Anda di halaman 1dari 29

PENGANTAR

i
ii
BAB I
PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu indera yang penting bagi manusia, melalui mata
manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan
berbagai aktivitas. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai
dari gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat mengakibatkan
kebutaan. Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan
kebutaan perlu mendapat perhatian.1 (Fitria 2017)
Penyebab utama gangguan penglihatan global adalah kelainan refraksi
yang tidak terkoreksi (43%) dan katarak (33%) sementara penyebab kebutaan
tertinggi di dunia adalah katarak (51%), glaukoma (8%), age-related macular
degeneration (5%), dan kebutaan pada anak (4%). 2(Lestari 2017)
Katarak merupakan proses degeneratif yang sangat dipengaruhi oleh
faktor usia, oleh karena itu katarak akan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah lanjut usia. Katarak sebagai penyebab yang paling sering
menimbulkan kebutaan yang dapat diobati. Katarak dapat diatasi (Organization
2011)dengan tindakan operasi, namun belum semua katarak dapat diatasi
karena beberapa faktor. Katarak yang tidak disembuhkan akan menyebabkan
kebutaan sehingga dapat menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat.1,3
Untuk menangani permasalahan kebutaan dan gangguan penglihatan,
World Health Organisation (WHO) membuat program Vision 2020 yang
direkomendasikan untuk diadaptasi oleh negara- negara anggotanya. Vision
2020 adalah suatu inisiatif global untuk penanganan kebutaan dan gangguan
penglihatan di seluruh dunia. Sebagai titik awal perencanaan program
penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan yang direkomendasikan
oleh WHO melalui Vision 2020 adalah ketersediaan data negara melalui metode
survei yang dapat diandalkan.1,4(Depkes 2014)
Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) merupakan standar
pengumpulan data kebutaan dan gangguan penglihatan yang ditetapkan oleh
WHO, melalui Global Action Plan (GAP) 2014 – 2019. RAAB merupakan survei
berbasis populasi untuk penderita kebutaan dan gangguan penglihatan dan
layanan perawatan mata pada orang-orang berusia 50 tahun ke atas, mengingat
berbagai penelitian didapatkan sekitar 85% kebutaan teradapat pada usia lebih
dari 50 tahun.1,5

1
Sebagai dokter mata, mengetahui prevalensi kebutaan katarak dalam
komunitas berdasarkan data RAAB merupakan hal yang penting yang harus
diketahui. Sebab hal tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah dokter mata
dan seberapa banyak dokter mata harus melakukan tindakan operasi katarak
setiap tahun untuk mencegah terjadinya kebutaan. Selain itu juga, dalam
melakukan kegiatan operasi katarak harus mengacu pada Peta Jalan Gangguan
Penglihatan agar pencapaiannya efektif, tepat waktu dan tepat sasaran. Dengan
adanya sari pustaka ini diharapkan kita memiliki pemahaman yang baik
mengenai upaya pencegahan kebutaan katarak. Selain itu kita sebagai dokter
juga mampu untuk mengetahui target yang harus dicapai sebagai upaya
penurunan angka kebutaan katarak pada komunitas.

2
BAB II
SARI PUSTAKA

2.1 Kebutaan
2.1.1 Definisi Kebutaan
Definisi gangguan penglihatan dan kebutaan yang umum digunakan adalah
definisi menurut International Clasification of Diseases (ICD) 10 yang telah
direvisi oleh World Health Organisation (WHO). Penggunaan definisi yang sama
di seluruh dunia akan memudahkan pengumpulan data kolektif yang dapat
digunakan sebagai data dasar penilaian besaran masalah kebutaan untuk
menentukan prioritas usaha penanggulangan kebutaan.2
Fungsi penglihatan diklasifikasikan dalam 4 kategori besar, berdasarkan
International Classification of Diseases -10 :
 Fungsi penglihatan normal atau gangguan penglihatan ringan
 Gangguan penglihatan sedang
 Gangguan fungsi penglihatan berat
 Kebutaan6

Tabel 1. Klasifikasi kebutaan oleh World Health Organization (WHO).


Seseorang dikatakan buta bila visus kurang dari 3/606 :

2.1.2 Prevalensi Kebutaan Katarak


Indonesia merupakan negara dengan angka kebutaan tertinggi kedua di
dunia setelah Ethiopia dengan prevalensi di atas 1%. Tingginya angka kebutaan

3
di Indonesia tidak hanya menjadi masalah kesehatan tetapi juga masalah sosial.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) katarak merupakan
penyebab kebutaan utama di dunia. Terdapat 39 juta orang yang buta di seluruh
dunia, dengan penyebab utama kebutaan yaitu katarak sebesar 51%. Selain itu,
katarak merupakan penyebab gangguan penglihatan kedua di dunia dengan
angka kejadian sebesar 33%.7
Data nasional mengenai besaran masalah gangguan penglihatan dan
kebutaan didapat dari berbagai survei, antara lain Rapid Assessment of
Avoidable Blindness (RAAB) dan Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ). RAAB
merupakan standar pengumpulan data Kebutaan dan Gangguan Penglihatan
yang ditetapkan oleh WHO, melalui Global Action Plam (GAP) 2014 – 2019.
Prevalensi kebutaan di Indonesia dari hasil survei kesehatan mata RAAB pada
tahun 1993 -1996 di dapatkan sebesar 1,5%.7,8
Penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia adalah katarak yang belum
dioperasi (82%) dengan prevalensi 1,9%. Selain sebagai penyebab kebutaan
terbanyak, katarak juga menjadi penyebab gangguan penglihatan berat dan
sedang yang diikuti oleh gangguan refraksi. Lebih dari 90% kebutaan di
Indonesia merupakan kebutaan yang dapat dihindari (avoidable blindness),
dengan 80% diantaranya memerlukan operasi katarak untuk menanngulangi
kebutaan.2
Data terakhir yang diperoleh RAAB pada15 provinsi pada periode tahun
2014-2016, prevalensi kebutaan di atas usia 50 tahun di lndonesia berkisar
antara 1,7% sampai dengan 4,4%. Prevalensi kebutaan di lndonesia adalah
3,0%.5

Tabel 2. Hasil survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) pada15


provinsi di Indonesia.5

4
Berdasarkan Riset kesehatan Dasar (Rikesdas) Indonesia tahun 2007,
menunjukkan adanya penurunan angka kebutaan di Indonesia yaitu rata-rata
kebutaan nasional adalah 0,9% dan prevalensi kebutaan nasional tahun 2013
sebesar 0,4%. Meskipun demikian angka ini belum bisa dibandingkan dengan
hasil survei kesehatan indera penglihatan tahun 1993-1996 karena metode dan
teknik yang dilakukan berbeda. Inseiden katarak diestimasikan sebesar 0,1%
per tahun. Selain itu, penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan
menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah
subtropis.9

Gambar 1. Prevalensi pemakaian kaca mata/ lensa kontak, severe low vision,
dan kebutaan menurut kelompok umur.9

5
Prevalensi kebutaan pada usia produktif (15-54 tahun) sebesar 0,5%.
Prevalensi kebutaan meningkat pesat pada penduduk kelompok umur 45 tahun
ke atas dengan rata-rata peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10
tahunnya. Prevalensi kebutaan tertinggi ditemukan pada penduduk kelompok
umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan proses degeneratif pada pertambahan
usia.9
Batas prevalensi kebutaan yang tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat menurut standar WHO adalah 0,5%. Jika prevalensi di atas 1%
menunjukkan adanya keterlibatan masalah sosial. Jika dilihat hasil survei
kebutaan yang telah dilakukan, termasuk hasil Riskesdas 2013, prevalensi
kebutaan masih tinggi yaitu masih di atas 0,5%.1,4

2.2 Barrier Cataract Surgery


2.2.1 Cost of Surgery
Dari penelitian Gusti, dkk di Gianyar menyatakan bahwa penderita
katarak mengalami kesulitan biaya pengobatan operasi katarak. Mereka
berpendapat bahwa operasi katarak membutuhkan biaya yang sangat besar dan
mereka tidak mampu untuk menanggung biaya tersebut. Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat belum memahami atau bahkan belum mengetahui program
kesehatan dari pemerintah mengenai jaminan kesehatan nasional.10

2.2.2 Distance to the Hospital


Hal tersebut terkait dengan keadaan demografi wilayah Indonesia dan
belum meratanya distribusi dokter mata dan kurang lengkapnya fasilitas
kesehatan di Rumah Sakit Daerah. Sehingga mereka harus menempuh jarak
yang cukup jauh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan operasi katarak.11
Dari hasil penelitian Gusti, dkk menyatakan bahwa penderita katarak
sudah pernah untuk mengkonsultasikan keluhan mengenai katarak tersebut ke
pelayanan kesehatan terdekat tetapi pelayanan kesehatan tersebut tidak
memiliki dokter spesialis mata dan peralatan yang digunakan untuk menangani
katarak,. Kemudian penderita tersebut dirujuk ke pelayanan kesehatan tersier,
tetapi penderita tersebut tidak dapat melanjutkan pengobatan karena tidak ada
yang dapat mengantarkan ke pelayanan kesehatan tersebut. 10
2.2.3 Cultural and Social Barriers

6
Data menunjukkan bahwa wanita secara signifikan lebih kecil
kemungkinan untuk operasi katarak dibandingkan pria, meskipun fakta
menunjukkan bahwa angka operasi katarak pada wanita sedikit lebih tinggi dari
pada pria. Terdapat banyak alasan terkait hal tersebut, diantaranya adalah
perempuan kurang mendapat pengetahuan dan tidak memiliki informasi yang
memadai tentang pelayanan kesehatan, perempuan mungkin tidak memiliki
dukungan sosial yang diperlukan dalam rumah tangga atau komunitas untuk
memungkinkan mereka menerima perawatan, serta perempuan seringkali tidak
memiliki kemampuan yang memadai terkait kemampuan keuangan rumah
tangga, dan perempuan umumnya kurang mampu bepergian ke luar desa untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan.12
Adanya budaya sekitar yang spesifik untuk kondisi pasca- operasi akan
memberikan efek secara langsung terhadap pasien untuk tidak mencari
perawatan medis yang standar, sebagai contoh : kepercayaan bahwa kebutaan
karena katarak merupakan kehendak Tuhan atau karena ilmu sihir, dan hal ini
tidak akan sembuh dengan operasi. Hal ini akan memberi kesan negatif terhadap
operasi katarak.10

2.2.4 Knowledge of Service


Pengetahuan yang terbatas pada penderita katarak terhadap adanya
kemungkinan untuk pengobatan, merupakan faktor yang sering terjadi di
masyarakat. Meskipun angka kejadian kebutaan katarak sangat tinggi pada
masyarakat namun pengetahuan masyarakat mengenai penyakit katarak
sangatlah kurang. Dari beberapa data hasil survei di masyarakat menyatakan
bahwa penderita katarak yang sudah memiliki keluhan mengenai penglihatan,
tetapi mereka tidak mengetahui adanya pengobatan mengenai keluhan
tersebut.10
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, barrier operasi
katarak yang tertinggi sesuai metode RAAB adalah “merasa tidak perlu”
sebanyak 59,1%. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan masyarakat
terkait katarak masih rendah, sehingga dapat dikaitkan dengan rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa karena usia
sudah tua tidak perlu lagi berobat atau melakukan operasi katarak. Selain itu
juga , penderita katarak berpendapat tidak memiliki waktu yang cukup panjang
untuk melakukan terapi katarak dan pasca terapi katarak, serta ada yang

7
beranggapan bahwa hal yang terjadi pada penglihatannya dapat sembuh sendiri
setelah beberapa hari, sehingga operasi katarak tidak diperlukan.3,10

2.2.5 Trust in Outcome Surgery


Banyak penderita katarak yang masih merasa takut untuk dilakukan
tindakan operasi katarak. Mereka beranggapan bahwa akan terjadi hal yang
buruk setelah operasi katarak dan akan mengakibatkan kehilangan penglihatan
mereka.
Penderita katarak yang mendapat hasil baik dan puas akan hasil operasi katarak,
akan menjadi motivator yang sangat baik bagi orang lain untuk menjalani
operasi. Namun pada penderita katarak dengan hasil yang buruk dapat memiliki
efek sebaliknya. Ketakutan akan hasil yang buruk mungkin menjadi alasan utama
bagi penderita katarak untuk menolak operasi katarak. Untuk mengatasi hal
tersebut, perlu adanya program yang dapat memberikan hasil operasi katarak
berkualitas tinggi secara konsisten, sehingga penderita katarak dapat percaya
terhadap hasil operasi katarak yang dilakukan oleh pusat pelayanan kesehatan.12

2.3 Analisa Situasi


2.3.1 Demografi Penduduk Indonesia
Populasi lndonesia merupakan ke-empat terbesar di dunia, setelah
Republik Rakyat Tiongkok, lndia dan Amerika Serikat. Menurut data BPS dalam
Statistik Indonesia 2016, jumlah penduduk lndonesia pada tahun 2015 mencapai
255.461.000 jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 28.889.764 jiwa atau 11,31%
merupakan penduduk yang berusia di atas 50 tahun.5

8
Gambar 2. Piramid Penduduk Indonesia Tahun 2010, 2020, dan 2035.13

Pada tahun 2010 piramida penduduk Indonesia kembali memperlihatkan


lebarnya di bagian penduduk muda, dengan penduduk yang berusia 0 – 14 tahun
merupakan komposisi penduduk yang paling besar. Sementara itu, pada
piramida penduduk hasil proyeksi tahun 2020 tampak terjadi perubahan struktur
kependudukan di Indonesia, yaitu kelompok umur 0-4 tahun mulai berkurang
karena penurunan jumlah kelahiran. Kelompok umur 5-9 tahun akan mengalami
pembengkakan karena jumlah kelahiran yang tinggi dari masa 10 tahun
sebelumnya dan jumlah penduduk kelompok 65 tahun ke atas juga mengalami
kenaikan.13
Pada tahun 2035 diproyeksikan penduduk usia 0-14 tahun akan
mengalami penurunan yang signifikan dengan melihat pada tahun 2010 proporsi
dari penduduk Indonesia yang berusia 0-14 tahun sebesar 28,6 persen dan pada
taun 2035 turun menjadi 21,5 persen. Seiring dengan perkembangan penduduk,
bagian tengah piramida mengalami pembengkakan, yang artinya mereka yang
terkategori usia produktif mengalami kenaikan. Selanjutnya penduduk yang
berusia 65 tahun ke atas juga mengalami kenaikan yang signifikan, dari proporsi

9
sebesar 5% pada tahun 2010 diperkirakan naik menjadi 10,5 persen pada tahun
2035.13
Peningkatan jumlah penduduk usia lebih dari 50 tahun yang terus
meningkat dari tahun ke tahun, maka penyakit degeneratif juga akan meningkat.
Pada kesehatan mata, salah satu penyakit degeneratif yang merupakan
penyebab utama kebutaan adalah katarak. Hal ini dapat menyebabkan
peningkatan yang signifikan jumlah penderita katarak pada waktu tertentu, yang
disebut dengan Tsunami Cataract.13,14

2.3.2 Sumber Daya Manusia


Tenaga kesehatan memiliki peran penting dalam rangka
terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat. Pemerintah terus
mengupayakan pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan guna memenuhi
harapan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu.14
Penanganan gangguan penglihatan membutuhkan tenaga dokter
spesialis mata. Sampai dengan Desember 2013, jumlah dokter spesialis mata
yang terdaftar di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah sebanyak 1.455
orang. Jumlah dokter spesialis mata yang terdaftar di Pengurus Pusat Perdami
adalah sebanyak 1.522 orang dan residen mata sebanyak 612 orang. Dengan
demikian secara nasional satu orang dokter spesialis mata rata-rata melayani
lebih dari 170.000 penduduk. Masih sangat jauh dibandingkan standar WHO,
yaitu idealnya adalah 1:20.000. Persebaran dokter spesialis mata juga belum
merata, diharapkan setiap kabupaten/ kota setidaknya terdapat satu orang dokter
spesialis mata untuk memudahkan akses masyarakat. Namun jika dilihat jumlah
dokter dan jumlah kabupaten/ kota di masing-masing provinsi terlihat ada
provinsi yang jumlah dokter spesialis mata kurang dari jumlah kabupaten/ kota
dan sebaliknya terdapat provinsi yang memiliki dokter spesialis mata yang
banyak.1

10
Gambar 3. Rasio Jumlah Kebutaan Dibandingkan Jumlah Spesialis Mata Tahun
2013.1
Rasio jumlah kebutaan dibandingkan jumlah dokter spesialis mata
tertinggi adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat dan Sulawesi
Tenggara. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan prevalensi
kebutaan kedua tertinggi. Sedangkan rasio terendah adalah di Provinsi DKI
Jakarta, DI Yogyakarta dan Bali. DI Yogyakarta merupakan provinsi dengan
prevalensi kebutaan nomor 2 terendah.1

2.3.3 Infrastruktur
Pembangunan kesehatan menjadi bagian integral dari pembangunan
nasional karena bidang kesehatan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan
manusia secara berkesinambungan, yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terarah. Pembangunan ini
merupakan upaya untuk tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.8
Infrastuktur kesehatan merupakan salah satu faktor kunci dari tercapainya
pembangunan kesehatan di Indonesia. World Health Organization (WHO)
mendefinisikan kesehatan sebagai sebuah kondisi kesejahteraan fisik, mental
dan sosial, dan bukan sekedar bebas penyakit dan kelemahan fisik. Dalam
prakteknya,pengukuran tingkat kesehatan yang digunakan tingkat harapan
hidup.

11
Infrastruktur kesehatan berupa rumah sakit, rumah perawatan, fasilitas
pemeriksaan oleh dokter keliling, fasilitas perawatan gigi dengan mobil keliling,
serta mobil ambulans.16
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Jumlah puskesmas di lndonesia sampai dengan Desember
2016 sebanyak 9.167 unit. Jumlah tersebut terdiri dari 3.411 unit puskesmas
rawat inap dan 6.356 unit puskesmas non rawat inap. Pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan dasar dapat digambarkan secara umum oleh indikator
rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk. Peningkatan jumlah puskesmas
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016, ternyata sejalan dengan
peningkatan rasio puskesmas terhadap 30.000 penduduk yaitu dari 1,17 menjadi
1,13. 5,16
Rumah sakit publik di lndonesia dikelola oleh Kementerian Kesehatan,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, TNl/Polri, Kementerian lain
serta Swasta non Prot (organisasi keagamaan dan organisasi sosial). Jumlah
rumah sakit publik di lndonesia sampai dengan tahun 2016 sebanyak 2.601 unit,
yang terdiri atas Rumah Sakit Umum (RSU) berjumlah 2.045 unit dan Rumah
Sakit Khusus (RSK) berjumlah 556 unit.5,8
Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan rujukan dan perorangan di suatu wilayah dapat dilihat dari rasio
tempat tidur terhadap 1.000 penduduk. Rasio tempat tidur di rumah sakit di
lndonesia pada tahun 2016 sebesar. 1,12 per 1.000 penduduk. Rasio ini lebih
rendah dibandingkan tahun 2015 sebesar 1,21 Per 1.000 penduduk.5

2.3.4 Financial Health


Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata
2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Persentase ini masih jauh dari anjuran
WHO yaitu paling sedikit 5% dari PDB per tahun. Sementara itu anggaran
pembangunan berbagai sektor lain belum sepenuhnya mendukung
pembangunan kesehatan. Pembiayaan kesehatan yang kuat, terintegrasi, stabil,
dan berkesinambungan memegang peran yang amat vital untuk

12
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam mencapai tujuan pembangunan
kesehatan.17

2.4 Pencegahan Katarak


2.4.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya katarak dengan
menghilangkan (melindungi) tubuh dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan
katarak. Sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat mencegah timbulnya
katarak. Beberapa penelitian sedang dilakukan untuk memperlambat proses
bertambah keruhnya lensa untuk menjadi katarak. Banyak faktor lain yang
berpengaruh terhadap terjadinya katarak, antara lain penyakit diabetes melitus,
pemakaian steroid yang lama, kelainan bawaan metabolisme, pajanan kronis
terhadap sinar ultra violet (sinar matahari), riwayat katarak pada keluarga,
myopia, alkohol, nutrisi, merokok, derajat sosial ekonomi, status pendidikan, dan
multivitamin.7

2.4.2 Pencegahan Sekunder


Pencegahan sekunder merupakan usaha untuk mencegah timbulnya
kerusakan mata lebih lanjut dengan mengidentifikasi kelompok populasi beresiko
tinggi, sehingga dapat mencegah terjadinya kebutaan/ visual loss. Misalnya
dengan melakukan operasi katarak sedini mungkin dan meningkatkan pelayanan
kesehatan yang terjangkau.5,7

2.4.3 Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier adalah usaha untuk mencegah timbulnya komplikasi
akibat katarak dan pengobatannya. Setelah operasi katarak perlu mendapatkan
obat tetes mata selama beberapa minggu. Perbaikan tajam penglihatan akan
dirasakan pada hari berikutnya setelah operasi katarak. Penyembuhan sempurna
akan didapatkan setelah 4-5 minggu. Pemeriksaan secara berkala perlu
dilakukan secara teratur, sebagai upaya deteksi dini jika terjadi timbulnya
komplikasi. Pasca operasi katarak diperlukan kacamata untuk membantu
penglihatan dekat.5,7

2.4 Universal Health Coverage (UHC)

13
Universal Health Coverage (UHC) adalah upaya untuk menjangkau
seluruh masyarakat pada pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu
dan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pencapaian
Universal Health Coverage ( UHC ) harus didukung oleh 6 elemen :

1. Alokasi budget yang mencukupi


2. Ketersediaan SDM yang berkualitas
3. Ketersediaan obat-obatan dan alat kesehatan
4. Adanya sistem informasi kesehatan yang berjalan baik
5. Adanya kebijakan kesehatan di tingkat nasional yang mendukung
6. Akses pelayanan kesehatan yang terjangkau seluruh masyarakat yang
komprehensif dan bermutu.5
Pelaksanaan Universal Health Coverage harus didukung oleh suatu
sistem kesehatan yang baik. Sistem kesehatan yang baik menjamin akses dan
ketersediaan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan bagi masyarakat tanpa
adanya hambatan finansial. Untuk itu diperlukan suatu sistem pengalokasian
anggaran kesehatan yang terstruktur dan sistematis. Petugas kesehatan yang
berkualitas sangat diperlukan agar pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
aman dapat diakses oleh masyarakat. Ketersediaan alat kesehatan dan teknologi
yang tepat guna diperlukan untuk pelayanan kesehatan yang komprehensif dan
cost effective.1,17

Gambar 4. Dimensi yang harus diperhatikan dalam mencapai UHC18

Pooled funds merupakan dana yang dapat digunakan untuk


memperluas pelayanan kepada individu yang sebelumnya tidak tertanggung atau
untuk mengurangi pembayaran langsung yang diperlukan pada setiap layanan.
Dimensi ini menggambarkan serangkaian pilihan kebijakan terkait manfaat utama

14
yang dihadapi oleh suatu negara dalam sistem pembiayaan kesehatan menuju
UHC. Pilihan tersebut perlu dilakukan untuk menentukan masing- masing dari
tiga dimensi dengan menyesuaikan keadaan keuangan, organisasi dan politik
suatu negara.18

2.5.1 Universal Eye Health (UEH)


Universal Eye Health (UEH) merupakan penjabaran dari Universal
Health Coverage (UHC) dalam hal penanggulangan gangguan penglihatan.
Konsep tersebut tertuang dalam Globol Action Plan 2014-2019 menuju Universal
Eye Health. Pada UEH, tindakan yang diusulkan untuk Negara Anggota, mitra
internasional dan Sekretariat disusun berdasarkan tiga tujuan, yaitu:1,19
1. Memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan besarnya evidance dan penyebab
gangguan penglihatan dan pelayanan kesehatan mata serta
menggunakannya untuk mengadvokasi komitmen politik dan keuangan yang
lebih besar oleh negara-negaraanggota untuk kesehatan mata
2. Mendorong pengembangan dan implementasi kebijakan, rencana, dan
program kesehatan mata nasional terpadu untuk meningkatkan UEH dengan
kegiatan yang sejalan dengan kerangka kerja WHO untuk kegiatan
memperkuat sistem kesehatan dengan tujuan meningkatkan hasil kesehatan
3. Membahas keterlibatan multisektoral dan kerjasama yang efektif untuk
memperkuat kesehatan mata.19

Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan


kesehatan mata di tingkat nasional di suatu negara, yaitu: 1
 Prevalensi Kebutaan dan gangguan penglihatan
 Jumlah tenaga kesehatan mata
 Jumlah operasi katarak, yang dapat berupa angka CSR (Cataract Surgical
Rate) atau CSC (Cataract Surgical Coverage) (infodatin).
Ketiga indikator tersebut merupakan target global dan telah ditetapkan
pula dalam action plan bahwa penurunan prevalensi gangguan penglihatan
(yang dapat dicegah) mencapai 25% di tahun 2019.1
Menurut WHO terdapat unsur-unsur utama yang harus diberlakukan
dalam mencapai UEH : 20

15
1. Layanan perawatan mata komprehensif, yaitu dengan menawarkan berbagai
layanan yang mencakup berbagai penyebab gangguan penglihatan, mulai dari
promosi, pencegahan hingga rehabilitasi dan perawatan.

2. Kesehatan mata diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan, yang terbagi


menjadi enam komponen yaitu :
 Tata Kelola (Governance)
 Sumber Daya Manusia (Human Resources)
 Sistem Keuangan (Health Financing)
 Teknologi Informasi (Health Information)
 Obat- obatan dan Teknologi Kesehatan (Consumable and Technology)
 Akses Layanan Kesehatan (Service Delivery)
3. Akses untuk semua orang, termasuk orang miskin, minoritas, orang cacat
termasuk penglihatan lemah dan orang-orang di daerah pedesaan. Ini
membutuhkan penjangkauan dan promosi kesehatan yang memadai
termasuk dalam teknologi dan format yang sesuai.
4. Pembayaran untuk perawatan seharusnya tidak terhambat sehingga dapat
dilakukan layanan gratis untuk yang termiskin.

2.5.2 Sistem Kesehatan Nasional


Sistem Kesehatan Nasional dilaksanakan mengacu pada pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945 dan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Merujuk pada Peraturan
Presiden Republik lndonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional, pengelolaan kesehatan diselenggarakan melalui pengelolaan
administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya
kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat,
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.5
Peta Jalan Penanggulangan Gangguan Penglihatan dirancang dengan
mengadaptasi penanggulangan gangguan penglihatan yang berbasis sistem
kesehatan dan berintegrasi dengan sistem kesehatan yang ada. Upaya ini
dilakukan untuk menuju Universal Eye Health dan Universal Health Coverage.5

16
Program percepatan penanggulangan gangguan penglihatan berbasis 6
building blocks WHO, yaitu :5

 Tata Kelola (Governance)


Dilaksanakannya secara efektif berbagai kebijakan dan aturan
pemerintah pusat dan daerah dalam mendorong keberhasilan program
dan kegiatan terkait kesehatan mata di semua tingkatan pemerintah,
terutama di tingkat kabupaten/ kota.
 Sumber Daya Manusia (Human Resources)
Tersedianya tenaga kesehatan mata yang professional dengan jumlah
yang memadai di semua tingkat pelayanan kesehatan.
 Sistem Keuangan (Health Financing)
Tersedianya alokasi anggaran untuk Program PGP yang efektif dan
berkelanjutan, sehingga semua individu dapat mengakses fasilitas
pelayanan kesehatan mata yang dibutuhkan tanpa adanya hambatan
finansial.
 Teknologi lnformasi (Health lnformation)
Tersedianya system informasi kesehatan mata sebagai database untuk
pemetaan, situasi analisis dan system pelaporan.
 Obat-obatan dan Teknologi Kesehatan (Consumables and
Technology)
Ketersediaan obat-obatan, bahan habis pakai dan alat medis yang
memadai dan berkelanjutan dan pemanfaatan serta pengembangan
teknologi yang tepat guna.
 Akses Layanan Kesehatan (Service Delivery)
Pelayanan kesehatan mata yang komprehensif, berkualitas dan
terjangkau yang terselenggara secara teratur dan berkelanjutan di semua
tingkat pelayanan kesehatan.
 Kemitraan (Partnerships)
Memfasilitasi kerja sama dan koordinasi antar instansi pemerintah dan
Organisasi Non Pemerintah.

Kementerian Kesehatan Rl bersama Komite Mata Nasional, PERDAMI,


dan Non Government Organization (NGO) merancang lima poin strategi untuk
menanggulangi gangguan penglihatan, yaitu :5

17
1. ldentikasi besarnya permasalahan gangguan penglihatan melalui survey
Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB)
2. Analisa situasi dan pembuatan Plan of Action
3. Pelatihan Sumber Daya Manusia untuk kesehatan mata
4. Penguatan sistem rujukan
5. lntegrasi pelayanan kesehatan mata dengan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN)

2.6 Burden of Cataract


Dalam suatu populasi, didapatkan orang yang pernah menjalani operasi
katarak di masa lalu. Orang yang dioperasi katarak biasanya tidak dimasukkan
dalam perkiraan prevalensi karena mereka saat ini tidak memiliki katarak
(terutama jika mereka telah dioperasi pada kedua mata, atau jika mata yang
tidak dioperasi tidak memiliki katarak yang menyebabkan kebutaan). Namun,
mereka telah memiliki katarak di masa lalu (dengan asumsi bahwa setiap orang
yang dioperasi karena katarak sebenarnya memiliki katarak yang menyebabkan
kebutaan) dan perlu dipertimbangkan untuk menentukan jumlah sebenarnya
orang yang buta dengan katarak pada waktu tertentu di masa lalu. Dengan
demikian, beban kebutaan katarak akan mencakup orang-orang yang saat ini
memiliki katarak dan orang-orang yang pernah menjalani operasi katarak di
masa lalu.21
Rumus :

Burden of Cataract = Backlog Cataract + Received Surgery

Contoh :
Jumlah penduduk pada suatu populasi 1.000.000, pada daerah tersebut terdapat
5 Dokter Spesialis Mata, masing-masing Dokter Spesialis Mata dapat melakukan
operasi katarak sebanyak 10.000 pasien/ tahun. Jika jumlah kebutaan katarak
yang masih ada sebesar (backlog) 150.000 orang. Berapa banyak cataract
burden di wilayah tersebut?

Burden of Cataract = Backlog cataract + Cataract Surgical Rate


= 150.000 + (5 x 10.000)
= 200.000 orang

18
2.7 Backlog Cataract
Backlog Cataract adalah jumlah penderita katarak yang belum dilakukan
operasi pada tahun tersebut. Diperkirakan setiap tahun kasus baru buta katarak
akan selalu bertambah sebesar 0,1% dari jumlah penduduk atau kira-kira
250.000 orang/tahun. Sementara itu kemampuan kita untuk melakukan operasi
katarak setiap tahun diperkirakan baru mencapai 180.000/ tahun sehingga setiap
tahun selalu bertambah backlog katarak sebesar lebih kurang 70.000. Jika kita
tidak segera mengatasi backlog katarak ini maka angka kebutaan di Indonesia
semakin lama akan semakin tinggi.22
Besarnya backlog katarak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah karena akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mata masih
terbatas terutama di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan  kepulauan yang
belum memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dan SDM kesehatan yang
memadai termasuk keberadaan dokter spesialis mata.1,22
Contoh :
Dalam suatu daerah terdapat 1.000.000 penduduk, jumlah total penduduk yang
buta katarak 550.000. Jika terdapat 12 orang dokter spesialis mata, tiap dokter
dapat melakukan operasi 24.000/ tahun. Berapa banyak backlog cataract pada
daerah tersebut?

Backlog Cataract = total cataract blindness – CSR


= 550.000 – (12 x 24.000)
= 550.000 – 288.000
= 262.000

2.8 Cataract Surgery Rate


Cataract Surgical Rate (CSR) adalah angka operasi katarak per satu
juta populasi per tahun dan digunakan mengukur secara kuantitas pelayanan
katarak. Menurut data Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI), CSR di
Indonesia pada tahun 2012 berkisar pada 700-800. Nilai ini masih jauh dari
angka CSR yang disarankan oleh WHO sebesar 2000 atau CSR di negara-
negara maju, yang berkisar Antara 4000-6000. Bahkan CSR di Indonesia hampir
tergolong kategori merah dalam pemetaan Vision 2020 WHO (CSR < 500). CSR
juga digunakan oleh suatu negara untuk menentukan jumlah mata yang akan di

19
operasi katarak dalam satu tahun. Angka CSR harus dihitung melalui
pengumpulan data jumlah operasi katarak yang telah dilakukan per tahun di
suatu daerah/negara lalu dibagi per satu juta populasi.2, 22

Rumus :

CSR = jumlah operasi katarak per tahun


Jumlah populasi (juta)
Contoh :
Jumlah penduduk suatu populasi sebanyak 1.000.000. di daerah tersebut
terdapat 4 Dokter Spesialis Mata. Satu minggu aktif melaksanakan operasi
salama 5 hari (dalam satu tahun 50 minggu aktif melaksanakan operasi). Setiap
Dokter Spesialis Mata dapat melakukan 20 operasi/ minggu. Berapa besar
cataract surgical rate pada daerah tersebut?

CSR = 4 x 50 minggu x 20 operasi = 4.000

Tabel 3. Target Cataract Surgical Rate di berbagai negara24

2.9 Cataract Surgery Coverage (CSC)


Cataract Surgical Coverage (CSC) adalah jumlah orang yang mengalami
katarak di kedua mata yang mendapatkan operasi katarak baik di satu atau

20
kedua matanya. Angka CSC dapat diketahui dari survei RAAB, karena perangkat
lunak yang digunakan telah memuat pula perhitungan CSC.1,25

2.9.1 Cataract Surgery Coverage (persons)


Catarac Surgery Coverage (persons) digunakan untuk menghitung jumlah
proporsi orang dengan kemungkinan operasi katarak pada kedua mata, baik
pada satu mata atau kedua mata yang telah dioperasi pada waktu yang sama.26

Rumus : x+y
CSC (person) = X 100
x+y+z
x = jumlah orang dengan unilateral pseudoaphakia
y = jumlah orang dengan bilateral pseudoaphakia
z = jumlah orang dengan akan operasi pada kedua matanya

Contoh
Cataract Surgical Coverage (person) pada 1.000.000 penduduk di wilayah
tersebut adalah 50%. Berapa banyak orang dengan bilateral pseudofakia, jika
terdapat 2.500 orang dengan unilateral mata yang sudah dioperasi, terpasang
IOL dan masih terdapat katarak pada mata satunya, serta terdapat 4.000 orang
dengan bilateral cataract ?

2500 + y
CSC (person) = X 100
2500 + y + 4000
2500 + y
50% = X 100
6500 + y

0,5 (6500+y) = 2500 + y


3250 + 0,5y = 2500 + y
0,5y = 750
y = 1500

2.9.2 Cataract Surgery Coverage (eyes)


Cataract Surgery Coverage (eyes) digunakan untuk menghitung jumlah
proporsi mata yang telah dilakukan operasi pada waktu yang sama. Hasil dari

21
perhitungan CSC (eyes) berkaitan dengan jumlah operasi beban kerja yang
dilakukan oleh dokter mata.26

Rumus :

a
CSC (eye) = x 100
a+b

a = pseudoaphakic eyes
b = eyes with operable cataract

Contoh :
Berapa banyak Cataract Surgical Coverage (CSC), jika terdapat 6500 sudah
dioperasi mata dengan terpasang IOL dan 3500 mata dengan operable cataract
pada 1.000.000 penduduk daerah tersebut.

6.500
CSC (eyes) = X 100
6.500 + 3.500

= 65%

2.10 Cataract Outcomes


Operasi katarak merupakan salah satu prosedur bedah yang paling
sering dilakukan di seluruh dunia. Selama dua dasawarsa terakhir, jumlah
operasi katarak yang dilakukan secara rutin meningkat tiga kali lipat dari
sebelumnya. Pada tahun 1988 operasi katarak sebayak 5 juta dan pada tahun
2008 meningkat menjadi 15 juta. Meskipun operasi katarak telah sering
dilakukan, namun masih terdapat beberapa kekhawatiran terhadap kualitas hasil
operasi. WHO menargetkan kualitas operasi katarak akan terpenuhi, yaitu
koreksi terbaik pascaoperasi yang mencapai 6/18 minimal 85%. Pada negara
berkembang, seringkali hasil operasi tidak memenuhi standar tajam penglihatan
baik dari WHO yaitu pasien memiliki tajam penglihatan koreksi terbaik kurang
dari 20/200 berjumlah lebih dari 5%. 27

22
Tabel 3. WHO Guidelines on Visual Outcome of Cataract Surgery27

Terdapat beberapa factor penyebab, buruknya hasil operasi katarak, yang


diklasikfikasikan ke dalam 4 kelompok :28
1. Selection, dikarenakan adanya penyakit mata bersamaan yang sudah ada
sebelumnya.
2. Surgery, dikarenakan adanya komplikasi baik pada saat pra operasi maupun
pasca operasi.
3. Spectacles, dikarenakan koreksi optic yang tidak adekuat.
4. Sequelae, dikarenakan komplikasi pasca operasi setelah beberapa waktu,
missalnya ablasio retina, opasifikasi kapsul posterior.

Pada hasil survei berbasis populasi di desa Satkhira, Bangladesh operasi


katarak dilakukan pada 213 mata (170 orang). Dari jumlah tersebut, 117 mata
menjalani operasi katarak dengan tehnik ECCE (Extra Capsular Catarac
Extraction) dengan lensa intraocular (IOL) yang ditanamkan (54,9%) dan 96 mata
dengan menggunakan terhnik ICCE (Intra Capsular Catarac Extraction) (45,1%).
Didapatkan hasil kurang baik dari rekomendasi WHO, bahwa setelah dilakukan
operasi, didapatkan hasil 15% borderline dan 5% poor outcome. Hal tersebut
sebagian besar disebabkan oleh pemilihan kasus yang kurang baik, komplikasi
bedah katarak, serta terbatasnya lensa.28

23
Tabel 4. Penyebab Hasil Buruk Pada Pasca Operasi Katarak 27

Dalam melakukan monitoring dan evaluasi pada paca operasi katarak


dapat menggunakan form yang sudah sesuai dengan rekomendasi WHO.
Tabel 5. (A) Formulir catatan katarak manual, digunakan saat pertama kali pasca
operasi. (B) Formulir catatan katarak manual, digunakan saat follow up pasca
operasi 4 minggu.28

24
2.11 Cataract Outlay
Pembiayaan operasi katarak merupakan jumlah uang yang dihabiskan
untuk melakukan operasi katarak dari semua biaya yang dikeluarkan, yang terdiri
dari berbagai macam komponen yang terdiri dari biaya bahan habis pakai
(benang jahit, obat- obatan, IOL), jasa medis tenaga kesehatan, overhead cost
(biaya air, listrik, sewa, pemeliharaan bangunan), serta proporsi dari biaya
infrastruktur, instrument dan peralatan. Selain itu juga, terdapat biaya yang
dikeluarkan oleh pasienn dan keluarga untuk transportasi, makan, dan waktu
yang hilang selama tidak bekerja.29,30
Agar biaya operasi katarak dapat terjangkau, pendekatan pertama adalah
meminimalkan biaya prosedur operasi. Pembelian dalam jumlah banyak untuk
jarum dan benang, IOL dan obat-obatan yang berkualitas namun tidak mahal,
dapat mengurangi biaya bahan habis pakai di negara - negara berkembang,
pada nilai $ 10 - $ 20. Sedangkan untuk biaya jasa medis tenaga kesehatan dan
overhead cost dapat dikurangi melalui peningkatan produktivitas. Jika tim bedah
operasi katarak melakukan lima operasi katarak pada satu hari, tetapi pada hari
yang lain melakukan sepuluh operasi katarak, maka biaya relatir dihitung per
kasus untuk jasa medis dan overhead cost, sedangkan pada hari kedua akan
menjadi setengah dari hari pertama. Oleh karena itu, dengan pembelian bahan
habis pakai berbiaya rendah namun berkualitas dan peningkatan produktivitas,

25
dimungkinkan pada negara berkembang dapat menghasilkan biaya operasi
katarak yang terjangkau yaitu pada nilai antara $ 20 dan $ 50.30
Pada system pembiayaan operasi katarak terdapat dua macam
pembiayaan, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tergantung (variable cost).
Pada biaya tetap merupakan biaya yang rutin dan pasti dikeluarkan walaupun
tidak ada pelayanan kesehatan, misalnya gaji pegawai, biaya air, listrik, dan
pemeliharaan bangunan. Sedangkan biaya tergantung merupakan biaya yang
dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan kegiatan yang dilakukan, misalnya
benang, IOL. Sehingga dari hal tersebut didapatkan perhitungan biaya unit
operasi katarak, dengan rumus :31

Contoh :
Fixed cost = 30.000.000
Jumlah operasi katarak = 500
Biaya habis pakai untuk 1 operasi = 2.000.000

30.000.000
Biaya operasi katarak per unit = + 2.000.00
500

= 60.000 + 2.000.000
= 2.060.000

26
Gambar 5. Grafik hubungan antara jumlah operasi katarak dengan biaya operasi
katarak per unit.31

Dalam mengelola pengeluaran dan biaya operasi katarak terdapat tiga


langkah yang dilakukan, sebagai berikut:31
1. Cost containment
Dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah operasi katarak, meminimalkan
biaya habis pakai dan pemeliharaan biaya sesuai dengan anggaran.
2. Cost recovery
Pelaksanaan cost recovery ditentukan oleh status social ekonomi, kerelaan
untuk membayar dan kemampuan untuk membayar pembiayaan operasi
katarak.
3. Income generation
Income generation merupakan strategi untuk dapat meningkatkan
keberhasilan operasi katarak melalui upaya pengembangan sumber subsidi
untuk dapat membantu pembiayaaan operasi katarak. Misalnya : Pelayanan
kesehatan yang berorientasi profit, mengembangkan food station di area
pelayanan kesehatan.

27

Anda mungkin juga menyukai