Anda di halaman 1dari 25

MODUL PATOLOGI

KELAINAN RETROGRESIF DAN KONGENITAL

PENYUSUN :

Asnani, S.Kep, Ns. M.Ked

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
2016

MODUL PATOLOGI
KELAINAN RETROGRESIF DAN KONGENITAL

i
PENYUSUN :

Asnani, S.Kep, Ns. M.Ked

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
2016

KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah Nya penulis dapat
menyelesaikan modul mata kuliah patologi.
Penulis sangat berharap modul ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita semua. Sebab itu, penulis berharap adanya kritik,
saran, dan usulan demi perbaikan modul yang telah disusun di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga modul sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya dan semoga dapat berguna baik bagi penulis maupun pembaca.
Sebelumnya penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Surabaya, 14 Maret 2016

Penyusun

LEMBAR PENGESAHAN

iii
Modul Mata Kuliah Anatomi Fisiologi ini telah diperiksa dan dinyatakan
layak dipergunakan sebagai Modul Pembelajaran pada Program Studi DIV
Keperawatan Gawat Darurat Surabaya

Surabaya, 01 Maret 2016


Program Studi DIV Keperawatan Gawat Darurat Surabaya
Ketua

Dwi Adji Norontoko, S.Kep, Ns


NIP. 196309171990031002

Mengetahui
Jurusan Keperawatan
Ketua

Mohammad Najib, SKp., MSc


NIP. 196502221990032001

DAFTAR ISI

iv
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................................iii

LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................iv

DAFTAR ISI......................................................................................................................v

MODUL

a. Kelainan Retrogresif………………………………………………..…………..6
b. Yang Termasuk Ke Dalam Kelainan Retrogresif……..…………..…………7
c. Kelainan Kongenital………………………………………………..………….18
d. Diagnosa………………………………………………..…………....................23
e. Penanganan………………………………………………..…………................24
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………….…25
Soal…..................................................................................................................... ........26

v
I. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah proses pembelajaran mahasiswa diharapkan mampu
menerapkan konsep patologi dalam asuhan keperawatan.
II. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah perkuliahan diharapkan mahasiswa dapat memahami dan
menganalisis kelainan kongenital dan retrogresif.
III. Pokok Pembelajaran
a. Kelainan retrogresif
b. Yang termasuk ke dalam kelainan retrogresif
c. Kelainan kongenital
d. Diagnose
e. Penanganan
IV. Uraian Materi
A. Kelainan Retrogresif
Kelainan retrogresif adalah proses terjadinya kemunduran
(degenerasi atau kembali ke arah yang kurang kompleks) atau
kemerosotan keadaan suatu sel, jaringan, organ, organisme, menuju
keadaan yang lebih primitif (menjadi lebih jelek dengan organisasi yang
lebih rendah tingkatannya), kehilangan kompleksitasnya termasuk
metabolisme, deferensiasi dan spesialisasinya.
Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologik yang normal yang
disebut Homeostasis normal. Sel memiliki fungsi dan struktur yang
terbatas, dalam metabolisme, diferensiasi, dan fungsi lainnya karena
pengaruh dari sel-sel sekitarnya dan tersedianya bahan-bahan dasar
metabolisme.
Sel mendapatkan stimulus yang patologik, fisiologik dan
morphologic. Bila stimulus patologik diperbesar hingga melampaui
adaptasi sel maka timbul jejas sel atau sel yang sakit (cell injury) yang
biasanya bersifat sementara (reversible). Namun jika stimulus tetap atau
bertambah besar, sel akan mengalami jejas yang menetap (irreversible)
yaitu sel yang mati atau nekrosis. Perubahan-perubahan tersebut hanya
mencerminkan adanya “cedera-cedera biomolekuler”, yang telah berjalan
lama dan baru kemudian dapat dilihat. Adaptasi, jejas dan nekrosis
dianggap sebagai suatu tahap gangguan progresif dari fungsi dan struktur
normal suatu sel. Kelainan retrogesif (regresif) adalah merupakan suatu
proses kemunduran.
B. Yang Termasuk Ke Dalam Kelainan Retrogresif
1. Atrofi

6
Atrofi adalah berkurangnya ukuran suatu sel atau jaringan.
Atrofi dapat menjadi suatu respons yang adaptif yang timbul
sewaktu terjadi penurunan beban kerja sel atau jaringan. Dengan
menurunnya beban kerja, maka kebutuhan akan oksigen dan gizi
juga berkurang. Hal ini menyebabkan sebagian besar struktur
intrasel, termasuk mitokondria, retikulum endoplasma, vesikel
intrasel, dan protein kontraktil, menyusut.
Atrofi dapat terjadi akibat sel/jaringan tidak digunakan
misalnya, otot individu yang mengalami imobilisasi atau pada
keadaan tanpa berat (gravitasi nol). Atrofi juga dapat timbul
sebagai akibat penurunan rangsang hormon atau rangsang saraf
terhadap sel atau jaringan. Hal ini tampak pada payudara wanita
pasca menopause atau atrofi pada otot rangka setelah pemotongan
korda spinalis. Atrofi lemak dan otot terjadi sebagai respons
terhadap defisiensi nutrisi dan dijumpai pada orang yang
mengalami malnutrisi atau kelaparan. Atrofi dapat juga terjadi
akibat insufisiensi suplai darah ke sel, sehingga pemberian zat gizi
vital dan oksigen terhambat (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Atrofi dibedakan menjadi :
a. Atrofi fisiologi
Atrofi fisiologi adalah atropi yang merupakan proses
normal pada manusia. Beberapa alat tubuh dapat mengecil atau
menghilang sama sekali selama masa perkembangan
kehidupan, dan jika alat tubuh tersebut tidak menghilang pada
usia tertentu malah dianggap patologik. Contoh : kelenjar
thymus, ductus thyroglosus. Misalnya pada atropi senilis,
organ tubuh pada usia lanjut akan mengalami pengecilan.
Atrofi senilis juga dapat disebut atropi menyeluruh(general)
karena terjadi pada seluruh organ tubuh. Atrofi menyeluruh
juga terjadi pada keadaan kelaparan (Starvation).
Penyebab atropi senilis adalah :
1) Involusi akibat menghilangnya rangsang tumbuh
(growth stimuli)
2) Berkurangnya perbekalan darah akibat arteriosclerosis
3) Berkurangnya rangsang endokrin

7
Vaskularisasi berkurang karena arteriosklerosis akan menyebabkan
kemunduran pada otak sehingga menimbulkan kemunduran kejiwaan yang
disebut demensia senilis. Begitu pula rangsang endokrin yang berkurang
pada masa menopause menyebabkan payudara menjadi kecil, ovarium dan
uterus menjadi tipis dan keriput.
Starvation atropi terjadi bila tubuh tidak mendapat makanan untuk
waktu yang lama misalnya pada yang tidak mendapatkan asupan makanan
seperti orang terdampar dilaut, padang pasir, atau pada orang yang
mengalami gangguan saluran pencernaan seperti pada striktura oesofagus.
Karena itu alat-alat tubuh tidak mendapat makanan cukup dan mengecil.
b. Atrofi patologi
Atrofi patologi dapat dibagi beberapa kelompok :
1) Atrofi disuse adalah atropi yang terjadi pada organ yang
tidak beraktifitas dalam jangka waktu lama.
2) Atrofi desakan terjadi pada suatu organ tubuh yang
terdesak dalam waktu lama.
3) Atrofi endokrin terjadi pada organ tubuh yang
aktivitasnya tergantung pada rangsang hormon tertentu.
4) Atrofi vaskuler terjadi pada organ yang mengalami
penurunan aliran darah hingga dibawah nilai krisis.
5) Atrofi payah (exhaustion atrophy) terjadi karena
kelenjar endokrin yang terus menghasilkan hormone
yang berlebihan akan mengalami atrofi payah.
6) Atrofi serosa dari lemak terjadi pada malnutrisi berat
atau pada kakheksia. Jaringan lemak yang mengalami
atrofi akan menjadi encer seperti air atau lender.
7) Atropi coklat juga memiliki hubungan dengan
malnutrisi berat atau kakheksia dan organ yang
mengalami atrofi adalah jantung dan hati.
2. Degenerasi dan Infiltrasi
Degenerasi ialah perubahan-perubahan morfologik akibat
jejas-jejas yang non-fatal. Perubahan-perubahan tersebut masih
dapat pulih (reversible). Meskipun sebab yang menimbulkan
perubahan tersebut sama, tetapi apabila berjalan lama dan
derajatnya berlebih akhirnya mengakibatkan kematian sel atau
yang disebut nekrosis. Jadi sebenarnya jejas sel (cellular injury)

8
dan kematian sel merupakan kerusakan sel yang berbeda dalam
derajat kerusakannya. Pada jejas sel yang berbentuk degenerasi
masih dapat pulih, sedangkan pada nekrosis tidak dapat pulih
(irreversible).
Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang sifatnya sitemik dan
kemudian mengenai sel-sel yang semula sehat akibat adanya
metabolit-metabolit yang menumpuk dalam jumlah berlebihan.
Karena itu perubahan yang awal adalah ditemukannya metabolit-
metabolit didalam sel. Benda-benda ini kemudian merusak struktur
sel.
Jadi degenerasi terjadi akibat jejas sel, kemudian baru
timbul perubahan metabolisme, sedangkan infiltrasi mencerminkan
adanya perubahan metabolisme yang diikuti oleh jejas seluler.
Degenerasi dan infiltrasi dapat terjadi akibat gangguan yang
bersifat biokimiawi atau biomolekuler. Sebagai contoh degenerasi
dapat terjadi akibat anoxia. Infiltrasi dapat terjadi akibat
penumpukan glikogen didalam sel, karena itu disebut infiltrasi
glikogen.
3. Gangguan Metabolisme
Memang setiap sel selalu terancam mengalami kerusakan,
tetapi sel hidup mempunyai kemampuan untuk coba
menanggulanginya. Jejas ini kemudian mengakibatkan gangguan
dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak pada sel.
Gangguan metabolisme intraseluler ini akhirnya mengakibatkan
perubahan pada struktur sel.
4. Nekrosis
Kematian sel nekrotik, terjadi apabila suatu rangsangan
yang menyebabkan cedera pada sel terlalu kuat atau
berkepanjangan. Nekrosis sel dicirikan dengan adanya
pembengkakan dan ruptur organel internal yang kebanyakan
mengenai mitokondria, dan jelasnya stimulasi respons peradangan
(Elizabeth J. Corwin, 2009).
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel.
Nekrosis terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan
toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein

9
dan kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat
jaringan (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada
tubuh yang hidup. Nekrosis dapat dikenali karena sel atau jaringan
menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik secara
makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan
nekrotik akan tampak keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna
putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis, jaringan nekrotik
seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna
hematoksillin, sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti
enzimatik dan denaturasi protein yang terjadi secara bersamaan.
Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal dari sel itu
sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang
penginvasi (heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Pada nekrosis, perubahan terutama terletak pada inti.
Memiliki tiga pola, yaitu (Lestari, 2011) :
a. Psikonosis
Yaitu pengerutan inti, merupakan homogenisasi sitoplasma
dan peningkatan eosinofil, DNA berkondensasi menjadi massa
yang melisut padat.
b. Karioreksis
Inti terfragmentasi (terbagi atas fragmen-fragmen) yang
piknotik.
c. Kariolisis
Pemudaran kromatin basofil akibat aktivitas DNA-ase.
Macam-macam nekrosis :
a. Nekrosis koagulatif
Terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang
disebabkan oleh hambatan kerja sebagian besar enzim. Enzim
sitoplasmik hidrolitik juga dihambat sehingga tidak terjadi
penghancuran sel (proses autolisis minimal). Akibatnya
struktur jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada
tahap awal (Sarjadi, 2003).
Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan
darah. Daerah yang terkena menjadi padat, pucat dikelilingi
oleh daerah yang hemoragik. Mikroskopik tampak inti-inti

10
yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang,
sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai
beberapa minggu rangka sel masih dapat dilihat
(Pringgoutomo, 2002).
Contoh utama pada nekrosis koagulatif adalah infark ginjal
dengan keadaan sel yang tidak berinti, terkoagulasi dan
asidofilik menetap sampai beberapa minggu (Kumar; Cotran &
Robbins, 2007).
b. Nekrosis likuefaktif (colliquativa)
Perlunakan jaringan nekrotik disertai pencairan. Pencairan
jaringan terjadi akibat kerja enzim hidrolitik yang dilepas oleh
sel mati, seperti pada infark otak, atau akibat kerja lisosom dari
sel radang seperti pada abses (Sarjadi, 2003).
c. Nekrosis kaseosa (sentral)
Bentuk campuran dari nekrosis koagulatif dan likuefaktif,
yang makroskopik teraba lunak kenyal seperti keju, maka dari
itu disebut nekrosis perkejuan. Infeksi bakteri tuberkulosis
dapat menimbulkan nekrosis jenis ini (Sarjadi, 2003).
Gambaran makroskopis putih, seperti keju didaerah nekrotik
sentral. Gambaran makroskopis, jaringan nekrotik tersusun atas
debris granular amorf, tanpa struktur terlingkupi dalam cincin
inflamasi granulomatosa, arsitektur jaringan seluruhnya
terobliterasi (tertutup) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
d. Nekrosis lemak
Terjadi dalam dua bentuk:
1) Nekrosis lemak traumatic
Terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau jaringan yang
banyak mengandung lemak (Sarjadi, 2003).
2) Nekrosis lemak enzimatik
Merupakan komplikasi dari pankreatitis akut
hemorhagika, yang mengenai sel lemak di sekitar pankreas,
omentum, sekitar dinding rongga abdomen. Lipolisis
disebabkan oleh kerja lypolitic dan proteolytic pancreatic
enzymes yang dilepas oleh sel pankreas yang rusak
(Sarjadi, 2003). Aktivasi enzim pankreatik mencairkan
membran sel lemak dan menghidrolisis ester trigliserida

11
yang terkandung didalamnya. Asam lemak yang dilepaskan
bercampur dengan kalsium yang menghasilkan area putih
seperti kapur (mikroskopik) (Kumar; Cotran & Robbins,
2007).
e. Nekrosis fibrinoid
Nekrosis ini terbatas pada pembuluh darah yang kecil,
arteriol, dan glomeruli akibat penyakit autoimun atau hipertensi
maligna. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan nekrosis
dinding pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam
lapisan media. Fibrin terdeposit disana. Pada pewarnaan
hematoksilin eosin terlihat masa homogen kemerahan (Sarjadi,
2003).
Penyebab nekrosis :
Nekrosis dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1) Iskemia
Terjadi akibat anoksia (hambatan total pasokan
oksigen) atau hipoksia seluler (kekurangan oksigen pada
sel). Dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti berikut ini
(Sarjadi, 2003):
 Obstruksi aliran darah
 Anemia (eritrosit pembawa oksigen berkurang
jumlahnya)
 Keracunan karbon monoksida
 Penurunan perfusi jaringan dari darah yang kaya
oksigen
 Oksigenasi darah yang buruk, sebagai akibat penyakit
paru, obstruksi saluran nafas, konsentrasi oksigen udara
yang rendah
2) Agen biologic
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan
dinding pembuluh darah dan trombosis. Toksin biasanya
berasal dari bakteri yang virulensinya tinggi baik endogen
maupun eksogen. Virus dan parasit juga dapat
mengeluarkan beberapa enzim dan toksin yang secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi jaringan
dan menyebabkan nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
3) Agen kimia

12
Natrium dan glukosa merupakan zat kimia yang
berada dalam tubuh. Namun ketika konsentrasinya tinggi
dapat menimbulkan nekrosis akibat gangguan
keseimbangan osmotik sel. Beberapa zat tertentu dapat pula
menimbulkan nekrosis ketika konsentrasinya rendah
(Pringgoutomo, 2002).
Respon jaringan terhadap zat kimia berbeda.
Misalnya, sel epitel pada tubulus ginjal dan sel beta pada
pulau Langerhans mudah rusak oleh alloxan. Gas yang
digunakan pada perang seperti mustard dapat merusak
jaringan paru, gas kloroform dapat merusak parenkim hati
serta masih banyak lagi (Pringgoutomo, 2002).
4) Agen fisik
Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin),
tenaga listrik, cahaya matahari, dan radiasi dapat
menimbulkan kerusakan inti sehingga menyebabkan
nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
5) Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (kerentanan) pada seseorang
individu berbeda-beda. Kerentanan ini dapat timbul secara
genetik maupun didapat (acquired) dan menimbulkan
reaksi immunologik kemudian berakhir pada nekrosis.
Sebagai contoh, seseorang yang hipersensitivitas terhadap
obat sulfat ketika mengonsumsi obat sulfat dapat timbul
nekrosis pada epitel tubulus ginjal (Pringgoutomo, 2002).
5. Apoptosis
Apoptosis, yaitu kematian sel yang diprogram. Apoptosis
adalah suatu proses yang ditandai dengan terjadinya urutan teratur
tahap molekular yang menyebabkan disintegrasi sel. Apoptosis
tidak ditandai dengan adanya pembengkakan atau peradangan,
namun sel yang akan mati menyusut dengan sendirinya dan
dimakan oleh sel disebelahnya. Apoptosis berperan dalam menjaga
jumlah sel relatif konstan dan merupakan suatu mekanisme yang
dapat mengeliminasi sel yang tidak diinginkan, sel yang menua, sel
berbahaya, atau sel pembawa transkripsi DNA yang salah.

13
Apoptosis merupakan proses aktif yang melibatkan kerja sel itu
sendiri dan namanya diambil dari kata Yunani yang berarti
“menciut” seperti menguncupnya sebuah bunga.
Timidin fosforilase (TP), suatu faktor pertumbuhan sel
endotel yang dihasilkan trombosit, telah terbukti melindungi sel
dari apoptosis dengan merangsang metabolisme nukleosida dan
angiogenesis. Penggunaan obat yang secara khusus menargetkan
TP telah direkomendasikan untuk memperbaiki efek kemoterapi
konvensional dengan meningkatkan apoptosis sel-sel yang
bermutasi (Elizabeth J. Corwin, 2009)
Penyebab Apoptosis :
Kematian sel terprogram di mulai selama embriogenesis
dan terus berlanjut sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang
yang menimbulkan apoptosis meliputi isyarat hormon, rangsangan
antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang mengidentifikasi
sel yang menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan
seringkali menyebabkan apoptosis, yang akhirnya yang
mengakibatkan kematian virus dan sel penjamu (host). Hal ini
merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup
untuk melawan infeksi virus. Virus tertentu (misalnya; Virus
EpsteinBarr yang bertanggung jawab terhadap monunukleosis)
pada gilirannya menghasilkan protein khusus yang menginaktifkan
respons apoptosis. Defisiensi apoptosis telah berpengaruh pada
perkembangan kanker dan penyakit neuro degeneratif dengan
penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit Alzheimer dan
sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis yang
dirangsang-antigen dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting
dalam menimbulkan dan mempertahankan toleransi diri imun
(Elizabeth J. Corwin, 2009).
6. Postmortal
Kematian bukanlah akhir dari proses dalam tubuh yang
mengalami kematian.Tubuh akan terus mengalami perubahan.
Perubahan ini dipengaruhi oleh :
a. Suhu lingkungan sekitarnya
b. Suhu tubuh saat terjadi kematian

14
c. Ada tidaknya infeksi umum
Serangkaian perubahan yang terjadi setelah kematian tubuh
antara lain :
 Autolisis ; jaringan yang mati dihancurkan oleh enzim-
enzim antara lain enzim dari lisosom, mikroorganisme yang
mengifeksi jaringan mati. Tubuh yang mati akan mencair,
kecuali jika dicegah dengan pengawetan atau pendinginan.
 Algor Mortis ; suhu tubuh menjadi dingin sesuai suhu
lingkungan memerlukan waktu 24 s/d 48 jam untuk
menjadi dingin sesuai suhu lingkungan. Suhu tubuh
menjadi dingin karena proses metabolisme terhenti. Jika
ditempat yang dingin maka akan lebih cepat dingin, tetapi
jika ditempat yang panas akan lebih lambat.
 Rigor Mortis (kaku mayat); timbul setelah 2 s/d 4 jam
setelah kematian. Mencapai puncak setelah 48 jam dan
kemudian menghilang selama 3 sampai 4 hari.
 Livor Mortis (lebam mayat) ; Nampak setelah 30 menit
kematian dan mencapai puncaknya setelah 6 hingga 10
jam.Lebam mayat timbul pada bagian bawah tubuh.
 Pembekuan Darah postmortal ; beku darah post mortal
berkonsistensi lunak, elastic dan seperti gel, berbeda
dengan thrombus yang konsistensinya keras dan kering.
 Jejas postmortal ; enzim dalam tubuh masih aktif untuk
beberapa waktu setelah kematian. Jejas postmortal tidak
dijumpai reaksi radang pada jejas, sedangkan pada lesi
antemortal Nampak reaksi radang.
 Pembusukan ; hancurnya tubuh yang mati karena invasi
bakteri. Kulit menjadi kehijauan setelah 1 sampai 2
minggu.
7. Penimbunan Pigmen
Pigmen adalah substansi yang mempunyai warna dan
terakumulasi di dalam sel. Pigmen sering digambarkan berdasarkan
sumber atau asalnya: eksogen (berasal dari luar tubuh) atau
endogen (dihasilkan di dalam tubuh). Pigmen eksogen paling
umum berasal dari inhalasi partikel karbon organik. Partikel ini

15
terakumulasi di dalam makrofag dan limfonodus jaringan paru,
yang menghasilkan penampilan kehitaman pada paru yang disebut
anthracosis.
Pigmentasi disebabkan penimbunan pigmen di dalam sel.
Pigmentasi lipofuscin pada kulit umum terjadi pada lansia. Juga
pada otak, hati, jantung, dan ovarium. Pigmen ini agaknya tidak
mengganggu fungsi. Pigmen melanin dihasilkan melanosit kulit.
Pada penyakit Addison tredapat hiperpigmentasi kulit. Pada lansia,
melanosit berkurang, sehingga kulit pada orang ini tampak lebih
pucat. Pigmen hemosiderin, turunan hemoglobin, adalah pigmen
yang dibentuk karena akumulasi timbunan besi yang berlebihan.
Dalam organ disebut hemosiderosis. Umumnya tidak sampai
mengganggu fungsi (Jan Tambayong, 2000).
8. Mineral
Selain zat karbon, hydrogen, nitrogen dan oksigen yang
merupakan bagian terpenting dalam jaringan pada tubuh terdapat
13 macam unsur lain yang juga sangat penting dalam kehidupan
manusia, 7 diantaranya terdapat dalam jumlah banyak yaitu
kalsium, fosfor, magnesium, natrium, kalium, chlor, dan sulfur.
Sedangkan 6 lainnya merupakan ‘trace elements” tetapi vital yaitu
besi, tembaga, mangan, yodium, kobal (Co), dan seng (Zn). Dalam
makanan sehari-hari sudah cukup, tetapi pengeluaran berlebihan
(muntah, diare) atau gangguan penyerapan dapat menimbulkan
defisiensi.
Sebaliknya jumlah yang berlebihan dalam makanan atau
gangguan ekskresi, menimbulkan penimbunan yang berlebihan
pada jaringan atau cairan tubuh dan dapat menyebabkan gangguan
metabolik, susunan kimiawi dan gejala klinik yang nyata.
9. Defisiensi
Ketidak seimbangan nutrisi merupakan penyebab utama
jejas sel antara lain defisiensi protein, vitamin dan mineral. Jumlah
lipid yang berlebihan merupakan faktor pendukung terjadinya
arteriosklerosis yang dapat menyebabkan sel/jaringan mengalami
defisiensi oksigen dan makanan. Jejas yang disebabkan oleh

16
defisiensi nutrisi antara lain Starvation, marasmus, kwashiorkor
atau yang lebih dikenal gangguan nutrisi.
C. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan
struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur.
Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya
abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh
kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan
suatu seleksi alamu terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya
akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula
sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah
dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam
minggu pertama kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik,
radiologik dan laboratorik untuk menegakkan diagnose kelainan
kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosisi pre/- ante
natal kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu
misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan
darah janin
1. Angka Kejadian
Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat berupa satu
jenis kelainan saja atau dapat pula berupa beberapa kelainan
kongenital secara bersamaan sebagai kelainan kongenital multipel.
Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau
belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan
beberapa waktu setelah kelahiran bayi. Sebaliknya dengan
kermajuan tehnologi kedokteran,kadang- kadang suatu kelainan
kongenital telah diketahui selama kehidupan fetus. Bila ditemukan
satu kelainan kongenital besar pada bayi baru lahir, perlu
kewaspadaan kemungkian adanya kelainan kongenital ditempat
lain. Dikatakan bahwa bila ditemukan dua atau lebih kelainan
kongenital kecil, kemungkinan ditetemukannya kelainan
kongenital besar di tempat lain sebesar 15% sedangkan bila

17
ditemukan tiga atau lebih kelainan kongenital kecil, kemungkinan
ditemukan kelainan kongenital besar sebesar 90%.
Angka kejadian kelainan kongenital yang besar berkisar 15
per i000 kelahiran angka kejadian ini akan menjadi 4-5% biIa bayi
diikuti terus sampai berumur 1 tahun. Di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo (I975-1979), secara klinis ditemukan angka
kejadian kelainan kongenital sebanyak 225 bayi di antara 19.832
kelahiran hidup atau sebesar 11,6I per 1000 kelahiran hidup,
sedangkan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan (1977-1980)
sebesar 48 bayi (0,33%) di antara 14.504 kelahiran bayi dan di
Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada (1974-1979) sebesar 1.64da
tri 4625 kelahiran bayi. Angka kejadian dan jenis kelainan
kongenital dapat berbeda-beda untuk berbagai ras dan suku bangsa,
begitu pula dapat tergantung pada cara perhitungan besar keciInya
kelainan kongenital.
2. Faktor Etiologi
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar
diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua
faktor secara bersamaan.
Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi
terjadinya kelainan kongenital antara lain:
a. Kelainan Genetik dan Khromosom.
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar
akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di
antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum
Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau
kadang-kadang sebagai unsur resesif. Penyelidikan daIam hal
ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang sama
dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah
selanjutya.
Dengan adanya kemajuan dafam bidang teknologi
kedokteran, maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya
kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat

18
dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa
contoh kelainankhromosom autosomai trisomi 21 sebagai
sindroma Down (mongolism) kelainan pada kromosom
kelamin sebagai sindroma Turner.
b. Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin
dapat menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga
menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi
dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah
terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai contoh deformitas
organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes
varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus
(clubfoot)

c. Faktor infeksi.
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah
infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam
trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam
periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan suatu organ rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama
di samping dapat menimbulkan kelainan kongenital dapat pula
meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh
infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus
Rubella. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi
Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan
kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem
pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung
bawaan. Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang
dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah
infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, kelainan-
kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya
gangguan pertumbuhan pada system saraf pusat seperti
hidrosefalus, mikrosefalus, atau mikroftalmia.
d. Faktor Obat

19
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil
pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat
hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada
bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat
menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide yang dapat
mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia.
Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda
dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya
dengan terjadinya kelainan kongenital, walaupun hal ini secara
laboratorik belum banyak diketahui secara pasti. Sebaiknya
selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari
pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun
hal ini kadang-kadang sukar dihindari karena calon ibu
memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada
pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian
sitostatik atau prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan;
keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum
kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
e. Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan
pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa
menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto
Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis
ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100 kelahiran
hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk
kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan
yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur <
35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 :
75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk
kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
f. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan
kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus

20
kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih
besar bila dibandingkan dengan bayi yang normal.
g. Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan
dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya
riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan
akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin
sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang
dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau
terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,
khususnya pada hamil muda.
h. Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam
masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada
manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa
frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik
gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein,
vitamin A ribofIavin, folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat
menaikkan kejadian &elainan kongenital.
i. Faktor-faktor lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui
penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan
hidup janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah
sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat
menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan
kongenitai tidak diketahui.
D. Diagnosa
Pemeriksaan untuk menemukan adanya kelainan kongenital dapat
dilakukan pada -pemeriksaan janin intrauterine, dapat pula ditemukan
pada saat bayi sudah lahir. Pemeriksaan pada saat bayi dalam
kandungan berdasarkan atas indikasi oleh karena ibu mempunyai
factor resiko: misalnya:riwayat pernah melahirkan bayi dengan

21
kelainan kongenital, riwayat adanya kelainan-kongenital dalam
keluarga, umur ibu hamil yang mendekati menopause.
Pencarian dilakukan pada saat umur kehamilan 16 minggu. Dengan
bantuan alat ultrasonografi dapat dilakukan tindakan amniosentesis
untuk mengambil contoh cairan amnion Beberapa kelainan kongenital
yang dapat didiagnose dengan cara ini misalnya: kelainan kromosome,
phenylketonuria, galaktosemia, defek tuba neralis terbuka seperti
anensefali serta meningocele.
Pemeriksaan darah janin pada kasus thallasemia.
Untuk kasus2 hidrosefalus pemeriksaan dapat diketemukan pada saat
periksa hamil
E. Penanganan
Kelainan kongenital berat dapat berupa kelainan kongenital yang
memerlukan tindakan bedah, kelainan kongenital bersifat medik, dan
kelainan kongenital yang memerlukan koreksi kosmetik.
Setiap ditemukannya kelainan kongenital pada bayi baru lahir, hal ini
harus dibicarakan dengan orang tuanya tentang jenis kemungkinan
faktor penyebab, langkah-langkah penanganan dan prognosisnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta:


EGC.
2. Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L Robbins. 2007. Buku Ajar
Patologi Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Lestari, Ajeng S.P. dan Agus Mulyono. 2011. Analisis Citra Ginjal untuk
Identifikasi Sel Psikonosis dan Sel Nekrosis. Jurnal Neutrino Vol.4, No.1,
p:48-66.
4. Pringgoutomo, S.; S. Himawan; A. Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi I.
Jakarta: Sagung Seto.
5. Robbins & Cotran., 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (ed.7).
Mitchell, R.N., Kumar,V., Abbas, A.K., Fausto, N (editor). Jakarta: EGC.
6. Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
7. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

23
SOAL

1. Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologik yang normal yang disebut …

a. Homeostasis normal

b. Metabolisme

c. Diferensiasi

d. Homeositis

e. Homeoparasitis

Jawaban A

2. Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah dan


trombosis. Penyebab nekrosis manakah yang dimaksud ?

a. Agen kimia

b. Agen biologic

c. Agen fisik

d. Iskemia

e. Hipersensitivitas
Jawaban B

3. Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan


kongenital antara lain, kecuali …

a. Kelainan Genetik dan Khromosom.


b. Faktor mekanik
c. Factor infeksi
d. Factor obat
e. Saluran pencernaan
Jawaban E
4. Pada nekrosis koagulatif terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel
yang disebabkan oleh hambatan kerja sebagian besar enzim. Ini diakibatkan
karena ..
a. Struktur jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada tahap
awal

24
b. Struktur jaringan yang mati masih dipertahankan pada tahap akhir
c. Struktur jaringan dibiarkan mati pada tahap awal
d. Struktur jaringan yang masih dipertahankan di biarkan secara terbuka
e. Struktur jaringan dipertahankan hidup
Jawaban A
5. Di bawah ini yang termasuk ke dalam kelainan retrogresif, kecuali …
a. Atrofi
b. Degenerasi dan Infiltrasi
c. Gangguan Metabolisme
d. Gangguan pernapasan
e. Nekrosis
Jawaban D

25

Anda mungkin juga menyukai