Anda di halaman 1dari 65

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Miastenia gravis memiliki karakteristik kelemahan otot fluktuatif yang

mengenai otot okuler, bulbar, pernafasan, lengan dan tungkai. Kelumpuhan

bertambah berat pada saat atau setelah aktivitas dan membaik dengan istirahat

(Hehir dan Silvestri, 2018). Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun

pada neuromuscular junction (NMJ) yang paling sering ditemui. Prevalensi

miastenia gravis terus meningkat sejak 50 tahun terakhir dengan adanya

pengenalan dan diagnosis yang lebih baik (Trouth et al., 2012). Insiden

miastenia gravis di dunia mencapai 1,7-30 kasus per 1 juta orang per tahun,

dan prevalensi miastenia gravis 7-179 kasus per 1 juta populasi (Breiner et al.,

2016). Meskipun dianggap sebagai penyakit yang langka, namun miastenia

gravis membawa beban kesehatan masyarakat yang besar karena adanya

kelemahan otot dan kelelahan kronis.

Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien

miastenia gravis diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang

populasi pada seluruh etnis maupun jenis kelamin. Angka tersebut jauh

berbeda dengan angka insidensi di wilayah Eropa seperti Inggris, Italia, dan

pulau Farou di Islandia yaitu sebesar 21-30 per 1.000.000 populasi. Di

Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian

1
miastenia gravis (MG). Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI) selaku

support group utama sampai saat ini masih mengupayakan pendataan yang

maksimal terkait jumlah pasien miastenia gravis (MG) di Indonesia.

Penelitian tentang miastenia gravis telah dilakukan beberapa dekade

terakhir, terutama mekanisme yang mendasari terjadinya miastenia gravis.

Simpson (1959) merupakan orang pertama yang menyatakan bahwa miastenia

gravis merupakan penyakit autoimun yang disebabkan antibodi terhadap

protein spesifik di neuromuscular junction (NMJ) (Trouth et al., 2012). Pada

umumnya miastenia gravis disebabkan oleh autoantibodi terhadap nicotinic

acetylcholine receptor (AChR), namun ditemukan juga antibodi yang

menyerang protein endplate, seperti muscle-specific receptor tyrosine kinase

(MuSK) atau lipoprotein-related protein 4 (LRP4) (Gold et al., 2019).

Penelitian terbaru juga menemukan antibodi lain yang berperan pada

miastenia gravis yaitu Thymomaassociated autoantibodies seperti Titin

antibody, RyR antibody dan VGKC KCNA4 Antibody (Kang et al., 2015).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan myasthenia gravis ?

2. Apa etiologi dari myasthenia gravis ?

3. Bagaimana patofisiologi dari myasthenia gravis ?

4. Apa saja tanda dan gejala dari myasthenia gravis ?

5. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk myasthenia

gravis?

2
6. Apa saja komplikasi dari penyakit myasthenia gravis ?

7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit myasthenia gravis ?

8. Bagaimana asuhan keperawatan pada myasthenia gravis?

9. Bagaimana algoritma penanganan pada myasthenia gravis?

10. Bagaimana telaah jurnal pada myasthenia gravis?

11. Bagaimana standar operasional prosedur pada myasthenia gravis?

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada

pasien dengan GBS

2. Tujuan Khusus :

a. Untuk mengetahui pengertian dari myasthenia gravis.

b. Untuk mengetahui etiologi dari myasthenia gravis.

c. Untuk mengetahui patofisiologi dari myasthenia gravis.

d. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari myasthenia gravis.

e. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik yang dilakukan untuk

myasthenia gravis.

f. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit myasthenia gravis.

g. Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit myasthenia gravis.

h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan untuk pasien dengan

penyakit myasthenia gravis.

i. Untuk mengetahui algoritma penanganan pada myasthenia gravis?

3
j. Untuk mengetahui telaah jurnal pada myasthenia gravis

k. Untuk mengetahui standar operasional prosedur pada myasthenia

gravis

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Myasthenia Gravis

Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi

neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah myasthenia adalah

bahasa latin untuk kelemahan otot, dan gravis untuk berat atau serius. Miastenia

gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis adalah

gangguang yang memengaruhi transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang

kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan

kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit neuromuskular dengan

gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya

pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal).

Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya

terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf

kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada

wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. 

B. Etiologi Myasthenia Gravis (masukkan dalam WOC) DI KOLOM

ETIOLOGI

Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga

kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl

5
Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi

autoimun.

Etiologi dari penyakit ini adalah:

1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau

kelebihan kolinesterase.

2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG.

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:

1. Infeksi (virus).

2. Pembedahan.

3. Stress.

4. Perubahan hormonal.

5. Alkohol.

6. Tumor mediastinum.

Obat-obatan:

1. Antikolinesterase.

2. Laksative atau enema.

3. Sedatif.

4. Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin).

5. Potassium depleting diuretic.

6. Narkotik analgetik.

7. Diphenilhydramine.

8. B-blocker (propranolol).

6
9. Lithium.

10. Magnesium.

11. Procainamide.

12. Verapamil.

13. Chloroquine.

14. Prednisone.

C. Patofisiologi Myasthenia Gravis

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline

Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap

dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju

membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada

jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang

diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit

pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses

auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat

memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses

autoimun pada Miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian

diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75

% pasien Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien

menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 %

berhubungan dengan timoma.

D. Tanda dan Gejala Myasthenia Gravis

7
Penyakit Myasthenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.

Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan

semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik

dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis

gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot

kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari

kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat

benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara

abnormal (ptosis).

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan

penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti

tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan

menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,

terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-

langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami

kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada

anggota gerak ini akan dirasakan asimetris.

Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di

daerah

mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang

seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut

Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan

8
membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan

sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat

pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut dikenal sebagai krisis

Miastenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan

karena adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis. Secara umum, gambaran

klisnis Miastenia yaitu: (Masukkan dalam WOC) untuk dijadikan sebagai bahan

pertanyaan anamnesis agar lebih fokus ke miastenia

1. Kelemahan otot yang progresif pada penderita

2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang berulang

3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat

4. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam

5. Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia) , atau otot faring lainnya

(disfagia , suara sengau)

6. Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motoric

7. Kadang-kadang, kekuatan otot tiba-tiba memburuk

8. Tidak ada atrofi atau fasikulasi

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat

menutup mata dan kekuatan otot –otot normal.


Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot

9
okular.
Kelas Iia Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh atau

keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal

yang ringan
Kelas Iib Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau

keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-

otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas IIa


Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.

Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami

kelemahan tingkat sedang


Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot

orofaringeal yang ringan


Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot

anggota tubuh, otot-otot aksial atau keduanya dalam derajat

ringan
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular

mengalami kelemahan dalam berbagai derajat


Kelas Iva Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh

dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami

kelemahan dalam derajat ringan


Kelas Ivb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal , otot-otot pernapasan

atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat

10
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,otot-otot aksial, atau

keduanya dengan derajat ringan.

Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan

intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman

membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :

1. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai

ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %).

2. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata ,

lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak

terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %).

3. Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai

gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-

otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan

aktivitas pasien terbatas. (25 %).

4. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan

otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot

pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan.

Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat

bururk dan angka kematian tinggi (15%).

11
5. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun

sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat

dan prognosis buruk (10 %).

12
13
E. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi

AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.

1. Anamnesis

Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas dan

membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan

manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan

(terutama triceps dan ekstensor jari-jari),

kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dapat

pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bias sesak.

2. Tes klinik sederhana:

a. Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua

bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).

b. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan

menghilang secara bertahap (tes positif).

3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang

kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji

tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam

30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon

secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan

14
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan

adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis,

maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus

diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat

digunakan atropin.

4. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara

intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu

benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya

ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

5. Laboratorium

a. Anti striated muscle (anti-SM) antibody

Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang

menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan

salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien

tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien

dengan usia lebih dari 40 tahun.

b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-

AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang

positif untuk anti-MuSK Ab.

15
c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu

Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari

penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita

dengan Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin

reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis

sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.

6. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

neuro muscular melalui 2 teknik :

a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber

berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena

menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk

merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer

(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot

tunggal pada motor unit

yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot

tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). Repetitive Nerve

Stimulation (RNS) Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan

jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan

suatu potensial aksi.

16
7. Gambaran Radiologi

Chest x-ray (foto roentgen thorak) dapat dilakukan dalam posisi

anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi

sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

a. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya

thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan

untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis,

terutama pada penderita dengan usia tua.

b. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan

rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat

ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari

penyebab defisit pada saraf otak.

F. Komplikasi Myasthenia Gravis

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis yakni krisis

miastenik dan krisis koligernik. Krisis miastenik memiliki karakteristik sepeti

kelemahan pada otot-otot pernapasan, tidak mampu memenuhi ventilasi yang

adekuat sehingga menyebabkan gagal napas bahkan kematian. Krisis miastenik,

yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada

gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.

Krisis miastenik dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress

seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, tapering off prednisone atau

selama kehamilan (Hickey, 2014).

17
Meskipun dengan pemberian medikasi, pasien dapat dengan cepat mengalami

perburukan seperti pembengkakan dan kesulitan bernapas sehingga membutuhkan

intubasi dan dukungan ventilator. Kondisi krisis miastenik seringkali

membutuhkan perawatan intensif, observasi ketat, intubasi untuk penggunaan

ventilasi mekanik, dan juga dukungan asupan nutrisi (Cereda et al., 2009).

Berdasarkan hasil studi kohort selama 5 tahun diketahui bahwa perburukan dari

miastenia gravis paling banyak terjadi di tahun pertama dan jenis miastenia gravis

okular memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami perburukan

dibandingkan dengan miastenia gravis umum (Khadilkar et al., 2014).

Krisis koligernik merupakan salah satu kondisi respons toksik yang kadang

dijumpai pada penggunaan obat antikolinerase yang terlalu banyak ( elizabeth J.

Corwin, 2008). Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan

peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia.Individu dapat

mengalami mual, muntah, berkeringat, dan diare yang akhirnya dapat mengarah

pada kondisi gagal napas. Hickey (2014) mendeskripsikan krisis koligernik

sebagai kejadian pada pasien miastenia gravis dikarenakan efek toksik dari obat-

obatan seperti muscarine dan nicotinic. Efek muscarine bekerja dengan lambat

sedangkan efek nicotinic biasanya diawali dengan keram di area abdomen dan

diare sebelum akhirnya menyebabkan krisis koligernik. Selain obat-obatan

tersebut, pemberian steroid dosis yang tinggi maupun penatalaksanaan yang

inadekuat dapat menginisiasi terjadinya krisis (Thanvi & Lo, 2004).

18
Pasien miastenia gravis yang mengalami krisis harus menjalani masa rawat di

intensive care unit (ICU) dan mendapatkan bantuan pernapasan dengan

menggunakan ventilator (Toyka & Gold, 2007). Dengan adanya penurunan

kemampuan menelan dan juga pemasangan intubasi pada pasien miastenia gravis,

tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya infeksi di saluran pernapasan akibat

aspirasi (Cereda et al., 2009). Hal ini mengarah pada kejadian VAP (Ventilator

Acquired Pneumonia) maupun pneumonia yang diakibatkan oleh aspirasi. Dalam

tulisannya disebutkan juga apabila pemberian terapi asetilkolinerase tidak

menunjukan peningkatan kondisi kesehatan pasien secara bermakna maka pasien

membutuhkan bantuan napas dengan ventilator pada waktu yang lama.

Masa perawatan yang lama mengarah pada kejadian infeksi akibat ventilator

maupun karena hospitalisasi. Pemberian antibiotik dapat diberikan untuk

mencegah komplikasi tersebut. Namun yang harus menjadi pertimbangan tenaga

kesehatan yakni efek merugikan dalam pemberian antibiotik yang pada sebagian

pasien akan memperburuk kondisi kesehatannya (Berkel, Twilla, & England,

2016). Gilhus dan Verschuuren (2015) menyebutkan bahwa pemberian

immunoglobulin secara intra vena dan plasmaferesis dapat menurunkan gejala

penyakit, menurunkan risiko komplikasi dan berkontribusi pada pemulihan yang

lebih dini.

G. Penatalaksanaan

1. Acetilkolinesterase inhibitor

19
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral.

Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk

mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari,

dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin

bromide (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4

jam/iv atau im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan

kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas

otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan

daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada

Miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian

antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi

pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi

bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik)

berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida

atau atropin.

2. Kortikosteroid

Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10- 20 mg, dinaikkan

bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6

jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya

dapat berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster

dan duodenum, katarak.

3. Azatioprin

20
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang

baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama

berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat

ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama.

Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.

Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.

Pemberian prednisolon bersamasama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

4. Plasma Exchange (PE)

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang

menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan

anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer

antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan

intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan

karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan

memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan

tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan

menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari penggantian yang

dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4 liter sebanyak 5x

dalam 2 minggu.

5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan

1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.

21
6. Timektomi

Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan

Miastenia gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi standar di

berbagai pusat pengobatan namun keeefektivitasannya belum dapat dipastikan

oleh penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi

awal

pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.

Etiologi myasthenia gravis

 Kelainan autoimu
 Genetik
 Infeksi (virus).
 Pembedahan.
 Stress.
 Perubahan hormonal.
WOC Myasthenia Gravis  Alkohol.
 Tumor mediastinum.
 Penggunaan Obat-obatan:
1. Antikolinesterase.
2. Laksative atau enema.
3. Sedatif.
4. Antibiotik
(Aminoglycosides,
ciprofloxacin,
ampicillin,
erythromycin).
5. Potassium depleting

22
Myasthenia Gravis

Terjadi pelemahan, penyekatan, dan penghancuran lokasi reseptor Ach pada


membrane pascasinaptik sel otot oleh antibody (Anti AChR)

Berkurangnya jumlah tempat AChR membatasi hantaran dan kecepatan impuls


saraf normal untuk menyeberangi celah sinapsis

Kontraksi otot tidak dapat dimulai

Kelemahan progresif ringan hingga berat dan keletihan abnormal pada otot

Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksi otot yang berulang

Otot-otot okular Otot wajah, laring, faring Otot volunter Otot pernapasan

Gangguan otot regurgitasi makanan ke Kelemahan otot- Ketidakmampuan


Levator palpebra hidung pada saat menelan, Otot rangka Batuk efektif,
suara abnormal/sengau, Kelemahan Otot-
ketidakmampuan otot pernapasan
Ptosis dan displopia MK:
menutup rahang
 Gangguan mobilitas
fisik
MK : Gangguan citra  Intoleransi aktivitas
MK: MK:
diri
 risiko aspirasi  Pola napas tidak
 defisit nutrisi efektif
Krisis myasthenia
 gangguan komunikasi  Bersihan jalan napas
verbal tidak efektif

Kematian
Krisis miastenik Krisis koligemik
 kelemahan otot-otot pernapasan  peningkatan motilitas usus
 tidak mampu memenuhi ventilasi yang adekuat Kematian  konstriksi pupil
 gagal napas  bradikardia
 diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh  mual, muntah, berkeringat, dan diare
 gagal napas

23
H. Asuhan Keperawatan Myasthenia Gravis

1. Pengkajian Keperawatan

a. Pengkajian primer

1) Airway

a) Peningkatan sekresi pernapasan

b) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,

d) Jalan napas bersih atau tidak

2) Breathing

a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,

takipneu/bradipneu, retraksi.

b) Peningkatan frekuensi nafas.

c) Nafas dangkal dan cepat

d) Kelemahan otot pernapasan

e) Reflek batuk ada atau tidak

f) Penggunaan otot Bantu pernapasan

g) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak

h) Irama pernapasan : teratur atau tidak

i) Bunyi napas Normal atau tidak

3) Circulation

a) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia

b) Sakit kepala

24
c) Gangguan tingkat kesadaran

4) Disability

a) Keadaan umum : GCS, tingkat kesadaran, nyeri atau tidak

b) Adanya trauma atau tidak pada thoraks

5) Exposure

a) Enviromental control

b) Buka baju penderita tetapi cegah terjadinya hipotermia

b. Pengkajian Sekunder

1) Identitas Pasien

Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat,

Tanggal Pengkajian, Status.

2) Keluhan utama

Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia

gravis meminta pertolongan sesuai kondisi dari adanya penurunan atau

kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda),

ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90%

klien dengan miestenia garvis, disfonia (gangguan suara), masalah

menelan, dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama

biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan

batuk efektif, dan dispenia.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

25
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan

faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regirgitas melalui hidung jika

klien mencoba menelan (otot-otot palatum) akan menimbulkan suara

yang abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup

mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang

memperberat kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan diabetes

melitus.

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai

persamaan dengan keluhan klien saat ini.

6) Pemeriksaan Fisik

Seperti telah disebutkan sebelumnya, miestenia gravis diduga

merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi asetilkolin dan

mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering

bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat.

Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot

tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada

masing-masing klien, maka prognosisnya sulit ditemukan.

26
a) B1 (Breath)

Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan

batuk efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot

bantu pernapasan, dispnea, resiko terjadinya aspirasi dan gagal

pernapasan akut dan peningkatan frekuensi pernapasan sering

didapatkan pada klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot

pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan

stridor pada klien menandakan adanya akumulasi secret pada jalan

napas dan penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.

b) B2 (Blood)

Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan

untuk memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama

denyut nadi, dan tekanan darah, yang secara progresif akan

berubah sesuai dengan kondisi tidak membaiknya status

pernapasan, hipotensi atau hipertensi, takikardi atau bradikardi.

c) B3 (Brain)

Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih

lengkap dibandingkan dengan pengkajian pada system lainnya.

Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi ocular,

jatuhnya kelopak mata atai dislopia intermien, bicara klien

mungkin disatrik.

27
d) B4 (Bladder)

Pengkajian pada system perkemihan biasanya didapatkan

berkurangnya volume output urine, ini berhubungan dengan

penurunan perfusi dan penurunan curah jantung di ginjal.

Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan menurunnya fungsi

kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi berkemih.

e) B5 (Bowel)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan

produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien dengan

miestenia gravis menurun karena ketidakmampuan menelan

makanan sekunder dari kelemahan otot-otot menelan,

pemeriksaan lainnya berhubungan dengan kelemahan otot

diafragma dan peristaltic usus menurun.

f) B6 (Bone)

Adanya kelemahan otot-otot volunteer memberikan hambatan

pada mobilitas dan menganggu aktivitas perawatan diri.

Pemeriksaan lainnya berhubungan dengan gangguan aktifitas

atau mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

28
2. Diagnosa keperawatan :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuscular (D.0001)

b. Pola napas tidak efektif b.d gangguan neuromuscular (D.0005)

c. Risiko aspirasi b.d gangguan menelan (D.0006)

d. Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan (D.0019)

e. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuscular (D.0054)

3. Intevensi Keperawatan

NO DIAGONASA SLKI SIKI


. SDKI
1 Bersihan jalan Setelah dilakukan intervensi Latihan Batuk Efektif
napas tidak efektif selama … jam maka 2.1 Identifikasi kemampuan batuk
b.d disfungsi masalah bersihan jalan
2.2 Monitor adanya retensi sputum
neuromuscular
napas tidak efektif dapat
(D.0001) 2.3 Buang sekret pada tempat
teratasi dengan kriteria
hasil: sputum

1. Batuk efektif meningkat 2.4 Anjurkan posisi semifowler/

(5) fowler

2. Produksi sputum 2.5 Jelaskan tujuan dan prosedur

menurun (5) batuk efektif

3. Gelisah menurun (5) 2.6 Anjurkan batuk dengan kuat

4. Frekuensi napas dalam langsung tarik napas dalam yang

batas normal (5) ke-tiga

2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Nafas


efektif gangguan selama … jam maka

29
neuromuscular masalah pola nafas tidak 3.1 Monitor pola nafas (frekuensi,
(D. 0005) efektif dapat teratasi dengan kedalaman, usaha nafas)
kriteria hasil:
3.2 Monitor bunyi nafas tambahan
1. Ventilasi semenit
3.3 Monitor sputum
meningkat (5)
3.4 Posisikan semi-fowler
2. Dispnea menurun (5)
3.5 Ajarkan teknik batuk efektif
3. Penggunaan otot bantu
napas menurun (5)

4. Frekuensi nafas
membaik (5)

5. Kedalaman nafas
membaik (5)

3 Risiko aspirasi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan aspirasi


selama … jam maka
b.d gangguan
masalah risiko aspirasi
3.1 Monitor tingkat kesadaran
menelan
dapat teratasi dengan
3.2 Monitor status pernapasan
(D.0006) kriteria hasil:
1. Tingkat kesadaran 3.3 Monitor bunyi napas, terutama

meningkat (5) setelah makan/minum


2. Kemampuan menelan 3.4 Periksa residu gaster sebelum
meningkat (5)
memberi asupan oral
3. Dispnea menurun (5)
3.5 posisikan semi fowler sebelum
4. Kelemahan otot menurun
(5) memberi asupan oral
5. Akumulasi secret 3.6 pertahankan posisi semi fowler

30
menurun (5) pada pasien tidak sadarkan diri

3.7 pertahankan kepatenan jalan

napas

3.8 ajarkan strategi mencegah

aspirasi
4 Defisit Nutrisi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi
selama … jam maka
b.d
masalah defisit nutrisi dapat
4.1 identifikasi status nutrisi
ketidakmampuan
teratasi dengan kriteria
4.2 identifikasi alergi dan
menelan hasil:
1. Porsi makanan yang intoleransi makanan
makanan
dihabiskan meningkat (5) 4.3 identifikasi perlunya
(D.0019)
2. Kekuatan otot penggunaan selang nasogastric
pengunyah meningkat
4.4 ajarkan diet yang
(5)
diprogramkan
3. Kekuatan otot menelan
meningkat (5) 4.5 kolaborasi dengan ahli gizi
4. berat badan membaik (5) untuk menentukan jumlah kalori
5. indeks massa tubuh
dan jenis nutrient yang dibutuhkan.
membaik (5)

5 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi


selama … jam maka
mobilitas fisik
masalah gangguan
5.1 identifikasi adanya nyeri atau
b.d gangguan
mobilitas fisik dapat teratasi
keluhan fisik lainnya
neuromuscular dengan kriteria hasil:
1. pergerakan ekstremitas 5.2 identifikasi toleransi fisik
(D.0054)
meningkat (5) melakukan pergerakan
2. kekuatan otot meningkat

31
(5) 5.3 monitor frekuensi jantung dan
3. Gerakan terbatas tekanan darah sebelum
menurun (5)
memulai mobilisasi
4. Kelemahan fisik
5.4 fasilitasi melakukan
menurun (5)
pergerakan

5.5 libatkan keluarga dalam

membantu pasien dalam

meningkatkan pergerakan

5.6 jelaskan tujuan dan prosedur

mobilisasi

5.7 ajarkan mobilisasi sederhana

I. Algoritma Penanganan Myastenia Gravis


Keluhan pasien MRS :
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis
meminta pertolongan sesuai kondisi dari adanya penurunan atau
kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda),
ptosis (jatuhnya kelopak mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien 32
dengan miestenia garvis, disfonia (gangguan suara), masalah menelan,
dan mengunyah makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya
adalah ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif,
dan dispenia
Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyakit yang memperberat kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan
diabetes melitus

Gejala Ringan : Gejala Sedang : Gejala Berat :


 Diplopia  Disfonia  Ketidakmampuan
 Ptosis  Masalah menelan menutup rahang
dan mengunyah  Ketidakmampuan
makanan batuk efektif
 dispnea

INITIAL ASSESSMENT

Primary Survey
Airway
a) Peningkatan sekresi pernapasan

b) Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi


Breathing
c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
a) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
d) Jalan napas bersih atau tidak
b) Peningkatan frekuensi nafas.

c) Nafas dangkal dan cepat

d) Kelemahan otot pernapasan

e) Reflek batuk ada atau tidak


33
f) Penggunaan otot Bantu pernapasan

g) Penggunaan alat Bantu pernapasan ada atau tidak


Tidak Stabil Stabil

Secondary Survey

ANAMNESA

1. Identitas

Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian, Status. 34

2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis meminta pertolongan sesuai kondisi
Pemeriksaan Fisik
g) B1 (Breath)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu pernapasan, dispnea, resiko terjadinya aspirasi dan gagal
pernapasan akut dan peningkatan frekuensi pernapasan sering didapatkan pada klien yang disertai
adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan
35
stridor pada klien menandakan adanya akumulasi secret pada jalan napas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan.
h) B2 (Blood)
36
PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Acetilkolinesterase inhibitor

Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-

6 jam/ iv tiap hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila

diperlukan, neostigmin bromide (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4

jam/iv atau im.

2. Kortikosteroid

Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10- 20 mg, dinaikkan bertahap (5-10

mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis

minimal efektif.

3. Azatioprin

Diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama.

4. Plasma Exchange (PE)

Jumlah dan volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4

liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.

5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama

2 hari.

6. Timektomi

37
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Tes klinik sederhana:

a. Tes watenberg/simpson test

b. Tes pita suara

2. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

3. Uji Prostigmin (neostigmin)

4. Laboratorium

a. Anti striated muscle (anti-SM) antibody

b. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi

6. Elektrodiagnostik

a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

7. Gambaran Radiologi

a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)

38
J. Telaah Jurnal / Evidance Based Nursing (EBN) Myasthenia Gravis

Jurnal Perawat Indonesia, Volume 4 No 1, Hal 30-42, Mei 2020 e-ISSN 2548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502

STUDI KASUS: STATUS PERNAFASAN PADA PASIEN MYASTHENIA G


RAVIS DI RUANG AZALEA RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Mia Listia1, Mayriska Kalay2, Dedi Kurnia3 , Tuti Pahria4, Hasniatisari Harun5* , Y
usshy
Kurnia Herliani6, Epi Fitriana7
Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
Perawat Ruang Azalea, RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung
Email:*mia18002@mail.unpad.ac.id
Abstrak
Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang dimediasi oleh a
ntibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR) pada membran postsynaptic dari tauta
n otot saraf. Hilangnya situs AchR mengakibatkan kelemahan pada otot rangka yang
berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas. Sebanyak 15 % – 20 %
pasien dengan MG setidaknya mengalami satu kali myasthenic crisis. Myasthenic cris
is merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat kelemahan otot-otot pernafas
an sehingga pasien mengalami penurunan status pernafasan. Tujuan : untuk mengetah
ui gambaran karakteristik dan menganalisis status pernafasan pasien MG. Metode : pe
nelitian dekriptif dengan pendekatan observasi studi kasus. Teknik pengambilan samp
el menggunakan consecutive sampling. Pengumpulan data dan pengkajian mengguna
kan form pengkajian asuhan keperawatan RSHS dan lembar observasi status pernafas
an nursing intervention clasification. Hasil : karakteristik pasien dalam studi ini adala
h pasien MG dengan riwayat gagal nafas, jenis kelamin perempuan, dengan klasifikas
i klinis MG IIb dan IIIb. Hasil Kedua pasien mengalami keluhan kesulitan bernafass
namun saat diobservasi pasien kedua mengalami dua kali gagal nafas karena melakuk
an aktivitas seperti berbicara lama, mengedan, dan tertawa berlebih yang mengakibat
kan kelemahan pada otot-otot pernafasan sehingga terjadi peningkatan frekuensi pern
afasan dan penurunan saturasi oksigen. Simpulan : edukasi yang tepat mengenai aktiv
itas serta observasi status pernafasan secara berkala dibutuhkan pasien MG agar dapat
mengontrol dan mencegah terjadinya gagal nafas yang dapat menyebabkan kematian.

39
Kata Kunci : Gagal nafas, MG, Myasthenia Gravis, Status Pernafasan.

Abstract

Case Study: Respiratory Status of Patients Myasthenia Gravis at Azalea Room H


asan Sadikin Bandung Hospital. Myasthenia gravis (MG) is a chronic autoimmun
e disease that is mediated by antibodies to the acetylcholine receptor (AChR) in the
post-synapses membrane of the neural muscle tissues. Loss of the AchR site results
in weakness in skeletal muscle associated with breathing and limb movements. A to
tal of 15%-20% of patients with MG have suffered a one-time crisis. The Myasthen
ic crisis is a medical emergency that occurs due to the weakness of the respiratory
muscles so that the patient experiences decrease in respiratory status. Objective: t
o determine the characteristics and analyze the respiratory status of MG patients.
Method: Descriptive research with an observation approach to case studies. The s
ampling technique uses consecutive sampling. Data collection and assessment use
d the RSHS nursing care assessment form and an observation sheet about the class
ification status of nursing interventions. Results: The characteristics of the patients
in this study were MG patients with a history of respiratory failure, female sex, wit
h clinical classification of MG IIb and IIIb. Both patients had a history of respirato
ry failure but when observed the second patient experienced two symptoms of respi
ratory failure due to activities such as prolonged talking, straining, and excessive l
aughter which resulted in weakness in the respiratory muscles which resulted in an
increase in respiratory frequency and decreased oxygen saturation. Conclusion: pr
oper education about the activity and observation of respiratory status regularly is
needed by MG patients to be able to control and prevent respiratory failure which
can cause death.

Keywords: Respiratory Failure, MG, Myasthenia Gravis, Respiratory Status

40
Pendahuluan
Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang dimedias
i oleh antibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR) pada membran postsynaptic d
ari tautan otot saraf. Hilangnya situs AChR menyebabkan transmisi berkurang dari i
mpuls saraf ditautan otot-saraf dan penurunan depolarisasi otot (Huether & McCance
2019). Penurunan jumlah AChR pada MG mengakibatkan kelemahan pada otot rang
ka yang berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas (NINDS, 201
9).
Kajian literatur yang dilakukan McGrogan, Sneddon, dan Vries (2010) menun
jukkan bahwa secara global insiden MG sebanyak 30/1.000.000/tahun. Hal yang sam
a juga dikemukakan Muhammad et al (2019) yang dilakukan oleh departemen keseha
tan Amerika Serikat, menunjukan angka kejadian pasien dengan diagnosa MG diperki
rakan 5 sampai 14 dari 100.000 populasi yang dilihat dari berbagai etnis maupun jeni
s kelamin. Sementara Joensen (2014) mengemukakan angka kejadian MG di Eropa d
an Amerika Utara, diperkirakan 9,6/1.000.000 orang pertahun. Mayer and Levy (201
0) menggambarkan lebih umum insiden MG di negara-negara Asia meningkat dalam
lima dekade terakhir, dari 2-5 per juta menjadi 9-21 per juta populasi. Saat ini Indone
sia masih mengupayakan pendataan yang maksimal terkait jumlah pasien dengan MG
yang dilakukan oleh Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI) selaku support gr
oup utama (Putri, 2017)
Gejala awal yang dialami pasien MG adalah kelemahan otot yang dapat berva
riasi setiap pasiennya (Vincent, 2011 dalam Barber, 2017). Sekitar 15% pasien MG
mengalami ptosis (kelemahan otot kelopak mata) atau diplopia
(penglihatan ganda), sementara manifestasi klinis lainnya seperti kelemahan umum y
ang mempengaruhi gerakan wajah, mengunyah, menelan, dan berbicara. Kesulitan be
rnafas juga dialami oleh penderita MG apabila pasien dalam posisi terlentang atau m

41
embungkuk (Grob, 2008 dalam Barber, 2017). Kelemahan otot pernafasan akan men
gakibatkan gagal nafas yang merupakan komplikasi serius pada MG.

Sebanyak 15%–20% pasien dengan MG setidaknya pernah mengalami satu k


ali myasthenic crisis. Myasthenic crisis merupakan keadaan darurat medis yang terjad
i akibat otot-otot yang mengontrol pernafasan melemah hingga pasien membutuhkan
ventilator untuk bernafas (Bershad & Suarez, 2008). Keluhan kelemahan pada pasien
MG dengan riwayat krisis akan meningkat sepanjang hari (Komarudin & Chairani, 20
19).
Keterlambatan dalam penanganan perubahan pola nafas pada pasien MG dapa
t berujung pada kondisi myasthenic crisis yang akan menyebabkan kematian karena k
etidakmampuan untuk bernafas. Sebuah studi yang dilakukan oleh Osserman dan Gen
kins (1963) tentang Myastenia gravis: reduction in mortality rate after crisis, menuru
tnya ketidakmampuan untuk bernafas yang terus menerus dapat menjadi komplikasi p
aling penting dalam pengelolaan MG. Kelemahan dari otot pernapasan disertai kelem
ahan pada otot diagfragma dan intrakosta menjadi penyebab terjadinya ketidakmamp
uan dalam memelihara jalan nafas, kebebasan sekresi dan pertukaran ventilasi yang
tidak memadai.
Keterlambatan penanganan dalam mengelola kelemahan otot yang lebih para
h akan menyebabkan henti nafas (Krisis kolienergik). Kegagalan pernafasan adalah k
omplikasi mengancam jiwa dari MG yang biasanya mengharuskan perawatan di unit
perawatan intensif. Perawat harus terbiasa dengan penyebab, gambaran klinis, dan pe
rawatan krisis pada pasien MG. Untuk itu diperlukan kolaborasi antara perawat dan
dokter ahli saraf dalam meninjau langkah-langkah penting terorganisir agar mencapa
i hasil terbaik dalam perawatan krisis untuk membantu pasien melalui masa krisis da
lam waktu yang sesingkat-singkatnya sehingga menurunkan angka kecacatan perma
nen (Bedlack & Sanders, 2000).
Lebih lanjut dibahas langkah dalam perawatan pasien MG dengan myastheni
c crisis dimulai dengan pengkajian. Perawat dan dokter berkolaborasi dalam melaku

42
kan pengkajian, pengkajian dalam fase krisis meliputi penegakan diagnosa MG, sela
njutnya pencarian penyebab terjadinya krisis seperti tanda dan gejala: Demam, batuk
sakit dada, dispneu, pengeluaran cairan hidung, riwayat pengobatan, TTV, auskultas
i dada, Inspeksi dada dan tenggorokan, tes lab, Tes urin dan Rotgen dada. Langkah b
erikutnya adalah metentukan kebutuhan intubasi serta adanya keterbatasan menelan,
kemudian kaji fungsi pernapasan. Langkah –langkah pengkajian terse
but dilakukan agar perawat dapat mengatasi penyebab dari krisis (Bedlack & Sander
s, 2000).
Oleh karena itu, pemberian tata laksana yang tepat sedari awal serta kontrol te
ratur akan dapat membantu pasien mempertahankan status pernapasan dalam kondi
si stabil (Komarudin & Chairani, 2019). Sebuah sistematik review dari Brekke et al
(2019) mengidentifikasi tingkat pernapasan menjadi prediktor paling akurat dan yang
paling terkait dengan peningkatan akurasi untuk deteksi kerusakan klinis pada pasien.
Observasi status pernafasan secara berkala menjadi salah satu observasi yang bisa dil
akukan oleh perawat dalam mengontrol MG sehingga kondisi pasien tidak sampai pa
da myastenic crisis. (Bulechek et al, 2013). Tujuan studi kasus ini adalah mengetahui
karakteristik dan menganalisis status pernafasan pasien dengan MG.

Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari praktik klinik Comprehensi
ve Medical Surgical Nursing Analisis dengan menggunakan metode penelitian deskri
ptif pendekatan observasi stadi kasus. Dilakukan di ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sa
dikin Bandung pada tanggal 21 – 26 November 2019.
Sampel yang diambil dalam studi kasus ini merupakan pasien MG dengan riw
ayat gagal nafas dengan frekuensi nafas >25x/ Menit, pernah dirawat intensive sebelu
mnya dengan nilai saturasi oksigen < 90%, dengan teknik pengambilan sampel yaitu
consecutive sampling. Sebelum melakukan studi kasus, observer melakukan pengum
pulan data yang diawali dengan koordinasi izin ruangan kepada kepala ruangan dan p
erawat untuk melakukan studi kasus. Kemudian Observer melakukan chek rekam me

43
dis pasien untuk memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentu
kan. Berdasarkan hasil rekam medik, kami menemukan 2 pasien yang dapat menjadi
sampel. kemudian observer menjelaskan tujuan observasi kepada pasien setelah pasie
n menyetujui untuk menjadi responden penelitian selanjutnya responden meminta me
ngisi informed consent yang telah dibuat oleh observer.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa form pengkajian
keperawatan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan lembar observasi status pernafas
an pasien MG yang merupakan standar pengukuran status pernafasan berdasarkan Nu
rsing Outcome Classification. Adapun status pernafasan yang diobservasi meliputi fre
kuensi pernafasan, irama pernafasan, kedalaman pernafasan, kesulitan bernafas, suara
nafas tambahan, pola nafas, saturasi oksigen, kesimetrisan ekspansi paru, lokasi trake
a, kelelahan otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal, penyedotan jalan n
afas, sekresi pernafasan, keluhan sesak nafas, bantuan terapi oksigen, penggunaan oto
t bantu nafas, pernafasan cuping hidung, dan GCS Bulechek et al (2013).

Hasil Penelitian
Pasien 1
Ny. F berusia 37 tahun dengan diagnosa MG. Pasien datang ke Rumah Sakit k
arena di rumah pasien mengalami sesak nafas akibat kelemahan pada otot-otot pernaf
asan yang mengakibatkan frekuensi nafas 30 x/mnt dengan saturasi oksigen 81% dan
kelemahan pada ekstrimitas sehingga pasien sulit bergerak. Sebelum masuk ruang per
awatan Azalea, pasien dirawat di Neurology Intensive Care selama 2 hari untuk dilak
ukan observasi ketat. Saat dilakukan observasi untuk studi kasus, pasien memasuki ha
ri rawat ke 14.
Pasien terdiagnosa MG ± 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, namun tanda
dan gejala MG seperti mudah lelah setelah beraktivitas, kelemahan otot – otot ekstrim
itas, dan ptosis (kelemahan kelopak mata atas) sudah pasien rasakan sejak tahun 2016
Saat dilakukan observasi, pasien telah sampai ke level IIb klasifikasi klinis MG men
urut Osserman yaitu Moderately severe generalized myasthenia dimana gejala-gejala

44
okular semakin berat disertai terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Kelemahan ot
ot-otot pernafasan pada pasien ini tidak terlalu terlihat karena pasien menggunakan te
rapi oksigen tambahan sewaktu-waktu bila diperlukan. Terapi obat yang pasien gunak
an yaitu prostigmin: SA 4 ml: 2 ml dalam 24 jam.

Pasien 2
Nn. A berusia 24 tahun dengan diagnosa MG + tymoma. Pasien datang ke Ru
mah Sakit karena di rumah pasien mengalami sesak nafas akibat kelemahan pada oto
t-otot pernafasan dengan frekuensi nafas 27 x/mnt dan saturasi oksigen 89 % disertai
kesulitan menelan. Sebelum masuk ruang perawatan Azalea, pasien dirawat di Neuro
logy Intensive Care selama 7 hari untuk dilakukan observasi ketat. Saat dilakukan ob
servasi untuk pasien memasuki hari rawat ke 8
Pasien terdiagnosa MG ± 3 tahun lalu dan pasien telah melakukan pengobatan
ke berbagai tempat termasuk Tanjung pinang, Malaysia, dan Singapura, namun pasie
n memutuskan untuk melanjutkan perawatan di RSHS karena pasien berencana untuk
melakukan tymectomy dalam waktu dekat. Saat dilakukan observasi, pasien telah sa
mpai ke level IIIb klasifikasi klinis MG menurut Osserman yaitu Acute fulminant my
asthenia dimana progresi cepat terjadi pada otot-otot rangka dan bulbar disertai terser
angnya otot-otot pernafasan. Dalam level 3 ini persentase timoma paling tinggi sehin
gga respon terhadap obat menurun. Terapi obat yang pasien gunakan yaitu prostigmin
: SA 10 ml : 5 ml dalam 24 jam dan N Acetyl Systein 3 x 1 tab.

Tabel 1. Demografi dan status kesehatan


Data Pasien I Pasien II
Jenis Kelamin Perempuan Perempuan
Diagnosa Myasthenia Gravis Myastenia Gravis + Tymoma

Lama Rawat 14 hari 8 hari


Usia 37 tahun 24 tahun
Durasi Penyakit 3 bulan 3 tahun

45
Terapi Pengobatan Infus NaCL 0.9% Infus NaCL 0.9% 1500ml/24
1500ml/24 jam jam
Prostigmin : SA : 4 Prostigmin : SA : 10 ml: 5 ml
ml: 2 ml dalam 24 jam dalam 24 jam
N Acetyl Systein 3x1 tablet
(PO)
Tabel 2. Hasil Observasi Pasien 1

Item Pasien 1
Hari Ke 14 Hari Ke 15 Hari Ke 16
Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2
Fekuensi pernafasa
n 25x/m 20x/m 20x/m 22x/m 21x/m 20x/m
Irama pernafas
an Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler
kedalaman pernafa
san Normal Normal Normal Normal Normal Normal
kesulitan berna
fas (+) (-) (-) (-) (-) (-)
Suara nafas tamba
han (-) (-) (-) (-) (-) (-)
Pola nafas Dispneu Eupneu Eupneu Eupneu Eupneu Eupneu

Saturasi oksige
n 96% 98% 97% 98% 96% 97%
Kesimetrisan ekspansi pa
ru Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris
Catat lokasi tra
kea Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah
Kelelahan otot-otot diafr
agma
pergeraka
dengan n- - - - - -
parasoksik

46
al
penyedot
Kaji perlunya an
- - - - - -
jalan nafa
s
Sekresi pernafa
san - - - - - -
Keluhan sesak naf
as Dispneu - - - - -
Nasal kan Nasal kan Nasal kan Nasal kan
Berikan bantuan terapi ul ul ul ul
oksigen jika diperl - -
ukan 2-4 PRN 2-4 PRN 2-4 PRN 2-4 PRN
Penggunaan otot bantu n
afas + + - - - -
Pernafasan cuping hidun
g - - - - - -
GCS 15 15 15 15 15 15

Tabel 3. Hasil Observasi Pasien 2

Pasien 2
Item Hari Ke 8 Hari Ke 9 Hari Ke 10
Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2
Fekuensi pernafasan 30x/m 22x/m 25x/m 22x/m 26x/m 24 x/m
Irama pernafasa
n Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler
kedalaman pernafasan Dangkal Normal Dangkal Normal Normal Normal
kesulitan bernaf
as (+) (-) (+) (-) (-) (-)
Suara nafas tambahan (-) (-) (-) (-) (-) (-)
Takipne
Pola nafas Takipneu Eupneu u Eupneu Takipneu Eupneu
Saturasi oksige 88% 98% 93% 98% 95 % 97 %

47
n
Kesimetrisan ekspansi
paru Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris
Catat lokasi trak
otot-ot
ea Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah
Kelelahan ot
diafragma dengan - - - - - -
pergerakan parasoksika
l
Kaji perlunya penyed
otan
+ - - - - -
jalan nafas
Sekresi pernafa
san + - - - - -
Keluhan sesak n
afas Dispneu - + - - -
Berikanbantuan terapiSimple BNC 3L/m Simple BNC 3L/m BNC 3L/m BNC 3L/m
mask 8 l/ mask 6 l/
oksigen jika diperlukan m PRN m PRN PRN PRN
Penggunaan otot bantu
nafas + - + - - -
Pernafasan cuping hidu
ng - - - - - -
GCS 14 15 15 15 15 15

Pembahasan
Analisis data demografi
Kedua pasien pada studi kasus berjenis kelamin perempuan hal ini sejalan den
gan penelitian yang dilakukan oleh Meyer & Levy (2010) tentang Geoepidemiology o
f myasthenia gravis menyebutkan Rasio prevalensi kejadian MG lebih banyak terjadi

48
pada perempuan dengan perbandingan (3:1) dan biasanya gejala awitan dini MG mun
cul sebelum usia 40. Selanjutnya usia pada kedua pasien adalah 37 tahun dan 24 tahu
n dimana penyakit MG menurut Yu, Hawkins, Ip, Wong, dan Woo (1992) menyebutk
an rata-rata pasien yang mengidap penyakit MG yaitu berkisar pada usia 36 tahun.
Diagnosis Penyerta
Pasien 1 terdiagnosa MG tanpa tymoma sedangkan Pasien 2 terdiagnosa MG dengan
tymoma. Menurut Dahal et al (2019) sepertiga hingga dua pertiga pasien yang memili
ki tymoma datang dengan keluhan kondisi autoimun dan yang paling sering adalah de
ngan pasien MG yaitu sekitar 15 – 20 % kasus. Hal ini sejalan dengan penelitian Syka
lo, Adio, dan Birchem (2019) dimana penyakit MG terdiagnosa bila terdapat antibodi
reseptor asetilkolin (anti-AchR-Abs) yang dominan meskipun memblokir ataupun me
modulasi, dan sebanyak 85 % pasien MG memiliki antibodi tersebut serta 100 % terd
apat pada pasien MG dan tymoma. Lebih lanjut dijelaskan dalam NINDS (2017) bah
wa beberapa kejadian MG dewasa, kelenjar timus tetap besar. Orang dengan penyakit
ini biasanya memiliki kelompok sel imun di kelenjar timusnya yang mirip dengan hip
erplasia limfoid yaitu suatu kondisi yang biasanya hanya terjadi pada limpa dan kelen
jar getah bening selama respons imun aktif. Beberapa individu dengan MG mengalam
i timoma (tumor kelenjar timus). Timoma paling sering tidak berbahaya, tetapi bisa m
enjadi kanker
MG + tymoma dapat memperparah tanda dan gejala. Hal ini sejalan dengan p
enelitian Kalita, Kohat, dan Misra (2014) bahwa tymoma berhubungan dengan kejadi
an myasthenic crisis hal tersebut ditemukan dalam studi kasus dimana pada pasien de
ngan tymoma memiliki hasil yang lebih buruk dalam 1 tahun dibandingkan dengan pa
sien MG tanpa tymoma. Hal ini dapat terlihat pada Pasien 2 yang sempat mengalami
dua kali gejala myasthenic crisis selama dilakukan observasi di ruangan, namun dapat
segera teratasi. Berbeda dengan Pasien 1 dengan riwayat myasthenic crisis yang sela
ma fase observasi memiliki status pernafasan yang baik.
Durasi Penyakit

49
Kedua pasien memiliki durasi penyakit yang berbeda. Pasien 1 baru terdiagno
sa ± 3 bulan sedangkan Pasien 2 sudah ± 3 tahun keduanya merupakan pasien rawat u
lang RSHS. Menurut Putri (2017) MG merupakan pernyakit neurologis kronis yang
membutuhkan masa rehabilitasi yang lama dan pada beberapa kasus penyakit akan be
rdampak pada perawatan yang berlangsung berbulan-bulan bahkan setelah keluar dari
pusat pelayanan kesehatan gejala timbul bahkan kembali dengan gejala yang sama. L
ebih lengkap ditemukan pada kedua pasien dimana pasien telah dirawat selama 14 har
i hingga observasi dilakukan, sementara Pasien 2 masih dalam perawatan hari ke 8.
Lama rawat pasien di Rumah Sakit juga mempengaruhi status pernafasan pasi
en selama observasi dilakukan. Pasien 1 memiliki lama rawat yang lebih lama dibandi
ngkan dengan Pasien 2. Perbedaan lama rawat menjadi perhatian yang penting bagi o
bserver, karena lama rawat menjadi faktor penyebab koping pasien terhadap perawata
n yang diberikan. Pasien 1 lebih. menunjukkan kepatuhan terhadap perawatan dengan
menjaga kepatuhan terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat membuatnya cepat lelah se
perti berbicara terlalu lama dan membatasi tertawa agar pernafasannya tetap stabil.
Sejalan dengan Jacob and Hilton (2007) mengatakan bahwa pengaturan status
emosi, pemantauan perawatan, ketenangan dan rasa percaya diri dapat memperbaiki g
ejala yang muncul. Dimana penjelasan yang cermat dan menyeluruh tentang gejala, in
formasi tentang cara menghindari faktor pencetus dan saran tentang caranya untuk me
ngatasi krisis yang tidak terduga akan membantu membangun kepercayaan pasien dal
am diagnosis yang mendasarinya, dan meningkatkan harga diri serta meningkatkan ke
patuhan pasien terhadap perawatan sehingga memperbaiki gejalanya.
Pasien 2 menunjukkan koping yang berbeda dengan Pasien 1. Saat dilakukan observa
si pertama kali, Pasien 2 memasuki hari perawatan ke 8 dimana 7 hari perawatan sebe
lumnya pasien dirawat di Neurology Intensive Care yang mana kunjungan keluarga te
rbatas. Pada hari perawatan ke 8 pasien pindah ke ruang rawat biasa, pasien melakuka
n hal-hal yang mempengaruhi status pernafasannya yaitu mengedan, berbicara terlalu
lama dengan keluarga, dan banyak tertawa sehingga membuat pasien mudah lelah ser
ta mempengaruhi status pernafasannya hasil observasi menunjukan RR : 30 x/mnt da

50
n saturasi oksigen yang mengalami penurunan menjadi 88 %. Hal ini didukung oleh p
enelitian Bedlack dan Sanders (2000) yang menyebutkan penyebab dari Myasthenic c
risis oleh infeksi, aspirasi, stres fisik dan emosional, serta perubahan dalam pengobat
an. Myasthenic crisis atau gagal nafas pada MG diindikasi membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanis.
Karakteristik MG
Keluhan MG yang muncul dari kedua pasien hampir sama terutama kelemaha
n pada area mata, bulbar juga otot-otot yag berperan dalam bernafas. Perbedaan kedu
a pasien terletak pada klasifikasi MG. Menurut Myasthenia Gravis Foundation of Am
erica (MGFA) mengklasifikasikan Myastenia gravis kedalam 5 kelas dengan karakter
istik yang berbeda tiap kelasnya, dimana Pasien 1 berada pada kelas IIb dengan karak
teristik kelemahan berat pada otot selain otot okular dan kelemahan pada otot okular
dengan berbagai tingkatan (ringan – berat). Sedangkan Pasien 2 berada pada kelas III
b dengan karakteristik kelemahan sedang terjadi diarea otot oroparingeal dan atau oto
t pernafasan dan kelemahan sedang pada area ektremitas (Hickey, 2013).
Klasifikasi lain menurut Osserman (Ropper et al, 2014) ; (1) Ocular Myasthenia han
ya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia sangat ringan serta tidak a
da kasus kematian (15-20%). (2a) Mild generalized myasthenia progresi yang lambat
sering terjadi pada mata, kemudian menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Otot sis
tem pernafasan belum terkena dan merespon baik terhadap terapi obat dengan angka
kematian (30%). (2b) Moderately Severe Generalized Myasthenia progresi yang bert
ahap disertai dengan gejala pada otot okular, semakin berlanjut berat pada terkenany
a otot rangka dan bulbar biasanya merespon terapi obat yang kurang memuaskan sert
a adanya keterbatasan aktivitas. (3) Acute Fulminant Myathenia terjadi progresi yang
cepat dengan adanya gejala kelemahan pada otot rangka dan bultas, serta terserangny
a otot – otot pernafasan. Penyakit berkembang dalam waktu maksimal 6 bulan. Dala
m kategori ini, kejadian timoma paling tinggi. Biasanya merespon buruk terhadap ter
api obat dengan angka kematian tinggi. (4) Late Severe Myasthenia kategori ini serin

51
g timbul pada dua tahun setelah progres gejala kategori 1 dan 2. Biasanya merespon
buruk pada terapi obat dan memiliki prognosis buruk.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang diberikan pada kedua pasien sama yaitu prostigmin
dan SA, dengan dosis yang berbeda. Hal ini berpengaruh terhadap status pernafasan
kedua pasien. Hal ini sejalan dengan Corwin (2009) bahwa penatalaksanaan interven
si untuk MG diantaranya Antikolinesterase harus diberikan untuk memperpanjang w
aktu paruh asetilkolin ditautan neuromuskular serta antikolinesterase harus diberikan
secara teratur untuk mencegah terjadinya keletihan dan kolaps otot, anti-inflamsi dib
erikan untuk membatasi serangan autoimun, pada kasus myasthenic crisis dapat diata
si dengan obat tambahan dan bantuan pernafasan buatan apabila diperlukan, myasthe
nic crisis dan kolinergik krisis terjadi dengan cara yang sama tetapi diatasi secara ber
beda sehingga pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan atara dua gangguan
tersebut.
Analisis Status Pernafasan
Hasil observasi tanggal 22 November 2019 menunjukan hasil yang berbeda a
ntara Pasien 1 dan Pasien 2 dimana pada pasien 2 ditemukan gejala awal myasthenic
crisis dengan hasil observasi Status Pernafasan SpO2 : 88 %, HR : sulit teraba dan irr
eguler, RR : 30 x/mnt, TD : 90/palpasi. Saat pasien mengalami gejala awal myasthen
ic crisis, pasien segera diberi tindakan oleh perawat yaitu memberi nebulasi menggu
nakan NS 0,9 % dan ventolyn, memberikan posisi fowler, suction serta memberi tera
pi oksigen tambahan menggunakan simple mask 8 l/m, kemudian setelah berkolabora
si dengan dokter, perawat menaikan dosis prostigmin : SA 10 : 5 2,1 cc/jam menjadi
2,5 cc/jam. Pasien 2 diperiksa AGD dengan hasil saturasi oksiegen 81, 4 %, standar
BE-b - 0,3 mmol/L, tCO2 22,1 mmol/L, HCO3 21,3 MMOL/l, PO2 44,9 mmHg, PC
O2 26,7 mmHg, dan pH 7,5. Penanganan gejala awal pada myasthenic crisis yang di
berikan pada pasien 2 memberikan hasil yang baik, dimana terlihat pada hasil observ
asi selanjutnya yang dilakukan dihari yang sama, hasil RR : 22 x/mnt, saturasi oksige
n 98 % dan menggunakan terapi oksigen nasal kanula 3 l/m PRN.

52
Hasil kajian literatur ditemukan sekitar 15-20% pasien dengan myasthenia gravis aka
n mengalami myasthenic crisis, biasanya dalam 2 atau 3 tahun pertama diagnosis M
G. Sebagian besar pasien dengan myasthenic crisis memiliki peristiwa pencetus yang
dapat diidentifikasi. Namun pada 30-40% pasien, tidak ada faktor pemicu yang ditem
ukan. Dalam keadaan darurat neurologis pasien sangat membutuhkan perawatan dan
penanganan cepat dan tepat dalam pemantauan status ventilasi. Manajemen yang efe
ktif dengan terapi suportif dapat membantu meminimalkan komplikasi (Bershad & S
uarez, 2008).
Penelitian lain menyebutkan bahwa pengaturan status emosi, pemantauan perawatan,
ketenangan dan rasa percaya diri dapat memperbaiki gejala yang muncul. Dimana pe
njelasan yang cermat dan menyeluruh tentang gejala, informasi tentang cara menghin
dari faktor pencetus dan saran tentang caranya untuk mengatasi krisis yang tidak terd
uga akan membantu membangun kepercayaan pasien dalam diagnosis yang mendasa
rinya, dan meningkatkan harga diri sehingga memperbaiki gejalanya (Jacob & Hilton
2007). Hal tersebut lebih jelas ditemukan pada pasien 2 saat terjadi gagal nafas dipic
u oleh aktivitas Pasien 2 seperti mengedan dan banyak melakukan aktifitas otot- otot
oroparingeal (berbicara dan tertawa) Status pernafasan pada hari rawat ke 15 pasien
1 menunjukan hasil observasi yang stabil dengan frekuensi pernafasan, irama pernafa
san, kedalaman pernafasan dalam batas normal, tidak terlihat kesulitan bernafas, tida
k ada suara nafas tambahan, pola nafas Eupneu, saturasi oksigen 97-98%, tidak tamp
ak keparahan kelelahan otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal, sekresi pern
afasan normal, tidak ada keluhan sesak nafas, bantuan terapi oksigen BNC 3L/m PR
N, dengan nilai GCS 15.

Berbeda dengan hasil observasi status pernafasan pasien 2 yang masih menun
jukkan gejala awal myasthenic crisis dimana pola nafas takipneu dan nafas dangkal,
pasien dengan saturasi oksigen 93%, pasien segera diberi oksigen melalui simple ma
sk 6 l/mnt dan diberi highfowler. Pemberian posisi highfowler dan pemberian oksige
n tambahan yang tepat, mampu mencegah myasthenic crisis yang berkelanjutan. Seb

53
elum pasien mengalami gejala awal myasthenic crisis, pasien berbicara dengan oran
g-orang yang datang ke ruangannya hingga tertawa berlebihan. Menurut Kołtuniuk,
Rozensztrauch, Beniak, dan Rosińczuk (2017) kelemahan otot – otot tubuh dan kelel
ahan tungkai bawah pada pasien MG berkorelasi dengan penurunan nilai spirometri.
Dengan kata lain, kelemahan otot berpengaruh terhadap status pernafasan pasien. Se
belum diobservasi pasien baru saja kembali dari foto rontgen. Menurut pasien udara l
uar atau cuaca yang panas membuat kondisi tubuh pasien melemah, sehingga saat tib
a di ruangan pasien merasa lemah dan gejala myasthenic crisis mulai muncul.
Pada hari rawat ke 16 pasien 1 terjadi perbaikan status pernafasan ditandai de
ngan mampu bernafas secara mandiri tanpa tambahan oksigen sehingga status pernafa
san yang stabil dengan indikator observasi dalam batas normal. Pasien direncanakan
pulang dengan pengurangan dosis obat prostigmin dialihkan ke obat oral. Penggunaan
setiap empat jam piridostigmin 30 -60 mg dapat memperbaki gejala pada sebagian be
sar MG; kombinasi obat imunosupresan dengan obat piridostigmin dapat juga diguna
kan secara mandiri untuk mengatasi MG Okular dan general dengan kelemahan ringa
n dan minimal (Ciafaloni, 2011).
Pasien 2 pada hari rawat 10 menunjukan status pernafasan lebih baik dengan
RR: 26 x/menit kedalaman normal dengan pola nafas takipneu. Nilai saturasi O2 : 95
% sehingga pasien masih memerlukan bantuan terapi oksigen BNC 3L/m PRN. Penje
lasan Jacob et al, (2007) dalam evidenced-based approach menerangkan bahwa pasie
n mungkin memiliki riwayat meningkatkan kelemahan otot sebelum presentasi myast
henic crisis. Kesulitan terlihat pada beberapa pasien sebelum serangan gejala pernapa
san seperti takipnea, retraksi intrakosta dan dan ppernapasan cuping hidung merupaka
n tanda-tanda awal, meskipun tidak selalu terjadi pada semua pasien. Pada pasien den
gan MG, ventilasi dan perfusi kapasitas paru-paru biasanya utuh, sehingga saturasi ok
sigen dan gas darah arteri normal sampai cukup terlambat dalam krisis. Keadaan krisi
s palsu tersebut dapat diyakinkan oleh nilai normal gas darah arteri atau nadi oxymete
r.

54
Pasien 2 masih dalam perawatan karena pasien direncanakan untuk dilakukan
pembedahan timektomi dalam waktu dekat. Menurut Ciafaloni (2011) indikasi Resek
si Timoma diberikan pada pasien MG dengan timoma. Timektomi dapat pula direko
mendasikan pada pasien MG autoimun nontimoma sebagai upaya untuk meningkatka
n kemungkinan remisi dan perbaikan.

Simpulan dan Saran


Kedua pasien dalam studi kasus memiliki gambaran karakteristik yang berbed
a. Pasien 1 masuk dalam klasifikasi klinis menurut MGFA kelas IIb yaitu kelemahan
berat pada otot selain otot okular dan kelemahan pada otot okular dengan berbagai tin
gkatan, sedangkan pada pasien 2 menunjukkan klasifikasi klinis kelas IIIb dengan kar
akteristik kelemahan sedang terjadi diarea otot orofaringeal dan atau otot pernafasan
dan kelemahan sedang pada area ektremitas. Pasien 2 juga memiliki penyakit penyert
a MG yaitu tymoma yang dapat memperburuk tanda dan gejala yang dialami.
Selama fase observasi, kedua pasien menunjukkan status pernafasan yang ber
beda, dimana pasien kedua mengalami gejala awal myasthenic crisis pada hari observ
asi pertama dan kedua kemudian stabil kembali di hari observasi ketiga. Pasien perta
ma memiliki status pernafasan yang stabil dan baik selama fase observasi tiga hari de
ngan frekuensi nafas dan saturasi oksigen dalam batas normal, serta tidak menunjukk
an tanda-tanda kesulitan bernafas selama dilakukan observasi terakhir.
Dalam studi kasus ini kami menemukan bahwa hasil pemantauan tidak berubah secar
a signifikan pada status pernafasan kecuali peningkatan saturasi oksigen pagi dan sian
g setelah perawatan. Ada tiga penjelasan terkait pengamatan yang berbeda ini, pertam
a tingkat perbaikan klinis setelah observasi mungkin tidak cukup besar untuk mengata
si kelemahan otot pernafasan pada pasien MG. Kedua ukuran sampel dalam studi kas
us ini mungkin memiliki hasil bias sehingga klarifikasi langsung dari dampak observa
si pada peningkatan fungsi pernafasan membutuhkan uji coba dengan pasien dalam ju
mlah yang lebih besar. Ketiga jangka waktu yang dilakukan untuk observasi dalam st
udi kasus terlalu singkat sehingga hasil yang diharapkan kurang maksimal, mengingat

55
kedua pasien yang diambil dalam studi kasus merupakan pasien dengan lama rawat le
bih dari 7 hari.
Observasi status pernafasan pada pasien MG menjadi hal yang penting untuk
dilakukan perawat secara berkala, sehingga melalui studi kasus ini observer menghar
apkan agar perawat dapat melakukan monitoring status pernafasan sebagai intervensi
yang dapat menilai tanda gejala gagal nafas lebih awal pada psien dengan MG. Interv
ensi dan edukasi serta emotional support juga sangat dibutuhkan pasien MG agar dap
at mengontrol dan mencegah terjadinya gagal nafas sehingga penanganan awal dapat
segera diberikan untuk mencegah kegagalan ventilasi yang dapat menyebabkan kemat
ian.

K. Standar Operational Prosedur Myasthenia Gravis

1. Tensilon Test

POLITEKNIK SOP
KESEHATAN TENSILON TEST
KEMENKES
KALTIM
No. Halaman Ditetapkan Oleh Direktur
Dokumen 1/3 Poltekkes Kemenkes Kaltim

Jl. W. Monginsidi
No. 38 Samarinda
Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti reseptor asetilkolin
1 Tujuan tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaanyanegatif sementara secara klinisi
masih tetap diduga adanya Myasthenia Gravis.
Ruang Indikasi :
2
Lingkup 1. Pasien dengan Myasthenia Gravis
Acuan / Health Sciences (Jurnal Ilmu Kesehatan) tahun 2010
3
Referensi
4 Definisi Merupakan suatu tes dengan menyuntikkan antikolinesterase ke dalam pembuluh

56
darah vena untuk memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction
dalam beberapa menit.
Ya Tdk
5 Prosedur KOMPONEN
Fase Orientasi
a. Salam terapetiuk
b. Evaluasi/ validasi kondisi pasien
c. Kontrak : topik, waktu/tempat

Fase kerja
Persiapan Alat
1. Spuit

2. Zat antikolinesterase (edrophonium chloride atau

prostigmin methylsulfat)

3. Bengkok

4. Kapas alkohol

5. Plester

Persiapan pasien
1. Pasien diberi tahu tindakan yang akan dilakukan

2. Pasien dipersilahkan duduk tegak di kursi atau di tempat

tidur senyaman mungkin dan membebaskan baju yang

menutupi lengannya.

Cara Kerja
1. Perawat mencuci tangan.

2. Lakukan antiseptik/desinfeksi pada area yang akan diinjeksi.

57
3. Ambil edrophonium chloride sebanyak 2 mg ke dalam spuit.

Suntikkan edrophonium chloride secara intravena sesuai

prosedur. Observasi selama 15 detik setelah penyuntikan.

Bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi, maka disuntikkan

lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.

4. Cara lain: Suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin

methylsulfat secara intramuskular sesuai prosedur (bila

perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg).

5. Segera setelah antikolinesterase disuntikkan kita harus

memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya

kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis,

strabismus, dan gejala-gejala lain. Bila kelemahan itu benar

disebabkan oleh Miastenia gravis, maka gejala tersebut

kemudian akan lenyap.

6. Rapikan pasien dan alat.

7. Mencuci tangan dan dokumentasi.

Fase terminasi
1. Evaluasi respon klien :
a. Evaluasi subjektif
b. Evaluai Objektif
2. Tindak lanjut klien

Sikap :

58
1. Bekerja dengan Hati-hati
2. Sabar dan tidak tergesa-gesa

b. Wartenberg Test dan Pita Suara Test

POLITEKNIK SOP
KESEHATAN WARTENBERG TEST DAN PITA SUARA TEST
KEMENKES
KALTIM
No. Halaman Ditetapkan Oleh Direktur
Dokumen 1/3 Poltekkes Kemenkes Kaltim

Jl. W. Monginsidi
No. 38 Samarinda
Bertujuan untuk mengetahui adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang
1 Tujuan setelah aktivitas dan membaik setelah istirahat, guna mendukung diagnosis
penyakit Myasthenia Gravis.
Ruang Indikasi :
2
Lingkup 1. Pasien dengan Myasthenia Gravis
Acuan / Health Sciences (Jurnal Ilmu Kesehatan) tahun 2010
3
Referensi
Waterberg Test : Memandang objek diatas bidang antara kedua bola mata >30
detik lama kelamaan akan terjadi ptosis.
4 Definisi
Pita Suara Test : Penderita diminta menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (test positif).

59
Ya Tdk
5 Prosedur KOMPONEN
Fase Orientasi
a. Salam terapetiuk
b. Evaluasi/ validasi kondisi pasien
c. Kontrak : topik, waktu/tempat

Fase kerja
Persiapan Alat
- Tidak ada
Persiapan pasien
1. Pasien diberi tahu tindakan yang akan dilakukan

Cara Kerja
1. Mencuci tangan.

2. Mengatur posisi pasien rileks (fowler/duduk).

3. Minta pasien untuk menghitung dari angka 1-100 dengan

suara yang keras. Tes positif jika lama-kelamaan suara

terdengar makin lemah dan menjadi kurang terang. Pasien

menjadi anartris dan afonia.

4. Minta pasien memandang objek di atas bidang antara kedua

bola mata > 30 detik atau pasien ditugaskan untuk

mengedipkan matanya secara terus-menerus. Tes positif jika

pasien menunjukkan ptosis.

5. Minta pasien meletakkan tangan di atas meja. Abduksikan

setiap jari-jari pasien. Lalu minta pasien untuk merapatkan

60
jari-jarinya (adduksi). Tes positif jika pasien tidak dapat

merapatkan jari kelingkingnya (Wartenberg’s sign).

6. Setelah suara pasien menjadi parau atau tampak ada ptosis,

maka anjurkan beristirahat. Kemudian tampak bahwa

suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

7. Mencuci tangan dan dokumentasi.

Fase terminasi
3. Evaluasi respon klien :
c. Evaluasi subjektif
d. Evaluai Objektif
4. Tindak lanjut klien

Sikap :
3. Bekerja dengan Hati-hati
4. Sabar dan tidak tergesa-gesa

BAB III

KESIMPULAN

61
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari

transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Penyebab

miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga kemungkinan

terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin (Acetyl Choline

Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun.

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl

Choline Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh)

yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial

aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh

yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut

saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan

rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan

karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR

bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic.

Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul gejala berupa

penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan

turunnya kelopak mata secaara abnormal (ptosis). Diagnosis Miastenia gravis

dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes

antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI

toraks untuk melihat adanya timoma. Komplikasi yang dapat terjadi pada

pasien miastenia gravis yakni krisis miastenik dan krisis koligernik

62
Penatalaksanaan yang dapat di lakukan yaitu Acetilkolinesterase

inhibitor, kortikosteroid, azatioprin, plasma exchange (PE), intravenous

Immunoglobulin (IVIG), dan timektomi. Diagnose keperawatan yang dapat

ditegakkan antara lain: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi

neuromuscular, Pola napas tidak efektif b.d gangguan neuromuscular (D.0005),

Risiko aspirasi b.d gangguan menelan (D.0006), Defisit Nutrisi b.d

ketidakmampuan menelan makanan (D.0019), Gangguan mobilitas fisik b.d

gangguan neuromuscular. Algoritma penanganan pada myasthenia gravis

dimulai dari mengkaji keluhan pasien, Riwayat penyakit dahulu, dilanjutkan

dengan melihat gejala yang terjadi pada pasien, dilanjutkan dengan initial

assesement mulai dari primary survey (airway, breathing, circulation,

disability, & exposure) selanjutnya dikaji keadaan pasien stabil atau tidak stabil.

Jika stabil lanjut ke seconday survey (anamnesa, pengkajian fisik, pemeriksaan

diagnostik), dan kolaborasi untuk penatalaksanaan medis.

Dari hasil telaah jurnal dapat dilihat bahwa pentingnya melakukan obser

vasi status pernafasan pada pasien MG secara berkala dan dapat menilai tanda

gejala gagal nafas lebih awal pada psien dengan MG. Intervensi dan edukasi ser

ta emotional support juga sangat dibutuhkan pasien MG agar dapat mengontrol

dan mencegah terjadinya gagal nafas sehingga penanganan awal dapat segera di

berikan untuk mencegah kegagalan ventilasi yang dapat menyebabkan kematian.

63
DAFTAR PUSTAKA

Cereda, E. et al., 2014. The Geriatric Nutritional Risk Index Predict Hospital Length
of Stay and In-Hospital Weight Loss in Elderly Patients. Clinical Nutrition

64
Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (E. K. Yudha, E. Wahyuningsih,
D. Yulianti, & P. E. Karyuni, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.

Corwin,elizabeth J. (2008). handbook of pathophysiology (thiedit).


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (E. K. Yudha, E. Wahyuningsih,


D. Yulianti, & P. E. Karyuni, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.

Elizabeth J. Corwin. (2008). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media

Gilhus, N. E., & Verschuuren, J. J. (2015). Myasthenia gravis : subgroup


classification and therapeutic strategies. The Lancet Neurology, 14(10), 1023–
1036. http://doi.org/10.1016/S1474-4422(15)00145-3

Hickey, V. J. (2014). The Clinical Practice Of Neurological and Neurosurgical


Nursing, 4th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Mestecky, A. (2013). Myasthenia gravis, 9(3), 110–113.

Khadilkar, S. V, Chaudhari, C. R., Patil, T. R., Desai, N. D., Jagiasi, K. A., &
Bhutada, A. G. (2014). Once myasthenic , always myasthenic ? Observations on the
behavior and prognosis of myasthenia gravis in a cohort of 100 patients. Neurology
India, 62(5), 492–497. http://doi.org/10.4103/0028-3886.144438

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Rosyid, fahrun nur. (2008). mengenal tentang miastenia gravis dan


penatalaksanaannya, 16–31.

Thanvi, B. R., & Lo, T. C. N. (2004). Update on myasthenia gravis. Pmj,


690– 701. http://doi.org/10.1136/pgmj.2004.018903

65

Anda mungkin juga menyukai