Pnemonia Komunitas
Abstrak
Krisis Miastenia adalah suatu eksaserbasi akut dari Miastenia Gravis, dimana
kelemahan yang terjadi sampai melibatkan otot-otot pernafasan sehingga
mengakibatkan kegagalan napas akut dan memerlukan dukungan ventilasi
mekanik. Krisis Miastenia merupakan komplikasi Miastenia Gravis yang paling
berbahaya dan mengancam jiwa bila tidak segera ditangani. Timbulnya krisis
Miastenia dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah infeksi paru
yang didapat di masyarakat (pnemonia komunitas). Tatalaksana ICU pasien Krisis
Miastenia meliputi tatalaksana terhadap kegawatan respirasi, tatalaksana terhadap
Miastenia Gravis, tatalaksana terhadap faktor pencetusnya dan support nutrisi
yang adekuat. Intubasi endotracheal dan support ventilasi mekanis merupakan
pilihan utama tatalaksana kegawatan respirasi. Plasmaferesis adalah salah satu
metoda terapi yang terbukti efektif dan efisien dalam menanggulangi Krisis
Miastenia. Terapi lainnya adalah pemberian agen anticholinesterase,agen
imunosupresif kronis, terapi imunomodulator cepat, dan Timektomi. Terapi
standar untuk menanggulangi Pnemonia Komunitas mengikuti guideline IDSA
terkini. Support nutrisi yang adekuat juga diperlukan untuk menunjang
keberhasilan terapi. Dengan assessment dini dan terapi yang adekuat diharapkan
bisa memperbaiki prognosis pasien Krisis Miastenia. Pada laporan kasus ini kami
sajikan tatalaksana ICU pasien Krisis Miastenia yang dipicu oleh pneumonia
komunitas, yang dirawat di ICU RSHS Bandung pada bulan Oktober 2019.
Abstract
ii
iii
Pendahuluan
Miastenia Gravis adalah suatu penyakit kelainan auto imun saraf perifer
berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik asetilkolin (AChR)
nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor ACh ini
menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif, ditandai dengan
kelemahan yang berfluktuasi dan melibatkan kombinasi yang bervariasi dari otot
okular, bulbar, ekstremitas, dan otot pernafasan. Penurunan kekuatan otot ini bisa
terjadi pemulihan setelah beristirahat.¹ Miastenia Gravis adalah kelainan primer
paling umum dari transmisi neuromuskuler dan salah satu kelainan neurologis
yang paling dapat diobati.
Prevalansi Miastenia Gravis adalah 14 per 100.000 populasi (kira-kira 17.000
kasus) di Amerika. Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua
persentasenya sama. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2010, insiden Miastenia Gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000
penduduk. Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
terdapat 94 kasus dengan diagnosis Miastenia Gravis pada periode tahun 2010
sampai tahun 2011.³
Krisis Miastenia didefinisikan sebagai suatu eksaserbasi akut dari Miastenia
Gravis, dimana kelemahan yang terjadi sampai melibatkan otot-otot pernapasan
sehingga mengakibatkan kegagalan napas akut dan memerlukan bantuan ventilasi
mekanik. Krisis Miastenia merupakan komplikasi Miastenia Gravis yang paling
berbahaya dan mengancam jiwa bila tidak segera ditangani. Krisis Miastenia
biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset terkenanya Miastenia Gravis
(pada sekitar 74% kasus). Dan antara 15% sampai 20% pasien Miastenia Gravis
akan mengalami setidaknya satu episode Krisis Miastenia ini.⁴ Pada beberapa
pasien, Krisis Miastenia bisa jadi merupakan presentasi awal dari Miastenia
Gravis.
Krisis Miastenia dapat terjadi secara spontan sebagai bagian dari perjalanan
alami Miastenia Gravis itu sendiri. Krisis Miastenia juga dapat dipicu oleh
berbagai masalah lain yang menjadi penyebab umumnya. Diantaranya adalah
4
5
Diskripsi Kasus :
Pada laporan kasus ini kami sajikan tatalaksana ICU atas pasien Ny. D, 42
tahun dengan gagal nafas akut akibat Krisis Miastenia yang dipicu oleh Pnemonia
Komunitas. Pasien ini mempunyai riwayat penyakit Miastenia Gravis dan sudah
menjalani operasi Timektomi 5 bulan yang lalu di RS.HS. Pada pasien ini
dilakukan prosedur Plasmaferesis sebanyak 6 seri selama 12 hari perawatan
dengan hasil remisi lengkap terhadap kelemahan otot okular, bulbar, otot-otot
ekstremitas dan pernapasannya
6
Identitas pasien :
Nama Ny. D A, lahir di Bandung, 17 Januari 1977 (42 thn) dengan No RM:
0001718124. Alamat Jl. A.Yani 593 Cibeunying Kidul, Ckutra, Bandung,
pekerjaan swasta Tanggal masuk RS 9 Oktober 2019, masuk ICU 10 Oktober
2019 dan keluar ICU 21 Oktober 2019. Pasien ini dirawat oleh DPJP ICU
dr.Sobaryati Sp.S.KIC
Di IRD
Dari Anamnesa, keluhan utama badan lemah dan sesak napas
Riwayat penyakit sekarang pasien ini rujukan dari RSAI Bandung dengan
keluhan utama badan lemah dan sesak napas. Keluhan badan lemah disertai
dengan kelopak mata sebelah kanan berat untuk membuka, pandangan mata
double, sulit untuk menelan ludah, serta napas terasa berat. Keluhan membaik bila
pasien beristirahat.
Riwayat penyakit dahulu pasien ini pernah terdiagnosa sebagai pasien
Miastenia Gravis dan pernah dirawat di RSHS untuk Plasmaferesis sebanyak 2
siklus masing masing 6 seri, dan pernah menjalani operasi Timektomi 5 bulan
yang lalu. Seminggu sebelum merasakan badan lemah, pasien menderita batuk
berdahak dan demam. Diobati sendiri dengan obat pengencer dahak sambil tetap
rutin minum obat Miastenia Gravis dari dokter Syaraf. Karena keluhan tidak
membaik dan makin lemah, pasien berobat dan dirawat inap RSAI Bandung.
Selama perawatan di RSAI Bandung, pasien mendapat terapi standar
Miastenia Gravis. Obat yang diberikan adalah tablet oral Mestinon 60mg
diminum 2x sehari, tablet Metilprednisolon 4mg diminum 2x sehari, serta obat
pengencer dahak N-acetyl sistein. Dosis obat juga sudah dinaikkan sampai 2x
lipatnya, namun keluhan masih tetap dan belum ada perbaikan. Kelemahan otot,
serta kesulitan menelannya bertambah sehingga pasien dirujuk ke RSHS untuk
mendapatkan tatalaksana selanjutnya.
Riwayat penyakit yang lainnya pasien riwayat asma sejak usia 17 tahun, tidak
rutin minum obat asma. Riwayat alergi semua disangkal. Pasien pernah dirawat di
7
rumah sakit karena miastenia gravis, dan mendapat terapi antibiotik dan
kortikosteroid jangka lama. Riwayat penyakit keluarga semua disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan : kondisi umum tampak sakit berat, kesadaran
somnolen dengan GCS E3V4 M5 (12). Tanda vital tekanan darah 150/90 mmHg,
denyut jantung 113 x/menit dengan laju pernapasan 29x/menit, suhu badan 38.5⁰
C. Pasien ini berat badan 70kg, dengan tinggi badan 160cm
(BMI:27.3kg/m2;IBW:52.16kg; PBWperempuan:52.38 kg) pasien ini termasuk
overweight.
Survei primer didapatkan jalan napas bersih, tulang leher stabil, respirasi
29x/menit dengan suara tambahan ronki di paru kanan bawah, tanpa ada
wheezing. Di dada juga didapatkan bekas luka oprasi di daerah timus. Asesmen
saraf tampak gangguan di saraf Okulomotorius berupa kelopak mata kanan jatuh,
pandangan mata terasa dobel, pupil isokor. Keluhan lainnya adalah sulit menelan,
tangan dan kaki melemah.
Survei sekunder didapatkan leher JVP tidak meningkat, hasil pemeriksaan
Laboratorium didapatkan hasil laboratorium harian HB:9.2g/dL, Lekosit
13.180/µl, Trombosit 508.000/µl, Hematokrit 33.1%. Laborat fungsi ginjal
Ureum: 27.7 mg/dL Cr: 0.76 U/L. Laborat lainnya GDS : 139mg/dL, elektrolit:
Na:139mmol/L, K: 4.6mmol/L, Ca: 5.2mmol/L, Mg: 2.5mmol/L.
Diagnosa Kerja Impending Krisis Miastenia dengan Gagal Napas
Hiperkapnia dengan Pnemonia Komunitas.
Rencana terapi pada 1 jam awal dilakukan pengambilan sampel dari sputum
dan darah sebelum diberikan terapi antibiotik empirik. Antibiotik Empirik di IGD
diberikan injeksi Ceftriaxon 1g/12jamIV. Obat-obat lainnya adalah injeksi
Prostigmin:SA = 10ampul:5ampul (neostigmine metilsulfat 5mg:sulfat atropine
1.25mg), injeksi Metylprednisolon 62,5mg/8jamIV, tablet oral Salbutamol: 2x2mg
po, sirup Ambroxol : 3x1cth po, Nebulisasi dengan combivent/6jam, dan
profilaksi tukak lambung dengan injeksi Omeprazol 40mg/12jam IV. Selanjutnya
pasien dirawat di bangsal NIC Azalea
8
Keluhan subjektif sudah tidak ada, badan makin kuat, bisa nelan, dan mata mulai
bisa membuka.
Pemeriksaan objektif oksigenasi dengan ventilator mode Spontan,
RR:20x/menit, TV:293mL, PP:6-8, PEEP:5, FiO2:45% PP:12, tercapai
SpO2:100%, suara dasar vesikuler, dan tidak diketemukan rongki. Hemodinamik
stabil, produksi urin 200 mL/jam, , balance kumulatif -1.130mL. Pemeriksaan
ECG sinus ritme.
Assesmen Krisis Miastenia dengan Pnemonia Komunitas perbaikan klinis
Rencana terapi masih melanjutkan terapi awal, balance kumulatif -1.000mL,
mulai diberikan cairan pengganti. Digunakan RL sebagai cairan pengganti dengan
volume sebesar 2/3 jumlah volume urin/jam.
diganti dengan CPAP sampai jam 05.00, dan dilanjutkan dengan T-Piece 6 lpm.
Hasil pemeriksaan laboratorium Hb:9.7g/dL, Al:15.020/µl, AT:267.000/µl,
Ht:33.7% GDS:83mg/dL. Laboratorium AGD pH:7.392, pCO2:55.7mmHg,
pO2:147.5mmHg, HCO3:29.5mEq/L, BE:3.4, SaO2:97.8% elektrolit
Na:139mmol/L, K:2.8mmol/L, Cl:109mmol/L Ca:4.53mmol/L
Assesmen Krisis Miastenia perbaikan dengan Pnemonia Komunitas
perbaikan, Hipokalemia K:2.8 mmol/L lekositosis 15.020/µl.
Planning terapi dilakukan weaning ventilasi, ekstubasi, dan dilakukan
Plasmaferesis ke-6 melanjutkan terapi awal, dengan diberikan tambahan terapi
KCL 25 mEq sebagai koreksi hipokalemia (2,8 mmol/L).
Tabel 3 : Laboratorium
dikurangi secara bertahap. Hari ke-5 sudah mulai weaning ventilasi dan berhasil
dilakukan SBT. Hari ke 11 pasien bisa diekstubasi. Hasil pemeriksaan
laboratorium terjadi perbaikan hasil analisa gas darah (AGD) dengan
meningkatnya oksigenasi paO2 dan berkurangnya carbon pCO2 dibawah 50
mmH2O, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit juga sudah terkoreksi.
Radiologis tampak perbaikan signifikan dari Pnemonia setelah hari ke-4
perawatan.
Assesmen pasien gagal nafas akut karena Krisis Miastenia dengan Pnemonia
Komunitas, perbaikan klinis, radiologis, dan laboratorium.
Planning terapi pasien terapi utama Krisis Miastenia meliputi tatalaksana
kegawatan respirasi, tatalaksana Miastenia Gravis, tatalaksana Pnemonia
Komunitas dan terapi suportif lainnya. Manajemen Airway dilakukan dengan
intubasi endotrakeal serta bantuan ventilasi mekanik dengan mode yang
disesuaikan kebutuhan pasien mengikuti prinsip lung protektif strategi.
Tatalaksana terhadap Miastenia Gravis, Plasmaferesis diberikan sejak hari
pertama sebanyak 6 seri dengan jeda 1 hari ditambah dengan terapi medika
mentosa lainnya (agen Anti AChR, prostigmin / mestinon, agen imunosupresif
kortikosteroid). Tatalaksana terhadap Pnemonia Komunitas dilakukan dengan
pemberian injeksi antibiotik empirik Meropenem 1g/8jam IV dikombinasikan
dengan Levofloxacin 750mgIV sampai didapat hasil kultur darah dan sputum.
Setelah itu dilakukan de-eskalasi dengan antibiotik spektrum sempit sesuai hasil
kultur. Pada pasien ini hasil kultur tidak didapat pertumbuhan kuman dan klinis
membaik, sehingga seharusnya terapi Antibiotik bisa dihentikan. Terapi suportif
lainnya dengan dukungan nutrisi yang adekuat serta balance cairan yang sedikit
positif untuk menjaga paru paru tetap kering untuk ventilasi maupun perfusi.
Pembahasan
sekaligus panduan untuk langkah berikutnya. Panduan yang ada akan selalu
diperbarui dan disempurnakan sesuai evidence base terkini. Tujuannya adalah
untuk hasil luaran pasien yang lebih baik.
Dalam pembahasan ini akan kami uraikan tentang tatalaksana ICU pasien
Krisis Miastenia yang dipicu oleh Pnemonia Komunitas, dengan panduan terkini
yang kami aplikasikan pada pasien yang menjadi subjek laporan kasus ini.
Manajemen kasus
Tatalaksana Krisis Miastenia pada laporan kasus ini meliputi tatalaksana
terhadap kegawatan respirasi yang berupa gagal napas, tatalaksana terhadap
Miastenia Gravis, tatalaksana penyebab terhadap faktor pencetusnya yaitu
Pnemonia Komunitas dan terapi pendukung pemberian nutrisi yang adekuat.
Untuk membedakan tipe gagal nafas pada pasien ini bisa kita ukur dari
Gradien PO2 alveolar arteri.⁸ Efisiensi paru-paru dalam melakukan respirasi
dapat dievaluasi lebih lanjut dengan mengukur gradien PO2 alveolar-arteri.
Perbedaan ini dihitung dengan persamaan berikut:
ventilasinya adalah sebagai berikut volume tidal kurang dari 6,5 mL / kg, gunakan
PEEP5-24cmH2O, plateu pressure kurang dari 30cmH2O, kurangi FiO2
sebagaimana diizinkan untuk mencapai saturasi antara 88% sampai 95%, dan
angkat kepala 30⁰− 45⁰ dari tempat tidur. Hiperkapnia dengan pH lebih dari 7,25
diizinkan. Gunakan laju aliran yang lebih tinggi (hingga 100L/menit) untuk
penyakit saluran napas obstruktif. Bila perlu untuk mencapai rasio I: E yang
memuaskan.¹³
NMBA (neuromuscular blocking agen) memang sebaiknya digunakan di awal
untuk dukungan penuh bantuan ventilasi mekanik. Non depolar agen seperti
vecuronium lebih disarankan daripada depolar agen seperti succynil cholin karena
terkait dengan jumlah reseptor AChR post sinaptik fungsional untuk transmisi
neuromuskular.⁹
Pengukuran Forced Vital Capasity (FVC) merupakan pengukuran yang
paling bermanfaat untuk saat ini. Jika FVC normal dan pasien dispnea, ini
menunjukkan bahwa ada hal lain yang sedang terjadi (misalnya emboli paru dan
gagal jantung). Hal ini juga menunjukkan bahwa pasien mungkin tidak
memerlukan perawatan ICU untuk Miastenia Gravis nya. Jika FVC sangat rendah
(misalnya kurang dari 30mL/kg), ini mendukung diagnosis Krisis Miastenia dan
perlu ICU untuk pemantauan intensif. Fungsi lainnya pengukuran FVC adalah
untuk menentukan respons terapi. Respons terhadap terapi dilakukan dengan
mengukur FVC dua atau tiga kali sehari.⁴Pada pasien ini awalnya FVC memang
rendah sehingga memerlukan ICU namun bisa respons dengan terapi sehingga di
akhir perawatan ICU, FVC normal dan pasien tidak dispne lagi.
Weaning ventilasi seharusnya segera dimulai begitu ada perbaikan klinis dari
pasien yang dicirikan dengan vital capasity pasien yang bisa mencapai lebih dari
15 mL/kgPBW. Pasien segera dirubah ke mode Spontan dengan pressure support
dengan triger dari pasien sendiri. Kemudian seting ventilasi mekanik diturunkan
secara bertahap sampai ke setting minimal, tapi bila pasien masih gagal weaning
bisa diseting ulang ke mode ventilasi assisted. Dari literatur yang ada, rata-rata
pasien bisa diekstubasi setelah 13 hari atau kurang dari 2 minggu (tergantung
21
kondisi pasien). Reintubasi bisa terjadi pada sekitar 25% pasien Krisis Miastenia
yang diekstubasi.
Pilihan non invasive ventilasi (NIV) bisa diberikan bila syarat terpenuhi.
Digunakan seting awal BiPAP untuk memberikan positif pressure di fase inspirasi
dan ekspirasi pasien dan untuk mencegah kolaps jalan nafas dan alveoli, namun
bila terjadi perburukan dengan peningkatan WOB dan takipne, maka intubasi dan
bantuan ventilasi mekanik harus segera diberikan.⁹
normal. Sensitivitas test ini lebih dari 80% di antara pasien dengan Miastenia
Gravis parah yang membutuhkan perawatan tingkat ICU. Sebagian pasien
memiliki antibodi terhadap tirosin kinase spesifik otot (MuSK), yang diperlukan
untuk pengelompokan AchR. Pasien Miastenia Gravis antibodi positif anti-MuSK
biasanya hadir dengan kelemahan oculobulbar. Idealnya uji serologi darah ini
dilakukan sebelum dan sesudah terapi disamping untuk diagnostik juga untuk
melihat kemajuan terapi. Tapi pada pasien ini tidak dilakukan karena memang
belum tersedia.
Test serologi antibody Acetilkolinesterase Reseptor. Pada sekitar 85% pasien,
autoantibodi, pemeriksaan serologi ditujukan untuk memeriksa reseptor nikotinik
nikotinat postinaptik dalam serum dan mengkonfirmasi diagnosis, tetapi secara
umum, tidak secara tepat memprediksi tingkat kelemahan atau respons terhadap
terapi. Antibodi terhadap tirosin kinase spesifik otot terdeteksi pada sekitar 50%
pasien Miastenia Gravis generalisata yang sero negatif untuk antibodi reseptor
asetilkolin, dan kadar antibodi tirosin kinase spesifik otot yang tampaknya
berkorelasi dengan keparahan penyakit dan respons pengobatan. Antibodi
terhadap antigen otot yang lain dapat juga ditemukan pada beberapa pasien
Miastenia Gravis yang berpotensi memberikan informasi diagnostik yang berguna
secara klinis. Akan tetapi kegunaannya sebagai biomarker yang relevan (ukuran
keadaan penyakit atau respons terhadap pengobatan) saat ini tidak jelas. ¹⁴
Karena kelemahan adalah gejala umum dari banyak gangguan lain, diagnosis
Miastenia Gravis sering terlewatkan atau tertunda (kadang-kadang hingga dua
tahun) pada orang yang mengalami kelemahan ringan atau pada orang-orang yang
kelemahannya dibatasi hanya untuk beberapa otot.¹³ Pada pasien ini kami hanya
menggunakan anamnesa dan pemeriksaan klinis untuk penegakan diagnosisnya.¹⁵
Terapi Miastenia Gravis.
Setelah diagnosa Miastenia Gravis ditegakkan, maka langkah selanjutnya
adalah melakukan terapi dan evaluasi terapi. Saat ini, Miastenia Gravis secara
umum sudah dapat dikontrol. Ada beberapa terapi yang tersedia untuk membantu
mengurangi kelemahan otot yang terjadi, diantaranya adalah :
23
Plasmaferesis :
Plasmaferesis atau istilah lainnya adalah plasma exchange (PLEX) adalah
prosedur dimana plasma dipisahkan dari sel-sel darah dan diganti dengan Fresh
Frozen Plasma, produk darah atau plasma subtitute. Subtitute ini bisa FFP,
Albumin, Koloid, ataupun cairan lain. Konsepnya adalah fakta bahwa zat-zat yang
beredar seperti racun atau auto antibodi terakumulasi dalam plasma, sehingga
penghilangan faktor-faktor itu bisa jadi terapi.⁷
Pada pasien ini kami gunakan Plasmaferesis serial sebanyak 6 kali dengan
teknik Membran Filtrasi dengan hasil luaran yang bagus. Indikatornya adalah
kemajuan klinis saja. Pemeriksaan serologi sebelum dan sesudah terapi tidak kami
lakukan karena memang belum tersedia.
Terapi farmakologis lainnya pada Krisis Miastenia adalah Intravena
Imunoglobulin (IVIg). Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada
bukti berkualitas tinggi mengenai pemilihan PLEX dibanding IVIG. Namun,
sebagian besar pakar dan panduan, percaya bahwa PLEX bekerja lebih cepat dan
efektif.⁴(Farkas, 2019) Plasma Exchange (PLEX) sering menjadi lini pertama
untuk eksaserbasi akut. Pertukaran plasma biasanya menyebabkan perbaikan
dalam beberapa hari. Ini secara langsung menghilangkan antibodi reseptor anti-
asetilkolin dari tubuh. Keuntungan utama dari pertukaran plasma adalah respon
yang lebih cepat dibandingkan dengan IVIG (yang mungkin memerlukan
beberapa minggu untuk melihat perbaikan).
IVIG mungkin bermanfaat untuk eksaserbasi yang tidak terlalu parah. IVIG
membutuhkan waktu lebih lama untuk bekerja (sekitar 2 sampai 3 minggu), tetapi
kemanjurannya mungkin lebih berkelanjutan. IVIG dapat digunakan dalam situasi
di mana pertukaran plasma tidak tersedia atau kontraindikasi. Dosis IVIG adalah 2
gram/kg, biasanya dibagi lebih dari 2 atau 5 hari.⁴
Komplikasi Plasmaferesis. Komplikasi ini berhubungan dengan akses
vaskular, hipokalsemia, hipotensi, koagulopati, maupun alergi terhadap produk
darah atau filter. Pada pasien ini tidak terjadi komplikasi tersebut di atas.
Perawatan pasien Krisis Miastenia bersifat individual dan tergantung pada
usia pasien. Keparahan penyakit, terutama ditentukan oleh keterlibatan otot
pernafasan atau keterlibatan bulbar, serta laju perkembangannya.¹² Kemajuan
dalam ventilasi mekanik dan perawatan ICU yang lebih baik sangat berperan
dalam menurunan angka mortalitas yang terkait dengan Krisis Miastenia. ⁹
Nilai-nilai laboratorium abnormal yang dapat mempengaruhi kekuatan otot
juga harus diperbaiki. Deplesi kalium, magnesium, dan fosfat semuanya dapat
memperburuk Krisis Miastenia dan harus dikoreksi. Hematokrit kurang dari 30%
dapat mempengaruhi kelemahan dengan menurunkan kapasitas pengangkutan
26
1. Bila tidak ada faktor risiko pseudomonas, antibiotik empirik CAP adalah
beta laktam (sefotaksim, seftriakson atau ampisilin-sulbaktam)
dikombinasi dengan salah satu yaitu macrolid atau fluorokuinolon
respiratorik (moksifloksasin, levofloksasin). Bila pasien alergi terhadap
penisilin, sebagai pengganti direkomendasikan fluorokuinolon dan
aztreonam.
2. Bila dicurigai bakteri pseudomonas sebagai penyebab CAP maka pilihan
antibiotik golongan antipneumokokus, antipseudomonal beta laktam
(piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem atau meropenem)
dikombinasi dengan salah satu siprofloksasin atau levofloksasin 750 mg,
atau
a. Beta laktam tersebut dikombinasi dengan azitromisin dan
aminoglikosida atau
b. Beta laktam dikombinasi aminoglikosida dan fluoroquinolon
3. Vancomycin atau linezolid direkomendasikan untuk infeksi Methicillin-
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA).⁶
Selanjutnya dari klinis dan laborat pasien dievaluasi. Pada pasien ini
infeksinya berasal dari komunitas dan berbarengan dengan pelemahan otot
pernafasan akibat Miastenia Gravis. Pasien tidak syok septik, namun ada riwayat
penggunaan antibiotik lama dan perawatan di rumah sakit sebelumnya sehingga
resiko terpapar kuman pseudomonas. Pasien ini juga mendapat terapi
imunosupresan (imuran dan kortikosteroid) sehingga diperlukan Antibiotik
Spektrum luas termasuk anti jamur. Awal di IGD diberikan injeksi Ceftriaxon
1g/8jam.
Setelah di ruang perawatan, Antibiotik dirubah menjadi injeksi Meropenen
1gram/8jam IV dengan infus lambat 3-4 jam, dikombinasi dengan injeksi
Levofloxacin 750mg IV. Fungsi ginjal dan hepar pasien baik sehingga bisa kami
berikan dosis penuh. Lama pemberian antara 7 sampai 10 hari (short course
terapi) sesuai rekomendasi pemberian antibiotik De-Eskalasi. Klinis membaik
meski hasil laboratorium lekosit masih 15.200 dan kultur tidak didapatkan
pertumbuhan kuman. Sesuai panduan, pemberian Antibiotik sudah bisa
28
ini dengan berat 70kg tinggi 160cm usia 42 thn maka BMR nya adalah sekitar
1.329.
Pasien ini pekerja swasta jarang olahraga maka hitungan Total Energi
Ekspenditurnya adalah BMR x 1.53 jadi sekitar 1.329 x 1.53 = 2.000 kcal/hari.
Perhitungan lain berdasarkan panduan ASPEN dan ESPEN, kebutuhan kalori
diberikan berdasarkan hasil pengukuran kalorimeter indirek. Pada pasien ini
karena belum ada alat pengukurnya kami gunakan penghitungan kebutuhan energi
berdasar berat badan. Perhitungannya adalah : (20−25 kkal/ kg/hari kalori dan 1,5
g/kg protein pada fase akut, 25−30 kcal/kg/hari kalori dan 1,5−2,5 g/kg protein
pada fase anabolik.¹⁷(Pangalila & Mansjoer, 2017)
Pasien ini BB: 70 kg sehingga fase akutnya perlu 1400 kcal – 1,750 kcal /
hari dengan protein 105 g. Pada fase akut dari pasien sepsis, disarankan untuk
pemberian trophic feeding (10−20 mL/jam dinaikkan bertahap hingga 500
kcal/hari atau 50%−70% total kebutuhan). Setelahnya pasien kami berikan nutrisi
1.750 – 2.100 kcal / hari dengan protein 105–175 g / hari. Diberikan secara enteral
personde terbagi dalam 4-6 x pemberian sehari. Saluran cerna baik, tidak ada
residu, dan peristaltik baik.
Pada pasien ini sempat kami berikan prokinetik metoclopramid Hcl pada hari
ke-3, karena ada tanda intoleransi nutrisi dengan bertambahnya residu sonde
kurang 500 mL/hari. Pemberian nutrisi enteral tetap kami lanjutkan. Imunonutrisi
(Selenium, Arginin, Glutamin, Carnitin, Asam Lemak Omega3) tidak kami
berikan karena memang tidak terbukti mendukung perbaikan pasien.
Komplikasi
Komplikasi dari Krisis Miastenia yang paling sering adalah demam karena
infeksi. Infeksi yang terjadi bisa dari pnemonia, bronchitis, maupun dari traktus
urinarius. Komplikasi yang lain sepsis, DVT, komplikasi kardiak, malnutrisi
selama perawatan, dan lainnya. Pada pasien ini tidak didapatkan komplikasi
lainnya.⁹
30
Prognosis :
Krisis Miastenia terjadi pada sekitar 20% pasien dengan Miastenia Gravis
generalisata. Selama bertahun-tahun, karena perubahan dalam pengobatan,
prognosis dan angka mortalitas pasien juga ikut berubah lebih baik. Dengan
kemajuan pengobatan saat ini, yang menggabungkan agen inhibitor
cholinesterase, obat imunosupresif, plasmapheresis, imunoterapi, dan perawatan
suportif di unit perawatan intensif, sebagian besar pasien dengan Miastenia Gravis
memiliki rentang hidup yang hampir normal.¹⁸
Pada pasien dengan kelemahan umum, nadir kelemahan maksimal biasanya
dicapai dalam 3 tahun pertama penyakit. Akibatnya, setengah dari kematian
terkait penyakit juga terjadi selama periode ini. Mereka yang selamat dari 3 tahun
pertama penyakit biasanya mencapai kondisi stabil atau membaik. Memburuknya
penyakit jarang terjadi setelah 3 tahun.¹⁸
Morbiditas yang terjadi adalah akibat dari gangguan kekuatan otot yang
intermiten, yang dapat menyebabkan aspirasi, peningkatan kejadian Pnemonia,
jatuh, dan bahkan kegagalan pernapasan jika tidak diobati. Selain itu, obat-obatan
yang digunakan untuk mengendalikan penyakit juga dapat menghasilkan efek
samping. Timektomi menghasilkan remisi total Miastenia Gravis pada sejumlah
pasien. Namun, prognosisnya juga sangat bervariasi, mulai dari remisi hingga
kematian. Pasien Miastenia Gravis yang sudah dilakukan Timektomi, insiden
terjadinya Krisis Miastenia berkisar antara 12% hingga 34%.¹⁸
Angka mortalitas Miastenia Gravis dalam 4 dekade terakhir terjadi penurunan
dramatis dari 75% menjadi 4,5% dengan faktor risiko utama adalah usia lebih tua
dari 40 tahun, dan riwayat episode penyakit Miastenia Gravis yang progresif, dan
timoma.¹⁹
Simpulan
kondisi yang mengancam jiwa adalah gagal napas karena melemahnya otot
pernafasan. Untuk itu, tatalaksana jalan nafas yang adekuat, berupa intubasi
endotrakea dan bantuan ventilasi mekanik harus segera diberikan pada pasien ini.
Selanjutnya perawatan yang agresif untuk faktor pencetusnya (Pnemonia
Komunitas) dan rehabilitasi dini juga sangat penting untuk meningkatkan
keberhasilan terapi. Pengelolaan dilakukan sesuai panduan terkini Krisis
Miastenia dan Pnemonia Komunitas. Saat ini Plasmaferesis masih merupakan
standart terapi yang efektif, efisien dan cepat untuk terapi Krisis Miastenia,
disamping terapi imunomodulator yang lain. Dukungan nutrisi yang adekuat juga
turut membantu kesembuhan pasien. Dengan kemajuan terapi saat ini, pasien
Krisis Miastenia mempunyai prognosis harapan hidup yang lebih baik dengan
menurunnya angka mortalitas pasien dari 75% menjadi 3%−4% dalam 4 dekade
ini.
Daftar Pustaka
1. Dewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., & Turana, Y. (2009). Panduan
Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
2. Sathasivam, S. (2014, January/February 1). Diagnosis and management of
myasthenia gravis. Progress in Neurology and Psychiatry , hlm. 6−12.
Retrieved from Progress in Neurology and Psychiatry :
www.progressnp.com
3. Lennon, & Lennon, V. S. (2004). Autoantibody profiles and neurological
correlations of thymoma. Eur J Neurol 2004, 1−4.
4. Farkas, J. (2019, March 6). Myasthenia gravis & myasthenic crisis.
Retrieved from The Internet Book of Critical Care:
https://emcrit.org/ibcc/myasthenia/
5. Ghandi, K., Moore, A., & Rosiere, L. (2018, NOVEMBER 18).
Management of Myasthenia Crisis in the ED. Retrieved from NUEM
Blog: https://www.nuemblog.com/blog/myasthenia
6. Pangalila, F. J., Soepandi, Z. P., Albandjar, C. A., Sukesih, L., & Enty.
(2019). REKOMENDASI ANTIBIOTIK EMPIRIK. In F. J. Pangalila,
Pedoman Antibiotik Empirik di Unit Rawat Intensif (hlm. 18−32). Jakarta:
PERDICI.
7. Pradian, E. (2018). Plasmaferesis. In E. Pradian, T. T. Maskoen, A.
Mansjoer, & A. Sugiarto, Continous Renal Replacement Theraphy (CRRT)
& Plasmapheresis (hlm. 28−33). Jakarta: PERDICI.
8. E, S., & B, B. (2019). Respiratory Failure. NCBI, 1−6.
9. Wendell, L. C., & Levine, J. M. (2011). Myasthenic Crisis.
Neurohospitalist, 16−22.
10. Godoy, D. (2013). The myasthenic patient in crisis: an update of the
management in Neurointensive Care Unit. PubMed, 71.
11. Kaynar, M. A., & Pinsky, M. R. (2018, July 25). How is the alveolar-
arterial PO2 gradient measured in the pathophysiology of respiratory
failure? Medscape, 16−21.
12. Bird, J. S. (2019, June 25). Wolters Kluwer. Retrieved from UpToDate:
https://www.uptodate.com/contents/overview-of-the-treatment-of-
myasthenia-gravis
13. Koroshetz, W. J. (2019, August 13). National Institute of Neurological
Disorders and Stroke. Retrieved from National Institutes of Health Web
site: www.myasthenia.org
14. Meriggioli, M. N., & Sanders, D. B. (2012). Muscle autoantibodies in
myasthenia gravis: beyond diagnosis? NCBI, 427−38
15. Sanderss, D. B., Wolfe, G. I., Benatar, M., Evoli, A., & Gilhus, N. E.
(2016). International consensus guidance for management of myasthenia
gravis. Neurology, 419−25.
16. Dash, C., Pal, A., & Sinha, S. (2019). Evaluation of Candida Score: a
bedside scoring system for early antifungal therapy in non-neutropenic
critically ill patients. International Journal of Advances in Medicine,
521−5.
32
33
17. Pangalila, F. J., & Mansjoer, A. (2017). Penatalaksanaan Sepsis dan Syok
Septik Optimalisasi FASTHUGSBID. Jakarta: PERDICI.
18. Jowkar, A., & Lorenzo, N. (2018). What is the prognosis of myasthenia
gravis (MG)? Medscape, 18−27.
19. Goldenberg, W. D., & Chang, A. K. (2018). Emergent Management of
Myasthenia Gravis. Medscape, 13−20.