a
4. Amatilah perubahan yang terjadi pada kurva setelah pemberian antagonist
dan ditambahkan agonist
BAB IV
PEMBAHASAN

Grafik Dosis vs Efek

0.12

0.1

0.08

0.06

0.04 Percobaan 1 (Metakolin)

0.02
Percobaan 2 (Atropin +
Metakolin)
0

-0.02

-0.04

Pada percobaan kali ini yaitu pemberian metakolin (Cholinoreseptor agonist) dan
Atropin (Cholinoreseptor antagonist) lalu ditambahkan metakolin pada usus marmut
dengan volume 0,5 ml dan konsentrasi 10-7 M hingga 10-2 M. Pemberian pertama
metakoline dengan konsentrasi 10-7 tidak menunjukkan kenaikan grafik untuk
percobaan pertama, sama halnya dengan percobaan kedua. Pemberian metakolin
selanjutnya dengan konsentrasi 10-6 pada percobaan pertama menunjukkan kenaikan
grafik sebesar 0,025 sedangkan pada percobaan kedua tidak terjadi kenaikan.
Kemudian diberikan lagi metakolin dengan konsentrasi 10-5 pada percobaan pertama
terjadi kenaikan sebesar 0,05 sedangkan pada percobaan kedua tidak. Kemudian
diberikan lagi metakolin dengan konsentrasi 10-4 pada percobaan pertama terjadi
kenaikan sebesar 0,075 sedangkan pada percobaan kedua menunjukkan kenaikan
yaitu menjadi – 0,01. Kemudian diberikan lagi metakolin dengan konsentrasi 10-3
pada percobaan pertama terjadi kenaikan sebesar 0,08 sedangkan pada percobaan
kedua menunjukkan kenaikan yaitu menjadi 0,05. Kemudian diberikan lagi metakolin
dengan konsentrasi 10-2 pada percobaan pertama terjadi kenaikan sebesar 0,1
sedangkan pada percobaan kedua menunjukkan kenaikan yaitu menjadi 0,08.
Kemudian diberikan lagi metakolin dengan konsentrasi 10-1 pada percobaan pertama
terjadi kenaikan sebesar 0,1 sedangkan pada percobaan kedua menunjukkan kenaikan
yaitu menjadi 0,08. Dalam percobaan ini efek maksimal untuk percobaan pertama dan
kedua pada konsentrasi 10-2.
Pemberian Ach dalam usus menyebabkan kontraksi usus yang maksimal karena
amplitudo mencapai ambang batas dari kontraksi, bahkan bisa dilihat bahwa
amplitudo Ach menduduki tempat tertinggi dari berbagai penambahan lainnya. Ach
dilepaskan dari saraf pasca ganglion parasimpatis, dengan reseptornya kolinergik
muskarinik. Saat diberikan penambahan Ach, hal ini digunakan sebagai analog dari
Ach yang dilepaskan di dalam tubuh yang menandakan bahwa terjadi peningkatan
rangsangan parasimpatis di usus, yang mengakibatkan permeabilitas Ca ekstraseluler
meningkat, sehingga kerja otot longitudinal usus meningkat. Hasilnya peningkatan
amplitudo usus yang direkam oleh tromol.
Perbedaan efek pada pemberian metakolin dan kombinasi atropine-metakolin
dikarenakan metakolin merupakan agonis pada reseptor yang terdapat pada usus
terpisah sedangkan atropine merupakan antagonisnya. Obat agonis ini memberikan
efek kontraksi pada usus terpisah sehingga terlihat kenaikan grafik. Walaupun obat
antagonis (atropin) mempunyai afinitas untuk resptor muskarinik, tetapi kombinasi
atropine-reseptor ini tidak akan dihasilkan respon biologis. Atropine hanya
mengurangi jumlah reseptor yang dipakai untuk pendudukan metakolin . Oleh karena
itu, dosis metakolin harus diperbesar agar bisa menggeser antagonis tersebut hingga
akhirnya didapatkan efek pada pemberian dosis 10-4 dan kurva bergeser ke kanan.
Karena dengan penambahan dosis, atropine dapat digeser oleh agonis reseptor, maka
ia disebut sebagai antagonis kompetitif.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Efek hadirmya atropin (antagonist) pada usus marmut menyebabkan terjadinya
perebutan reseptor. Sehingga atropin disebut sebagi antagonis kompetitif karena
menyebabkan kurva bergeser ke kanan. Semakin besar dosis agonis yang diberikan maka
semakin besar efek yang ditimbulkan. Efek akan mencapai efek maksimal apabila obat
menempati semua reseptor.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. 2010.
Goodman dkk. The Pharmacological Basics of Therapeutics. Edisi kesebelas. New York:
McGraw-Hill Medical Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai