BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Intensif Care Unit (ICU) adalah merupakan unit yang merawat pasien dengan
penyakit kritis yang mengalami kegagalan akut satu atau lebih organ vital yang
mengancam jiwa dalam waktu dekat dan pasien dengan post operasi mayor yang
rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat
pasien sakit gawat yang perlu penanganan dengan segera dan pemantauan intensif.
Pasien di ruang perawatan intensif umumnya adalah pasien sakit berat atau dengan
kondisi medis tidak stabil. Kelompok pasien tersebut potensial terkena penyakit atau
mengalami kelainan yang dapat mengancam hidup, maka perlu dipantau secara
pelayanan terhadap pasien dengan kondisi kritis dan ketenagaan yang terdiri dari
intensif (Hyzy, 2010). Kecepatan dalam merespon kondisi pasien penting diterapkan
pada semua tim kesehatan yang terlibat dalam tatanan pelayanan ICU, karena
mengingat pasien yang dirawat di ruang ICU kondisinya kritis dan bisa mengancam
nyawa. Kolaborasi interdisiplin tim kesehatan juga sangat diperlukan disini karena
kompleksnya permasalahan penyakit yang dialami oleh pasien yang dirawat di ruang
ICU.
2
Pasien di ruang perawatan intensif umumnya adalah pasien sakit berat atau dengan
kondisi medis tidak stabil. Kelompok pasien tersebut potensial terkena penyakit atau
mengalami kelainan yang dapat mengancam hidup, maka perlu dipantau secara
khusus guna evaluasi dan menjaga kestabilan kondisi pasien. Pasien di unit
perawatan ICU beresiko untuk terjadinya kematian yang tidak hanya akibat penyakit
kritis mereka, tetapi juga dari proses sekunder seperti infeksi nasokomial.
Pemasangan ventilator pada pasien kritis walaupun merupakan terapi suportif namun
akan berdampak munculnya efek atau komplikasi baik karena pemasangan ventilator
itu sendiri, pemasangan endotrakheal ataupun hal lain. VAP adalah komplikasi pada
sebanyak 28% dari pasien yang menerima ventilasi mekanis. Insiden VAP
pertama, 2% per hari selama hari 6-10, dan 1% per hari lebih dari 10 hari. Tingkat
lebih tinggi dari pada mereka yang berhubungan dengan organisme lain.
Pasien yang menggunakan ventilator beresiko terkena VAP sekitar 3-10 kali lipat
dibanding pasien tanpa ventilator dengan angka kematian yang cukup bermakna
antara 24-50%, bahkan pada kondisi tertentu dapat mencapai 76% (Rumende,
2008). Dampak VAP pada pasien sakit kritis secara signifikan meningkatkan resiko
rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Ini adalah kondisi yang kompleks tidak
hanya untuk mendiagnosis tetapi juga untuk mengobati, sehingga pencegahan sangat
Petugas kesehatan khususnya perawat yang bertugas di ruang ICU harus telah
hal ini terkait dengan perbedaan kebutuhan antara pasien yang di rawat di ruangan
rawat inap biasa dengan pasien di ruangan ICU yang memiliki masalah lebih
kompleks.
terapi pasien kritis. Peralatan tersebut antara lain bed site monitor, blood gas
analysis on site, central monitor di nurse station, trolly emergency, alat resusitasi,
mesin EKG, oxygen dan suction central, defibrillator dan mesin ventilasi mekanik.
Dan salah satu penyebab infeksi nosokomial yang terjadi di ruangan ICU yaitu
pemasangan alat bantu nafas atau ventilasi mekanik, walaupun merupakan terapi
suportif namun akan berdampak munculnya efek atau komplikasi baik karena
VAP merupakan infeksi pneumonia yang paling sering ditemui di unit perawatan
jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalaui pipa endotrakea
infiltrat baru dan menetap pada foto thoraks disertai salah satu tanda yaitu hasil
biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum
maupun aspirasi trachea, kavitasi pada foto thoraks, gejala pneumonia atau terdapat
dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen
(Wiryana,2007).
4
Komplikasi VAP terjadi sebanyak 28% dari jumlah pasien yang menerima ventilasi
perhari selama 5 hari pertama, 2% per hari selama hari 6-10, dan 1% per hari lebih
dari 10 hari. Tingkat kematian kasar untuk VAP adalah 27-76%. Pseudomonas atau
Acinetobacter pneumonia dikaitkan dengan tingkat kematian lebih tinggi dari pada
Dampak VAP pada pasien sakit kritis secara signifikan meningkatkan resiko
rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Berdasarkan data kepustakaan luar negeri
diperoleh data bahwa kejadian VAP di ICU cukup tinggi, bervariasi antara 9 – 27%
dan angka kematiannya bisa melebihi 50% (Wiryana, 2007). Berdasarkan insidensi
bervariasi antara 5 dan 10 angka kejadian per 1000 orang yang keluar dari rumah
sakit dan paling tinggi terjadi di ruang pembedahan dan ICU serta rumah sakit
memperpanjang masa rawat inap di rumah sakit selama 3 sampai 14 hari per pasien.
Resiko HAP meningkat 6-20 kali lipat selama ventilasi mekanis dan dalam ruang
>80% dari semua HAP dan terjadi pada 9-27% pasien yang di intubasi (American
nosokomial mencapai 30%. Pneumonia nosokomial yang terjadi dirumah sakit dapat
dibagi dua, yaitu: Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated
5
Pneumonia (VAP). Kedua jenis pneumonia ini masih jadi penyebab penting dalam
angka kematian dan kesakitan pada pasien yang dirawat dirumah sakit (Amanullah,
Shakeel 2010).
Salah satu bentuk pneumonia nosokomial yang terjadi pada klien yang
menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi. Kuman penyebab infeksi ini tersering
berasal dari gram negative (Amanullah, Shakeel 2010). Rekam medik Intensive Care
Unit (ICU) Rumah Sakit St.Borromeus Bandung mencatat angka kejadian infeksi
Rekam medik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mencatat 47% infeksi
Djamil Padang pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi 15% -
59% (Saanin, 2006). Pneumonia terjadi karena penyakit pernapasan kronik (misal,
PPOK, asma), aspirasi sekret orofaringeal, tirah baring yang lama, penurunan daya
tahan tubuh, riwayat merokok, infeksi pernapasan oleh virus (Price, 2006).
Berdasarkan data rekam medik diruang ICU IGD RS Cipto Mangunkusumo pada
tahun 2014 terdapat 125 pasien yang terpasang alat bantu nafas atau ventilasi
mekanik, dari jumlah tersebut terdapat 10 pasien atau sekitar 8%. yang menderita.
Pada tahun 2015 terdapat 122 pasien yang terpasang alat bantu nafas atau ventilasi
mekanik, dari jumlah tersebut terdapat 9 pasien atau sekitar 7.3% yang menderita
Berdasarkan data yang di dapat peneliti terkait jumlah perawat yang bekerja di ruang
ICU IGD RSCM sebanyak 48 orang dengan jenjang pendidikan terakhir Diploma
tiga sebanyak 35 orang atau sekitar 72,91% dan perawat yang pendidikan terakhir
orang atau 85% dan 3 orang atau 15% pendidikan terakhir Sarjana. Perawat yang
memiliki pengalaman bekerja lebih dari 3 tahun sebanyak 14 orang 70%), perawat
yang memiliki pengalaman bekerja kurang dari 1 tahun sebanyak 6 orang atau 30%.
Perawat pelaksana yang belum memiliki sertifikasi perawat critical care dan belum
mendapatkan pelatihan critical care intensive ada 17 orang atau 85% dan perawat
yang sudah memiliki sertifikat critical care sebanyak 3 orang atau sekitar 15%.
Gambaran yang didapat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil study
pendahuluan yang dilakukan dengan uji wawancara yang peneliti lakukan dari 20
orang perawat pelaksana. Dari 40 pertanyaan yang peneliti berikan di dapatkan data
bahwa perawat yang berdinas di ruangan ICU memiliki tingkat pengetahuan tentang
VAP 60% masih kurang dan yang 40% tingkat pengetahuan tentang VAP sudah
baik. Angka kejadian VAP di ruang ICU IGD pada tahun 2014 sebanyak 8% dan
pada tahun 2015 terhitung hingga bulan September sebanyak 4,5%. Berdasarkan hal
B. Rumusan Masalah
karena terjadinya perubahan perilaku, dan sikap perawat serta pengetahuan tentang
VAP masih kurang dari hasil study pendahuluan yang peneliti lakukan dari 20
orang perawat pelaksana. Dari 40 pertanyaan yang peneliti berikan 60% masih
kurang dan yang 40% tingkat pengetahuan tentang VAP sudah baik. Berbagai
kurang tentang pencegahan VAP dan sikap perawat terhadap prilaku pencegahan
terjadinya VAP masih rendah. Berdasarkan fenomena itulah, peneliti ingin meneliti
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan
adalah hubungan pengetahuan dan sikap perawat terhadap perilaku pencegahan VAP
pada pasien di ruang ICU IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan gambaran untuk