Anda di halaman 1dari 10

INFEKSI NOSOKOMIAL

TUJUAN UMUM:

Tujuan modul ini untuk memperoleh kompetensi dalam tatalaksana pemeriksaan laboratorium
kasus infeksi nosokomial.

TUJUAN KHUSUS:

Tujuan khusus sesi ini adalah agar peserta didik dapat menjelaskan definisi, patogenesis,
patofisiologi, klasifikasi, perubahan biokimiawi, faktor risiko, gejala klinik, diagnosis, pemeriksaan
laboratorium untuk menunjang diagnosis, mencari komplikasi dan pemantauan pengobatan untuk
infeksi nosokomial.

TUJUAN PEMBELAJARAN

KOMPETENSI

Memahami definisi, patogenesis, patofisiologi, klasifikasi, perubahan biokimiawi, faktor risiko,


gejala klinik, diagnosis, pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis, mencari komplikasi dan
pemantauan pengobatan untuk infeksi nosokomial.

POKOK BAHASAN

Definisi infeksi nosokomial


Epidemiologi infeksi nosokomial

MATERI
Infeksi nosokomial berasal dari bahasa latin nosocomium yang berarti rumah sakit. Jadi infeksi
nosokomial atau disebut juga Health-care Associated Infection (HAIs) merupakan infeksi yang didapat
pasien selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah 48
jam dan setelah 30 hari setelah keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan.

Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin
dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14
negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya
infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.

Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3
dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin meningkatnya
pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang resisten antibiotik, infeksi virus dan
jamur, dan prosedur invasif masih menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak
88.000 kasus setiap tahunnya.
Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosocomial:

a. Agen infeksi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit. Kontak antara
pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya
faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi
tergantung pada:

1. karakteristik mikroorganisme

2. resistensi terhadap zat-zat antibiotika

3. tingkat virulensi, dan

4. banyaknya materi infeksius.

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross
infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang
penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang
didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada
pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal (Utama,
2006).

b. Respon dan toleransi tubuh pasien

Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam hal ini adalah:

1. Usia
2. status imunitas penderita

3. penyakit yang diderita

4. Obesitas dan malnutrisi

5. Orang yang menggunakan obat-obatan

6. imunosupresan dan steroid

7. Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi.

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini
lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes
mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap
infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat
menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan
terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi (Utama, 2006).

c. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung

Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan penyebab infeksi.
Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat
juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan
instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang
menyebabkan terjadinya infeksi silang.

d. Resistensi antibiotika

Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 1950-1970, banyak
penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan. Bagaimana pun juga,
keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak
mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan
angka mortalitas terutama terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri
ditransmisikan antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika
yang terus-menerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten. Penyebab
utamanya karena:
1. Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol

2. Dosis antibiotika yang tidak optimal

3. Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat

4. Kesalahan diagnosa (Utama, 2006)

Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap
antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan
antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi.
Banyak strain dari pneumococci, staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap
banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten.
Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua
belum ada atau tidak tersedia.

Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, serta menjadi
sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah
karena sakit, pengobatan atau umur, mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi
bakteri terhadap antibiotika.

e. Faktor alat

Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi dari kateter urin, infeksi
jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus
dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Di ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien
memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan
kimiawi. Komplikasi tersebut berupa:

1. Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula

2. Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat dideteksi adanya gangguan
lain

3. Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena

4. Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang menghambat aliran infus
5. Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam
pembuluh darah

6. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul

7. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul (Utama, 2006)

Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu: jenis
kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter
yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik
dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada
tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada
ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia

Macam-macam infeksi nosocomial:

1. Infeksi saluran kemih: Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari infeksi
nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin. Walaupun tidak
terlalu berbahaya, tetapi dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan
kematian. Organisme yang biaa menginfeksi biasanya E.Coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas,
atau Enterococcus. Infeksi yang terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme
endogen, sedangkan infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu yang lama biasanya karena
mikroorganisme eksogen.

2. Pnemonia nosokomial: Pneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang


menggunakan ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi.
Kuman penyebab infeksi ini tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella dan
Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung, kerongkongan, dan perut.
Keberadaan organisme ini dapat menyebabkan infeksi karena adanya aspirasi oleh organisme ke
traktus respiratorius bagian bawah.

3. Bakterimia nosokomial: Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi nosokomial,
tetapi dengan resiko kematian yang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh bakteri yang
resistan antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat
masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.
4. Infeksi nosokomial lainnya: Infeksi nosocomial lainnya meliputi tuberculosis, diare dan
gastroenteritis, infeksi pembuluh darah , dipteri, tetanus dan pertussis.

Diagnosis infeksi nosokomial ditegakkan adanya gejala klinis dan ditunjang dengan pemeriksaan
laboratorium dan kultur untuk identifikasi penyebab. Bahan pemeriksaan tergantung pada jenis infeksi.

A. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah yang sering dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah
(LED) dan kultur. Pada pemeriksaan darah lengkap bisa didapatkan leukopeni (leukosit kurang dari
4000/mm3) ataupun leukositosis (leukosit lebih dari 12.000/mm 3). Atau > 10% immature PMN
leucocytes.
Laju endap darah adalah pengukuran seberapa cepat sel darah merah (eritrosit) jatuh ke dasar
sebuah tabung kaca. Pada infeksi nosokomial LED meningkat menandakan adanya inflamasi. Tes ini
digunakan, bukan untuk diagnosis, tetapi untuk membantu menentukan seberapa aktif kondisi ini.
Kultur darah dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi. Sampel darah diambil dari
darah vena dan langsung diinkubasi selama 14 hari. Jika terdeteksi adanya pertumbuhan dilakukan
subkulture dan stain gram.

B. Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP)

C-Reaktif Protein atau CRP merupakan pertanda adanya inflamasi sistemik yang sangat sensitive.
Pemeriksaan C-Reactive Protein atau CRP kualitatif yaitu pemeriksaan terhadap keberadaan suatu
reaktan fase akut, yakni CRP di dalam serum. Konsentrasi serum CRP akan meningkat setelah proses
inisiasi inflamatori. Pemeriksaan ini memiliki sensitifitas yang baik, namun bukan indikator yang spesifik
pada kondisi terjadinya luka akut, infeksi bakteri, atau inflamasi.

C. Pemeriksaan Procalcitonin

Procalcitonin (PCT) adalah peptide yang terdiri dari 116 asam amino protein. PCT secara
enzimatis didegradasi menjadi peptide berat molekul rendah dengan produk akhir terdiri dari 32 asam
amino dan disebut Calcitonin. Pada individu sehat produksi PCT dan kemudian calcitonin terjadi dalam
sel-C tiroid. PCT meningkat pada awal infeksi dan sangat spesifik yang dapat diamati 3-6 jam setelah
terkena infeksi.

D. Pemeriksaan urin
Sampel urin untuk pemeriksaaan sebaiknya segar dan diambil pagi hari. Bahan urin dapat
diambil dengan cara punksi suprapubik, dari kateter dan urin porsi tengah (midstream urine). Bahan urin
yang paling mudah diperoleh adalah urin porsi tengah yang ditampung dalam wadah bermulut lebar dan
steril.(12)
Punksi Suprapubik
Pengambilan urin dengan punksi suprapubik dilakukan pengambilan urin langsung dari kandung
kemih melalui kulit dan dinding perut dengan semprit dan jarum steril. Yang penting pada punksi
suprapubik ini adalah tindakan antisepsis yang baik pada daerah yang akan ditusuk, anestesi lokal pada
daerah yang akan ditusuk dan keadaan asepsis harus selalu dijaga. Bila keadaan asepsis baik, maka
bakteri apapun dan berapapun jumlah koloni yang tumbuh pada biakan, dapat dipastikan merupakan
penyebab ISK.
Kateter
Bahan urin dapat diambil dari kateter dengan jarum dan semprit yang steril. Pada cara ini juga
penting tindakan antisepsis pada daerah kateter yang akan ditusuk dan keadaan asepsis harus selalu
dijaga. Tempat penusukan kateter sebaiknya sedekat mungkin dengan ujung kateter yang berada di
dalam kandung kemih (ujung distal). Penilaian urin yang diperoleh dari kateter sama dengan hasil biakan
urin yang diperoleh dari punksi suprapubik.
Urin Porsi Tengah
Urin porsi tengah sebagai sampel pemeriksaan urinalisis merupakan teknik pengambilan yang
paling sering dilakukan dan tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada penderita. Akan tetapi resiko
kontaminasi akibat kesalahan pengambilan cukup besar. Tidak boleh menggunakan antiseptik untuk
kering. Jangan memakai larutan antiseptik untuk membersihkan daerah tersebut. Siapkan pula wadah
steril dan jangan buka tutupnya sebelum pembersihan selesai. Tarik prepusium ke belakang dengan satu
tangan dan bersihkan daerah ujung penis dengan kasa yang dibasahi air sabun. Buang kasa yang telah
dipakai ke tempat sampah. Bilas ujung penis dengan kasa yang dibasahi air atau salin hangat. Ulangi
sekali lagi, lalu keringkan daerah tersebut dengan potongan kasa steril yang kering. Buang kasa yang
telah dipakai ke dalam tempat sampa. Dengan tetap menahan prepusium ke belakang, mulailah
berkemih. Buang beberapa mililiter urin yang keluar, kemudian tampung urin yang keluar berikutnya ke
dalam wadah steril sampai terisi sepertiga sampai setengahnya.Setelah selesai, tutup kembali wadah
urin dengan rapat dan bersihkan dinding luar wadah dari urin yang tertumpah. Tuliskan identitas
penderita pada wadah tersebut dan kirim segera ke laboratorium.
Bahan urin harus segera dikirim ke laboratorium, karena penundaan akan menyebabkan bakteri
yang terdapat dalam urin berkembang biak dan penghitungan koloni yang tumbuh pada biakan
menunjukkan jumlah bakteri sebenarnya yang terdapat dalam urin pada saat pengambilan. Sampel
harus diterima maksimun 1 jam setelah penampungan.
Sampel harus sudah diperiksa dalam waktu 2 jam. Setiap sampel yang diterima lebih dari 2 jam
setelahpengambilan tanpa bukti telah disimpan dalam kulkas, seharusnya tidak dikultur dan sebaiknya
dimintakan sampel baru. Bila pengiriman terpaksa ditunda,bahan urin harus disimpan pada suhu 4C
selama tidak lebih dari 24 jam.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dilakukan untuk menentukan dua parameter penting ISK yaitu leukosit
dan bakteri. Pemeriksaan rutin lainnya seperti deskripsi warna,berat jenis dan pH, konsentrasi glukosa,
protein, keton, darah dan bilirubin tetap dilakukan.

Pemeriksaan Dipstik
Pemeriksaan dengan dipstik merupakan salah satu alternatif pemeriksaanleukosit dan bakteri di
urin dengan cepat. Untuk mengetahui leukosituri, dipstik akan bereaksi dengan leucocyte esterase (suatu
enzim yang terdapat dalam granul primer netrofil). Sedangkan untuk mengetahui bakteri, dipstik akan
bereaksi dengan nitrit (yang merupakan hasil perubahan nitrat oleh enzym nitrate reductase pada
bakteri). Penentuan nitrit sering memberikan hasil false-negative karena tidak semua bakteri patogen
memiliki kemampuan mengubah nitrat atau kadar nitrat dalam urin menurun akibat obat diuretik. Kedua
pemeriksaan ini memiliki angka sensitifitas 60-80% dan spesifisitas 70 98 %. Sedangkan nilai positive
predictive value kurang dari 80 % dan negative predictive value mencapai 95%. Akan tetapi pemeriksaan
ini tidak lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopik urin dan kultur urin. Pemeriksaan
dipstik digunakan pada kasus skrining follow up. Apabila kedua hasil menunjukkan hasil negatif, maka
urin tidak perlu dilakukan kultur.

Pemeriksaan Mikroskopik Urin

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan untuk menentukan jumlah leukosit dan bakteri dalam urin.
Jumlah leukosit yang dianggap bermakna adalah > 10 /lapang pandang besar (LPB). Apabila didapat
leukosituri yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur. Pemeriksaan langsung kuman
patogen dalam urin sangat tergantung kepada pemeriksa. Apabila ditemukan satu atau lebih kuman
pada pemeriksaan langsung, perlu dilakukan pemeriksaan kultur.

Pemeriksaan Kultur Urin


Deteksi jumlah bermakna kuman patogen (significant bacteriuria) dari kultur urin masih
merupakan baku emas untuk diagnosis ISK. Bila jumlah koloni yangtumbuh > 105 koloni/ml urin, maka
dapat dipastikan bahwa bakteri yang tumbuh merupakan penyebab ISK. Sedangkan bila hanya tumbuh
koloni dengan jumlah< 103 koloni / ml urin, maka bakteri yang tumbuh kemungkinan besar hanya
merupakan kontaminasi flora normal dari muara uretra. Jika diperoleh jumlah koloni antara 103-105
koloni / ml urin, kemungkinan kontaminasi belum dapat disingkirkan dan sebaiknya dilakukan biakan
ulang dengan bahan urin yang baru. Faktor yang dapat mempengaruhi jumlah kuman adalah kondisi
hidrasi pasien, frekuensi berkemih dan pemberian antibiotika sebelumnya. Perlu diperhatikan pula
banyaknya jenis bakteri yang tumbuh. Bila > 3 jenis bakteri yang terisolasi, maka kemungkinan besar
bahan urin yang diperiksa telah terkontaminasi.(12,15)

E. Pemeriksaan Sputum
Pada pemeriksaan sputum dilakukan pemeriksaan hapusan langsung dan kultur. Cara
pengambilan dahak yang benar adalah dahak pagi hari.
Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi
dalam kemudian membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak
segera dikirim ke laboratorium (tidak boleh lebih dari 4 jam).
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan hapusan langsung dan biakan yaitu
bila ditemukan sel PMN > 25 / lpk dan sel epitel< 1O/lpk.
Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi sekret dari
selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan biakan
kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan dianggap bermakna jika ditemukan 106 colony-
forming units/ml dari sputum, 105 106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotrracheal tube,
104 105 colony-forming units/sediaan ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , 103 colony-forming
units/ml dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena kateter sentral .
Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda (lengan kiri dan kanan) sebanyak 7
ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka
sangat penting untuk menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial
harus dilakukan pemeriksaan kultur darah.(16)
Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara
bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan
lain adalah aspirasi transtorakal.(16)

F. Pemeriksaan Feses

Pemeriksaan feses adalah salah satu parameter yang digunakan untuk membantu dalam
penegakan diagnosis suatu penyakit serta menyelidiki suatu penyakit secara lebih mendalam.
Pemeriksaan feses dibagi menjadi 3 macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan makroskopis,
mikroskopis dan kimia.
1. Pemeriksaan makroskopis terdiri dari Pemeriksaan jumlah, pemeriksaan warna, pemeriksaan
bau, pemeriksaan konsistensi, pemeriksaan lendir, pemeriksaan darah.pemeriksaan nanah, pemeriksaan
parasit dan pemeriksaan adanya sisa makanan.
2. Pemeriksaan mikroskopis feses terdiri dari pemeriksaan terhadap Protozoa, telur cacing,
leukosit, eritrosit, epitel, kristal,makrofag,sel ragi, dan jamur.
3. pemeriksaan kimia meliputi pemeriksaan Darah samar, urobilin, urobilinogen dan bilirubin.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. H. (2002). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.

Dinkes Sul-Sel (2008) ) Profil Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan 2007, Makassar

Brockopp, D.Y. (1999). Dasar-dasar Riset Keperawatan. Jakarta: EGC

Hamid, A.Y.S. (1999). Buku ajar riset keperawatan I. Jakarta: Widya Medika

Hasibuan, M. (2003) Organisasi dan Motivasi, Jakarta:PT. Bhuana Aksara

Kurniadi, H. (1993) Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga Jakarta, Cermin Dunia
Kedokteran No. 82 tahun 1993.

Mardalis. (2003). Metodologi Penelitian suatu pendekatan Proposal. Cetakan VI, Jakarta: PT. Bumi aksara

Notoatmodjo, S, (2003) Pengantar Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Andi Offset:
Yogyakarta.

Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman skripsi,
Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba medika.

Anda mungkin juga menyukai