Anda di halaman 1dari 27

Kelompok 4

DTK FAAL 2
DNM
judul
Kerutan Usus di Luar Badan
tujuan praktikum
a. Tujuan instruksional Umum:
Memahami pengaruh berbagai faktor pada kerutan usus di luar badan

b. Tujuan Perilaku Khusus:


1). Menjelaskan pengaruh:
Epinefrin
Norepinefrin
Asetilkolin
Ion kalsium
Pilokarpin
Suhu
Ion barium
pada frekuensi, amplitudo dan tonus sediaan usus di dalam tabung perfusi

2). Menjelaskan tujuan pengaliran udara ke dalam cairan perfusi

3). Menjelaskan tujuan mempertahankan suhu larutan Locke di dalam tabung per-
fusi pada suhu 35oC selama percobaan, kecuali pada percobaan pengaruh suhu

4). Memberi batasan mengenai Q1


alat dan bahan
Alat, sediaan bahan kimia yang diperlukan:
a. Kaki tiga + kawat kasa
b. Gelas beker 600 cc
c. Statif
d. Tabung perfusi usus dengan klemnya
e. Pipa kaca bengkok untuk perfusi
f. Pipa karet dan kompresor udara
g. Termometer kimia
h. Pencatat gerakan khusus
i. Signal magnet + kawat listrik
j. Kimografi rangkap
k. Sepotong usus halus kelinci dengan panjang +- 3 cm (dibagikan oleh asisten yang bertugas)
l. Larutan
Locke biasa dan Locke bersuhu 35oC
Epinefrin 1:10.000
Locke tanpa kalsium
CaCl2 1%
Asetilkolin 1:1.000.000
Pilokarpin 0,5%
BaCl2 1%
m. Es + Baskom
cara kerja
1. Alat disusun menurut gambar.
2. Air dihangatkan dalam gelas beker pireks sehingga larutan Locke di dalam
tabung perfusi mencapai suhu 350 derajat celcius.
3. Sediakan sepotong usus halus kelinci
4. Sediaan usus tersebut dipasang sebagai berikut:
4.1. Benang diikatkan dengan salah satu ujung sediaan usus pada ujung pipa
gelas yang bengkok.
4.2. Ujung yang lain diikatkan pada pencatat usus (diusahakan supaya sediaan
usus tidak terlampau teregang).
5. Udara dialirkan ke dalam larutan Locke dalam tabung perfusi dengan mengatur
klem pengatur aliran udara, sehingga gelembung udara tidak terlalu
menggoyangkan sediaan usus yang telah dipasang itu.
6. Selama percobaan, suhu larutan Locke diperhatikan dalam tabung perfusi yang
harus dipertahankan pada 35oC, kecuali bila ada petunjuk lain.
PENGARUH ASETILKOLIN
1. 10 kerutan usus dicatat sebagai kontrol.
2. Diteteskan 2 tetes larutan asetilkolin 1:1.000.000 ke dalam cairan perfusi tanpa
menghentikan tromol. Kemudian diberi tanda saat penetesan.
3. Terus diteteskan dengan pencatatan hingga pengaruh asetilkolin terlihat jelas.
4. Tromol dihentikan dan sediaan usus dicuci untuk menghilangkan pengaruh
asetilkolin sebagai berikut:
a. Kaki tiga + kawat kasa dan gelas beker pireks dipindahkan dari tabung perfusi.
b. Waskom kosong diletakkan di bawah tabung perfusi.
c. Sumbat tabung perfusi dibuka sehingga cairan perfusi keluar sampai habis.
d. Tabung perfusi ditutup kembali dan diisi dengan larutan Locke yang baru (tidak
perlu bersuhu 35oC) dan aliran udara dibesarkan sehingga usus bergoyang-goyang.
e. Sumbat dibuka lagi untuk mengeluarkan larutan Lockenya.
f. Ulangi langkah d dan e sebanyak dua kali, sehingga dapat dianggap sediaan usus
telah bebas dari pengaruh asetilkolin.
g. Setelah selesai hal-hal di atas, tabung perfusi ditutup kembali dan diisi dengan
larutan Locke baru yang bersuhu 35oC (disediakan) serta aliran udaranya kembali
diatur.
h. Gelas beker pireks, kaki tiga + kawat kasa dipasang kembali
PENGARUH EPINEFRIN
1. 10 kerutan usus dicatat sebagai kontrol pada tromol yang berputar lambat, tetapi
setiap kerutan masih tercatat terpisah.
2. Waktunya dicatat dengan interval 5 detik.
3. Tanpa menghentikan tromol, 2 tetes larutan epinefrin 1:10.000 diteteskan ke
dalam cairan perfusi. Kemudian diberi tanda saat penetesan. Bila 2 tetes tidak
memberikan hasil setelah 5–10 kerutan, tambahkan beberapa tetes lagi.
4. Pencatatan diteruskan sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas.
5. Tromol dihentikan dan sediaan usus dicuci untuk menghilangkan pengaruh
epinefrin seperti langkah pada butir 10.
PENGARUH ION KALSIUM
1. 10 kerutan usus dicatat sebagai kontrol.
2. Tromol dihentikan dan larutan Locke dalam tabung perfusi diganti dengan
larutan Locke tanpa Ca yang bersuhu 35oC (disediakan).
3. Tromol dijalankan kembali dan dicatat terus sampai pengaruh kekurangan ion Ca
terlihat jelas.
4. Tanpa menghentikan tromol, 1 tetes CaCl2 1% diteteskan ke dalam cairan perfusi.
Kemudian diberi tanda saat penetesan.
5. Pencatatan diteruskan sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak sempurna,
cairan dalam tabung perfusi diganti dengan cairan Locke baru bersuhu 35oC.
pengaruh pilokarpin
1. 10 kerutan usus dicatat sebagai kontrol.
2. Tanpa menghentikan tromol, 1 tetes larutan pilokarpin 0,5% diteteskan ke dalam
cairan perfusi. Kemudian diberi tanda saat penetesan.
3. Pencatatan diteruskan sehingga pengaruh pilokarpin terlihat jelas.
4. Tromol dihentikan dan sediaan usus dicuci untuk menghilangkan pengaruh
pilokarpin seperti langkah pada butir 10.
pengaruh SUHU
1. 10 kerutan usus dicatat sebagai kontrol pada suhu 35oC.
2. Tromol dihentikan dan suhu cairan perfusi diturunkan dengan cara mengganti air
hangat di dalam gelas beker pireks dengan air biasa.
3. Segera setelah tercapai suhu 30oC, tromol dijalankan kembali dan 10 kerutan
usus dicatat.
4. Tromol dihentikan lagi dan percobaan ini diulangi dengan setiap kali
menurunkan suhu cairan perfusi 5oC, sampai tercapai suhu 20oC dengan jalan
memasukkan potongan es ke dalam gelas beker, sehingga diperoleh pencatatan
keaktifan usus pada suhu 35oC, 30oC, 25oC dan 20oC.
5. Tromol dihentikan dan suhu cairan perfusi dinaikkan sampai 35oC dengan jalan
mengganti air es di dalam gelas beker dengan air panas.
6. Segera setelah tercapai suhu 35oC, tromol dijalankan kembali dan 10 kerutan
usus dicatat.
pengaruh ion barium
1. 10 kerutan usus dicatat sebagai kontrol.
2. Tanpa menghentikan tromol, 1 tetes larutan BaCl2 1% diteteskan ke dalam cairan
perfusi. Bila 1 tetes tidak memberikan hasil setelah 5–10 kerutan, penambahan
BaCl2 dilanjutkan tetes demi tetes yang diberikan setiap sesudah 5–10 kerutan
yang tidak berhasil.
3. Pencatatan diteruskan sehingga pengaruhnya terlihat jelas.
hasil dan pembahasan
Tahap awal sebagai pusat kontrol
sebelum tahap pengujian
hasil dan pembahasan
Pemberian Ach pada usus menyebabkan kontraksi usus yang
maksimal karena amplitudo mencapai ambang batas dari
kontraksi, bahkan bisa dilihat bahwa amplitudo Ach menduduki
tempat tertinggi dari berbagai penambahan lainnya. Ach
dilepaskan dari saraf pasca ganglion parasimpatis, dengan
reseptornya kolinergik muskarinik. Saat diberikan penambahan
Ach, hal ini digunakan sebagai analog dari Ach yang dilepaskan di
dalam tubuh yang menandakan bahwa terjadi peningkatan
rangsangan parasimpatis di usus, yang mengakibatkan
permeabilitas Ca ekstraselular meningkat, sehingga kerja otot
longitudinal usus meningkat. Hasilnya : peningkatan amplitudo
usus yang direkam oleh tromol
hasil dan pembahasan
Percobaan yang dilakukan menghasilkan hasil seperti yang
ditunjukkan pada gambar.
Epinefrin diproduksi oleh medula adrenal dan dilepaskan oleh
reseptor adrenergik di ganglia simpatis posterior.
Pemberian epinefrin dapat mengakibatkan penurunan
frekuensi dan amplitudo dari kontrol awal.
Hal ini mungkin terjadi karena pemberian epinefrin mempunyai
efek simpatik pada otot usus sehingga menyebabkan
penurunan motilitas usus.
Efek epinefrin pada otot polos bergantung pada reseptor yang
ada di dalam organ.
hasil dan pembahasan
Pilokarpin memiliki efek yang sama dengan asetilkolin.
Pilokarpin termasuk dalam obat parasimpatometik
yang langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe
muskarinik. Perbedaanya adalah pilokarpin dapat
menimbulkan efek yang luas parasimpatis yang
khas, dan tidak mudah cepat dirusak
oleh kolinesterase yang terdapat dalam darah
dan cairan tubuh. Sedangkan, asetilkolin tidak
mempunyai efek yang sama persis di seluruh
tubuh karena sebelum mencapai organ efektor,
telah dirusak terlebih dahulu ole kolinesterase
(Guyton, 2011 hal 740)
Pilokarpin merupakan parasimpatomimetik, yang bekerja menyerupai kerja saraf parasimpatis.
Pada otot polos longitudinal pada saluran cerna, pengaruh perasimpatis menyebabkan
peningkatan kontraksi usus. Peningkatan kontraksi otot longitudinal usus ini
dibuktikan dengan peningkatan amplitude pada pencatat usus, sehingga terlihat tanjakan
dan turunan yang lebih tajam.
Pada percobaan diatas terjadi peningkatan pada grafik, dan diketahui bahwa Pilokarpin
menyebabkan peningkatan kekuatan kerutan usus yang disertai penurunan frekuensi
kerutan usus. Pilokarpin merupakan obat kolinergik sehingga pemberian pilokarpin dapat mengakibatkan
peningkatan kekuatan kerutan usus disertai dengan penurunan
frekuensi kerutan khusus (interval menjadi lebih panjang)
hasil dan pembahasan
Suhu mula-mula larutan Locke yang berisi usus
kelinci adalah 35oC. Untuk mengetahui pengaruh
suhu terhadap kontraksi otot longitudinal usus
adalah dengan mengubah suhu cairan. Ketika suhu
cairan diubah menjadi 30oC, terlihat adanya
penurunan kekuatan kontraksi otot longitudinal
usus. Kemudian ketika suhu diturunkan menjadi
250C dan seterusnya, penurunan kekuatan
kontraksi usus terlihat semakin jelas. Hal ini
membuktikan bahwa penurunan suhu dapat
mengurangi kekuatan kontraksi usus. Karena
aktifitas enzim-enzim terganggu akibat kenaikan
suhu yang ekstrim, sehingga terjadi
penghambatan kontraksi usus.
hasil dan pembahasan
Pemberian barium pada usus dapat
menyebabkan spasme otot polos usus,
sehinga meningkatkan kekuatan
kontraksi otot polos usus. Hal ini
dibuktikan dengan peningkatan
amplitudo pencatat usus yang tajam
setelah ditambahkan 1 tetes barium
dalam cairan Locke yang berisi usus
kelinci.
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.1. Apa tujuan pengaliran udara ke dalam cairan
perfusi?
Agar perfusi oksigen di jaringan di usus tetap baik, dan
tidak terjadi nekrosis.
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.2. Apa pengaruh asetilkolin pada sediaan usus?
Pemberian Ach pada usus menyebabkan kontraksi usus
yang maksimal karena amplitudo mencapai ambang batas
dari kontraksi,
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.3. Apa pengaruh epinefrin dalam percobaan ini?

Pada praktikum ini, pemberian epinefrin bertujuan


menguji pengaruhnya terhadap peristaltik usus, yang
dihasilkan oleh medula suprarenal melalui reseptor
adrenergik simpatis. Hasil praktikum menunjukkan
penurunan gerak peristaltik usus setelah pemberian
epinefrin, menandakan kemampuannya menghambat otot
longitudinal. Kesimpulan dari eksperimen ini adalah
bahwa epinefrin dapat mengurangi kinerja usus dengan
menghambat otot longitudinal namun mengaktifkan otot
sirkular. Fenomena serupa terjadi dalam kehidupan sehari-
hari ketika sistem simpatis diaktifkan, misalnya saat
berlari, yang meningkatkan produksi epinefrin dan
menurunkan aktivitas pencernaan selama aktivitas
tersebut.
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.4. Apa pengaruh kekurangan ion Ca terhadap kerutan usus?

Ion Ca²⁺ akan berikatan dengan protein intrasel, yaitu calmodulin untuk mengaktifkan MLC kinase
sehingga terjadi cross-bridge, kemudian otot polos dapat berkontraksi. Ketika kekurangan Ca²⁺,
maka kontraksi atau kerutan pada usus lebih jarang terjadi.

Sherwood 9ed.
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.5. Apa pengaruh kekurangan pilokarpin terhadap
kerutan usus?

Pilokarpin merupakan parasimpatomimetik, yang bekerja


menyerupai kerja saraf parasimpatis. Kekurangan pilokarpin
menyebabkan kontraksi usus melemah
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.7. Apa pengaruh yang diharapkan terjadi pada
penambahan larutan BaCl2?

Larutan BaCl2 meningkatkan frekuensi dan amplitudo


kerutan usus.
JAWABAN
PERTANYAAN
P-US.6. Apa pengaruh suhu pada keaktifan usus?

Suhu normal tubuh membuat usus dapat melakukan


gerak peristaltiknya secara normal. Saat usus diberikan
perlakuan dingin, maka yang terjadi adalah gerakan usus
semakin melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari
amplitudonya yang semakin mengecil. Kemudian, usus
diberikan perlakuan panas yang menyebabkan gerakan
usus semakin cepat.
kesimpulan
Kontraksi usus membutuhkan Ca dari ekstraselular yang
mencukupi. Kontraksi usus dapat meningkat apabila
diberikan Ach neurotransmitter rasangan parasimpatis
dan dapat menurun apabila diberikan neurotransmitter
rangsangan simpatis berupa Epinefrin. Tetapi kenaikan
dan penurunan kontraksi usus juga dapat dipengaruhi
oleh reaksi suhu yang berpengaruh pada aktivitas enzim,
kemudian obat-obatan juga dapat meningkatkan
kontraksi usus seperti obat-obatan yang mengandung ion
barium maupun pilokarpim
daftar pustaka
1. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed.11th.
Jakarta : EGC; 2011.
2. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Jaringan ke Sel.
Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012.
3. Chandrasoma, P. & Taylor, C.R. 2005. Ringkasan Patologi
Anatomi. Ahli bahasa: Roem Soedoko, Dewi Asih Mahnani. Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. Edisi II.
Thank you
very much!

Anda mungkin juga menyukai