Anda di halaman 1dari 15

1

KONSEP DASAR PENYAKIT


A. DEFINISI
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravis
yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR) pada kelinci. Sedangkan pada
manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction
akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR). Pada hampir 90% penderita miastenia
gravis, transfer pasif Ig G pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang
diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR, sehingga lokalisasi imun
kompleks (Ig G dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati,
.
dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular ini
diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi dari antibodi
terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi
karena berbagai faktor. Salah satu diantaranya adalah kelainan pada transmisi
neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic
Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona
partikel aktif dari membran presinaptik merupakan target dari auto antibodi yang
patogen baik secara langsung maupun tidak langsung.
2

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
B. ETIOLOGI
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl
Choline Receptor/AChR) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun.
Etiologi dari penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun: 
direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau kelebihan kolinesterase.
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
3. Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
a) Infeksi (virus)
b) Pembedahan
c) Stress
d) Perubahan hormonal
e) Alkohol
f) Tumor mediastinum
g) Obat-obatan: Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin), B-blocker (propranolol), Lithium, Magnesium,
Procainamide. Verapamil, Chloroquine Prednisone
C. KLASIFIKASI
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America  (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata
dan kekuatan otot-otot lain normal
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Kelas III a Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
Kelas III b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot
3

aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.


Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat
Kelas IV a Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-
otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV b Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakanfeeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe :


1. Ocular miastenia
Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan
dan tidak ada kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke
otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap
otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap
obat tidak memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
a) Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi
penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang
memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi
thymoma.
b) Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari
myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma
kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat
disebabkan :
1. Pekerjaan fisik yang berlebihan
2. Emosi
3. Infeksi
4. Melahirkan anak
5. Progresif dari penyakit
4

6. Obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya


streptomisin, neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan
muscle relaxan.
7. Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena hilangnya kalium
D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang
merupakan salah satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia
gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada
miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot
okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan 6 otot okular
kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi,
diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula
timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah,
pallatum molle, dan laring sehingga timbullah paresis dari pallatu molle yang akan
menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat
keluar dari hidungnya. ( Jurnal MG. www.academia.edu)
Manifestasi klinis dari Miastenia Gravis:
1) Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
a) Ptosis
b) Diplobia
c) Otot mimic
2) Kelemahan otot bulbar
a. Otot-otot lidah
1. Suara nasal, regurgitasi nasal
2. Kesulitan dalam mengunyah
3. Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
4. Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan è batuk dan
tercekik saat minum
b. Otot-otot leher
1. Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
c. Kelemahan otot anggota gerak
d. Kelemahan otot pernafasan
e. Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2.
E. PATOFISIOLOGI
5

Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan


autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-
lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis.
Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot
penderita dengan miatenia gravis. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan
bagaimana auto antibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung
melawan konstituen pada otot. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada
reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien
dengan miastenia gravis. Auto antibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-
AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired
myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana
antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.
Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol
Walaupun mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap
reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait
dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atas
timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada
pasien miastenia gravis, antibodi Ig G dikomposisikan dalam berbagai subklas
yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa.Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor
asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap
antibody anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin
pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan
pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
Menurut Sylvia Anderson (1995) timbulnya anemia mencerminkan
adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah berlebih atau
keduanya kegagalan sumsum (mis. berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi
karena kekurangan nutrisi pajanan toksis, invasi tumor atau kebanyakan akibat
penyebab yang tidak diketahui.
Apabila jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit
O2 yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau
lebih), seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatologi sekunder
hipovolemia dan hipoksemia tanda dan gejala yang sering muncul adalah gelisah,
6

diaforesis (keringat dingin) takikardi, sesak napas, kolaps sirkulasi yang progresif
cepat atau syock. Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu
beberapa bulan (walaupun pengurangan 50%) memungkinkan mekanisme
kompensasi tubuh menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik kecuali
pada kerja jasmani berat. Mekanisme kompensasi tubuh bekerja melalui:
1. Peningkatan curah jantung dan pernapasan, karena itu menambah pengiriman
O2 ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah.
2. Meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
3. Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela
jaringan
4. Redistribusi aliran darah ke organ-organ vital.
F. PEMERIKSAAN
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1) Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap.
Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,
karena efektivitas tensilon sangat singkat.
2) Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
3) Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan
3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan
juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.

4) Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik, yaitu:
a. Single-fiber Electromyography (SFEGM)
7

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber


berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita.
Sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama)
dan suatufiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam)
b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
G. PENATALAKSANAAN
Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan
miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomodulasi yang rutin.
Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi
ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan
prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis.
Terapi pemberian antibiotic yang dikombainasikan dengan imunosupresif dan
imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu menghambat
terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan
menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga
dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan
pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis
generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan
ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara
cepat dan terapi yang memiliki omset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih
lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat anti kolinestrase
1. Piridostigmin bromide (mestinon), ambenonium klorida (Mytelase),
neostigmin bromide (Prostigmin). Diberikan untuk meningkatkan respon otot
8

terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot, hasil diperkirakan


dalam 1 jam setelah pemberian.
Terapi imunosupresif
1. Ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau
pembuangan antibody secara langsung dengan pertukaran plasma.
2. Kortikostreoid menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody yang
menghambat
3. Pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara dalam
titer antibodi
4. Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi) menyebabkan
remisi subtansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hiperlasia kelenjar
timus.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1) Identitas klien yang meliputi
a. Nama
9

b. Alamat
c. Umur
d. Jenis kelamin
e. Status
2) Keluhan utama : kelemahan otot
3) Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan
presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan
kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis,
pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang
sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat
menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
 Pemeriksaan Fisik :
1. B1 (breathing) : Dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan
akut, kelemahan otot diafragma
2. B2 (bleeding) : Hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi

3. B3 (brain) : Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi


okular, jatuhnya mata atau dipoblia

4. B4 (bladder) : Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine,


hilangnya sensasi saat berkemih

5. B5 (bowel) : Kesulitan mengunyah menelan, disfagia, dan


peristaltik usus turun, hipersalivasi, hipersekresi

6. B6 (bone) : Gangguan aktifitas / mobilitas fisik, kelemahan otot


yang berlebih.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan Miastenia
Gravis adalah sebagai berikut:
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Gangguan persepsi sensori bd ptosis, dipoblia
3. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
4. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan kelemahan
fisik umum, keletihan
5. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi
verbal.
10

7. Intoleran aktivitas berhubungan dengan imobilitas, tirah baring, gaya hidup


kurang gerak, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
C. INTERVENSI
1. Diagnosa 1 : Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan
kelemahan otot pernafasan
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola
pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil :
1) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal 60-
100x/menit
Intervensi Rasionalisasi
Observasi kemampuan ventilasi Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat
mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dan bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi, dengan interval yang sering dalam
mendeteksi masalah pau-paru, sebelum perubahan kadar gas
darah arteri dan sebelum tampak gejala klinik.

Observasi kualitas, frekuensi dan Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman
kedalaman pernapasan, laporkan pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan
setiap perubahan yang terjadi. kondisi klien.
Baringkan klien dalam posisi yang Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga
nyaman dalam posisi duduk ekspansi paru bisa maksimal
Observasi tanda-tanda vital Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi
(nadi,RR) adanya penurunan fungsi paru.

2. Diagnosa 2 : Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoplia


Tujuan : Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
1) Adanya perubahan kemampuan yang nyata
2) Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Intervensi Rasional
Tentukan kondisi patologis klien Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang
mengalami gangguan.

Observasi gangguan penglihatan terhadap Untuk mempelajari kendala yang


perubahan persepsi berhubungan dengan disorientasi klien.

Latih klien untuk melihat suatu obyek dengan Agar klien tidak kebingungan dan lebih
telaten dan seksama berkonsentrasi.
Observasi respon perilaku klien, seperti menangis, Untuk mengetahui keadaan emosi klien
bahagia, bermusuhan, halusinasi setiap saat.
11

Berbicaralah dengan klien secara tenang dan Memfokuskan perhatian klien, sehingga setiap
gunakan kalimat-kalimat pendek. masalah dapat dimengerti.

3. Diagnosa 3 : Intoleran Aktivitas b.d Imobilitas


Tujuan : Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam
kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor
resiko dan melindungi diri dari cedera.
2) Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi
melakukan aktivitas selanjutnya
Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatan dan daya
kemampuan tahan. Menjadi partisipan dalam pengobatan, klien
harus belajar tentang fakta-faakta dasar mengenai
agen-agen anti kolinesterase kerja, waktu,
penyesuaian dosis, gejala-gejala kelebihan dosis, dan
efek toksik. Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktu adalah ketegasan.
Evaluasi kemampuan aktivitas motoric Menilai singkat keberhasilan dari terapi yang boleh
diberikan

Diagnosa 4 : Hambatan Mobilitas Fisik b.d Gangguan neuromuskular


Tujuan : Setelah dilakukan perawatan 3 × 24 jam maka pasien dapat
melakukan aktivitas seperti biasa
Kriteria hasil :
1) Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit
2) Kemampuan batuk efektif dapat optimal
3) Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi Rasionalisasi
Observasi kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi
melakukan aktivitas selanjutnya

Atur cara beraktivitas klien sesuai Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatandan
kemampuan daya tahan. Menjadi partisipan dalam pengobatan,
klien harus belajar tentang fakta-fakta dasar
mengenai agen-agen anti kolinesterase kerja, waktu,
penyesuaian dosis, gejala-gejala kelebihan dosis,
dan efek toksik. Dan yang penting pada pengguaan
medikasi dengan tepat waktu adalah ketegasan.
12

Evaluasi Kemampuan aktivitas motoric Menilai singkat keberhasilan dari terapi yang boleh
diberikan

 
4. Diagnosa 5 : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
Tujuan : Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
1) Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
2) Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi Rasional
Observasi komunikasi verbal klien. Kelemahan otot-otot bicara klien krisis miastenia
gravis dapat berakibat pada komunikasi

Lakukan metode komunikasi yang Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi


idealsesuai dengan kondisiklien mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka
coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan
yang diinformasikan, berbicara dengan klien
terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangkan
jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab ya/tidak.
Setelah periode krisis klien selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.

Beri peringatan bahwa klien di ruang ini Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan
mengalami gangguan berbicara, sediakan bel ketidakmampuan komunikasi
khusus bila perlu

Antisipasi dan bantu kebutuhan klien Membantu menurunkan frustasi oleh karena
ketergantungan atau ketidakmampuan
berkomunikasi

Ucapkan langsung kepada klien dengan Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap
berbicara pelan dan tenang, gunakan banyaknya informasi. Memajukan stimulasi
pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau komunikasi ingatan dan kata-kata.
”tidak” dan perhatikan respon klien

Kolaborasi: konsultasi ke ahli terapi bicara Mengkaji kemampuan verbal individual, sensorik,
dan motorik, serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi

 
5. Diagnosa 6 : Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal
13

Tujuan : Citra diri klien meningkat


Kriteria hasil :
1) Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat
tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi.
2) Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi.
3) Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi perubahan dari gangguan persepsi Menentukan bantuan individual dalam menyusun
dan hubungan dengan derajat rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
ketidakmampuan

Identifikasi arti dari Kehilangan atau Beberapa klien dapat menerima dan mengatur
disfungsi pada klien. beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai
kesulitan membandingkan mengenal dan mengatur
kekurangan.

Bantu dan anjurkan perawatan yang baik Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan
dan memperbaiki kebiasaan mengontrol lebih dari satu area kehidupan

Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
mengizinkan klien melakukan hal untuk membantu perkembangan harga diri serta
dirinya sebanyak-banyaknya mempengaruhi proses rehabilitasi

Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
dan konseling bila ada indikasi. untuk perkembangan perasaan

7. Diagnosa 7 : Intoleran aktivitas berhubungan dengan imobilitas, tirah


baring, gaya hidup kurang gerak, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
Tujuan : Kontrol resiko: Proses infeksi
Kriteria Hasil :
1) Mampu mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi
2) Mampu memonitor perilaku diri yang berhubungan dengan infeksi
3) Mampu mempertahankan lingkungan yang bersih.
Intervensi Rasional
Bersihkan lingkungan dengan baik setelah Tujuannya agar tidak dapat menularkan
digunakan untuk setiap pasien infeksi kepada pasien yang lain
Anjurkan pasien untuk minum antibiotic yang Diharapkan pasien mau minum obat antibiotic
diresepkan yang diresepkan
Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai Diharapkan pasien dan keluarga dapat
bagaimana menghindari infeksi menjaga kebersihan lingkungan dan pribadi
dan tidak menularkan penyakit ke pasien lain.
14

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8.


(terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta
Jurnal. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA MIASTENIA GRAVIS.Universitas
Udayana. download.portalgaruda.org.
Adi, Bambang. Misatenia gravis. www.academia.edu
15

http://books.google.co.id/asuhan+keperawatan+miastenia+gravis
http://www.scribd.com/doc/32307115/Miastenia-Gravis-By-Susilo-Eko-Putra
Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian,
ed. 3, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai