Anda di halaman 1dari 17

Modulasi Gizi pada Katarak

Weikel KA, Garber C, Baburins A, Taylor A

Abstrak

Kekeruhan lensa atau biasa disebut katarak, menyebabkan berkurangnya kemampuan


penglihatan pada 80 juta orang di seluruh dunia dan kebutaan pada 18 juta orang. Angka ini terus
meningkat drastis dikarenakan terjadinya peningkatan demografi jumlah orang tua dan
peningkatan jumlah pasien yang mengalami gangguan metabolisme karbohidrat. Pencegahan
pada katarak sangat penting dikarenakan kurangnya ketersediaan operasi katarak di dunia.
Literatur epidemiologi menganjurkan konsumsi mikronutrien dapat menurunkan resiko
terjadinya katarak, misalnya seperti vitamin C, lutein/zeasantin, vitamin B, asam lemak omega-3,
multivitamin, dan karbohidrat. Keterbatasan data percobaan memberikan dukungan untuk studi
observasional pada jenis katarak nuklear tetapi tidak untuk jenis lain. Studi ini menunjukkan
kadar nutrisi dalam diet atau darah yang menguntungkan dan jumlah peserta yang di survei pada
studi epimiologi terakhir tahun 2007.

Kata Kunci: penuaan; karbohidrat; karotenoid; katarak; mata; glikasi; indeks glikemik; lensa;
lemak omega; vitamin

Pengantar

Penglihatan adalah yang paling berharga dari lima indra. Penurunan kemampuan penglihatan
merupakan kecacatan yang sering dan tidak dapat dihindari seiring dengan bertambahnya usia,
yang sampai saat ini mengenai 285 juta orang di seluruh dunia. Kehilangan penglihatan adalah
salah satu ketakutan terbesar lansia. Diperkirakan bahwa lebih dari 68% orang yang berusia di
atas 79 tahun mengalami kekeruhan lensa atau katarak. Pada orang yang berusia di atas 50 tahun,
prevalensi katarak jauh lebih besar dibandingkan gabungan pasien glaukoma dan degenerasi
makula. Pada tahun 2007, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa katarak
merupakan penyebab utama kebutaan pada 39% dari 37 juta orang di seluruh dunia. Kebutaan
akibat katarak bervariasi dari satu negara ke negara yang lain karena perbedaan kondisi
keuangan, ketersediaan dokter spesialis mata, persepsi yang berbeda untuk memperbaiki
penglihatan, dan faktor-faktor genetik dan lingkungan. Hambatan-hambatan tersebut
menggambarkan betapa pentingnya menyediakan cara untuk mencegah atau memperlambat
terbentuknya katarak.

Banyak penelitian menyatakan bahwa untuk mengurangi resiko terjadinya suatu katarak dapat
dilakukan dengan cara intervensi gizi. Banyak penelitian sebelumnya berfokus pada konsumsi
antioksidan, namun penelitian-penelitian tersebut telah diperluas dan mencakup konsumsi
makronutrien seperti asam lemak dan karbohidrat. Peran nutrusi dalam kesehatan mata telah
diteliti dalam berbagai sistem model, termasuk studi in vitro, kultur sel, hewan dan manusia.

1
Studi ini memiliki empat tujuan. Tujuan yang pertama adalah untuk memberikan informasi
kepada pembaca tentang pemahaman etiologi katarak yang terkait usia saat ini dan mengapa
nutrisi dapat mempengaruhi resiko terjadinya katarak. Tujuan yang kedua adalah untuk
memberikan ringkasan yang diperbaharui dari ringkasan sebelumnya. Ringkasan ini disajikan
secara utuh dalam bentuk grafik, namun karenanya banyaknya grafik tersebut maka akan
ditampilkan secara online sebagai informasi pendukung (Figur S1-S41, Tabel S1 dan S2).
Dengan demikian, beberapa studi yang berupaya mencari hubungan antara asupan nutrisi dengan
proses pembentukan katarak disebutkan jumlahnya, namun data yang tidak berpengaruh terhadap
katarak tidak dinyatakan secara lengkap pada narasi, dan gambar serta tabel/grafik dibatasi
dengan mengeksklusikan beberapa yang hanya memberikan data null terhadap nutrien.
Bagaimanapun, untuk menyediakan ringkasan yang lengkap, bibliografi terkait nutrien-nutrien
yang tidak berdampak terhadap risiko katarak dimasukkan ke dalam Tabel S2. Sebagai
pengecualian, temuan-temuan dari penelitian intervensi randomisasi double-blinded dilaporkan
pada narasi, meskipun hasilnya null, mengingat pentingnya data dari penelitian-penelitian
semacam ini. Tujuan yang ketiga adalah untuk memperkenalkan jenis nutrisi terbaru yang
berhubungan dengan resiko katarak, yaitu karbohidrat. Tujuan keempat adalah jika
memungkinkan, untuk menunjukkan korelasi kadar nutrisi yang berkorelasi dengan resiko
katarak dan jumlah rata-rata peserta yang disurvei untuk setiap nutrisi.

Apa Itu Katarak?

Fungsi utama dari lensa adalah untuk mengumpulkan dan memfokuskan cahaya ke retina. Untuk
melakukan hal itu, lensa harus tetap jernih selama hidupnya. Lensa terletak di belakang kornea
dan iris (Figur 1A). Lensa tidak memiliki pembuluh darah, sehingga asupan nutrisi lensa berasal
dari cairan akuous humor. Lensa yang jernih tersebut sering dianggap sebagai suatu struktur
yang kosong, namun sesungguhnya lensa memiiliki struktur yang sangat teratur (Figur 1B).
Selapis sel epitel ditemui tepat dibawah permukaan anterior kapsul kolagen lensa, tempat lensa
berada. Sel-sel epitel pada stratum germinativum membelah, bermigrasi ke arah posterior dan
berdiferensiasi menjadi serat-serat lensa. Transparansi lensa disebabkan oleh konfigurasi serat
lensa yang kebanyakan tidak memiliki organel selular. Produk gen utama serat-serat tersebut
adalah kristalin. Pada lensa yang berusia muda, fleksibilitas lensa, teutama pada area kortikal,
memfasilitasi akomodasi lensa yang memungkinkan mata memfokuskan pandangan jauh dan
dekat. Sel-sel baru terbentuk sepanjang hidup, namun sel tua biasanya tidak hilang. Sel-sel lensa
yang tua dikompresi dan dipadatkan ke bagian tengah atau nukleus lentis. Dehidrasi dapat terjadi
pada serat-serat ini. Laju metabolisme lensa berbeda pada jaringan epitel/subkapsular, korteks,
dan nukleus. Hal ini dibuktikan dengan lepasnya nuklei dari sel-sel serat pada korteks bagian
dalam dan nukleus.

Sepanjang hidup, lensa mengalami berbagai perubahan biokimia, fisiologis, dan fungsional.
Kebanyakan perubahan ini berakibat pada lensa yang kurang fleksibel dengan kapabilitas
akomodasi yang terbatas. Seiring penuaan lensa, protein-proteinnya mengalami kerusakan
fotooksidatif, dan mereka berikatan silang, beragregasi, berpresipitasi, dan terakumulasi pada

2
opasitas lensa. Disfungsi lensa akibat opasifikasi disebut katarak. Istilah katarak “age-related”
digunakan untuk membedakan opasifikasi lensa yang diasosiasikan dengan usia dari opasifikasi
iatrogenik akibat penyebab-penyebab lainnya, seperti kelainan kongenital dan metabolik,
opasifikasi terinduksi obat-obatan, trauma, atau radiasi energi tinggi. Pembahasan ini berfokus
pada katarak terkait usia.

Secara klinis, opasitas dinilai secara terpisah pada regio kortikal, nuklear, dan subkapsular
posterior (posterior subcapsular; PSC) (Figur 1C) karena secara fenotip, bagian-bagian ini
berbeda. Opasitas dapat dikatakan campuran jika opasitas berada pada lebih dari satu lokasi.
Pemisahan grading menjadi zona-zona lensa yang berbeda penting karena katarak pada lokasi
yang beda biasanya disebabkan oleh etiologi yang berbeda. Namun, beberapa pemeriksaan
oftalmologi tidak membedakan satu tipe katarak dengan yang lainnya. Hasil pemeriksaan
semacam ini diutarakan sebagai katarak tipe “apapun” (any type). Sekarang, tersedia beberapa
sistem untuk menilai dan mengukur stadium katarak. Kebanyakan skoring ini menilai densitas
dan lokasi opasitas. Berhubungan dengan perbedaan etiologi pada katarak nuklear, kortikal, dan
PSC, nutrisi yang baik sering dikaitkan dengan penurunan risiko katarak nuklear, namun jarang
mengurangi risiko katarak kortikal atau PSC. Oleh karena perbedaan pada etiologinya, hubungan
antara status nutrisi dan risiko setiap jenis katarak atau ekstraksi dibahas secara terpisah. Hasil
ekstraksi akan berdampak pada efek nutrien yang lebih kecil karena operator atau klien yang
berbeda memilih untuk operasi pengangkatan katarak pada stadium-stadium maturitas katarak
yang berbeda-beda. Meskipun tidak secara langsung dikaitkan dengan semua opasitas, kolorasi
atau brunesens jika dinilai secara kuantitatif, karena brunesens mengurangi fungsi visual.

Opasitas nuklear dan kortikal menyebabkan sebagian besar katarak, namun opasitas nukelar
biasanya lebih mengkhawatirkan karena mereka mengganggu penerusan cahaya di aksis visual
secara langsung. Opasitas PSC lebih jarang terjadi namun juga terletak pada aksis visual.

Faktor Risiko dan Etiologi

Usia, jenis kelamin, status pendidikan, merokok, diabetes, dan obesitas adalah faktor-faktor
risiko katarak. Laki-laki lebih rentan terkena katarak PSC, sedangkan perempuan lebih rentan
terkena katarak kortikal. Kaukasia dan orang-orang dengan gelar sarjana mengalami
pengurangan risiko katarak kortikal dibandingkan dengan non-Kaukasia dan orang-orang dengan
tingkat pendidikan SMA atau di bawahnya.

Lensa mata rentan terhadap opasifikasi karena kandungan proteinnya yang tinggi (massa padat
lensa terdiri dari 98% protein) dan turnover atau pembaharuan yang minimal seiring penuaan
lensa. Selama proses penuaan, protein-protein ini terpapar pada stres-stres kronik seperti cahaya
tampak dan UV, dan radiasi-radiasi berenergi tinggi lainnya. Baru-baru ini, studi yang
mempelajari orang-orang diabetik di Afrika menemukan bahwa paparan terhadap sinar matahari
memiliki hubungan kuat dengan peningkatan risiko terjadinya katarak. Rendahnya dataran
tempat tinggal dan rusaknya lapisan ozon dunia juga memiliki dampak yang konsisten terhadap

3
meningkatnya radiasi. Ringkasan literatur-literatur yang membahas cahaya UV dan risiko
katarak dicantumkan dalam pembahasan oleh McCarty dan Taylor. Radiasi UV artifisial seperti
tanning bed, lampu fluoresen, atau laser eksimer, juga meningkatkan risiko terjadinya katarak,
terutama di antara orang-orang tua yang menjalani pengobatan dengan steroid, hormon tiroid,
atau estrogen.

Kelebihan oksigen dan metabolit reaktifnya juga meningkatkan risiko terjadinya katarak.
Katarak ditemukan pada para pasien yang diberikan terapi oksigen hiperbarik, pada lensa-lensa
yang terpapar oksigen hiperbarik in vitro, pada mencit-mencit yang selamat dari paparan oksigen
100% dua kali seminggu selama tiga jam, dan pada guinea pig yang terpapar oksigen hiperbarik.
Saat mengalami stres oksidatif, kadar glutation disulfida meingkat (bentuk teroksidasi glutation
antioksidan/GSH), disertai penurunan jumlah GSH tereduksi. Reaksi kimia akumulasi protein
terikat disulfida saat stres oksidatif dan penuaan lensa dijelaskan pada Figur 2.

Merokok dan mengunyah daun tembakau menimbulkan stres oksidatif dan memiliki hubungan
dengan penurunan jumlah antioksidan, termasuk askorbat, tokoferol, dan karotenoid, termasuk
eksaserbasi sklerosis nuklear dan peningkatan risiko terjadinya katarak, terutama katarak
nuklear, seperti yang dipelajari Kelly dkk dan Richter dkk. Selain itu, pada kohort Age-Related
Eye Disease Study (AREDS), penelitian multisenter yang melibatkan lebih dari 4000 lansia (usia
55080 tahun) laki-laki dan perempuan merandomisasi pemberian plasebo atau cocktail berisi 500
mg vitamin C, 400 IV vitamin E, dan 15 mg ß-karoten selama rata-rata 6,3 tahun. Penelitian ini
menemukan bahwa bekas perokok memiliki risiko lebih tinggi mengalami operasi katarak
dibandingkan orang-orang non-perokok, dan orang yang merokok aktif hingga saat ini memiliki
risiko yang lebih tinggi terkena katarak kortikal. Sejalan dengan etiologi katarak terkait stres
oksidatif, juga ditemukan penurunan risiko katarak pada dokter-dokter laki-laki yang merokok
namun menggunakan multivitamin. Bagaimanapun, peningkatan konsumsi antioksidan apapun
tidak selalu membawa hasil yang menguntungkan pada kalangan perokok, karena para perokok
yang mendapat suplementasi ß-karoten mengalami peningkatan risiko kanker paru-paru.

Antioksidan, Enzim-enzim Antioksidan, dan Protease sebagai Pertahanan terhadap


Kerusakan Lensa

Beberapa bahan memiliki efek proteksi terhadap serangan fotooksidatif. Antioksidan-antioksidan


seperti askorbat, karotenoid, vitamin E (diteliti oleh Taylor), dan enzim-enzim antioksidan,
melindungi protein dan komponen-komponen lainnya dari stres oksidatif (Figur 2). Perlindungan
tambahan termasuk proses proteolitik dan reparasi yang mendegradasi dan mengeliminasi
protein yang rusak, atau membantu reparasi biomolekuler yang rusak (Figur 3).

Antioksidan – Lensa mata terutama berada pada lingkungan akueus. Antioksidan larut air
seperti askorbat dan GSH lebih terkonsentrasi pada lensa dibandingkan pada plasma. Oleh
karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa antioksidan akueus akan berdampak lebih besar

4
mengurangi risiko terjadinya katarak (Figur 2 dan 3). Selain itu, kadar GSH berkurang pada
lensa yang menua dan lensa katarak.

Enzim-enzim antioksidan – Lensa juga mengandung banyak enzim-enzim antioksidan, seperti


katalase, superoksida dismutase, reduktase, dan enzim-enzum dari siklus redoks GSH. Enzim-
enzim ini berinteraksi dengan oksigen, oksidan-oksidan lain, dan antioksidan (GSH adalah
substrat glutation peroksidase) untuk mengurangi beban oksidatif. Namun, aktivitas banyak
enzim antioksidan dimodifikasi dan dikompromi saat menua dan pembentukan katarak. Hal ini
berdampak pada siklus stres yang diikuti kerusakan protein (oksidasi sistein yang penting untuk
proses katalis), antioksidan, dan sistem pembuangan kerusakan, yang berujung pada stres yang
tereksaserbasi. Selain oksidasi, glikasi protein, deamidasi, dan transglutaminasi berkontribusi
terhadap ikatan silang dan ketidaklarutan protein-protein dan menyebabkan opasifikasi lensa.
Berdasarkan hipotesis berdasar oksidasi ini, antioksidan industrial memasukkan hidroksitoluen
butilasi 0,4% ke dalam diet galaktosa mencit-mencit (50% diet) dan ditemukan menurunkan
prevalensi katarak.

Modifikasi Protein Sebagai Mekanisme Pertahanan – Sistem proteolitik dapat


dipertimbangkan sebagai kapasitas pertahanan tambahan dan membuang protein-prtein
sitotoksik, rusak, atau obsolet dari lensa dan jaringan-jaringan lainnya. Pada jaringan lensa yang
muda, degradasi oleh sistem proteolitik ini mempertahankan kadar protein yang rusak pada kadar
aman. (Figur 3 atas)

Beberapa studi menemukan interaksi antara antioksidan dan sistem pertahanan proteolitik.
Ditemukan adanya efek langsung askorbat terhadap fungsi proteolitik yang rusak secara
oksidatif. GSH juga membantu aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam konjugasi ubikuitin ke
substrat-substrat, yang memperpanjang proteolisis dependen ubikuitin. Namun saat penuaan atau
stres oksidatif, kebanyakan kapabilitas enzim ini berkurang. Akumulasi protein-protein yang
teroksidasi (dan/atau termodifikasi) pada lensa-lensa yang tua sejalan dengan penurunan
kapasitas sistem-sistem proteksi ini untuk mengimbangi serangan yang merusak protein lensa.
Oleh karena itu, pengurangan aktivitas enzim-enzim antioksidan, konsentrasi antioksidan, dan
aktivitas pengubahan protein berujung pada proteksi yang menurun terhadap serangan-serangan
oksidatif. Hal ini menyebabkan protein-protein yang hidup lama dan konstituen lain menjadi
rentan terhadap kerusakan, yang akan berujung pada katarak.

Chaperone molekuler memiliki kapasitas lain untuk mencegah presipitasi protein akibat katarak,
seperti yang dipelajari Shang dan Taylor.

Studi-studi Epidemiologi Terbaru yang Mengaitkan Karotenoid dan Vitamin C, E, dan B


terhadap Risiko Katarak

Banyak studi epidemiologi mencoba menentukan nutrien mana yang memiliki efek proteksi
terhadap katarak. Data terbaru yang relevan dicantumkan dalam narasi dan grafik pada Informasi
Pendukung (Figur S1-S41) dan tambahan referensi untuk material ini (Tabel S1). Pada beberapa

5
nutrien, data tidak menunjukkan efek apapun terhadap tipe katarak secara spesifik; referensi data
ini dapat ditemukan pada tabel S2, yang berada pada Informasi Pendukung (online).

Vitamin C

Askorbat berada pada lensa dan akueus humor sebanyak 50 kali lipat konsentrasinya dalam
plasma, yang diduga merupakan antioksidan yang paling efektif dan tidak toksik yang ditemukan
pada sistem mamalia. Askorbat tidak hanya mengambil radikal-radikal bebas, namun juga
membentuk vitamin E dan GSH untuk meningkatkan kapasitas antioksidan sebuah sel. Banyak
literatur menyatakan bahwa ada kaitan antara usia dengan jumlah askorbat pada lensa, dan ini
dapat menyebabkan kompromi pada fungsi lensa. Sebaliknya, meningkatkan jumlah askorbat
dapat membawa benefit yang potensial. Pada subjek-subjek yang mengonsumsi jumlah vitamin
C yang disarankan (75 mg/hari), kadar askorbat darah sekitar 12 ug/mL, dan peningkatan jumlah
vitamin C pada populasi ini menghasilkan kadar askorbat darah yang bahkan lebih tinggi. Kadar
askorbat lensa ditemukan hampir 50 kali lipat lebih banyak pada lensa dibandingkan plasma,
seperti yang dinyatakan oleh studi yang mempelajari suplementasi 2 gram vitamin C per hari dan
hubungannya terhadap peningkatan jumlah askorbat lensa sebesar hampir 40 kali (>4 mM).
Peningkatan vitamin C plasma diasosiasikan dengan kadar substansi reaktif asam tiobarbiturat
(TBARS) yang menurun, yaitu marker stres oksidatif (p<0,01). Meskipun telah dinyatakan
dengan model mencit bahwa vitamin C dapat memediasi katarak melalui glikasi karbohidrat,
data dari binatang-binatang lain dan manusia tidak mendukung hasil observasi tersebut. Oleh
karena itu, disimpulkan bahwa peningkatan kadar vitamin C sangat berkaitan dengan
pengurangan risiko katarak pada banyak studi epidemiologi (Figur S1-S5, S7-S8). Berdasarkan
hubungan diet dan kadar vitamin C pada aqueous humor atau lensa, didapatkan bahwa konsumsi
vitamin C di atas 200 mg/hari berhubungan dengan pengurangan risiko.

Sebelum tahun 2007, data dari lebih dari 110.000 subjek dianalisa untuk menentukan peran
vitamin C terhadap kesehatan lensa (Figur S1-S10). Konsensus pada studi-studi ini menyatakan
bahwa kadar vitamin C serum minimal 49 uM atau konsumsi 135 mg/hari akan menurunkan
risiko katarak kortikal, nuklear, dan PSC (Figur S1, S3-S4, S6-S7). Data yang dikumpulkan
setelah tahun 2007 mendukung temuan ini, dan menyimpulkan bahwa vitamin C paling efektif
mencegah katarak nuklear, mengurangi risiko katarak ini dengan kandungan 3 uM dalam darah
atau konsumsi kurang dari 2 mg/hari, meskipun beberapa studi lain tidak menemukan efek
vitamin C (Tabel S2).

Studi potong lintang yang baru dilakukan terhadap 1.443 orang India rural berusia diatas 50
(studi INDEYE) mengindikasikan bahwa orang-orang dengan kadar vitamin C plasma tertinggi
(dibandingkan dengan tertil terendah) memiliki pengurangan odds (odds ratio/OR=0,62, CI
95%: 0,40-0,96) terhadap katarak kortikal (Figur S1). Studi analisis potong lintang dari kohort
yang lebih besar dari lansia-lansia Indian (n=5.638) mendukung keuntungan vitamin C terhadap
kesehatan lensa. Analisis dari seluruh kohort menunjukkan bahwa orang-orang dengan kadar
vitamin C plasma yang paling tinggi memilik pengurangan risiko katarak kortikal sebanyak 35%

6
(CI 95%: 0,50-0,85) dibandingkan orang-orang dengan kadar vitamin C plasma yang lebih
rendah. Efek ini diduga disebabkan para subjek tinggal di bagian selatan (OR=0,63: CI 95%:
0,47-0,86) dan bukan di bagian utara (OR=0,74: CI 95%: 0,45-1,20) India (Figur 1). Perbedaan
geografis ini menarik karena terdapat “cataract belt”, yaitu prevalensi katarak yang tinggi pada
timur India pada provinsi Bihar, Jharkhand, dan Orissa. Keuntungan vitamin C didukung oleh
analisis prospektif Nutrition Vision Project (NVP), sebuah subset dari Nurses’ Health Study,
yang menunjukkan pada para perempuan berusia ≤60 tahun, konsumsi paling sedikit 363 mg
vitamin C per hari diasosiasikan dengan pengurangan risiko terjadinya katarak kortikal sebesar
57%, dibandingkan dengan para perempuan yang mengonsumsi kurang dari 140 mg/hari (Figur
S2). Selain itu, perempuan-perempuan yang mengonsumsi vitamin C suplemental selama
minimal 10 tahun memiliki opasitas lensa kortikal yang jauh lebih rendah dibandingkan yang
tidak mengonsumsi suplemen (OR=0,40: CI 95%, 0,18-0,87) (Figur S2).

Analisis studi observasional mengindikasikan bahwa konsumsi vitamin C akan paling efektif
untuk mengurangi risiko katarak nuklear. Pengurangan risiko ini sekitar 40%, dan telah
dilaporkan pada studi-studi konsumsi vitamin C sejumlah 135 mg/hari atau konsentrasi serum
sejumlah 6 uM. Konsumsi yang lebih pada jangka panjang atau penggunaan suplemen juga
diasosiasikan dengan penurunan risiko katarak nuklear (Figur S3-S5). Pada studi INDEYE,
orang-orang dengan konsentrasi vitamin C plasma yang paling tinggi, dibandingkan dengan tertil
terendah, memiliki OR 0,62 (CI 95%: 0,40-0,96) untuk terkena katarak nuklear (Figur S4).
Ravindran dkk juga menemukan bahwa orang-orang dengan kadar vitamin C plasma paling
tinggi memiliki risiko katarak nuklear yang berkurang, dibandingkan dengan orang-orang
dengan kadar terendah (OR=0,58: CI 95%: 0,47-0,72). Perlu diingat bahwa manfaat diobservasi
pada pasien dari utama (OR=0,52: CI 95%: 0,38-0,72) dan selatan (OR=0,69: CI 95%: 0,54-
0,89) India (Figur S4). Efek protektif vitamin C terhadap opasitas nuklear juga ditemukan pada
studi-studi prospektif. Risk ratio bervariasi dari 0,30-0,55 untuk katarak nuklear pada orang-
orang dengan konsumsi 140 mg/hari dibandingkan orang-orang dengan konsumsi yang lebih
rendah (Figur S5). Agregat studi-studi retrospektif tentang PSC sebelum tahun 2007
menunjukkan bahwa meningkatkan konsumsi dan kadar plasma vitamin C hanya memberikan
proteksi yang lemah. Risk ratio berkisar dari 0,09-0,53 pada 7.900 orang yang dipelajari, yaitu
orang-orang dengan konsumsi minimal 491 mg/hari atau kadar dalam darah di atas 49 uM (Figur
S6). Hal ini didukung pada studi INDIYE (OR=0,59: CI 95%: 0,35-0,99) dan analisis studi
potong lintang dari 5.638 lansia Indian (OR=0,53: CI 95%: 0,42-0,66) pada senter-senter studi di
utara (OR=0,44: CI 95%: 0,32-0,61) dan selatan (OR=0,69: CI 95%: 0,54-0,89) (Figur S6).

Studi INDIYE melaporkan efek benefisial vitamin C pada sirkulasi terhadap penurunan risiko
katarak campuran (OR=0,64: CI 95%: 0,48-0,85). Namun, tidak ada hubungan signifikan yang
ditemukan antara konsumsi vitamin C dan risiko katarak tipe apapun pada Women’s Health
Study (WHS), sebuaah penelitian randomisasi double-blind dengan kontrol plasebo, yang
meneliti efek aspirin, vitamin E, dan ß-karoten pada penyakit kardiovaskular pada 35.551
pelayan kesehatan perempuan usia 45 tahun ke atas.

7
Studi yang lebih baru di India menemukan bahwa kadar vitamin C plasma yang tinggi
(OR=0,61: CI 95%: 0,51-0,74) dan konsumsi yang tinggi (OR=0,78: CI 95%: 0,62-0,98)
mengurangi risiko katarak tipe apapun (Figur S7). Manfaat dari vitamin C yang bersirkulasi
ditemukan pada senter-senter studi di wilayah utara (OR=0,55: CI 95%: 0,41-0,74) dan selatan
(OR=0,71: CI 95%: 0,57-0,89) (Figur S7).

Data studi-studi retrospektif dan prospektif mengindikasikan bahwa vitamin C dapat


menurunkan risiko katarak tipe apapun dan ekstraksi katarak (Figur S8-S10). Analisis 4.001
subjek berusia 60 tahun dan 74 tahun dari National Health and Nutrition Examination Survey II
mengindikasikan bahwa kadar asam askorbat serum berkorelasi secara inversa dengan katarak
yang dilaporkan sendiri oleh pasien (OR=0,74: CI 95%: 0,56-0,97), dan setiap peningkatan asam
askorbat 1 mg/dL diasosiasikan dengan penurunan risiko katarak sebesar 26% (p=0,03). Pada
studi prospektif, Yoshida dkk menemukan bahwa laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi
lebih dari 212 mg vitamin C per hari lebih tidak cenderung untuk melaporkan katarak jenis
apapun, dibandingkan dengan para subjek yang mengonsumsi kurang dari 83 mg/hari (Figur S8).
Pada kohort ini, konsumsi vitamin C berkorelasi secara inversa terhadap ekstraksi katarak pada
perempuan (Figur S10).

Data-data positif di atas menyalakan entusiasme penelitian-penelitian intervensi seperti lanjutan


penelitian Physician’s Health Study (PHS II). Namun, di antara 11,545 dokter laki-laki berusia
40-84 tahun, suplementasi 400 IU vitamin E per hari atau dengan 500 mg vitamin C tidak
memiliki efek terhadap risiko katarak atau ekstraksi katarak.

Kekhawatiran tentang suplementasi vitamin C dinyalakan oleh temuan pada Swedish


Mammography Cohort (“Swedish”, pada figur) pada 24.593 perempuan berusia 49-83 tahun,
yang menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C selama lebih dari 10 tahun diasosiasikan
dengan peningkatan risiko ekstraksi katarak sebesar 25% (CI 95%: 1.00-1.50) (Figur 10),
meskipun setelah dilakukan koreksi kausal reversal (dengan mengeksklusikan perempuan-
perempuan pada lima tahun pertama paskaoperasi). Di antara perempuan-perempuan berusia 60
tahun atau lebih, suplementasi dengan vitamin C diasosiasikan dengan peningkatan risiko
estraksi katarak sebesar 38% (CI 95%: 1,12-1,69) (Figur S10). Para perempuan yang
menggunakan kortikosteroid bersamaan dengan suplementasi vitamin C memiliki risiko
ekstraksi yang 97% lebih besar (CI 95%: 1,35-2,88) (Figur S10). Temuan ini tidak mengejutkan
karena kortikosteroid bersifat kataraktogenik.

Vitamin E

Vitamin E adalah antioksidan larut lemak dengan peran fisiolos yang beranekaragam, yang
terlibat dalam pertahanan integritas membran, inflamasi, metabolisme lipid, dan kapabilitas
antioksidan yang mencakup daur ulang GSH dan atenuasi katarak terinduksi galaktosa dan
aminotriazol pada hewan. Vitamin E adalah sekelompok molekul yang dikenal sebagai tokoferol.
Konsentrasi tokoferol di seluruh lensa sangat kecil (1,940 ng/g), dan mekanisme yang

8
menghubungkan lensa dan jumlah tokoferol dalam diet belum dapat dijelaskan dengan
sepenuhnya. Karena kebanyakan tokoferol ditemukan pada membran, terutama pada jaringan
yang lebih muda, konsentrasi pada membran dapat jauh lebih besar dibandingkan konsentrasi
dalam darah. Kebanyakan studi berfokus secara spesifik pada α-tokoferol karena jenis ini adalah
yang paling aktif secara biologis. α -tokoferol, yang ditemukan dalam kadar yang besar pada
olive dan biji bunga matahari, adalah tokoferol utama pada diet orang Eropa, sedangkan γ-
tokoferol, isomer utama pada soya dan jagung, adalah tokoferol utama pada diet orang Amerika.

Banyak studi observasional dan intervensional mengamati efek vitamin E dengan nutrien-nutrien
lainnya. Pembahasan akan dilakukan pada beberapa penelitian yang meneliti total lebih dari
220.000 subjek dan mencari efek vitamin E terhadap katarak. Kebanyakan studi ini, yang terdiri
dari 166.000 subjek, selesai sebelum tahun 2007 dan tidak dapat menemukan hubungan yang
kuat antara konsumsi vitamin E atau kadar dalam darah dan risiko katarak (Figur S11-S15, Tabel
S1 dan S2). Namun, dari studi-studi yang menunjukkan hubungan inversa, tampak bahwa kadar
vitamin E darah paling sedikit 41 uM atau konsumsi paling sedikit 20 mg/hari dapat mengurangi
risiko katarak nuklear. Tidak ditemukan antara efek konsisten dari vitamin E terhadap katarak
PSC, namun kadar darah paling sedikit 33 uM atau konsumsi 5 mg/hari akan meningkatkan
risiko. Pada studi-studi yang selesai sejak tahun 2007 (sekitar 56.000 subjek), tidak ditemukan
adanya efek vitamin E terhadap risiko katarak pada bagian manapun dari lensa. Studi ini
mencakup studi retrospektif, potong lintang, dan prospektif yang meneliti risiko katarak terkait
konsumsi vitamin E, kadar dalam plasma, atau suplementasi (Tabel S2).

Studi Vitamin E, Cataract, and Age-related Maculopathy (VECAT), sebuah studi terandomisasi
double-blind dengan kontrol plasebo memberikan subjek antara vitamin E 500 IU per hari atau
plasebo, dan hasilnya tidak ditemukan efek yang bermanfaat setelah empat tahun suplementasi
vitamin E terhadap insidens atau progresi katarak kortikal. Hasil yang sama juga didapatkan dari
studi WHS, yaitu tidak adanya efek vitamin E terhadap risiko katarak kortikal. Di percobaan
WHS, para perempuan idberikan suplementasi vitamin E 600 IU setiap dua hari. Pada kohort
kedua di studi PHS, suplementasi vitamin E diberikan sebanyak 400 IU setiap selang sehari.
Beberapa studi retrospektif dan prospektif mengusulkan bahwa kemungkinan ada efek benefisial
dari kadar vitamin E yang lebih tinggi dalam plasma pada konsumsi paling sedikit 90,8 mg/hari
(bersamaan dengan nutrien-nutrien lain) dibandingkan dengan konsumsi kurang dari 6,7 mg/hari
terhadap risiko opasitas nuklear (Figur S13 dan S14). NVP juga melaporkan tren pengurangan
risiko opasitas nuklear (p=0,03) dan penurunan progresi opasitas (p=0,006) dengan peningkatan
durasi suplementasi vitamin E pada perempuan. Namun, studi-studi intervensi VECAT, WHS,
dan PHS II tidak menemukan efek vitamin E terhadap risiko katarak nuklear.

Pada subjek-subjek dengan kadar vitamin E yang tinggi dalam darah pada studi INDEYE,
didapatkan adanya penurunan risiko sebesar 42% (OR=0,58: CI 95%: 0,36-0,94) (Figur S16).
Pasien dengan katarak jenis apapun memiliki kadar α-tokoferol serum yang lebih rendah
dibandingkan kontrol yang non-katarak (p<0,001), dan hal ini sejalan dengan temuan-temuan
sebelumnya tentang katarak campuran. Studi yang sama menemukan bahwa pada subjek berusia

9
di atas 61 tahun, katarak senilis diasosiasikan dengan kadar α-tokoferol yang lebih rendah dalam
serum. Perokok-perokok di Indoa juga menunjukkan asosiasi inversa antara risiko katarak jenis
apapun dan kadar vitamin E dalam serum (p=0,0001). Efek-efek ini juga didukung oleh analisis
prospektif WHS (OR=0,86: CI 95%: 0,74-1,00) (Figur S17), dan suplementasi selama 10 tahun
tampaknya memberikan efek proteksi terhadap katarak jenis apapun.

Meskipun dua studi retrospektif yang lebih awal melaporkan adanya penurunan ekstraksi katarak
dengan suplementasi vitamin E (Figur S18), studi-studi prospektif PHS II dan WHS dan studi
intervensi Alpha Tocopherol Beta Carotene (pada studi ini, para perokok laki-laki diberikan
suplementasi 20 mg ß-karoten setiap hari) tidak melaporkan adanya benefit semacam itu.
Analisis prospektif studi Blue Mountains Eye mengindikasikan bahwa vitamin E bahkan dapat
meningkatkan risiko ekstraksi katarak (OR=1,55: CI 95%: 102-2,38).

Karotenoid dan Vitamin A

400 karotenoid, seperti vitamin E, adalah antioksidan alami yang larut lemak. Peningkatan
konsumsi karotenoid diasosiasikan dengan beberapa manfaat kesehatan, dan pada beberapa
kasus, dengan penurunan risiko katarak (Figur S19-S31). Kebanyakan penelitian awal berfokus
pada ß-karoten, yang terdapat dalam jumlah kecil pada lensa mata manusia (<0,1 ng/g). Padahal,
karotenoid lensa utama adalah lutein dan zeasantin (13,8 ng/g, kombinasi keduanya). Karotenoid
ini juga merupakan karotenoid yang paling prevalen pada retina. Karotenoid lain yang ada pada
lensa adalah retinol (38,1 ng/g) dan ester retinol (25,6 ng/g). Studi-studi yang mempelajari status
karotenoid yang bervariasi dan risiko katarak pada lebih dari 220.000 subjek akan dibahas
berikut ini.

Lutein dan zeasantin – Kebanyakan studi retrospektif dan prospektif (yang melibatkan 16.000
subjek) mengindikasikan bahwa konsumsi atau kadar lutein dan zeasantin darah tidak
memodulasi risiko katarak kortikal, nuklear, atau PSC (Figur S19 dan S20, Tabel S2), meskipun
Karppi dkk menemukan bahwa di antara para subjek Finlandia, orang-orang dengan kadar lutein
(RR=0,58: CI 95%: 0,35-0,98) dan zeasantin (RR=0,59: CI 95%: 0,35-0,99) plasma tertinggi
memiliki risiko katarak nuklear yang menurun (Figur S19). Data prospektif lebih awal dari
Beaver Dam, Pathologies Oculaires Liees a l’Age (POLA), dan NVP (Figur S20) juga
menyatakan bahwa peningkatan status lutein dan zeasantin diasosiasikan dengan penurunan
risiko katarak nuklear. Sebuah analisis potong lintang dari 1.443 subjek Indian mendukung
datang ini dan menemukan bahwa kadar serum zeasantin yang tinggi bersifat protektif terhadap
katarak nuklear (p<0,03), namun tidak demikian hasilnya pada analisis studi Carotenoids in Age-
Related Eye Disease (CAREDS) (Figur S20).

Data bersifat sedikit mendukung jika kategori “katarak jenis apapun” digunakan sebagai
parameter. Sebuah analisis potong lintang skala besar menemukan bahwa orang-orang suku
Indian dengan kadar serum lutein (OR=0,79: CI 95%: 0,63-0,99) dan zeasantin (OR=0,76; CI
95%: 0,58-0,99) yang tertinggi memiliki risiko lebih rendah terkena “katarak jenis apapun”

10
(Figur S21). Sebuah studi yang mempelajari 177 lansia yang tinggal di penampungan
menemukan bahwa konsumsi zeasantin dalam jumlah besar diasosiasikan dengan penurunan
risiko terjadinya katarak (OR=0,96; CI 95%: 0,91-0,99) (Figur S21). Studi ini didukung oleh
studi potong lintang 376 subjek, yang menemukan bahwa lutein serum (tapi tidak zeasantin)
berkorelasi dengan densitas optikal lensa (p=0,001), sebuah marker surrogate fungsi lensa.
Selain itu, WHS menemukan bahwa jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan yang
memiliki asupan lutein dan zeasantin yang terendah, perempuan dengan konsumsi tertinggi
memiliki penurunan risiko terkena “katarak jenis apapun”, dengan didiagnosis oleh dokter
(RR=0,82; CI 95%” 0,71-0,95) (Figur S22). Sebuah studi pilot yang mempelajari 17 pasien
katarak menunjukkan bahwa suplementasi 15 mg lutein tiga kali seminggu selama dua tahun
memperbaiki ketajaman penglihatan, jika dibandingkan dengan plasebo. Studi kecil lain namun
mengindikasikan efek berbahaya lutein dan zeasantin serum pada orang-orang di bawah usia 61
tahun dengan katarak terkait usia.

Untuk memperjelas peran lutein dan zeasantin terhadap risiko katarak, Age-Related Eye Disease
Study 2 (AREDS2) mengikuti 3.159 lansia (usia 50-85 tahun) laki-laki dan perempuan selama
lima tahun. Suplementasi dengan 10 mg lutein dan 2 mg zeasantin tidak memiliki efek terhadap
risiko terjadinya katarak jenis apapun (Figur S22), dan juga tidak memperbaiki ketajaman
penglihatan. Namun, sebuah analisis subgrup menunjukkan efek benefisial lutein dan zeasantin
terhadap risiko katarak (HR=0,70; CI 95%: 0,53-0,94) pada pasien-pasien dengan asupan
baseline karotenoid terendah (Figur S22).

Sebagai akhirnya, jika menggunakan ekstraksi katarak sebagai endpoint, semua studi prospektif
kecuali NHS tidak menemukan efek lutein dan zeasantin (Figur S23, Tabel S2). Pada AREDS2,
suplementasi dengan lutein dan zeasantin tidak memiliki efek terhadap risiko ekstraksi katarak
pada analisis primer, namun suplementasi memang menurunkan risiko ekstraksi (HR=0,68; CI
95%: 0,48-0,95) pada pasien-pasien dengan asupan baseline lutein dan zeasantin yang rendah
(Figur S23). Observasi-observasi ini, bersamaan dengan yang lain yang berhubungan dengan
risiko terhadap “katarak jenis apapun”, menyimpulkan bahwa lutein dan zeasantin diduga
bermanfaat untuk populasi gizi kurang, namun terhadap kesimpulan ini harus dilakukan
penelitian-penelitian lanjutan.

Beta-Karoten, α-Karoten, Likopen, Kriptosantin, dan Karotenoid Total – ß-karoten


memiliki aktivitas antioksidan yang kuat pada tekanan parsial oksigen yang rendah, yang serupa
dengan kurang lebih tekanan parsial oksigen 20 torr pada tengah lensa. Namun, data dari lebih
dari 17.000 subjek, termasuk intervensi Alpha Tocopherol Beta Carotene, mengindikasikan
bahwa karotenoid tidak berdampak terhadap risiko katarak kortikal, nuklear, PSC, atau katarak
jenis apapun, atau risiko ekstraksi katarak (Tabel S2). Konsumsi atau kadar dalam serum dari α-
karoten, likopen, kriptosantin, dan karotenoid total juga dievaluasi untuk kemungkinan relasi
dengan risiko awitan atau progresi bermacam-macam katarak, namun catatan dari 190.000
subjek menunjukkan efek yang kecil dari nutrien-nutrien ini (Tabel S2).

11
Vitamin A/ Retinol – Catatan penelitian dari lebih dari 10.000 orang telah diperiksa untuk
mengklarifikasi hubungan antara status vitamin A atau retinol dengan risiko terjadinya katarak.
Dherani dkk (OR=0,56; CI 95%: 0,33-0,96) dan Ravindran dkk (OR=0,69; CI 95%: 0,56-0,84)
menemukan bahwa orang-orang dengan kadar retinol serum tertinggi memiliki risiko yang lebih
rendah terkena katarak nuklear, yang serupa dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Figur
S24). Baru-baru ini, Klein dkk menemukan bahwa pada studi-studi prospektif, orang-orang yang
mendapatkan suplementasi vitamin A memiliki risiko yang lebih rendah terkena katarak kortikal
(OR=0,42; CI 95%: 0,24-0,73) (Figur S25).

Ravindran dkk menemukan bahwa orang-orang dengan kadar retinol serum paling tinggi
memiliki risiko yang lebih rendah terkena katarak PSC (OR=0,65; CI 95%: 0,50-0,85) dan
“katarak jenis apapun” (OR=0,59; CI 95%: 0,37-0,91) (Figur S24). Pada European Prospective
Study Investigation in Cancer and Nutrition (EPIC), asupan vitamin A yang tinggi diasosiasikan
dengan peningkatan risiko “katarak jenis apapun” (IRR=128; CI 95%: 1,07-1,54) (Fgur S25).

Vitamin B: Riboflavin, Tiamin, Folat, dan Vitamin B12

Analisis dari penelitian yang melibatkan lebih dari 12.000 subjek menunjukkan bahwa konsumsi
paling sedikit 2 ug riboflavin akan membantu menurunkan risiko katarak kortikal dan nuklear,
terutama pada populasi dengan gizi kurang (Figur S26-S29, Tabel S2). Pada umumnya, status
tiamin dan niasin yang lebih tinggi diasosiasikan dengan penurunan risiko beberapa parameter
katarak.

Data-data pendahulu terkait peran folat terhadap kesehatan mata kurang jelas. Data dari Elderly
Nutrition and Health Survey di Taiwan mengindikasikan bahwa pada laki-laki (namun tidak pada
perempuan) yang mengalami insufisiensi folat (<14 uM kadar serum), mereka dengan status
folat yang cukup memiliki penurunan risiko terkena “katarak jenis apapun” (OR=0,67; CI 95%:
0,44-0,98) (Figur S28). Efek ini terutama dirasakan oleh populasi berusia di atas 75 tahun.
Meskipun EPIC tidak menemukan asosiasi apapun antara risiko “katarak jenis apapun” dan
asupan tiamin, riboflavin, niasin, atau folat, EPIC melaporkan peningkatan risiko pada orang-
orang dengan peningkatan konsumsi vitamin B12 (IRR=1,2; CI 95%: 1,06-1,56) (Figur S28).

Studi-studi Tentang Kombinasi Antioksidan dan Multivitamin, termasuk Studi Intervensi

Manusia mengonsumsi diet yang terdiri dari banyak nutrien. Demi memperkirakan efek
kombinasi dari multipen nutrien dan menilai manfaat mengonsumsi multivitamin, risiko katarak
telah dihubungkan dengan konsumsi multivitamin dan indeks antioksidan pada lebih dari 26.000
subjek (Figur S30-S37, Tabel S2).

Studi-studi retrospektif dan prospektif mengusulkan bahwa penggunaan multivitamin, konsumsi


antioksidan (>125 mg/hari untuk vitamin C, >8,4 mg/day untuk vitamin E, >5.677 IU/hari untuk
karotenoid), dan kadar antioksidan darah yang tinggi (>40 uM vitamin C, >21 uM vitamin E,
>1.7 uM karotenoid) menurunkan risiko katarak kortikal (Figur S30 dan S31). Hal ini dikuatkan

12
dengan studi oleh Klein dkk yang melaporkan penurunan risiko progresi katarak kortikal sebesar
23% diantara para subjek yang menggunakan multivitamin di Beaver Dam Eye study (OR=0,77;
CI 95%: 0,62-0,95) (Figur S31). Tidak ada penelitian intervensional skala besar yang
menunjukkan efek multivitamin terhadap risiko katarak kortikal (Figur S32, Tabel S2).

Opasitas nuklear telah menajdi subjek investigasi aktif, dalam sektor penggunaan multivitamin.
Studi-studi prospektif dan intervensi menunjukkan bahwa kombinasi antioksidan dan
multivitamin diduga efektif untuk menurunkan risiko opasitas nuklear (Figur S33-S35, Tabel
S2), temuan yang didukung oleh analisis terbaru dari Clinical Trial of Nutritional Supplements
and Age-Related Cataract (CTNS) (OR=0,66; CI 95%: 0,50-0,88) (Figur S35). Secara spesifik,
penggunaan multivitamin CentrumTM (Pfizer, New York) pada AREDS diasosiasikan dengan
penurunan risiko katarak nuklear pada analisis prospektif (AREDS) dan penurunan 25% pada
katarak nuklear pada intervension arm penelitian ini (Figur S34 dan S35). Efek menguntungkan
CentrumTM yang tidak diobservasi dengan campuran vitamin C, vitamin E, ß-karotein, dan
zinkum yang dipreskripsikan pada AREDS, mensugestikan bahwa cocktail AREDS tidak
memiliki komponen-komponen yang dimiliki CentrumTM.

Berbeda dengan temuan untuk katarak nuklear, data dari CTNS menunjukkan bahwa
multivitamin mungkin meningkatkan risiko katarak PSC (OR=2,00; CI 95%: 1,35-2,98). Data
ini, bersama dengan data dari PHS-II selama delapan tahun, menunjukkan bahwa masih belum
ada mandat yang jelas terkait penggunaan suplemen antioksidan untuk menurunkan risiko
katarak atau ekstraksi katarak.

Sebagai kesimpulan, perlu diingat bahwa kebanyakan subjek pada penelitian-penelitian ini
memiliki status sosioekonomi menengah ke atas dan diberi makanan dengan baik. Pada subjek-
subjek yang kurang gizi kronik, suplemen mungkin memberikan manfaat. Namun, rekomendasi
apapun untuk penggunaan antioksidan untuk menurunkan risiko katarak pada populasi dengan
gizi cukup yang mengonsumsi sayur dan buah dalam jumlah yang memadai adalah berdasarkan
pada keyakinan bahwa suplemen yang memberikan kebutuhan mikronutrien sesuai jumlah
kebutuhan harian tidak akan berbahaya bagi subjek, seperti pada temuan-temuan yang
menunjukkan bahwa suplementasi tersebut memang membantu.

Studi-studi Epidemiologi yang Mengaitkan Konsumsi Karbohidrat dengan Risiko Katarak

Glikasi protein-prtein menurunkan pertahanan selular, dan relevan terhadap risiko katarak,
karena proporsi besar diet Amerika terdiri dari karbohidrat. Konsumsi karbohidrat telah
meningkat dengan bermakna pada 30 tahun terakhir, demikian juga dengan laju peningkatan
obesitas. Asupan dan kualitas karbohidrat telah dibuktikan memiliki risiko terhadap penyakit
kardiovaskular dan DM tipe 2, yang keduanya merupakan komorbid terhadap katarak. Reaksi
antara karbohidrat dan protein dapat membentuk basa Schiff, produk Maillard, dan hasil akhir
glikasi kompleks menghasilkan “browning”. Sekuel dari reaksi-reaksi ini adalah agregasi dan

13
presipitasi protein-protein yang diasosiasikan dengan kataraktogenesis, degenerasi makular
terkait usia, dan debilitasi lainnya (Figure 2).

Orang-orang dengan tingkat glukosa darah puasa yang lebih rendah menurunkan insidensi dan
menunda progresi semua subtipe katarak, yang konsisten dengan biokemistri metabolisme
karbohidrat. Studi yang melibatkan 124 subjek menunjukkan bahwa non-diabetik dengan
peningkatan fruktosa serum (gula yang sangat glycating), memiliki peningkatan risiko kataran
(p<0,05). Hasil ini mendukung temuan-temuan terbaru. Selain itu, para diabetik mengalami
fluktuasi yang besar pada glukosa dan memiliki tingkat katarak PSC dan operasi yang lebih
tinggi. Risiko terhadap katarak-katarak jenis ini juga dikaitkan dengan obesitas.

Enam kohort telah digunakan untuk mempelajari hubungan kesehatan mata dan jumlah konsumsi
karbohidrat atau kualitas karbohidrat, dan tidak ada kohort yang melaporkan benefit dari diet
tinggi karbohidrat. NVP menemukan bahwa perempuan-perempuan yang mengonsumsi >200
gram karbohidrat per hari jauh lebih mungkin mengalami opasitas kortikal dibandingkan
perempuan-perempuan yang mengonsumsi <185 gram karbohidrat per hari (OR=2,64; CI 95%:
1,30-4,64) (Figur 4). NVP juga melaporkan tren peningkatan risiko opasitas kortikal dengan
peningkatan konsumsi karbohidrat (p=0,005 untuk tren). Data dari 3217 subjek dari Melbourne
Visual Impairment Project mendukung hasil NVP dan mengindikasikan bahwa nondiabetik yang
mengonsumsi lebih dari 181 gram per hari memiliki risiko >3x lipat untuk terkena katarak
kortikal dibandingkan orang-orang yang mengonsumsi jumlah karbohidrat paling sedikit (CI
95%: 1,10-9,27) (Figur 4).

Berhubung karbohidrat dan kesehatan memiliki korelasi, cukup logis untuk menanyakan jika
hasilnya dapat disebabkan oleh serat pada diet. Analisis potong lintang mengindikasikan bahwa
konsumsi serat tidak mempengaruhi risiko katarak kortikal, nuklear, atau PSC, meskipun analisis
prospektif menemukan bahwa konsumsi serat dalam jumlah 23-29 gram per hari diasosiasikan
dengan peningkatan risiko katarak PSC (OR=5,13; CI 95%: 1,09-24,24) dibandingkan dengan
konsumsi yang lebih sedikit (Figur 5).

Dalam upaya menentukan jika karbohidrat yang berbeda mempengaruhi kejernihan lensa secara
berbeda, risiko katarak juga dikorelasikan dengan indeks glikemik. Indeks glikemik menyatakan
seberapa cepat kadar gula darah meningkat setelah konsumsi makanan, relatif terhadap
peningkatan kadar glukosa darah setelah konsumsi makanan standar dengan jumlah karbohidrat
yang sama (glukosa atau roti putih). Indeks glikemik diet rata-rata yang didapatkan adalah sekian
untuk seluruh diet. Penelitian-penelitian baru menunjukkan bahwa konsumsi diet rendah indeks
glikemik diasosiasikan dengan penurunan risiko degenerasi makular terkait usia, diabetes,
penyakit-penyakit kardiovaskular, dan penyakit ginjal.

Pada kohort Blue Mountain yang mempelajari 933 subjek, mereka yang mengonsumsi
karbohidrat dengan indeks glukemik tertinggi lebih cenderung menjadi katarak kortikal dalam 10
tahun dibandingkan mereka yang mengonsumsi karbohidrat dari golongan indeks glikemik

14
paling rendah (HR=1,77; CI 95%: 1,13-2,78) (Figur 6). Tren yang serupa diamati pada 3,377
subjek pada AREDS (Figur 6). AREDS juga menunjukkan bahwa mereka yang mengonsumsi
karbohidrat dengan indeks glikemik tinggi memiliki risiko yang meningkat terkena katarak
nuklear (OR=1,29; CI 95%: 1,04-1,59; P untuk tren=0,02) dibandingkan mereka yang
mengonsumsi karbohidrat dengan indeks glikemik terendah (Figur 6). Hubungan yang berbeda
antara karbohidrat diet dan katarak nuklear dan kortikal konsisten dengan etiologi yang berbeda-
beda dari tiap tipe katarak.

Beban glikemik, yang didefinisikan sebagai rerata glikemik indeks makanan masing-masing,
dikalikan dengan persentase energi sebagai karbohidrat, adalah pengukuran hasil yang
mengkombinasikan jumlah karbohidrat yang dikonsumsi dengan indeks glikemik dari
karbohidrat itu sendiri. Studi Blue Mountain Eye dan Schaumberg dkk menggunakan gabungan
data dari kohort NHS dan Health Professionals Follow-Up Study (HPFUS), yang mempelajari
111.845 laki-laki dan perempuan, menganalisis efek beban glikemik terhadap risiko katarak yang
dilaporkan, namun tidak menemukan asosiasi signifikan (Figur 7). Ketika kedua kohort ini
dievaluasi secara terpisah, laki-laki dengan indeks glikemik tertinggi pada HPFUS memiliki
penurunan risiko ekstraksi katarak nuklear dan “katarak jenis apapun” sebesar 12% dan 14%
(Figur 7). Penting untuk diingat bahwa NHS dan HPFUS bergantung pada pelaporan personal
tentang katarak, sedangkan partisipan pada AREDS dan NVP dievaluasi secara klinis dan
dilakukan pengelompokan stadium katarak mereka oleh SpM, yang dapat menghasilkan
perbedaan hasil pada studi-studi ini. Berhubung terlalu sedikit studi yang telah membahas topik
ini dan dengan bertambahnya kadar karbohidrat dalam diet, area penelitian ini harus diperhatikan
dengan lebih seksama.

Studi-studi Epidemiologi yang Mengaitkan Konsumsi Lipid dengan Risiko Katarak

Membran sel lensa memiliki rasio kolesterol yang tinggi, komposisi lipid dan tidak lazim, dan
fungsi penting untuk komunikasi intraselular dan dibutuhkan untuk berfungsi selama berdekade-
dekade dengan kecil kemungkinan dapat digantikan jika rusak. Oleh karena hal ini, seseorang
dapat berasumsi bahwa profil lipid berkaitan dengan risiko terbentuknya katarak. Sekilas
pandang catatan epidemiologi dari lebih dari 17.000 subjek (Figur S38-S40, Tabel S1 dan S2),
berkata kebalikannya. Sejauh ini, tidak diteukan asosiasi yang bermakna antara konsumsi lemak
dari kolesterol, lemak trans, atau lemak hewani atau nabati dan berbagai bentuk katarak, selain
dari yang berikut:

1. Pada EPIC, risiko katarak jenis apapun meningkat dengan peningkatan kadar lemak
tersaturasi dalam darah (RR=1,19%; CI 95%: 1,01-1,40) dan kolesterol (RR=1,23; CI
95%: 1,01-1,50)
2. Pada studi Blue Mountains Eye, penurunan risiko katarak kortikal menurun sebesar 30%
pada para subjek yang mengonsumsi lemak PUFA lebih dari 6,8 gram/hari

15
3. Kebalikannya, peningkatan risiko katarak nuklear meningkat 2-3x pada NVP/NHS pada
orang-orang dengan konsumsi lemak yang sama dengan jumlah yang lebih banyak (Figur
S38)
4. Penurunan risiko katarak nuklear sebesar 42% ditemukan pada konsumer asam lemak
omega 3 sejumlah 0,5-1,42 gram per hari (omega 3 ditemukan pada flaxseed, walnut,
salmon, udang, dan banyak makanan laut lain)
5. Penurunan risiko katarak nuklear dan jenis apapun sebesar 17% dan 12% didapatkan
pada studi NHS (Figur S39) diantara subjek yang mengonsumsi asam lemak omega-3
dalam jumlah yang lebih besar (secara spesifik, asam eikosapentanoat (EPA) dan asam
dokosaheksaenoat (DHA))
6. Berlawanan dengan data NHS lengkap, ditemukan peningkatan risiko katarak jenis
apapun sebesar 2,2 kali lipat dengan konsumsi asam lemak omega 3, pada studi NVP
(Figur S39)
7. Pada studi besar berjangka enam tahun, Martinez-Lapiscina dkk menemukan bahwa
subjek-subjek yang mengonsumsi 0,05% dan 0,2% total energi mereka dari asam lemak
omega-6 (ditemukan pada minual saflower, bungam atahari, jagung, dan minyak kedelai)
memiliki penurunan risiko katarak jenis apapun (OR=0,54; CI 95%: 0,29-0,99)
dibandingkan orang-orang dengan konsumsi paling rendah (Figur S40)
8. Ditemukan adanya tren peningkatan risiko ekstraksi katarak jenis apapun dengan
peningkatan konsumsi asam linoleat pada NHS (p=0,04). Peningkatan konsumsi asam
linoleat (namun bukan asam arakidonat) mungkin menjelaskan peningkatan risiko
katarak nuklear yang ditemukan pada orang-orang dengan konsumsi PUFA yang tinggi
(Figur S38 dan S40).

Studi-studi Epidemiologi yang Mengaitkan Konsumsi Protein dengan Risiko Katarak

Semua data mengenai hubungan protein makanan dan kesehatan mata diambil dari 4.888 subjek
di studi Blue Mountain Eye dan 27.670 subjek pada EPIC. Analisis retrospektif menunjukkan
bahwa subjek-subjek yang mengonsumsi sekitar 99 gram protein per hari memiliki penurunan
risiko katarak nuklear sebesar 50% (CI 95%: 0,30-0,80) dibandingkan dengan mereka yang
mengonsumsi protein dalam jumlah yang sedikit per harinya, dan ada tren peningkatan asupan
yang diasosiasikan dengan penurunan risiko (p=0,009) (Figur S41). Pada populasi yang sama,
insidensi katarak PSC selama lima tahun berkurang pada mereka yang mengonsumsi kurang
lebih 107 gram protein per harinya (OR=0,28; CI 95%: 0,10-0,76) dibandingkan mereka yang
mengonsumsi jumlah yang paling sedikit, dan peningkatan jumlah protein diasosiasikan dengan
penurunan risiko (p=0,015). Menariknya, pada EPIC, subjek-subjek yang mengonsumsi protein
paling banyak memiliki peningkatan risiko “katarak jenis apapun” (IRR=1,30; CI 95%: 1,10-
1,55) (Figur S41). Tidak jelas diketahui mengapa peningkatan asupan protein membawa risiko,
namun diduga merefleksikan peningkatan total asupan energi, yang diasosiasikan dengan
peningkatan risiko katarak (p=0,044).

16
Analisis –analisis mengenai efek pola diet keseluruhan terhadap risiko katarak juga telah
dilakukan. Sebuah analisis potong lintang dari 240 laki-laki Afrika diabetik melaporkan bahwa
mereka yang mengonsumsi diet Mediterranean (yang menekankan pada PUFA, buah-buahan,
dan sayur-sayuran) memiliki risiko yang lebih rendah terkena katarak (p<0,005). Pada EPIC,
pengurangan konsumsi daging diasosiasikan dengan penurunan risiko katarak (p<0,001).
Sebagai tambahan, mereka yang berusia di atas 65 tahun yang mengonsumsi diet kaya ikan dan
sayur-sayur (dan bukan daging) memiliki penurunan risiko katarak sebesar 23% (IRR=0,77; CI
95%: 0,61-0,98), dan vegetarian dari seluruh golongan usia memiliki risiko yang lebih rendah
untuk terkena katarak (IRR=0,74; CI 95%: 0,63-0,86).

Kesimpulan

Upaya-upaya preventif untuk mengindari katarak tetap menjadi kebutuhan medis yang belum
terpecahkan, terutama hal ini penting untuk jutaan orang yang tidak memiliki akses untuk
menjalani operasi katarak. Masalah ini menjadi semakin gawat karena populasi lansia semakin
banyak dan melebihi kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan untuk menampung mereka, dan
masalah kesehatan yang terkait diet tinggi karbohidrat terus meningkat. Data observasional dari
lebih dari 250.000 orang menyatakan bahwa mempertahankan asupan protein 100-150 gram/hari
dan asupan vitamin C sekitar 135 mg/hari (hampir dua kali lipat kadar yang direkomendasikan)
dan menghindari konsumsi karbohidrat simpleks dalam jumlah besar (konsumsi kronik minuman
manis botol besar) sangat penting. Data observasional juga mendukung untuk melakukan
optimisasi asupan lutein, zeasantin, vitamin B, dan suplemen-suplemen multivitamin yang dapat
bermanfaat untuk menjaga kesehatan lensa, terutama untuk menurunkan risiko katarak nuklear,
dan jika bisa, katarak kortikal. Sulit bagi para peneliti untuk memisahkan efek dari nutrien secara
tunggal, atau bahkan beberapa atau berkelompok, yang mengindikasikan mungkin ada efek
sinergistik dari banyak nutrien untuk menjaga kesehatan mata. Penting untuk diingat bahwa
pelaporan terkait efek berbahaya dari mengonsumsi diet tinggi mikronutrien masih jarang.
Meskipun data observasional terkesan mendukung, kebanyakan uji klinis yang mengevaluasi
efek vitamin C, E, karotenoid, dan multivitamin (atau kombinasi antioksidan) terhadap tipe-tipe
katarak secara spesifik, atau terhadap ekstraksi katarak, gagal untuk memastikan asosiasi kausal
dan manfaatnya. Data tentang katarak nuklear pada intervensi terkesan mendukung, sedangkan
potensial peningkatan risiko PSC harus diperhatikan karena katarak PSC menghalangi lapang
tengah pandang. Kurangnya efek multivitamin pada uji jangka pendek mengindikasikan bahwa
hanya konsumsi jangka panjang dari makanan-makanan atau suplementasi (seperti data AREDS
CentrumTM) dapat menyediakan manfaat secara klinis. Studi-studi jangka panjang perlu
dilakukan untuk mengklarifikasi jenis katarak mana yang paling dipengaruhi oleh nutrien, pola
diet, atau pengaruh lingkungan spesifik, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup lansia dan
menurunkan beban substansial dari katarak terhadap sarana kesehatan masyarakat.

***

17

Anda mungkin juga menyukai