Anda di halaman 1dari 27

1

Proposal Penelitian

FAKTOR RISIKO TERJADINYA HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA


DI RSUP.DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
PERIODE OKTOBER 2018 - OKTOBER 2019

Oleh
Juanita Aileen Widodo
C 110215105

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
2

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru.


Menurut Kollef et.al. Selain community-acquired pneumonia (CAP) yang disebabkan
oleh patogen umum seperti Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae,
Haemophillus influenza, dan lain lain, terdapat kategori Health-care associated
pneumonia (HCAP) dan Hospital-acquired pneumonia (HAP). Health-care
associated pneumonia (HCAP) adalah infeksi yang dimana pada pasien ditemukan
kultur positif bakteri pernafasan selama 2 hari setelah perawatan di pelayanan
kesehatan, hemodialisis jangka panjang, atau perawatan di rumah sakit 30 hari
sebelumnya tanpa penggunaan ventilator. Sedangkan Hospital-acquired pneumonia
(HAP) dapat dibagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Ventilator-associated pneumonia
(VAP) dan Non-ventilator associated pneumonia (NVHAP). VAP adalah kasus
infeksi pneumonia yang berhubungan langsung dengan intubasi endotrakeal yang
dihubungkan dengan ventilator mekanik untuk membantu proses pernapasan pasien,
dan ditemukan positif bakteri lebih dari 48-72 jam setelah pemasangan ventilator.
Kasus NVHAP terjadi pada instalasi rawat inap dan terjadi pada pasien yang tidak
menggunakan ventilator, ataupun ditemukan positif bakteri pada pasien dengan
ventilator selama kurang dari 48 jam setelah pemasangan (Connelly, 2009).
Patogen yang menyebabkan HAP berbeda dengan patogen yang menyebabkan
infeksi CAP. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan antibotik berlebih dan tidak
rasional, serta penggunaan terapi immunomodulator yang mulai berkembang.
ATS menyebutkan bahwa onset infeksi HAP adalah variabel epidemiologis
penting dan merupakan faktor risiko untuk patogen spesifik, serta berpengaruh pada
prognosis pasien. Early-onset HAP merupakan infeksi yang terjadi pada 4 hari
pertama perawatan, biasanya memiliki prognosis yang lebih baik dan kebanyakan
disebabkan oleh bakteri yang sensitif terhadap antibiotik. Late-onset HAP adalah
infeksi yang terjadi pada hari ke-5 perawatan dan seterusnya, kebanyakan disebabkan
oleh bakteri multi-drug resistant (MDR) yang meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas pasien.
3

HAP merupakan infeksi nosokomial dengan jumlah tertinggi kedua di


Amerika Serikat, dan berhubungan langsung dengan peningkatan angka mortalitas,
morbiditas, serta kenaikan biaya perawatan. Insidensi cukup tinggi, antara lain antara
5 sampai dengan 15 kasus per 1.000 pasien, ditambah jumlah yang meningkat 6-20
kali pada pasien yang dirawat di layanan Intensive Care Unit (ICU) dan menggunakan
ventilator. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa HAP menyebabkan lama
perawatan pasien di rumah sakit bertambah rata-rata 7-9 hari. Namun, Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia menyebutkan, angka kejadian infeksi HAP yang sebenarnya
terjadi di Indonesia tidak diketahui, karena balum ada studi komprehensif secara
nasional, dan hanya terdapat studi-studi yang dilakukan oleh beberapa rumah sakit
pemerintah dan swasta.
Tingkat mortalitas infeksi HAP adalah sekitar 30- 70%, namun pada pasien
kritis, kebanyakan kematian disebabkan oleh penyakit dasar kronis daripada infeksi
tersebut. Penyakit dasar tersebut merupakan faktor komorbiditas HAP, seperti chronic
heart disease, cerebrovascular disease, neoplastic disease, serta keadaan umum yang
lemah (Miyashita, 2012). Menurut Fortaleza et.al.(2009) terdapat beberapa faktor
komorbiditas terjadinya HAP yang bermakna, antara lain adalah penyakit pada sistem
saraf pusat dan ginjal. Sedangkan menurut Kollef et.al. (2005), penyakit
kardiovaskular dan immunocompromized juga menjadi faktor komorbiditas yang
signifikan.
Infeksi nosokomial, dalam hal ini HAP, berpengaruh pada length of stay atau
masa rawat inap pasien dan pada akhirnya berhubungan dengan biaya perawatan
pasien. Penelitian Glance et.al. (2011) menyebutkan bahwa infeksi nosokomial,
termasuk HAP, berpengaruh secara signifikan dengan masa rawat inap dan biaya yang
dikeluarkan pasien untuk perawatan. Selain itu, tingginya prevalensi HAP dan
dampak signifikan pada masa rawat inap dan terapi menjadikan HAP salah satu kunci
dalam penentuan total biaya perawatan (Baker et.al, 2000).
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko
mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar
berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan
pejamu yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan
inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan
faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Patogen penyebab HAP adalah
4

bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal
sebanyak < 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri
tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi HAP.

Faktor risiko pada HAP sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:

1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh

Penyakit kronik, perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat
tidur, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur pasien, pengobatan steroid, pengobatan
antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat di luar
paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta bronkiektasis

2. Faktor eksogen adalah :

a. Pembedahan :

Besar risiko kejadian HAP tergantung pada jenis pembedahan, yaitu


torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah
(5%).

b. Penggunaan antibiotik :

Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama


antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob
di saluran pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan
penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan.
Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring
melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram
negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri
gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.

c. Peralatan terapi pernapasan

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas


aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.

d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi


enteral.

Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung


karena asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh
bakteri yang tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang
5

mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram


negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral
6,4 - 7,0.

e. Lingkungan rumah sakit

Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan


prosedur. Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai
prosedur, seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian mengenai latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: Bagaimana hubungan faktor risiko terhadap
kejadian pada pasien Hospital- Acquired Pneumonia (HAP) di RSUP Dr. Wahidin
SudiroHusodo Makassar ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan faktor resiko yang terjadi pada pasien HAP di RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo pada bulan Oktober 2018- oktober 2019.
1.3.2 Tujuan khusus
 Mengevaluasi prevalensi HAP di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
 Mengevaluasi masa rawat inap pada pasien HAP di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar.
 Menilai faktor resiko yang terjadi pada pasien HAP di RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo.
 Menilai hubungan antara faktor resiko endogen dan eksogen dengan pasien HAP di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Umum

Meningkatkan kewaspadaan terhadap faktor risiko HAP dan kemungkinan-


kemungkinan yang akan terjadi, seperti masa perawatan di rumah sakit serta
hubungannya dengan biaya perawatan.
6

1.4.2 Manfaat Khusus

Dapat menjadi bahan evaluasi mengenai masa rawat inap kasus HAP yang dalam hal
ini akan berpengaruh pada tingkat perputaran tempat tidur (bed turn over) rumah
sakit dan kapasitas perawatan.

Memberikan gambaran lebih jelas mengenai hubungan faktor resiko pada pasien
HAP, dan juga dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.
7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia


yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di
Amerika Serikat, hal ini berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan, kematian
dan biaya perawatan di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000
pasien yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada pasien yang
memakai alat bantu napas mekanis.

Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian ini meningkat
pada pneumonia yang disebabkan P.aeruginosa atau yang mengalami bakteremia
sekunder. Angka kematian pasien pada pneumonia yang dirawat di istalansi perawatan
intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan dengan pasien tanpa pneumonia. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan pasien
tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Di
Amerika Serikat dilaporkan bahwa lama perawatan bertambah rata-rata 7-9 hari. Angka
kejadian pneumonia nosokomial di Jepang adalah 5 – 10 per 1000 kasus yang dirawat.
Lebih kurang 10% pasien yang dirawat di IPI akan berkembang menjadi pneumonia dan
angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang menggunakan alat bantu napas
meningkat sebesar 20 – 30%. Angka kejadian dan angka kematian pada umumnya lebih
tinggi di rumah sakit yang besar dibandingkan dengan rumah sakit yang kecil.

Epidemiologi Studi prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World Health


Organization (WHO) pada 55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO
(Eropa, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat) mendapatkan rerata 8,7%
pasien rumah sakit mengalami infeksi nosokomial. Dari hasil survei tersebut didapatkan
frekuensi tertinggi infeksi nosokomial dilaporkan oleh rumah sakit di wilayah
Mediterania Timur dan Asia Tenggara berturut-turut 11,8% dan 10,0%, sedangkan
prevalensi di wilayah Eropa dan Pasifik Barat berturut-turut 7,7% dan 9,0%. Di
Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004
menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi nosokomial. 12 Kasus
terbanyak infeksi nosokomial terjadi di negara miskin dan negara berkembang karena
penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Penelitian oleh yang
dilakukan pada tahun 1997 memperoleh prevalensi terkecil infeksi nosokomial yang
ditemukan pada beberapa negara di Eropa dan Amerika berkisar kurang dari 1%,
8

sedangkan prevalensi tertinggi ditemukan pada negara di Asia, Amerika Latin, Afrika
bagian Sahara sebesar 40%.1, 5 7 Di ruang rawat intensif, infeksi nosokomial lebih
sering terjadi dibandingkan dengan di bangsal rawat biasa. Secara universal di seluruh
dunia, 5%-10% pasien memperoleh infeksi nosokomial, 20%-30% pasien tersebut
merupakan pasien yang menjalani perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Penelitian
dari berbagai universitas di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pasien ICU
mempunyai kekerapan infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi. Systematic review of the
literature conducted by WHO menyatakan bahwa prevalensi tertinggi infeksi
nosokomial adalah ICU sebesar 28,2%, surgery sebesar 26,4%, mixed population
sebesar 23,6%, pediatrics sebesar 18,2%, dan other high risk patient sebesar 3,6%.
Angka infeksi nosokomial pada bangsal anak terjadi paling tinggi pada umur kurang dari
1 tahun. Angka infeksi tertinggi (terutama infeksi sistemik) terjadi di NICU (neonatal
intensive care) karena risiko infeksi bertambah tinggi (misal pada bayi berat badan lahir
rendah). Bayi prematur 500-1000 gram jika mereka hidup mempunyai risiko tinggi
untuk infeksi.

DEFINISI

Pneumonia nosokomial (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam
dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk
rumah sakit.

ETIOLOGI

Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti.

Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance
(MDR) misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive Staphylococcus
aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin
Resistance Staphylococcus aureus (MRSA).

Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, kuman anaerob dan virus jarang terjadi.
Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui
disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari
beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi.
9

Data dari RS Persahabatan dan RS Dr. Soetomo (lihat Lampiran I) hanya menunjukkan
pola kuman yang ditemukan di ruang rawat intensif. Data ini belum dapat dikatakan
sebagai infeksi nosokomial karena waktu diagnosis dibuat tidak dilakukan foto toraks
pada saat pasien masuk ruang rawat intensif.

Bahan pemeriksaan untuk menentukan bakteri penyebab dapat diambil dari dahak,
darah, cara invasif misalnya bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi aspirasi
transtorakal dan biopsi aspirasi transtrakea.

Patogenesis

pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti. Pneumonia


terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat rute
masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu :

1. Aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus neurologi.

2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien

3. Hematogenik

4. Penyebaran langsung Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi


mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial.

Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas
bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu yang gagal membersihkan inokulum
dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi
antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan.

Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram negatif dan


Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%. Kolonisasi di
saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik awal yang
penting untuk terjadi pneumonia.

Faktor predisposisi atau faktor resiko pneumonia nosokomial

Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:

1. Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh Penyakit kronik , perawatan di rumah
sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut,
1
0

pengobatan steroid, pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok
hemoragik, infeksi berat di luar paru dan cidera paru akut (acute lung injury) serta
bronkiektasis

2. Faktor eksogen adalah :

a. Pembedahan : Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis


pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen
bawah (5%).

b. Penggunaan antibiotik : Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama


antibiotik yang aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan.

Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin mempengaruhi flora normal di


orofaring dan saluran pencernaan. Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora
normal di orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram
negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif
dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.

c. Peralatan terapi pernapasan Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri
Pseudomonas aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.

d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi enteral Pada


individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena asam lambung
dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang tertelan. Pemberian antasid /
penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri
gram negatif aerobik di lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.

e. Lingkungan rumah sakit

• Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur

• Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur, seperti alat bantu
napas, selang makanan, selang infus, kateter dll

• Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi Faktor risiko kuman MDR
penyebab HAP dan VAP (ATS/IDSA 2004)

• Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir

• Dirawat di rumah sakit ≥ 5 hari

• Tingginya frekuensi resisten antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit tersebut •


1
1

Penyakit immunosupresi dan atau pemberian imunoterapi

Klasifikasi dan kriteria infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial di ruang rawat intensif Unit perawatan intensif pediatrik (PICU)
berbeda dari unit perawatan intensif dewasa (ICU). Terdapat lebih sedikit pasien anak
dibandingkan pasien dewasa yang memiliki penyakit kronis ataupun degeneratif. Jika
pengobatan tersebut berhasil, sebagian besar pasien anak tersebut akan dapat hidup normal
dan produktif kembali.

Berkumpulnya pasien dengan penyakit berat di dalam satu ruangan yang relatif kecil
dan jumlah tenaga medis yang terbatas merupakan beberapa hal yang memudahkan
terjadinya transmisi bakteri dari orang ke orang pada unit ini. Keberadaan pasien dengan
penyakit yang kronis dan akut sehingga memerlukan waktu perawatan lebih panjang juga
merupakan salah satu diantara beberapa penyebab infeksi nosokomial di unit rawat ini.

Lebih dari 20% infeksi nosokomial terjadi di unit rawat intensif. Salah satu penyebab
tingginya angka kejadian infeksi nosokomial di unit ini adalah adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi sistem pertahanan tubuh pasien. Terganggunya sistem pertahanan tubuh
tersebut dapat diakibatkan oleh adanya penyakit yang mendasari atau akibat intervensi
medis yang dilakukan pada pasien.

Infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang sangat berpengaruh yang


menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas pada unit rawat ini. Berdasarkan data dari
Krakenhaus infection Surveilance System (KISS) yang merupakan sistem surveilens ICU
Jerman, diketahui bahwa jenis infeksi di ICU anak atau pediatric ICU adalah infeksi
sistemik. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi nosokomial tipe infeksi sistemik adalah Staphylococcus dan
Enterococcus.

Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial di Indonesia 5 DIAGNOSIS Menurut kriteria dari The Centers for
Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :

1. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan menyingkirkan
semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit
1
2

2. Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :

• Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif

• Ditambah 2 diantara kriteria berikut:- suhu tubuh > 38o C - sekret purulen - leukositosis
Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS

1. Dirawat di ruang rawat intensif

2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 %
untuk mempertahankan saturasi O2 > 90 %

3. Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti


dari infiltrat paru

4. Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu :

• Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg)

• Memerlukan vasopresor > 4 jam

• Jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4 jam

• Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis

Pemeriksaan yang diperlukan adalah :

1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau induksi sputum
atau aspirasi sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasiliti memungkinkan
dapat dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan
dianggap bermakna jika ditemukan ≥ 106 colony-forming units/ml dari sputum, ≥ 105 – 106
colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube, ≥ 104 – 105 colony-forming
units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , ≥ 103 colony-forming units/ml dari sikatan
bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena kateter sentral . Dua set
kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan)
sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika
hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada
semua pasien pneumonia nosokomial harus dilakukan pemeriksaan kultur darah. Kriteria
dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan biakan yaitu bila
ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel epitel < 10 / lpk.

2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit


1
3

3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif.

Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan
bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL).

Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal. Kultur: diambil dari saluran napas bawah
(kuantitatif) dan pemeriksaan mikroskopis) Perbaikan klinis pada jam ke-48 – 72
Pertimbangkan penghentian antibiotik Kultur (+) Kultur (-)

• Penurunan antibiotik jika mungkin

• Obati selama 7 – 8 hari dan dievaluasi ulang Ya Cari:

• Patogen lain • Diagnosis lain • Infeksi lain • Komplikasi Kultur (-) Kultur (+) • Sesuaikan
terapi antibiotik

• Cari: komplikasi - patogen lain - diagnosis lain - Infeksi di tempat lain Tidak Hari ke-2 &
3 : pemeriksaan kultur dan nilai respons klinis (suhu, leukosit, fototoraks, oksigenasi,
sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ) Mulai terapi antibiotik secara empirik
sesuai algoritma dan data mikrobiologi lokal kecuali hasil pemeriksaan mikroskopis negatif
dan klinis pneumonia yang tidak terlalu mendukung Suspek HAP, VAP Gambar 2.
Ringkasan penatalaksanaan pasien HAP/VAP

Terapi Antibiotik

Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu
mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab,
perhitungkan pola resistensi setempat

2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara
pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian terapi
emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons
klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.

3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur
yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.

4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR

5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk
1
4

6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik apabila
respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik berdasarkan data
mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila terapi empirik telah
memberikan hasil yang memuaskan.

Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko
patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (mengacu ATS / IDSA 2004) Patogen
potensial Antibiotik yang direkomendasikan

• Streptocoocus pneumoniae

• Haemophilus influenzae

• Metisilin-sensitif Staphylocoocus aureus

• Antibiotik sensitif basil Gram negatif enterik - Escherichia coli - Klebsiella pneumoniae -
Enterobacter spp - Proteus spp - Serratia marcescens Betalaktam + antibetalaktamase
(Amoksisilin klavulanat) atau Sefalosporin G3 nonpseudomonal (Seftriakson, sefotaksim)
atau Kuinolon respirasi (Levofloksasin, Moksifloksasin)

Lama terapi

Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya
bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari
infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas.

Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 – 21


hari.

Respon terapi

Respons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons
klinis terlihat setelah 48 – 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah
jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah
ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik
mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka
penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-
eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai
hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti
usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain). Hasil
kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi
dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat
1
5

berupa: eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten.

Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang
diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada
pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan,
akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.
Penyebab Perburukan Ada beberapa penyebab perburukan atau gagal terapi, termasuk
diantaranya kasus-kasus yang diobati bukan pneumonia, atau tidak memperhitungkan faktor
tertentu pejamu, bakteri atau antibiotik, Beberapa penyakit noninfeksi seperti gagal jantung,
emboli paru dengan infark, kontusio paru , pneumonia aspirasi akibat bahan kimia diterapi
sebagai HAP. Faktor pejamu yang menghambat perbaikan klinis adalah pemakaian alat
bantu mekanis yang lama, gagal napas, keadaan gawat, infiltrat paru bilateral, pemakaian
antibiotik sebelumnya dan pneumonia sebelumnya. Faktor bakteri yang mempengaruhi hasil
terapi adalah jenis bakteri, resistensi kuman sebelum dan selama terapi terutama
P.aeruginosa yang diobati dengan antibiotik tunggal. Hasil buruk dihubungkan biasanya
dengan basil gram negatif, flora polimikroba atau bakteri yang telah resisten dengan
antibiotik. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh patogen lain seperti M.tuberculosis, jamur
dan virus atau patogen yang sangat jarang sehingga tidak diperhitungkan pada pemberian
antibiotik. Penyebab lain kegagalan terapi adalah komplikasi pneumonia seperti abses paru
dan empiema. Pada beberapa pasien HAP mungkin terdapat sumber infeksi lain yang
bersamaan seperti sinusitis, infeksi karena kateter pembuluh darah, enterokolitis dan infeksi
saluran kemih. Demam dan infiltrat dapat menetap karena berbagai hal seperti demam
akibat obat, sepsis dengan gagal organ multipel.

Penilaian kasus tidak respons Organisme yang salah

• Patogen resisten obat (bakteri, mikobakterium, virus, jamur)

• Pengobatan antibiotik yang tidak adekuat Salah diagnosis

• Gagal jantung • Emboli paru • ARDS • Perdarahan • Neoplasma Komplikasi • Empiema


atau abses paru • Kolitis • Enfeksi “occult” •

Berbagai kemungkinan penyebab tidak terjadi perbaikan klinis setelah pengobatan


antibiotik Evaluasi Kasus Tidak Respons Pada kasus-kasus yang cepat terjadi perburukan
atau tidak respons terapi awal perlu dilakukan evaluasi yang agresif mulai dengan mencari
diagnosis banding dan melakukan pengulangan pemeriksaan kultur dari bahan saluran napas
dengan aspirasi endotatrakeal atau dengan tindakan bronkoskopi. Jika hasil kultur terlihat
1
6

resisten atau terdapat kuman yang jarang ditemukan maka dilakukan modifikasi terapi. Jika
dari kultur tidak terdapat resistensi maka perlu dipikirkan proses noninfeksi. Pemeriksaan
lain adalah foto toraks (lateral dekubitus) USG dan CT scan dan pemeriksaan imaging lain
bila curiga ada infeksi di luar paru seperti sinusitis. Juga perlu dipikirkan terdapat emboli
paru dengan infark.

Pencegahan Pneumonia Nosokomial

1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung

• Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat menyebabkan


berkembangnya koloni abnormal di orofaring, hal ini akan memudahkan terjadi multi
drug resistant (MDR)

• Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk antibiotik parenteral


dan topikal menurut beberapa penelitian sangat efektif untuk menurunkan infeksi
pneumonia nosokomial, tetapi hal ini masih kontroversi. Mungkin efektif untuk
sekelompok pasien misalnya pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima
donor organ tetapi hal ini masih membutuhkan survailans mikrobiologi

• Pemakaian penyekat H2 direkomendasikan karena sangat melindungi tukak


lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2 dapat meningkatkan risiko pneumonia
nosokomial tetapi hal ini masih merupakan perdebatan.

• Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum misalnya


metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin dan kolonisasi bakteri
di lambung.

• Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza

2. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah

• Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 O ) tinggi untuk mencegah aspirasi
isi lambung

• Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis

• Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks gastro
esofagal

• Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk ke dalam
saluran napas bawah
1
7

• Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah sedikit melalui


selang makanan ke usus halus

3. Pencegahan inokulasi eksogen

• Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar, untuk
menghindari infeksi silang

• Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan pasien


misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll

• Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur • Pasien dengan
bakteri MDR harus diisolasi

• Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala misalnya selang
makanan , jarum infus dll

4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien

• Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi

• Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya

• Mobilisasi sedini mungkin

Prognosis

Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu

1.Koma waktu masuk

2. Perawatan di IPI

3. Syok

4. Pemakaian alat bantu napas yang lama

5. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral

6. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl

7. Penyakit yang mendasarinya berat

8. Pengobatan awal yang tidak tepat

9. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia,


Acinetobacter spp. atau MRSA)

10. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen
1
8

11. Gagal multiorgan

12. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan


perdarahan usus
1
9

BAB 3

KERANGKA TEORI
2
0

BAB 4

KERANGKA KONSEP

UMUR Jenis Kelamin

Lama
perawatan Meningkatkan
mikroorganism
e
HAP
Meningkatkan
Gizi INFEKSI PARENKIM
virulensi
PARU rae
PNEUMONIA
Penyakit yang di NON HAP
Aspirasi
derita
rae
Obat-obatan
Inhalasi
Tindakan

LINGKUNGAN

KETERANGAN :
Variabel Bebas Hubungan Variabel Bebas
Variabel Antara Hubungan Variabel Moderate
Variabel Moderate Hubungan Variabel random
Variabel Random Hubungan Variabel Tergantung
Variabel Tergantung
2
1

BAB 5

METODOLOGI PENELITIAN

5.1 Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan pendekatan


kasus kontrol untuk melihat gambaran faktor resiko yang terjadi pada pasien anak
dengan HAP.

5.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RS.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian di


dilakukan mulai bulan Oktober 2018 sampai Oktober 2019.

5.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien umur 1 bulan – <18 tahun yang terdiagnosis
HAP yang dirawat di RSUP Wahidin Sudirohusodo.

5.4 Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel pada penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan sampel adalah consecutive sampling yaitu
subjek penelitian diperoleh berdasarkan urutan masuknya ke rumah sakit.

5.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

5.5.1 Kriteria Inklusi

1. Penderita HAP

2. Umur 1 bulan sampai 18 tahun.

3.Bersedia menjadi sampel penelitian (mendapat izin dari orang tua) dan
menandatangani persetujuan informed consent.

5.5.2 Kriteria Eksklusi

1. Penderita yang masuk dengan CAP

2. Penderita yang di rawat kurang dari 48 jam

3. Penderita yang terpasang alat bantu napas atau mechanical ventilator

5.6 Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel ini menggunakan rumus untuk kasus kontrol. Bila ditetapkan
bahwa OR minimal yang dianggap bermakna secara klinis adalah 0,3. proporsi
2
2

kelompok kontrol sebesar 0,7 dengan tingkat kemaknaan sebesar 0,05 dan power
sebesar 80%, maka jumlah sampel:

n = (Z 2 x PQ + Z  (P1Q1) + (P2 Q2) )2


(P1 – P2 )2

Z = 1,96 Z = 0,842 RR = 1,4 P2 = 0,7 P1 = 1,4 x 0,7 = 0,875 .


P= 0,875 +0,7 = 0,787
2

n = ( 0,196  2 x 0,84x 0,16 + 0,842  (0,98 x 0,02) + (0,7 x 0,3) )2 = 30


(0,8758 –0,787)2

Jadi jumlah sampel untuk kelompok sampel dan kelompok kontrol masing-masing 30 sampel

5.6 Cara Kerja


1. Subjek penelitian adalah penderita HAP yang sudah teridentifikasi dan memenuhi syarat
inklusi dan eksklusi.
2. Subjek penelitian terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Kelompok penderita HAP
b. Kelompok penderita bukan HAP
3. Kedua kelompok ditelusuri melalui catatan medik mengenai umur, jenis kelamin, dasar
penyakit, tindakan operatif, lama perawatan, obat-obatan yang diterapi (antibiotik, PPI,
kortikosteroid), peralatan yang terpasang pada penderita.

5.7 Cara Penelitian


Pada setiap sampel dilakukan pencatatan dan pemeriksaan fisik:
a. Pengambilan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik:
b. Pemeriksaan Laboratorium dan penunjang lainnya
5.8 Alur Kerja
2
3

Seleksi sesuai criteria inklusi

KASUS HAP KONTROL TIDAK HAP

 Lama perawatan  Lama perawatan


 Penyakit yang di derita  Penyakit yang di derita
 Obat  Obat
 Tindakan  Tindakan

FAKTOR RISIKO + FAKTOR RISIKO - FAKTOR RISIKO + FAKTOR RISIKO -

5.9 Identifikasi variable


 Faktor risiko:
 Lama perawatan
 Penyakit yang di derita
 Obat
 Tindakan
 HAP
 Jenis kelamin
 Umur
 Gizi
 Teknik pemeriksaan
 Rekam medis

5.10 Klasifikasi Variabel


a. Variabel bebas adalah faktor-faktor risiko: umur merupakan variabel numerik, obat-obatan
adalah variabel kategorikal, peralatan yang terpasang pada penderita adalah variabel
kategorikal, penyakit dasar dan tidakan operasi merupakan variebel kategorikal, lama
perawatan adalah variabel numerik, Lingkungan adalah variabel kategorikal.
b. Variabel tergantung adalah penderita HAP dan tidak HAP yang merupakan variabel
kategorikal.
2
4

c. Variabel antara adalah proses kejadian HAP yang tidak diamati dan diukur.
d. Variabel kendali adalah gizi yang merupakan variabel kategorikal
e. Variabel random adalah jenis kelamin yang merupakan variabel kategorikal.

5.11 Definisi Operasional


 HAP adalah infeksi pneumonia oleh bakteri nosokomial yang terjadi lebih dari 48jam
setelah pasien di rawat di rumah sakit
 Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan berdasarkan data rekam medis
 Umur adalah usia kronologis berdasarkan tanggal pemeriksaan dikurangi tanggal lahir
yang di hitung dalam tahun
 Lama perawatan adalah waktu yang terjadi selama pasien dirawat di rumah sakit
sampai keluar rumah sakit.
 Penyakit yang di derita adalah penyakit yang menyebabkan pasien di rawat di rumah
sakit
 Gizi adalah keadaan gizi yang ditentukan berdasarkan parameter berat badan terhadap
tinggi badan sesuai standar NHCS untuk umur >5 tahun dan menurut WHO <5 tahun.
 Obat adalah terapi yang berikan kepada pasien berupa obat golongan antibiotik,
steroid dan H2 bloker.
 Tindakan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada pasien berupa infus,
pemasangan kateter NGT maupun kateter urine.
 Rekam medis adalah catatan yang berisi data medis dan data administratif pasien

Teknik pemeriksaan adalah suatu cara yang digunakan untuk mendiagnosa HAP dengan
pemeriksaan tanda klinis, pemeriksaan radiologi dan kultur darah dalam menentukan kuman
yang terdapat pada pasien.

5.12 Kriteria objektif


Status Gizi (menurut NCHS, untuk umur >5 tahun):
1. Gizi baik jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal menurut
tinggi badan aktual sesuai umur terletak diantara 90% sampai 110%
2. Gizi kurang jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal menurut
tinggi badan aktual sesuai umur terletak antara 70% sampai <90%
3. Gizi buruk jika berat badan aktual dikali 100% dan dibagi berat badan ideal menurut
tinggi badan aktual sesuai umur terletak <70%
2
5

Status Gizi (menurut WHO, untuk umur <5 tahun)


1. Gizi baik jika berat badan menurut panjang atau tinggi badan terletak pada -2 SD
sampai +2 SD berdasarkan Z score
2. Gizi kurang jika berat badan menurut panjang atau tinggi badan terletak pada -2 SD
sampai -3 SD berdasarkan Z score
3. Gizi buruk jika berat badan menurut panjang atau tinggi badan terletak <-3 SD
berdasarkan Z score

5.13 Metode Analisis


Data yang diperoleh dikelompokan berdasarkan tujuan dan jenis data, kemudian pengujian
data digunakan 3 macam analisis yaitu:
5.13.1 Analisis Univariat
Digunakan untuk deskripsi karakteristik data dasar berupa frekuensi, nilai rata-rata, standar
deviasi dan rentang nilai.
5.13.2 Analisis Bivariat
a. Uji student t
Digunakan untuk menganalisa data dengan variabel bebas yang berskala nominal
dengan variabel tergantung berskala numerik yang datanya terdistribusi normal
dan mempunyai varians yang sama. Uji perbedaan nilai rata-rata digunakan untuk
membandingkan kadar K, HDL, LDL, TG SN serangan dan SN remisi .
b. Uji Wilcoxon Signed Rank Test
Uji non-parametrik untuk membandingkan 2 sampel berpasangan dengan data
ordinal atau dengan data numerik yang distribusinya tidak normal dan variansnya
tidak sama.
c. Uji x2 digunakan untuk kemaknaan hubungan antara nilai fraksi lemak dengan
kejadian relaps SN.
d. Menghitung Odds Ratio dengan Convidence Interval 95% untuk menentukan
besarnya peluang mengalami relaps bila mempunyai risiko dibandingkan tanpa
risiko.
2. Penilaian hasil uji hipotesis
Penilaian hasil uji hipotesis dinyatakan sebagai berikut :
1. Tidak bermakna bila p > 0,05
2. Bermakna bila p ≤ 0,05
2
6

3. Sangat bermakna bila p < 0,01


4. Odds ratio > 1 dan CI 95% menunjukkan bahwa faktor risiko yang diteliti
memang merupakan faktor risiko
5. Odds ratio -1 sampai 1 dan CI 95% menunjukkan bahwa faktor yang diteliti
bukan merupakan faktor risiko.
6. Odds ratio <1 dan CI 95% menunjukkan bahwa faktor yang diteliti merupakan
faktor protektif.
5.13.3 Analisis Multivariat
Mengunakan analisis regresi ganda logistik ( logistic multiple regression analysis ). Analisis
ini digunakan bilamana dengan analisis bivariat ditemukan lebih dari satu variabel faktor
risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan HAP.
Secara rinci tujuan analisis tahap ini adalah:
a. Untuk menentukan faktor risiko mana yang mempunyai hubungan dengan HAP
b. Menentukan besarnya taksiran kemungkinan (taksiran peluang) masing-masing faktor
risiko yang mempunyai hubungan dengan HAP setelah mengontrol faktor-faktor lainnya.
Digunakan Adjusted odds ratio (AOR)
c. Mendapatkan suatu model regresi logistik yang dapat digunakan untuk menentukan
probabilitas HAP berdasarkan keberadaan faktor risiko tersebut. Dalam analisis regresi
logistik ganda digunakan metode forward stepwise logistic regression dengan nilai p
enrty 0,05???? dan nilai p remove 0,0???
2
7

DAFTAR PUSTAKA

1. American Thoracic Society. Guidelines for management of adults with community-


acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and
prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54
2. Bartlett JG (2001) : Hospital acquired pneumonia, in Management of Respiratory
Tract Infections. Ed Bartlett JG, Lippincott Williams & Wilkins, 3rd, pp 71-8
3. Berezin EB. Treatment and prevention of nosocomial pneumonia. Chest 1995; 108:
1S-16S
4. Craven De, Steger KA. Epidemiology of nosocomial pneumonia new perspectives on
an old disease. Chest 1995; 108 : 1S-16S
5. Cunha BA 2001. Nosocomial Pneumonia : Diagnostic and therapeutic considerations.
The Medical Clinics of North America 2001: 79 – 114
6. Dal Nogare AR (1996) : Nosocomial Pneumonia Outside The Intensive Care Unit. In
: Respiratory Infections. Ed : Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J. WB Saunders.
pp. 139 – 46.
7. Fein A, Grossman R, Ost D, Farber B, Cassiere H (1999) : Diagnosis and
Management of Pneumonia and Other Respiratory Infections. 1st edit. Professional
Communication Inc. pp 133-50
8. Fiel S. Guidelines and critical pathways for severe Hospital-acquired Pneumonia.
Chest 2001; 119 : 412S-8S
9. Niederman MS. Hospital aquired pneumonia in and on out off the intensive care unit.
In : Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J ed. Respiratory Infections 2 nd ed.
Philadelphia ; Lippincott Williams & Wilkins , 2001:197-214
10. Read RC, Morrissey I, Ambler JE. Clinician’s manual on Respiratory tract infections
and fluoroquinolones. Science Press 2000. pp 25-27, 45-7.
11. Sprunt K, Redman W. Evidence suggesting the importance of bacterial inhibition in
maintaining the balance of normal flora. Ann Intern Med. 2000; 68 : 579-90

Anda mungkin juga menyukai