Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Intensif Care Unit (ICU) adalah merupakan unit yang merawat pasien dengan

penyakit kritis yang mengalami kegagalan akut satu atau lebih organ vital yang

mengancam jiwa dalam waktu dekat dan pasien dengan post operasi mayor yang

memerlukan propilaksis monitoring ketat dan peralatan khusus (University of

California Davis Health System,2009). Ruang ICU merupakan unit perawatan di

rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat

pasien sakit gawat yang perlu penanganan dengan segera dan pemantauan intensif.

Pasien di ruang perawatan intensif umumnya adalah pasien sakit berat atau dengan

kondisi medis tidak stabil. Kelompok pasien tersebut potensial terkena penyakit atau

mengalami kelainan yang dapat mengancam hidup, maka perlu dipantau secara

khusus guna evaluasi dan menjaga kestabilan kondisi pasien.

Karakteristik pelayanan keperawatan kritis di ICU adalah kecepatan respon

pelayanan terhadap pasien dengan kondisi kritis dan ketenagaan yang terdiri dari

interdisiplin keilmuan kesehatan dengan kualifikasi dan pelatihan khusus perawatan

intensif (Hyzy, 2010). Kecepatan dalam merespon kondisi pasien penting diterapkan

pada semua tim kesehatan yang terlibat dalam tatanan pelayanan ICU, karena

mengingat pasien yang dirawat di ruang ICU kondisinya kritis dan bisa mengancam

nyawa. Kolaborasi interdisiplin tim kesehatan juga sangat diperlukan disini karena

kompleksnya permasalahan penyakit yang dialami oleh pasien yang dirawat di ruang

ICU.
2

Pasien di ruang perawatan intensif umumnya adalah pasien sakit berat atau dengan

kondisi medis tidak stabil. Kelompok pasien tersebut potensial terkena penyakit atau

mengalami kelainan yang dapat mengancam hidup, maka perlu dipantau secara

khusus guna evaluasi dan menjaga kestabilan kondisi pasien. Pasien di unit

perawatan ICU beresiko untuk terjadinya kematian yang tidak hanya akibat penyakit

kritis mereka, tetapi juga dari proses sekunder seperti infeksi nasokomial.

Pemasangan ventilator pada pasien kritis walaupun merupakan terapi suportif namun

akan berdampak munculnya efek atau komplikasi baik karena pemasangan ventilator

itu sendiri, pemasangan endotrakheal ataupun hal lain. VAP adalah komplikasi pada

sebanyak 28% dari pasien yang menerima ventilasi mekanis. Insiden VAP

meningkat dengan durasi ventilasi mekanis, diperkirakan 3% perhari selama 5 hari

pertama, 2% per hari selama hari 6-10, dan 1% per hari lebih dari 10 hari. Tingkat

kematian kasar untuk VAP adalah 27-76% (Amanullah, Shakeel, 2010).

Pseudomonas atau Acinetobacter pneumonia dikaitkan dengan tingkat kematian

lebih tinggi dari pada mereka yang berhubungan dengan organisme lain.

Pasien yang menggunakan ventilator beresiko terkena VAP sekitar 3-10 kali lipat

dibanding pasien tanpa ventilator dengan angka kematian yang cukup bermakna

antara 24-50%, bahkan pada kondisi tertentu dapat mencapai 76% (Rumende,

2008). Dampak VAP pada pasien sakit kritis secara signifikan meningkatkan resiko

kematian dan minimal menambah waktu pemakaian ventilator, memperpanjang hari

rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Ini adalah kondisi yang kompleks tidak

hanya untuk mendiagnosis tetapi juga untuk mengobati, sehingga pencegahan sangat

penting (Augustyn, 2007).


3

Petugas kesehatan khususnya perawat yang bertugas di ruang ICU harus telah

mendapatkan pelatihan perawatan intensif dan telah tersertifikasi perawatan kritis,

hal ini terkait dengan perbedaan kebutuhan antara pasien yang di rawat di ruangan

rawat inap biasa dengan pasien di ruangan ICU yang memiliki masalah lebih

kompleks.

Berbagai peralatan khusus disediakan di ICU untuk mendukung penatalaksanaan

terapi pasien kritis. Peralatan tersebut antara lain bed site monitor, blood gas

analysis on site, central monitor di nurse station, trolly emergency, alat resusitasi,

mesin EKG, oxygen dan suction central, defibrillator dan mesin ventilasi mekanik.

Dan salah satu penyebab infeksi nosokomial yang terjadi di ruangan ICU yaitu

pemasangan alat bantu nafas atau ventilasi mekanik, walaupun merupakan terapi

suportif namun akan berdampak munculnya efek atau komplikasi baik karena

pemasangan ventilator itu sendiri, pemasangan endotrakheal ataupun hal lain.

VAP merupakan infeksi pneumonia yang paling sering ditemui di unit perawatan

intensif. VAP didefinisikan sebagai nasokomial pneumonia yang terjadi setelah 48

jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalaui pipa endotrakea

maupun pipa trakeostomi (Amanullah,2010). Sedangkan American College of Chest

Physician mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran

infiltrat baru dan menetap pada foto thoraks disertai salah satu tanda yaitu hasil

biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum

maupun aspirasi trachea, kavitasi pada foto thoraks, gejala pneumonia atau terdapat

dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen

(Wiryana,2007).
4

Komplikasi VAP terjadi sebanyak 28% dari jumlah pasien yang menerima ventilasi

mekanis. Insiden VAP meningkat dengan durasi ventilasi mekanis, diperkirakan 3%

perhari selama 5 hari pertama, 2% per hari selama hari 6-10, dan 1% per hari lebih

dari 10 hari. Tingkat kematian kasar untuk VAP adalah 27-76%. Pseudomonas atau

Acinetobacter pneumonia dikaitkan dengan tingkat kematian lebih tinggi dari pada

mereka yang berhubungan dengan organisme lain.

Dampak VAP pada pasien sakit kritis secara signifikan meningkatkan resiko

kematian dan minimal menambah waktu pemakaian ventilator, memperpanjang hari

rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Berdasarkan data kepustakaan luar negeri

diperoleh data bahwa kejadian VAP di ICU cukup tinggi, bervariasi antara 9 – 27%

dan angka kematiannya bisa melebihi 50% (Wiryana, 2007). Berdasarkan insidensi

bervariasi antara 5 dan 10 angka kejadian per 1000 orang yang keluar dari rumah

sakit dan paling tinggi terjadi di ruang pembedahan dan ICU serta rumah sakit

pendidikan (American Journal Of Critical Care, 2011). Keadaan tersebut

memperpanjang masa rawat inap di rumah sakit selama 3 sampai 14 hari per pasien.

Resiko HAP meningkat 6-20 kali lipat selama ventilasi mekanis dan dalam ruang

ICU, menyebabkan 25 % infeksi dan 50% pemberian antibiotik. VAP merupakan

>80% dari semua HAP dan terjadi pada 9-27% pasien yang di intubasi (American

Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine, Vol 171, 2005).

Pneumonia nosokomial merupakan salah satu komplikasi perawatan dirumah sakit

yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Insiden pneumonia

nosokomial mencapai 30%. Pneumonia nosokomial yang terjadi dirumah sakit dapat

dibagi dua, yaitu: Hospital Acquired Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated
5

Pneumonia (VAP). Kedua jenis pneumonia ini masih jadi penyebab penting dalam

angka kematian dan kesakitan pada pasien yang dirawat dirumah sakit (Amanullah,

Shakeel 2010).

Salah satu bentuk pneumonia nosokomial yang terjadi pada klien yang

menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi. Kuman penyebab infeksi ini tersering

berasal dari gram negative (Amanullah, Shakeel 2010). Rekam medik Intensive Care

Unit (ICU) Rumah Sakit St.Borromeus Bandung mencatat angka kejadian infeksi

nosokomial pneumonia 24% dengan angka mortalitas 33,33% (Regina, 2006).

Rekam medik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mencatat 47% infeksi

nosokomial pneumonia pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik dan

intubasi (Dahlan, 2006). Insiden nosokomial pneumonia di Rumah Sakit Dr. M.

Djamil Padang pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi 15% -

59% (Saanin, 2006). Pneumonia terjadi karena penyakit pernapasan kronik (misal,

PPOK, asma), aspirasi sekret orofaringeal, tirah baring yang lama, penurunan daya

tahan tubuh, riwayat merokok, infeksi pernapasan oleh virus (Price, 2006).

Berdasarkan data rekam medik diruang ICU IGD RS Cipto Mangunkusumo pada

tahun 2014 terdapat 125 pasien yang terpasang alat bantu nafas atau ventilasi

mekanik, dari jumlah tersebut terdapat 10 pasien atau sekitar 8%. yang menderita.

Pada tahun 2015 terdapat 122 pasien yang terpasang alat bantu nafas atau ventilasi

mekanik, dari jumlah tersebut terdapat 9 pasien atau sekitar 7.3% yang menderita

VAP. ( Sumber : IPCN RSCM ).


6

Berdasarkan data yang di dapat peneliti terkait jumlah perawat yang bekerja di ruang

ICU IGD RSCM sebanyak 48 orang dengan jenjang pendidikan terakhir Diploma

tiga sebanyak 35 orang atau sekitar 72,91% dan perawat yang pendidikan terakhir

Sarjana sebanyak 13 orang atau 27,08%. Peneliti melakukan study pendahuluan

dengan tekhnik wawancara terhadap 20 perawat yang bekerja diruang ICU

DEWASA RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, sample di ambil secara acak.

Diperoleh data : perawat dengan pendidikan terakhir Diploma tiga sebanyak 17

orang atau 85% dan 3 orang atau 15% pendidikan terakhir Sarjana. Perawat yang

memiliki pengalaman bekerja lebih dari 3 tahun sebanyak 14 orang 70%), perawat

yang memiliki pengalaman bekerja kurang dari 1 tahun sebanyak 6 orang atau 30%.

Perawat pelaksana yang belum memiliki sertifikasi perawat critical care dan belum

mendapatkan pelatihan critical care intensive ada 17 orang atau 85% dan perawat

yang sudah memiliki sertifikat critical care sebanyak 3 orang atau sekitar 15%.

Gambaran yang didapat berdasarkan data yang diperoleh dari hasil study

pendahuluan yang dilakukan dengan uji wawancara yang peneliti lakukan dari 20

orang perawat pelaksana. Dari 40 pertanyaan yang peneliti berikan di dapatkan data

bahwa perawat yang berdinas di ruangan ICU memiliki tingkat pengetahuan tentang

VAP 60% masih kurang dan yang 40% tingkat pengetahuan tentang VAP sudah

baik. Angka kejadian VAP di ruang ICU IGD pada tahun 2014 sebanyak 8% dan

pada tahun 2015 terhitung hingga bulan September sebanyak 4,5%. Berdasarkan hal

tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan

Pengetahuan dan Sikap Perawat Terhadap Perilaku Pencegahan Terjadinya VAP

Pada Pasien Diruang ICU IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo”.


7

B. Rumusan Masalah

Adanya peningkatan angka kejadian VAP kemungkinan juga disebabkan oleh

karena terjadinya perubahan perilaku, dan sikap perawat serta pengetahuan tentang

VAP masih kurang dari hasil study pendahuluan yang peneliti lakukan dari 20

orang perawat pelaksana. Dari 40 pertanyaan yang peneliti berikan 60% masih

kurang dan yang 40% tingkat pengetahuan tentang VAP sudah baik. Berbagai

faktor penyebab yang menyebabkan terjadinya VAP, diantaranya pengetahuan yang

kurang tentang pencegahan VAP dan sikap perawat terhadap prilaku pencegahan

terjadinya VAP masih rendah. Berdasarkan fenomena itulah, peneliti ingin meneliti

hubungan pengetahuan dan sikap perawat terhadap prilaku pencegahan terjadinya

VAP diruang ICU IGD RS Cipto Mangunkusumo tahun 2015.

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan

adalah hubungan pengetahuan dan sikap perawat terhadap perilaku pencegahan VAP

pada pasien di ruang ICU IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Teridentifikasinya hubungan pengetahuan dan sikap perawat terhadap perilaku

pencegahan VAP di ICU IGD RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2015.

2. Tujuan Khusus

a. Teridentifikasinya karakteristik respon perawat (usia, jenis kelamin) di

ICU IGD RS Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2015.


8

b. Teridentifikasinya pengetahuan perawat tentang perilaku pencegahan

VAP di ICU IGD RS Cipto Mangunkusumo Jakarta terhadap

pencegahan VAP tahun 2015.

c. Teridentifikasinya sikap perawat dalam pencegahan VAP di ICU IGD

RS Cipto Mangukusumo Jakarta tahun 2015.

d. Teridentifikasinya perilaku perawat tentang pencegahan VAP di ICU

IGD RS Cipto Mangukusumo Jakarta tahun 2015.

e. Teridentifikasinya hubungan antara pengetahuan dengan perilaku /

sikap terhadap pencegahan VAP di ICU IGD RS Cipto Mangukusumo

Jakarta tahun 2015.

f. Teridentifikasinya hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan

VAP di ICU IGD RS Cipto Mangukusumo Jakarta tahun 2015.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Bidang Pelayanan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan gambaran untuk

rumah sakit mengenai pengetahuan dan sikap perawat terhadap prilaku

pencegahan VAP sehingga dapat digunakan instansi untuk membuat kebijakan

yang berkaitan dengan pencegahan VAP.

2. Bagi Pendidikan Keperawatan

Untuk memberikan masukan kepada institusi pendidikan dan merupakan

sumbangan terhadap literature yang bermanfaat sehingga dapat digunakan lebih

lanjut untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mata kuliah

KMB sebagai materi pembelajaran.


9

3. Bagi Bidang Penelitian

a. Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian pencegahan VAP.

b. Memberikan masukan bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang

berkaitan dengan pencegahan VAP.

Anda mungkin juga menyukai