Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kebutaan di Indonesia (1,5 persen) tertinggi di Wilayah Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara. Hasil Survey Kesehatan Indera

Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993 – 1996 menunjukkan angka kebutaan

1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak (0.78%), glaukoma (0.20%),

kelainan refraksi (0.14%), dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan

lanjut usia (0.38%) (kepmenkes, 2005). Selain itu angka katarak di provinsi Jawa

Timur adalah 8,5 persen,di mana angka operasi katarak adalah 0,5 persen

(Riskesdas, 2009). Hal itu terutama disebabkan ketidakseimbangan antara

insiden (kejadian baru) katarak yang besarnya 210.000 orang per tahun dengan

jumlah operasi katarak yang hanya 80.000 orang per tahun. Akibatnya,

terjadi backlog (penumpukan penderita) katarak yang cukup tinggi (kepmenkes,

2005).

Katarak juvenil merupakan katarak yang terjadi pada masa anak-anak,

yang terjadi sesudah usia satu tahun. Kekeruhan lensa terjadi pada saat dalam

perkembangan serat lensa, sehingga biasanya konsistensinya lembek seperti

bubur sehingga disebut sebagai soft cataract. Biasanya katarak juvenil

merupakan bagian dari suatu gejala penyakit herediter yang lain (American

Academy of Ophtamology,2003). Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit

penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya di antaranya katarak

defisiensi gizi. (Ilyas, 2008).

1
2

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi

akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat

kedua-duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif

ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama (Ilyas, 2008).

Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut (Ilyas,2008).

Walaupun katarak adalah penyakit usia lanjut,namun 16-20% buta katarak telah

dialami oleh penduduk Indonesia pada usia 40-54 tahun,yang menurut kriteria

Biro Pusat Statistik (BPS) termasuk dalam kelompok usia produktif (Herna

Hutasoid, 2009). Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita

katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan di daerah subtropis. Sekitar 16-22%

penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun. Hal itu diduga

berkaitan erat dengan faktor degeneratif akibat masalah gizi (Kepmenkes, 2005).

Komposisi lensa lebih dari 90 % adalah protein dan pembentukan katarak

berhubungan dengan oksidasi protein dan atau kemampuan proteolitik dalam

lensa. Akumulasi dan agregasi protein serta perubahan struktur air menyebabkan

presipitasi protein pada nukleus lensa. (Akbar,Panggabean,Utojo,Sukandar, 1993).

Asupan energi, protein, dan lemak juga berhubungan dengan gradasi katarak.

Protein sangat diperlukan untuk pembentukan lamel-lamel lensa yang merupakan

protein fungsional untuk bekerja menjaga kejernihan lensa. Kekurangan energi

dan protein akan menggangggu metabolisme tubuh secara keseluruhan yang

berakibat kerusakan pada sel-sel tubuh termasuk lensa. (Referano Agustiawan,

2006)

Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk mencari hubungan antara IMT

dengan terjadinya katarak. Hubungan yang erat antara katarak dengan gizi dapat
3

terlihat dari penelitian Scahumberg dkk di tahun 2000 dan Calufield dkk di tahun

1999. Para peneliti tersebut tidak mengukur asupan nutrisi secara langsung, tetapi

menghubungkan katarak dengan status gizi subyek melalui IMT, penilaian

perawakan tubuh, dan distribusi lemak tubuh. Ketiga indikator ini diyakini sensitif

karena menggambarkan status gizi kronis. Hasil dari penelitian-penelitian lain

bervariasi, tapi secara umum menyimpulkan bahwa IMT merupakan faktor

prediktor independen terhadap terjadinya katarak. (Referano Agustiawan, 2006)

Angka kebutaan akibat katarak yang masih tinggi di kota Malang, pada

tahun 2009 terdapat 262 kasus katarak dan pada tahun 2010 terdapat 618 kasus

katarak yang tercatat di Dinas Kesehatan Kota Malang. RSU Syaiful Anwar di

Malang sebagai rumah sakit rujukan di Malang sendiri mencatat terdapat 1233

pasien katarak pada tahun 2010 di mana terdapat 216 pasien katarak juvenil.

Penelitian ini dibuat berdasarkan rekam medis penderita katarak yang datang ke

RSU Syaiful Anwar Malang periode Januari - Desember 2010.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara status gizi yang kurus(rendah) dengan

terjadinya katarak juvenil di RSU Syaiful Anwar Malang periode Januari -

Desember 2010?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara status gizi dengan timbulnya katarak juvenil.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui status gizi antropometris penderita katarak juvenil

berdasarkan indeks massa tubuh (IMT).


4

2. Mengetahui proporsi katarak juvenil di kelompok Indeks Massa Tubuh

IMT kurus, normal, dan gemuk

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Klinis

Memberi informasi kepada tenaga medis tentang status gizi antropometris

penderita juvenil dalam upaya pencegahan katarak dini.

1.4.2 Manfaaat masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang perlunya perbaikan gizi

dalam upaya pencegahan katarak dini.

1.4.3 Manfaat akademis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber data untuk

penelitian berikutnya, serta pendorong bagi pihak yang berkepentingan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai