Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN PADA SISTEM IMUNITAS:

MYASTHENIA GRAVIS

Disusun Oleh :

MIKHAEL YOUNGGI
NIM. 20176313029

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN SINGKAWANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA SISTEM IMUNITAS :

MYASTHENIA GRAVIS

Singkawang, 3 Juli 2021

DOSEN PEMBIMBING PENYUSUN

WINNELIA, APP, MPH MIKHAEL YOUNGGI

NIP.197602082002122003 NIM. 20176313029


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya pembentukan autoantibodi terhadap
reseptor asetilkolin yang tempatnya berada di end-plate motor otot
rangka (Elizabeth, 2009). Istilah miastenia gravis berarti kelemahan
otot yang parah, pengidap miastenia gravis mengalami gangguan
neuromuscular yang menyebabkan cepatnya kelelahan dan
pemulihan yang melambat dan dapat memakan waktu 10 sampai
20 kali lebih lama dari orang tanpa miastenia gravis (Tutu, 2014).
Masih belum sepenuhnya dipahami mengapa, sistem kekebalan
pada orang dengan MG membuat antibodi terhadap reseptor
asetilkolin. Antibodi menghancurkan reseptor lebih cepat daripada
yang bisa diganti oleh tubuh. Kelemahan otot terjadi ketika
asetilkolin tidak dapat mengaktifkan reseptor yang cukup di
persimpangan neuromuskuler ( Mantegazza R, 2018).
Myasthenia gravis relative jarang terjadi diperkirakan angka
kejadiannya berkisar 5,3 per satu juta orang pertahun dan
prevalensi rata-rata 77.7 per satu juta orang, sebuah kajian
literature yang dilakukan McGrogan et. Al menyatakan bahwa
secara global insiden miastenia gravis sebanyak
30/1.000.000/tahun (.A, D. H. K. et al., 2020). Departemen
kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien MG
diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang populasi
pada seluruh etnis maupun jenis kelamin. Mayer and Levy (2010)
mengungkapkan insiden MG di negara-negara Asia meningkat
dalam 5 dekade terakhir, dari 2-5 per juta menjadi 9-21 per juta
populasi (A, D. H. K. et al.., 2020). Di Indonesia sendiri belum
ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian MG. Yayasan
Miastenia Gravis Indonesia sampai saat ini masih mengupayakan
pendataan yang maksimal terkait jumlah pasien dengan miastenia
gravis di Indonesia (Muhammad et al., 2019). Populasi MG
terbilang kecil apabila dibandingkan dengan jumlah seluruh
penduduk di Indonesia. Data di bagian Poliklinik Saraf Rumah Sakit
Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dilaporkan pasien miastenia
gravis periode Januari 2011-Desember 2012 sebanyak 54 orang
(Joensen, P.2014 ).
Gambaran klinis utama pada myasthenia gravis adalah
kelemahan pada otot skelet sifatnya fluktuatif, biasanya mengenai
nervi cranialis pada nuclei motor di brainstem seperti otot-otot
mata, mastikasi, menelan dan lidah. Gejala klinis yang tampak
pada saat aktivitas berupa kelemahan pada otot, membaik dengan
beristirahat dan pemberian obat antikolinesterase seperti
neostigmin (Ropper & Brown, 2005) dikutip dari (Ida & Kalanjati,
2014). Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan
miastenia gravis adalah krisis miastenik dan krisis kolinergik. Krisis
miastenik ditandai dengan adanya perburukan berat fungsi otot
rangka dan pada kondisi terburuk dapat menyebabkan gawat nafas
dan kematian karena otot diafraghma dan intercostal mengalami
kelumpuhan. Sedangkan krisin kolinergik merupakan respon toksis
yang kadang dijumpai pada penggunaan obat antikolinesterase
yang terlalu banyak. Krisis ini terjadi ditandai dengan peningkatan
motilitas usus, kontriksi pupil, dan bradikardi. Pasien juga dapat
mengalmai mual muntah, berkeringat, dan diare. Gawat napas
dapat terjadi. () Komplikasi yang juga dapat terjadi meliputi gawat
nafas dan pneumonia aspirasi. Penatalaksanaan pada pasien
dengan miastenia gravis dilakukan berupa pemberian
antikolinesterase yang dapat memperlambat pemecahan asetilkolin
sehingga kecukupan asetilkolin terjaga untuk kelangsungan
kontraksi otot. Selain itu, pengangkatan kelenjar timus dapat
dilakukan jika terdapat timoma Elizabeth, (2009)
Perawat berperan penting dalam pemberian asuhan
keperawatan pada klien dengan miastenia gravis. Pemberian
edukasi mengenai kondisi klien dapat dilakukan untuk menghindari
klien melakukan aktivitas yang membahayakan seorang diri ketika
klien dalam keadaan lemah. Karena pada miastenia gravis akan
merasa mudah lelah bahkan jika hanya melakukan aktifitas ringan
terlebih lagi jika melakukan hal yang berbahaya misalnya memasak
sendiri atau pergi ke kamar mandi sendiri tanpa pengawasan
perawat atau keluarga, hal itu sangat beresiko cedera bagi pasien.
Pendekatan multidisiplin tentang medikasi yang diberikan juga
penting untuk menghindari kondisi yang lebih buruk. Pasien dengan
miastenia gravis harus selalu mengkonsumsi obat tepat waktu
tanpa terlewat untuk mendapatkan hasil yang optimal Selain itu,
perawat berperan penting untuk memastikan tidak tidak terjadinya
kekambuhan dan memonitor status pernafasan dengan ketat untuk
mengetahui adanya penurunan atau kondisi klinis klien yang
mengarah ke krisis kolinergik atau miastenik. Meskipun jumlahnya
yang sedikit namun pasien tetap merasakan berbagai dampak fisik
maupun psikososial yang ditimbulkan oleh proses penyakit
(Muralitharan & Ian, 2015).
Miastenia gravis merupakan penyakit yang menakutkan
karena perkembangannya penyakitnya yang harus ditangani dan
tidak sembuh dengan sendirinya. (Tutu, 2014). Selain dampak fisik
yang dirasakan, pasien dengan miastenia gravis sering mengalami
gangguan emosi dan kelemahan otot apabila mereka dalam
keadaan tegang. Adanya kelemahan kelopak mata (ptosis, diplopia,
dan kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering
mengalami gangguan citra diri. Merasa tidak berdaya atau tidak
ada harapan fustasi atau marah dan menolak diagnose sering
timbul pada pasien dengan miastenia gravis (Koes, 2015).
Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien dengan miastenia
gravis yang telah mengalami penurunan kondisi kekuatan otot
berulang telah memiliki toleransi terhadap terapi. Namun hal ini
juga dapat menyebabkan klien frustasi sebagai dampak stress
psikologis akibat ketergantungan terhadap konsumsi obat maupun
penatalaksanaan medis lainnya seperti plasmaferesis (Antika &
Kusuma, n.d.). Dapat disimpulkan bahwa pasien dengan miastenia
gravis sangat membutuhkan dukungan psikologis melihat dari
dampak besar yang dirasakannya. Selain peran perawat, kehadiran
keluarga terdekat juga dibutuhkan sebagai support system untuk
klien. Perubahan dalam berhubungan dengan orang lain,
perubahan gaya hidup, reaksi negative atau malu dengan orang
lain sering terjadi pada pasien dengan miastenia gravis. Hal ini
menunjukan bahwa selain pada psikologis miastenia gravis juga
dapat berdampak pada aspek social klien (Koes, 2015).
Prevalensi yang rendah tetapi dampak yang besar yang
dirasakan klien dengan miastenia gravis, dan peran perawat yang
dibutuhkan klien untuk mendukung aspek fisik masupun spikis,
membuat penulis tertarik untuk mengambil miastenia gravis
sebagai topic dalam karya tulis ilmiah ini. Penulis juga melakukan
asuhan keperawatan pada klien miastenia gravis dalam karya tulis
ilmiah ini dan membahas kesesuaian dan kesenjangan yang timbul
antara teori dan pasien sebenarnya di lapangan. Untuk karya tulis
ilmiah ini, penulis mangambil judul “Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Ny. S Dengan Diagnosa Medis Myastenia Gravis”.

B. Tujuan Umum
Tujuan umum penulis mampu melaksanakan asuhan keperawatan
dengan cara pendekatan proses keperawatan secara langsung dan
komprehensif, yang meliputi aspek biologis psikologis sosiologis
spiritual pada pasien dengan myasthenia gravis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dan Teori Penyakit


1. Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah gangguan autoimun dari
transmisi neuromuskuler yang ditandai dengan kelemahan otot
skeletal (Anthonyus Gracius Bima Pakasi dkk, (2020). Myasthenia
gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang di mediasi
oleh antibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR) pada membran
postsynaptic dari tautan otot saraf. Hilangnya situs AChR
menyebabkan transmisi berkurang dari impuls saraf ditautan otot-
saraf dan penurunan depolarisasi otot (Huether & McCance, 2019).
Jadi kesimpulan dari penyakit Myasthenia gravis (MG) merupakan
penyakit autoimmune dengan gejala murni pada motorik yang
menyebabkan kelemahan dan kelelahan.
2. Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti,
diduga kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor
asetilkolin (Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan
neoromuskular akibat reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini
adalah:
a) Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR,
atau kelebihan kolinesterase
b) Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis
adalah:
 Infeksi (virus)
 Pembedahan
 Stress
 Perubahan hormonal
 Alkohol
 Tumor mediastinum
 Obat-obatan:Antikolinesterase, Laksative atau enema, Sedatif,
Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin), Potassium depleting diuretic, Narkotik analgetik,
Diphenilhydramine, B-blocker (propranolol), Lithium,
Magnesium, Procainamide, Verapamil, dan Chloroquine
3. Anatomi dan fisiologi
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel
di dalam SSP ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar
(serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot, akson membentuk
banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya. Masing-
masing dari terminal akson ini membentuk persambungan khusus,
neuromuscular junction, dengan satu dari banyak sel otot yang
membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga serat otot,
berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar
membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke
cekungan dangkal, atau groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian
ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end plate”.
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya
tidak berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu
besar untuk memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara
keduanya. Karenanya, seperti di sinaps saraf, terdapat suatu
pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal antara ujung saraf
dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin (ACh).
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang
disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi,
maka Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya
channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini
akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi
membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran.
Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam
vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang
dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR)
yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada
lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5
subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma,
dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang
siap untuk mengikat ACh. Ikatan antara ACh dan AChR akan
mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium pada sel otot, yang
segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini
akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-
synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing
level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut.
Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah
sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan
mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel pada AChR
kemudian akan dihidrolisis oleh enzim 5 Asetilkolinesterase (AChE)
yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic.
ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian
akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat
mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus.
4. Patofisilogi
Menurut (Salma Kamarudin dan Liza Chairani, 2019 )etiologi MG
terbagi menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu:
a. Defek transmisi neuromuscular
Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya factor
keselamatan pada proses transmisineuromuskular. Faktor
keselamatan adalah perbedaan potensial pada motor endplate dan
potential threshold yang dibutuhkan untuk menimbulkan potensial
aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot. Menurunnya
potensial pada motor endplate timbul akibat menurunnya reseptor
asetilkolin.
b. Autoantibodi
Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot
rangka. Antibodi AChR akan mengaktifkan rangkaian komplemen
yang menyebabkan trauma pada post-sinaps permukaan otot.
Selanjutnya antibody AChR akan bereaksi silang dengan AChR
sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu antibody
AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade
binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion.
c. Patologi timus
Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar
10% pasien MG terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma
memiliki kemampuan untuk memilih sel T yang mengenali AChR
dan antigen otot lainnya. Selain timoma, ditemukan juga
hyperplasia timus folikular pada pasien MG tipe awitan dini dan
atropi timus pada pasien MG dengan awitan lambat.11
d. Defek pada sistem imun
MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai sel B.
Produksi autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari
sel T CD4+ (Sel T helper). Mereka akan menyekresikan sitokin
inflamasi yang menginduksi reaksi autoimun terhadap self-antigen
dan akhirnya mengaktifkan sel B. Dasar ketidaknormalan pada
miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi impuls
saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan
neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70
% sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan
sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan
reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi
yang menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada
simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap
neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel
syaraf dan otot terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang
reseptor acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak diketahui.
Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus
kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada
system kekebalan belajar bagaimana membedakan antara tubuh
dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes)
dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui,
kelenjar thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk
menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine. Orang bisa
mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami
pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor
pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma
adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan
tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi
memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan
pembentukan persimpangan neuromuscular sebagai pengganti.
Orang ini bisa memerlukan pengobatan berbeda.
Gangguan autoimun yang merusak reseptor
asetikolin

Jumlah reseptor asetikolin


berkurang pada membrane

Kerusakan transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuskular

Penurunan hubungan
neuromuskular

Kelemahan otot

Otot pernafasan Otot otot okular


Otot volunter

Ketidakmampuan batuk efektif


Kelemahan otot- Gangguan otot levator
otot rangka palbera
Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas
Gangguan Ptosis dan diplobia
mobilitas fisik

Gangguan citra diri


5. Manifestasi klinis
MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot.
Keluhan kelemahan meningkat sepanjang hari, diperburuk dengan
aktivitas dan mengalami perbaikan dengan istirahat. Ciri-cirinya
meliputi ptosis, diplopia, disartria, disfagia, serta kelemahan otot
pernapasan dan anggota gerak. Sekitar setengah pasien memiliki
keluhan okular. Yang lain dapat mengeluhkan gejala pernapasan,
disarthria, disfagia, atau kelelahan dan kelemahan otot anggota
gerak.
Kelemahan otot okular biasanya bilateral dan asimetris serta
menimbulkan diplopia, ptosis atau keduanya. Kelemahan alat
anggota gerak dan batang tubuh biasanya distribusinya lebih banyak
di proksimal dibandingkan di distal. Otot quadriseps, triseps, dan
ekstensor leher tampak lebih dulu terkena. Gejala yang paling serius
adalah gangguan pernapasan karena kelemahan otot diafragma dan
interkostal. Gejala pernapasan ini, bersama dengan gejala bulbar
berat, dapat memuncak dan disebut krisis miastenik dan
membutuhkan ventilasi mekanik (Salma Kamarudin dan Liza
Chairani, 2019).
6. Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat
menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa
bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi
dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
i. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang
memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan
otot intercostal menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan
antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi
pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi
setelah pengalaman yang menimbulkan stres seperti penyakit,
gangguan emosional, pembedahan, atau selama kehamilan, serta
infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a) kontrol jalan napas
b) pemberian antikolinesterase
c) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan
buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan
terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi
saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai
diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.
ii. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak
sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis
menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini
sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara
dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali.
Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.
Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus,
konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare,
serta dapat pula timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:
a. kontrol jalan napas
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat
diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika
diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena
secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap
atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus,
menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat
diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
b. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk
membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-
5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara
pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan
atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.:
7. Pemeriksaan penunjang
Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody
tertentu didalam serum(mis, AChR-binding antibodies, AChR-
modulating antibodies, antistriational antibodies). Tingginya kadar dari
antibody dibawah ini dapat mengindikasikan adanya MG.
Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan
reflex. MG dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal,
ketidakmampuanuntuk menggerakkan mata secara normal, dan
kelopak mata turun. Untuk memeriksa kekuatan otot lengan dan
tungkai, pasien diminta untuk mempertahankan posisint melawan
resistansi selama beberapa periode. Kelemahan yang terjadi pada
pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk
mendeteksi adanya pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada
MG.
Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis
MG. Enzim acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot
distimulasi, mencegah terjadinya perpanjangan respon otot terhadap
suatu rangsangan saraf tunggal. Edrophonium Chloride merupakan
obat yang memblokir aksi dari enzim acetylcholinesterase.
Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk
merangsang otot dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang
semakin melemah menandakan adanya MG.
8. Penatalaksaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan
miastenia gravis adalah:
a. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
b. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan
pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar
diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi
dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali
merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera
diatasi dengan fisioterapicdan antibiotik.
c. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan
dosis 50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis
miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada
reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.
d. Terapi farmakologi
 Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam
atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk
memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuromuskular.
Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada
miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping
pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan.
 Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-
seling/alternate days dengan dosis awal kecil (10 mg) dan
dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu). Apabila sudah
ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-
lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal
yang efektif. Perubahan pemberianprednisolon secara
mendadak harus dihindari.
 Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek
samping lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu
berupagangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan
leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB
selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu
pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
 Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun
9. Pencegahan Myasthenia Gravis
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena
bukan disebabkan oleh sesuatu yang bisa kita hindari.
B. Konsep Asuhan Kepererawatan Miastenia Gravis
1. Pengkajian
a) Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin,
dan status
b) Keluhan utama : kelemahan otot
c) Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada
riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah
aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat
sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin
mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada
pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
d) Pemeriksaan fisik :
I. B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal
pernafasan akut, kelemahan otot diafragma
II. B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
III. B3 (brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan
palsi okular,jatuhnya mata atau dipoblia
IV. B4 (bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi
urine,hilangnya sensasi saat berkemih
V. B5 (bowel) : kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan
peristaltik usus turun, hipersalivasi, hipersekresi
VI. B6 (bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot
yang berlebih
2. Diagnosa Keperawatan
A. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan
Hiperskresi ditandai dengan Ketidakmampuan batuk efektif
B. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan penurunan masa
otot di tandai dengan Kelemahan otot-otot rangka
C. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan fungsi
ditandai dengan Ptosis dan diplobia
3. Intervensi

No Diagnosa Luaran Intervensi


1 Bersihan Jalan 1. Mendemonstrasikan batuk 1. Kaji status oksigen
Nafas Tidak Efektif efektif dan suara nafas yang pasien
berhubungan bersih, tidak ada sianosi dan 2. Ajarkan kepada
dengan Hiperskresi dyspnea keluarga bagaimana
ditandai dengan 2. Menunjukkan jalan nafas cara melakukan
Ketidakmampuan yang paten suction
batuk efektif 3. Mampu mengidentifikasikan 3. Lakukan fisioterapi
dan mencegah factor yang dada
dapat menghambat jalan 4. Anjurkan batuk efektif
nafas 5. Jelaskan kepada
pasien tentang batuk
efektif
6. Kolaborasikan
dengan dokter
tentang pemberian
O2
2 Gangguan Mobilitas 1. Tanda-tanda vital normal 1. Monitor aktivitas
Fisik berhubungan 2. Mampu melaukan aktivitasi pasien
dengan penurunan sehari-hari secara mandiri 2. Identifikasikan
masa otot di tandai 3. Mampu berpindah atau tanpa aktivitas yang mampu
dengan Kelemahan bantuan alat dilakukan
otot-otot rangka 4. Berpartisipasinya dalam 3. Buat jadwal aktivitas
aktivitas fisik pasien
4. Sediakan penguatan
positif bagi pasien
5. Jelaskan kepada
pasien tentang
ambulasi dini\
6. Kolaborasikan
kepada tenagan
rehabilitasi
3 Gangguan citra diri 1. Mampu mengidentifikasikan 1. Kaji secara verbal
berhubungan kekuataan personal dan non verbal
dengan perubahan 2. Mempertahankan interaksi respon pasien
fungsi ditandai social 2. Monitor frekuensi
dengan Ptosis dan 3. Body image positif mengkritik dirinya
diplobia 3. Dorongan klien
mengkapkan
perasaanya
4. Jelaskan tentang
pengobatan,
perawatan, kemajuan,
prognosis, dan
kemajuan
5. Memuji pencapaian
pasien

4. Aplikasi Pemikiran Kritis.


Kedua pasien dalam studi kasus memiliki gambaran karakteristik yang
berbeda. Pasien 1 masuk dalam klasifikasi klinis menurut MGFA kelas
IIb yaitu kelemahan berat pada otot selain otot okular dan kelemahan
pada otot ocular dengan berbagai tingkatan, sedangkan pada pasien 2
menunjukkan klasifikasi klinis kelas IIIb dengan karakteristik
kelemahan
sedang terjadi diarea otot orofaringeal dan atau otot pernafasan dan
kelemahan sedang pada area ektremitas. Pasien 2 juga memiliki
penyakit penyerta MG yaitu tymoma yang dapat memperburuk tanda
dan gejala yang dialami. Selama fase observasi, kedua pasien
menunjukkan status pernafasan yang berbeda, dimana pasien kedua
mengalami gejala awal myasthenic crisis pada hari observasi pertama
dan kedua kemudian stabil kembali di hari observasi ketiga. Pasien
pertama memiliki status pernafasa yang stabil dan baik selama fase
observasi tiga hari dengan frekuensi nafas dan saturasi oksigen dalam
batas normal, serta tidak menunjukkan tanda-tanda kesulitan bernafas
selama dilakukan observasi terakhir. Dalam studi kasus ini kami
menemukan bahwa hasil pemantauan tidak berubah secara signifikan
pada status pernafasan kecuali peningkatan saturasi oksigen pagi dan
siang setelah perawatan. Ada tiga penjelasan terkait pengamatan yang
berbeda ini, pertama tingkat perbaikan klinis setelah observasi
mungkin tidak cukup besar untuk mengatasi kelemahan otot
pernafasan pada pasien MG. Kedua ukuran sampel dalam studi kasus
ini mungkin memiliki hasil bias sehingga klarifikasi langsung dari
dampak observasi pada peningkatan fungsi pernafasan membutuhkan
uji coba dengan pasien dalam jumlah yang lebih besar. Ketiga jangka
waktu yang dilakukan untuk observasi dalam studi kasus terlalu
singkat sehingga hasil yang diharapkan kurang maksimal, mengingat
kedua pasien yang
diambil dalam studi kasus merupakan pasien dengan lama rawat lebih
dari 7 hari. Observasi status pernafasan pada pasien MG menjadi hal
yang penting untuk dilakukan perawat secara berkala, sehingga
melalui studi kasus ini observer mengharapkan agar perawat dapat
melakukan monitoring status pernafasan sebagai intervensi yang
dapat menilai tanda gejala gagal nafas lebih awal pada psien dengan
MG. Intervensi dan edukasi serta emotional support juga sangat
dibutuhkan pasien MG agar dapat mengontrol dan mencegah
terjadinya gagal nafas sehingga
penanganan awal dapat segera diberikan untuk mencegah kegagalan
ventilasi yang dapat menyebabkan kematian.
BAB III

A. Poster
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat
myasthenia gravis dapa mempengaruhi orang orang disegala umur.
Namunlebih sering terjadi kepada wanita sehingga kita sebagai
perawat harus dimana terjadi kelemahan otot – otot secara cepat
dengan lambatnya pemulihan bisa menentukan diagnose
keperawatan pada pasien dengan miastenia gravis serta perlu
melakukan beberapa tindakan dan asuhan kepada pasien dengan
masalah tersebut.
B. Saran
Sebagai perawata disarankan memberikan dukungan kepada
pasien dan menganjurkan pasien maupun keluargauntuk tidak
putus asah pada kemungkinan terburuk yang akan terjadi, serta
menganjurkan pasien untuk melakukan terapi yang dianjurkan,
selain itu perawat harus juga memperhatikan personal hygiene
untuk mengurangi dampak yang terjadi pada saat memberikan
pelayanan kesehatan pada penderita miastenia gravis
DAFTAR PUSTAKA

A, D. H. K. et al. (2020) ‘A Case Report on Metformin and Insulin Induced


Hypoglycemia’, Archives of Medicine, 12(3), pp. 10–12. doi:
10.36648/1989-5216.12.3.307.

Ariani, Tutu April.(2014). Sistem Neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika

Barber, C. (2017). Diagnosis and management of myasthenia gravis.


Nursing Standart, 31(43), 42–47.

Elizabeth J. Corwin. (2009). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta:


Aditya Media.

Irianto, Koes, 2015. Memahami Berbagai Macam Penyakit: Penyebab,


Gejala, Penularan, Pengobatan, Pemulihan dan Pencegahan.
Bandung: CV. Alfabeta.

Joensen, P. (2014). Myasthenia gravis incidence in a general North


Atlantic isolated population. Acta Neurologica Scandinavica, 130(4),
222–228. https:/ /doi. org/ 10. 1111 /ane.12270

Kalita, J., Kohat, A. K., & Misra, U. K. (2014). Predictors of outcome of


myasthenic crisis . Neurol Sci. https://doi.org/10.1007/s10072-014-
1659-y

Mantegazza R, Bernasconi P, Cavalcante P. 2018. Myasthenia gravis:


from autoantibody to theraphy. Curr Opin Neurol; 31(5): 517-525.

Meyer, A., & Levy, Y. (2010). Geoepidemiology of myasthenia gravis.


Autoimmunity reviews, 9(5), A383-A386.

Muralitharan, Nair, dan Ian Peate. 2015. Dasar-dasar Patofisiologi


Terapan. Jakarta: Bumi Medika.

Ropper AH, Klein JP, Samuels MA. (2014). Adams and victor's-principle of
neurology. Edisi ke-10. Boston: Mc Graw Hill Education

Anda mungkin juga menyukai