Anda di halaman 1dari 57

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indera penglihatan merupakan panca indra yang sangat penting dan besar

pengaruhnya terhadap proses peningkatan sumber kinerja manusia. Hal ini erat kaitannya

dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta kualitas hidup, meningkatkan

kesejahteraan keluarga dan masyarakat serta untuk mempertinggi kesadaran

masyarakatakan pentingnya hidup sehat (pinto, 1998).

Katarak merupakan keadaan penurunan penglihatan akibat terjadi kekeruhan pada

lensa mata. Jika lensa menjadi keruh, maka penglihatan juga menjadi kabur (Mitha, 2010).

Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut sekitar usia diatas 50 tahun, atau

disebut juga katarak.Berikut beberapa faktor penyebab atau etiologi pada katarak

yaitu :Umur, Trauma Mata, Diabetes Militus, Hipertensi, Genetika, Merokok, Alkohol,

Radiasi Ultraviolet (Ilyas. 2014).

Katarak merupakan suatu penyakit yang multifaktorial.Banyak faktor risiko

dilaporkan berhubungan dengan kejadian katarak, di mana faktor umur merupakan faktor

utama; faktor lainnya adalah diabetes mellitus, pajanan kronis terhadap sinar ultra violet

(sinar matahari), konsumsi alkohol, merokok, derajat sosial eltonomi, status pendidiltan,

dan konsumsi multivitamin.

Penurunan tajam penglihatan secara perlahan (progresif).Penurunan tajam

penglihatan akibat katarak senilis memiliki beberapa ciri khas yaitu tidak nyeri dan
2

menurun secara perlahan dan progresif. Pasien dengan kekeruhan lensa yang terletak

dibagian sentral akan mengalami penuirunan tajam penglihatan yang lebih cepat

dibandingkan dengan pasien yang mengalami kekeruhan lensa dibagian perifeer, selain itu

pada pasien dengan kekeruhan lensa dibagian perifer akan merasa penglihatannya lebih

baik saat cahaya terang dimana pupil akan berkontraksi. Semakin keruh lensa maka tajam

penglihastan akan samakin berkuirang hingga sampai kepada persepsi cahaya dan proyeksi

sinar yang akurat.

Penglihatan yang baik dihasilkan dari kombinasi jaras visual neurologik yang utuh,

mata yang sehat secara struktural, serta mata yang dapat memfokuskan penglihatan dengan

tepat. Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata untuk menilai

kekuatan resolusi mata, dan perlu dilakukan karena tajam penglihatan dapat berubah-ubah

sesuai dengan proses penyakit yang sedang berjalan. Secara garis besar, terdapat tiga

penyebab utama berkurangnya tajam penglihatan yaitu kelainan refraksi, kelainan media

refrakta, dan kelainan saraf.

Berdasarkan stadium katarak senilis dibedakan menjadi matur, imatur, insipien, dan

hipermatur. Dimana untuk imatur kekeruhan lensa sebagian, cairan lensa bertambah, iris

terdorong bilik depan mata dangkal, sudut mata sempit,shadow test positif, dan tajam

penglihatan ( visus ) 0,4 – 0,5. Sedangkan untuk matur kekeruhan mata menyeluruh, cairan

lensa normal, iris normal, bilikk depan normal, sudut mata normal, shadow test negatif, dan

untuk tajam penglihatan ( visus ) 0,02 – 0,1.


3

Penduduk dunia yang mengalami gangguan penglihatan pada tahun 2010 yaitu

berjumlah 285 juta orang, dengan rincian orang yang menderita kebutaan sebanyak 39 juta

dan orang yang mengalami low vision sebanyak 246 juta. Adapun 65% orang dengan

gangguan penglihatan dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau

lebih.Penyebab kebutaan paling utama adalah katarak dengan presentase 51 % dari seluruh

kebutaan yang ada di dunia (WHO, 2012).

Prevalensi katarak di Indonesia pada tahun 2013 yaitu berjumlah 1,8 %. Sementara

itu prevalensi katarak di Provinsi Provinsi lampung adalah 1,5. Global Data on Visual

Impairment:2010 mengatakan bahwa 33% dari kasus gangguan penglihatan dan 51% dari

kasus kebutaan dunia diakibatkan penyakit katarak (Pascolini, D.dan Mariotti, S.

2011).Penyakit katarak juga merupakan penyebab gangguan penglihatan dan kebutaan

tertinggi di dunia (43%) setelah gangguan refraktif seperti miopia, hiperopia dan

astigmatisme (33%) (Laser Eye Surgery Hub, 2018). Penyakit katarak merupakan kasus

umum penderita diabetes karena kondisi hiperglikemia mengakibatkan akumulasi Kristal

sorbital yang menutupi permukaan lensa mata (Ilyas, 1998).

Diabetes mellitus terbukti memegang peranan yang cukup besar dalam

pembentukan katarak (Kim, 2006).Rentang waktu menderita diabetes mellitus sangat

berpengaruh terhadap angka kejadian katarak.Telahditemukan pula dimana pembentukan

katarak supkapsular posterior dan kortikal memang memiliki hubungan dengan kejadian

diabetes mellitus (Pollreiz, 2010).


4

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat

pankreas tidak cukup memproduksi insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin

yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar

gula darah, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi glukosa didalam darah (hiperglikemia)

(Kemenkes RI, 2014).

Etiologi diabetes mellitus, America Diabetes Acotiation, 2008 yaitu terbagi menjadi

Dm tipe 1 dan Dm tipe 2. Dm tipe 1 :Riwayat keluargaDM, Kelainan pada pankreas yang

dapat berujung pada kerusakan pancreas, Infeksi atau penyakit pada pankreas yang dapat

menyebabkan kerusakan selpankreas. Sedangkan Dm tipe 2 yaitu : Kelebihan berat badan

baik overweight maupun obesitas, Terjadinya resistensiinsulin, Hipertensi, Rendahnya

kadar high density lipoprotein (HDL) dan tingginya kadartrigliserida, Pola hidup yang tidak

sehat, konsumsi makanan tinggi lemak berlebihan dan kurangnyaolahraga.

Faktor resiko terjadinya katarak antara lain dapat diubah dan tidak dapat diubah.

Yang dapa diubah Gaya hidup, Obesitas, Tekanan darah tinggi, sedangkan yang tidak dapta

diubah yaitu Usia, Riwayat keluarga, Ras atau latar belakang etnis, Riwayat diabetes pada

kehamilan.

Berdasarkan hasil penelitian Hidayah dan dr. Yunani setyandriana, sp. M di RS

PKU Yogyakarta Unit 1 terdapat 28 pasien (93%) pada katarak NDM dan 24 pasien

(80% )pada katarak dengan DM mencapai hasil tajam penglihatan yang baik. 6 pasien

(20%) dengan DM dan 2 pasien (7%) pada katarak NDM masih memeiliki nilai tajam

penglihatan yang buruk, hasil tersebut menjukan ada perbedaan yang signifikan terhadap

nilai tajam penglihatan. Ada pun hasil penelitian Subekti dan Martinngsih di RSUD
5

BENDAN Kota Pekalongan hasil analisi variable Diabetes Melitus dengan letak kekeruhan

katarak lensa menujukan bahwa dari 85 sampel, katarak kortikal pada pasien Diabetes

Melitus meliliki nilai OR=0,697; p=0,440 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna

dengan pasien bukan Diabetes Melitus, katarak nuclear pada pasien Diabetes Melitus

memiliki nilai OR= 0,721; p=0,438 yang berarti tidak memiliki perbedaan bermakna

dngan pasien bukan Diabetes Melitus, sedangkan untuk katark subcapsular posterior pada

pasien Diabetes Melitus memiliki nilai OR= 5,294; p=0,026 yang menunjukan ada

perbedaan yang bermakna dengan pasien Diabetes Melitus.

Ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur hasil operasi katarak, yaitu

menggunakan indicator klinis seperti tajam penglihatan, atau menggunakan laporan pasien

mengenai kualitas hidupsetelah operasi. Standar internasional tajam penglihatan pasca

operasi menurut WHO, yaitu tajam penglihatan baik (6/6 sampai 6/18) sebanyak lebih dari

sama dengan 85%, tajam penglihatan sedang (6/18 sampai 6/60) sebanyak 5%-15%, dan

tajam penglihatan buruk (kurang dari 6/60) adalah kurang dari 5% (Pararajasegaram, 2002;

Rahayu, 2004).

Berdasarkan faktor yang didapat, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang

Perbandingan Stadium Kekeruhan Lensa PraOperasi dan Visual Outcome Pasca Operasi

antara Pasien Katarak dengan Diabetes Mellitus dan Pasien Katarak tanpa Diabetes

Mellitus di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin tahun 2018 – 2019.


6

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diperoleh rumusan

masalah sebagai berikut :“ Apakah ada perbandingan antara pasien katarak dengan

diabetes mellitus dan pasien katarak tanpa diabetes melius di Rumah Sakit Pertamina

Bintang Amin Bandar Lampung?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan stadium

kekeruhan lensa praoperasi dan visual otcome pasca operasi antara pasien

katarak dengan diabetes mellitus dan pasien katarak senilis tanpa diabetes

melitus diRumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung 2018.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mangetahui distribusi frekuensi Stadium Kekeruhan terbanyak yang

terdapat pada katarak senilis dengan diabetes mellitus dan katarak

senilis tanpa diabetes mellitus di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin

Bandar Lampung.

2. Mangetahui distribusi frekuensi visual outcome terbanyak yang terdapat

pada katarak senilis dengan diabetes mellitus dan katarak senilis tanpa

diabetes mellitus di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar

Lampung

3. Mengetahui Perbandingan kekeruhan lensa pada pasien katarak dengan

diabetes mellitus dan pasien katarak tanpa diabetes mellitus di Rumah

Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.


7

4. Mengetahui Perbandingan visual outcome pada pasien katarak senilis

dengan diabetes mellitus dan katarak senilis tanpa diabetes melitus di

Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Institusi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak Rumah

Sakit Pertamina Bintang Amin, khususnya dalam mengambil kebijakan di

Poliklinik Mata mengenai katarak, sehingga dapat melakukan pengendalian

dan penatalaksanaan katarak.

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk

menambah pengetahuan bagi mahasiswa kedokteran Universitas Malahayati

tentang penelitian katarak dengan diabetes mellitus dan katarak tanpa diabetes

mellitus, khususnya untuk mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.

1.4.3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi yang memperkaya

pengetahuan peneliti tentang hal-hal yang berhubungan dengan katarak dan

diabetes mellitus.

1.4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan referensi bagi peneliti

selanjutnya yang ingin melakukan penelitian hubungan katarak dengan diabetes

mellitus.
8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross-

sectional.

1.5.2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Januari samapai selesai.

1.5.3. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin

Bandar Lampung.

1.5.4. Objek Penelitian

Perbandingan stadium kekeruhan lensa praoperasi dan visual outcome pasca

operasi antara pasien katarak dengan diabetes mellitus dan pasien katarak tanpa

diabetes mellitus di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung.

1.5.5. Subjek Penelitian

Pasien katarak dengan diabetes mellitus dan pasien katarak tanpa diabetes

melitusdi Rumah Sakit Pertamina Bintang AminBandar Lampung.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak Senilis

2.1.1 Definisi

Katarak berasal dari bahasa Yunani “Katarrhakies” yang berarti air terjun.

Dalam bahasa Indonesia, katarak disebut sebagai bular dimana penglihatan seperti

tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak umumnya merupakan penyakit

pada usia lanjut sekitar usia diatas 50 tahun, atau disebut juga katarak senil (Ilyas,

2010).

Katarak adalah kekeruhan pada lensa mata yang menyebabkan gangguan

penglihatan.Katarak ditandai dengan adanya lensa mata yang berangsur-angsur

menjadi buram yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan total. Penyakit

katarak terutama disebabkan oleh proses degenerasi yang berkaitan dengan usia.

Katarak kini masih menjadi penyakit paling dominan pada mata dan merupakan

penyebab utama dari kebutaan di seluruh dunia. Paling sedikit 50% dari semua

kebutaan disebabkan oleh katarak, dan 90% diantaranya terdapat di negara

berkembang tidak terkecuali di Indonesia (Tana.L, 2007).


10

2.1.2 Tipe Katarak Senilis

1) Katarak nuclear

Dalam tingkatan tertentu sklerosis dan penguningan nuklear

dianggap normal setelah usia pertengahan. Pada umumnya, kondisi ini

hanya sedikit mengganggu fungsi penglihatan.Jumlah sklerosis dan

penguningan yang berlebihan disebut katarak nuklear, yang menyebabkan

opasitas sentral. Tingkat sklerosis, penguningan dan opasifikasi dinilai

dengan menggunakan biomikroskop slit-lamp dan pemeriksaan reflex merah

dengan pupil dilatasi.

Katarak nuklear cenderung berkembang dengan lambat.Sebagian

besar katarak nuklear adalah bilateral, tetapi bisa asimetrik.Cirri khas dari

katarak nuklear adalah membaiknya penglihatan dekat tanpa kacamata,

keadaan inilah yang disebut sebagai “penglihatan kedua”. Ini merupakan

akibat meningkatnya kekuatan focus lensa bagian sentral, menyebabkan

refraksi bergeser ke myopia (penglihatan dekat). Kadang-kadang, perubahan

mendadak indeks refraksi antara nukleus sklerotik dan korteks lensa dapat

menyebabkan monocular diplopia.Penguningan lensa yang progresif

menyebabkan diskriminasi warna yang buruk.Pada kasus yang sudah lanjut,

nukleusnlensa menjadi opak dan coklat dan disebut katarak nuklear

brunescent.Secara histopatologi, karakteristik katarak nuklearis adalah

homogenitas nukleus lensa dengan hilangnya lapisan tipis seluler.


11

2) Katarak kortikal

Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa.Ini adalah jenis

katarak yang paling sering terjadi.Lapisan korteks lensa tidak sepadat pada

bagian nukleus sehingga lebih mudah terjadi overhidrasi akibat

ketidakseimbangan elektrolit yang mengganggu serabut korteks lensa

sehingga terbentuk osifikasi kortikal, yang ditunjukkan pada diabetes dan

galaktosemia (Fong, 2008).Perubahan hidrasi serat lensa menyebabkan

terbentuknya celahcelah dalam pola radial disekeliling daerah

ekuator.Katarak ini cenderung bilateral, tetapi sering asimetrik. Derajat

gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa dekat

kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan (Harper et al,2010). Gejala yang

sering ditemukan adalah penderita merasa silau pada saat mencoba

memfokuskan pandangan pada suatu sumber cahaya di malam hari

(Rosenfeld et al, 2007).

Pemeriksaan menggunakan biomikroskop slitlamp akan

mendapatkan gambaran vakuola, degenerasi hiropik serabut lensa, serta

pemisahan lamella kortek anterior atau posterior oleh air. Kekeruhan putih

seperti baji terlihat di perifer lensa dengan ujungnya mengarah ke sentral,

kekeruhan ini tampak gelap apabila dilihat menggunakan

retroiluminasi.Secara histopatologi, karakteristik dari katarak kortikal adalah

adanya pembengkakan hidrofik serabut lensa.Globula Morgagni (globules-


12

globulus material eosinofilik) dapat diamati di dalam celah antara serabut

lensa (Rosenfeld et al, 2007).

3) Katarak subkapsularis posterior

Katarak subkapsularis posterior terdapat pada korteks didekat kapsul

posterior bagian central (Harper et al, 2010). Katarak ini biasanya

didapatkan pada penderita dengan usia lebih muda disbanding kedua jenis

katarak yang lain. Gejalanya antara lain fotofobia dan penglihatan yang

buruk saat mata berakomodasi atau diberikan moitikum, ini dikarenakan

ketika pupil kontriksi saat berakomodasi, cahaya yang masuk kemata

menjadi terfokus kesentral dimana terdapat katarak subkapsular posterior,

menyebabkan cahaya menyebar dan mengganggu kemampuan mata untuk

memfokuskan pada macula (Rosenfeltd et al, 2007).

Deteksi katarak subkapsularis posterior paling baik menggunakan

biomikroskop stillamp pada mata yang telah ditetesi midriatikum.Pada awal

pembentukan katarakakan ditemukan gambaran kecerahan mengkilap

sepertipelangi yang halus pada lapisan korteks posterior.Sedangkan pada

tahap akhir terbentuk kekeruhan granular dan kekeruhan seperti plak di

kortek subkapsular posterior (Rosenfeld et al, 2007).Kekeruhan lensa di sini

dapat timbul akibat trauma, penggunaan kortikosteroid (topical atau

sistemik), peradangan atau pajanan radiasi pengion (Harper et al, 2010).


13

2.1.3 Etiologi Katarak

Berikut beberapa faktor penyebab pada katarak (Ilyas. 2014)

1. Umur

Katarak pada umumnya terjadi karena preoses penuaan.Besarnya

jumlah penderita katarak berbanding lurus dengan jumlah penduduk umur

lanjut. Proses penuaan menyebabkan lensa mata menjadi keras dan keruh,

umumnya terjadi pada umur diatas 50 tahun.

2. Trauma Mata

Trauma mata menyumbang sebagian besar bertambahnya jumlah

penderita katarak.Katarak terjadi akibat trauma mata dapat terjadi pada

semua umur.Trauma atau cedera mata dapat mengakibatkan terjadinya erosi

epitel pada lensa.Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks hingga lensa

mencembung dan mengerung.

3. Diabetes Militus

Penyakit diabetes miletus pun ikut menymbang terhadap tingginya

jumlah penderita katarak, sejalan dengan bertambahnya jumlah kasus

penderita diabetes melitus. Pembentukan katarak yang terikat dengan

diabetes sering terjadi karena kelebihan kadar sorbitol (gula yang terbentuk

dari glukosa), yang membentuk penumpukan dalam lensa dan akhirnya

membentuk kekeruhan lensa.


14

4. Hipertensi

Hipertensi memainkan peranan penting terhadap perkembangan

katarak.Hipertensi bisa menyebabkan konformasi struktur perubahan

protein dalam kapsul lensa, sehingga memperburuk pembentukan katarak,

sehingga dapat memicu katarak.

5. Genetika

Faktor genetik atau keturunan merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya katarak.Sebab beberapa kelainan genetic yang

diturunkan dapat menyebabkan gangguan kesehatan lainnya yang dapat

meningkatkan resiko katarak, seperti kelainan kromosom maupun

mempengaruhi kualitas lensa mata sehingga dapat memicu katarak.

6. Merokok

Merokok secara signifikasi meningkatkan resikokatarak

dibandingkan non-perokok.Sebab rokok dapat mengubah sel-sel lensa

melalui oksidasi, merokok juga dapat menyebabkan akumulasi logam berat

seperti cadmium dalam lensa sehingga dapat memicu katarak.

7. Alkohol

Meminum minuman beralkohol secara berlebihan juga dapat memicu

terjadinya penyakit katarak. Alcohol dpat menggangu homeostasis kalsium

dalam lensa dan meningkatkan proses seperti keruskan membran sehingga

dapat memicu katarak.


15

8. Radiasi Ultraviolet

Radiasi sinar ultraviolet pada siang hari cukup tinggi dan paparannya

untuk jangka waktu yang lama dapat menjadi pemicu katarak.Sebab sinar

ultraviolet mampu merusak jaringan mata, dapat merusak saraf pusat

penglihatan serta macula dan dapat merusak bagian kornea lensa.

2.1.4 Klasifikasi Katarak

Kebanyakkan pasien katarak mengalami penglihatan yang kabur.Onset

gangguan penglihatan ini adalah lambat dan progresif.Hal ini dapat bertimbul

melalui kesukaran membaca tulisan yang halus atau seseorang itu memerlukan

cahaya yang lebih terang dari biasa unuk membaca.

Pasien juga mengalami gangguan silau yang disebabkan oleh matahari atau

lampu kenderaan pada hari malam.Hal ini diakibatkan oleh dispersi cahaya yang

berlaku akibat kekeruhan lensa yang berlaku pada pasien katarak.Pasien juga dapat

mengalami gangguan persepsi warna, di mana warna kelihatan seperti desaturasi,

kekurangan kontras ataupun terdapat distorsi kekuningan.

Oleh karena katarak bersifat progresif, penurunan kemampuan penglihatan

juga berlaku secara progresif.Katarak yang mengganggu upaya penglihatan

seseorang dapat didefinisikan dengan nilai Snellen sebanyak 6/12. Hal ini

diakibatkan oleh peningkatan kekeruhan lensa yang progresif (Nash, E. , 2013).

Katarak dapat di klasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu :


16

1. pembagian katarak berdasarkan waktu terbentuknya katarak :

1) katarak congenital

katarak kongenital merupakan katarak atau kekeruhan pada lensa

yang sudah didapat sejak masih didalam kandungan hingga 1 tahun. Katarak

kongenital umunya tidak meluas dan sangat jarang mengakibatkan keruhnya

seluruh lensa.Letak kekeruhan tergantung dari letak dan waktu terjadinya

kelainan lensa. Katarak kongenital ini juga dapat terjadi bersamaan dengan

proses penyakit pada ibu yang sedang mengandung sepertirubella (Ilyas,

2012).

2) Katarak juvenile

Katarak juvenil merupakan jenis katarak yang terdapat pada anak –

anak yang didapat setelah lahir (1 tahun) hingga umur dibawah 20 tahun.

Katarak juvenil terjadi sangat jarang dan biasanya terjadi akibat adanya

kesalahan pada proses perkembangan serat lensa yang baru sehingga

didapatkan serat lensa yang lembek dan seperti bubur, sering disebut sebagai

soft cataract. Katarak juvenil ini sering dianggap sebagai manifestasi dari

penyakit keturunan lainnya. Tindakan akan dilakukan pada penderita katarak

juvenil akan dilakukan bila sudah mengganggu penglihatan karena

ditakutkan akan mengakibatkan ambliopia. Tindakan yang dilakukan adalah

pembedahan ( Paul Riordan, 2009).

3) Katarak presenilis

Katarak senilis merupakan katarak yang terjadi akibat proses

penuaan seseorang yang terjadi akibat adanya perubahan pembentukan


17

lensa, terjadi pada orang dengan usia diantara 30 - 40 tahun.Proses

pembentukan katarak pada usia tua terjadi akibat adanya perkembangan

serat lensa yang akan terus bertambah. Pertumbuhan serat lensa yang baru

ini akan menyebabkan adanya pergeseran dan penekanan serat lensa yang

lama ke arah nukleus sehingga meningkatkan densisitas lensa dan akan

menyebabkan kekeruhan padalensa (Ilyas, 2012).

4) Katarak senilis

Katarak senilis merupakan katarak yang terjadi akibat proses

penuaan seseorang yang terjadi akibat adanya perubahan pembentukan

lensa, terjadi pada orang dengan usia diatas 40 tahun. Hal ini ditandai

dengan adanya bertambah tebalnya nukleus lensa.Penebalan nukleus

disebabkan karena adanya pergeseran dan penekanan serat lensa tua ke

nukleus. Secara klinis proses penuaan ini sebenarya sudah terjadi sejak

dekade 4 kehidupan manusia dimana terjadinya proses pelemahan

akomodasi lensa yang ditandai adanyapresbiopia (Ilyas, 2012).

2. Klasifikasi katarak berdasarkan letak kekeruhan lensa :

1) Katarak lamellar atau zonular

Jenis kelainan katarak ini sudah terlihat sejak lahir dan bersifat

herediter dan ditransmisi secara dominan serta bilateral.Katarak tipe zonular

ini sudah sejak perkembangan embriologi manusia intrauterin dimana

terdapat serat – serat lensa yang keruh berbatas tegas dengan bagian tengah

lensa lebih jernih.Gangguan penglihatan pada katarak zonular tergantung


18

dari derajat kekeruhan lensa dan seberapa banyak kekeruhan lensa menutupi

pupil (Ilyas, 2012).

2) Katarak Polaris posterior

Katarak Polaris posterior terjadi akibat menetapnya selubung

vaskuler lensa.Terkadang pada bayi terdapat arteri hialoid yang menetap

sehingga menyebabkan kekeruhan pada lensa bagian posterior (Ilyas, 2012).

3) Katarak Polaris anterior

Katarak tipe ini terjadi ketika lensa belum sepenuhnya terlepas dari

kornea saat perkembangan embrional. Hal ini akan menyebabkan

terlambatnya pembentukan bilik anterior mata. Katarak polaris anterior akan

memberikan gambaran terdapatnya kekeruhan pada bilik mata anterior.

Kekeruhan ini berbentuk seperti piramid dengan ujung menuju ke

kornea.Jenis katarak ini tidak berjalanprogresif (Ilyas, 2012).

4) Katarak inti (katarak nuclear)

Katarak nuklear terbentuk pada usia gestasi 3 bulan. Katarak tipe ini

bersifat herediter dominan dan tidak berjalan progresif, umunya bersifat

bilateral.Katarak nuklear tampak seperti bunga karang atau pada beberapa

kasus ditemukannya kekeruhan berupa titik – titik.Pada umumnya katarak

nuklear ini tidak mengganggu tajam penglihatan (Ilyas, 2012).

5) Katarak sutural

Y suture merupakan suatu garis bayangan pada lensa yang

membatasi lensa menjadi batas depan dan belakang yang terbentuk dari

pertemuan serat – serat lensa primer pada tepi lensa. Katarak tipe sutural
19

akan membentuk kekeruhan sepanjang garis ini. Karena letaknya ditepian

maka tidak terlalu mengganggu tajam penglihatanseseorang (Ilyas, 2012).

3. Klasifikasi katarak berdasarkan etiologi

1) Katarak komplikata

Katarak komplikata timbul karena adanya penyakit intraokular,

penyakit di bagian tubuh lainnya (penyakit ekstraokular), dan faktor

lingkungan.Penyakit intraokular yang paling sering menyebabkan kekeruhan

lensa adalah iridosiklitis, glaukoma, ablasio retina, miopia tinggi,

uveitis.Biasaya kekeruhan lensa hanya terdapat pada satumata.Penyakit

umum yang sering menimbulkan katarak adalah diabetes mellitus,

galaktosemia, hipoparatiroid, miotonia distrofia, tetani infantil. Bisanya

timbul pada usia yang lebih muda dan mengenai kedua mata (Ilyas, 2012).

Katarak pada pasien diabetes mellitus dapat terjadi dalam 3 bentuk.

1) Pada pasien dengan dehidrasi berat, hiperglikemia dan asidosis akan

terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa yang berkerut.

Kekeruhan ini akan hilang setelah terjadi rehidrasi dan kadar gula

normalkembali

2) Pasien diabetes mellitus juvenil dan tua tidak terkontrol akan terlihat

pembentukan katarak secara serentak pada kedua mata dalam 48 jam,

berbentuk snow flake atau piringsubkapsular.

3) Bila pada katarak pasien diabetes mellitus dewasa dengan gambaran

histopatologik dan biokimia yang sama, maka bentuk katarak seperti

pasien nondiabetes.
20

2) Katarak sekunder

Sering disebut after cataract.Merupakan kekeruhan lensa yang

timbul setelah ekstraksi katarak ekstrakapsular atau setelah emulsifikasi

fako. Terlihat adanya penebalan kapsul posterior akibat prolifeasi sel – sel

radang pada sisa – sisa korteks yang tertinggal (James et all, 2012).

3) Katarak trauma

Kekeruhan lensa terjadi akibat adanya trauma pada bola mata.Paling

sering terlihat dengan kekeruhan berbentuk bintang pada subkapsular

anterior.Jarak antara kekeruhan dengan kapsul anterior dapat memberikan

gambaran kapan trauma tersebut terjadi. Perforasi pada trauma lensa akan

memberikan suatu gambaran khas “perforation rossete” kekeruhan berwarna

kemerahan dengan bentuk menyerupai bintang pada supkapsular posterior

(Ilyas, 2012).

4) Katarak terinduksi obat

Corticosteroid – induced subcapsular cataract merupakan efek

samping yang sering ditemukan pada pemakaian kortikosteroid topikal

jangka panjang. Katarak timbul karena ada ikatan kovalen antara steroid dan

protein lensa yang menyebabkan oksidasi proteinstructural (Probst Le et all,

2012).

5) Katarak karena radiasi

Faktor lingkungan juga kan berpengaruh pada pembentukan katarak.

Kondisi lingkungan yang memiliki banyak polutan akan meningkatkan

resiko terkena katarak. Selain itu kadar radiasi yang ada pada lingkungan
21

juga akan mempengaruhi pembentukan katarak. Banyaknya paparan sinar

UV, terutama sinar UVB, juga sangat berpengaruh pada pembentukan

katarak dibandingkan dengan faktor lingkunga yang lain. Semakin banyak

mata terpapar langsung dengan sinar UVB maka resiko terkena katarak

semakin besar (Probst Le et all, 2012).

2.1.5 Patofisiologi Katarak

Lensa dibentuk oleh protein kristalin dan mempunyai jalur protein membran

untuk menjaga keseimbangan osmotik dan ioniknya.Komposisi molekular kristalin

membenarkan lensa untuk mengabsorbsi radiasi dalam jangka masa yang panjang

untuk menghindari kerusakkan yang diakibatkan oleh radiasi pada lensa. Namun,

upaya ini akan menurun seiring dengan usia oleh karena stres oksidatif dan

penurunan kemampuan metabolisme glukosa yang dialami oleh lensa. Hal ini akan

menyebabkan kekeruhan lensa bertambah akibat aggregasi protein lensa.

Apabila kadar glukosa dalam lensa meninggi, jaluran poliol akan teraktivasi

lebih banyak daripada jaluran glikolitik, lalu akan menyebabkan akumulasi dari zat

sorbitol dalam lensa. Sorbitol pula akan dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim

poliol dehidrogenase dan reaksi ini dikatalisir oleh enzim aldose reduktase. Namun,

enzim poliol dehidrogenase mempunyai affinitas yang sangat rendah terhadap

glukosa. Ini bermakna bahwa akumulasi sorbitol dalam lensa akan terjadi sebelum

zat ini dapat dimetabolisme. Hal ini, bersamaan dengan karakteristik permeabilitas

yang rendah dari lensa terhadap sorbitol akan mengakibatkan penumpukkan sorbitol
22

di dalam lensa. Dalam hal inilah berperan penting dalam pembentukkan katarak

gula (Nartey, A., 2017).

Kadar oksigen yang meninggi dalam mata juga mempunyai peranan dalam

formasi katarak. Contohnya, pemaparan lensa terhadap kadar oksigen yang tinggi

dalam terapi hiperbarik akan mengakibatkan perubahan miopik, kekeruhan nukleus

lensa yang menambah dan pembentukkan katarak nuklear (Levin, L.et al., 2011).

2.1.6 Faktor Resiko Katarak

Katarak merupakan suatu penyakit yang multifaktorial. Antara faktor risiko

penyakit katarak adalah usia yang lanjut, trauma mata, indeks massa tubuh yang

tinggi, hipertensi dan penyakit diabetes mellitus.

1. Usia yang lanjut

Katarak senilis adalah katarak pada pasien yang berumur lebih dari

50 tahun yang tidak diakibatkan oleh trauma mekanik, kimiawi atau radiasi

yang diketahui.Antara mekanisme yang menyebabkankatarak akibat usia

adalah agregasi protein dalam lensa, kerusakkan sel-sel serat membran dan

migrasi abnormal sel epitel lensa mata. (Gupta, V., et al., 2014).

2. Trauma mata

trauma tumpul yang mengenai bola mata, atau katarak perforasi yang

muncul dari adanya trauma paada lensa yang disebabkan oleh perforasi

kornea dan sklera oleh benda tajam yang terbuat dari logam, kayu, atau

kaca. Lensa menjadi putih setelah adanya benda asing karena lubang pada
23

kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan juga humor vitreus masuk

kedalam struktur lensa. (T. Schlote, et al., 2006).

3. Indeks massa tubuh yang tinggi

Indeks massa tubuh yang tinggi atau dengan lebih spesifik lagi,

obesitas, menunjukkan hubungan yang inkonsisten dengan kejadian

katarak. Oleh itu, kausalitas katarak akibat obesitas masih tidak dapat

dibuktikan (Lim, L., et al., 2009).

4. Hipertensi

Oleh karena katarak berhubungan dengan inflamasi sistemik berat,

hipertensi dapat mempengaruhi patogensis pembentukkan katarak melalui

mekanisme infalmasi.Selain itu, terdapat teori di mana hipertensi bisa

menyebabkan perubahan protein lensa yang terjadi pada katarak menjadi

permanen.Namun, hasil penelitian epidemiologi mash inkonsisten

mengenai mekanisme hipertensi sebagai faktor risiko katarak (Yu, X., et

al., 2014).

5. Diabetes mellitus

Penyakit diabetes mellitus yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

stres oksidatif, stress osmotic dan glikasi tanpa enzim pada lensa mata.

Hal-hal ini dapat menyebabkan kejadian katarak (Gupta, V., et al.,2014).


24

2.1.7 Manifestasi Katarak

Manifestasi klinis yang tampak pada penderita (Ilyas, 2012)

1. Turunnya tajam penglihatan tanpa disertai tanda radang pada mata.

Keparahan penurunan tajam penglihatan tergantung dari letak dan

stadium kekeruhanlensa.

2. Diplopia atau pandangan ganda

3. Polypia

4. Pandangan kabur atau berkabut

5. Sensitif terhadap cahaya, yang dikeluhkan pasien adalah rasa silau ketika

melihatcahaya

6. Melihat halo disekitarlampu

7. Sering bergantikacamata

8. Lensa berubah menjadiputih

2.1.8 Diagnosa Katarak

1. Pemeriksaan rutin

1) PemeriksaanvisusdengankartuSnellenatauchartprojector dengan

koreksi terbaik serta menggunakan pinhole.

2) Pemeriksaan dengan Slit lamp untuk melihat segmenanterior.

3) Tekanan intraocular (TIO) diukur dengan tonometer non

contact, aplanasi atau Schiotz.


25

4) Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan

dilatasi pupil dengan tetes mata Tropicanamide 0.5%. Setelah pupil

cukup lebar dilakukan pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat

derajat kekeruhan lensa apakah sesuai dengan visuspasien

i. Derajat 1 : Nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari


6/12, tampak sedikit kekeruhan dengan warna agak keputihan.
Reflek fundus masih mudah diperoleh. Usia penderita biasanya
kurang dari 50tahun.
ii. Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, biasanya visus
antara 6/12 – 6/30, tampak nucleus mulai sedikit berwarna
kekuningan. Reflek fundus masih mudah diperoleh dan paling
sering memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis
posterior.
iii. Derajat 3 : Nukleus dengan kekerasan medium, biasanya visus
antara 6/30 – 3/60, tampak nukleus berwarna kuning disertai
kekeruhan korteks yang berwarna keabu - abuan.
iv. Derajat 4 : Nukleus keras, biasanya visus antara 3/60 – 1/60,
tampak nukleus berwarna kuning kecoklatan. Reflek fundus sulit
dinilai.
v. Derajat 5 : Nukleus sangat keras, biasanya visus biasanya hanya
1/60 atau lebih jelek. Usia penderita sudah di atas 65 tahun.
Tampak nukleus berwarna kecoklatan bahkan sampai kehitaman.
Katarak ini sangat keras dan disebut juga sebagai Brunescence
cataract atau Blackcataract.
vi. Pemeriksaan funduskopi bila masih memungkinkan.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan USG dilakukan untuk menyingkirkan adanya
kelainan lain pada mata selainkatarak.
3. Pemeriksaan tambahan
26

1) Biometri untk mengukur power IOL jika pasien akandioperasi

2) Retinometri untuk mengetahui prognosis tajam penglihatan setelah


operasi.
2.1.9 Penatalaksanaan Katarak

1. Bukan Pembedahan

Penatalaksanaan untuk katarak yang mengakibatkan gangguan

penglihatan yang signifikan umumnya adalah pembedahan. Ini karena

penatalaksanaan kuratif selain pembedahan belum dijumpai. Namun,

terdapat juga penatalaksanaan farmakologi yang menangani katarak secara

simptomatik.

Penatalaksanaan non farmakologi:

1. Konseling pasien mengenai progresi penyakit katarak

2. Kaca mata afakia (Nash, E. 2013)

Penatalaksanaan farmakologi:

1. 3 Inhibitor Aldose Reduktase (ARI)

Obat ini berfungsi untuk menginhibisi enzim aldose reduktase

yang bermain peranan yang besar dalam pembentukkan katarak

gula.Contoh obat ARI adalah Alrestatin, Imretat dan Epalrestat.

2. Antioksidan

Berfungsi untuk mengurangi stres oksidatif lensa yang

diakibatkan akumulasi poliol pada katarak diabetik.Contoh obat


27

antioksidan adalah seperti asam alfa lipoik, vitamin E dan

piruvat.Namun, beberapa penelitian mengatakan bahwa obat-obat

ini memberi efek kurang signifikan dalam penanganan katarak.

3. Obat Untuk Penanganan Edema Macular Setelah Pembedahan

Katarak.

Obat-obat seperti anti inflamatorik non-steroid dapat

menghalang enzim siklooksigenase yang berfungsi untuk

menghasilkan prostaglandin (Pollreisz, A.dan Schimdt-Erfurht, U.

2010).

2. Pembedahan

Pembedahan merupakan satu-satunya penatalaksanaan kuratif dari

katarak, di mana lensa akan diangkat dan digantikan oleh lensa palsu, lensa

donor atau kaca mata afakia. Berikut merupakan indikasi dan kontraindikasi

pembedahan katarak.

Indikasi :

i. Penurunan kualitas penglihatan sehingga menganggukehidupan seharian

pasien.

ii. Anisometropeia signifikan.

iii. Lensa mengakibatkan inflamasi atau glaukoma sekunder.

iv. Lensa mengakibatkan angle closure.

v. Kekeruhan lensa mengganggu diagnosis atau penatalaksanaan dari

kondisi segmen posterior.


28

Kontra indikasi:

i. Kualitas penglihatan pasien belum lagi mengganggu aktivitas seharian.

ii. Pembedahan tidak dapat membaiki kualitas penglihatan, dan tidak

terdapat indikasi untuk mengangkat lensa yang lain.

iii. Pasien tidak dapat melalui pembedahan dengan aman akibat

komormiditas okular atau lainnya.

iv. Penanganan pasca operasi pasien tidak dapat dilakukan.

v. Pasien atau keluarga pasien tidak memberiinformed consent (Olson, R.,

etal., 2011).

Terdapat beberapa jenis teknik pembedahan untuk mengangkat lensa

dalam kasus katarak:

1. Pharmacoemulsification

2. Manual Small Incision Cataract Surgery

3. Extracapsular Cataract Extraction

Tujuan dari tindakan pembedahan ini adalah untuk mengangkat lensa

yang keruh dari mata (Debas, H.et al., 2015).


29

2.1.10 Stadium kekeruhan

Klasifikasi katarak berdasarkan stadium katarak :

Table 1.1 perbedaan stadium katarak senilis (Ilyas, 2012).

Insipien Immatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Normal Dangkal Normal Dalam
Depan
Sudut Bilik Normal Sempit Normal Terbuka
Mata
Shadow Test Negatif Positif Negatif Positif
Penyulit - Glaukoma - Glaukoma

1) Katarak insipiens

Kekeruhan tampak seperti bercak – bercak halus yang menyebar dengan

daerah jernih diantaranya.Kekeruhan ini biasanya terletak di korteks anterior atau

posterior.Keluhan yang paling sering muncul adalah poliopia disebabkan adanya

ketidaksamaan indeks refraksi pada seluruhlensa (Ilyas, 2012).

2) Katarak immatur

Pada katarak immatur kekeruhan terlihat menebal namun belum rata pada

keseluruhan lensa, masih terdapat bagian jernih diantaranya.Selain itu mulai terlihat

adanya hidrasi kornea yang menyebabkan bertambah cembungnya lensa.

Pertambahan kecembungan lensa ini akan menyebabkan terjadinya miopisasi yang

dapat mempengaruhi status refraksi seseorang. Selain itu kecembungan lensa yang

bertambah (intumesensi) menyebabkan pendorongan iris ke depan sehingga


30

menyempitkan bilik mata depan dan dapat menyebabkan glaukoma

sekunder(fakomorfik) (Ilyas, 2012).

3) Katarak matur

Pada katarak matur proses degenerasi terus berjalan, sehingga menyebabkan

terjadinya pengeluaran air yang akan keluar bersama dengan hasil disintegrasi lensa

melalui kapsul. Lensa akan berukuran normal kembali. Pada stadium ini akan

terlihat lensa berwarna sangat putih secara menyeluruh karena adanya deposit

kalsium (Ilyas, 2012).

4) Katarak hipermatur

Bila degenerasi masih berlanjut maka korteks lensa dapat mencair dan

keluar melalui kapsul lensa. Hal ini dapat mengakibatkan pengeriputan lensa dan

mencairnya korteks dan akan menyebabkaan nukleus turun kebawah (Katarak

Morgagni) serta iris bergetar (tremulans). Selain itu massa lensa yang keluar dapat

mengakibatkan uveitis fakotoksik dan glaukoma fakolitik (Ilyas, 2012).

2.2 Konsep Dasar Visus

2.2.1 Definisi Visus

Visus adalah ketajaman penglihatan, sebuah pengukuran yang di tunjukan oleh

setiap individu, ketajaman penglihatan seseorang berfokus terhadap objek yang di lihat,

objek tersebut di teruskan keretina setelahitu otak yang menejemahkan. Visus adalah

sebuah pengukuran yang menunjukan kemampuan fungsi penglihatan seseorang,

pengukuran tersebut biasanya dilakukan dalam klinik agar menghasilkan suatu nilai yang
31

detail dari ketajaman penglihatan.Sebuah objek yang di lihat harus diproyeksikan

gambarnya secara fokus pada fovea, fovea berada dalam macula dengan memiliki densitas

yang tertinggi terhadap fotoreseptor kerucut agar memiliki resolusi tinggi dan penglihatan

warna terbaik.(Guyton, 1996).

Visus adalah pemberian keterangan fungsi penglihatan yang di nyatakan memiliki

fungsi penglihatan baik ataupun buruk, dan merupakan nilai kebaikan dari sudut terkecil

yang tampak pada benda dan masih dapat di bedakan (Gabriel, 1996).Visus adalah

kemampuan dari sistem penglihatan agar mampu membekan berbagai bentuk (Anderson,

2007).Kemampuan penglihatan optimal hanya dapat di capai jika terdapat suatu jalur saraf

visual yang utuh, struktur dan fungsi mata yang sehat serta kemampuan dalam fokus mata

tepat (Riordan – Eva, 2007).

2.2.2 Pemeriksaan Visus

Pemeriksaan visus merupakan pemeriksaan fungsi mata untuk mengetahui seberapa

ketajaman penglihatan yang dimiliki oleh tiap individu.Gangguan penglihatan sangat

memerlukan pemeriksaan ini agar menegetahui kelainan mata yang menimbulkan

penurunan fungsi ketajaman penglihatan.Pemeriksaan visus dilakukan dengan Snellen chart

dan jika penglihatan masih kurang maka visus dapat diukur dengan kemampuan melihat

jumlah jari misalnya hitung jari ataupun proyeksi sinar. Besarnya kemampuan mata dalam

membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan melihat benda terkecil dalam

jarak tertentu (Ilyas, 2009).


32

Katru Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan

melihat seseorang, seperti :

1. Jika hasil ketajaman penglihatan seseorang pada nilai 6/6 maka pada jarak enam

meter orang tersebut orang tersebut dapat melihat dengan normal

2. Jika hasil ketajaman penglihatan pasien menjukan nilai 6/30, maka pasien tersebut

hanya mampu membaca angka 30 yang ditunjukan huruf pada baris dengan jarak

enam meter.

3. Apabila hasil ketajaman penglihatan pasien menunjukan nilai 6/50, hal ini berarti

pasien hanya mampu membaca huruf pada baris yang ditunjukkan pada angka

dengan jarak enam meter.

4. Apabila hasil ketajamn penglihatan pasien menunjukan nilai 6/60, makai a hanya

mampu melihat jarak enam meter, akan tetapi jika pada orang normal huruf tersebut

dapat dilihat pada jarak 60 meter.

5. Jika pasien tidak mampu mengenal huruf yang terbesar pada kartu Snellen maka

akan dilakukan uji hitung jari. Jika pada orang normal jari dapat dilihat secara

terpisah jarak 60 meter.

6. Jika pada jarak meter pasien hanya mampu melihat atau menghitung jumlah jari

ysng diprlihstkan perawat maka ketajaman penglihatan pasien dinyatakan dengan

nilai 3/60.

7. Jika pasien hanya mampu melihat dan menghitung jari pada jarak 1 meter maka

ketajaman penglihatan pasien dinyatakan dengan nilai 1/60.


33

8. Ketajaman penglihatan pasien dinyatakan lebih buruk dari 1/60 apabila pasien diuji

dengan menggunakan uji lambaian tangan. Pda jarak 300 meter seseorang

dinyatakan memeliki penglihatan normal jika mampu melihat gerakan ataupun

lambaian tangan namun, jika kemampuan penglihatan hanya mampu melihat pada

jarak 1 meter dengan lambaian tangan, maka dinyatakan ketajaman penglihatannya

adalah 1/300.

9. Jika pasien hanya mampu melihat sinar saja dan tidak mampu melihat lambaian

tangan, maka ketajaman penglihatan bernilai 1/~. Sedangkan pada orang dengan

kemampuan melihat secara normal, kemampuan melihat sinarpun pada jarak yang

tidak terhingga.

10. Seseorang dinyatakan buta total, jika fungsi penglihatan sudah tidak mampu melihat

dan mengenal adanya sinar dan ketajaman penglihatan bernilai 0 (nol) (Ilyas, 2009).

2.2.3 Penurunan Visus

Penyebab penurunan ketajaman penglihatan terdapat berbagai faktor antara

lain usia, kesehatan mata dan tubuh serta latar belakang pasien. Bertambahnya usia

seseorang merupakan salah satu terjadinya penurunan ketajaman penglihatan.

Sedangkan jenis kelamin bukan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

penurunan ketajaman penglihatan (Xu, 2005). Tingginya kejadian low vision atau

visual impairment disebabkan anatara lain katarak, kelainan reftaksi yang tidak di

koeksi, amblyopia, Age-related Macula Degeneration, Macular Hole, Optic

Atrophy, dan trauma hal ini sesuai dengan penilitian di Sumatra, Indonesia (Saw,
34

2003). Menurut Riordan-Eva (2007) jika kelainan rekfraksi adalah kelainan mata

yang herediter.

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi visus

1). Kelelahan mata

Kelelahan adalah suatu akibat dari adanya stres pada mata.Basanya

disebabkan oleh stres pada fungsi tunggal dari mata. Stres terjadi pada otot

akomodasi saat seseorang tersebut melihat objek-objek yang memiliki ukuran

kecil dan jarak penglihatan dekat serta dalam waktu yang lama, dan pada retina

stres juga dapat terjadi jika kontras yang berlebihan dalam lapang penglihatan

dan waktu pengamatan yang lama (Siswanto,2000).

Menurut Imansyah (2003) kelelahan mata di tandai oleh:

1). Adanya iritasi pada konjungtiva yaitu terjadinya konjungtivitis

(konjungtiva berwarna merah dan mengeluarkan air mata).

2). Penglihatan tanpak ganda (double vision)

3). Terjadi sakit kepala

4). Daya akomodasi dan kovergensi mata menurun

5). Penurunan ketajaman penglihatan, kepekaan kontras dan kecepatan

persepsi.
35

2). Usia dan Akomodasi

Pertambahan usia menyebabkan lensa mata kehilangan elastisitasnya,

sehingga agak kesulitan melihat pada jarak yang dekat. Hal seperti ini bisa

menimbulkan ketidaknyamanan penglihatan pada saat mengerjakan sesuatu pada

jarak yang dekat dan penglihatan jauh (Dyer, 1990).

3). Masa Kerja

Pertumbuhan masa kerja seseorang yang terakumulasi cukup lama akan

mengakibatkan kelelahan pada otot mata dan otot penggerak bola mata sehingga

bisa berakibat daya kerja seseorang pada penglihatannya akan semakin menurun

(Sobotta, 1989).

4). Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya juga menentukan jangkauan akomodasi, apabila

intensitas cahaya yang rendah titik jauh bergerak menjauh maka kecepatan dan

ketepatan akomodasi bisa berkuran. Sehingga apabila intensitas cahaya makin

rendah maka kecepatan dan ketepatan akomodasi juga akan berkurang

(Suma’mur, 1989).

5). Penyakit

Diabetes melitus merupakan kelainan metabolik yang kompleks yang juga

mengenai pembuluh darah kecil sehingga sering terjadi kerusakan luas pada

beberapa jaringan termasuk mata. Pada penderita diabetes melitus yang sudah
36

lama akan mengakibatkan gangguan pada retina (retinopati diabetes). Kelainan

retina ini yang diakibatkan diabetes melitus mengganggu penglihatan sehingga

tidak dapat ditentukan dengan tepat keadaanya karena kekeruhan lensa didepan

retina yang akan diperiksa (Vaughan, 2005).

2.2.5 Visus pasca operasi katarak

Menurut Kusuma (2008) evaluasi visus pasca operasi katarak dapat

dilakukan dengan pemeriksaan visus terkoreksi, biomikroskop stlilamp,

tonometry, oftalmoskopi indirek.Pemeriksaan kejernihan kornea, pemeriksaan

jumlah kekeruhan lensa dengan dilatasi pupil dan B-scan ultrasonography.

Faktor yang mempengaruhi visus pasca operasi antara lain :

1. Faktor preoperasi

1) Adanya riwayat penyakit mata selain katarak misalnya glaucoma,

degenerasi macula, ablasio retina.

2) Memilki riwayat penyakit sistemik misalnya diabetes melitus.

2. Faktor selama operasi

1. Operator

2. Alat

3. Tehnik operasi

4. Lama operasi
37

5. Pengukuran IOL

6. Implantasi IOL

7. Adanya komplikasi saat operasi antara lain prolapse korpus vitreum,

perdarahan ekspulsif, hifema dan iridodialisis

3. Faktor pasca operasi

1. Perawatan

2. Terjadi komplikasi pasca operasi misalnya edema kornea, glaucoma, uveitis,

hifema, infeksi mata bagian luar, endoftalmitis, ablasio retina Cystoid Macular

Edema (CME).

Menurut Purnaningrum (2014) visus buruk pada pasien pasca operasi katarak

dengan diabetes melitus berhubungan dengan:

1. Terdapat Clinically Significant Macular Edema atau (CSME) pada saat

dilakukan operasi katarak.

2. Terdapat retinopati diabetika prolilerative pada saat dilakukan operasi katarak.

3. Visus yang buruk preoperasi katarak

4. Kelainan mata lain yang disebabkan oleh diabetes melitus antara lain abrasi

kornea, rubeosis iridis, kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, penururnan

produksi air mata, dan glaucoma.


38

2.2.6 Kriteria Visus Outcome

Hasil pemeriksaan visus pasca operasi dengan koreksi maksimal

berdasarkan Standar Internasional tajam penglihatan menurut WHO (World

Health Organization), yaitu tajam penglihatan baik (6/6 sampai 6/18) sebanyak

lebih dari sama dengan 85%, tajam penglihatan sedang (6/18 sampai 6/60)

sebanyak 5%-15%, dan tajam penglihatan buruk (kurang dari 6/60) adalah

kurang dari 5% (Pararajasegaram, 2002; Rahayu, 2004).

2.3 Diabetes Mellitus

2.3.1 Definisi

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

atau kedua-duanya (Henderina, 2010).Menurut PERKENI (2011) penderita diabetes

melitus mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan

polifagi disertai dengan kadargula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa

≥126 mg/dl.WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu

yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara

umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi

akibat dari sejumlah faktor di mana di dapat defisiensi insulin absolut atau relatif

dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2014).


39

2.3.2 Etiologi

Diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang

progresif dan adanya resistensi insulin.Pada pasien-pasien dengan DM tak

tergantung insulin, pada pasien-pasien dengan DM tak tergantung insulin,

penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat.DM tak tergantung insulin ditandai

dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin.Pada

awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.

Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel

tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang meningkatkan transport glukosa

menembus membran sel. Pada pasien DM taktergantung insulin terdapat kelainan

dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya

jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada membran sel. Akibatnya,

terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem

transport glukosa. Sekitar 80% pasien DM tak tergantung insulin mengalami

obesitas.Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan

besar gangguan toleransi glukosa dan DM yang pada akhirnya terjadi pada pasien-

pasien DM tak tergantung insulin merupakan akibat dari obesitasnya. Pengurangan

berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan

pemilihan toleransi glukosa(Rakhmadany, 2010).


40

2.3.3 Gejala Klinis Diabetes Melitus

Gejala yang timbul pada penderita DM beragam.Namun secara umum gejala

yang muncul terbagi atas 2 yaitu gejala khas dan gejala tidak khas.Gejala khas dari

DM yaitu poliuria, polifagia, polidipsia dan berat badan menurun tanpa sebab yang

jelas.Sedangkan gejala tidak khas DM yaitu lemas, kesemutan, luka yang sulit

sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritusvulvae pada wanita

(Purnamasari, 2014).

Beberapa gejala umum yang dapat ditimbulkan oleh penyakit DM

diantaranya:

1. Poliuria

Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam

meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala DM

dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak

sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui

urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan

urin yang dikeluarkan mengandung glukosa (PERKENI, 2011)

2. Polidipsia

Poidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar

glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan

asupan cairan (Subekti, 2009).


41

3. Polifagia

Pasien DM akan merasa cepat lapar dan lemas, hal tersebut

disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar

glukosa dalam darah cukup tinggi (PERKENI, 2011). Peyusutan berat badan

Penyusutan berat badan pada pasien DM disebabkan karena tubuh terpaksa

mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi (Subekti, 2009).

2.3.4 Patofisologi Diabetes Melitus

1. Fisiologi Insulin

Insulin adalah Hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas yang

terdiri dari rangkaian asam amino. Insulin berfungsi dalam proses

pemakaian glukosa dihampir seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak

dan hepar yang berperan dalam metabolisme karbohidrat. Dalam proses

tersebut insulin memegang peranan untuk memasukan ke dalam sel. Untuk

selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar. Pada keadaan normal dengan

kadar insulin cukup dan sensitif, insulin akan ditangkap oleh reseptor insulin

yang terdapat pada permukaan sel otot yang bertujuan untuk memasukan

glukosa kedalam sel yang seakan di pergunakan sebagai tenaga/ energi oleh

sel sehingga kadar glukosa dalam darah normal. Sedangkan pada kondisi

dengan diabetes yaitu jumlah insulin yang kurang atau dalam keadaan

insulin yang tidak baik (resistensi insulin) menyebabkan insulin dan reseptor
42

ada, namun tidak mampu melaksanakan fungsinya untuk memasukan

glukosa kedalam sel sehingga terjadi penumpukan.

2. Patogenesis Diabetes Melitus

DM tipe 2 disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat relatif,

dan di antara beberapa akibatnya menyebabkan peningkatan konsentrasi

glukosa plasma. Penyakit ini diberikan nama demikian karena eksresi

glukosa di dalam urin. Penyakit ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa

tipe, terganung dari penyebab dan perjalanan penyakitnya.Klasifikasikan

menjadi beberapa tipe, tergantung dari penyebab dan perjalanan dan

penyakitnya.Klasifikasi ini berguna, meskipun sangat sederhanan (silbenal,

2006).

i. Patofisiologi Diabetes Tipe 1

Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel

yang memproduksi insulin beta pankreas (ADA, 2014).Kondisi tersebut

merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti

insulin atau antibodi sel antiislet dalam darah (WHO, 2014).National

Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) tahun

2014 menyatakan bahwa autoimun menyebabkan infiltrasi limfositik dan

kehancuran islet pankreas. Kehancuran memakan waktu tetapi timbulnya

penyakit ini cepat dan dapat terjadi selama beberapa hari sampai

minggu.Akhirnya, insulin yang dibutuhkan tubuh tidak dapat terpenuhi


43

karena adanya kekurangan sel beta pankreas yang berfungsi memproduksi

insulin.Oleh karena itu, diabetes tipe 1 membutuhkan terapi insulin.

ii. Patofisiologi Diabetes Tipe 2

Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan insulin namun tidak

mutlak.Ini berarti bahwa tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan 15 kurangnya sel

beta atau defisiensi insulin resistensi insulin perifer (ADA, 2014).Resistensi

insulin perifer berarti terjadi kerusakan pada reseptor-reseptor insulin

sehingga menyebabkan insulin menjadi kurang efektif mengantar pesan-

pesan biokimia menuju sel-sel (CDA, 2013).Dalam kebanyakan kasus

diabetes tipe 2 ini, ketika obat oral gagal untuk merangsang pelepasan

insulin yang memadai, maka pemberian obat melalui suntikan dapat menjadi

alternatif. (NIDDK, 2014 dan ADA, 2014).

2.3.5 Faktor Resiko Diabetes Mellitus

1. Faktor resiko yang dapat diubah

1) Gaya hidup

Gaya Hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam

aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji, olahraga tidak teratur dan

minuman bersoda adalah salah satu gaya hidup yang dapat memicu

terjadinya DM tipe 2 (ADA, 2009).


44

2) Diet yang tidak sehat

Perilaku diet yang tidak sehat yaitu kurang olahraga, menekan nafsu

makan, sering mengkonsumsi makan siap saji (Abdurrahman, 2014).

3) Obesitas

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko utama untuk terjadinya

penyakit DM. Menurut Kariadi (2009) dalam Fathmi (2012), obesitas dapat

membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin).Semakin

banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap

kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul didaerah sentral atau

perut (central obesity).

4) Tekanan darah tinggi

Menurut Kurniawan dalam Jafar (2010) tekanan darah tinggi

merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi

(tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran

darah.

2. Faktor resiko yang tidak dapat diubah

I. Usia

Semakin bertambahnya usia maka semakin tinggi risiko terkena

diabetes tipe 2. DM tipe 2 terjadi pada orang dewasa setengah baya, paling

sering setelah usia 45 tahun (American Heart Association [AHA], 2012).


45

Meningkatnya risiko DM seiring dengan bertambahnya usia dikaitkan

dengan terjadinya penurunan fungsi fisiologis tubuh.

II. Riwayat keluarga

Diabetes melitus seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM

orang tua. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota

keluarga yang juga terkena penyakit tersebut (Ehsa, 2010). Fakta

menunjukkan bahwa mereka yang memiliki ibu penderita DM tingkat risiko

terkena DM sebesar 3,4 kali lipat lebih tinggi dan 3,5 kali lipat lebih tinggi

jika memiliki ayah penderita DM. Apabila kedua orangtua menderita DM,

maka akan memiliki risiko terkena DM sebesar 6,1 kali lipat lebih tinggi

(Sahlasaida, 2015).

III. Ras atau latar belakang etnis

Risiko DM tipe 2 lebih besar terjadi pada hispanik, kulit hitam,

penduduk asli Amerika, dan Asia (ADA, 2009).

IV. Riwayat diabetes pada kehamilan

Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih

dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko DM tipe 2 (Ehsa, 2010).


46

2.3.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan gejala poliuria, polidipsia, polifagia,

dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Diagnosis DM

dapat ditegakkan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu > 200

mg/dl dan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl.

Tabel 1.2 Kriteria Diagnostik Diabetes mellitus30,31


Kriteria diagnostik diabetes mellitus
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200mg/dl atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa > 126mg/dl atau
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dl

2.4 Hubungan antara Diabetes Mellitus dan Katarak

Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa diabetes mellitus dapat

mempengaruhi proses pembentukan katarak. Pada kondisi diabetes mellitus yang

tidak terkontrol maka terjadi kondisi hiperglikemi kronik. Dimana kondisi

hiperglikemi ini akan menyebabkan gangguan pada proses metabolisme lensa

(Ilyas, 2012).

Pada keadaan hiperglikemi, maka glukosa yang masuk ke dalam lensa

bertambah. Pada kondisi normal, glukosa yang masuk ke dalam lensa akan

mengalami proses metabolisme glukosa dan diubah menjadi fruktosa. Namun pada

kondisi hiperglikemi, jalur metabolisme sorbitol akan lebih aktif bekerja. Jalur

sorbitol ini glukosa akan dirubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose redustase (AR)

(Pollreiz, 2010).
47

Sorbitol akan diubah menjadi fruktosa oleh polyoldehidrogenase. Jumlah

polyoldehidrogenase sedikit di dalam lensa dan perubahan glukosa menjadi sorbitol

jauh lebih cepat dibandingkan dengan perubahannya menuju fruktosa. Bila kondisi

ini terjadi maka akan terjadi penumpukan sorbitol di dalam lensa (Pollreiz, 2010).

Sorbitol yang tertumpuk di dalam lensa akan menyebabkan kondisi

hiperosmolaritas dalam lensa dimana jaringan lensa akan menarik air menuju lensa.

Hal ini diperparah dengan terjadinya peningkatan fruktosa di dalam lensa.

Peningkatan sorbitol dan fruktosa akan menyebabkan

penarikanairdiluarkapsullensakedalamlensasehinggamenyebabkan rusaknya

sitoskeleton, penyususun serat lensa. Kerusakan struktur lensa ini akan

menyebabkan munculnya kekeruhan pada lensa (pollreiz, 2010).

Ditemukan korelasi antara diabetes mellitus dan pembentukan katarak.

Dikatakan pula bahwa insuden katarak kortikal dan supkapsularis posterior

berhubungan dengan diabetes.Pasien dengan diabetes cenderung berkembang

opaksifikasi pada daerah kortikal dan menunjukkan tingginya prevalensi operasi

katarak dibandingkan pasien non diabetes (Javadi & Ganapati, 2008).


48

2.5 Kerangka Teori

Katarak

Trauma mata Pengaruh obat- DM Usia


obatan

Operasi Katarak

Visual outcome Kekeruhan lensa


- Hasil pemeriksaan
-immatur = kekeruhan lensa
viusus pasca sebagian
operasi dengan
koreksi maksimal -matur = kekeruhan lensa
- Kriteria WHO seluruh
Baik ( 6/18-6/6)
Sedang (6/60-
6/24)
Keterangan
Buruk (<6/60):

Tidak Diteliti

Diteliti

Gambar 2.5 Kerangka teori


49

2.6 Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Dependent

Visual Outcome

Katarak

Stadium Kekeruhan

Gambar 2.6 Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis

H0 : Tidak terdapat Perbandingan Stadium Kekeruhan dan Visual Outcome pada

pasien Diabetes Melitus Terhadap Kejadian Katarak Di Rumah Sakit Pertamina

Bintang Amin Bandar Lampung 2018.

H1 : Terdapat Perbandingan stadium Kekeruhan dan Visual Outcomepada Pasien

Diabetes Melitus Terhadap Katarak Di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin

Bandar Lampung 2018.


50

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan menggunakan desain cross

sectional, penelitian cross sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu

waktu, satu kali dan tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Bertujuan untuk

mengetahui Perbandingan stadium kekeruhan lensa dan visual outcome pasca

operasi antara pasien katarak dengan diabetes mellitus dan pasien katarak tanpa

diabetes mellitus di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Husada Bandar

Lampung.(Notoatmodjo, 2012).

3.2. Lokasi dan Waktu penelitian

3.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar

Lampung.

3.2.2. Waktu penelitian

Waktu penelitian ini akan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2020.


51

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti.Populasi

dalam penelitian ini adalah 60 pasien kataraksenilis dengan diabetes mellitus

dan pasien katarak tanpa diabetes mellitus di Rumah Sakit Pertamina Bintang

Amin Bandar Lampung.

2.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.Teknik pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan metodetotal sampling dengan 60 pasien

yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi

2.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Kriteria inklusi dalam

penelitan yaitu

1). Pasien Katarak senilis non Diabetes Melitus

2). Pasien Katarak senilis dengan Diabetes Melitus

3). Pasien dengan stadium matur dan imatur

4). Catatan medis lengkap

1. Kriteria eksklusinya yaitu pasien katarak karena

1). Katarak insipient dan hipermatur

2). Pasien katarak di bawah umur 50 tahun

3). Retinopati
52

4). Glaoukoma

5). Trauma

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep penelitian

tertentu(Notoatmodjo, 2012). Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel

independen yaitu stadium kekeruhan dan visual outcome, dan variabel dependen

yaitu pasien penderita katarak.


53

3.5 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Skala


Operasional Pengukuran
Dependent
Katarak Senilis Katarak senilis Rekam 0. Ya Nominal
Dengan DM dengan DM Medik 1. Tidak
merupakan keadaan
penurunan
penglihatan akibat
terjadi kekeruhan
pada lensa mata
dengan komplikasi
diabetes melitus
Independent
Stadium Keadaan kekeruhan Rekam 0. Matur Nominal
Kekeruhan pada lensa yang Medik 1. Imatur
dapat terjadiakibat
hidrasi lensa,
denaturasi protein
lensa, atau terjadi
akibat kedua-
duanya

Visual Hasil Pemeriksaan Rekam 0. Baik Ordinal


Outcome visus pasca operasi Medik (6/18-
dengan koreksi 6/6)
maksimal 1. Sedang
berdasarkan kriteria
(6/60-
WHO
6/24)
2. Buruk
(<6/60)
Tabel 3.1.Definisi Operasional
54

3.6 Pengumpulan Data

3.6.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam medik pasien

katarak dengan diabetes mellitus dan pasien katarak tanpa diabetes mellitus di

Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Husada Bandar Lampung yang sudah

diseleksi melalui kriteria inklusi.

3.6.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatandata rekam medis

pasien.

3.6.3 Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.Data didapatkan melalui

rekam medik pasien di Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Bandar

Lampung.

3.6.4 Cara Kerja

Peneliti mengunjungi Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Husada Bandar

Lampung untuk mengambil data dari rekam medik pasien katarak dengan diabetes

mellitus dan katarak tanpa diabetes mellitus yang sesuai dengan kriteria

inklusi.Kemudian dilakukan teknik purposive sempling.Data yang diambil berupa

rekam medik distribusi pasien yang memenuhi kriteria inklusi.Kemudian data

dikumpulkan dan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan komputer untuk

kemudian dilakukan analisis data.


55

3.7 Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini, diolah dan dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis perbedaan dan perbandingan.Teknik ini dimaksud untuk

menguji masing-masing hipotesa dengan menggunakan program analisis statistik SPSS

versi 22.0.

Langkah-langkah pengolahan data dengan menggunakan program komputer ini

adalah:

1. Editing

Pada tahap ini, penulis melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh

kemudian memastikan apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam pengisian.

2. Coding

Setelah melakukan data, penulis memberikan kode tertentu pada tiap data

sehingga memudahkan penulis dalam melakukan analisa data.

3. Proccesing

Processing adalah proses pengetikan data dari rekam medik ke program

komputer agar dapat dianalisa.

4. Cleaning

Kegiatan pengecekan kembali data yang dientri ke dalam program komputer

agar tidak terdapat kesalahan (Notoadmodjo, 2012).


56

3.8 Analisa Data

3.8.1 Analisa Univariat

Analisa univariat adalah langkah mengeksplorasi data dari suatu

variabel, univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dengan

proporsi masing-masing variabel yang diteliti (Dahlan, 2016).

3.8.2 Analisa Bivariat

Analisi bivariate penelitian ini menggunakan uji statistic man

whitney. Untuk mengetahui apakah ada perbandingan atau tidak antara stadium

kekeruhan visual outcome pada psien katarak senilis dengan diabetes mellitus dan

pasien katarak senilis tanpa diabetes mellitus.


57

3.9 Alur Penelitian

Izin Penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi

Melihat data rekam medik

Pengolahan data

Analisis data

Penyusunan Laporan

Gambar 3.9. Alur Penelitian

Anda mungkin juga menyukai