Anda di halaman 1dari 16

Bab 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah penurunan fungsi ginjal yang

bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu

penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan,

sedang dan berat (Mansjoer, 2007).

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan metabolisme

dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia (retensi urea

dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan penurunan fungsi

ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau tingkatan yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Smeltzer,

2010).

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penurunan fungsi ginjal

progresif yang ireversibel ketika ginjal tidak mampu mempertahankan

keseimbangan metabolik, cairan, dan elektrolit yang menyebabkan terjadinya

uremia dan azotemia (Bsyhskki, 2012).


2.1.2 Etiologi

Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson

(2006) diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler

hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit

metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan

penyakit tersebut adalah :

1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks

nefropati.

2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.

3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis

maligna, dan stenosis arteria renalis.

4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis

nodosa, dan seklerosis sistemik progresif.

5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan

asidosis tubulus ginjal.

6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme,

serta amiloidosis.

7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.

8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari

batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal.

2.1.3 Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer dan Bare (2014) setiap sistem tubuh pada Chronic

Kidney Disease (CKD) dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka klien akan
menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung

pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, usia klien dan kondisi yang mendasari.

Tanda dan gejala klien gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut :

1. Manifestasi kardiovaskuler

Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem

renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan, sakrum),

pembesaran vena leher.

2. Manifestasi dermatologi

Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,

kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.

3. Manifestasi Pulmoner

Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul.

4. Manifestasi Gastrointestinal

Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,

mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal

5. Manifestasi Neurologi.

Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan tungkai,

panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.

6. Manifestasi Muskuloskeletal

Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop.

7. Manifestasi Reproduktif

Amenore dan atrofi testikuler.


2.1.4 Penatalaksanaan dan Terapi

Klien CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara khusus sesuai

dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya penatalaksanaan secara umum.

Menurut (Sudoyo, 2015), sesuai dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam

tabel berikut :

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya.

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid.

3. Memperlambat pemburukan fungsi ginjal.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.

5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Tabel 2.1 Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan


derajatnya.

Derajat LFG Rencana tatalaksana


(ml/mnt/1,73m
1 >90 Terapi penyakit dasar,
kondisi komoroid,
evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 60-89 menghambat
pemburukan fungsi
ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi
komplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal

Sumber : Sudoyo, 2015.


2.1.5 Komplikasi

Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, klien CKD akan mengalami

beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Suwitra (2006) antara lain

adalah :

1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan

masukan diit berlebih.

2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk

sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.

3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin

angiotensin aldosteron.

4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.

5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar

kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan

peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion

anorganik.

6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.

7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.

8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

2.2 Insulin

2.2.1 Pengertian

Insulin adalah hormone alami yang dikeluarkan oleh pankreas. Insulin

dibutuhkan oleh sel tubuh untuk mengubah dan menggunakan glukosa darah
(gula darah), dari glukosa, sel membuat energy yang dibutuhkan untuk

menjalankan fungsinya. Pasien diabetes mellitus (kencing manis) tidak

memiliki kemampuan untukmengambil dan menggunakan gula darah,

sehingga kadar gula darah meningkat. Pada diabetes tipe I, pancreas tidak

dapat memporduksi insulin. Sehingga pemberian insulin diperlukan. Pada

diabetes tipe 2, pasien memproduksi insulin, tetapi sel tubuh tidak merespon

insulin dengan normal. Namun demikian, insulin juga digunakan pada

diabetes tipe 2 untuk mengatasi resistensi sel terhadap insulin. Dengan

peningkatan pengambilan glukosa oleh sel dan menurunnya kadar gula darah,

akan mencegah dan mengurangi komplikasi lebih lanjut dari diabetes, seperti

kerusakan pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf. Insulin diberikan dengan

cara disuntikan di bawah kulit (subkutan). Jaringan subkutan perut adalah

yang terbaik karena penyerapan insulin lebih konsisten disbanding tempat

lainnya. Terdapat banyak bentuk insulin. Insulin dikasifikasikan berdasarkan

dari berapa cepat insulin mulai bekerja dan berapa lama insulin bekerja

(www.webmd.com).

2.2.2 Tipe Insulin

1. Tipe insulin terdiri dari :

1) Aksi cepat (rapid acting)

2) Aksi pendek short acting)

3) Aksi menengah (intermediate acting)

4) Aksi lama (long-acting)

5) Campuran (Pre-mixed)
2. Factor pemilihan tipe insulin

1) Pemilihan tipe insulin tergantung pada beberapa factor, yaitu :

Respon tubuh individu terhadap insulin (berapa lama menyerap

insulin ke dalam tubuh dan tetap aktif di dalam tubuh sangat

bervariasi dari setiap individu)

2) Pilihan gaya hidup seperti : jenis makanan, berapa banyak konsumsi

alcohol, berapa sering berolah raga, yang semuanya mempengaruhi

tubuh untuk merespon insulin.

3) Berapa banyak suntikan per hari yang ingin dilakukan.

4) Berapa sering melakukan pengecekan kadar gula darah.

5) Usia

6) Target pengaturan gula darah. Pada table didiskripsikan berbagai

insulin dan cara kerjanya dalam tubuh. Sebagai keterangan, insulin

injeksi dengan data; onset (lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

insulin mencapai darah dan mulai menurunkan kadar gula darah,

peak (periode waktu dimana insulin paling efektif menurunkan gula

darah) dan duration (berapa lama insulin terus menurunkan kadar

gula darah). Ketiga factor ini mungkin bervariasi, tergantung respon

tubuh seseorang. Kolom terakhir menjelaskan bagaimana hubungan

jenis insulin dengan waktu makan.


2.2.3 Manfaat Insulin

Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes

mellitus tipe 1 (DMT1), namun demikian pada kenyataannya, insulin lebih

banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih

banyak dibandingkan DMT1. Terapi insulin pada DMT2 dapat dimulai antara

lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah

yang buruk (A1c > 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl),

riwayat pankreatektomi atau disfungsi pancreas, riwayat fluktuasi kadar

glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidodis, riwayat penggunaan insulin

lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.

Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi

harian multiple dengan tujuan mencapai kendali kadar glukosa darah yang

baik. Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan menggunakan pompa

insulin (continous subcutaneous insulin infusion,CSII). Ada beberapa cara

untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2.

3.1 Hiperkalemi

3.3.1 Pengertian

Hiperkalemia adalah kondisi yang berpotensi mengancam jiwa di mana

serum kalium melebihi 5,5 mmol / l. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya

ekskresi ginjal, asupan berlebihan atau kebocoran kalium dari ruang

intraseluler. Selain gagal ginjal akut dan kronis, hipoaldosteronisme, dan kerusakan

jaringan masif seperti pada rhabdomyolysis, adalah kondisi khas yang


menyebabkan hiperkalemia. Gejalanya tidak spesifik dan sebagian besar terkait

dengan disfungsi otot atau jantung. Pengobatan harus segera dimulai dengan

menggunakan strategi terapi yang berbeda untuk meningkatkan pergeseran kalium

ke ruang intraseluler atau untuk meningkatkan eliminasi, bersama dengan

pengurangan asupan. Pengetahuan tentang mekanisme fisiologis penanganan

kalium sangat penting dalam memahami penyebab hiperkalemia serta

pengobatannya. Artikel ini mengulas patomekanisme yang mengarah pada keadaan

hiperkalemik, gejalanya, dan opsi perawatan yang berbeda.

3.3.2 Patogenesis Hiperkalemi

Hiperkalemia dapat terjadi akibat peningkatan kalium total tubuh sekunder

akibat ketidakseimbangan asupan vs ekskresi atau dari distribusi yang salah antara

ruang intra dan ekstraseluler.

3.3.3 Penyebab Hiperkalemi

1. Asupan berlebihan

Pada pasien dengan fungsi ginjal yang tidak terganggu dan mekanisme

pengaturan lainnya yang utuh, potasium dalam jumlah besar diperlukan

untuk mencapai hiperkalemia . Sedangkan pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal, terutama ketika GFR <15 ml / menit, sedikit peningkatan

asupan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia berat.

2. Gangguan eliminasi kalium

1) Insufisiensi ginjal akut atau kronis: penurunan GFR (terutama <15

ml / mnt / 1,73 m 2 ) dengan aliran urin yang rendah (dan karena itu
pengiriman natrium yang rendah ke tubulus distal) menyebabkan

penurunan ekskresi kalium ginjal.

2) Obat-obatan yang mengganggu ekskresi kalium urin (juga lihat

Tabel : yang memiliki relevansi klinis khusus adalah diuretik hemat

kalium (amiloride atau spironolactone), siklosporin, trimetoprim .

Obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID; ibuprofen, naproxen) dan

ACEI (angiotensin converting enzyme inhibitor) serta inhibitor

reseptor angiotensin dapat menyebabkan penurunan aldosteron dan

GFR dan dengan demikian menyebabkan hiperkalemia. Perawatan

kombinasi dengan spironolactone dan ACE inhibitor, terutama pada

pasien dengan gangguan ginjal atau gagal jantung, harus dipantau

dengan sangat hati-hati.

3) Hipoaldosteronisme dapat berupa primer (misalnya M. Addison) atau

sekunder (misalnya gagal ginjal kronis), yang mengakibatkan

hiperkalemia disertai dengan pemborosan garam urin, yang

menyebabkan penurunan volume dan hipotensi . Gambaran serupa

dapat dilihat pada pasien dengan uropati obstruktif dan asidosis

tubulus ginjal

4) Pseudohypoaldosteronism (PHA) mengacu pada kelompok

heterogen dari gangguan metabolisme elektrolit yang ditandai oleh

hiperkalemia, asidosis metabolik, dan GRF normal . PHA tipe I yang

disebabkan oleh mutasi dominan autosomal pada gen reseptor

mineralokortikoid manusia ( MR) terbatas pada ginjal. PHA tipe I

sekunder karena hilangnya fungsi mutasi ENaC tidak hanya


mempengaruhi ginjal tetapi juga paru-paru, usus besar, dan kelenjar

keringat dan kelenjar ludah.PHA-II (juga dikenal sebagai sindrom

Gordon) adalah kelainan tubular ginjal familial yang jarang terjadi

akibat hilangnya mutasi fungsi pada WNK1 atau WNK4. Sindrom

Gordon ditandai oleh ekspansi volume, penekanan renin, dan

penurunan pembersihan kalium ginjal yang diinduksi

mineralokortikoid yang mengarah ke hipertensi dan hiperkalemia,

dan asidosis hiperkloremik dengan laju filtrasi glomerulus normal .

5) Hiperplasia adrenal kongenital (CAH): disebabkan oleh mutasi atau

penghapusan gen yang mengkode enzim yang terlibat dalam hasil

sintesis kortisol atau aldosteron. Sekitar 90% kasus CAH disebabkan

oleh defisiensi 21-hidroksilase. Fenotipe dan tingkat hiperkalemia

tertentu tergantung pada jenis kelamin individu, lokasi blok dalam

sintesis, dan tingkat keparahan penghapusan atau mutasi genetik.

6) Gagal jantung kongestif: penurunan fungsi ginjal dan pengobatan

dengan obat-obatan yang mengganggu ekskresi kalium ginjal sering

menyebabkan hiperkalemia.

7) Sembelit: eliminasi kalium enteral dapat dikurangi dan karenanya

menyebabkan hiperkalemia, yang lagi-lagi dapat menyebabkan

berkurangnya pergerakan usus. Pasien dengan masalah pengosongan

usus sekunder akibat myelodysplasia atau VACTERL-asosiasi

berisiko khusus.
3. Peningkatan pergeseran kalium dari rung intra ke ruang ekstraseluler

1) Asidosis: Asidosis mineral lebih cenderung menyebabkan

pergeseran kalium dari ruang intraseluler ke ruang ekstraseluler

daripada asidosis organik.

2) Diabetes mellitus: penurunan kadar insulin menyebabkan akumulasi

kalium dalam ruang ekstraseluler.

3) Peningkatan akut osmolalitas sekunder akibat hiperglikemia atau

infus manitol menyebabkan kalium keluar dari sel.

4) Kerusakan jaringan sel akut: jika terjadi kerusakan sel yang luas,

kalium intraseluler dilepaskan ke ruang ekstraseluler. Ini dapat

menjadi kasus pada pasien dengan rhabdomyolysis, tumorlyis,

hemolysis, atau setelah transfusi masif.

5) Obat-obatan : digoxin dan beta-blocker (terutama yang non-selektif)

menghambat Na + / K + -ATPase basolateral. Suksinilkolin,

terutama ketika diberikan kepada pasien dengan luka bakar,

imobilisasi, atau peradangan.

6) Paralisis periodik hiperkalemik: kondisi langka dengan mutasi

saluran natrium otot, menghasilkan episode paralitik yang terkait

dengan peningkatan kadar K + .

3.3.4 Penatalaksanaan Hiperkalemia

Strategi terapi harus disesuaikan dengan individu, dengan

mempertimbangkan derajat dan penyebab hiperkalemia. Manajemen tidak

hanya mengandalkan perubahan EKG tetapi juga dipandu oleh skenario klinis
dan pengukuran kalium serial . Pengobatan harus lebih agresif, semakin tinggi

dan semakin cepat kenaikan tingkat kalium, dan semakin besar bukti

toksisitas (perubahan EKG). Sebagian besar terapi medis untuk hiperkalemia

hanya memberikan perbaikan sementara dengan memindahkan K + ke ruang

intraseluler tanpa benar-benar menghilangkan kalium. Langkah-langkah

terapeutik ini sering cukup dalam hiperkalemia akut pada pasien tanpa

gangguan ginjal yang signifikan, di mana peningkatan ekskresi kalium ginjal

dapat dicapai. Pada pasien dengan hiperkalemia sedang hingga berat (> 6,5

mmol / l), terutama mereka dengan gangguan ginjal, semua strategi terapi

termasuk terapi penggantian ginjal mungkin diperlukan.

Langkah-langkah berikut seringkali harus ditangani secara

bersamaan. Selain itu, jika tidak diketahui, penyebab hiperkalemia harus

ditentukan untuk mencegah episode mendatang.

Langkah 1: Mengevaluasi pasien untuk kemungkinan toksisitas dan memulai

pemantauan EKG

1) Jika pasien memiliki hiperkalemia berat atau menunjukkan

perubahan EKG, segera transfer ke unit perawatan intensif (ICU).

2) Ca-Gluconate 10% dapat digunakan pada pasien dengan gejala

jantung untuk menstabilkan potensi membran dan secara positif

mempengaruhi bradikardia dan perubahan EKG.Kontraindikasi:

intoksikasi digoxin, keadaan hiperkalsemi.


Langkah 2: Identifikasi dan segera hilangkan sumber asupan kalium

1) Tinjau resep dan hentikan suplemen potassium oral atau

parenteral.

2) Hentikan semua obat yang dapat menyebabkan atau

memperparah hiperkalemia.

3) Masukan dari ahli gizi mungkin diperlukan untuk

mengidentifikasi makanan yang kaya kalium (periksa "diet

khusus"), terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronis.

Langkah 3: Tingkatkan pergeseran kalium dari ruang ekstra ke ruang

intraseluler

1) Dekstrosa dan / atau infus insulin. Efek sering dapat dilihat

dengan segera tetapi respons tetap tidak dapat

diprediksi. Diperlukan pemantauan ketat elektrolit dan glukosa

darah, hipoglikemia menjadi efek samping utama. Bertujuan

untuk menjaga glukosa darah 10-15 mmol / l.

2) Agonis beta-adrenergik (salbutamol, reproterol) merangsang

kalium untuk beralih dari ruang ekstra ke ruang intraseluler

melalui Na + / K + -ATPase seperti dijelaskan di

atas. Salbutamol dapat diaplikasikan melalui nebulizer atau

diberikan secara intravena. Jika diberikan iv, efek penurunan

salbutamol cukup dapat diprediksi dengan penurunan rata-rata

1,6-1,7 mmol / l setelah 2 jam . Ini dapat menyebabkan

takikardia. Salbutamol telah terbukti aman dan bahkan lebih


unggul dibandingkan resin penukar kation rektal pada preterm

nonoligurik dengan hiperkalemia.

3) Sodium bikarbonat, lebih disukai diberikan kepada pasien yang

asidosis. Pada pasien hemodialisis dengan hiperkalemia hanya

memiliki efek moderat jika diberikan infus berkepanjangan.

CATATAN: kenaikan pH dapat memperburuk hipokalsemia.

Langkah 4: Tingkatkan ekskresi kalium

1) Loop diuretics (furosemide) menghambat transportasi

potassium ke dalam melalui saluran NKCC2 di TAL. Bahkan

pada pasien hemodialisis kronis, pengobatan dengan loop

diuretik mungkin bermanfaat jika pasien memiliki fungsi ginjal

residual.

2) Resin penukar ion (mengandung kalsium atau natrium)

bertujuan untuk menjaga agar kalium enteral tidak

terserap. Lebih efektif jika diberikan secara oral. Enema harus

dipertahankan setidaknya 30-60 menit. Onset dalam 1-2 jam,

berlangsung 4-6 jam.

Terapi penggantian ginjal (RRT) adalah ukuran utama dalam hiperkalemia

berat. Hemodialisis (HD) memberikan pembersihan kalium yang jauh lebih tinggi

(penghilangan 50-80 mmol K +dalam sesi 4 jam) daripada bentuk RRT

kontinu. Hemofiltrasi vena-vena kontinu (CVVH) dapat lebih memuaskan

memberikan kontrol jangka panjang dari kalium. Pilihan metode tergantung pada
keadaan lokal dan hemodinamik pasien, karena pasien sakit kritis jarang

mentoleransi sesi HD.

Anda mungkin juga menyukai