i
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata
manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan
berbagai aktivitas. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai
dari gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat mengakibatkan
kebutaan. Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan
kebutaan perlu mendapat perhatian.1 (Fitria 2017)
Penyebab utama gangguan penglihatan global adalah kelainan refraksi
yang tidak terkoreksi (43%) dan katarak (33%) sementara penyebab kebutaan
tertinggi di dunia adalah katarak (51%), glaukoma (8%), age-related macular
degeneration (5%), dan kebutaan pada anak (4%). 2(Lestari 2017)
Katarak merupakan proses degeneratif yang sangat dipengaruhi oleh
faktor usia, oleh karena itu katarak akan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah lanjut usia. Katarak sebagai penyebab yang paling sering
menimbulkan kebutaan yang dapat diobati. Katarak dapat diatasi (Organization
2011)dengan tindakan operasi, namun belum semua katarak dapat diatasi
karena beberapa faktor. Katarak yang tidak disembuhkan akan menyebabkan
kebutaan sehingga dapat menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat.1,3
Untuk menangani permasalahan kebutaan dan gangguan penglihatan,
World Health Organisation (WHO) membuat program Vision 2020 yang
direkomendasikan untuk diadaptasi oleh negara- negara anggotanya. Vision
2020 adalah suatu inisiatif global untuk penanganan kebutaan dan gangguan
penglihatan di seluruh dunia. Sebagai titik awal perencanaan program
penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan yang direkomendasikan
oleh WHO melalui Vision 2020 adalah ketersediaan data negara melalui metode
survei yang dapat diandalkan.1,4(Depkes 2014)
Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) merupakan standar
pengumpulan data kebutaan dan gangguan penglihatan yang ditetapkan oleh
WHO, melalui Global Action Plan (GAP) 2014 – 2019. RAAB merupakan survei
berbasis populasi untuk penderita kebutaan dan gangguan penglihatan dan
layanan perawatan mata pada orang-orang berusia 50 tahun ke atas, mengingat
berbagai penelitian didapatkan sekitar 85% kebutaan teradapat pada usia lebih
dari 50 tahun.1,5
1
Sebagai dokter mata, mengetahui prevalensi kebutaan katarak dalam
komunitas berdasarkan data RAAB merupakan hal yang penting yang harus
diketahui. Sebab hal tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah dokter mata
dan seberapa banyak dokter mata harus melakukan tindakan operasi katarak
setiap tahun untuk mencegah terjadinya kebutaan. Selain itu juga, dalam
melakukan kegiatan operasi katarak harus mengacu pada Peta Jalan Gangguan
Penglihatan agar pencapaiannya efektif, tepat waktu dan tepat sasaran. Dengan
adanya sari pustaka ini diharapkan kita memiliki pemahaman yang baik
mengenai upaya pencegahan kebutaan katarak. Selain itu kita sebagai dokter
juga mampu untuk mengetahui target yang harus dicapai sebagai upaya
penurunan angka kebutaan katarak pada komunitas.
2
BAB II
SARI PUSTAKA
2.1 Kebutaan
2.1.1 Definisi Kebutaan
Definisi gangguan penglihatan dan kebutaan yang umum digunakan adalah
definisi menurut International Clasification of Diseases (ICD) 10 yang telah
direvisi oleh World Health Organisation (WHO). Penggunaan definisi yang sama
di seluruh dunia akan memudahkan pengumpulan data kolektif yang dapat
digunakan sebagai data dasar penilaian besaran masalah kebutaan untuk
menentukan prioritas usaha penanggulangan kebutaan.2
Fungsi penglihatan diklasifikasikan dalam 4 kategori besar, berdasarkan
International Classification of Diseases -10 :
Fungsi penglihatan normal atau gangguan penglihatan ringan
Gangguan penglihatan sedang
Gangguan fungsi penglihatan berat
Kebutaan6
3
di Indonesia tidak hanya menjadi masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) katarak merupakan
penyebab kebutaan utama di dunia. Terdapat 39 juta orang yang buta di seluruh
dunia, dengan penyebab utama kebutaan yaitu katarak sebesar 51%. Selain itu,
katarak merupakan penyebab gangguan penglihatan kedua di dunia dengan
angka kejadian sebesar 33%.7
Data nasional mengenai besaran masalah gangguan penglihatan dan
kebutaan didapat dari berbagai survei, antara lain Rapid Assessment of
Avoidable Blindness (RAAB) dan Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ). RAAB
merupakan standar pengumpulan data Kebutaan dan Gangguan Penglihatan
yang ditetapkan oleh WHO, melalui Global Action Plam (GAP) 2014 – 2019.
Prevalensi kebutaan di Indonesia dari hasil survei kesehatan mata RAAB pada
tahun 1993 -1996 di dapatkan sebesar 1,5%.7,8
Penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia adalah katarak yang belum
dioperasi (82%) dengan prevalensi 1,9%. Selain sebagai penyebab kebutaan
terbanyak, katarak juga menjadi penyebab gangguan penglihatan berat dan
sedang yang diikuti oleh gangguan refraksi. Lebih dari 90% kebutaan di
Indonesia merupakan kebutaan yang dapat dihindari (avoidable blindness),
dengan 80% diantaranya memerlukan operasi katarak untuk menanngulangi
kebutaan.2
Data terakhir yang diperoleh RAAB pada15 provinsi pada periode tahun
2014-2016, prevalensi kebutaan di atas usia 50 tahun di lndonesia berkisar
antara 1,7% sampai dengan 4,4%. Prevalensi kebutaan di lndonesia adalah
3,0%.5
4
Berdasarkan Riset kesehatan Dasar (Rikesdas) Indonesia tahun 2007,
menunjukkan adanya penurunan angka kebutaan di Indonesia yaitu rata-rata
kebutaan nasional adalah 0,9% dan prevalensi kebutaan nasional tahun 2013
sebesar 0,4%. Meskipun demikian angka ini belum bisa dibandingkan dengan
hasil survei kesehatan indera penglihatan tahun 1993-1996 karena metode dan
teknik yang dilakukan berbeda. Inseiden katarak diestimasikan sebesar 0,1%
per tahun. Selain itu, penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan
menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah
subtropis.9
Gambar 1. Prevalensi pemakaian kaca mata/ lensa kontak, severe low vision,
dan kebutaan menurut kelompok umur.9
5
Prevalensi kebutaan pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 0,5%.
Prevalensi kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 45 tahun
ke atas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10
tahunnya. Prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok
umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan
usia.9
Batas prevalensi kebutaan yang tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat menurut standar WHO adalah 0,5%. Jika prevalensi di atas 1%
menunjukkan adanya keterlibatan masalah sosial. Jika dilihat hasil survei
kebutaan yang telah dilakukan, termasuk hasil Riskesdas 2013, prevalensi
kebutaan masih tinggi yaitu masih di atas 0,5%.1,4
6
Data menunjukkan bahwa wanita secara signifikan lebih kecil
kemungkinan untuk operasi katarak dibandingkan pria, meskipun fakta
menunjukkan bahwa angka operasi katarak pada wanita sedikit lebih tinggi dari
pada pria. Terdapat banyak alasan terkait hal tersebut, diantaranya adalah
perempuan kurang mendapat pengetahuan dan tidak memiliki informasi yang
memadai tentang pelayanan kesehatan, perempuan mungkin tidak memiliki
dukungan sosial yang diperlukan dalam rumah tangga atau komunitas untuk
memungkinkan mereka menerima perawatan, serta perempuan seringkali tidak
memiliki kemampuan yang memadai terkait kemampuan keuangan rumah
tangga, dan perempuan umumnya kurang mampu bepergian ke luar desa untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.12
Adanya budaya sekitar yang spesifik untuk kondisi pasca- operasi akan
memberikan efek secara langsung terhadap pasien untuk tidak mencari
perawatan medis yang standar, sebagai contoh : kepercayaan bahwa kebutaan
karena katarak merupakan kehendak Tuhan atau karena ilmu sihir, dan hal ini
tidak akan sembuh dengan operasi. Hal ini akan memberi kesan negatif terhadap
operasi katarak.10
7
beranggapan bahwa hal yang terjadi pada penglihatannya dapat sembuh sendiri
setelah beberapa hari, sehingga operasi katarak tidak diperlukan.3,10
8
Gambar 2. Piramid Penduduk Indonesia Tahun 2010, 2020, dan 2035.13
9
sebesar 5% pada tahun 2010 diperkirakan naik menjadi 10,5 persen pada tahun
2035.13
Peningkatan jumlah penduduk usia lebih dari 50 tahun yang terus
meningkat dari tahun ke tahun, maka penyakit degeneratif juga akan meningkat.
Pada kesehatan mata, salah satu penyakit degeneratif yang merupakan
penyebab utama kebutaan adalah katarak. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan yang signifikan jumlah penderita katarak pada waktu tertentu, yang
disebut dengan Tsunami Cataract.13,14
10
Gambar 3. Rasio Jumlah Kebutaan Dibandingkan Jumlah Spesialis Mata Tahun
2013.1
Rasio jumlah kebutaan dibandingkan jumlah dokter spesialis mata
tertinggi adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat dan Sulawesi
Tenggara. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan prevalensi
kebutaan kedua tertinggi. Sedangkan rasio terendah adalah di Provinsi DKI
Jakarta, DI Yogyakarta dan Bali. DI Yogyakarta merupakan provinsi dengan
prevalensi kebutaan nomor 2 terendah.1
2.3.3 Infrastruktur
Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan
nasional karena bidang kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan
manusia secara berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan ini
merupakan upaya untuk tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.8
Infrastuktur kesehatan merupakan salah satu faktor kunci dari tercapainya
pembangunan kesehatan di Indonesia. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan kesehatan sebagai sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental
dan sosial, dan bukan sekedar bebas penyakit dan kelemahan fisik. Dalam
prakteknya,pengukuran tingkat kesehatan yang digunakan tingkat harapan
hidup.
11
Infrastruktur kesehatan berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas
pemeriksaan oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling,
serta mobil ambulans.16
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Jumlah puskesmas di lndonesia sampai dengan Desember
2016 sebanyak 9.167 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 3.411 unit puskesmas
rawat inap dan 6.356 unit puskesmas non rawat inap. Pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar dapat digambarkan secara umum oleh indikator
rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk. Peningkatan jumlah puskesmas
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016, ternyata sejalan dengan
peningkatan rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk yaitu dari 1,17 menjadi
1,13. 5,16
Rumah sakit publik di lndonesia dikelola oleh Kementerian Kesehatan,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, TNl/Polri, Kementerian lain
serta Swasta non Prot (organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah
rumah sakit publik di lndonesia sampai dengan tahun 2016 sebanyak 2.601 unit,
yang terdiri atas Rumah Sakit Umum (RSU) berjumlah 2.045 unit dan Rumah
Sakit Khusus (RSK) berjumlah 556 unit.5,8
Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan rujukan dan perorangan di suatu wilayah dapat dilihat dari rasio
tempat tidur terhadap 1.000 penduduk. Rasio tempat tidur di rumah sakit di
lndonesia pada tahun 2016 sebesar. 1,12 per 1.000 penduduk. Rasio ini lebih
rendah dibandingkan tahun 2015 sebesar 1,21 Per 1.000 penduduk.5
12
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam mencapai tujuan pembangunan
kesehatan.17
13
Universal Health Coverage (UHC) adalah upaya untuk menjangkau
seluruh masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu
dan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pencapaian
Universal Health Coverage ( UHC ) harus didukung oleh 6 elemen :
14
yang dihadapi oleh suatu negara dalam sistem pembiayaan kesehatan menuju
UHC. Pilihan tersebut perlu dilakukan untuk menentukan masing- masing dari
tiga dimensi dengan menyesuaikan keadaan keuangan, organisasi dan politik
suatu negara.18
15
1. Layanan perawatan mata komprehensif, yaitu dengan menawarkan berbagai
layanan yang mencakup berbagai penyebab gangguan penglihatan, mulai dari
promosi, pencegahan hingga rehabilitasi dan perawatan.
16
Program percepatan penanggulangan gangguan penglihatan berbasis 6
building blocks WHO, yaitu :5
17
1. ldentikasi besarnya permasalahan gangguan penglihatan melalui survey
Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)
2. Analisa situasi dan pembuatan Plan of Action
3. Pelatihan Sumber Daya Manusia untuk kesehatan mata
4. Penguatan sistem rujukan
5. lntegrasi pelayanan kesehatan mata dengan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)
Contoh :
Jumlah penduduk pada suatu populasi 1.000.000, pada daerah tersebut terdapat
5 Dokter Spesialis Mata, masing-masing Dokter Spesialis Mata dapat melakukan
operasi katarak sebanyak 10.000 pasien/ tahun. Jika jumlah kebutaan katarak
yang masih ada sebesar (backlog) 150.000 orang. Berapa banyak cataract
burden di wilayah tersebut?
18
2.7 Backlog Cataract
Backlog Cataract adalah jumlah penderita katarak yang belum dilakukan
operasi pada tahun tersebut. Diperkirakan setiap tahun kasus baru buta katarak
akan selalu bertambah sebesar 0,1% dari jumlah penduduk atau kira-kira
250.000 orang/tahun. Sementara itu kemampuan kita untuk melakukan operasi
katarak setiap tahun diperkirakan baru mencapai 180.000/ tahun sehingga setiap
tahun selalu bertambah backlog katarak sebesar lebih kurang 70.000. Jika kita
tidak segera mengatasi backlog katarak ini maka angka kebutaan di Indonesia
semakin lama akan semakin tinggi.22
Besarnya backlog katarak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah karena akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mata masih
terbatas terutama di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan yang
belum memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dan SDM kesehatan yang
memadai termasuk keberadaan dokter spesialis mata.1,22
Contoh :
Dalam suatu daerah terdapat 1.000.000 penduduk, jumlah total penduduk yang
buta katarak 550.000. Jika terdapat 12 orang dokter spesialis mata, tiap dokter
dapat melakukan operasi 24.000/ tahun. Berapa banyak backlog cataract pada
daerah tersebut?
19
operasi katarak dalam satu tahun. Angka CSR harus dihitung melalui
pengumpulan data jumlah operasi katarak yang telah dilakukan per tahun di
suatu daerah/negara lalu dibagi per satu juta populasi.2, 22
Rumus :
20
kedua matanya. Angka CSC dapat diketahui dari survei RAAB, karena perangkat
lunak yang digunakan telah memuat pula perhitungan CSC.1,25
Rumus : x+y
CSC (person) = X 100
x+y+z
x = jumlah orang dengan unilateral pseudoaphakia
y = jumlah orang dengan bilateral pseudoaphakia
z = jumlah orang dengan akan operasi pada kedua matanya
Contoh
Cataract Surgical Coverage (person) pada 1.000.000 penduduk di wilayah
tersebut adalah 50%. Berapa banyak orang dengan bilateral pseudofakia, jika
terdapat 2.500 orang dengan unilateral mata yang sudah dioperasi, terpasang
IOL dan masih terdapat katarak pada mata satunya, serta terdapat 4.000 orang
dengan bilateral cataract ?
2500 + y
CSC (person) = X 100
2500 + y + 4000
2500 + y
50% = X 100
6500 + y
21
perhitungan CSC (eyes) berkaitan dengan jumlah operasi beban kerja yang
dilakukan oleh dokter mata.26
Rumus :
a
CSC (eye) = x 100
a+b
a = pseudoaphakic eyes
b = eyes with operable cataract
Contoh :
Berapa banyak Cataract Surgical Coverage (CSC), jika terdapat 6500 sudah
dioperasi mata dengan terpasang IOL dan 3500 mata dengan operable cataract
pada 1.000.000 penduduk daerah tersebut.
6.500
CSC (eyes) = X 100
6.500 + 3.500
= 65%
22
Tabel 3. WHO Guidelines on Visual Outcome of Cataract Surgery27
23
Tabel 4. Penyebab Hasil Buruk Pada Pasca Operasi Katarak 27
24
2.11 Cataract Outlay
Pembiayaan operasi katarak merupakan jumlah uang yang dihabiskan
untuk melakukan operasi katarak dari semua biaya yang dikeluarkan, yang terdiri
dari berbagai macam komponen yang terdiri dari biaya bahan habis pakai
(benang jahit, obat- obatan, IOL), jasa medis tenaga kesehatan, overhead cost
(biaya air, listrik, sewa, pemeliharaan bangunan), serta proporsi dari biaya
infrastruktur, instrument dan peralatan. Selain itu juga, terdapat biaya yang
dikeluarkan oleh pasienn dan keluarga untuk transportasi, makan, dan waktu
yang hilang selama tidak bekerja.29,30
Agar biaya operasi katarak dapat terjangkau, pendekatan pertama adalah
meminimalkan biaya prosedur operasi. Pembelian dalam jumlah banyak untuk
jarum dan benang, IOL dan obat-obatan yang berkualitas namun tidak mahal,
dapat mengurangi biaya bahan habis pakai di negara - negara berkembang,
pada nilai $ 10 - $ 20. Sedangkan untuk biaya jasa medis tenaga kesehatan dan
overhead cost dapat dikurangi melalui peningkatan produktivitas. Jika tim bedah
operasi katarak melakukan lima operasi katarak pada satu hari, tetapi pada hari
yang lain melakukan sepuluh operasi katarak, maka biaya relatir dihitung per
kasus untuk jasa medis dan overhead cost, sedangkan pada hari kedua akan
menjadi setengah dari hari pertama. Oleh karena itu, dengan pembelian bahan
habis pakai berbiaya rendah namun berkualitas dan peningkatan produktivitas,
25
dimungkinkan pada negara berkembang dapat menghasilkan biaya operasi
katarak yang terjangkau yaitu pada nilai antara $ 20 dan $ 50.30
Pada system pembiayaan operasi katarak terdapat dua macam
pembiayaan, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tergantung (variable cost).
Pada biaya tetap merupakan biaya yang rutin dan pasti dikeluarkan walaupun
tidak ada pelayanan kesehatan, misalnya gaji pegawai, biaya air, listrik, dan
pemeliharaan bangunan. Sedangkan biaya tergantung merupakan biaya yang
dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan kegiatan yang dilakukan, misalnya
benang, IOL. Sehingga dari hal tersebut didapatkan perhitungan biaya unit
operasi katarak, dengan rumus :31
Contoh :
Fixed cost = 30.000.000
Jumlah operasi katarak = 500
Biaya habis pakai untuk 1 operasi = 2.000.000
30.000.000
Biaya operasi katarak per unit = + 2.000.00
500
= 60.000 + 2.000.000
= 2.060.000
26
Gambar 5. Grafik hubungan antara jumlah operasi katarak dengan biaya operasi
katarak per unit.31
27