PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penglihatan merupakan hadiah yang tidak ternilai yang diberikan oleh
Tuhan. Mata memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan. Saat ini,
terdapat banyak gangguan/penyakit pada mata. Setiap 5 detik ditemukan 1
orang didunia menderita kebutaan. Saat ini diperkirakan 180 juta orang
disleuruh dunia mengalami gangguan penglihatan, terdapat 0,78% kebutaan
akibat katarak yang tidak diterapi di Indonesia dan pada survey nasional 2014
di laporkan prevalensi katarak 1,8% dan kasus terbanyak ditemukan di South
East Asia, katarak merupakan kejadian terbanyak dibandingkan penyakit
galukoma (peningkatan tekanan pada mata), gangguan di kornea dan
gangguan/penyakit di segmen posterior bola mata.
Katarak adalah kekeruhan atau berkabutnya lensa mata yang bisa
mengaburkan pandangan. Jika hal ini terjadi, jalannya sinar akan berkurang
atau terhambat, sehingga lensa tidak dapat difokuskan. Serangan katarak tidak
menimbulkan nyeri atau bengkak, tetapi bisa mengakibatkan kehilangan
penglihatan yang progresif atau kebutaan total. Katarak adalah salah satu
masalah kesehatan gangguan penglihatan dan kebutaan yang dihadapi
masyarakat Indonesia. Angka Kebutaan di Indonesia akibat katarak mencapai
(50%). Meningkatnya usia harapan hidup, juga seiring dengan meningkatnya
prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan. Hal ini dikarenakan katarak
merupakan salah satu masalah kesehatan utama pada usia lanjut (KemenKes,
2012).
1
Beberapa penderita katarak kurang menyadari tentang gejala yang
dialami. Gejala yang dialami hanya seperti gangguan penglihatan yang ringan.
Kekeruhan tersebut terjadi karena adanya proses pengapuran pada lensa mata
sehingga lensa mata menjadi buram dan tidak elastis (Djing, 2006).
Pengapuran akan menyebabkan jalannya sinar yang masuk ke mata akan
berkurang atau terhambat, sehingga lensa tidak dapat fokus (Ali, 2003). Salah
satu penyebab terjadinya penyakit katarak yaitu inflamasi. Inflamasi adalah
sebuah respon yang ditimbulkan oleh tubuh yang ditimbulkan oleh infeksi
mikroba, agen fisik, zat kimia, jaringan nekrotik atau reaksi imun.
Di Asia Tenggara, Indonesia termasuk keempat negara dengan
prevalensi gangguan telinga tertinggi (4,6%). Tiga negara lainnya adalah Sri
Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang
tertinggi tetapi prevalensi 4,6% merupakan angka yang cukup tinggi untuk
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat, misalnya dalam hal
berkomunikasi. Dari hasil survei yang dilaksanakan di tujuh propinsi di
Indonesia menunjukkan bahwa otitis media merupakan penyebab utama
morbiditas pada telinga tengah (Samuel et al., 2013).
Otitis media merupakan keadaan dimana terjadinya peradangan pada
telinga tengah. Secara klinis, otitis media dapat diklasifikasikan menjadi otitis
media akut dan otitis media supuratif kronis (OMSK) (Shyamala et al., 2012).
OMSK adalah infeksi kronis pada telinga tengah yang disertai perforasi
membran timpani dan keluarnya sekret/ pus pada telinga (otore) selama 8
minggu (KMK RI 428, 2006).
Otitis media ialah pandangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, natrium mastoid, dan sel-sel mastoid. Banyak ahli
membuat pembagian dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis media
terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis media
serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media
efusi/OME). Masing-masng golongan mempunyi bentuk akut dan kronis,
yaitu otitis media supuratif akut (otitis media akut-OMA) dan otitis media
2
supuratif kronis (OMSK/OMP). Selain itu, juga terdapat jenis otitis media
spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis
media yang lain adalah otitis media adhesive (Soepardi, 2007).
Diketahui 85% anak mempunyai paling sedikit satu episode otitis
media akut pada umur 3 tahun. Bayi dan anak kecil beresiko paling tinggi
untuk otitis media, frekuensi inside adalah 15-20% dengan puncak terjadi dari
umur 6-36 bilan dan 4-6 tahun. Anak yang menderita otitis media pada umur
tahun pertama, sekitar 40% anak menderita efusi yang masih ada pada 3
bulan. Insiden penyakit cenderung menurun sebagai fungsi dari umur sesudah
umur 6 bulan.
Pendengaran yang sehat berawal dari telinga sehat. Pendengaran yang
sehat akan meningkatkan kualitas hidup dan produktifitas untuk mencapai
kebahagiaan. Oleh sebab itu kita perlu menjaga kesehatan pendengaran
dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat; menghindari pendengaran
dari kebisingan; serta melakukan pemeriksaan/deteksi dini adanya gangguan
pendengaran.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa pengertian katarak dan otitis media?
2. Bagaimana patofisiologi katarak dan otitis media?
3. Apa farmakologi yang bisa digunakan untuk katarak dan otitis media?
4. Bagaimana terapi diet yang bisa diterapkan untuk pencegahan dan
pengobatan katarak dan otitis media?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan katarak dan otitis
media?
6. Bagaiaman implikasi keperawatan dalam pemberian obat tetes mata dan
antiseptik telinga?
3
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah III, dan untuk memberikan informasi
kepada pembaca tentang Asuhan Keperawatan Sistem Persepsi Sensori
Katarak dan Otitis Media.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian katarak dan otitis media
b. Memahami patofisiologi katarak dan otitis media
c. Mengetahui farmakologi yang bisa digunakan untuk katarak dan otitis
media
d. Mengetahui terapi diet yang bisa diterapkan untuk pencegahan dan
pengobatan katarak dan otitis media
e. Memahamai asuhan keperawatan pada pasien dengan katarak dan
otitis media
f. Mengetahui implikasi keperawatan dalam pemberian obat tetes mata
dan antiseptik telinga
D. Manfaat
1. Untuk kepentingan pembaca
Memberikan ilmu pengetahuan pada pembaca untuk mengetahui
lebih lanjut tentang Asuhan Keperawatan Sistem Persepsi Sensori Katarak
dan Otitis Media.
2. Untuk kepentingan institusi
Sebagai bahan acuan dalam meningkatkan penulisan makalah bagi
Mahasiswa dan Mahasiswi.
3. Untuk kepentingan penulis
Menambah wawasan tentang Asuhan Keperawatan Sistem
Persepsi Sensori Katarak dan Otitis Media.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian katarak
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract, dan Latin
Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular
dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak
adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-
duanya. (Ilyas & Yulianti, 2017).
Menurut Iqfadhillah (2014), katarak adalah adalah salah satu
kerusakan pada mata yang ditandai dengan adanya kekeruhan pada lensa
mata. Variasi kekeruhan tergantung tingkat kerusakan akibat katarak.
biasanya berlangsung perlahan-lahan dan menyebabkan gangguan penglihatan
kabur bahkan berpotensi menyebabkan kebutaan jika kekeruhan pada lensa
terlalu tebal sehingga menghalangi jalan masuknya cahaya.
Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi
dapat juga akibat kelainan kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal
menahun. Bermacam-macam penyakit mata dapat mengakibatkan katarak
seperti glaukoma, ablasi, uveitis, retinitis pigmentosa bahan toksik khusus
(kimia dan fisik). Katarak dapat berhubungan proses penyakit intraokular
lainnya.
5
B. Klasifikasi katarak
Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu
(Ilyas & Yulianti, 2017) :
1. Katarak Kongenital
Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau
segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari satu tahun. Katarak
kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti
terutama akibat penanganannya yang kurang tepat.
Katarak kongenital digolongkan menjadi 2, yaitu :
a. Kapsulolentikular merupakan katarak dimana pada golongan ini
termasuk katarak kapsular dan katarak polaris.
b. Katarak lentikular termasuk dalam golongan ini katarak yang
mengenai konteks atau nukleus lensa saja.
2. Katarak Juvenil
Katarak juvenil merupakan katarak yang lembek dan terdapat pada
orang muda, yang mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan
lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit penyakit
sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya seperti :
a. Katarak metabolik
1) Katarak diabetik dan galaktosemik (gula)
2) Katarak hipokalsemik (tetanik)
3) Katarak defisiensi gizi
4) Katarak aminoasiduria (termasuk sindrom lowe dan
homosistinuria)
5) Katarak berhubungan dengan kelainan metabolik lain
b. Katarak traumatik
c. Katarak komplikata
3. Katarak Senilis
Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada
usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun. Penyebab katarak ini sampai
6
sekarang tidak diketahui secara pasti. Katarak senil secara klinik dikenal
dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur, hipermatur.
C. Etilogi katarak
Katarak juga dapat terjadi pada usia berapa saja setelah trauma lensa,
infeksi mata, atau pajanan terhadap radiasi atau obat tertentu. Janin yang
terpajan virus rubella dapat mengalami katarak. Individu yang mengalami
diabetes mellitus jangka panjang sering mengalami katarak, yang
kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan aliran darah ke mata dan
perubahan penangangan dan metabolisme glukosa (Corwin, 2009).
Menurut Mansjoer (2000), penyebab terjadinya katarak bermacam-
macam. Umumnya adalah usia lanjut (katarak senil), tetapi dapat terjadi
secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin, genetik, dan
gangguan perkembangan. Dapat juga terjadi karena traumatik, terapi
kortikosteroid metabolik, dan kelainan sistemik atau metabolik, seperti
diabetes mellitus, galaktosemia, dan distrofi miotonik. Rokok dan konsumsi
alkohol meningkatkan resiko katarak.
7
D. Manifestasi klinis katarak
1. Penglihatan tidak jelas atau kabur
2. Daya penglihatan kurang
3. Lensa mata berubah menjadi buram
4. Adanya selaput tipis pada mata
5. Mata lebih sensitif terhadap cahaya sehingga merasa sangat silau bila
berada di bawah cahaya yang terang
6. Mata tidak terasa sakit dan tidak berwarna merah
7. Sering berganti kacamata atau lensa konta karena keduanya sudah tidak
bias menanggulangi kelainan mata. (Hani’ah, 2009).
E. Patofisiologi katarak
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,
transparan, berbentuk seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan refraksi
yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral
terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya
adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nucleus
mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan.
Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan
posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak
8
yang paling bermakna, Nampak seperti kristal salju pada jendela. Perubahan
fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan
pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang dari badan silier ke
sekitar daerah diluar lensa, misalnya dapat menyebabkan penglihatan
mengalamui distorsi.
Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi,
sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke
retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi
disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu
enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah
enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada
kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun memiliki kecepatan yang
berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistemik, seperti
diabetes. Namun kebanyakan merupakan konsekuensi dari proses penuaan
yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik ketika seseorang
memasuki dekade ketujuh. Katarak dapat bersifat kongenital dan harus
diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan
ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering
berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B,
obatobatan, alkohol, merokok, diabetes, dan asupan vitamin antioksidan yang
kurang dalam jangka waktu lama (Smeltzer, 2002).
9
F. Farmakologi
Penanganan katarak tergantung pada tingkat keparahannya. Katarak
yang sudah parah hanya dapat ditangani melalui operasi katarak. Sementara
itu, jika katarak masih dalam tahap awal atau ringan, penyakit ini bisa
ditangani dengan penggunaan kacamata khusus untuk membantu penderita
katarak melihat lebih jelas. Selain penggunaan kacamata, ada beberapa jenis
obat katarak yang diklaim dapat membantu mengatasi keluhan katarak, yakni:
1. Lanosterol
Obat tetes mata lanosterol dipercaya ampuh sebagai obat katarak,
terutama pada katarak ringan. Obat ini bekerja dengan cara meluruhkan
gumpalan protein pada lensa mata. Hasil penelitian di laboratorium
10
menunjukkan bahwa lanosterol dapat digunakan sebagai obat katarak dan
memperbaiki lensa mata setelah 6 minggu digunakan. Akan tetapi,
efektivitas lanosterol sebagai obat katarak masih belum terbukti secara
klinis dan masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut oleh para
peneliti. Pasalnya, obat tersebut baru diuji coba pada hewan, sehingga
efeknya terhadap manusia belum bisa dipastikan.
2. N-acetylcarnosine (NAC)
Selain lanosterol, N-acetylcarnosine juga diklaim dapat
menyembuhkan katarak dan mencegah katarak semakin parah. Obat
katarak dalam bentuk obat tetes mata yang satu ini mengandung protein L-
carnosine sintetik yang memiliki sifat antioksidan. Salah satu faktor
penyebab terjadinya katarak adalah paparan radikal bebas dalam jangka
panjang di lensa mata. Oleh karena itu, obat katarak NAC dengan sifat
antioksidannya dipercaya dapat menghentikan proses penggumpalan
protein di lensa alami mata yang menyebabkan katarak. Seperti halnya
lanosterol, obat tetes mata N-acetylcarnosine ini juga belum terbukti
efektivitasnya secara klinis sebagai obat katarak.
3. Cyclopentolate dan atropine
Cyclopentolate adalah obat tetes mata yang sering digunakan
sebelum pasien melakukan pemeriksaan mata, sedangkan obat tetes mata
atropin sering digunakan sebagai obat tetes mata bagi penderita mata
malas. Kedua obat ini punya cara kerja yang sama, yaitu melebarkan pupil
mata dan melemaskan otot-otot mata untuk sementara waktu.
Cyclopentolate dan atropin juga bisa diresepkan pada penderita katarak,
terutama pada pasien yang baru saja menjalani operasi katarak. Obat ini
berguna untuk mengurangi rasa nyeri dan pembengkakan pada mata
setelah operasi katarak.
11
4. Obat herbal
Beberapa studi menunjukkan bahwa produk herbal tertentu yang
kaya antioksidan, seperti ekstrak bilberry, lidah buaya, lemon, meniran
hijau, dan kunyit, dapat membantu mencegah perburukan penyakit katarak
berkembang menjadi lebih berat. Sayangnya, efektivitas obat-obatan
herbal sebagai obat katarak secara klinis masih diragukan. Hal ini lantaran
data terkait efektivitas dan keamanan obat herba sebagai obat katarak
masih sangat minim dan perlu diteliti lebih lanjut.
12
b. Bawang putih
Makan bawang putih mentah-mentah akan membantu mengurangi
derita katarak. Hal ini karena bawang putih mengandung bahan
antioksidan, antibiotik dan sangat baik dalam menyembuhkan
penyakit. Cukup makan 2-3 siung bawang putih setiap hari.
c. Jus labu
Jus labu bisa dijadikan obat katarak, kandungannya yang kaya akan
vitamin A sangat baik untuk mata
d. Bayam
Bayam sangat baik untuk mata. Karena bayam banyak mengandung
karotenoid sehingga dapat membantu penyembuhan penyakit katarak.
13
I. Pengertian otitis media
Otitis media adalah infeksi pada telinga yang menyebabkan
peradangan (kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di
belakang gendang telinga. Otitis media akut biasanya merupakan komplikasi
dari disfungsi tuba Eustachian yang terjadi selama infeksi saluran pernafasan
atas. Virus streptococcus penumoniae, haemophilus influenza, dan Moraxella
catarrhalis adalah organisasi yang paling umum di isolasi dari cairan telinga
bagian tenagh (Rudi Haryono, 2019).
Otitis media merupakan keadaan dimana terjadinya peradangan pada
telinga tengah. Secara klinis, otitis media dapat diklasifikasikan menjadi otitis
media akut dan otitis media supuratif kronis (OMSK) (Shyamala et al., 2012).
OMSK adalah infeksi kronis pada telinga tengah yang disertai perforasi
membran timpani dan keluarnya sekret/ pus pada telinga (otore) selama 8
minggu (KMK RI 428, 2006). Sedangkan Monasta (2012) mengatakan bahwa
OMSK terjadi jika infeksi berlangsung selama 6 minggu dan sering disertai
kolesteatom (Monasta et al, 2012).
Otitis media serosa / efusi adalah keadaan terdapatnya cairan di dalam
telinga tengah tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif. Secara teori, cairan
ini sebagai akibat tekanan negative dalam telinga tengah yang disebabkan
oleh obstruksi tuba eustachii. Pada penyakit ini, tidak ada agen penyebab
definitif yang telah diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi lebih
banyak terdapat pada anak yang telah sembuh dari otitis media akut dan
biasanya dikenal dengan “glue ear”. Bila terjadi pada orang dewasa,
penyebab lain yang mendasari terjadinya disfungsi tuba eustachii harus dicari.
Efusi telinga tengah sering terlihat pada pasien setelah mengalami radioterapi
dan barotrauma (eg : penyelam ) dan pada pasien dengan disfungsi tuba
eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas yang terjadi
14
Otitis media kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan
patologi jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang
otitis media akut yang tak tertangani. Sering berhubungan dengan perforasi
menetap membrane timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya
mengakibatkan kerusakan membrane timpani tetapi juga dapat
menghancurkan osikulus dan hampir selalu melibatkan mastoid.
15
K. Patofisiologi
Otitis media awalnya dimulai sebagai proses peradangan setelah
infeksi saluran pernafasan atas virus yang melibatkan mukosa hidung,
nasofaring, dan tuba eusthacia. Ruang anatomi yang sempit membuat edema
yang disebabkan oleh proses inflamasi menghalangi bagian eustachia dan
mengakibatkan penurunan ventilasi. Hal ini menyebabkan kaskade kejadian
seperti peningkatan tekanan negatif di telinga tengah dan penumpukan sekresi
mukosa yang meningkatkan kolonisasi organisme bakteri dan virus di telinga
tengah. Pertumbuhan mikroba di telinga tengah ini kemudian membentuk
nanah yang di tunjukan sebagai tanda-tanda klinis Otitis Media Akut (OMA).
(Danishyar & Ashurst, 2017.
16
L. Manifestasi klinis
17
Sedangkan mneurut Smeltzer & Bare, 2001: 2051, manifestasi klinis
otitis media adalah:
1. nyeri telinga (otalgia)
2. keluarnya cairan dari telinga
3. demam
4. kehilangan pendengaran
5. tinitus
6. membran timpani tampak merah dan menggelembung
18
Kolesteatoma dapat juga tidak terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi.
Hasil audiometric pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan
pendengaran konduktif atau campuran.
19
turun dan anak dapat tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis
media akut stadium perforasi.
5. Stadium Resolusi
Dimana membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran
timpani perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi,
maka sekret akan berurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh
baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun
tanpa pengobatan. Otitis Media Akut berubah menjadi OMSK (Otitis
Media Supuratif Kronik) bila perforasi meningkat dengan sekret yang
keluar terusmenerus atau hilang timbul. Otitis Media Akut dapat
menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret
menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.
20
media tuberkulosis biasanya menyebabkan banyak perforasi kecil. Rantai
osikula juga terkena oleh nekrosis. Paling lazim prosesus longus inkus
nekrosis, mengakibatkan osikula tidak konsisten. Perforasi membran
timpani (MT) menetap dan nekrosis osikula, Keduanya menyebabkan
kehilangan pendengaran kondusif yang memerlukan koreksi bedah dengan
timpanoplasti.
3. Kolesteatoma
Pada proses penyembuhan perforasi, epitel skuamosa, dapat
tumbuh kedalam telinga tengah, membentuk struktur seperti kantong yang
mengumpulkan debris epitel yang lepas. Kista ini di sebut "kolesteatoma".
4. Paralisis saraf kranial
Paralisis n. fasialis dapat terjadi pada otitis media supuratif akut.
Sekitar sepertiga penderita mempunyai tulang yang tidak sempurna yang
menutupi n. fasialis dalam teinga tengah. Paralisis dapat parsial atau total.
Penyembuhan biasanya total jika digunakan terapi antibiotik dan
dilakukan 13 miringotomi. Pemasangan PET memberikan jalan secara
langsung bagi antibiotik untuk diteteskan pada daerah yang meradang.
5. Labirinitis
Selama otitis media akut, respon radang yang di sebut "labirinitis
serosa" dapat terjadi. Biasanya ada vertigo ringan tetapi bukan kehilangan
pendengaran. Namun jika bakteri menginvasi labirin melalui fenestra
ovalis ratundum, terjadi labirinitis supuratif akutyang menyebabkan
vertigo berat, nistagmus dan kehilangan pendengaran sensorineural berat.
Mungkin perlu dilakukan drainase bedah terhadap labirin untuk
menghindari infeksi intrakranium.
6. Mastoiditis
Keterlibatan mastoid dengan radang dan eksudat purulen selalu
ada selama otitis media akut, seperti ditunjukkan oleh keopakan sistem sel
udara (mastoiditis) rontgenografi. mastoiditis supuratif akut
menggambarkan osteomielitis mastoid koalesen akut, sekat-sekat sel udara
21
mengalami nekrosis dan sistem sel udara menjadi konfluen. Hal ini
disertai dengan nyeri berat dibelakang telinga, pembengkakan dan radang
pada mastoid, dan perpindahan aurikula ke depan dan lateral kepala. Pada
pemeriksaan otoskop, dinding posterosuperior saluran telinga tampak
melengkung. Kadang-kadang, ujung mastoid karena infeksi dan nanah
meluap ke dalam bidang leher yang terletak di sebelah anterior m.
sternokleidomastoideus (abses bezold).
7. Meningitis
Komplikasi intrakranium otitis media akut yang paling lazim
adalah meningitis. Komplikasi ini paling sering terjadi bila diagnosis dan
terapi terlambat.
8. Hidrosefalus Otitis
Komplikasi intrakranium lain adalah serebritis, abses epidural,
abses otak, dan trombosis sinus lateralis. Hidrosefalus otitis terjadi bila
ada trombosis sinus petrosus.
O. Pemeriksaan penunjang
1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak
dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui
organisme penyebab.
22
drainase cairan). Anak-anak dengan otitis media kambuhan yang
mengalami kekambuhan 3 kali dalam enam bulan, atau lebih dari empat
kali dalam 1 tahun, dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi ini.
2. Terapi farmakologi
a. Delayed Antimicrobial Therapy
Pada anak-anak, virus otitis media dapat disembuhkan tanpa
antibiotik. Anak-anak dengan bakteri otitis media membutuhkan
antimikroba. Dengan atau tanpa penanganan, sekitar 60%anak-anak
dengan otitis media akut menjadi bebas dari gejala dalam 24 jam.
Antibotik digunakan untuk mengurangi durasi gejala (termasuk nyeri
dan tangisan) sekitar 1 hari. Delayed therapy menurunkan kegunaan
antibiotik sekitar 30%, menurunkan efek samping, dan meminimalkan
resistensi bakteri.
Pasien yang dipilih untuk delayed therapy adalah anak-anak
umur 6 bulan sampai 2 tahun, jika gejala yang timbul tidak parah.
Anak-anak dalam rentang umur tersebut dengan gejala yang parah,
dan dengan umur kurang dari 6 bulan, harus menerima terapi
antibiotik. Delayed therapy tidak dianjurkan untuk anak-anak yang
mempunyai gejala yang parah, jika dilakukan delayed therapy,
dilakukan pengobatan nyeri, seperti pengobatan dengan ibuprofen atau
asetaminofen sangat diajurkan. Jika kondisi memburuk dalam 48
sampai 72 jam, antibiotik harus digunakan. Pengobatan dengan
antibiotik harus segera dilakukan jika terjadi peningkatan gejala secara
tiba-tiba, dan pemcegahan mastoiditis dan meningitis.
b. Antimicrobial therapy
Otitis media akut berbeda dengan otitis media dengan efusi.
Antimikroba di indikasikan hanya pada mula-mula tanpa adanya efusi
lebih dari 3 bulan pada otitis media dengan efusi. Efusi telinga bagian
tengah berlanjut setelah terapi antimikroba selesai, tetapi tidak
membutuhkan penanganan kembali. Amoxicillin dosis tinggi (80-90
23
mg/kg per hari) dianjurkan, penggunaan amoxicillin tersebut
mempunyai risiko infeksi pneumococcal resisten penisilin.
Amoxicillin mempunyai profil farmakodinamik yang paling baik
(waktu MC pada cairan telinga lebih dari 40% interval dosis) yang
dapat melawan drug –resistant S. Penumoniae. Amoxicillin
mempunyai sejarah aman yang lama, memiliki spektrum dekat, dan
tidak mahal. Konsentrasi amoxicillin yang lebih tinggi pada cairan
telinga tengah akibat dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan drug-
resistant dari S. Penumoniae meskipun dengan peningkatan MC. Pada
pasien dengan tingkat keparahan sedang (otalgia parah dan
temperature >39o C (102,2o F)), dianjurkan pengobatan dengan
amoxicillin-klavulanat.
24
BAB III
PEMBAHASAN
25
3) Intervensi keperawatan
26
lingkungan
sekitar pasien
untuk manfaat
terapeutik.
Mengumpulkan
dan menganalisis
data pasien untuk
mencegah atau
meminimalkan
komplikasi
neurologis.
2. Resiko Cedera Setelah dilakukan Manajemen
b/d Disfungsi tindakan selama … x Lingkungan :
Sensori … jam diharapkan Sediakan
Penglihatan resiko cedera dapat lingkungan yang
dicegah, dengan aman untuk
kriteria hasil: pasien.
Klien terbebas dari Identifikasi
Cedera. kebutuhan
Klien mampu keamanan pasien,
mengatasi faktor sesuai dengan
resiko dari kondisi fisik dan
lingkungan / fungsi kognitif
perilaku personal. pasien.
Mampu Menghindarkan
memodifikasi gaya lingkungan yang
hidup untuk berbahaya /
mencegah Injury. memindahkan
Menggunakan perabotan yg
fasilitas kesehatan
27
yang ada berbahaya
Mampu mengenali Menyediakan
perubahan status tempat tidut yang
kesehatan nyaman dan
bersih.
4) Implementasi keperawatan
Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) implementasi
keperawatan disesuaikan dengan intervensi yang telah ditetapkan serta
keadaan umum klien.
5) Evaluasi keperawatan
Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010, h.182) evalulasi
juga disesuaikan dengan tujuan yang telah ditetapkan, dengan metode
SOAP. Evaluasi digunakan untuk mengetahui seberapa tujuan yang
ditetapkan telah tercapai dan apakah intervensi yang dilakukan efektif
untuk pasien.
28
1. Pengkajian keperawatan
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua teling
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga
sebelumnya, alergi
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pengobatan
c. Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
3. Intervensi keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan:
Nyeri berkurang atau hilang
29
Intervensi:
1) Beri posisi nyaman : dengan posisi nyaman dapat mengurangi
nyeri
2) Kompres panas di telinga bagian luar: untuk mengurangi nyeri
3) Kompres dingin: untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
4) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotic
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pengobatan
Tujuan:
Tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
1) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo; untuk
mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
2) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga; untuk mengurangi
pertumbuhan mikroorganisme.
3) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi);
untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke
telinga tengah.
4) Kolaborasi pemberian antibiotik.
c. Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan:
Tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
1) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan;
meminimalkan anak agar tidak jatuh
2) Pasang restraint pada sisi tempat tidur; meminimalkan agar anak
tidak jatuh.
3) Jaga anak saat beraktivitas; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
4) Tempatkan perabot teratur; meminimalkan agar anak tidak terluka.
30
C. Implikasi keperawatan dalam pemberian obat
Topikal adalah obat yang cara pemberiannya bersifat lokal, misalnya
tetes mata, salep, tetes telinga dan lain-lain.
1. Tetes mata
Pemberian obat pada mata dilakukan dengan cara meneteskan obat
mata atau mengoleskan salep mata. Obat yang biasa digunakan oleh klien
ialah tetes mata dan salep, meliputi preparat yang biasa dibeli bebas,
misalnya air mata buatan dan vasokonstrikstor. Obat mata diberikan
adalah untuk: mendilatasi pupil, pemeriksaan struktur internal mata,
melemahkan otot lensa, pengukuran refraksi lensa, menghilangkan iritasi
lokal, mengobati gangguan mata, meminyaki kornea dan konjungtiva.
a. Prosedur pemberian obat mata
Persiapan Peralatan
1) Botol obat dengan penetes steril atau salep dalam tube
2) Kartu atau formulir obat
3) Bola kapas atau tisu
4) Baskom cuci dengan air hangat
5) Penutup mata (bila diperlukan)
6) Sarung tangan
Persiapan Pasien
Langkah-Langkah
31
3) Periksa identitas pasien dengan benar atau tanyakan nama pasien
langsung
4) Jelaskan prosedur pemberian obat
5) Minta pasien untuk berbaring terlentang dengan leher agak
hiperekstensi (mendongak)
6) Bila terdapat belek (tahi mata) di sepanjang kelopak mata atau
kantung dalam, basuh dengan perlahan. Basahi semua belek yang
telah mengering dan sulit di buang dengan memakai lap basah atau
bola kapas mata selama beberapa menit. Selalu membersihkan dari
bagian dalam ke luar kantus
7) Pegang bola kapas atau tisu bersih pada tangan non dominan di
atas tulang pipi pasien tepat di bawah kelopak mata bawah
8) Dengan tisu atau kapas di bawah kelopak mata bawah, perlahan
tekan bagian bawah dengan ibu jari atau jari telunjuk di atas tulang
orbita
9) Minta pasien untuk melihat pada langit-langit
10) Teteskan obat tetes mata, dengan cara:
a) Dengan tangan dominan bersandar di dahi pasien, pegang
penetes mata atau larutan mata sekitar 1 sampai 2 cm di atas
sakus konjungtiva
b) Teteskan sejumlah obat yang diresepkan ke dalam sakus
konjungtiva.
c) Bila pasien berkedip atau menutup mata atau bila tetesan jatuh
ke pinggiran luar kelopa mata, ulangi prosedur ini.
d) Setelah meneteskan obat tetes, minta pasien untuk menutup
mata dengan perlahan.
e) Bila memberikan obat yang menyebabkan efek sistemik,
lindungi jari Anda dengan sarung tangan atau tisu bersih dan
berikan tekanan lembut pada duktus nasolakrimalis pasien
selama 30 – 60 detik
32
11) Memasukkan salep mata, dengan cara:
a) Minta pasien untuk melihat ke langit langit
b) Dengan aplikator salep di atas pinggir kelopak mata, tekan tube
sehingga memberikan aliran tipis sepanjang tepi dalam kelopak
mata bawah pada konjungtiva
c) Berikan aliran tipis sepanjang kelopak mata atas pada
konjungtiva dalam.
d) Biar pasien memejamkan mata secara perlahan dengan gerakan
sirkular menggunakan bola kapas.
12) Bila terdapat kelebihan obat pada kelopak mata, usap dengan
perlahan dari bagian dalam ke luar
13) Bila pasien mempunyai penutup mata, pasang penutup mata yang
bersih di atas mata yang sakit sehingga seluruh mata terlindungi.
Plester dengan aman tanpa memberikan tekanan pada mata
14) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan dan buang peralatan yang
sudah dipakai
15) Catat obat, konsentrasi, jumlah tetesan, waktu pemberian, dan
mata yang menerima obat (kiri, kanan atau keduanya).
33
2. Tetes telinga
Cara memberikan obat pada telinga dengan tetes atau salep. Obat
tetes telinga ini pada umumnya diberikan pada gangguan infeksi telinga
khususnya pada telinga tengah (otitis media), dapat berupa obat antibiotik.
a. Tujuan pemberian tetes telinga
1) Mengurangi nyeri pada otitis media
2) Melunakan serumen
b. Prosedur pemberian obat tetes telinga
Tahap persiapan:
1) Lihat catatan medik/ status klien
2) Mencuci tangan
3) Menyiapkan alat :
a) Botol obat
b) Lidi kapas
c) Tissue
d) Bola Kapas
e) Sarung tangan bersih bila perlu
f) Bak instrument
g) Nierbekken
h) Perlak dan handuk kecil
i) Pen light
Tahap tindakan:
34
7) Kaji kondisi telinga klien
8) Atur posisi kepala klien miring dengan telinga yang akan
diobati berada di atas
9) Bila terdapat serumen atau drainase, bersihkan dengan lidi
kapas. Hati-hati jangan sampai serumen terdorong.
10) Luruskan saluran telinga dengan menarik daun telinga
kebawah dan ke belakang pada anak-anak atau ke atas dan
keluar untuk dewasa
11) Teteskan obat yang diresepkan, pasang alat tetes 1 cm diatas
saluran telinga
12) Minta klien untuk tetap miring selama 2-3 menit. Beri pijatan
atau tekanan lembut pada tragus telinga dengan menggunakan
jari tangan.
13) Tutupi saluran telinga dengan bola kapas tetapi jangan ditekan
(bila dokter menganjurkan). Biarkan selama 15 menit.
14) Buka sarung tangan dan buang ke nierbekken.
15) Bereskan semua peralatan
35
Tahap evaluasi
36
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Katarak adalah kekeruhan atau berkabutnya lensa mata yang bisa
mengaburkan pandangan. Jika hal ini terjadi, jalannya sinar akan berkurang
atau terhambat, sehingga lensa tidak dapat difokuskan. Serangan katarak tidak
menimbulkan nyeri atau bengkak, tetapi bisa mengakibatkan kehilangan
penglihatan yang progresif atau kebutaan total.
Menurut Mansjoer (2000), penyebab terjadinya katarak bermacam-
macam. Umumnya adalah usia lanjut (katarak senil), tetapi dapat terjadi
secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin, genetik, dan
gangguan perkembangan. Otitis media merupakan keadaan dimana terjadinya
peradangan pada telinga tengah. Secara klinis, otitis media dapat
diklasifikasikan menjadi otitis media akut dan otitis media supuratif kronis
(OMSK) (Shyamala et al., 2012).
B. Saran
Pendengaran dan penglihatan yang sehat berawal dari telinga dan mata
sehat. Pendengaran dan penglihatan yang sehat akan meningkatkan kualitas
hidup dan produktifitas untuk mencapai kebahagiaan. Oleh sebab itu kita
perlu menjaga kesehatan pendengaran dan penglihatan dengan menerapkan
pola hidup bersih dan sehat; menghindari pendengaran dari kebisingan; serta
melakukan pemeriksaan/deteksi dini adanya gangguan pendengaran dan
penglihatan.
37
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.com/search?
q=otitis+media+serosa&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwin6K
naqsHzAhUTVysKHRAdDmIQ_AUoAXoECAEQAw&biw=1366&bih=657
&dpr=1#imgrc=rozqT_fJviEMKM
https://dokumen.tips/documents/sop-tetes-telinga.html
senilis. Alfinzone@gmail,com
https://core.ac.uk/download/pdf/144235899.pdf
http://scholar.unand.ac.id/3705/2/BAB%201.pdf
https://www.alomedika.com/penyakit/telinga-hidung-tenggorokan/otitis-media
http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/assets/file/kti/1401100106/BAB_2.pdf
https://id.scribd.com/doc/118722207/Makalah-Katarak-Kel-9
38
39