Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah. Penyakit ini
merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan. Pada masa lampau kematian akibat
dari penyakit ini bisa mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan
tersedianya unit-unit perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat
penyakit ini bisa dikurangi. Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada tahun 1600, dan
pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat paralisis
burbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis merasa
lebih baik setelah minum obat efidrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk mengatasi
kram menstruasi. Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary Walker
melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan kurare.
Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia
gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan penyakit ini. Miastenia gravis
banyak timbul pada usia 20 tahun, perbandingan antara wanita dan pria yang menderita
penyakit ini adalah 3:1. Tingkatan usia yang kedua yang paling sering terserang penyakit ini
adalah pria dewasa yang lebih tua. Kematian dari penyakit Miastenia gravis biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam
perawatan intensif untuk pertahanan sehingga komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan
lebih baik. Penyembuhan dapat terjadi pada 10 % hingga 20 % pasien dengan melakukan
timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu dan yang paling cocok dengan jalan
penyembuhan seperti ini adalah golongan wanita muda, yaitu pada usia awitan. Usia awitan
dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan 40-60 untuk pria. Berdasarkan
uraian diatas, Miastenia gravis merupakan penyakit yang masih belum diketahui penyebab
pasti serta masih belum teratasi secara menyeluruh.

1
1.2 Tujuan

1. Mengetahui definisi penyakit Miastenia gravis


2. Mengetahui penyebab penyakit Miastenia gravis.
3. Mengetahui epidemologi penyakit Miastenia gravis.
4. Mengetahui patogenesis/patofisiologi penyakit Miastenia gravis.
5. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Miastenia gravis.
6. Mengetahui komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penyakit Miastenia gravis.
7. Mengetahui pencegahan penyakit Miastenia gravis.
8. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Miastenia gravis.
9. Mengetahui prognosis penyakit Miastenia gravis.
10. Mengetahui pathway penyakit Miastenia gravis.

1.3 Manfaat

1. Bagi masyarakat : dapat mengetahui lebih mendalam tentang Miastenia gravis serta
penanganannya.
2. Bagi mahasiswa : khususnya bagi mahasiswa keperawatan atau kesehatan yang lain
dapat dijadikan sebagai media pembelajaran.
3. Bagi tenaga kesehatan : dapat mengetahui perkembangan dan pencegahan dari
Miastenia gravis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari
synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan
mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran
seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf
cranial. (Dewabenny, 2008)

Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi


neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh
autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang
spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua
pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
(Chandrasoma dan Taylor, 2005)

2.2 Etiologi

Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung
akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksidengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada
membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan
demikian terjadilah kontraksi otot.

3
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan
kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologiklah yang berperanan. (Qittun,
2008)

2.3 Epidemologi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih
sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang
menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang
lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi padausia
40 tahun. Pada bayi, sekitar 20 % bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis
akan memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen). (Dewabenny, 2008)

2.4 Patogenesis / Patofisiologi

Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler padaMiastenia gravis


dianggap karena kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR),
baru diketahui, gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah
AChR padamembran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 – 90 %
penderita. Adanya proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan
Nastuk pada tahun 1960. Selain itu, dalam serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai
antibodi terhadap jaringan ototserat lintang 30 – 40 % dan antibodi antinuklear 25 %.Kadar
anti-AChR pada Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000nMol/L, dan kadar ini berbeda
secara individu. Anti-AChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak
menghambat pembentukan AChR baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran
postsinaptik mengalami perubahan sehingga jarak antara ujung saraf dan membran post
sinaptik bertambah lebar dengan demikian kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak
untuk menghancurkan Ach. Gejala klinik Miastenia gravis akan timbul bila 75 % AChR tidak
berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari normal. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)

2.5 Manifestasi Klinis (Tanda Dan Gejala)

Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yangmerusak fungsi reseptor


asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering
bermanisfestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita,

4
gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata.

Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya
sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.Miastenia gravis juga menyerang otot-
otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormalatau suara
nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang
menggantung. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya
batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispneadan pasien tidak lagi mampu
membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang
bahu dan panggul dapatterserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka.
Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan
memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau
mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.);

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama


siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan
infeksi yang disertai diare dan demam,
3. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot
apabila mereka berada dalam keadaan tegang,
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu
obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya. Pada
pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat
diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demamdan obat-obat tertentu seperti
B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida danlain-lain. Dulu diduga Miastenia
gravis tidak timbul sebelum pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat
dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10 tahun. Millichap dan Dodge membagi
Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) :
1. Neonatal transient
Miastenia gravis tipe ini terdapat pada 10-20 % bayi baru lahir dari ibu-ibu
yang menderita Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan
beratnya penyakit pada ibu .

5
Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nangis dan
gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan
melemah. Gejala ini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-
angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara
transplasenter ke dalam tubuh bayi.
2. Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis).
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis.
Gejala hampir sama dengan tipe neonataltransient Miastenia gravis, bersifat
ringan, berlangsung lama, makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap
pengobatan danremisi komplit jarang.
3. Juvenile Miastenia gravis tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja.
Keluhan dan gejala sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama
biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan mengunyah,
menelan atau suara sengau.

2.6 Komplikasi

Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawatdaruratan yang terjadi bila otot yang
mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal
pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan
selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasi
makanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien
termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pascaoperasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada
cuaca yang panas), kehamilan, dan stressemosional.

2.7 Pencegahan Primer, Sekunder, Dan Tersier

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat
individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi
kesehatan atau penyuluhan degancara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan
dari penyakit Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;

6
a. Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol,
khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang
mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya
kelemahan otot.
b. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaandan menjaga
kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini
terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan
adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan
antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa
dilaksanakan dengan; Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yang biasanya
menggunakan Azathioprine.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar


penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi
pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;

a. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini
dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b. Istirahat yang cukup.
c. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang
dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d. Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obatan
tikolinesterase secara berlebihan.

2.8 Penatalaksanaan

Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan
oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selam 10 jam agar dapat
bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka
juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya.
(SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.)

7
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama
pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang
ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miasteniagravis. Pengobatan ini dapat
digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah
terjadinya kekambuhan. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)

Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu :

1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:


a. Istirahat dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang
rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan AchDengan anti kolinesterase, seperti prostigmin,
piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita,
biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat
dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anakbesar 30 mg,
kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologika.
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainyaperbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari
pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpatimoma yang telah
berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun ± 25 %
penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50 % mengalami
perbaikan.

8
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek
samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai
dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah
kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik ataubekerja langsung pada
transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
engan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide
(CPM). Namun biasanya digunakan azathioprine (imuran) dengan dosis
2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine
dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus
berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan
sampai 50 % akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan ototTujuannya agar penderita dapat
menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang
dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan
penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna,
makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang
mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivatkinine, phenintoin,
benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.

9
2.9 Prognosis

Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa.
Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh
bagian atas, 10 % Miastenia gravistetap terbatas pada otot-otot mata, 20 % mengalami
insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10 % cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot.
Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur
baik dalam 15-20 tahun dan ± 20 % antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal
penyakit terjadi pada 10 % Miastenia gravis. (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986)

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan
disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari
synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan
mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran
seseorang (volunter). Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 3 : 1. Pada wanita,
penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria,
penyakit ini sering terjadi pada usia 40 tahun. Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi
relatif lebih baik daripada orang dewasa. Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis
berdasarkan 3 prinsip, yaitu; (1) Mempengaruhi transmisi neuromuskuler, (2) Mempengaruhi
proses imunologik, (3) Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot.

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini, semoga dapat digunakan sebagai pedoman bagi pembaca
baik tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian asuhan keperawatan secara
professional. Selain itu pembaca diharapkan dapat mengaplikasikan tindakan pencegahan dan
penanggulangan untuk menghindari penyakit Miastenia gravis ini. Mungkin dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

11

Anda mungkin juga menyukai