PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
bertambah berat pada saat atau setelah aktivitas dan membaik dengan istirahat
pengenalan dan diagnosis yang lebih baik (Trouth et al., 2012). Insiden
miastenia gravis di dunia mencapai 1,7-30 kasus per 1 juta orang per tahun,
dan prevalensi miastenia gravis 7-179 kasus per 1 juta populasi (Breiner et al.,
populasi pada seluruh etnis maupun jenis kelamin. Angka tersebut jauh
berbeda dengan angka insidensi di wilayah Eropa seperti Inggris, Italia, dan
Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat terkait angka kejadian
1
miastenia gravis (MG). Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI) selaku
support group utama sampai saat ini masih mengupayakan pendataan yang
antibody, RyR antibody dan VGKC KCNA4 Antibody (Kang et al., 2015).
B. Rumusan Masalah
gravis?
2
6. Apa saja komplikasi dari penyakit myasthenia gravis ?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
2. Tujuan Khusus :
myasthenia gravis.
3
j. Untuk mengetahui telaah jurnal pada myasthenia gravis
gravis
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
bahasa latin untuk kelemahan otot, dan gravis untuk berat atau serius. Miastenia
pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal).
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf
kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada
ETIOLOGI
5
Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi
autoimun.
kelebihan kolinesterase.
1. Infeksi (virus).
2. Pembedahan.
3. Stress.
4. Perubahan hormonal.
5. Alkohol.
6. Tumor mediastinum.
Obat-obatan:
1. Antikolinesterase.
3. Sedatif.
6. Narkotik analgetik.
7. Diphenilhydramine.
8. B-blocker (propranolol).
6
9. Lithium.
10. Magnesium.
11. Procainamide.
12. Verapamil.
13. Chloroquine.
14. Prednisone.
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses
diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75
7
Penyakit Myasthenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.
Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan
semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik
gravis memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot
kelopak mata dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari
benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara
abnormal (ptosis).
tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-
langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia gravis akan mengalami
kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada
daerah
mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan menyerang
Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat dan
8
membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-otot pernafasan
sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai diperlukan bantuan alat
karena adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis. Secara umum, gambaran
klisnis Miastenia yaitu: (Masukkan dalam WOC) untuk dijadikan sebagai bahan
3. Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan istirahat
5. Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia) , atau otot faring lainnya
9
okular.
Kelas Iia Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh atau
yang ringan
Kelas Iib Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
ringan
Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
10
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,otot-otot aksial, atau
intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %).
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %).
otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
4. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat
11
5. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun
12
13
E. Pemeriksaan Diagnostik
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).
b. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji
30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon
14
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis,
maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
digunakan atropin.
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
5. Laboratorium
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang
salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien
15
c. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis
6. Elektrodiagnostik
merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
16
7. Gambaran Radiologi
b. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien miastenia gravis yakni krisis
yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada
gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh.
17
Meskipun dengan pemberian medikasi, pasien dapat dengan cepat mengalami
ventilasi mekanik, dan juga dukungan asupan nutrisi (Cereda et al., 2009).
Berdasarkan hasil studi kohort selama 5 tahun diketahui bahwa perburukan dari
miastenia gravis paling banyak terjadi di tahun pertama dan jenis miastenia gravis
Krisis koligernik merupakan salah satu kondisi respons toksik yang kadang
mengalami mual, muntah, berkeringat, dan diare yang akhirnya dapat mengarah
sebagai kejadian pada pasien miastenia gravis dikarenakan efek toksik dari obat-
obatan seperti muscarine dan nicotinic. Efek muscarine bekerja dengan lambat
sedangkan efek nicotinic biasanya diawali dengan keram di area abdomen dan
18
Pasien miastenia gravis yang mengalami krisis harus menjalani masa rawat di
kemampuan menelan dan juga pemasangan intubasi pada pasien miastenia gravis,
aspirasi (Cereda et al., 2009). Hal ini mengarah pada kejadian VAP (Ventilator
Masa perawatan yang lama mengarah pada kejadian infeksi akibat ventilator
kesehatan yakni efek merugikan dalam pemberian antibiotik yang pada sebagian
lebih dini.
G. Penatalaksanaan
1. Acetilkolinesterase inhibitor
19
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral.
Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk
otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan
berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida
atau atropin.
2. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10- 20 mg, dinaikkan
3. Azatioprin
20
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama.
Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan
tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari penggantian yang
dalam 2 minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
21
6. Timektomi
awal
Kelainan autoimu
Genetik
Infeksi (virus).
Pembedahan.
Stress.
Perubahan hormonal.
WOC Myasthenia Gravis Alkohol.
Tumor mediastinum.
Penggunaan Obat-obatan:
1. Antikolinesterase.
2. Laksative atau enema.
3. Sedatif.
4. Antibiotik
(Aminoglycosides,
ciprofloxacin,
ampicillin,
erythromycin).
5. Potassium depleting
22
Myasthenia Gravis
Kelemahan progresif ringan hingga berat dan keletihan abnormal pada otot
Otot-otot okular Otot wajah, laring, faring Otot volunter Otot pernapasan
Kematian
Krisis miastenik Krisis koligemik
kelemahan otot-otot pernapasan peningkatan motilitas usus
tidak mampu memenuhi ventilasi yang adekuat Kematian konstriksi pupil
gagal napas bradikardia
diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh mual, muntah, berkeringat, dan diare
gagal napas
23
H. Asuhan Keperawatan Myasthenia Gravis
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian primer
1) Airway
c) Jalan napas adanya sputum, secret, lendir, darah, dan benda asing,
2) Breathing
takipneu/bradipneu, retraksi.
3) Circulation
b) Sakit kepala
24
c) Gangguan tingkat kesadaran
4) Disability
5) Exposure
a) Enviromental control
b. Pengkajian Sekunder
1) Identitas Pasien
2) Keluhan utama
25
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan
yang abnormal atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup
melitus.
6) Pemeriksaan Fisik
26
a) B1 (Breath)
b) B2 (Blood)
c) B3 (Brain)
mungkin disatrik.
27
d) B4 (Bladder)
e) B5 (Bowel)
f) B6 (Bone)
28
2. Diagnosa keperawatan :
3. Intevensi Keperawatan
(5) fowler
29
neuromuscular masalah pola nafas tidak 3.1 Monitor pola nafas (frekuensi,
(D. 0005) efektif dapat teratasi dengan kedalaman, usaha nafas)
kriteria hasil:
3.2 Monitor bunyi nafas tambahan
1. Ventilasi semenit
3.3 Monitor sputum
meningkat (5)
3.4 Posisikan semi-fowler
2. Dispnea menurun (5)
3.5 Ajarkan teknik batuk efektif
3. Penggunaan otot bantu
napas menurun (5)
4. Frekuensi nafas
membaik (5)
5. Kedalaman nafas
membaik (5)
30
menurun (5) pada pasien tidak sadarkan diri
napas
aspirasi
4 Defisit Nutrisi Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nutrisi
selama … jam maka
b.d
masalah defisit nutrisi dapat
4.1 identifikasi status nutrisi
ketidakmampuan
teratasi dengan kriteria
4.2 identifikasi alergi dan
menelan hasil:
1. Porsi makanan yang intoleransi makanan
makanan
dihabiskan meningkat (5) 4.3 identifikasi perlunya
(D.0019)
2. Kekuatan otot penggunaan selang nasogastric
pengunyah meningkat
4.4 ajarkan diet yang
(5)
diprogramkan
3. Kekuatan otot menelan
meningkat (5) 4.5 kolaborasi dengan ahli gizi
4. berat badan membaik (5) untuk menentukan jumlah kalori
5. indeks massa tubuh
dan jenis nutrient yang dibutuhkan.
membaik (5)
31
(5) 5.3 monitor frekuensi jantung dan
3. Gerakan terbatas tekanan darah sebelum
menurun (5)
memulai mobilisasi
4. Kelemahan fisik
5.4 fasilitasi melakukan
menurun (5)
pergerakan
meningkatkan pergerakan
mobilisasi
INITIAL ASSESSMENT
Primary Survey
Airway
a) Peningkatan sekresi pernapasan
Secondary Survey
ANAMNESA
1. Identitas
Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat, Tanggal Pengkajian, Status. 34
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menyebabkan klien miastenia gravis meminta pertolongan sesuai kondisi
Pemeriksaan Fisik
g) B1 (Breath)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk efektif, produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu pernapasan, dispnea, resiko terjadinya aspirasi dan gagal
pernapasan akut dan peningkatan frekuensi pernapasan sering didapatkan pada klien yang disertai
adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi dan
35
stridor pada klien menandakan adanya akumulasi secret pada jalan napas dan penurunan
kemampuan otot-otot pernapasan.
h) B2 (Blood)
36
PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-
6 jam/ iv tiap hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila
diperlukan, neostigmin bromide (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4
2. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10- 20 mg, dinaikkan bertahap (5-10
mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis
minimal efektif.
3. Azatioprin
Jumlah dan volume dari penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama
2 hari.
6. Timektomi
37
PEMERIKSAAN PENUNJANG
4. Laboratorium
6. Elektrodiagnostik
7. Gambaran Radiologi
38
J. Telaah Jurnal / Evidance Based Nursing (EBN) Myasthenia Gravis
Jurnal Perawat Indonesia, Volume 4 No 1, Hal 30-42, Mei 2020 e-ISSN 2548-7051
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Jawa Tengah p-ISSN 2714-6502
Mia Listia1, Mayriska Kalay2, Dedi Kurnia3 , Tuti Pahria4, Hasniatisari Harun5* , Y
usshy
Kurnia Herliani6, Epi Fitriana7
Fakultas Keperawatan, Universitas Padjadjaran
Perawat Ruang Azalea, RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung
Email:*mia18002@mail.unpad.ac.id
Abstrak
Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang dimediasi oleh a
ntibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR) pada membran postsynaptic dari tauta
n otot saraf. Hilangnya situs AchR mengakibatkan kelemahan pada otot rangka yang
berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas. Sebanyak 15 % – 20 %
pasien dengan MG setidaknya mengalami satu kali myasthenic crisis. Myasthenic cris
is merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat kelemahan otot-otot pernafas
an sehingga pasien mengalami penurunan status pernafasan. Tujuan : untuk mengetah
ui gambaran karakteristik dan menganalisis status pernafasan pasien MG. Metode : pe
nelitian dekriptif dengan pendekatan observasi studi kasus. Teknik pengambilan samp
el menggunakan consecutive sampling. Pengumpulan data dan pengkajian mengguna
kan form pengkajian asuhan keperawatan RSHS dan lembar observasi status pernafas
an nursing intervention clasification. Hasil : karakteristik pasien dalam studi ini adala
h pasien MG dengan riwayat gagal nafas, jenis kelamin perempuan, dengan klasifikas
i klinis MG IIb dan IIIb. Hasil Kedua pasien mengalami keluhan kesulitan bernafass
namun saat diobservasi pasien kedua mengalami dua kali gagal nafas karena melakuk
an aktivitas seperti berbicara lama, mengedan, dan tertawa berlebih yang mengakibat
kan kelemahan pada otot-otot pernafasan sehingga terjadi peningkatan frekuensi pern
afasan dan penurunan saturasi oksigen. Simpulan : edukasi yang tepat mengenai aktiv
itas serta observasi status pernafasan secara berkala dibutuhkan pasien MG agar dapat
mengontrol dan mencegah terjadinya gagal nafas yang dapat menyebabkan kematian.
39
Kata Kunci : Gagal nafas, MG, Myasthenia Gravis, Status Pernafasan.
Abstract
40
Pendahuluan
Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang dimedias
i oleh antibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR) pada membran postsynaptic d
ari tautan otot saraf. Hilangnya situs AChR menyebabkan transmisi berkurang dari i
mpuls saraf ditautan otot-saraf dan penurunan depolarisasi otot (Huether & McCance
2019). Penurunan jumlah AChR pada MG mengakibatkan kelemahan pada otot rang
ka yang berhubungan dengan pernafasan serta pergerakan ekstrimitas (NINDS, 201
9).
Kajian literatur yang dilakukan McGrogan, Sneddon, dan Vries (2010) menun
jukkan bahwa secara global insiden MG sebanyak 30/1.000.000/tahun. Hal yang sam
a juga dikemukakan Muhammad et al (2019) yang dilakukan oleh departemen keseha
tan Amerika Serikat, menunjukan angka kejadian pasien dengan diagnosa MG diperki
rakan 5 sampai 14 dari 100.000 populasi yang dilihat dari berbagai etnis maupun jeni
s kelamin. Sementara Joensen (2014) mengemukakan angka kejadian MG di Eropa d
an Amerika Utara, diperkirakan 9,6/1.000.000 orang pertahun. Mayer and Levy (201
0) menggambarkan lebih umum insiden MG di negara-negara Asia meningkat dalam
lima dekade terakhir, dari 2-5 per juta menjadi 9-21 per juta populasi. Saat ini Indone
sia masih mengupayakan pendataan yang maksimal terkait jumlah pasien dengan MG
yang dilakukan oleh Yayasan Miastenia Gravis Indonesia (YMGI) selaku support gr
oup utama (Putri, 2017)
Gejala awal yang dialami pasien MG adalah kelemahan otot yang dapat berva
riasi setiap pasiennya (Vincent, 2011 dalam Barber, 2017). Sekitar 15% pasien MG
mengalami ptosis (kelemahan otot kelopak mata) atau diplopia
(penglihatan ganda), sementara manifestasi klinis lainnya seperti kelemahan umum y
ang mempengaruhi gerakan wajah, mengunyah, menelan, dan berbicara. Kesulitan be
rnafas juga dialami oleh penderita MG apabila pasien dalam posisi terlentang atau m
41
embungkuk (Grob, 2008 dalam Barber, 2017). Kelemahan otot pernafasan akan men
gakibatkan gagal nafas yang merupakan komplikasi serius pada MG.
42
kan pengkajian, pengkajian dalam fase krisis meliputi penegakan diagnosa MG, sela
njutnya pencarian penyebab terjadinya krisis seperti tanda dan gejala: Demam, batuk
sakit dada, dispneu, pengeluaran cairan hidung, riwayat pengobatan, TTV, auskultas
i dada, Inspeksi dada dan tenggorokan, tes lab, Tes urin dan Rotgen dada. Langkah b
erikutnya adalah metentukan kebutuhan intubasi serta adanya keterbatasan menelan,
kemudian kaji fungsi pernapasan. Langkah –langkah pengkajian terse
but dilakukan agar perawat dapat mengatasi penyebab dari krisis (Bedlack & Sander
s, 2000).
Oleh karena itu, pemberian tata laksana yang tepat sedari awal serta kontrol te
ratur akan dapat membantu pasien mempertahankan status pernapasan dalam kondi
si stabil (Komarudin & Chairani, 2019). Sebuah sistematik review dari Brekke et al
(2019) mengidentifikasi tingkat pernapasan menjadi prediktor paling akurat dan yang
paling terkait dengan peningkatan akurasi untuk deteksi kerusakan klinis pada pasien.
Observasi status pernafasan secara berkala menjadi salah satu observasi yang bisa dil
akukan oleh perawat dalam mengontrol MG sehingga kondisi pasien tidak sampai pa
da myastenic crisis. (Bulechek et al, 2013). Tujuan studi kasus ini adalah mengetahui
karakteristik dan menganalisis status pernafasan pasien dengan MG.
Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari praktik klinik Comprehensi
ve Medical Surgical Nursing Analisis dengan menggunakan metode penelitian deskri
ptif pendekatan observasi stadi kasus. Dilakukan di ruang Azalea RSUP Dr. Hasan Sa
dikin Bandung pada tanggal 21 – 26 November 2019.
Sampel yang diambil dalam studi kasus ini merupakan pasien MG dengan riw
ayat gagal nafas dengan frekuensi nafas >25x/ Menit, pernah dirawat intensive sebelu
mnya dengan nilai saturasi oksigen < 90%, dengan teknik pengambilan sampel yaitu
consecutive sampling. Sebelum melakukan studi kasus, observer melakukan pengum
pulan data yang diawali dengan koordinasi izin ruangan kepada kepala ruangan dan p
erawat untuk melakukan studi kasus. Kemudian Observer melakukan chek rekam me
43
dis pasien untuk memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentu
kan. Berdasarkan hasil rekam medik, kami menemukan 2 pasien yang dapat menjadi
sampel. kemudian observer menjelaskan tujuan observasi kepada pasien setelah pasie
n menyetujui untuk menjadi responden penelitian selanjutnya responden meminta me
ngisi informed consent yang telah dibuat oleh observer.
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data berupa form pengkajian
keperawatan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan lembar observasi status pernafas
an pasien MG yang merupakan standar pengukuran status pernafasan berdasarkan Nu
rsing Outcome Classification. Adapun status pernafasan yang diobservasi meliputi fre
kuensi pernafasan, irama pernafasan, kedalaman pernafasan, kesulitan bernafas, suara
nafas tambahan, pola nafas, saturasi oksigen, kesimetrisan ekspansi paru, lokasi trake
a, kelelahan otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal, penyedotan jalan n
afas, sekresi pernafasan, keluhan sesak nafas, bantuan terapi oksigen, penggunaan oto
t bantu nafas, pernafasan cuping hidung, dan GCS Bulechek et al (2013).
Hasil Penelitian
Pasien 1
Ny. F berusia 37 tahun dengan diagnosa MG. Pasien datang ke Rumah Sakit k
arena di rumah pasien mengalami sesak nafas akibat kelemahan pada otot-otot pernaf
asan yang mengakibatkan frekuensi nafas 30 x/mnt dengan saturasi oksigen 81% dan
kelemahan pada ekstrimitas sehingga pasien sulit bergerak. Sebelum masuk ruang per
awatan Azalea, pasien dirawat di Neurology Intensive Care selama 2 hari untuk dilak
ukan observasi ketat. Saat dilakukan observasi untuk studi kasus, pasien memasuki ha
ri rawat ke 14.
Pasien terdiagnosa MG ± 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, namun tanda
dan gejala MG seperti mudah lelah setelah beraktivitas, kelemahan otot – otot ekstrim
itas, dan ptosis (kelemahan kelopak mata atas) sudah pasien rasakan sejak tahun 2016
Saat dilakukan observasi, pasien telah sampai ke level IIb klasifikasi klinis MG men
urut Osserman yaitu Moderately severe generalized myasthenia dimana gejala-gejala
44
okular semakin berat disertai terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Kelemahan ot
ot-otot pernafasan pada pasien ini tidak terlalu terlihat karena pasien menggunakan te
rapi oksigen tambahan sewaktu-waktu bila diperlukan. Terapi obat yang pasien gunak
an yaitu prostigmin: SA 4 ml: 2 ml dalam 24 jam.
Pasien 2
Nn. A berusia 24 tahun dengan diagnosa MG + tymoma. Pasien datang ke Ru
mah Sakit karena di rumah pasien mengalami sesak nafas akibat kelemahan pada oto
t-otot pernafasan dengan frekuensi nafas 27 x/mnt dan saturasi oksigen 89 % disertai
kesulitan menelan. Sebelum masuk ruang perawatan Azalea, pasien dirawat di Neuro
logy Intensive Care selama 7 hari untuk dilakukan observasi ketat. Saat dilakukan ob
servasi untuk pasien memasuki hari rawat ke 8
Pasien terdiagnosa MG ± 3 tahun lalu dan pasien telah melakukan pengobatan
ke berbagai tempat termasuk Tanjung pinang, Malaysia, dan Singapura, namun pasie
n memutuskan untuk melanjutkan perawatan di RSHS karena pasien berencana untuk
melakukan tymectomy dalam waktu dekat. Saat dilakukan observasi, pasien telah sa
mpai ke level IIIb klasifikasi klinis MG menurut Osserman yaitu Acute fulminant my
asthenia dimana progresi cepat terjadi pada otot-otot rangka dan bulbar disertai terser
angnya otot-otot pernafasan. Dalam level 3 ini persentase timoma paling tinggi sehin
gga respon terhadap obat menurun. Terapi obat yang pasien gunakan yaitu prostigmin
: SA 10 ml : 5 ml dalam 24 jam dan N Acetyl Systein 3 x 1 tab.
45
Terapi Pengobatan Infus NaCL 0.9% Infus NaCL 0.9% 1500ml/24
1500ml/24 jam jam
Prostigmin : SA : 4 Prostigmin : SA : 10 ml: 5 ml
ml: 2 ml dalam 24 jam dalam 24 jam
N Acetyl Systein 3x1 tablet
(PO)
Tabel 2. Hasil Observasi Pasien 1
Item Pasien 1
Hari Ke 14 Hari Ke 15 Hari Ke 16
Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2
Fekuensi pernafasa
n 25x/m 20x/m 20x/m 22x/m 21x/m 20x/m
Irama pernafas
an Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler
kedalaman pernafa
san Normal Normal Normal Normal Normal Normal
kesulitan berna
fas (+) (-) (-) (-) (-) (-)
Suara nafas tamba
han (-) (-) (-) (-) (-) (-)
Pola nafas Dispneu Eupneu Eupneu Eupneu Eupneu Eupneu
Saturasi oksige
n 96% 98% 97% 98% 96% 97%
Kesimetrisan ekspansi pa
ru Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris
Catat lokasi tra
kea Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah
Kelelahan otot-otot diafr
agma
pergeraka
dengan n- - - - - -
parasoksik
46
al
penyedot
Kaji perlunya an
- - - - - -
jalan nafa
s
Sekresi pernafa
san - - - - - -
Keluhan sesak naf
as Dispneu - - - - -
Nasal kan Nasal kan Nasal kan Nasal kan
Berikan bantuan terapi ul ul ul ul
oksigen jika diperl - -
ukan 2-4 PRN 2-4 PRN 2-4 PRN 2-4 PRN
Penggunaan otot bantu n
afas + + - - - -
Pernafasan cuping hidun
g - - - - - -
GCS 15 15 15 15 15 15
Pasien 2
Item Hari Ke 8 Hari Ke 9 Hari Ke 10
Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2 Obs 1 Obs 2
Fekuensi pernafasan 30x/m 22x/m 25x/m 22x/m 26x/m 24 x/m
Irama pernafasa
n Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler
kedalaman pernafasan Dangkal Normal Dangkal Normal Normal Normal
kesulitan bernaf
as (+) (-) (+) (-) (-) (-)
Suara nafas tambahan (-) (-) (-) (-) (-) (-)
Takipne
Pola nafas Takipneu Eupneu u Eupneu Takipneu Eupneu
Saturasi oksige 88% 98% 93% 98% 95 % 97 %
47
n
Kesimetrisan ekspansi
paru Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris Simetris
Catat lokasi trak
otot-ot
ea Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah Tengah
Kelelahan ot
diafragma dengan - - - - - -
pergerakan parasoksika
l
Kaji perlunya penyed
otan
+ - - - - -
jalan nafas
Sekresi pernafa
san + - - - - -
Keluhan sesak n
afas Dispneu - + - - -
Berikanbantuan terapiSimple BNC 3L/m Simple BNC 3L/m BNC 3L/m BNC 3L/m
mask 8 l/ mask 6 l/
oksigen jika diperlukan m PRN m PRN PRN PRN
Penggunaan otot bantu
nafas + - + - - -
Pernafasan cuping hidu
ng - - - - - -
GCS 14 15 15 15 15 15
Pembahasan
Analisis data demografi
Kedua pasien pada studi kasus berjenis kelamin perempuan hal ini sejalan den
gan penelitian yang dilakukan oleh Meyer & Levy (2010) tentang Geoepidemiology o
f myasthenia gravis menyebutkan Rasio prevalensi kejadian MG lebih banyak terjadi
48
pada perempuan dengan perbandingan (3:1) dan biasanya gejala awitan dini MG mun
cul sebelum usia 40. Selanjutnya usia pada kedua pasien adalah 37 tahun dan 24 tahu
n dimana penyakit MG menurut Yu, Hawkins, Ip, Wong, dan Woo (1992) menyebutk
an rata-rata pasien yang mengidap penyakit MG yaitu berkisar pada usia 36 tahun.
Diagnosis Penyerta
Pasien 1 terdiagnosa MG tanpa tymoma sedangkan Pasien 2 terdiagnosa MG dengan
tymoma. Menurut Dahal et al (2019) sepertiga hingga dua pertiga pasien yang memili
ki tymoma datang dengan keluhan kondisi autoimun dan yang paling sering adalah de
ngan pasien MG yaitu sekitar 15 – 20 % kasus. Hal ini sejalan dengan penelitian Syka
lo, Adio, dan Birchem (2019) dimana penyakit MG terdiagnosa bila terdapat antibodi
reseptor asetilkolin (anti-AchR-Abs) yang dominan meskipun memblokir ataupun me
modulasi, dan sebanyak 85 % pasien MG memiliki antibodi tersebut serta 100 % terd
apat pada pasien MG dan tymoma. Lebih lanjut dijelaskan dalam NINDS (2017) bah
wa beberapa kejadian MG dewasa, kelenjar timus tetap besar. Orang dengan penyakit
ini biasanya memiliki kelompok sel imun di kelenjar timusnya yang mirip dengan hip
erplasia limfoid yaitu suatu kondisi yang biasanya hanya terjadi pada limpa dan kelen
jar getah bening selama respons imun aktif. Beberapa individu dengan MG mengalam
i timoma (tumor kelenjar timus). Timoma paling sering tidak berbahaya, tetapi bisa m
enjadi kanker
MG + tymoma dapat memperparah tanda dan gejala. Hal ini sejalan dengan p
enelitian Kalita, Kohat, dan Misra (2014) bahwa tymoma berhubungan dengan kejadi
an myasthenic crisis hal tersebut ditemukan dalam studi kasus dimana pada pasien de
ngan tymoma memiliki hasil yang lebih buruk dalam 1 tahun dibandingkan dengan pa
sien MG tanpa tymoma. Hal ini dapat terlihat pada Pasien 2 yang sempat mengalami
dua kali gejala myasthenic crisis selama dilakukan observasi di ruangan, namun dapat
segera teratasi. Berbeda dengan Pasien 1 dengan riwayat myasthenic crisis yang sela
ma fase observasi memiliki status pernafasan yang baik.
Durasi Penyakit
49
Kedua pasien memiliki durasi penyakit yang berbeda. Pasien 1 baru terdiagno
sa ± 3 bulan sedangkan Pasien 2 sudah ± 3 tahun keduanya merupakan pasien rawat u
lang RSHS. Menurut Putri (2017) MG merupakan pernyakit neurologis kronis yang
membutuhkan masa rehabilitasi yang lama dan pada beberapa kasus penyakit akan be
rdampak pada perawatan yang berlangsung berbulan-bulan bahkan setelah keluar dari
pusat pelayanan kesehatan gejala timbul bahkan kembali dengan gejala yang sama. L
ebih lengkap ditemukan pada kedua pasien dimana pasien telah dirawat selama 14 har
i hingga observasi dilakukan, sementara Pasien 2 masih dalam perawatan hari ke 8.
Lama rawat pasien di Rumah Sakit juga mempengaruhi status pernafasan pasi
en selama observasi dilakukan. Pasien 1 memiliki lama rawat yang lebih lama dibandi
ngkan dengan Pasien 2. Perbedaan lama rawat menjadi perhatian yang penting bagi o
bserver, karena lama rawat menjadi faktor penyebab koping pasien terhadap perawata
n yang diberikan. Pasien 1 lebih. menunjukkan kepatuhan terhadap perawatan dengan
menjaga kepatuhan terhadap aktivitas-aktivitas yang dapat membuatnya cepat lelah se
perti berbicara terlalu lama dan membatasi tertawa agar pernafasannya tetap stabil.
Sejalan dengan Jacob and Hilton (2007) mengatakan bahwa pengaturan status
emosi, pemantauan perawatan, ketenangan dan rasa percaya diri dapat memperbaiki g
ejala yang muncul. Dimana penjelasan yang cermat dan menyeluruh tentang gejala, in
formasi tentang cara menghindari faktor pencetus dan saran tentang caranya untuk me
ngatasi krisis yang tidak terduga akan membantu membangun kepercayaan pasien dal
am diagnosis yang mendasarinya, dan meningkatkan harga diri serta meningkatkan ke
patuhan pasien terhadap perawatan sehingga memperbaiki gejalanya.
Pasien 2 menunjukkan koping yang berbeda dengan Pasien 1. Saat dilakukan observa
si pertama kali, Pasien 2 memasuki hari perawatan ke 8 dimana 7 hari perawatan sebe
lumnya pasien dirawat di Neurology Intensive Care yang mana kunjungan keluarga te
rbatas. Pada hari perawatan ke 8 pasien pindah ke ruang rawat biasa, pasien melakuka
n hal-hal yang mempengaruhi status pernafasannya yaitu mengedan, berbicara terlalu
lama dengan keluarga, dan banyak tertawa sehingga membuat pasien mudah lelah ser
ta mempengaruhi status pernafasannya hasil observasi menunjukan RR : 30 x/mnt da
50
n saturasi oksigen yang mengalami penurunan menjadi 88 %. Hal ini didukung oleh p
enelitian Bedlack dan Sanders (2000) yang menyebutkan penyebab dari Myasthenic c
risis oleh infeksi, aspirasi, stres fisik dan emosional, serta perubahan dalam pengobat
an. Myasthenic crisis atau gagal nafas pada MG diindikasi membutuhkan intubasi dan
ventilasi mekanis.
Karakteristik MG
Keluhan MG yang muncul dari kedua pasien hampir sama terutama kelemaha
n pada area mata, bulbar juga otot-otot yag berperan dalam bernafas. Perbedaan kedu
a pasien terletak pada klasifikasi MG. Menurut Myasthenia Gravis Foundation of Am
erica (MGFA) mengklasifikasikan Myastenia gravis kedalam 5 kelas dengan karakter
istik yang berbeda tiap kelasnya, dimana Pasien 1 berada pada kelas IIb dengan karak
teristik kelemahan berat pada otot selain otot okular dan kelemahan pada otot okular
dengan berbagai tingkatan (ringan – berat). Sedangkan Pasien 2 berada pada kelas III
b dengan karakteristik kelemahan sedang terjadi diarea otot oroparingeal dan atau oto
t pernafasan dan kelemahan sedang pada area ektremitas (Hickey, 2013).
Klasifikasi lain menurut Osserman (Ropper et al, 2014) ; (1) Ocular Myasthenia han
ya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia sangat ringan serta tidak a
da kasus kematian (15-20%). (2a) Mild generalized myasthenia progresi yang lambat
sering terjadi pada mata, kemudian menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Otot sis
tem pernafasan belum terkena dan merespon baik terhadap terapi obat dengan angka
kematian (30%). (2b) Moderately Severe Generalized Myasthenia progresi yang bert
ahap disertai dengan gejala pada otot okular, semakin berlanjut berat pada terkenany
a otot rangka dan bulbar biasanya merespon terapi obat yang kurang memuaskan sert
a adanya keterbatasan aktivitas. (3) Acute Fulminant Myathenia terjadi progresi yang
cepat dengan adanya gejala kelemahan pada otot rangka dan bultas, serta terserangny
a otot – otot pernafasan. Penyakit berkembang dalam waktu maksimal 6 bulan. Dala
m kategori ini, kejadian timoma paling tinggi. Biasanya merespon buruk terhadap ter
api obat dengan angka kematian tinggi. (4) Late Severe Myasthenia kategori ini serin
51
g timbul pada dua tahun setelah progres gejala kategori 1 dan 2. Biasanya merespon
buruk pada terapi obat dan memiliki prognosis buruk.
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis yang diberikan pada kedua pasien sama yaitu prostigmin
dan SA, dengan dosis yang berbeda. Hal ini berpengaruh terhadap status pernafasan
kedua pasien. Hal ini sejalan dengan Corwin (2009) bahwa penatalaksanaan interven
si untuk MG diantaranya Antikolinesterase harus diberikan untuk memperpanjang w
aktu paruh asetilkolin ditautan neuromuskular serta antikolinesterase harus diberikan
secara teratur untuk mencegah terjadinya keletihan dan kolaps otot, anti-inflamsi dib
erikan untuk membatasi serangan autoimun, pada kasus myasthenic crisis dapat diata
si dengan obat tambahan dan bantuan pernafasan buatan apabila diperlukan, myasthe
nic crisis dan kolinergik krisis terjadi dengan cara yang sama tetapi diatasi secara ber
beda sehingga pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan atara dua gangguan
tersebut.
Analisis Status Pernafasan
Hasil observasi tanggal 22 November 2019 menunjukan hasil yang berbeda a
ntara Pasien 1 dan Pasien 2 dimana pada pasien 2 ditemukan gejala awal myasthenic
crisis dengan hasil observasi Status Pernafasan SpO2 : 88 %, HR : sulit teraba dan irr
eguler, RR : 30 x/mnt, TD : 90/palpasi. Saat pasien mengalami gejala awal myasthen
ic crisis, pasien segera diberi tindakan oleh perawat yaitu memberi nebulasi menggu
nakan NS 0,9 % dan ventolyn, memberikan posisi fowler, suction serta memberi tera
pi oksigen tambahan menggunakan simple mask 8 l/m, kemudian setelah berkolabora
si dengan dokter, perawat menaikan dosis prostigmin : SA 10 : 5 2,1 cc/jam menjadi
2,5 cc/jam. Pasien 2 diperiksa AGD dengan hasil saturasi oksiegen 81, 4 %, standar
BE-b - 0,3 mmol/L, tCO2 22,1 mmol/L, HCO3 21,3 MMOL/l, PO2 44,9 mmHg, PC
O2 26,7 mmHg, dan pH 7,5. Penanganan gejala awal pada myasthenic crisis yang di
berikan pada pasien 2 memberikan hasil yang baik, dimana terlihat pada hasil observ
asi selanjutnya yang dilakukan dihari yang sama, hasil RR : 22 x/mnt, saturasi oksige
n 98 % dan menggunakan terapi oksigen nasal kanula 3 l/m PRN.
52
Hasil kajian literatur ditemukan sekitar 15-20% pasien dengan myasthenia gravis aka
n mengalami myasthenic crisis, biasanya dalam 2 atau 3 tahun pertama diagnosis M
G. Sebagian besar pasien dengan myasthenic crisis memiliki peristiwa pencetus yang
dapat diidentifikasi. Namun pada 30-40% pasien, tidak ada faktor pemicu yang ditem
ukan. Dalam keadaan darurat neurologis pasien sangat membutuhkan perawatan dan
penanganan cepat dan tepat dalam pemantauan status ventilasi. Manajemen yang efe
ktif dengan terapi suportif dapat membantu meminimalkan komplikasi (Bershad & S
uarez, 2008).
Penelitian lain menyebutkan bahwa pengaturan status emosi, pemantauan perawatan,
ketenangan dan rasa percaya diri dapat memperbaiki gejala yang muncul. Dimana pe
njelasan yang cermat dan menyeluruh tentang gejala, informasi tentang cara menghin
dari faktor pencetus dan saran tentang caranya untuk mengatasi krisis yang tidak terd
uga akan membantu membangun kepercayaan pasien dalam diagnosis yang mendasa
rinya, dan meningkatkan harga diri sehingga memperbaiki gejalanya (Jacob & Hilton
2007). Hal tersebut lebih jelas ditemukan pada pasien 2 saat terjadi gagal nafas dipic
u oleh aktivitas Pasien 2 seperti mengedan dan banyak melakukan aktifitas otot- otot
oroparingeal (berbicara dan tertawa) Status pernafasan pada hari rawat ke 15 pasien
1 menunjukan hasil observasi yang stabil dengan frekuensi pernafasan, irama pernafa
san, kedalaman pernafasan dalam batas normal, tidak terlihat kesulitan bernafas, tida
k ada suara nafas tambahan, pola nafas Eupneu, saturasi oksigen 97-98%, tidak tamp
ak keparahan kelelahan otot diafragma dengan pergerakan parasoksikal, sekresi pern
afasan normal, tidak ada keluhan sesak nafas, bantuan terapi oksigen BNC 3L/m PR
N, dengan nilai GCS 15.
Berbeda dengan hasil observasi status pernafasan pasien 2 yang masih menun
jukkan gejala awal myasthenic crisis dimana pola nafas takipneu dan nafas dangkal,
pasien dengan saturasi oksigen 93%, pasien segera diberi oksigen melalui simple ma
sk 6 l/mnt dan diberi highfowler. Pemberian posisi highfowler dan pemberian oksige
n tambahan yang tepat, mampu mencegah myasthenic crisis yang berkelanjutan. Seb
53
elum pasien mengalami gejala awal myasthenic crisis, pasien berbicara dengan oran
g-orang yang datang ke ruangannya hingga tertawa berlebihan. Menurut Kołtuniuk,
Rozensztrauch, Beniak, dan Rosińczuk (2017) kelemahan otot – otot tubuh dan kelel
ahan tungkai bawah pada pasien MG berkorelasi dengan penurunan nilai spirometri.
Dengan kata lain, kelemahan otot berpengaruh terhadap status pernafasan pasien. Se
belum diobservasi pasien baru saja kembali dari foto rontgen. Menurut pasien udara l
uar atau cuaca yang panas membuat kondisi tubuh pasien melemah, sehingga saat tib
a di ruangan pasien merasa lemah dan gejala myasthenic crisis mulai muncul.
Pada hari rawat ke 16 pasien 1 terjadi perbaikan status pernafasan ditandai de
ngan mampu bernafas secara mandiri tanpa tambahan oksigen sehingga status pernafa
san yang stabil dengan indikator observasi dalam batas normal. Pasien direncanakan
pulang dengan pengurangan dosis obat prostigmin dialihkan ke obat oral. Penggunaan
setiap empat jam piridostigmin 30 -60 mg dapat memperbaki gejala pada sebagian be
sar MG; kombinasi obat imunosupresan dengan obat piridostigmin dapat juga diguna
kan secara mandiri untuk mengatasi MG Okular dan general dengan kelemahan ringa
n dan minimal (Ciafaloni, 2011).
Pasien 2 pada hari rawat 10 menunjukan status pernafasan lebih baik dengan
RR: 26 x/menit kedalaman normal dengan pola nafas takipneu. Nilai saturasi O2 : 95
% sehingga pasien masih memerlukan bantuan terapi oksigen BNC 3L/m PRN. Penje
lasan Jacob et al, (2007) dalam evidenced-based approach menerangkan bahwa pasie
n mungkin memiliki riwayat meningkatkan kelemahan otot sebelum presentasi myast
henic crisis. Kesulitan terlihat pada beberapa pasien sebelum serangan gejala pernapa
san seperti takipnea, retraksi intrakosta dan dan ppernapasan cuping hidung merupaka
n tanda-tanda awal, meskipun tidak selalu terjadi pada semua pasien. Pada pasien den
gan MG, ventilasi dan perfusi kapasitas paru-paru biasanya utuh, sehingga saturasi ok
sigen dan gas darah arteri normal sampai cukup terlambat dalam krisis. Keadaan krisi
s palsu tersebut dapat diyakinkan oleh nilai normal gas darah arteri atau nadi oxymete
r.
54
Pasien 2 masih dalam perawatan karena pasien direncanakan untuk dilakukan
pembedahan timektomi dalam waktu dekat. Menurut Ciafaloni (2011) indikasi Resek
si Timoma diberikan pada pasien MG dengan timoma. Timektomi dapat pula direko
mendasikan pada pasien MG autoimun nontimoma sebagai upaya untuk meningkatka
n kemungkinan remisi dan perbaikan.
55
kedua pasien yang diambil dalam studi kasus merupakan pasien dengan lama rawat le
bih dari 7 hari.
Observasi status pernafasan pada pasien MG menjadi hal yang penting untuk
dilakukan perawat secara berkala, sehingga melalui studi kasus ini observer menghar
apkan agar perawat dapat melakukan monitoring status pernafasan sebagai intervensi
yang dapat menilai tanda gejala gagal nafas lebih awal pada psien dengan MG. Interv
ensi dan edukasi serta emotional support juga sangat dibutuhkan pasien MG agar dap
at mengontrol dan mencegah terjadinya gagal nafas sehingga penanganan awal dapat
segera diberikan untuk mencegah kegagalan ventilasi yang dapat menyebabkan kemat
ian.
1. Tensilon Test
POLITEKNIK SOP
KESEHATAN TENSILON TEST
KEMENKES
KALTIM
No. Halaman Ditetapkan Oleh Direktur
Dokumen 1/3 Poltekkes Kemenkes Kaltim
Jl. W. Monginsidi
No. 38 Samarinda
Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti reseptor asetilkolin
1 Tujuan tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaanyanegatif sementara secara klinisi
masih tetap diduga adanya Myasthenia Gravis.
Ruang Indikasi :
2
Lingkup 1. Pasien dengan Myasthenia Gravis
Acuan / Health Sciences (Jurnal Ilmu Kesehatan) tahun 2010
3
Referensi
4 Definisi Merupakan suatu tes dengan menyuntikkan antikolinesterase ke dalam pembuluh
56
darah vena untuk memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction
dalam beberapa menit.
Ya Tdk
5 Prosedur KOMPONEN
Fase Orientasi
a. Salam terapetiuk
b. Evaluasi/ validasi kondisi pasien
c. Kontrak : topik, waktu/tempat
Fase kerja
Persiapan Alat
1. Spuit
prostigmin methylsulfat)
3. Bengkok
4. Kapas alkohol
5. Plester
Persiapan pasien
1. Pasien diberi tahu tindakan yang akan dilakukan
menutupi lengannya.
Cara Kerja
1. Perawat mencuci tangan.
57
3. Ambil edrophonium chloride sebanyak 2 mg ke dalam spuit.
Fase terminasi
1. Evaluasi respon klien :
a. Evaluasi subjektif
b. Evaluai Objektif
2. Tindak lanjut klien
Sikap :
58
1. Bekerja dengan Hati-hati
2. Sabar dan tidak tergesa-gesa
POLITEKNIK SOP
KESEHATAN WARTENBERG TEST DAN PITA SUARA TEST
KEMENKES
KALTIM
No. Halaman Ditetapkan Oleh Direktur
Dokumen 1/3 Poltekkes Kemenkes Kaltim
Jl. W. Monginsidi
No. 38 Samarinda
Bertujuan untuk mengetahui adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang
1 Tujuan setelah aktivitas dan membaik setelah istirahat, guna mendukung diagnosis
penyakit Myasthenia Gravis.
Ruang Indikasi :
2
Lingkup 1. Pasien dengan Myasthenia Gravis
Acuan / Health Sciences (Jurnal Ilmu Kesehatan) tahun 2010
3
Referensi
Waterberg Test : Memandang objek diatas bidang antara kedua bola mata >30
detik lama kelamaan akan terjadi ptosis.
4 Definisi
Pita Suara Test : Penderita diminta menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (test positif).
59
Ya Tdk
5 Prosedur KOMPONEN
Fase Orientasi
a. Salam terapetiuk
b. Evaluasi/ validasi kondisi pasien
c. Kontrak : topik, waktu/tempat
Fase kerja
Persiapan Alat
- Tidak ada
Persiapan pasien
1. Pasien diberi tahu tindakan yang akan dilakukan
Cara Kerja
1. Mencuci tangan.
60
jari-jarinya (adduksi). Tes positif jika pasien tidak dapat
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Fase terminasi
3. Evaluasi respon klien :
c. Evaluasi subjektif
d. Evaluai Objektif
4. Tindak lanjut klien
Sikap :
3. Bekerja dengan Hati-hati
4. Sabar dan tidak tergesa-gesa
BAB III
KESIMPULAN
61
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari
yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial
yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut
saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan
rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan
penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan
dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes
antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI
toraks untuk melihat adanya timoma. Komplikasi yang dapat terjadi pada
62
Penatalaksanaan yang dapat di lakukan yaitu Acetilkolinesterase
ditegakkan antara lain: Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi
dengan melihat gejala yang terjadi pada pasien, dilanjutkan dengan initial
disability, & exposure) selanjutnya dikaji keadaan pasien stabil atau tidak stabil.
Dari hasil telaah jurnal dapat dilihat bahwa pentingnya melakukan obser
vasi status pernafasan pada pasien MG secara berkala dan dapat menilai tanda
gejala gagal nafas lebih awal pada psien dengan MG. Intervensi dan edukasi ser
dan mencegah terjadinya gagal nafas sehingga penanganan awal dapat segera di
63
DAFTAR PUSTAKA
Cereda, E. et al., 2014. The Geriatric Nutritional Risk Index Predict Hospital Length
of Stay and In-Hospital Weight Loss in Elderly Patients. Clinical Nutrition
64
Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. (E. K. Yudha, E. Wahyuningsih,
D. Yulianti, & P. E. Karyuni, Eds.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.
Elizabeth J. Corwin. (2008). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media
Khadilkar, S. V, Chaudhari, C. R., Patil, T. R., Desai, N. D., Jagiasi, K. A., &
Bhutada, A. G. (2014). Once myasthenic , always myasthenic ? Observations on the
behavior and prognosis of myasthenia gravis in a cohort of 100 patients. Neurology
India, 62(5), 492–497. http://doi.org/10.4103/0028-3886.144438
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
65