Anda di halaman 1dari 60

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indikator mutu adalah suatu pelayanan kesehatan yang dapat diukur secara

subjektif misalnya tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang

dapat dituangkan dalam angket atau quesioner, Sedangkan Indikator mutu yang

dapat diukur secara objektif misalnya tingkat mortalitas suatu penyakit, lama rawat

pasien, dan kejadian infeksi nosokomial atau yang kini lebih sering dikenal dengan

Healthcare Assosiated Infections (HAI’s).

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada

saat pasien menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada

umumnya terjadi pada pasien yang dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak,

perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi,

2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari

rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien

tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.

Dari penjelasan HAI’S diatas. VAP perlu menjadi perhatian khusus karena

berkaitan banyak dengan indikator mutu rumah sakit, selain HAI’S itu sendiri,

ditemukannya VAP di ruang ICU juga berkaitan dengan lamanya perawatan pasien.

1
Ventilator Assosiated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia

nosokomial pada pasien terpasang Ventilator yang pada umumnya berkembang

dalam waktu 48 Jam setelah awal pemasangan ventilasi mekanik (Ali, 2013;Said,

2012;Scientific Commite on Infection Control, and Infection Control Branch,

Centre for Healh Protection, Departement


1
of Health, 2010)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Kalanuria, Zai & Mirski (2014),

disebutkan bahwa onset dini VAP terjadi dalam kurun waktu 4 hari (96 jam) dan

biasanya prognosis pasien masih lebih baik dikarenakan patogen masih sensitif

terhadap antibiotik, sedangkan onset lambat VAP muncul lebih dari 4 hari setelah

pemasangan Endo Tracheal Tube (ETT) yang mengakibatkan prognosis pasien

menjadi buruk dan kemungkinan besar disebabkan oleh Multidrug Resistant (MDR).

Kemungkinan pasien terpasang mesin ventilator hingga dapat mengalami VAP

berkisar antara 8 sampai dengan 28% dan akan meningkat menjadi 69 % pada

pasien terpasang mesin ventilator lebih dari 30 hari (Chastre & Fagon, 2002).

VAP terjadi karena infeksi mikrooorganisme seperti Pseudomonas aeruginosa,

Klebsiella pneumoniae, dan Enterobacter akibat dari pemasangan selang ETT yang

menjadi jalan masuknya patogen ke dalam paru-paru. Kolonisasi bakteri yang

terdapat di Orofaring dan lambung serta terpasangnya mesin ventilator pada pasien

juga dapat menjadi jalan bagi bakteri untuk masuk ke saluran pernafasan

dikarenakan tidak adanya reflek batuk akibat pemakaian obat sedasi dan pelumpuh

otot sehingga sekresi yang mengandung bakteru tersebut menumpuk di bawah

selang endotrakeal kemudaian jatuh dan masuk ke paru-paru (Lawrence & Fulbrook,

2010; MC. Carthy, Santiago & Lau, 2008;).

2
Untuk mediagnosis VAP dilakukan penskoran menggunakan Clinical

Pulmonary Infection Score (CPIS) dengan komponen yang dinilai yaitu suhu, nilai

leukosit, sekresi trakeal, hasil x-ray thorax, hasil kultur sputum dan status

oksigenisasi Kalanuria, Zai & Mirski (2014).

Menurut penelitian American Thoracic Society, 2004. Angka kematian pasien

yang mengalami VAP adalah sebesar 30% dan dapat meningkat menjadi 70%

seiring dengan penyerta lain seperti usia, riwayat kesehatan dan penyakit-penyakit

kronis lainnya.

Menanggapi hal tersebut pada tahun 2005 Institute for Healthcare Improvement

(IHI) mengusulkan VAP bundle sebagai pencegahan VAP pada pasien-pasien di

ICU (Wip&Napulitano, 2009)

VAP Bundle dalam perjalannannya mengalami perkembangan dan perubahan

komponennya dari waktu ke waktu. Reyes, Ruppert, & Shiao (2007) menjelaskan

dalam penelitiannya, langkah untuk mengurangi kejadian VAP pada pasien yang

terpasang ventilasi mekanik yaitu dengan pemberian profiliaksis Deep Vein

Trombolitic (DVT), pemberian profilaksis ulkus peptikum, dan pemberian

penggunaan sedasi harian untuk penyapihan ventilator.

Hal yang sama dinyatakan oleh Munto & Ruggiero (2014) terkait komponen

VAP bundle namun ditambahkan satu komponen yaitu perawatan mulut harian

dengan menggunakan Chlorexididine. Selain itu Europan care bundle menambah

komponennya yaitu tidak ada penggantian sirkuit ventilasi setiap hari kecuali

terdapat indikasi khusus, menjaga kebersihan tangan dengan ketat dengan alkohol

3
terutama bersentuhan dengan pasien, pemberhentian penggunaan sedasi harian dan

protokol penyapihan ventilator, perawatan mulut dengan Chlorexidine , serta kontrol

tekanan cuff seminimalnya 24 jam sekali.

Chlorhexidine banyak digunakan para ahli kesehatan gigi baik sebagai

pembersih maupun pengobatan penyakit gigi. Chlorhexidine efektif melawan

berbagai macam mikroorganisme, misalnya bakteri Gram positif dan Gram negative

Salah satu mekanisme yang dapat menjelaskan efektivitas kerja Chlorhexidine

adalah adanya ikatan atau interaksi antara muatan positif dengan muatan negatif

partikel fosfat dinding bakteri, yang memungkinkan penetrasi molekul

Chlorhexidine ke dalam tubuh bakteri dan menimbulkan efek toksik, saat masuk

kedalam membran sel bakteri, zat aktif Chlorhexidine akan merusak membran sel

bakteri, sehingga bakteri akan kehilangan komponen interselularnya (Amoian,

Omidbakhsh, & Khafri, 2017).

Namun dikarenakan sifat destruktif terhadap membran selular tersebut, hal

tersebut juga memiliki efek samping dapat terjadinya Mouth Ulcer, dengan tanda

bercak atau luka putih pada bagian dalam mulut atau di bibir, pembengkakan

kelenjar ludah, tanda-tanda alergi yang mungkin termasuk kesulitan bernafas,

pembengkakan wajah, bibir, lidah hingga tenggorokan (Prasanna & Laskhmanan,

2016). Tentunya hal tersebut dapat dihindari dengan regimen yang tepat.

Menanggapi hal tersebut berbagai alternatif untuk menghindari efek samping

pembersih mulut dengan kandungan Chlorhexidine mulai dikembangkan, salah

4
satunya adalah dengan penggunaan pembersih mulut berbasis enzim

Lactoperoxidase .

Dibandingkan dengan Chlorhexidine yang bersifat destruktif, penggunaan zat

enzim seperti Lactoperoxidase cendrung lebih aman, dan alamiah melibatkan proses

fisiologis tubuh. Dalam penelitian Bafort, Parisi, Perraudin, & Jijakli, 2014

menunjukkan bahwa produksi oksidan kuat adalah bagian kuat dari mekanisme

pertahanan nonimmune terhadap bakteri patogen, jamur, atau parasit yang membuat

penggunaan enzim-enzim tersebut dalam aplikasi praktis, Reaksi enzimatik yang

melibatkan peroksidase mamalia bersifat kompleks dan berbagai molekul dapat

mempromosikan atau mengurangi secara dramatis aktivitas antibakteri.Menurut data

WHO tahun 1998 dari hasil penelitian di 20 negara dengan total 361 ICU, sebanyak

2897 pasien yang menggunakan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam, sebanyak 439

pasien (15 %) mengalami VAP.

Menurut Europian Centre for Desease Prevention and Control (ECDC) Pada

tahun 2014, 6 995 (8%) dari pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU)

selama lebih dari dua hari ditemukan setidaknya satu infeksi terkait perawatan

kesehatan (HAI) yang diperoleh ICU di bawah pengawasan. Dari semua pasien

yang dirawat di ICU selama lebih dari dua hari, 6% ditemukan dengan pneumonia,

4% dengan infeksi aliran darah (BSI) dan 3% dengan infeksi saluran kemih (ISK).

98% episode pneumonia dikaitkan dengan intubasi.

5
Penelitian dilakukan oleh Nency dkk (2014) pada Januari 2013 s/d Agustus

2014, penelitian dilakukan di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, dari total 113

pasien didapatkan 21 pasien (18,58%), mengalami VAP.

Dari data yang didapatkan dari unit Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)

RSUD Pasar Minggu didapatkan 3 kejadian infeksi 3 bulan terakhir di ruang ICU

RSUD Pasar Minggu sebagai berikut : bulan Juli 2018 Infeksi Daerah Operasi (IDO)

0,15%, Hospital Aquired Pneumonia (HAP) 1,4%, Ventilator Aquired Pneumonia

(VAP) 7,55%, bulan Agustus 2018 Infeksi Daerah Operasi (IDO) 0,6%, Hospital

Aquired Pneumonia (HAP) 0%, Ventilator Aquired Pneumonia (VAP) 7,4%, bulan

Septemberi 2018 Infeksi Daerah Operasi (IDO) 0,16%, Hospital Aquired

Pneumonia (HAP) 1,4%, Ventilator Aquired Pneumonia (VAP) 2,8%,

Di Indonesia sendiri, penulis belum menemukan penelitian yang mengkaji

tingkat keefektifan oral hygiene dengan pembersih mulut berbasis enzim pada

pasien dengan ventilasi mekanik di ruangan ICU. Berdasarkan fenomena tersebut,

penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana Efektifitas oral hygiene menggunakan

chlorexidine dibandingkan dengan enzim Lactoperoxidase dalam pencegahan VAP

di ruang ICU RSUD Pasar Minggu Jakarta.

B. Rumusan Masalah

VAP adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang

terpasang ventilasi mekanik (Ventilator) di ruang ICU. Apabila tidak ditangani

6
dengan serius, VAP dapat berdampak buruk bagi pasien seperti bertambahnya long

of stay, hingga dapat mengakibatkan kematian.

Beberapa pedoman dan metode telah dikembangkan dengan early asessment

menggunakan Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) serta megnggunakan

Ventilator bundle dan VAP bundle, yang terdiri dari elevasi kepala 30-45 derajat,

penggunaan profilaksis ulcer, pemberian DVT, serta oral hygiene menggunakan

Chlorhexidine.

Efek samping dari Chlorhexidine adalah terjadinya Mouth ulcer, untuk itu perlu

alternatif salah satunya dengan menggunakan pembersih mulut berbasis enzim

Lactoperoxidase, yang bekerja meningkatkan sistem anti mikroba tubuh.

Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana

keefektifan oral hygiene menggunakan chlorexidine dibandingkan dengan enzim

Lactoperoxidase dalam pencegahan VAP di ruang ICU RSUD Pasar Minggu

Jakarta.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keefektifan oral

hygiene menggunakan chlorexidine dibandingkan dengan enzim

Lactoperoxidase dalam pencegahan VAP di ruang ICU RSUD Pasar Minggu

Jakarta

7
2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui :

a. Diketahui hasil oral hygiene menggunakan Chlorexidine dalam

pencegahan VAP

b. Diketahui hasil oral hygiene menggunakan enzim Lactoperoxidase

dalam pencegahan VAP

c. Diketahui keefektifan oral hygiene menggunakan chlorexidine

dibandingkan dengan enzim Lactoperoxidase dalam pencegahan VAP

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUD Pasar Minggu

Meningkatkan mutu layanan Keperawatan di RSUD Pasar Minggu

khususnya keperawatan intensive, dengan menemukan suatu alternatif dalam

pencegahan VAP di ICU RSUD Pasar Minggu.

2. Bagi Penelitian

Memberikan gambaran keefektifan oral hygiene menggunakan chlorexidine

dibandingkan dengan enzim Lactoperoxidase dalam pencegahan VAP di di

ruang ICU RSUD Pasar Minggu Jakarta serta menjadi dasar untuk penelitian

selanjutnya

3. Bagi Pendidikan Keperawatan

8
Sebagai dasar pengetahuan dan pendidikan bahwa mahasiswa keperawatan

mengetahui pencegahan VAP di ICU.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ventilasi Mekanik

9
1. Pengertian

Pasien yang terindikasi untuk masuk ruangan ICU adalah pasien dengan

status dan gejala kritis seperti gangguan cerebrovaskular, gangguan

hemodinamik, gangguan kardiovaskular dan gangguan pernafasan. Jika pasien

mengalami gangguan pernapasan maka pasien tersebut membutuhkan ventilasi

mekanik. Ventilasi mekanik atau yang biasa disebut dengan ventilator

merupakan salah satu alat bantu pernapasan untuk membatu pasien yang tidak

dapat bernafas secara spontan agar pasien tidak mengalami hipoksemia dan

hiperkarbia sehingga kebutuhan oksigen dalam tubuh pasien tetap terpenuhi

(American Thoracic Soceity, 2005;Choi 2010)

2. Indikasi

Penggunaan ventilator pada umumnya diberikan pada pasien dengan

gangguan pernapasan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Menurut leonardo

(2015). Indikasi utama penggunaan ventilator yaitu resusitasi karena serangan

jantung, (cardiac arrest), hiperventilasi dan apnea, gagal nafas dan dan

hipoksemia karena penyakit paru intristik, kegagalan sistem pernapasan

mekanik, menurunkan kerja otot-otot pernapasan, serta kelelahan otot. Indikasi

penggunaan ventilator adalah apabila pasien tersebut mengalami keadaan

seperti penurunan kesadaran, cedetra kepala berat, cedera pada paru-paru, dan

tindakan operasi yang menggunakan anastesi umum (Choi, 2010).

Sedangkan menurut Lynch 9 (2013), indikasi pasien yang terpasang

ventilator dapat dilihat dari kondisi pasien atau gangguan yang dialami :

10
a. Pneumonitis, edema paru noncardiogenic, ARDS, edema paru cardiogenic,

pendarahan paru, tumor, proteinosis alveolar, dan kelebihan volume

intravaskular

b. Penyakit Vaskular paru, (Tromboemboli paru, ketuban emboli cairan,

tumor emboli

c. Penyakit yang disebabkan obstruksi jalan nafas ; tumor, angioedema laring,

stenosis trakea, penyakit paru obstuksi kronik (PPOK), denga eksaserbasi

akut dan asma berat.

d. Hipoventilasi akibat sindrom guillain-bare, Myasthenia Gravis, tetanus

parah, efusi pleura, dan pneumothorax.

e. Peningkatan kebutuhan ventilasi : sepsis berat, syok septik, dan asidosis

metabolik yang berat.

f. Penilaian klinis keadaan pasien : apnea, stridor, status mental mengalami

depresi berat, flail chest, ketidakmampuan mengeluarkan karbon dioksida

dengan baik, sekresi pernapasan, trauma mandibula, laring dan trakea.

g. Kehilangan cadangan ventilasi, frekuensi nafas lebih dari 35 kali permenit,

volume tidal kurang dari 5 liter, kapasitas vital paru kurang dari 10 ml/kg

berat badan tubuh, minute volume kurang dari 10 L/menit, dan kenaikan

PaO2 kurang dari 10 mmhg.

3. Mode Ventilator

11
Dalam penggunaan ventilator, harus disesuaikan dengan kondisi klinis dan

kebutuhan dari pasien tersebut agar terhindar dari komplikasi yang malah akan

memperburuk keadaan pasien. Mesin ventilator memiliki beberapa mode yang

dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien.

Ventilator memiliki cara yang berbeda-beda tergantung dari mode yang

diinginkan. Deden (2015) menjelaskan beberapa cara kerja berdasarkan mode

volume control dan pressure control.

a. Volume controled

Di dalam mode Volume Controled (VC) terdapat beberapa cara kerja yaitu

Volume Controled- Continuous Mandatory Ventilation (VC-CMV), dan

Volume Controled- Intermitent Mandatory Ventilation (VC-SIMV).

1) Volume Controled- Continuous Mandatory Ventilation (VC-CMC),

Pada mode ini, mesin ventilator akan memberikan volume udara yang

dubutuhkan pasien sesuai dengan kapasitas paru-paru pasien yang telah

diatur setiap kali mesin memberikan bantuan napas secara

berkelanjutan tanpa memperhitungkan tekanan yang masuk kedalam

paru-paru. Penggunaan mode ini dianjurkan pada pasien koma,

penggunaan sedasi dan tanpa adanya penyakit paru penyerta agar tidak

mengalami barotrauma paru (Bristle, Collins, Hewer, & Hollifield,

2014).

2) Volume Controled- Intermitent Mandatory Ventilation (VC-SIMV).

12
Penggunaan mode ini dianjurkan pada saat penyapihan (weaning).

mode ini diberikan pada pasien yang sudah ada usaha nafas spontan

sehingga jumlah Respiration rate (RR) dapat diberikan minimal agar

mesin ventilator memberikan kesempatan bagi pasien untuk usaha

napas spontan. Jika ada tidak ada usaha napas spontan maka mesin

ventilator akan memenuhi volume tidal, namun jika ada usaha nafas

spontan maka mesin akan memberikan aliran oksigen saja

b. Pressured Controled

Pada mode ini mesin ventilator akan memberikan tekanan ke dalam

paru-paru yang telah diatur namun mengabaikan berapa volume yang

masuk kedalam paru-paru sehingga masuknya volume udara yang masuk

keparu-paru tidak dapat di prediksi. Mode ini di rekomendasikan pada

pasien yang memiliki gangguan atau penyakit paru dan pada pasien dengan

usia lanjut agar tekanan yang diberikan dapat mencegah terjadinya

barotrauma. beberapa cara kerja mode PS diantaranya Pressure Controled

-Continuous Mandatory Ventilation (PS-CMV), dan Pressure Controled-

Intermitent Mandatory Ventilation (PS-SIMV).

1) Pressure Controled -Continuous Mandatory Ventilation (PS-CMV)

Merupakan mode mesin ventilator yang digunakan pada pasien yang

tidak ada usaha napas spontan dengan memberikan tekanan secara

berkelanjutan dengan pengaturan yang telah ditetapkan.

2) Pressure Controled- Intermitent Mandatory Ventilation (PS-SIMV).

13
Sama halnya dengan mode VC-SIMV mode ini digunakan untuk

proses Penyapihan. Yang membedakan pada mode ini memberikan

tekanan setiap kali mesin memberikan bantuan pernapasan.

c. Pressure Support

Mode ini disarankan pada pasien yang memiliki usaha napas spontan dan

bersiap untuk dilakukan ekstubasi karena mode ini hanya memberikan

bantuan tekanan saja disesuaikan dengan usaha napas yang dilakukan

pasien.

d. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

Mode ini digunakan pada pasien yang sudah memiliki usaha napas spontan

dan pasien dengan indikasi tertentu seperti udema paru. Pada mode ini

mesin ventilator akan memberikan tekanan positif pada akhir ekspirasi agar

kondisi paru selalu dalam keadaan positif sehingga kondisi paru akan tetap

mengembang dan tidak dalam keadaan negatif.

4. Komplikasi Penggunaan Ventilator

Penggunaan mesin ventilator bukan tanpa resiko, jika penggunaan mode

tidak tepat indikasi dapat mengakibatkan berbagai komplikasi hingga dapat

menyebabkan kematian. Beberapa komplikasu akibat penggunaan ventilator

menurut American Thoracic Soceity, 2005 :

a. Pneumotorak

14
Penempatan ETT yang tidak simetris dapat mengakibatkan distribusi udara

dari ventilator ke paru-paru tidak seimbang. Apabila tidak ditangani dengan

baik maka akan mengakibatkan salah satu bagian paru kolaps sehingga

perlu dilakukan penusukkan (chest tube) agar pengembangan paru dapat

kembali normal.

b. Barotrauma

Pemakaian mode ventilator harus disesuaikan dengan kondisi pasien.

Penggunaan mode ventilaor yang tidak sesuai dengan kondisi pasien dapat

menyebabkan barotrauma. Sebagai contoh pada pasien lansia, umumnya

pada lansia kondisi paru mengalami penurunan , sehingga jika diberikan

mode VC, dapat menyebabkan barotrauma karena tingginya tekanan yang

diberikan ventilator tidak dapat dikontrol.

c. Gangguan keseimbangan asam basa

Keseimbangan asam basa dapat dipengaruhi oleh kadar oksigen dan karbon

dioksida dalam tubuh. Pada pasien yang terpasang ventilator, dianjurkan

untuk rutin diperiksa analisa gas darah agar dapat melihat pH, yaitu kadar

oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh, sehingga penggunaan ventilator

dapat disesuaikan agar resiko ketidakseimbangan asam basa tubuh dapat di

minimalisir.

d. Infeksi.

Pasien yang terpasang ventilator mendpatkan bantuan nafas melalui ETT.

Pada umumnya, pasien yang menggunakan ventilator menggunakan sedasi

15
yang juga menghilangkan reflek batuk sehingga dapat terjadi penumpukan

sekret di selang ETT. Apabila tidak ditangani dengan benar, penumpukkan

sekret tetsebut dapat menjadi tempat kolonisasi bakteri patogen kemudian

masuk kedala paru-paru sehingga terjadi yang disebut dengan Ventilator

Aquired Pneumonia (VAP). VAP merupakan infeksi yang serius yang

apabila tidak ditangani dapat berakibat memburukya keadaan pasien hingga

dapat menyebabkan kematian.

B. Ventilator Assosiated Pneumonia (VAP)

1. Pengertian

Ventilator Aquired Pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial

paling umum ditemukan pada pasien dengan keadaan kritis pada pasien yang

terpasang ventilasi mekanik ditandai dengan demam, leukositosis, dan sekresi

trakheobrochial purulen yang biasanya terinfeksi dalam waktu 48 jam setelah

pemasangan ventilasi mekanik. (Korhan, Hakverdiog, Lu, Kilic, & Uzeli, 2013;

Sedwick, Smith, Reeder, Nardi, 2012). Kemungkinan terjadinya VAP sebesar

8%-28% dari semua pasien yang mengalami pemasangan ventilator (Amin

2009).

2. Diagnosis VAP

Dalam mendiagnosis pasien terkena VAP perlu dilakukan beberapa tes

diagnostik untuk memastikan pasien tersebut terinfeksi VAP. Beberapa ahli

telah menemukan cara ataupun panduan untuk mendiagnosis pasien VAP

diantaranya :

16
a. Algoritma manifestasi klinis kejadian Pneumonia (CDC,2018)

Tabel 2.1

Foto Radiologi Tanda, Gejala, dan Hasil

Laboratorium

Ditemukan dua atau lebih foto Untuk setiap pasien setidaknya

serial rontgen dada setidaknya ditemukan tanda dan gejala sebagai

salah satu dari hasil berikut berikut :

1) Gambaran bercak pada paru Demam (diatas 38 °C) tanpa sebab lain

yang persisten
Hasil Laboratorium

2) Konsolidasi
1) Leukopenia (<40000/mm3)

3) Kapitasi
2) Leukositosis (>12000/mm3)

Catatan :
Serta ditemukannya dua hal berikut

Pada pasien tanpa penyakit


1) Onset baru dari sputum purulen
jantung (sindrom gangguan
atau perubahan karakter sputum di

17
pernapasan, edema bronko aliran pernapasan

pulmoner, penyakit paru obstruktif


2) Onset baru atau batuk yang
kronis)
memburuk, atau dyspnea, dan

tachypnea Crakles atau suara

bronkial

Hasil Laboratorium

1) Pertukaran gas menurun misal

desaturasi PaO2 dan FiO2 < 240

2) peningkatan kebutuhan oksigen

b. Dalam penelitian yang dilakukan oleh kalanuria, Zai, Mirski (2014) untuk

mendiagnosa VAP dilakukan dengan skoring yang dinamakan Clinical

Pulmonary Infection Score (CPIS) dengan parameter yang dinilai yaitu suhu,

leukosit, foto rontgen, produksi sputum dan hasil kultur sputum. Penskoran

dilakukan dengan menjumlahkan skor setiap parameter, bila skor diatas 6

maka pasien didiagnosis mengalami VAP

18
Tabel 2.2 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

Parameter Hasil Skor

Suhu (dalam Celcius) 36,5-38,40C 0

38,5-38,90C 1

>38,90C 2

19
Leukosit darah 4000-11000/ mm3. 0

<4000 atau>11000/ mm3 1

>500 sel/ mm3 Neutrofil 2

Produksi Sputum Tidak 0

Ringan non purulen 1

Purulen 2

Hasil Rontgen (tidak Tidak ada Infiltrat 0

termasuk CHF dan


Terdapat Infiltrat 1
ARDS)
Terdapat Infiltrat yang mengumpul 2

Pa02/Fi02 >240 0

<240 2

Hasil Kultur Sputum Tidak ada/ pemeriksaan belum selesai 0

1
ada

Sumber: Salma Basyigit (2017)

3. Proses Infeksi VAP

20
Pasien yang terinfeksi VAP dapatmenyebabkan kematian 24-50% dan

dapat beresiko tinggi lebih dari 74% apabila dialami oleh lansia, pasien dengan

PPOK, Luka bakar, bedah syaraf, dan sindrom gagal nafas akut (Gomes, 2010)

Penurunan tingat kesadaran dapat mengakibatkan hilangnya reflek batuk,

dan muntah sehingga memungkinkan terjadinya aspirasi yang dapat

meningkatkan resiko VAP. Rute utama patogenesis dari VAP adalah kombinasi

dari 2 proses yaitu kolonisasi bakteri dari saluran aerodigestive (saluran napas

dan pencernaan bagian atas) dan selanjutnya aspirasi ke saluran napas bagian

bawah (Hooser,2002)

Tindakan intubasi dapat menghalangi pertahanan alami tubuh terhadap

infeksi pernapasan. Penempatan Endotracheal tube (ETT) dapat mencegah

pengeluaran sputum karena epiglotis tertekan sehingga bakteri mematikan dapat

masuk (baik dari kelebihan sekresi atau dari tindakan suction infiltrasi paru) dan

menyebabkan pneumonia (Santiago & Lau 2008)

Kolonisasi bakteri yang terdapat di orofaring dan lambung serta

terpasangnya ventilator pada pasien juga dapat menjadi jalan masuknya bakteri

ke saluran pernapasan dikarenakan tidak ada reflek batuk akibat obat sedasi atau

obat pelumpuh otot sehingga sekresi yang mengandung bakteri tersebut

menumpuk di bawah selang ETT kemudian jatuh ke paru-paru dan

menyebabkan VAP (Lawrence & Fulbrook, 2010; MC. Carthy, Santiago & Lau,

2008;Sedwick, Smith, Reeder, Nardi,2012).

21
Said (2012) menjelaskan bebeapa faktor yang dapat menimbulkan VAP

diantaranya :

a. Inang (host) yang dapat dipengaruhi oleh kondisi pasien sebelumnya

seperti penyakit paru obstruktif kronis, sindrom gangguan pernapasan akut,

posisi tubuh pasien, tingkat kesadaran dan penggunaan obat penenang

maupun antibiotik.

b. Peralatan yang digunakan seperti endotracheal tube (ETT) dan mesin

ventilator

c. Personil atau staf yang terkait selama merawat pasien yang terpasang

ventilator. Apabila tindakan yang dilakukan tidak tepat maka akan

meningkatkan risiko terjadinya VAP. Seperti tidak mencuci tangan sebelum

dan sesudah kontak dengan pasien dan tindakan suction yang tidak steril.

4. Cara Pencegahan VAP

Salah satu pencegahan VAP yang banyak digunakan oleh beberapa negara

termasuk di Indonesia adalah VAP bundle. Munro & Reggio (2014)

a. Peninggian Kepala Tempat Tidur

Peninggian posisi kepala umumnya dilakukan pada pasien yang

menggunakan ventilator kecuali terdapat kontraindikasi yang bertujuan

untuk mencegah aspirasi saluran napas. Pada kasus VAP, salah satu

penyebabnya yaitu masuknya bakteri-bakteri patogen penyebab infeksi

kedalam saluran pernapasan melalui proses aspirasi. Pasien dengan posisi

22
terlentang berisiko mengalami aspirasi dan untuk menghindari hal tersebut

dianjurkan meninggikan kepala tempat tidur pada pasien yang terpasang

ventilator dengan ketinggian 30-450 (Oliviera & Zagalo & Silva, 2014).

Peninggian kepala tempat tidur pada pasien terpasang ventilator mempunyai

dampak yang positif. Hal tersebut dibuktikan dari 39 pasien diberikan posisi

semifowler (450) dan 47 pasien dengan posisi terlentang didapatkan hasil

pasien dengan posisi tubuh semifowler memiliki frekuensi lebih rendah

(18%) terinfeksi pneumonia nosokomial, khususnya pada pasien dengan

pemberian makan enteral (Sedwick, Smith, Reeder, Nardi,2012).

b. Profilaksis deep vein trombosis

Deep vein trombosis (DVT) dapat menjadi komplikasi pada pasien

terpasang ventilator karena akan mengurangi sirkulasi vena di ekstremitas

bawah. DVT merupakan penumpukan komponen darah yang terbentuk di

daerah yang memiliki aliran darah lambat disebabkan oleh aktivasi

pembekuan darah karena posisi tubuh yang statis (Hirsh & Hoak, 2012).

c. Proliferaksis Ulkus Peptikum

Merupakan kompnen utama dari VAP bundle yang tidak memiliki dampak

langsunng terhadap VAP, tetapi menjadi salah satu faktor risiko dan harus

diberikan penanganan pada pasien dengan ventilasi mekanik di ruang ICU.

Peptic Ulcer merupakan suatu luka kecil yang terbentuk di kerongkongan,

lambung dan bisa juga terjadi di saluran pencernaan bagian bawah seperti

duodenum (Torpy,2012). pada pasien yang terpasang ventilator berisiko

23
mengalami ulkus peptikum akibat aspirasi asam lambung ke saluran

pencernaan bagian atas.

Ulkus peptikum dapat menjadi faktor risiko VAP karena pada pasien

terpasang ventilator. pH lambung pada umumnya dapat berubah sehingga

menjadi tempat kolonisasi bakteri-bakteri penyebab VAP (Sedwick,

Smith, Reeder, Nardi,2012). Bakteru tersebut dapat masuk ke saluran

pernapasan bagian atas sehingga apabila tidak ditangani dapat

menyebabkan VAP.

Pemberian prolifilaksis ulkus peptikum dianjurkan untuk mencegah

terjadinya ulkus peptikum dengan pemberian obat golongan sulkrafat yang

diyakini dapat meminimalisir terjadinya pendarahan gastrointestinal

(Institute of Clinical System Improvement, 2011). dengan pemberian terapi

yang tersebut, diharapkan ulkus peptikum tidak terjadi sehingga pasien

tidak mengalami VAP.

Munro & Regio (2014) telah melakukan penelitian akibat yang terjadi pada

pasien yang mengalami perdarahan saluran pencernaan yaitu koagulopati

dan kegagalan pernapasan. Mengingat hal tersebut sangat pentin

Proliferaksis Ulkus Peptikum sangat penting untuk diberikan.

d. Pemberian Sedasi Harian Dan Penilaian Kesiapan Untuk Ekstubasi

VAP terjadi pada pasien yang terpasang ventilator dalam kurun waktu 48

jam setelah intubasi. Venkatram (2010) menjelaskan bahwa pasien dengan

durasi pemakaian ventilator panjang dapat mengakibatkan komplikasi

24
seperti pneumonia dan barotrauma sehingga dianjurkan untuk persiapan

ekstubasi terhadap pasien yang dinyatakan siap namun tidak

direkomendasikan pada pasien yang membutuhkan anti nyeri dan sedasi

untuk kenyamanan pasien tersebut agar proses oksigenasi menjadi

maksimal. Munro & Regio (2014) menyarankan bahwa protokol

pemberhentian pemberian sedasi harian dan penilaian persiapan ekstubasi

dengan pengujian napas spontan dapat mempersingkat pemakaian ventilator

sehingga risiko terjadinya VAP dapat diminimalisir.

e. Oral Hygiene

Kolonisasi plak gigi dan penumpukan organisme bakteri dalam rongga

mulut menjadi faktor terjadinya VAP. Pada pasien yang terpasang ventilator

salah satu penyebab VAP adalah masuknya bakteri bakteri patogen ke

dalam saluran pernapasan. Didalam mulut pasien yang terpasang ETT

terdapat flora mikroba bakteri gram positif seperti Streptococcus dan

Actinomyces yang menumpuk pada plak gigi dan mukosa mulut sehingga

apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan VAP (Par,

Badovinac, & Plancak, 2014).

Pada pasien yang terpasang ventilator dapat meningkatkan produksi saliva

sebagai usaha pertahanan tubuh sehingga akumulasi saliva tersebut

berpotensi menjadi tmepat berkembang biaknya bakteri patogen penyebab

VAP. Tindakan Oral Hygiene awalnya menggunakan antiseptik oral biasa

namun saat ini banyak dianjurkan menggunakan klorheksidin. Association

25
of Critical Care Nurses (AACN) merekomendasikan perawatan mulut

harian menggunakan klorheksidin setiap 2 sampai 4 kali dalam sehari pada

pasien setelah ekstubasi agar kolonisasi bakteri yang menjadi faktor

terjadinya VAP tidak berkembang biak dan masuk kedalam saluran

pernapasan (Curtis, 2011).

C. Oral Hygiene

Dari berbagai upaya pencegahan VAP yang dirangkum dalam VAP Bundle

diatas, Oral Hygiene merupakan tindakan mandiri keperawatan, yang dampaknya

sangat besar dalam keberhasilan pencegahan terjadinya VAP pada pasien yang

terpasang ventilator.

1. Pengertian

Menurut Taylor (dalam Shocker, 2008), Oral Hygiene yaitu suatu tindakan

yang dilakukan untuk menjaga kontinuitas bibir, lidah, dan mukosa mulut,

mencegah infeksi dan melembabkan membran mulut dan bibir.

Potter dan Perry (2005) menyebutkan pemberian asuhan keperawatan untuk

membersihkan mulut pasien sedikitnya dilakukan minimal dua kali sehari.

2. Tujuan Oral Hygiene

Kebersihan mulut yang terjaga sangat berperan penting dalam pencegahan

berkembangnya kolonisasi bakteri penyebab VAP. Shocker (2008) menjelaskan

bahwa tujuan dari Oral Hygiene yaitu mencegah penyakit gigi dan mulut,

26
mencegah penyakit yang penularanya melalui mulut, mempertinggu daya tahan

tubuh, memperbaiki fungsi mulut.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa bakteri patogen dapat

berkolonisasi di mulut dalam waktu minimal 24 jam setelah pasien dirawat di

ICU, oleh karena itu Oral Hygiene menjadi suatu tindakan penting yang

seharusnya dilakukan oleh perawat secara rutin, karena jalur utama dan awal

bagi bakteri patogen untuk masuk ke paru-paru pasien yang terpasang ventilasi

mekanik adalah melalui mulut kemudian berkolonisasi di orofaring akibat

adanya mikroaspirasi (Lorraine, 2008).

3. Bahaya Kurangnya Kebersihan Mulut

Tujuan utama dari Oral Hygiene yaitu untuk meningkatkan kesehatan

rongga mulut. Mencegah penumpukan plak dan mencegah lengketnya bakteri

yang terbentuknya pada gigi. Akumulasi plak bakteri pada gigi karena Hygiene

mulut yang buruk adalah faktor penyebab utama masalah kesehtan rongga

mulut, terutama gigi. Kebersihan mulut yang buruk memungkinkan akumulasi

bakteri penghasil asam pada permukaan gigi. Asam demineralizes email gigi

menyebabkan kerusakkan gigi. Plak gigi juga dapat menyerang dan

menginfeksi gusi merupakan penyakit gusi dan periodontitis. Banyak masalah

kesehatan mulut, seperti sariawan, mulut luka bau mulut dan lain-lain dianggap

sebagai efek dari kesehatan rongga mulut yang buruk. Sebagian besar masalah

gigi dan mulut dapat dihindari hanya dengan menjaga kebersihan mulut dengan

baik (Forthnet, 2010).

27
4. Cara Menjaga Oral Hygiene pada pasien dengan Penurunan Kesadaran.

Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, akan kehilangan

kewaspadaan terhadap rangsangan. (Patricia, 2007). pasien dalam keadaan

koma sangat tidak peka terhadap rangsangan. Oral Hygiene menjaga

keadekuatan kebersihan mulut, meliputi penyikatan gigi, kumur, dan

pembersihan lidah merupakan pencegahan dan pengendalian penyakit yang

disebabkan Plak (Endacot, 2009). pada pasien yang mengalami penurunan

kesadaran terjadi kehilangan reflek gag akibat cidera sistem neurogik, (Daniel

Rick, 2004). Akumulasi hasil sekresi saliva di mulut dapat dengan mudah

menyebabkan aspirasi (Perry, 2006). pelaksanaan Oral Hygiene yang baik,

berprinsip menjaga mukosa mulut tetap lembab dan menghilangkan sekresi

yang dapat menyebabkan infeksi (Bentz, 2007).

Menurut Abdulkareem (2014) prosedur Oral Hygiene pada pasien tidak

sadarkan diri adalah sebagai berikut.

a. Jelaskan prosedur pada pasien

b. Mencuci Tangan (pasang sarung tangan)

c. Naikan tempat tidur (semi fowler)

d. Posisikan kepala pasien di sisi tepi matras

e. Letakkan handuk atau pengalas di bawah dagu hingga dada pasien

f. Jika pasien tidak koopratif dan kesulitan untuk membuka mulut atau

terpasang ETT, dapat dipasangkan Oropharingeal Airway

28
g. Bersihkan mulut menggunakan sikat atau kasa, kemudian mousterisasi

dengan menggunakan peroxide dan air.

h. Bersihkan bagian mulut dengan cara dari gigi bagian dalam ke bagian

terrluar.

i. Swab pada langit-langit mulut dan pipi bagian dalam.

j. Usap dengan perlahan bagian lidah namun hindari Gag Reflect.

k. Bilas dengan menggunakan air dan keringkan bagian-bagian mulut secara

bertahap.

l. Lakukan suction sesuai kebutuhan

m. Basahi dengan tipis pada bagian bibir

n. Beritahukan pada pasien bahwa prosedur selesai dilaksanakan

o. Pasang pengaman tempat tidur

p. Lepaskan sarung tangan.

q. Posisikan pasien senyaman mungkin ke posisi semula

r. Bersihkan dan bereskan segala peralatan

s. Cuci tangan

D. Chlorhexidine (Singh, Surender. 2017.)

1. Pengertian

29
Chlorhexidine (CHX) adalah suatu antiseptic yang termasuk golongan

bisbiguanide umumnya digunakan dalam bentuk glukonatnya.

Chlorhexidine digunakan sebagai surgical scrub, mouth wash, neonatal bath &

general skin antiseptic. Chlorhexidine menyerang bakteri Gram postif dan

negative, bakteri ragi, jamur, protozoa, alga dan virus Chlorhexidine

merupakan antiseptik dan disinfektan yang mempunyai efek bakterisidal dan

bakteriostatik terhadap bakteri Gram (+) dan Gram (-). Chlorhexidine lebih

efektif terhadap bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif.

Chlorhexidine sangat efektif mengurangi radang gingiva dan

akumulasi p1ak, pendapat ini sesuai pendapat bahwa larutan chlorhexidine

sangat efektif digunakan untuk plak control pada perawatan radang gingival

(gingivitis).

2. Farmakokinetik

Chlorhexidine sangat sedikit diserap oleh saluran gastrointestinal, oleh

karena itu CHX memiliki toksisitas yang rendah. Chlorhexidine diabsorbsi ke

permukaan gigi atau mukosa oral, dental plak untuk kemudian dilepas dalam

level terapeutik sehingga lebih efektif dalam mengontrol pertumbuhan plak

bakteri. 30% dipertahankan dalam rongga mulut dan kemudian dirilis perlahan.

3. Farmakodinamik

Chlorhexidine dapat menyebabkan kematian sel bakteri dengan

menimbulkan kebocoran sel (pada pemaparan chlorhexidine konsentrasi rendah)

30
dan koagulasi kandungan intraselular sel bakteri (pada pemaparan

chlorhexidine konsentrasi tinggi).

Chlorhexidine akan diserap dengan sangat cepat oleh bakteri dan

penyerapan ini tergantung pada konsentrasi chlorhexidine dan pH.

Chlorhexidine menyebabkan kerusakan pada lapisan luar sel bakteri, namun

kerusakan ini tidak cukup untuk menyebabkan kematian sel atau lisisnya sel.

Kemudian chlorhexidine akan melintasi dinding sel atau membran luar, diduga

melalui proses difusi pasif, dan menyerang sitoplasmik bakteri atau membrane

dalam sel bakteri. Kerusakan pada membrane semipermiabel ini akan diikuti

dengan keluarnya kandungan intraselular sel bakteri. Kebocoran sel tidak secara

langsung menyebabkan inaktivasi selular, namun hal ini merupakan

konsekuensi dari kematian sel. Chlorhexidine konsentrasi tinggi akan

menyebabkan koagulasi (penggumpalan) kandungan intraselular sel bakteri

sehingga sitoplasma sel menjadi beku, dan mengakibatkan penurunan

kebocoran kandungan intraselular. Jadi terdapat efek bifasik (memiliki 2 fase)

chlorhexidine pada permeabilitas membran sel bakteri, dimana peningkatan

kebocoran kandungan intraselular akan bertambah seiring bertambahnya

konsentrasi chlorhexidine, namun kebocoran ini akan menurun pada

chlorhexidine konsentrasi tinggi akibat koagulasi dari sitosol (cairan yang

terletak di dalam sel) sel bakteri.

Chlorhexidine dikenal sangat baik dalam mencegah terbentuknya plak pada

gigi. Dasar yang kuat untuk mencegah terbentuknya plak adalah terjadinya

ikatan antara CHX dengan molekul-molekul permukaan gigi antara lain

31
polisakarida, protein, glikoprotein, saliva, pelikel, mukosa serta permukaan

hidroksiapatit. Akibat adanya ikatan-ikatan tersebut maka pembentukan plak

dihambat. Hal ini juga dipengaruhi oleh konsentrasi dari medikasi, pH,

temperatur, lamanya waktu kontak larutan dengan struktur rongga

mulut.Penyelidikan lain secara in vitro, CHX yang diserap oleh hidroksiapatit

pada permukaan gigi dan mucin pada saliva, kemudian dilepas dalam bentuk

yang aktif, yang menyebabkan efek antimikroba diperpanjang sampai 12 jam,

keadaan ini yang menjadi dasar aktivitas CHX dalam menghambat plak.

4. Indikasi

Chlorhexidine dapat digunakan pada :

a. Gingivitis

b. Lesi intra oral

c. Denture stomatitis

d. Acute aphtous ulcer.

e. Periodontitis

f. Menghambat pembentukan plak

g. Mencegah karies

h. Mencegah terjadinya osteitis alveolar pasca pencabutan molar ketiga yang

impaksi

5. Efek Samping

32
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh Chlorhexidine terutama dalam jangka

waktu yang panjang diantaranya :

a. taste alteration

b. Staining/ pewarnaan pada gigi, lidah dan restorasi

c. Iritasi mukosa

d. Deskuamasi mukosa

e. Contact dermatitis

f. Photosensitivity

g. Transient parotitis

E. Lactoperioxidase

1. Pengertian

Peroksidase (PO) adalah enzim yang tersedia dalam jumlah banyak di

dalam susu (kandungannya sekitar 30 mg/l susu) (Kussendrager and Hooijdonk,

2000). Cara kerja enzim ini adalah unik, tidak sebagaimana enzim lainnya di

dalam susu. LPO mengkatalisa reaksi antara hydrogen peroxide (H2O2) dan

thiocyanate (SCN–) yang secara natural terdapat dalam susu menjadi senyawa

yang dinamakan hiphothiocyanite (OSCN–) (Barrett et al., 1999, Kussendrager

and Hooijdonk, 2000, Seifu et al., 2007). Proses katalisis yang dilakukan oleh

LPO dalam rangka memproduksi OSCN– dinamakan laktoperoksidase system

33
(LPOS). Senyawa OSCN– ini adalah senyawa yang bertanggung jawab untuk

membunuh bakteri, fungi, dan virus dengan merusak gugus sulfhidril (gugus

S-H) dari membran sel, yang mengakibatkan pada kerusakan vital membran sel

yang pada akhirnya akan membawa pada kematian sel (Al-Baarri et al., 2011b,

Borch et al., 1989).

LPO di dalam susu hanya mampu bertahan selama 0.5–1 jam,

dan selanjutnya LPO akan terdegradasi yang berakibat pada kehilangan

aktivitasnya (Al-Baarri et al., 2011c). Saat LPO hilang aktivitasnya, substrat

H2O2 dan SCN– akan tersisa di dalam susu. Sisa substrat inilah yang nantinya

akan dimanfaatkan melalui metode membran laktoperoksidase. Setelah substrat

ini melewati membran laktoperoksidase, maka akan terkonversi menjadi

OSCN– sebagai anti bakteri. Metode ini dinilai sebagai metode yang praktis,

mudah dan aman karena tidak meninggalkan senyawa yang berbahaya bagi

tubuh.

Secara alamiah, susu mempunyai zat yang berfungsi untuk mencegah

berkembangbiaknya bakteri pathogen, diantaranya adalah nisin, laktoferin, dan

lactoperoksidase (Seifu et al., 2004, Legowo et al., 2009). Ketiga zat ini adalah

sejenis enzim yang berfungsi untuk mempertahankan susu dari serangan bakteri.

Namun oleh karena jumlahnya yang terbatas, enzim-enzim ini tidak mampu

terus menerus mempertahankan kualitas susu dari serangan bakteri yang berasal

dari luar maupun yang berasal dari perkembangan endogenous bakteri. Diantara

ketiga enzim yang berfungsi mempertahankan kualitas susu ini, enzim

34
Lactoperoxidase (LPO) sangat berperan untuk membunuh bakteri (Al-Baarri et

al., 2011a, Seifu et al., 2005, Asaah, 2007, Legowo et al., 2011).

2. Mekanisme Kerja Lactoperioxidase (Bafort, Parisi Perraudin, & Jijakli,

2014)

Evolusi molekuler dari heme peroksidase dan preservasi domain katalitik

mereka menunjukkan bahwa produksi oksidan yang kuat adalah bagian yang

kuat dari mekanisme pertahanan terhadap bakteri patogen, jamur, atau parasit

yang memanfaatkan enzim tersebut secara praktis . Reaksi enzimatik yang

melibatkan peroksidase mamalia bersifat kompleks dan berbagai molekul dapat

menambah atau mengurangi secara dramatis aktivitas antibakteri dari

peroksidase sistem. Untuk mendukung siklus halogenasi diperlukan dalam

aplikasi antimikroba in vitro dan in vivo, beberapa poin harus diperhitungkan:

untuk menghindari Kehadiran pesaing untuk iodida atau tiosianat untuk

mengikat untuk Senyawa I dan untuk menghindari kehadiran inhibitor enzim

atau molekul aktif, untuk menghindari kelebihan Konsentrasi H2O2 yang

mampu merusak enzim dan bereaksi dengan yodium atau hipoiodit dengan

kehilangan molekul aktifl, untuk mendukung adanya hypoiodite bukan yodium

karena reaksi asosiasi yodium dengan iodida, untuk menghindari konsentrasi

tiosianat berlebih yang bisa menghambat pembentukan Compound I, untuk

menggunakan keseluruhan sistem (enzim + substrat) bukan molekul aktif

sendirian, untuk mendukung pH asam sedang ketika hipotiosianit adalah

molekul aktif, untuk bakterisida, fungisida, atau 10 Enzyme Research aplikasi

parasit, penggunaan iodida harus lebih disukai, penggunaan kombinasi dari

35
iodida dan tiosianat harus diperiksa dengan cermat untuk kemanjuran, dan

untuk mendukung peran kofaktor iodida atau tiosianat.

F. Penelitian Terkait

1. Penelitian terkait Chlorhexidine sebagai pembersih Mulut

Nicolosi LN, del Carmen Rubio M, Martinez CD, González NN, Cruz ME.

(2013) meneliti pada pasien pasca operasi kardiovaskuler menggunakan pasta

gigi dengan kandungan chlorhexidine 0,12% ditemukan Kejadian yang lebih

rendah dari VAP (2,7% [95% CI 0,7-7,8] dibandingkan yang tidak

menggunakan 8,7% [95% CI 4,9-14,7], P = 0,04) dan tinggal di rumah sakit

yang lebih pendek (9 ± 3 d [95% CI 8.5-9,5 ] vs 10 ± 4 d [95% CI 9.4-10.7],

diamati pada Kelompok 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam semua

penyebab kematian di rumah sakit yang diamati antar kelompok (5,3% vs 4,7%,

P> 0,99). Risiko untuk mengembangkan pneumonia setelah operasi adalah 3

kali lipat lebih tinggi di Grup 2 (3.9, 95% CI 1.1-14.2).

Beraldo CC, Andrade Dd (2008) melakukan meta-analisis dan uji klinis

acak diindeks dalam Analisis Medis dan Sistem Pengambilan dan Indeks

Kumulatif ke database Keperawatan mengenai penggunaan topikal

chlorhexidine dalam pencegahan VAP. Ditemukan 87,5% Chlorhexidine

mengurangi kolonisasi orofaring, dan dalam empat 50% ada pengurangan VAP.

Chlorhexidine tampaknya mengurangi kolonisasi, sehingga mengurangi

kejadian VAP.

36
Richards D (2013) menyebutkan Oral Hygiene efektif untuk pasien yang

terpasang Ventilator dalam perawatan intensif. Oral Hygiene yang mencakup

obat kumur chlorhexidine atau gel dikaitkan dengan penurunan 40% kejadian

pneumonia terkait ventilator pada orang dewasa yang sakit kritis. Namun, tidak

ada bukti perbedaan hasil mortalitas, durasi ventilasi mekanik atau durasi

tinggal di ICU. Tidak ada bukti bahwa Oral Hygiene termasuk CHX dan

menyikat gigi berbeda dari Oral Hygienedengan CHX saja, dan beberapa bukti

lemah yang menunjukkan bahwa obat kumur povidone iodine lebih efektif

daripada saline dalam mengurangi VAP.

2. Penelitian terkait Lactoperoxidase sebagai pembersih Mulut

Gil-Montoya, López I (2008) melakukan penelitian kualitatif pada Dua

puluh orang tua dengan mulut kering dan dengan tingkat kemandirian tertentu

untuk kegiatan kehidupan sehari-hari dimasukkan dalam studi percontohan ini.

Sebuah desain acak, dengan menggunakan double blind dan cross-over.

Variabel penelitian terdiri dari sensasi mulut kering subyektif, keparahan

ketidaknyamanan dinilai dengan menggunakan skala analog visual (VAS),

Profil Dampak Kesehatan Oral Oral Health Impact Profile (OHIP), adanya

tanda dan gejala mulut kering, sialometry dan terpapar Candida albicans. Semua

variabel dicatat sebelum dan sesudah masing-masing dari dua periode penelitian.

Sampel penelitian dilakukan pada 20 subjek terdiri dari 16 wanita dan 4 orang

pria yang berusia rata-rata 81,3 tahun. Terjadi peningkatan cairan mulut (saliva)

yang mempermudah proses pencernaan mulut. Obat kumur dengan kandungan

Lactoperoxidase, lysozyme dan lactoferrin yang dievaluasi meningkatkan

37
beberapa aspek subjektif dan klinis pada orang tua dengan mulut kering,

meskipun efek plasebo tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan.

Kirstilä V1, Lenander-Lumikari M, Söderling E, Tenovuo J (1996) meneliti

tentang pengaruh oral hygiene dengan produk pembersih mulut yang

mengandung Lactoperoxidase, lysozyme dan lactoferrin pada komposisi

saliva utuh dan gejala oral subjektif pada pasien dengan xerostomia. Penelitian

ini mengevaluasi efek dari dua produk kebersihan mulut yang mengandung

agen antimikroba nonimmunoglobulin pada seluruh air liur dan pada gejala oral

subjektif pada pasien dengan xerostomia. 20 pasien menggunakan pasta gigi

yang mengandung sistem laktoperoksidase (Biotene) dikombinasikan dengan

penggunaan obat kumur (Biotene), yang juga mengandung lisozim dan

laktoferin, selama 4 minggu. Sampel air liur dikumpulkan pada garis dasar,

setelah 4 minggu penggunaan produk, dan pada akhir periode pencucian 4

minggu. Sampel dianalisis untuk faktor biokimia dan mikrobiologi yang dipilih.

Efek pada gejala oral subjektif juga dicatat. Penggunaan pasta gigi dan obat

kumur setiap 4 minggu mengurangi gejala kekeringan mulut pada 16 pasien.

Tingkat aktivitas salivariosianit, lysozyme, laktoferin, atau myeloperoxidase

saliva tidak berubah, tetapi ada penurunan pH saliva yang signifikan (P <0,05),

aktivitas peroksidase total (P <0,05), dan kandungan protein total (P = 0,01) .

Pada pasien dengan tingkat aliran saliva terendah (n = 5) peningkatan yang

signifikan (P> atau = 0,04) terdeteksi pada konsentrasi salivariosianit saliva.

Tidak ada perubahan besar yang terjadi pada mikroflora saliva.

38
Olivia Lim (2014) melakukan penelitian tentang efek pembersih mulut

terhadap pH saliva manusia. Maksud dari eksperimen ini adalah untuk

mendapatkan tidak pasti apakah obat kumur memiliki efek pada pH dan

peroksidase tingkat dalam air liur manusia. Tingkat laktoperoksidase dan pH

diukur dari sampel saliva diminum sebelum dan sesudah obat kumur dan dicatat.

Pada Gambar 1 membandingkan tingkat pH sebelum dan setelah obat kumur, 4

dari 6 sampel menunjukkan penurunan tingkat pH. 1 dari 6 menunjukkan

sebuah peningkatan pH. 1 dari 6 menunjukkan tidak ada perubahan pH.

Kemudian penelitian membandingkan tingkat Laktoperoksidase sebelum dan

sesudah obat kumur, 6 dari 6 sampel menunjukkan peningkatan

Lactoperoxidase.

Jones, dkk (2018) melakukan penelitian tentang efek antimikroba

pembersih mulut yang mengandung Lactoperoxidase dibandingkan larutan

saline sebagai pembersih biofilm bakteri (koloni bakteri). Kesimpulan dari

penelitian ini menunjukkan pembersih mulut yang mengandung

Lactoperoxidase terbukti efektif dalam membersihkan biofilm bakteri

dibandingkan dengan larutan saline.

39
Tabel 2.3 Efektifitas Pembersih mulut berbasis lactoperoxidase

dibandingkan Normal saline

Sumber : Jones dkk (2014)

40
G. Kerangka Teori

Gagal Napas Gagal Jantung Apnea Hipoksemia Hiperkarbia

Elevasi Kepala

Terpasang Ventilator

Profilaksis DVT

Pencegahan VAP

Tidak terjadi VAP

Profilaksis
Mengalami Komplikasi Ulkus Peptikum

Weaning

VAP

Oral Hygiene

41
Lactoperoxidase Penggunaan CHX

Efek Samping

Sumber : Kalanuria, Zai, Mirski (2014), Lynch (2013), Munro & Reggio

(2014), Salma Basyigit (2017) dan Shocker, 2008

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka Konsep merupakan diagram sederhana yang menunjukkan variabel dan

hubungan antara variabel. Kerangka konsep harus bisa menerangkan maksud dan

tujuan peneliti sehingga perlu dilengkapi dengan keterangan yang diperlukan

(Dahlan, 2009). Notoadmodjo (2012) menjelaskan bahwa kerangka konsep

penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep

satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang

lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang

ingin diteliti.

Variabel Independen

Oral Hygiene dengan


CHX
42
Variabel Dependen

VAP
Variabel Independen

Oral Hygiene dengan


LPO

Dari kerangka Konsep diatas, penulis ingin mengetahui bagaaimana keefektifan

Lactoperoxidase dibandingkan dengan Chlorhexidine dalam mencegah terjadinya

VAP pada pasien dengan Ventilator.

B. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dibuat berdasarkan teori 39yang relevan. Hipotesis selanjutnya harus

dibuktikan terlebih dahulu dengan cara pengumpulan data. dan kemudian dianalisis

untuk menemukan jawaban sesungguhnya. Penelitian yang menggunakan hipotesis

adalah penelitian kuantitatif. Sementara pada penelitian kualitatif tidak

menggunakan hipotesis, melainkan diharapkan dapat menemukan hipotesis yang

selanjutnya dapat diuji dengan metode kuantitatif (Sugiono, 2009).

Adapun hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis

komparatif.

43
1. H0 : Tidak ada perbedaan efektifitas Oral Hygiene dengan menggunakan

Lactoperoxidase dibandingkan dengan menggunakan Chlorhexidine dalam

pencegahan VAP di RSUD Pasar Minggu.

2. H1 : Ada perbedaan efektifitas Oral Hygiene dengan menggunakan

Lactoperoxidase dibandingkan dengan menggunakan Chlorhexidine dalam

pencegahan VAP di RSUD Pasar Minggu.

C. Definisi Operasional

Definisi Operasional bermanfaat untuk membatasi ruang lingkup atau

pengertian variabel-variabel yang diteliti dan untuk mengarahkan kepada

pengukuran atau pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta

pengembangan instrumen (Notoatmojo, 2012). penelitian ini menggunakan 5

variabel yaitu suhu, leukosit, produksi sputum, hasil rontgen dada dan hasil kultur

sputum

Tabel 3.1

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Oral Hygiene Tindakan Oral hygiene Setelah 72 Jam perawatan dan Formulir > 6 maka pasien Ordinal
dengan yang dilakukan pada dilakukan oral hygiene dengan CPIS dinyatakan VAP
Chlorhexidine pasien terpasang menggunakan Chlorhexidine.
ventilasi mekanik Pasien akan dinilai suhu ≤6 maka pasien
dengan menggunakan tubuh, Nilai Leukosit, dinyatakan tidak
Chlorhexidine Produksi Sputum, gambaran VAP
Rontgen, dan hasil kultur
sputum

44
Oral Hygiene Tindakan Oral hygiene Setelah 72 Jam perawatan dan Formulir > 6 maka pasien Ordinal
dengan yang dilakukan pada dilakukan oral hygiene dengan CPIS dinyatakan VAP
Lactoperoxidase pasien terpasang menggunakan
ventilasi mekanik Lactoperoxidase. Pasien akan ≤6 maka pasien
dengan menggunakan dinilai suhu tubuh, Nilai dinyatakan tidak
Lactoperoxidase Leukosit, Produksi Sputum, VAP
gambaran Rontgen, dan hasil
kultur sputum

VAP Ventilator Aquired Dengan menggunakan ormulir VAP Nominal


Pneumonia (VAP) Formulir CPIS, pasien ICU CPISi
merupakan infeksi yang terpasang ventilasi Tidak VAP
nosokomial paling mekanik dapat dinilai apakah
umum ditemukan pada mengalami VAP, dengan skala
pasien dengan keadaan penilaian >6
kritis pada pasien yang
terpasang ventilasi
mekanik ditandai
dengan demam,
leukositosis, dan sekresi
trakheobrochial purulen
yang biasanya terinfeksi
dalam waktu 48 jam
setelah pemasangan
ventilasi mekanik.

BAB 4

45
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Peneliti memilih

eksperimen semu, karena peneliti menggunakan subyek yang telah ada dalam ruang

perawatan ICU dan tidak mengacak subyeknya. Penelitian ini dilakukan dengan

memberikan perlakuan kepada kedua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan

Kelompok Eksperimen. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan kuantitatif

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah control group

pretest-posttest design.

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menetapkan

kelompok yang akan dijadikan kelompok eksperimen yaitu Oral Hygiene dengan

menggunakan Chlorhexidine dan Oral Hygiene menggunakan Lactoperoxidase.

Desain Control Group Pretest-Posttest Design dapat digambarkan sebagai

berikut

Tabel 4.1 Desain Control Group Pretest-Posttest Design

Kelompok Tes Awal Perlakuan Tes Akhir

Kelompok 1 O1 X1 O2

Kelompok 2 O1 X2 O2

46
Keterangan

Kelompok 1 : Kelompok eksperimen oral hygiene dengan menggunakan

Lactoperoxidase

O1 : Pretest (diagnosis awal dengan mengggunakan CPIS)

X1 : Pemberian perlakuan

O2 : Posttest (dengan menggunakan CPIS)

Kelompok 2 : Kelompok Eksperimen oral hygiene dengan menggunakan

Chlorhexidine

O1 : Pretest (diagnosis awal dengan mengggunakan CPIS)

X2 : Pemberian perlakuan

O2 : Posttest (dengan menggunakan CPIS)

Berdasarkan desain di atas, penelitian ini dilakukan ada kelompok, yaitu

Kelompok eksperimen oral hygiene dengan menggunakan Lactoperoxidase

Kelompok Eksperimen oral hygiene dengan menggunakan Chlorhexidine.

O1- - - - - - - -X1- - - - - - O2

O1- - - - - - - -X2- - - - - - O2

47
B. Populasi dan Sampel.

1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan sekumpulan objek yang memiliki kesamaan

karakteristik yang akan diteliti. Populasi penelitian merupakan keseluruhan

objek yang akan diteliti ( Notoadmodji, 2012). Populasi sampel ini adalah

Pasien ICU RSUD Pasar Minggu yang terpasang Ventilator selama 3 bulan

mulai dari 15 Nopember 2018 sampai dengan 15 Januari 2019. Adapun jumlah

pasien ICU RSUD Pasar Minggu yang terpasang Ventilator selama 3 bulan

terakhir Agustus-Oktober 2018 adalah sebanyak 120 Psien.

2. Sampel penelitian

Sampel adalah bagian kecil dari populasi yang kan diteliti. Cara pemilihan

sampel bermacam-macam, seperti pemilihan sampel random, sistematik,

berurutan, total sampling, convenience, dan sebagainya (Sastroasmoro,2011).

Adapu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah

sebagai berikut

a. Kiteria Inklusi

1) Pasien-pasien ICU yang baru masuk dan terintubasi di ICU sesuai

indikasi medis selama <42 Jam. U

2) Usia produktif (20-55 th),

3) keluarga yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

48
b. Kriteria eksklusi

1) pasien lansia (>60th),

2) pasien dengan riwayat PPOK,

3) Pasien dengan riwayat re-intubasi,

4) Pasien dengan MDR TB,

5) Pasien dengan kontraindikasi dilakukan oral hygiene,

6) Pasien sepsis,

7) Keluarga pasien yang tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam

penelitian.

C. Waktu dan Tempat

Adapun lokasi dan tempat pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut

Tempat : ICU RSUD Pasar Minggu

Waktu : Mulai 15 November 2018 sampai dengan 15 Januari 2019

Penelitian ini dilakukan disesuaikan dengan pasien yang menggunakan


ventilator kurang dari 48 jam sebanyak 10 pasien untuk masing-masing
kelompok.

D. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan surat ijin permohonan

penelitian kepada pihak RSUD Pasar Minggu dengan memperhatikan etika

penelitian, yang meliputi (Hidayat, 2007):

49
1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent

tersebut diberikan sebelum penelitian dengan memberikan lembar persetujuan

kepada keluarga pasien untuk menjadi responden. Tujuannya adalah supaya

subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Jika subjek bersedia, maka

responden harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak

bersedia, maka peneliti harus menghormati hak responden.

2. Anonimity

Dalam penggunaan subjek penelitian dilakukan dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar CPIS dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan.

3. Confidentiality

Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan responden. Hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

E. Alat Pengumpulan Data

50
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dengan teknik

pengumpulan data menggunakan lembar observasi CPIS. Secara umum lembar

CPIS berisi 6 parameter diagnosis VAP.

Tabel 4.2 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

Parameter Hasil Skor

Suhu (dalam Celcius) 36,5-38,40C 0

51
38,5-38,90C 1

>38,90C 2

Leukosit darah 4000-11000/ mm3. 0

<4000 atau>11000/ mm3 1

>500 sel/ mm3 Neutrofil 2

Produksi Sputum Tidak 0

Ringan non purulen 1

Purulen 2

Hasil Rontgen (tidak Tidak ada Infiltrat 0

termasuk CHF dan


Terdapat Infiltrat 1
ARDS)
Terdapat Infiltrat yang mengumpul 2

Pa02/Fi02 >240 0

<240 2

Hasil Kultur Sputum Tidak ada/ pemeriksaan belum selesai 0

1
Ada

Sumber: Salma Basyigit (2017)

52
F. Prosedur Pengumpulan Data

Adapun prosedur dari rancangan penelitian diatas dari sebelum penelitian

sampai akhir penelitian adalah sebagai berikut :

1. Tahap I

a. Merumuskan masalah dan tujuan penelitian.

b. Menentukan Rumah sakit yang akan dijadikan sebagai tempat

penelitian.

c. Menghubungi pihak rumah sakit dan menghubungi kepala instalasi

Critical Unit.

d. Membuat surat izin penelitian

e. Menentukan sampel penelitian

f. Menyiapkan bahan dan materi penelitian.

g. Konfrensi dengan Tim ICU terdiri atas Dokter jaga, Kepala ruangan,

Katim, PJ Shift dan Pelaksana di ICU RSUD Pasar Minggu terkait

rencana dan teknis penelitian.

2. Tahap II

a. Meminta persetujuan keluarga pasien yang akan dijadikan subjek

penelitian.

53
b. Melaksankan Pretest dengan menggunakan formulir CPIS pada pasien

subjek penelitian.

c. Memberikan perlakuan pada sampel penelitan dengan bekerja sama

dengan personil ICU RSUD Pasar Minggu tiap shift nya

d. Melaksanakan post testd engan menggunakan formulir CPIS pada

pasien subjek penelitian setelah 3 hari perlakuan.

3. Tahap II

a. Mengolah dan menganalisis data hasil posttest

b. Menganalisis hasil penelitian

c. Menarik kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan

data untuk menjawab permasalahan penelitian.

Populasi

Pretest Pretest

Sampel
Perlakuan Perlakuan

Posttest Posttest

Hasil A Pengumpulan Data Hasil B

Pengolahan & Analisis Data

Kesimpulan

54
G. Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data meliputi :

1. Editing : memeriksa data terlebih dahulu, mengecek kelengkapan identitas

subjek penelitian, mengecek kelengkapan data, dan mengecek isian data.

2. Coding : memberikan kode jawaban dengan angka atau kode lain seperti

simbol-simbol tertentu pada setiap jawaban.

3. Tabulasi : memberikan skor pada item-item yang perlu diberikan skor,

menjumlahkan skor yang ada pada lembar observasi, mengubah jenis data

dan disesuaikan dengan teknik analisis yang digunakan.

4. Input data : memasukkan data yang telah diedit dan dinilai dengan

menggunakan perangkat computer dengan program SPSS.

H. Analisis Data

Data yang mendukung penelitian ini adalah data ordinal (pre-post test). Atas

dasar tersebut maka data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan uji statistik

Nonparametrik yaitu uji Wilcoxon Sign Test dengan batas kemaknaan p < 0,05 dan

uji dibantu dengan program SPSS 15 (Handoko, 2008), selanjutnya dilakukan

pembuatan laporan penelitian.

55
Uji Wilcoxon

Keterangan :

z : distribusi hitung z

T* : uji wilcoxon dngan koreksi

N : jumlah sampel

∑t :banyaknya selisih mutlak yang berangka sama untuk peringkat tertentu

Daftar Pustaka

Ali, S. N. (2013). Critical Care Nurses ’ Knowledge and compliance with Ventilator
Associated Pneumonia bundle at Cairo University Hospitals. Journal of
Education and Pr, 4(15), 66–78.

Abdulkareem. (2014). Nurse Practice Concering Mouthcare For Unconscious Or


Debilitated Patient, INJCTR, 104-108.

American Thoracic Society. (2005). Mechanical ventilation. American Journal


Respiratory Critical Care. Vol 172 P1

56
Amoian, B., Omidbakhsh, M., Khafri, S. (2017).The Clinical Evaluation Of Vi-One
Chlorhexidine Mouthwash On Plaque-Induced Gingivitis: a Double-Blind
Randomized Clinical Trial, Electronic Physician (ISSN: 2008-5842),
5223-5228.

Brooker, C. (2008). Ensiklopedia keperawatan, (edisi Bahasa Indonesia), alih


bahasa Andry hartono et al. Jakarta: EGC

Centers for Disease Control & Prevention. (2018). Pneumonia Ventilator-associated


VAP] and non-ventilator-associated Pneumonia [PNEU]) Event. Device
Assosiated Module. 1-15

Chastre, J.,& Fagon J. Y.(2002). Ventilator-associated Pneumonia. Am J Respir


Crit Care Med Vol 165. 867-903.http://0.1164/rccm.2105078
Darmadi. 2008.Infeksi Nosokomial : Problematika Dan Pengendaliannya. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika

Deden, K. (2015). Ventilation modes in intensive care, 0–72. Retrieved from


http://www.draeger.com/sites/assets/PublishingImages/Products/savina-
300/UK/9066477-Booklet-Nomenklatur-engl-161111.pdf

F. Bafort,O. Parisi,J.-P. Perraudin, & M. H. Jijakli. (2014). Mode of Action of


Lactoperoxidase as Related to Its Antimicrobial Activity: A Review. Hindawi
Publishing Corporation. http://dx.doi.org/10.1155/2014/517164

Gomes, P. V. R. (2010). Knowledge of intensive care nurses on evidence based


guidelines for prevention of ventilator associated pneumonia, 1–166

Jones S. B. , West N. , Nesmiyanov P. P. , Krylov S. E. , Klechkovskaya V. V.,


Arkharova, N. A. & Zakirova S. A. (2018). The antibacterial efficacy of a
foam mouthwash and its ability to remove biofilms. BDJ Open (2018) 4:17038;
https://doi.org/10.1038/s41405-018-0005-5

57
Kalanuria A. A., Zai W., & Mirski. (2014). Ventilator-associated pneumonia in the
ICU. Critical Care 2014. 1-8

Kalanuria, A. A., Zai, W., & Mirski, M. (2014). Ventilator-associated pneumonia in


the ICU. Critical Care (London, England), 18(2), 1–8.
http://doi.org/10.1186/cc13775

Lambert, M.-L., Palomar, M., Agodi, A., Hiesmayr, M., Lepape, A., Ingenbleek, A.,
Frank, U. (2013). Prevention of ventilator-associated pneumonia in intensive
care units: an international online survey. Antimicrob Resist Infect Control,
2(1), 1. http://doi.org/10.1186/2047-2994-2-9

Lawrence P., Fulbrook P., (2010). The ventilator care bundle and its impact on
ventilator-associated pneumonia: a review of the evidence. BACCN Nursing In
Critical Care. Vol 16 No. 5. 222-232

Lynch, S. (2013). Mechanical Ventilation for the Adult. AMN Healthcare Educatio
Services

Meller W., Schubert, Schwahn, A Kramer and Below H. (2009). Effect Of


Lactoperoxidase On The Antimicrobial Effectiveness Of The Thiocyanate
Hydrogen Peroxide Combination In a Quantitative Suspension Test. BMC
Microbiology

Munro, N., & Ruggiero, M. (2014). Ventilator-Associated Pneumonia Bundle.


AACN Advanced Critical Care, 25(2), 163–175.
http://doi.org/10.1097/NCI.0000000000000019.

Reyes, Ruppert, Yun S., Shiao P. (2007). Evidence-Based Practice: Use Of The
Ventilator Bundle To Prevent Ventilator-Associated Pneumonia American
Journal Of Critical Care, January 2007, Volume 16, No. 1, 20-27.

58
Selma Basyigit. (2018). Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) as a Screening
Tool in Ventilatory Associated Pneumonia (VAP). The Medical Bulletin of
Sisli Etfal Hospital, Volume: 51, Number 2, 2017. 133-141.

59
60

Anda mungkin juga menyukai