Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI

BLOK GASTROINTESTINAL

KELOMPOK B-3

SEKRETARIS: N SINTA FAUZIAH ULFAH 1102017160


NUSICHA SITI ANDRIANA 1102015173
NURJANNAH NABILA MUTI SIREGAR 1102017171
RUDINI 1102017204
SHAVIRA WADYA PUTRI WAHYUDI 1102017215
TARIQUL ARDI 1102017226
LULU MURSYIDAH AZIS 1102017130
TIA APRILIA ANJARNEGARA 1102014264
MELINDA RIZKI PURNAMA 1102015132
MONIKA WULANDARI 1102015141

UNIVERSITAS YARSI
Jl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat. DKI Jakarta. Indonesia. 10510.
Telepon: +62 21 4206675.
KERUTAN USUS DI LUAR BADAN
Tujuan :
1. Memasang peralatan perfusi usus dan pencatat gerakan usus
2. Memasang sediaan usus dalam tabung perfusi dan menghubungkannya dengan pencatat sehingga
kerutannya dapat dicatat dengan kimograf
3. Menjelaskan pengaruh usus berbagai faktor dibawah ini pada frekuensi dan amplitude kerutan
serta tonus sediaan usus dalam tabung perfusi :
a) Epinefrin

b) Asetilkolin

c) Ion Kalium
d) Pilokarpin

e) Ion Barium

Alat sediaan dan bahan kimia yang diperlukan:


1. Kaki tiga + kawat kasa + pembakar Bunsen dengan pipa karet + statip
2. Gelap beker pireks 600cc + tabung perfusi usus dengan klemnya
3. Pipa kaca bengkok untuk perfusi usus + balon rangkap + thermometer kimia
4. Pencatat gerakan usus + sinyal maknit + kawat listrik + kimograf rangkap

5. Sepotong usus halus dengan panjang ± 5 cm


6. Larutan :
- Locke biasa dan Locke bersuhu 35oC
- Epinefrin 1:10.000
- Locke tanpa kalsium
- CaCl2 1%
- Asetilkolin 1:1.000.000
- Pilokarpin 0,5%
- BaCl2 1%
7. Es + Waskom

Tata Kerja
1. Susunlah alat menurut gambar
2. Hangatkan air dalam gelas beker pireks sehingga larutan Locke di dalam tabung perfusi mencapai suhu
35oC
3. Mintalah sepotong usus halus kelinci kepada asisten yang bertugas
4. Pasang sediaan usus tersebut sebagai berikut :
5. Alirkan udara ke dalam larutan Locke dalam tabung perfusi dengan mengatus klem pengatur aliran
udara, sehingga gelembung udara tidak terlalu menggoyangkan sediaan usus yang telah dipasang itu
6. Selama percobaan, perhatikan suhu larutan Locke ke dalam tabung perfusi yang harus dipertahankan
pada 35OC, kecuali bila ada petunjuk lain.
P-V.1.1 Apa tujuan pengaliran udara kedalam cairan perfusi?
Agar perfusi oksigen di jaringan di usus tetap baik, dan tidak terjadi nekrosis.

I. PENGARUH EPINEFRIN

1. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol


2. Tanpa mengehentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan asetilkolin 1:1.000.000.000 ke dalam cairan
perfusi. Beri tanda saat penetesan.
3. Teruskan dengan pencatatan sampai pengaruh asetilkolin terlihat jelas P-V.1.2 Apa pengaruh epinefrin
dalam percobaan ini?
Epinefrin bekerja sebagai pemicu saraf simpatis yang menyebabkan penurunan kerutan usus
4. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh asetilkolin sebagai berikut :
a) Pindahkan kaki tiga + kawat basa dan gelas beker pireks dari tabung perfusi
b) Letakkan waskom kosong di bawah tabung perfusi
c) Bukalah sumbat tabung perfusi sehingga cairan perfusi keluar sampai habis
d) Tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan Locke yang baru (tidak perlu bersuhu 35oC
) dan besarkan aliran udara sehingga usus bergoyang-goyang.
e) Buka lagi sumbat untuk mengeluarkan larutan Lockenya
f) Ulangi langkah 10.4 dan 10.5 sebanyak dua kali, sehingga dapat dianggap sediaan usus telah bebas
dari pengaruh asetilkolin
g) Setelah selesai hal-hal di atas, tutup kembali tabung perfusi dan isilah dengan larutan Locke baru
yang bersuhu 35oC (disediakan) serta atur kembali aliran udaranya.
h) Pasang kembali gelas beker pireks, kaki tiga + kawat kasa

II. PENGARUH ASETILKOLIN


1. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol pada tromol yang berputar lambat, tetapi setiap kerutan masih
tercatat terpisah
2. Catat waktunya dengan interval 5 detik
3. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan epinefrin 1:10.000 ke dalam cairan perfusi. Beri
tanda saat penetesan. Bila 2 tetes tidak memberikan hasil setelah 5-10 kerutan, tambahkan beberapa
tetes lagi
4. Teruskan pencatatan sampai pengaruh epinefrin terlihat jelas
5. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh epinefrin seperti langkah
pada 10 butir.
P-V.1.3. Apa pengaruh asetilkolin pada sediaan usus?
Karena peran asetilkolim sebagai neurotransimitter parasimpatis, akan menyebabkan amplitudo
gerakan usus meningkat

III. PENGARUH ION KALSIUM

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control


2. Hentikan tromol dan gantilah larutan locke dalam tabung perfusi dengan larutan locke tanpa Ca
yang bersuhu 350 C (disediakan )
3. Jalankan kembali tromol dan catatlah terus sampai kekurangan ion Ca terlihat jelas
4. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes CaCl2 1% kedalam cairan perfusi, Beri tanda saat
penetesan.
5. Teruskan dengan pencatatan, sampai terjadi pemulihan. Bila pemulihan tidak sempurna,
gantikanlah cairan dalam tabung perfusi dengan cairan locke baru yang bersuhu 350 C.
P-V.1.4 Apa pengaruh kekurangan ion Ca2+ terhadap kerutan usus?
Ion kalsium dapat meningkatkan kontraksi usus sehingga meningkatkan motilitas usus. Dan jika
kekurangan ion kalsium akan mengakibatkan penurunan motilitas usus.

IV. PENGARUH PILOKARPIN


1. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol.
2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 2 tetes larutan pilokarpin 0.5% kedalam cairan perfusi. Beri
tanda saat penetesan.
3. Teruskan dengan pencatatan, sehingga pengaruh pilokarpin terlihat jelas.

P-V.1.5. Apa pengaruh pilokarpin terhadap kerutan usus?


Pilokarpin bekerja menyerupai kerja saraf parasimpati sehingga menyebabkan peningkatan
kontraksi usus.
4. Hentikan tromol dan cucilah sediaan usus untuk menghilangkan pengaruh pilokarpin seperti pada
ad.14.
V. PENGARUH USUS

1. Catat 10 kerutan usus sebagai control pada suhu 35oC


2. Hentikan tromol dan turunkan suhu cairan perfusi sebanyak 5C dengan jalan memindahkan
pembakar Bunsen dan mengganti air hangat didalam Gekas pireks dengan air biasa.
3. Segera setelah sampai suhu 300 C ,jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan usus.
4. Hentikan tromol lagi dan ulangi percobaan ini dengan setiap kali menurunkan suhu cairan perfusi
sebanyak 5 C, sampai tercatat 200 C dengan jalan memasukkan potongan- potongan es kedalam
gelas beker pireks. Sangen demikian didapat pencatatan keaktifan berturut-turut pada suhu 350 C,
300 C, 250 C dan 200 C.
5. Hentikan tromol perfusi dan naikkan suhu cairan perfusi sampai 350 C dengan jalan mengganti air
es didalam gelas beker pireks dengan air biasa kemudian memanasakan air itu.
6. Segera setelah suhu mencapai 35C, jalankan tromol kembali dan catatlah 10 kerutan usus.
P-V.1.6 Apa pengaruh suhu pada keaktifan suhu?
Suhu yang rendah dapat menyebabkan kontraksi usus menurun. Jika dipanaskan kembali
kontraksi akan meningkat

Catatan :
• Pengaruh suhu secara perlahan-lahan akan memberikan hasil yang memuaskan.
• Penaikan suhu sehingga normal boleh dilakukan lebih cepat dari pada penurunan suhu.
• Koefisien suhu untuk setiap perbedaan 100C (Q10) Merupakan perbandingan
antara frekuensi pada (t0 ± 100 ) Sebagai berikut :

Frekuensi pada t0
Q10 = ----------------------------------

Frekuensi pada (t0 ± 100 )

Tetapi pengukuran yang paling baik ialah dengan membandingkan kerja (“Work Output”) pada t0 dengan
kerja pada (t0 ± 100 )

Menurut ilmu pesawat :


Kerja = Jarak x Beban
Oleh karena beban disini dianggap selalu sama (yaitu berat alat pencatat), maka yang diperbandingkan
disini ialah jarak yaitu : frekuensi per menit x amplitudo rata-rata, sehingga :

Frekuensi / menit x amplitudo rata-rata pada t0


Q10 = ---------------------------------------------------------------

Frekuensi / menit x amplitudo rata-rata (t0 ± 100 )


Ini akan memberikan gambaran mengenai perbandingan kerja pada t0 dengan kerja pada suhu (t0 ± 100
).

VI. PENGARUH ION BARIUM

1. Catat 10 kerutan usus sebagai kontrol.


2. Tanpa menghentikan tromol, teteskan 1 tetes larutan BaCL2 1 % kedalam cairan perfusi. Bila 1
tetes tidak memberikan hasil setelah 5-10 kerutan, lanjutkan penambahan BaCI2 tetes demi tetes
yang diberikan setiap setiap sesudah 5-10 kerutan yang tidak jelas.
P-V.1.7 Apa pengaruh yang diharapkan terjadi pada penambahan larutan BaCL2? Ion
barium meningkatkan motilitas usus.

DASAR TEORI
Pengaturan Otonom Traktus Gastrointestinal
Jalur saraf otonom terdiri dari suatu rantai dua neuron, dengan neurotransmitter terakhir yang
berbeda antara saraf simpatis dan parasimpatis. Setiap jalur saraf otonom yang berjalan dari SSP ke
suatu organ terdiri dari SSP ke suatu organ terdiri dari suatu rantai yang terdiri dari dua neuron. Badan
sel neuron yang pertama di rantai tersebut terletak di SSP. Aksonnya, serat preganglion, bersinaps
dengan badan sel neuron kedua, yang terdapat di dalam suatu ganglion di luar SSP. Akson neuron kedua,
serat pascaganglion, mempersarafi organ-organ efektor.
Sistem saraf otonom terdiri dari dua divisi-sistem simpatis dan parasimpatis. Serat-serat saraf
simpatis berasal dari daerah torakal dan lumbal korda spinalis. Sebagian besar serat preganglion simpatis
berukuran sangat pendek, bersinaps dengan badan sel neuron pascaganglion didalam ganglion yang
terdapat di rantai ganglion simpatis yang terletak di kedua sisi korda spinalis. Serat pascaganglion
panjang yang berasal dari rantai ganglion itu berakhir di organ-organ efektor. Sebagian serat praganglion
melewati rantai ganglion tanpa membentuk sinaps dan kemudian berakhir di ganglion kolateral
simpatis yang terletak disekitar separuh jalan antara SSP dan organ-organ yang dipersarafi, dengan serat
pascaganglion menjalani jarak sisanya.
Serat-serat praganglion parasimpatis berasal dari daerah cranial dan sacral SSP. Serat-serat ini
berukuran lebih panjang dibandingkan dengan serat praganglion simpatis karena serat-serat itu tidak
terputus sampai mencapai ganglion terminal yang terletak di dalam atau dekat dengan organ efektor.
Serat-serat pascaganglion yang sangat pendek berakhir di sel-sel organ yang bersangkutan itu sendiri.
Serat-serat praganglion simpatis dan parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter yang sama,
yaitu asetilkolin (Ach), tetapi ujung-ujung pasca ganglion kedua system ini mengeluarkan
neurotransmitter yang berlainan (neurotransmitter yang mempengaruhi organ efektor). Serat-serat
pascaganglion parasimpatis mengeluarkan asetilkolin. Dengan demikian, serat-serat itu bersama dengan
semua serat praganglion otonom, disebut serat kolinergik. Sebaliknya sebagian besar serat
pascaganglion simpatis disebut serat adrenergic, karena mengeluarkan noradrenalin, lebih umum dikel
sebagai norepinefrin. Baik asetilkolin maupun norepinefrin juga berfungsi sebagai zat perantara
kimiawi di bagian tubuh lainnya.
Persarafan Parasimpatis
Persarafan parasimpatis ke usus dibagi atas divisi kranial dan divisi sakral. Kecuali untuk
beberapa serabut parasimpatiske regio mulut dan faring dari saluran pencernaan, serabut saraf
parasimpatis kranial hampir seluruhnya di dalam saraf vagus. serabut-serabut ini memberi inervasi
yang yang luas pada esofagus, lambung, pankreas, dan sedikit usus sampai separuh bagian pertama usus
besar.
Parasimpatis sakral bersal darisegmen sakral kedua, ketiga, dan keempat dari medula spinalis
serta berjalan melalui saraf pelvis ke seluruh bagian distal usus besar dan sepanjang anus. Arean
sigmoid, rektum, dan anus diperkirakan mendapat persarafan parasimpatis yang lebih baik daripada
nagian usus yang lain. Fungsi serabut ini terutama untuk menjalankan reflak defekasi.
Neuron-neuron postganglionik dari sistem parasimpatis gastrointestinal terletak terutama di
pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Perangsangan saraf parasimpatis ini menimbulakan
peningkatan umum dari aktivitas seluruh sistem saraf enterik. Hal ini kemudian akan memperkuat
aktivitas sebagian besar fungsi gastrointestinal.
Persarafan Simpatis
Serabut-serabut simpatis yang berjalan ke traktus gastrointestinal bersal dari medula spinalis
antara segmen T-5 dan L-2. Sebagian besar serabut preganglionik yang mempersarafi usus, sesudah
meninggalkan medula, memasuki rantai simpatis yang terlatak di sisi lateral kolumna spinalis, dan
banyak dari serabut ini kemudian berjalan melalui rantai ke ganglia yang terletak jauh seperti ganglion
seliaka dan berbagai ganglion mesenterica. Kabanyakan badan neuron simpatik postganglionik berada
di ganglia ini, dan serabut-serabut post ganglionik lalu menyebar melalui saraf simpatis postganglionik
ke semua bagian usus. Sistem simpatis pada dasarnya menginervasi seluruh traktus gastrointestinal,
tidak hanya meluas dekat dengan rongga mulut dan anus, sebagaimana yang berlaku pada sistem
parasimpatis. Ujungujung saraf simpatis sebagian besar menyekresikan norepinefrin dan juga epinefrin
dalam jumlah sedikit.
Pada umumnya, perangsangan sistem saraf simpatis menghambat aktivitas traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem
parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara: (1) pada tahap yang kecil
melalui pengaruh langsung sekresi norepinefrin untuk menghambat otot polos traktus intestinal (kecuali
otot mukosa yang tereksitasi oleh norepinefrin), dan (2) pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibisi
dari norepinefrin pada neuron-neuron pada seluruh sistem saraf enterik.
Perangsangan yang kuat pada sistem simpatis dapat menginhibisi peregerakan motor usus begitu
hebat sehingga dapat benar-benar menghentikan pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.

PENGARUH EPINEFRIN
Epinefrin merupakan salah satu hormon yang disekresikan oleh medula suprarenal. Sekitar 75 -
80% sekresi dari medulla suprarenal adalah epinefrin. Efek perifer dari hormon ini adalah hasil dari
interaksinya dengan reseptor alpha dan beta pada membran plasma. Reseptor alpha dan beta merupakan
protein G, yaitu sel APUD yang menyekresikan gastrin dan terdapat pada daerah antrum lambung.
Terdapat 2 tipe reseptor alpha, yaitu α1 dan α2. Aktivasi α1 melepaskan ion kalsium dari RES ke
dalam sitosol, hasilnya memberikan efek eksitatori pada sel target. Aktivasi reseptor reseptor α2
menurunkan level cAMP pada sitoplasma. Reduksi inn menghasilkan efek inhibisi pada sel target.
Reseptor beta memiliki 3 tipe yaitu reseptor β1, β2, dan β3. Stimulasi pada β1 memberikan efek
peningkatan aktivitas metabolik. Stimulasi pada β2 memberikan efek inhibisi yang memicu relaksasi
otot polos. Sedangkan stimulasi pada reseptor β3 memberikan efek lipolisis, yaitu meluruhkan trigliserid
di dalam adiposit.
Pada otot polos, efek efinerin bergantung pada organ dan reseptor adregenik yang bersangkutan.
Pada saluran cerna melalui reseptor alpha dan beta, epinefrin menimbulkan efek relaksasi otot polos
saluran cerna pada umumnya; tonus dan motilitas usus dan lambung. Reseptor α1, α2, β1, dan β2
terdapat pada membran sel otot polos. Pada sfinger pylorus dan ileosekal. Epinefrin menimbulkan
kontraksi melalui reseptor alpha.

PENGARUH ASETILKOLIN
“Asetilkolin adalah salah satu neurotransmitter yang digunakan oleh saraf. Asetilkolin atau yang
disebut juga sebagai ACh, adalah neurotransmitter yang digunakan oleh serat praganglion simpatis dan
parasimpatis. Ach juga digunakan sebagai neurotransmitter serat pascaganglion parasimpatis. Serat ini
mengeluarkan asetilkolin. Serat ini, bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut juga
sebagai serat kolinergik.
Serat otonom pascaganglion ini tidak berakhir di satu benjolan terminal saja (synaptic knob).
Namun, cabang-cabang terminal serat otonom memiliki banyak pembengkakan atau benjolan, yang
disebut sebagai varicosities, yang secara bersamaan megeluarkan neurotransmitter ke suatu daerah luas
di organ yang disarafi dan bukan hanya untuk ke satu sel saja. Pelepasan neurotransmitter yang difus
ini, disertai kenyataan bahwa setiap perubahan aktivitas listrik yang terjadi menyebar ke seluruh massa
otot polos atau otot jantung (pada usus halus, yang berlaku adalah otot polos)melalui taut celah,
meyebabkan aktivitas otonom biasanya mempengaruhi organ keseluruhan bukan sel-sel tertentu.”
(Sherwood, 2012)
Ach juga berperan dalam persisteman parasimpatis, yaitu sebagai neurotransmitter pascaganglion.
Sistem parasimpatis sangat berperan dalam sistem pencernaan. Sistem ini mendominasi pada keadaan
tenang dan santai. Pada keadaan tanpa ancaman, tubuh berkonsentrasi melaksanakan aktivitas
normalnya, misalnya pencernaan. Sistem parasimpatis merupakan tipe rest and digest, yaitu istirahat
dan cerna sekaligus memperlambat aktivitas-aktivitas yang ditingkatkan oleh sistem simpatis.
Sebagai contoh, efek stimulasi parasimpatis pada sistem pencernaan adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan motilitias organ pencernaan
2. Relaksasi sfingter (untuk memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna)
3. Stimulasi sekresi pencernaan
4. Stimulasi sekresi pankreas eksokrin (untuk pencernaan)
5. Pengeluaran banyak liur encer kaya enzim
PENGARUH ION CA
Ion Ca sangat diperlukan dalam mekanisme kontraksi otot polos. Jika ion Ca tidak ditemukan dalam
suatu otot polos, maka otomatis, kontraksi otot tidak terjadi. Hal tersebut dikarenakan Ca merupakan
pengaktivasi miosin kinase yang diperlukan untuk proses kontraktil.
Berikut adalah proses yang terjadi pada mekanisme kontraksi otot polos :
1. Pada saat sebuah hormon berikatan pada reseptor di membran maka akan mengaktifkan sebuah molekul
G protein akibat terjadinya mekanisme depolarisasi membran plasma.
2. Akibat depolarisasi membran plasma akan membuka kanal Ca di permukaan membran plasma dan
memicu proses difusi Ca melalui kanal Ca yang kemudian akan berkombinasi dengan calmodulin.
3. Calmodulin dengan Ca yang telah membentuk ikatan kemudian melekat pada miosin kinase dan
mengaktivasi protein kinase ini (miosin adalah salah satu protein yang juga berperan penting dalam
mekanisme kontraksi otot polos).
4. Aktivasi miosin kinase menempelkan fosfat dari ATP pada kepala miosin untuk mengaktifkan proses
kontraktil.
5. Kemudian terjadilah sebuah siklus cross-bridge formation, pergerakan, dan pelepasan ikatan protein
kontraktil yang terlibat. Siklus ini yang menyebabkan otot dapat berkontraksi secara terus-menerus
(disesuaikan dengan siklus relaksasi juga).

PENGARUH PILOKARPIN
“Pilokarpin memiliki efek yang sama dengan asetilkolin. Pilokarpin termasuk dalam obat
parasimpatometik yang langsung bekerja pada reseptor kolinergik tipe muskarinik. Perbedaanya adalah
pilokarpin dapat menimbulkan efek yang luas parasimpatis yang khas, dan tidak mudah tidak begitu
cepat dirusak oleh kolinesterase yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh. Sedangkan, asetilkolin
tidak mempunyai efek yang sama persis di selurruh tubuh karena sebelum mencapai organ efektor, telah
dirusak terlebih dahulu oleh kolinesterase.” (Guyton, 2011)]

PENGARUH SUHU
“Gerakan usus dapat dipengaruhi oleh suhu. Suhu normal tubuh membuat usus dapat melakukan
gerak peristaltiknya secara normal. Saat usus diberikan perlakuan dingin, maka yang terjadi adalah
gerakan usus semakin melambat. Hal tersebut dapat dilihat dari amplitudonya yang semakin mengecil.
Kemudian, usus diberikan perlakuan panas yang menyebabkan gerakan usus semakin cepat. Akan
tetapi, bukan berarti dengan suhu yang semakin panas (di atas normal) usus dapat bergerak lebih cepat
lagi. Hal ini dikarenakan oleh faktor enzim. Enzim hanya dapat bekerja dalam keadaan suhu tubuh
normal.”(Hernawati, 2010)

PENGARUH ION BARIUM


“Ion barium mempunyai efek yang sangat kuat terhadap gerakan usus. Kerja obat ini analog
dengan pilokarpin dan asetilkolin, karena meningkatkan gerakan usus.” (Guyton, 2011)

DATA PERCOBAAN KERUTAN USUS DILUAR BADAN

I. Pengaruh Epinefrin

Kontrol : 10 kerutan à 30 detik


Setelah diberikan Epinefrin : 5 kerutan à 30 detik
II. Pengaruh Asetilkolin

Kontrol : 5 kerutan à 30 detik


Setelah diberikan Asetilkolin : 10 kerutan à 1 menit

III. Pengaruh Ion Kalsium

Kontrol : 4 kerutan à 30 detik


Setelah diberikan Ion Kalsium : 7 kerutan à 35 detik

IV. Pengaruh Pilokarpin

Kontrol : 10 kerutan à 30 detik


Setelah diberikan Pilokarpin : 10 kerutan à 30 detik

V. Pengaruh Suhu
Kontrol : 10 kerutan à 35oC à 35 detik
Suhu diturunkan : 10 kerutan à 30oC à 56 detik

10 kerutan à 25oC à 70 detik

10 kerutan à 20oC à 92 detik

VI. Pengaruh Barium

Kontrol : 10 kerutan à 30 detik


Setelah diberikan barium : 10 kerutan à 30 detik

HASIL PERCOBAAN
1. Pengaruh Epinefrin
Dari hasil praktikum diatas dapat terlihat bahwa dengan pemberian larutan epinefrin yang
berfungsi sebagai pemicu saraf simpatis, frekuensi dan amplitudo peristaltik usus kelinci akan
mengalami penurunan jika dibanding kontrol. Hal ini dapat terjadi karena epinefrin memberikan
efek simpatis pada otot usus sehingga menghasilkan penurunan motilitas usus.
2. PengaruhAsetilkolin

Pada pemberian larutan asetilkolin akan terlihat adanya peningkatan frekuensi dan amplitudo dari
peregangan usus. Karena asetilkolin merupakan neurotransmitter yang dihasilkan pada pasca
ganglion saraf parasimpatis yang berpengaruh terhadap peningkatan motilitas usus.
3. Pengaruh Ion Kalsium

Setelah diberikan ion kalsium terjadi peningkatan frekuensi kerutan usus.


4. Pengaruh Pilokarpin
Setelah diberikan pilokarpin terjadi penurunan frekuensi kerutan usus tetapi meningkat kontraksi
ususnya.

5. Pengaruh Suhu
Jika suhu diturunkan kontraksi usus akan menurun. Sedangkan saat dipanaskan kembali, akan
terjadi peningkatan kontraksi. Prinsip ini sering digunakan saat operasi besar agar perdarahan
tidak banyak
6. Pengaruh Ion Barium

Terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo kerutan usus. Biasa digunakan untuk rontgen usus.

Kesimpulan
Kontraksi usus membutuhkan Ca dari eksraselular yang mencukupi. Kontraksi usus dapat
meningkat apabila diberikan Ach neurotransmitter rasangan parasimpatis, dan dapat menurun apabila
diberikan neurotransmitter rangsangan simpatis berupa Epinefrin. Tetapi kenaikan dan penurunan
kontraksi usus juga dapat dipengaruhi oleh reaksi suhu yang berpengaruh pada aktivitas enzim,
kemudian obat-obatan yang dapat meningkatkan kontraksi usus seperti obat-obatan yang mengandung
ion barium, maupun pilokarpin.
DAFTAR PUSTAKA

Andrajati, Retnosari dkk. 2008. Penuntun Praktikum Anatomi Fisiologi Manusia. Depok: Departemen
Farmasi FMIPA UI.
Buku Penuntun Praktikum Mahasiswa Blok Gastrointestinal. 2015. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi.
Guyton and Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai